Jumat, 28 April 2017

MANFAAT OPOSISI LOYALIS BAJA TERHADAP GUBERNUR BARU DKI

Di medsos beberapa hari ini beredar berita, pendukung buta Ahok populer disebut "Loyalis Basuki-Djarot (Badja)" tidak mengakui Anies-Sandi sebagai pemenang Pilkada DKI Jakarta. Mereka menuduh, kemenangan Anies-Sandi krn intimidasi, tidak fair. Terkesan masih belum bisa menerima kekalahan Ahok-Djarot. Pendukung buta Ahok ini mengusulkan perlu pemerintahan DKI Jakarta bayangan untuk menyaingi Anies-Sandi. Mereka tegaskan, dengan kekuatan hampir 42 persen pendukung Badja, bisa menjadi kekuatan penyeimbang terhadap Anies-Sandi. Mereka masih menganggap Badja itu Gubernur yang sebenarnya. NSEAS (Network for South East Asian Studies) sangat setuju atas gagasan pendukung Badja ini khusus ttg "kekuatan penyeimbang terhadap Anies-Sandi". Gagasan pendukung Badja ini sangat layak didukung agar keberadaan kekuatan pendukung Badja yg kalah pd Pilkada 2017 lalu menjadi "fungsional", "produktif" dan "bermanfaat" bagi percepatan demokratisasi di DKI. Tak perlu lagi berkepanjangan bersedih dan bahkan memfitnah Anies-Sandi. Sebagai kekuatan penyeimbang bagi Gubernur baru tentu saja eksistensi pendukung Badja akan memainkan peran oposisi yg mutlak dibutuhkan dalam alam demokrasi. Manfaat kelompok/kekuatan oposisi loyalis Badja terhadap Gubernur baru DKI Jakarta al.: 1. Gubernur baru terkontrol, takkan terjerumus dalam penyalahgunaan kekuasaan seperti Gubernur lama. 2. Gubernur baru akan terkendali, takkan memperbesar, memperkuat, dan juga memusatkan diri seperti Gubernur lama. 3. Gubernur baru takkan semena-mena, terhindar dari kemungkingan salah kebijakan/tindakan. 4. Gubernur baru akan mengetahui apa harus dilakukan, apa tidak harus dilakukan, apakah sesuai harus atau tidak harus dilakukan. 5. Kebijakan Gubernur baru akan berkualitas. Apa yg baik dan benar diperjuangkan melalui kontes politik dan diuji dalam wacana politik terbuka dan publik. 6. Kebijakan Gubernur baru akan efektif dan efesien serta betul2 mempertimbangkan kepentingan rakyat, selain negara, dunia usaha dan lingkungan. Kehadiran kekuatan oposisi membuat Gubernur baru harus selalu menerangkan dan mempertanggungjawabkan mengapa suatu kebijakan diambil, apa dasar, apa pula tujuan dan urgensi dan dengan cara bagaimana kebijakan itu akan diterapkan. Pengalaman Gubernur lama, hal ini tak dilakukan. Gubernur lama acapkali berkilah. mengaitkan suara oposisi dgn masalah pribadi, bukan masalah kelembagaan. Gubernur lama tidak berani mengakui eksistensi kekuatan oposisi. Inilah salah satu faktor kegagalan Gubernur lama selenggarakan urusan pemerintahan dan rakyat DKI. Akhirnya, Gubernur lama tumbang melalui cara demokratis dan konstitusional (Pilkada 2017). Di mana posisi kekuatan oposisi pendukung Badja dimaksud? Dalam akan demokrasi, bidang kehidupan ini mencakup: 1. Bidang pemerintahan/negara. Utk DKI, mencakup al. Pemprov DKI dan DPRD. Kekuatan oposisi pendukung Badja bisa terwakili pd fraksi2 parpol pendukung utama Ahok-Djarot pd Pilkada lalu, yaitu satu atau gabungan fraksi parpol PDIP, Golkar, Nasdem dan Hanura. Dgn posisi fraksi2 ini oposisional, maka terhindar dari pengelompokan koalisi kartel yg selama ini berlaku di dunia legislatif baik daerah maupun nasional. 2. Bidang masyarakat madani. Bisa juga pendukung Badja membangun kelompok2 kritis sebagai komponen masyarakat madani melakukan penekanan (public pressure) bahkan dlm henti aksi demo jalanan terhadap Gubernur baru. Hal dibolehkan sepanjang mematuhi peraturan perundang-undangan. 3. Bidang bidang dunia usaha. Dunia usaha busa juga menjadi oposisi dalam bentuk kritik, kecaman, protes atas kebijakan2 tertentu Gubernur baru. Sebagai misal, penolakan atas ketentuan upah minimum buruh/pekerja. Tidak ada karangan bagi pengusaha untuk mengkritik dan mengecam kebijakan Gubernur baru. Sebagaimana telah diungkapkan diatas, loyalis atau pendukung Badja, bisa menjadi kekuatan oposisi terhadap Anies-Sandi. Namun, sebelum memposisikan diri sebagai kekuatan oposisi harus ada prinsip2 ditegakkan. Setidaknya ada dua prinsip pokok. Prinsip pertama, dlm beroposisi terhadap Anies-Sandi berdasarkan data, fakta dan angka relevan dengan kebijakan Gubernur baru yg dikritisi, ditolak atau dipersoalkan. Jangan berdasarkan fiksi atau issue atau fitnah. Prinsip kedua, setelah ditunjukkan permasalahan atas kebijakan tersebut, disampaikan sebab2 permasalahan dimaksud dan sekaligus cara pemecahan terbaik (solusi). Orientasi berpikir pada problem solving dan tetap menggunakan metode ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Sementara ini, kita anggap saja kekuatan pendukung Badja menghendaki kekuatan oposisi terhadap Gubernur baru mempunyai kemampuan untuk melaksanakan prinsip2 tersebut. Kita jangan dulu apriori atas kemampuan mereka. Mari sila lanjutkan dan realisasikan gagasan penyeimbang ini demi percepatan demokratisasi di DKI. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

Rabu, 26 April 2017

JANJI KAMPANYE ANIES-SANDI, TIM EKSEKUTOR DAN TIM MONEV

Paslon Anies-Sandi dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, bagaimanapun juga, menang karena dukungan kelompok Islam politik dalam berbagai organisasi masyarakat Islam. Selama masa kampanye Pilkada lalu, acapkali dicitrakan Anies sebagai Calon Gubernur Muslim. Tentu saja, kemenangan Paslon Anies- Sandi juga karena dukungan kelompok2 lain bukan karena kesamaan agama Islam. Tetapi, labelling Anies dan Sandi calon pemimpin Muslim mewarnai opini publik. Akibatnya, jika Anies - Sandi kelak gagal memenuhi janji2 kampanye, maka kekuatan pendukung Paslon Ahok-Djarot segera klaim bahkan fitnah, orang Islam tak mampu mimpin DKI. Hal ini akan memperpanjang waktu konflik, bisa menjadi manifestasi/terbuka, antara dua kekuatan bertarung dlm perebutan kekuasaan selama ini di DKI. Selama kampanye Pilkada DKI 2017, Paslon Anies-Sandi telah berjanji kepada segmen pemilih, akan melaksanakan beragam program proritas. Janji2 kampanye Paslon Anies-Sandi disampaikan secara tertulis dan lisan. Secara tertulis bisa dilihat di dalam Visi, Misi dan Program yang diajukan resmi ke KPUD Jakarta. Ada juga janji tertulis dalam bentuk selebaran, booklet, dan foster. Menurut saya janji kampanye Anies-Sandi paling populer dan spektakuler bagi kebanyakan rakyat DKI antara lain: 1. Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus; 2. Kartu Jakarta Sehat (KJS) Plus; 3. Pembiayaan Perumahan tanpa uang muka (DP); 4. Manajemen Transportasi Terintegrasi dengan ongkos hanya Rp. 5.000 untuk suatu perjalanan sambung menyambung di DKI; 5. OK OCE; 6. Penghentian Penggusuran; 7. Penghentian pembangunan pulau2 palsu/reklamasi teluk Jakarta. Janji2 kampanye ini harus dilaksanakan karena dalam Islam dosa tidak laksanakan janji. Memang dari hukum positif di Indonesia, tidak ada sanksi pidana kalau janji2 kampanye diingkari. Di lain fihak, saya menilai, Paslon Anies - Sandi mempunyai pengetahuan banyak tentang masalah2 sosial ekonomi dan politik. Tingkat pendidikan formal mereka relevan. Dari komponen integritas, kedua figur ini juga memiliki integritas dan moralitas baik. Belum ada indikasi pernah melakukan korupsi. Namun, dari komponen pengalaman kerja atau unjuk kerja di pemerintahan daerah, khususnya tingkat Provinsi, sungguh tergolong sangat rendah. Boleh dibilang, tidak punya pengalaman kerja saja sekali di pemerintahan provinsi. Dengan kondisi kedua figur ini tidak punya pengalaman kerja saja sama sekali. Maka, layak diajukan pertanyaan utama: mungkinkah mereka mampu dan berhasil melaksanakan urusan pemerintahan, khususnya menepati janji2 kampanye Pilkada lalu? Tentu saja, sangat tidak mungkin. Lalu, apa solusinya? Pertama, Gubernur baru ini harus merekrut personil ke dalam suatu Tim Eksekutor sinerjik dan harmonis berasal dari Eselon 1 baik dari Pemprov DKI maupun non Pemprov DKI. Tim ini harus punya integritas/kejujuran dan pengalaman kerja sesuai bidang program prioritas dijanjikan dlm kampanye. Tim ini harus terbebas dari aparatur Eselon 1 selama ini "menghamba" terhadap pribadi Gubernur lama. Tentu saja, ada beberapa figur dapat dipertimbangkan karena mempunyai sikap tegas menolak cara kerja Gubernur lama suka konflik sesama dan gusur paksa rakyat. Tim ini harus secara ikhlas dan prima melaksanakan program dan kegiatan sesuai janji2 kampanye sebelumnya telah direncanakan di dalam RPJMD tahun 2018-2022. Diprioritaskan anggota Tim Eksekutor ini mantan Walikota. Keberadaan Tim Eksekutor ini dapat mengisi kekosongan Gubernur baru dalam hal pengalaman kerja. Jumlah anggota Tim Eksekutor ini minimal lima personil. Kedua, Tim Monev (Monitoring dan Evaluasi). Walau sudah tercipta suatu Tim Eksekutor dari Eselon 1 untuk kepentingan pemenuhan janji2 kampanye, tetapi Gubernur baru harus selalu memantau dan mengevaluasi implementasi atau eksekusi program dan kegiatan prioritas tsb. Wewenang monitoring dan evaluasi (monev) dapat didelegasikan kepada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI. Namun, berdasarkan pengalaman fungsi Monev Bappeda karena kendala penjenjangan Eselon, maka Gubernur baru juga membentuk suatu Tim Monev, langsung bertanggungjawab dan bekerja untuk Gubernur baru. Tim Monev ini diisi oleh personil bukan ASN (Aparatur Sipil Negara) Pemprov DKI. Salah satu tugas dan fungsi Tim Monev ini adalah sebagai "second opinion" bagi Gubernur baru tentang implementasi program dan kegiatan prioritas sebagai tindak lanjut janji2 kampanye sebelumnya. Secara kelembagaan Tim Monev ini dipimpin langsung oleh Gubernur atau Wakil Gubernur baru. Kualifikasi anggota Tim Monev ini adalah mempunyai pengetahuan cukup tentang kelembagaan pemerintahan Provinsi DKI Jakarta khususnya. Kelembagaan dimaksud antara lain, komponen struktur organisasi, mekanisme kerja/perencanaan pembangunan, SDM/personil, politik anggaran, dan juga Monev dalam pemerintahan daerah. Disamping itu juga, anggota Tim Monev ini benar2 mengetahui dan menghayati makna janji2 kampanye Paslon Anies-Sandi. Jumlah anggota Tim inti minimal lima personil. Dua Tim dimaksud, Tim Eksekutor dan Tim Monev, pada dasarnya harus mampu dan berhasil menjalankan tugas dan fungsi dalam pelaksanaan program dan kegiatan prioritas sesuai janji2 kampanye Anies-Sandi. Fokus perhatian dan solutif pada realisasi janji2 kampanye mereka. Untuk Gubernur baru, jangan: 1. Meniru pengalaman Gubernur lama penuh ingkar janji kampanye. 2. sampai muncul tuduhan atau klaim, ternyata Anies -Sandi sebagai Muslim tak mampu dan gagal memimpin DKI. Jika Gubernur baru gagal, bukan saja citra Gubernur dan Wakil Gubernur baru negatif, tetapi juga umat Islam politik DKI telah mengantarkan mereka menumbangkan Ahok sang penista agama Islam dan penggusur paksa rakyat DKI. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

PENGGERUSAN ELEKTABILITAS JOKOWI PILPRES 2019 MENDATANG

Setelah kekuatan anti Ahok berhasil menumbangkan Ahok dari penguasa tertinggi di DKI, sasaran berikutnya tentu penggerusan atau downgrade elektabilitas Jokowi. Kekuatan anti Ahok ini sesungguhnya juga anti Jokowi, menginginkan Rezim kekuasaan Jokowi tumbang pada Pilkada 2019 mendatang. Kekuatan Rezim Kekuasaan Jokowi mencakup parpol2 pendukung Ahok dlm Pilkada DKI, kelompok pengusaha/konglomerat Taipan. Dalam politik luar negeri, kekuatan Jokowi ini lebih pro Negara Cina yang Komunis. Upaya penggerusan elektabililitas Jokowi mengambil tampat dalam berbagai bentuk kegiatan, dari mulai "halohalo" interaksi individual, opini publik di media massa dan media sosial, forum publik hingga aksi demo jalanan. Kegiatan penggerusan elektabilitas ini tentu saja akan berlangsung hingga pemungutan suara Pilpres 2019 mendatang. Satu kasus penggerusan elektabilitas Jokowi adalah kekalahan Paslon Ahok-Djarot dlm Pilkada DKI 2017. Kekalahan Ahok sungguh memperkuat dan mendorong kekuatan anti Rezim Kekuasaan Jokowi semakin intens lakukan penggerusan elektabilitas Jokowi. Kasus berikutnya adalah pengadilan Ahok sebagai penista agama Islam. Kekuatan anti Jokowi menilai, Rezim Kekuasaan memihak dan intervensi terhadap proses pengadilan Ahok. Kasus ini merupakan tahap proses penggerusan elektabilitas Jokowi. Dinamika politik kekuasaan pasca Pilkada DKI 2017 sesungguhnya memasuki tahap kegiatan yang menjadikan Jokowi sebagai sasaran penggerusan elektabilitas. Upaya kekuatan anti Jokowi ini juga akan melakukan kegiatan penggerusan elektabilitas Jokowi pada beberapa perebutan kekuasaan melalui Pilkada tingkat Provinsi seperti Jawa Barat mendatang. Kini sedang terjadi konflik antara Rezim Jokowi dengan kekuatan umat Islam khususnya tentang tuntutan JPU (Jaksa Penuntut Umum) terhadap Ahok penista Agama Islam. Tuntutan JPU terhadap Terdakwa Ahok hanya setahun dengan masa percobaan dua tahun. Kekuatan umat Islam menilai, Rezim Jokowi telah intervensi dan berupaya membebaskan Terdakwa Ahok. Di lain fihak, kekuatan Islam umumnya menuntut agar Ahok dihukum minimal lima tahun. Konflik ini membawa implikasi negatif terhadap elektabilitas Jokowi. Berbagai kritik dan kecaman ditujukan kepada Jokowi dinilai telah intervensi terhadap tuntutan JPU agar Ahok terbebas dari masuk penjara dan tetap jadi Gubernur DKI hingga berakhir Oktober 2017 mendatang. Penilaian negatif ini diperkuat lagi dengan keberadaan Jaksa Agung membawahi JPU tsb adalah kader Nasdem, salah satu parpol pendukung Jokowi dlm Pilpres 2014 dan Ahok dlm Pilkada 2017 lalu. Jaksa Agung mengeluarkan pula pernyataan di publik, Ahok tidak bersalah. Maka, publik umat Islam menilai, Ia membela dan menjadi "Juru Bicara" Ahok. Reaksi umat Islam atas tuntutan JPU dimaksud antara lain dalam bentuk pernyataan dan aksi demo. Sebagai misal, massa berunjuk rasa di luar kantor Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, menyusul usainya sidang pembacaan tuntutan kasus Terdakwa Ahok. Massa demo menuntut Ahok dihukum maksimal, tidak terima JPU hanya menuntut hukuman satu tahun penjara dengan dua tahun masa percobaan. Selanjutnya, Amien Rais, Mantan Ketua PP Muhammadiyah menegaskan, kalau sampai Hakim memberikan hukuman seperti keputusan Jaksa, hukuman satu tahun dengan percobaan dua tahun, Jokowi akan memanen protes luar biasa masyarakat Indonesia."Jangan pernah berharap jadi Presiden lagi, sudah, itu keyakinan saya,” tandasnya. Reaksi juga muncul dalam aksi besar-besaran diprakarsai Front Pembela Islam (FPI). Imam Besar FPI Habib Rizieq Syihab, melalui selebaran mengajak Aksi Simpatik Kepung Sidang Ahok, 25 April 2017, tepat hari Sidang Ahok. Semua kegiatan ini akan membawa implikasi negatif terhadap elektabilitas Jokowi. Untuk meminimalkan keberhasilan upaya penggerusan elektabilitas ini, Jokowi harus mampu dan berprestasi melaksanakan urusan pemerintahan dan rakyat Indonesia. Standar kriteria penilaian mampu dan berprestasi adalah janji2 kampanye Pilpres lalu dan target capaian tiap tahun program/kegiatan tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2014-2019. Masalahnya, hingga kini sudah lewat dua tahun jadi Presiden, Jokowi belum juga bisa menunjukkan data, fakta dan angka keberhasilan urusan pemerintahan dan rakyat Indonesia. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

Jumat, 21 April 2017

TIGA KELOMPOK BIKIN AHOK TUMBANG

Ahok sang penggusur paksa rakyat DKI. akhirnya harus tumbang karena mengalami kekalahan dlm Pilkada 2017. Gubernur DKI ini, Ahok, berpasangan dgn Djarot pd putaran pertama pemilihan didukung banyak Parpol Rezim penguasa yakni PDIP, Golkar, Nasdem, dan Hanura. Putaran kedua secara "formal" PPP dan PKB juga mendukung. Sebaliknya Anies-Sandi pihak penantang pd putaran pertama didukung hanya dua Parpol menengah, yakni Gerindra dan PKS. Pd putaran kedua hanya PAN tambahan parpol pendukung Anies-Sandi. Parpol di luar parlemen juga mendukung Paslon ini: PBB dan Perindo. Bikin Ahok tumbang dlm Pilkada DKI 2017 ini dapat dijelaskan dari beragam sebab. Setidaknya sebab2 dimaksud dapat dijadikan tiga kelompok. Pertama, kelompok Islam politik dalam berbagai organisasi masyarakat Islam, al. Muhammadiyah, NU, Parmusi, FPI, HTI, dan Kahmi. Ada kepercayaan atau keyakinan bersumber Al Quran, haram memilih seorang non Muslim sebagai pemimpin. Dalam hal ini, haram memilih Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta karena Ahok non Muslim. Bahkan, Ahok dilabeling sebagai Kafir. Acapkali bermunculan slogan di kalangan Islam politik ini, "Tolak Gubernur Kafir". Slogan tolak Gubernur Kafir ini muncul sangat terang menderang bermula dari aksi demo diorganisir HTI dihadiri sekitar 20 ribu umat Islam. Intinya. Bagi kelompok Islam politik ini, mereka menolak Ahok karena Ahok Kafir. Disamping itu, kelompok ini menilai, selama jadi Gubernur DKI, Ahok telah merugikan sejumlah kepentingan umat Islam. Belasan kebijakan Ahok selaku Gubernur merugikan kepentingan Islam telah beredar khususnya di media sosial secara masif. Perspektif kelompok ini memposisikan Ahok secara kultural maupun aliran politik, tergolong dari kelompok sangat minoritas, paling banyak 15 % pemilih. Tidak layak memimpin DKI yang mayoritas umat Islam. Kelompok umat Islam politik mempromosikan dan mengkampanyekan Gubernur Muslim. Jumlah kelompok ini sekitar 40 % pemilih dan terbanyak. Kedua, kelompok ini menilai prilaku politik dan kepemimpinan Ahok sebagai arogan, sombong, busuk, tirani, fasis, dajal, dll. Persepsi negatif kelompok rakyat DKI terhadap Ahok ini menyebabkan mereka bersikap menentang dan menolak Ahok lanjut sebagai Gubernur DKI. Acapkali muncul prinsip ABAH dan ASBAK, bermakna Asal Bukan Ahok. Pada umumnya kelompok ini datang dari klas menengah atas, relatif terpelajar. Intinya, bagi mereka, komunikasi politik Ahok dgn rakyat DKI buruk. Kelompok kedua ini jauh lebih sedikit ketimbang kelompok pertama. Tetapi, kelompok ini sangat aktif memberikan penilaian mereka ttg prilaku politik Ahok melalui media massa dan media sosial. Ketiga, kelompok ini tergolong kelompok klas menengah atas juga tetapi prilaku politik mereka berdasarkan rasionalitas dan metode iptek. Bagi mereka, selama Ahok sebagai Gubernur DKI tidak mampu dan tidak berprestasi. Berdasarkan perencanaan, Ahok gagal melaksanakan urusan pemerintahan. Belum ada data, fakta dan angka dapat disajikan Ahok maupun pendukung Ahok bahwa Ahok telah berhasil meraih target capaian tiap tahun satupun urusan pemerintahan.Yang "dihalohalokan" pendukung buta Ahok selama ini pd dasarnya hal2 sepele dan fiksi. Kelompok ketiga ini menginginkan Gubernur baru yang mampu melaksanakan urusan pemerintahan dan rakyat DKI melalui program2 terencana. Kelompok ketiga ini paling sedikit jumlahnya, sekitar 15 persen. Sesungguhnya dari perspektif sosiologi politik, pendukung Ahok tergolong minoritas sekitar 15 persen. Tetapi, PDIP tetap saja mengajukan Ahok sebagai Cagub, tumbang. Seandainya PDIP mau dengar saran dan permintaan sejumlah tokoh Islam agar tidak calonkan Ahok, tetapi Risma Walikota Surabaya, hasil Pilkada DKI bisa lain. Atau paling tidak mengajukan Boy Sadikin, sang kader senior PDIP sendiri. Nasi sudah jadi bubur !!! Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

Kamis, 20 April 2017

MENGAPA PASLON ANIES-SANDI MENANG ?

Pertanyaan mengapa Paslon Anies-Sandi menang dapat dijawab secara hipotetis sbb: 1. Dukungan kelompok Islam politik sekitar 40 %. Seperti prilaku pemilih di Indonesia, di Jakarta kita mengenal politik aliran. Ummat Islam politik memberi suara baik untuk tokoh mapun parpol dlm pemilihan sejak Pemilu 1955, dipengaruhi kesamaan agama dlm hal ini Islam. Pd Pemilu 1955, mereka memilih partai Masyumi, sekitar 33 %. Pd Pemilu era Orde Baru, awalnya juga 33 % memilih parpol2 Islam. Era reformasi fakta prilaku pemilih ini tidak berubah, kelompok Islam politik tetap memberikan suara kepada parpol Islam. Belakangan, terutama sejak gerakan bela Islam protes prilaku Ahok nista Islam, hasil survei, meningkat sekitar 40 % pilih Gubernur Muslim. Mereka takkan pilih Ahok non Muslim. Primordial agama mempengaruhi mereka memilih Paslon Anies-Sandi yg dinilai sebagai tokoh Islam. Sementara, Paslon Ahok-Djarot dinilai bukan Tokoh Islam.Tambahan suara kelompok Islam politik terhadap Paslon Anies-Sandi pd putaran kedua datang dari pemilih Paslon Agus-Selvi putaran pertama. Sebagian besar pemilih Paslon Agus-Selvi ini adalah pemilih/konstituen Parpol Islam seperti PPP, PKB dan PAN sbg parpol pendukung. 2. Dukungan klas menengah atas termasuk mantan perwira militer anti Amandemen UUD 1945 anti dominasi Cina bidang ekonomi. Kelompok ini sejak awal tahun 2015 mengkritik dan menolak Ahok sebagai Gubernur DKI. Salah satu alasannya, Ahok lebih mengutamakan kepentingan pengembang Cina. Terdapat penilaian, pembangunan pulau palsu/reklamasi utk kepentingan pengembang Cina dan memasukkan rakyat Negara Cina ke DKI lewat perumahan dibangun di pulau2 palsu itu. Semangat dan pola pikir pembelaan terhadap negara bangsa, kelompok ini menentang Gubernur Ahok dan pendukung Paslon apa saja asal bukan Ahok krn Cina, dikenal sbg ASBAK (Asal Bukan Ahok). Mereka percaya, keberadaan Ahok dlm politik pemerintahan bagian cinanisasi Indonesia. Tatkala putaran kedua, kelompok ini bersatu pilih Paslon Anies-Sandi. Pada umumnya kelompok ini telah muncul sebelum resmi Paslon Anies-Sandi sebagai peserta Pilkada. 3. Dukungan ormas dan parpol . Beragam Ormas mendeklarasikan diri mendukung Anies-Sandi baik langsung gunakan nama resmi ormas tsb, maupun gunakan nama baru dan tidak terlembaga formal. Ormas ini beragam, ada berdasarkan Islam, Pancasila, Profesi, dan juga keberpihakan pd Pribumi. Ormas2 ini merupakan kelompok aksi di tengah2 rakyat pemilih, mempromosikan dan mengkampanyekan Paslon Anies-Sandi. Dlm beberapa kasus, mereka menyebut diri sbg Relawan. Disamping itu, parpol2 pendukung tentu membantu kemenangan Anis-Sandi, tetapi relatif kurang signifikan terhadap jumlah perolehan pemilih. 4. Program prioritas ditawarkan dlm kampanye. Prilaku pemilih juga ditentukan faktor janji atau program prioritas ditawarkan Paslon dlm kampanye. Pemilih seperti ini sangat minor paling sekitar 15 %. Paslon Anies-Sandi lebih unggul menawarkan program prioritas. Hal ini diakui oleh berbagai media massa melalui hasil jajak pendapat segera setelah berlangsung publikasi debat Paslon via TV. Sy mengakui, Paslon Anies-Sandi sbg penantang lebih bagus ketimbang Ahok-Djarot yg selama berkuasa di Pemprov DKI tak mampu menunjukkan prestasi urusan penerintahan berdasarkan perencanaan pembangunan tertuang di dalam Perda No.2 tahun 2012 ttg RPJMD DKI Jakarta 2013-2017. Faktanya, Ahok-Djarot gagal laksanakan program2 pembangunan. Sebagian besar rakyat DKI paham itu. 5. Citra Paslon Ahok-Djarot didukung Rezim berkuasa dan lakukan kecurangan antara lain pemberian sembako dan politik uang. Rakyat di luar pemerintahan, terutama klas menengah DKI menolak sikap pemerintah memihak ini sehingga bersimpati pd Paslon bukan Ahok—Djarot. Bagi mereka, keberpihakan Pemerintah dan pembiaran kecurangan adalah mencederai demokrasi, memperburuk kualitas Pilkada dan bahkan menciptakan prilaku politik amoral. Harus dilawan. Caranya, berpartisipasi dukung Paslon Anies-Sandi. 6. Bagi mereka yg percaya, pasti menjadikan Tuhan sebagai faktor penentu kemenangan Anies-Sandi. Hal ini mengingat kemampuan politik dan ekonomi pendukung Ahok-Djarot yg digunakan utk kecurangan seperti pemberian sembako, politik uang, kekerasan psikologis dan administratif terhadap Anies-Sandi dan juga keberpihakan rezim terhadap Ahok-Djarot. Semua kemampuan politik ekonomi pendukung Ahok-Djarot ini menjadi "nol" karena intervensi fihak "tak terhingga" (Tuhan). Yg terakhir ini hanya bagi mereka berpikir metafisis (meta sains), bukan ilmu pengetahuan (sains). Oleh Muchtar Effendi Harahap (NSEAS)

MENGAPA RAKYAT JAKARTA BUTUH GUBERNUR BARU? (Jawaban Edisi Ketiga)

Mengapa rakyat Jakarta butuh Gubernur baru? Jawaban inti adalah karena Gubernur lama (Ahok) tak mampu dan gagal melaksanakan urusan pemerintahan. Pertanyaan berikutnya, urusan pemerintahan apa saja Gubernur lama tidak mampu dan gagal? Inilah jawaban edisi ketiga berdasarkan urusan pemerintahan: 1.Komunikasi dan informatika: Gagal raih target capaian penyerapan anggaran alokasi APBD. Hanya mampu 69 %. Kinerja Ahok tergolong lebih buruk. Jauh utk mencapai target. 2. Pertanian: urusan pertanian memang tak tergolong issue strategis di masyarakat urban dan metropolitan seperti Jakarta. Tetapi, tetap saja Pemprov DKI harus tangani urusan pertanian. Dari sisi penyerapan anggaran, Gubernur Ahok tak mampu dan gagal raih target tercapai. Hanya mampu meraih sekitar 68 %. Angka ini sungguh rendah dan tergolong kinerja lebih buruk. Terjadi penurunan 7,66 % keluarga rata2 per tahun. Absolut penurunan terbesar pd peternakan dan terendah pd kehutanan; masing2 turun 16.096 dan 568 keluarga. Perkebunan menurun terbesar 10 thn terakhir (97,29 %). Penurunan jasa pertanian terendah ( 57,87 %) . 3.Kehutanan: Urusan ini juga mirip urusan pertanian, tidak termasuk daftar issue strategis pembangunan DKI. Namun, Pemprov DKI harus menangani urusan kehutanan. Dari sisi penyerapan anggaran, Ahok cuma mampu raih 68 % atau tergolong lebih buruk. Sungguh tak mampu menambah luas hutan. Hutan mangrove berkurang. Hutan kota masih ada, tetapi sebagian tak diurus dan terlantar. 4.Enerji dan Sumber Daya Mineral: Urusan ESDM lebih fokus pd enerji listrik. Dari standar kriteria penerapan anggaran, Ahok hanya mampu raih 52 %. Angka ini bisa disebut sebagai sangat buruk. Pd 2014 berhasil membangun 2.675 sumur. Target capaian 5.000 sumur. Hanya mampu raih sekitar 50 %. Kinerja sangat buruk. Pd 2015, tidak ada data resmi.Padahal target capaian 5.000 sumur. Intinya, Ahok juga gagal urus bidang ini. 5.Pariwisata: Jakarta adalah tujuan wisata lokal. Parawisata penting bagi sumber pendapatan Pemprov DKI. Namun, dari sisi penyerapan anggara alokasi APBD, ternyata Ahok juga tak mampu dan gagal capai target. Hanya mampu raih 78 %. Tergolong kinerja lebih buruk. Gagal urus pariwisata.Padahal permasalahan dan tantangan pariwisata sangat ringan dibanding urusan tata air, perhubungan dan infrastruktur jalan dan jembatan. 6. Kelautan dan Perikanan: Kelautan dan perikanan diharapkan sumber strategis pendapatan daerah. Tetapi, sikap Pemprov DKI diskriminatif terhadap urusan ini. Bahkan, habitat ikan tangkap diperkecil akibat pembangunan pulau palsu/reklamasi. Juga dari sisi penyerapan anggaran tergolong sangat jelek. Kemampuan raih target tercapai hanya 78 %. Angka ini tergolong lebih buruk. Tak mampu dan gagal raih target capaian ikan tangkap dan ikan hias. Hanya mampu mencapai sekitar 50 % dan tergolong sangat buruk.Urusan ini terus merugi. 7.Perdagangan: khusus perdagangan UMKM dan PKL, sikap Ahok cuma tajam ke bawah (UMKM dan PKL) dan tumpul ke atas (pengembang dan pengusaha Mal). Penggusuran usaha mikro dan PKL terus berjalan. Ahok tak mampu dan gagal juga raih target tercapai utk penyerapan anggaran. Hanya mampu 51 % dan tergolong sangat buruk. Terjadi pelambatan perdagangan dan asingnisasi tempat dagang. 8. Perindustrian: Hanya mampu raih penyerapan anggaran sekitar 75 %. Tergolong kinerja lebih buruk.Berdasarkan standar kriteria penyerapan anggaran tergolong " lebih buruk". Jelas tak mampu dan gagal urus perindustrian dari standar kriteria penyerapan anggaran. Dari sisi pengadaan sentra industri, belum berhasil dicapai target tiap tahun, tergolong "buruk" dan merugi terus. 9. Manajemen Aset: Pemprov DKI memiliki aset berupa tanah, gedung dan benda bergerak senilai Rp. 4.000 triliun. Tercatat nilai asset bermasalah Rp.30 triliun. Mayoritas aset bermasalah berupa lahan berstatus “digugat”, dimanfaatkan atau secara sengaja diambil oleh oknum tertentu.Target capaian tiap penanganan asset 250 sengketa. Ahok utk 2014-2015 saja harus 250 sengketa ditangani. Berhasilkah Ahok ? Tidak! Gagal urus ! 10. Reformasi Birokrasi (RB): Ternyata tak mampu dan gagal urus reformasi birokrasi (RB). Tak terjadi perubahan mendasar pada area2 perubahan harus menjadi sasaran. KemenPAN & RB menilai, kinerja Gubernur Ahok hanya mampu meraih predikat CC =58. Provinsi urutan ke-18. Sama dan sederajat dengan Papua Barat. Bahkan, di bawah Kalimantan Tengah. Prestasi dalam urusan akuntabilitas penerapan program kerja, dokumentasi target tujuan, dan pencapaian organisasi tergolong rendah dan tidak sebanding dengan posisi sebagai Ibukota RI. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS: Network for South East Asian Studies)

Selasa, 18 April 2017

MENGAPA RAKYAT JAKARTA BUTUH GUBERNUR BARU? (Jawaban Edisi Kedua)

Mengapa rakyat Jakarta butuh Gubernur baru? Jawaban inti adalah karena Gubernur lama (Ahok) tak mampu dan gagal melaksanakan urusan pemerintahan. Pertanyaan berikutnya, urusan pemerintahan apa saja Gubernur lama tidak mampu dan gagal? Inilah jawaban edisi kedua berdasarkan urusan pemerintahan: 1. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak:Kemampuan menyerap anggaran alokasi APBD tahun 2014 hanya sekitar 65 %. Kinerja tergolong lebih buruk. Pd 2015 kinerja merosot drastis, sangat...sangat buruk. Hanya mampu menyerap anggaran 19,18 %. Angka ini sungguh membuktikan tak mampu dan gagal urus pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. 2. KB dan Keluarga Sejahtera (KS):Tidak mampu menyerap anggaran sesuai dengan target dialokasikan di dlm APBD. Kondisi kinerja semakin tidak mampu untuk menyerap anggaran sesuai dengan target dapatkan. Hanya mampu menyerap sekitar 72 %. Tergolong lebih buruk. 3. Sosial Keamanan: Jakarta kota paling tak aman se dunia. (hasil survei Economist Intelligence Unit, 2015). Selanjutnya, Thomson Reuters Fondation akhir 2014, dari 16 kota terbesar di dunia, Jakarta berada di peringkat "kelima soal" ketidakamanan perempuan saat menaiki angkutan umum. 4. Ketenagakerjaan dan Transmigrasi: Realisasi anggaran APBD hanya 75 %. Kinerja lebih buruk. Buruh kasih nilai "konten merah" dan "Bapak Upah Murah". Upah buruh DKI selalu di bawah Bekasi dan Karawang. UMP DKI hanya Rp. 3 100.000. Padahal UMP Bekasi saja sudah Rp. 3.200.000. Kebutuhan hidup layak (KLH) di DKI minimal Rp. 3 750.000. 5. Koperasi dan UKM: Pembangunan fisik Koperasi dan UKM terlambat. Bahkan, ingkar janji kampanye Pilkada 2012 mau bangun Mal UKM dan PKL. Kemampuan penyerapan anggaran alokasi APBD hanya 67%. Kinerja tergolong lebih buruk. 50 % Koperasi mati suri. Banyak pihak membuat Koperasi bukan kebutuhan, tetapi kepentingan. Pembiaran menjamurnya Mini Market sehingga mengancam usaha UKM, termasuk PKL. 6. Penanaman Modal: Kemampuan penyerapan anggaran alokasi APBD hanya sekitar 75 %. Kinerja tergolong lebih buruk. Jumlah pelaksanaan proyek PMDN/PMD semakin menurun dari tahun2 sebelumnya. 7.Kebudayaan: Pembangunan budaya multi-kultural terkendala pembangunan fisik mangkrak atau terlambat; dan, belum optimal pemanfaatan sarana prasarana. 8.Pemuda dan Olahraga:Tak terbangun fasilitas olahraga di Taman BMW sebagai pengganti Stadion Lebak Bulus sudah dihancurkan. Juga, tidak dilaksanakan pembangunan dan rehabilitasi 4 Gedung Olahraga di 4 Kecamatan. Sedangkan bangunan lama sudah dibongkar. 9. Ketahanan Pangan: Kemampuan Pemprov DKI tiap tahun menyerap anggaran alokasi APBD urusan ketahanan pangan mencapai sekitar 65 % atau tergolong "lebih buruk". Belum mengambil langkah tegas, jelas, dan konkret dalam mengatasi persoalan pangan. Akibatnya. rakyat DKI terus direpotkan oleh masalah kenaikan harga bahan pangan. 10.Pemberdayaan Masyarakat dan Desa:Kemampuan menyerap anggaran alokasi APBD urusan pemberdayaan masyarakat dan desa sekitar 76 %/tahun atau tergolong "lebih buruk".Tak membawa dampak positif terhadap pengangguran dan kemiskinan. Hubungan tradisional dan sosial antara petugas RW dan RT terputus.(Bersambung...)A RAKYAT JAKARTA BUTUH GUBERNUR BARU? (Jawaban Edisi Kedua) Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS: Network for South East Asian Studies) Mengapa rakyat Jakarta butuh Gubernur baru? Jawaban inti adalah karena Gubernur lama (Ahok) tak mampu dan gagal melaksanakan urusan pemerintahan. Pertanyaan berikutnya, urusan pemerintahan apa saja Gubernur lama tidak mampu dan gagal? Inilah jawaban edisi kedua berdasarkan urusan pemerintahan: 1. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak:Kemampuan menyerap anggaran alokasi APBD tahun 2014 hanya sekitar 65 %. Kinerja tergolong lebih buruk. Pd 2015 kinerja merosot drastis, sangat...sangat buruk. Hanya mampu menyerap anggaran 19,18 %. Angka ini sungguh membuktikan tak mampu dan gagal urus pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. 2. KB dan Keluarga Sejahtera (KS):Tidak mampu menyerap anggaran sesuai dengan target dialokasikan di dlm APBD. Kondisi kinerja semakin tidak mampu untuk menyerap anggaran sesuai dengan target dapatkan. Hanya mampu menyerap sekitar 72 %. Tergolong lebih buruk. 3. Sosial Keamanan: Jakarta kota paling tak aman se dunia. (hasil survei Economist Intelligence Unit, 2015). Selanjutnya, Thomson Reuters Fondation akhir 2014, dari 16 kota terbesar di dunia, Jakarta berada di peringkat "kelima soal" ketidakamanan perempuan saat menaiki angkutan umum. 4. Ketenagakerjaan dan Transmigrasi: Realisasi anggaran APBD hanya 75 %. Kinerja lebih buruk. Buruh kasih nilai "konten merah" dan "Bapak Upah Murah". Upah buruh DKI selalu di bawah Bekasi dan Karawang. UMP DKI hanya Rp. 3 100.000. Padahal UMP Bekasi saja sudah Rp. 3.200.000. Kebutuhan hidup layak (KLH) di DKI minimal Rp. 3 750.000. 5. Koperasi dan UKM: Pembangunan fisik Koperasi dan UKM terlambat. Bahkan, ingkar janji kampanye Pilkada 2012 mau bangun Mal UKM dan PKL. Kemampuan penyerapan anggaran alokasi APBD hanya 67%. Kinerja tergolong lebih buruk. 50 % Koperasi mati suri. Banyak pihak membuat Koperasi bukan kebutuhan, tetapi kepentingan. Pembiaran menjamurnya Mini Market sehingga mengancam usaha UKM, termasuk PKL. 6. Penanaman Modal: Kemampuan penyerapan anggaran alokasi APBD hanya sekitar 75 %. Kinerja tergolong lebih buruk. Jumlah pelaksanaan proyek PMDN/PMD semakin menurun dari tahun2 sebelumnya. 7.Kebudayaan: Pembangunan budaya multi-kultural terkendala pembangunan fisik mangkrak atau terlambat; dan, belum optimal pemanfaatan sarana prasarana. 8.Pemuda dan Olahraga:Tak terbangun fasilitas olahraga di Taman BMW sebagai pengganti Stadion Lebak Bulus sudah dihancurkan. Juga, tidak dilaksanakan pembangunan dan rehabilitasi 4 Gedung Olahraga di 4 Kecamatan. Sedangkan bangunan lama sudah dibongkar. 9. Ketahanan Pangan: Kemampuan Pemprov DKI tiap tahun menyerap anggaran alokasi APBD urusan ketahanan pangan mencapai sekitar 65 % atau tergolong "lebih buruk". Belum mengambil langkah tegas, jelas, dan konkret dalam mengatasi persoalan pangan. Akibatnya. rakyat DKI terus direpotkan oleh masalah kenaikan harga bahan pangan. 10.Pemberdayaan Masyarakat dan Desa:Kemampuan menyerap anggaran alokasi APBD urusan pemberdayaan masyarakat dan desa sekitar 76 %/tahun atau tergolong "lebih buruk".Tak membawa dampak positif terhadap pengangguran dan kemiskinan. Hubungan tradisional dan sosial antara petugas RW dan RT terputus.(Bersambung...) Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS: Network for South East Asian Studies)

MENGAPA RAKYAT JAKARTA BUTUH GUBERNUR BARU? (Jawaban Edisi Pertama)

Mengapa rakyat Jakarta butuh Gubernur baru? Jawaban inti adalah karena Gubernur lama (Ahok) tak mampu dan gagal melaksanakan urusan pemerintahan. Pertanyaan berikutnya, urusan pemerintahan apa saja Gubernur lama tidak mampu dan gagal? Inilah jawaban edisi pertama: 1. Pendapatan daerah: Tak pernah berhasil raih target capaian alias gagal melulu. Hanya mampu realisasi rencana pendapatan daerah sekitar 70 %, tergolong kinerja lebih buruk. 2. Belanja daerah: Juga tak mampu raih target capaian. Hanya mampu raih sekitar 65 %, kinerja sangat buruk. 3. Pendidikan: Tahun 2016, proyek rehabilitasi 45 sekolah mangkrak. Lebih 40 % rakyat Jakut usia sekolah, tidak menikmati pendidikan di SLTA . 4. Kesehatan:Gagal berat raih target capaian penyerapan anggaran. Hanya 47% tercapai.Belum optimal sistem pelayanan kesehatan; masih terbatas jumlah dan kualitas pelayanan RS dan Puskesmas. Dapatkan AHH hanya sekitar 70 thn, masih kurang 5 tahun. Kinerja sangat.. sangat buruk. 5.Pekerjaan umum: Gagal berat raih target capaian penyerapan anggaran. Hanya 47% tercapai. Kinerja sangat.. sangat buruk. Ada 44 proyek konstruksi mangkrak. 6.Perumahan rakyat: Tak sama sekali sediakan perumahan hak milik kepada rakyat DKI, kecuali Rusunawa. Itupun gagal. Target rencana 45.000 unit Rusunawa, hanya tercapai sekitar 1.500 unit. Gagal total. 7.Perhubungan: Rencana pembangunan 3 koridor busway belum terealisir. Penyediaan armada busway target jauh tercapai, bahkan 180 unit dimusnahkan. Proyek LRT mangkrak, diambilalih Pemerintah. Luas jalan terbangun, masih sangat minim jauh dibawah target. Jumlah jembatan terbangun juga masih jauh dibawah target. Target tercapai 1.000 armada angkutan umum diremajakan, gagal total. 4 tahun ini hanya tercapai kurang 400 unit diremajakan. Sangat...sangat buruk. 7.Lingkungan hidup: Penyerapan anggaran hanya 46 %, sangat buruk. Pembangunan RTH, gagal total, realisasi pembelian lahan nol. Tidak pernah dapat Penghargaan Adipura, kecuali satu kota Jakarta Pusat. Padahal era Fauzi Bowo semua kota dapat Adipura. 8.Kemacetan: issue strategis tahunan kemacetan tak mampu terpecahkan, bahkan meningkat. Jakarta kota termacet se dunia. 9.Banjir: Issue strategis banjir terus terjadi. Bahkan, cukup merata di sejumlah Ibukota. Tahun 2016 terjadi banjir terbesar sejak 2007. Banjir jalan terus dan belum berkurang signifikan. 10. Perumahan Kumuh: Untuk memecahkan issue strategis kawasan dan perumahan kumuh, dibuat program penataan ulang, bukan penggusuran paksa. Fakta: pilihan Ahok adalah penggusuran paksa. Dinilai LBH dan Komnasham, telah melanggar HAM. Gagal urus penataan ulang perumahan kumuh.(Bersambung...) Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS: Network for South East Asian Studies)

Minggu, 16 April 2017

ISSUE STRATEGIS KEMACETAN DKI: GUBERNUR LAMA GAGAL, GUBERNUR BARU HARUS BERHASIL

Sebagaimana banjir dan kawasan kumuh, kemacetan lalu lintas darat juga sebagai issue strategis tahunan di DKI. Hingga kini Gubernur Ahok tak mampu dan gagal urus kemacetan ini. Data, fakta dan angka berikut ini dapat membuktikan asumsi dasar ttg Gubernur lama ini. Gubernur baru DKI mendatang harus berhasil memecahkan issue strategis ini. Gubernur Ahok ternyata tak mampu dan gagal memecahkan issue strategis ttg kemacetan lalu lintas darat. Bahkan, seminggu terakhir ini semakin dahsyat kemacetan. Pekerjaan konstruksi jalan di beberapa tempat tanpa pengelolaan lingkungan, dibiarkan begitu saja menimbulkan dampak negatif berat terhadap kelancaran lalu lintas. Contoh konkretnya, di lalu lintas di sekitar Pancoran, Jaksel. Secara umum hampir semua ruas jalan arteri mengalami kemacetan. Sebelumnya Jakarta mendapat predikat buruk “Kota Paling Berbahaya”, kini mendapat predikat buruk lain: “Jakarta menjadi Kota paling macet se Dunia. Menurut indeks Stop-Start Magnatec Castrol, rata2 sebanyak 33.240 kali proses berhenti-jalan per hari diJakarta. Perhatikanlah penilaian beberapa orang di bawah ini: 1. Kemacetan lalu lintas saat ini semakin bertambah parah. Ini bukti kegagalan Ahok tidak mampu mengatasi kemacetan. Rahman, warga Kramat Jati, Jaktim (2/6-2016) mengakui, perjalanan dari rumah ke kantor di bilangan Jl.Sudirman bisa mencapai tiga jam. Sebelumnya paling lama satu setengah jam. (porosjakarta. com). 2. Gagal menyiapkan sistem transportasi kota dan mengatasi kemacetan. Sehingga banyak masyarakat yang akhirnya memilih menggunakan kendaraan pribadi dan justru memperparah kemacetan (www.koeranpoerjoeangan) 3. Pendukung buta Shok merilis video, Kemacetan bertambah parah dengan karena pembangunan transportasi jangka panjang dikerjakan sekaligus: a. MRT Jakarta Koridor I (lebak Bulus - HI) selesai 2018; b. LRT Kebayoran lama- kelapa gading dan Tanah abang Pulomas selesai tahun 2018; c. Transjakarta Koridor layang (Ciledug-Tendean) selesai 2016. Sikap ngeles pendukung buta Ahok ini mari diuji, apa benar Ahok membodohi rakyat Jakarta terkait cuci tangannya dalam kegagalan mengatasi kemacetan ? Mari buat pertanyaan sederhana : 1. Apa benar Jakarta macet hanya karena ketiga proyek itu ? 2. Apa benar kemacetan hanya terjadi disekitar pelaksanaan ketiga proyek tersebut ? 3. Apakah daerah lain selain wilayah pembangunan tersebut tidak terjadi kemacetan ? Beragam program di buat dan dilaksanakan semata utk pecahkan masalah kemacetan. Pertama, pembangunan busway. Pemprov DKIternyata tidak mampu mencapai target pengadaan busway. Pd 2013 direncanakan 310 unit gagal, terealisir hanya 125 unit (89 unit articulated bus dan 36 unit singgle bus). Pd 2014, penambahan busway hanya dari hibah 30 unit sehingga jumlah busway menjadi 822 unit. Pd 2015, pengadaan busway 75 unit. Target Ahok 725 unit busway (2013-2015), tercapai hanya 227 unit. Kinerja Ahok sangat buruk (kurang 50 %). Pd 2017 total busway tersedia ditargetkan sekitar 1.300 unit. Pd 2015 baru ada total 996 unit. Sementara pada 2015 telah dihancurkan 180 unit dinilai sudah tidak laik. Maka tinggal sekitar 816 unit. Pembangunan 3 Koridor juga gagal. 1 koridor masih tahap konstruksi, telat waktu operasional. 2 koridor lain bahkan tidak ada kegiatan pra konstruksi sama sekali. Dari waktu tunggu Busway, target rata2 3 menit. Masih jauh amat tercapai. Kini rata2 masih 10-30 menit. Kedua, program peremajaan 1.000 bus angkutan umum per tahun. Pd akhir 2017, telah teremajakan 5.000 unit. Faktanya? Kini hanya mampu remajakan di bawah 400 unit. Di lapangan, kendaraan umum tidak laik masih banyak berseweran di jalanan. Ahok tak mampu dan gagal laksanakan program ini. Ketiga, Program ganjil-genap pengfanti kawasan 3 in 1 yg sudah 12 tahun. Program ini justru menambah kemacetan sekitar 25%. Rakyat Jakarta seperti menjadi kelinci percobaan. Keempat, program penertiban parkir liar kendaraan dgn cabut pentil. Faktanya? Hanya sesaat, tidak lanjut, bahkan dijadikan parkir resmi bayar Rp.5000/jam. Mau bukti? Jalan2 ke Kampus Al Azhar berhadapan kantor Kemenpupr di Jaksel. Dulu kendaraan parkir dikempesi bannya.Kini malah dilegalkan parkir liar itu. Kelima, program LRT (KA ringan). Faktanya, proyek ini diambilalih Pemerintah (Pusat) alias mengkrak. MRT bukanlah proyek milik Pemprov DKI, tetapi Pemerintah (Pusat). Itupun urusan pembebasan lahan belum tuntas oleh Gubernur Ahok, terutama di sepanjang Jl. Fatmawati. Ke enam, program Denda parkir dan tilang yang mahal sampai Rp.500 ribuan. Juga program Gusur Pedagang dan Jakarta Smart City. Kemacetan bahkan semakin meningkat. Intinya, Ahok tak mampu dan gagal pecahkan masalah kemacetan. Padahal kemacetan disadari sbg issue strategis pembangunan DKI. Gubernur baru DKI harus berhasil. Perlu kerja terfokus dan selalu konsekuen dgn program atasi kemacetan telah disepakati dgn DPRD. Ini tantangan berat bagi Gubernur baru. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

Sabtu, 15 April 2017

GUBERNUR BARU DKI HARUS MAMPU MENAMBAH RUANG TERBUKA HIJAU DI ATAS KEMAMPUAN FAUZI BOWO

Pemprov DKI Jakarta dibawah Gubernur Ahok tak mampu dan gagal menambah Ruang Terbuka Hijau (RTH). Dibandingkan sebelumnya, Gubernur Fauzi Bowo, kondisi kinerja Ahok lebih buruk. Kualitas RTH DKI merosot di bawah Ahok. Karena itu, untuk kedepan Gubernur baru DKI harus lebih unggul ketimbang Gubernur Fauzi Bowo urus penambahan RTH. Jangan gunakan pengalaman kerja Ahok sebagai standar kriteria atau dasar susun target capaian tiap tahun. Sebab kemampuan Ahok masih dibawah Fauzi Bowo urusan bidang ini. RTH (Ruang Terbuka Hijau) adalah suatu bentuk pemanfaatan lahan pada satu kawasan yang diperuntukan untuk penghijauan tanaman. RTH ideal yakni 40% dari luas wilayah. RTH ini berfungsi sebagai: 1. Sarana lingkungan dan perlindungan habitat tertentu atau budidaya pertanian. 2. Meningkatkan kualitas atmosfer. 3. Menunjang kelestarian air dan tanah. Bentuk RTH biasanya mencakup RTH Konservasi/Lindung dan RTH Binaan. Berdasarkan Perda No.2 Tahun 2012 ttg RPJMD DKI Jakarta 2013-2017, peningkatan RTH publik dan privat. Urusan lingkungan hidup: menambah RTH publik al.melalui penyediaan dan pembelian lahan baru dan penggalangan peran swasta dalam penyediaan RTH Publik. Pada tahun 2012, jumlah RTH dikembangkan masyarakat 10 lokasi. Target capaian tiap tahun dibawah Pemprov DKI periode 2013-2017, yakni 20 lokasi masing2 tahun 2013,2014, 2015, 2016 dan 2017. Pada akhir periode 2017, DKI sudah memiliki total 110 lokasi RTH. Selanjutnya, terdapat program peningkatan RTH pertanian dan kehutanan. Era Gubernur Fauzi Bowo 2012 sudah ada minimal 640, 84 Ha. Pada akhir 2017 target capaian DKI sudah memiliki total luas lahan hutan kota yang dikembangkan minimal 665, 84 Ha. Sumber LPPD DKI Jakarta 2007-2012 menunjukkan, Gubernur Fauzi Bowo mampu mampu menambah RTH 108.11 Ha sepanjang 2007-2011 (27.027 Ha/tahun). Apa prestasi Pemprov DKI Jakarta 2013-2017 ? Faktanya, telah mengalami kegagalan dalam membuka RTH secara optimal. Selama 2013-2015, Pemprov DKI Jakarta hanya mampu menambah RTH seluas 73.43 Ha (24.28 Ha/tahun). Jika dibandingkan dengan Pemprov DKI sebelumnya di bawah Gubernur Fauzi Bowo, capaian Gubernur Ahok tergolong lebih buruk. Terdapat juga penilaian pada 2016, program penambahan RTH dengan melakukan pembelian lahan realisasinya nol. Padahal ditentukan, untuk pembangunan RTH ini harus disediakan dan dibeli lahan baru. Bukan gunakan lahan sudah ada milik Pemprov DKI. Selama ini pendukung buta Ahok membanggakan pembangunan RPTRA sebagai prestasi Ahok. Betulkah? Tidak juga ! RPTRA (Ruang Publik Terpadu Ramah Anak) adalah konsep ruang publik berupa RTH atau taman dilengkapi permainan menarik, pengawasan CCTV, dan ruangan melayani kepentingan komuniti di sekitar RPTRA, seperti ruang perpustakaan, PKK Mart, ruang laktasi, dll. RPTRA dibangun sebagian besar menggunakan sumbangan dana Corporate Social Responsibility (CSR). Peran Pemprov DKI menyediakan lahan. Ditargetkan pada 2017, 300 RPTRA telah terbangun di DKI. Pendukung buta Ahok pernah mengkalim, Ahok telah membangun 150 lebih RPTRA. Bohong besar !!!. Selama Ahok berkuasa baru belasan RPTRA selesai, bukan 150 lebih. Untuk RPTRA sudah dibangun, ternyata tidak membeli tanah sesuai regulasi DKI. Sudah tersedia tanah sebelumnya.Padahal ketentuan mengharuskan penyediaan dan pembelian lahan baru. Bahkan, bangunan RPTRA dibiayai dengan dana CSR perusahaan developver yang dipertukarkan dengan pemberiaan wewenang reklamasi pantai Utara untuk kepentingan bisnis para developer tersebut. Itupun waktu Ahok mau resmikan RPTRA, rakyat setempat usir Ahok. Sesuai target tercapai pembangunan 300 RPTRA pd akhir tahun 2017, dan kini sudah 2017 baru belasan RPTRA terbangun. Apa kesimpulan ? Gubernur Ahok tak mampu dan gagal total urus pembangunan RPTRA. Gubernur baru DKI mendatang harus mampu melaksanakan pembangunan RTH dan RPTRA sesuai target capaian menurut regulasi. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

Kamis, 13 April 2017

GUBERNUR BARU HARUS MAMPU RAIH PENGHARGAAN ADIPURA

Gubernur Ahok juga tak punya prestasi dan gagal urusan lingkungan hidup. Apa indikatornya? Tidak mampu raih "Penghargaan Adipura" dari Kementerian LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Pendukung buta Ahok (buta data, buta fakta dan buta angka), boleh saja klaim bawah Gubernur Ahok berprestasi bersihkan Kali di Jakarta. Tatkala Pemprov DKI dipimpin Gubernur Fauzi Bowo, Jakarta selalu meraih Penghargaan Adipura.Pada tahun 2012 saja berhasil mengantar 4 Kotamadya meraih piala Adipura & 1 Kotamadya sertifikat Adipura serta meraih Penghargaan Adipura terbanyak, termasuk penghargaan pasar terbaik, taman kota terbaik, & status lingkungan hidup terbaik. Apa itu penghargaan Adipura? Adipura, adalah sebuah penghargaan bagi kota di Indonesia yang berhasil dalam kebersihan serta pengelolaan lingkungan perkotaan. Adipura diselenggarakan oleh Kementerian LHK. Mengacu PermenLH No.07 thn 2011 ttg Pedoman Pelaksanaan Program Adipura, ada 2 parameter penilaian: non fisik dan fisik terhadap ,(1) pengelolaan sampah dan ruang terbuka hijau, (2) pengendalian pencemaran air, dan (3) pengendalian pencemaran udara. Pd 2016 Kementerian LHK mereformulasi Penghargaan Adipura dengan strategi "Rebranding Adipura,". Salah satu proses penilaian harus dilalui Bupati/Walikota nominator penerima Adipura adalah presentasi dan wawancara di depan Dewan Pertimbangan Adipura, praktisi pengelolaan sampah dan bidang pemasaran, pejabat KLHK, akademisi perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, serta rekan-rekan media massa. Selanjutnya diterbitkan Permen LHK No. P.53/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/ 2016 ttg Pedoman Pelaksanaan Program Adipura. PermenLHK ini bertujuan mendorong penyelesaian issue lingkungan hidup: (1) Pengelolaan Sampah dan Ruang Terbuka Hijau, (2) Pemanfaatan Ekonomi dari Pengelolaan Sampah dan RTH, (3) Pengendalian Pencemaran Air, (4) Pengendalian Pencemaran Udara, (5) Pengendalian Dampak Perubahan Iklim, (6) Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Akibat Pertambangan, (7) Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, serta (8) Penerapan Tata Kelola Pemerintahan yang baik. Kinerja Gubernur Ahok sangat buruk. Pd 2014-2016, dari lima Kota dan satu Kabupaten, DKI hanya mampu meraih 1 (satu) Piagam Adipura, yaitu Jakarta Pusat. Kinerja buruk urusan lingkungan hidup ini dapat dibuktikan dgn studi banding kota2 raih Penghargaan Adipura 2016. Ada tiga kategori: 1. Adipura Buana, 2. Adipura Kirana, dan 3. Adipura Paripurna. Daerah mana saja? Pertama, kota peraih Adipura Buana, penghargaan Adipura pada kota/ibukota Kabupaten layak huni (livable city). Yakni: Pasuruan, Sukabumi, Payakumbuh, Ambon, Kendari, Banyuwangi, Lahat, Baubau, Blitar, Tanjungpinang, Pematangsiantar, Bitung, Pati, Nganjuk, Waringinbarat , Bintan, Kotamobagu, Deliserdang, Hulusungaitengah, Biaknumfor, Mojokerto, Tabanan, Pacitan, Indramayu, Maros, Langkat, Tanjungbalai, Bulukumba, Sragen, Tabalong, Madiun, Tapin, Hulusungaiselatan , Siak, Tidorekepulauan, dan Pinrang. Data ini tanpa ibukota Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI. Kedua, Kota Peraih kategori Adipura Kirana, penghargaan Adipura diberikan kepada kota/ibukota kabupaten mampu mendorong pertumbuhan ekonomi melalui trade, tourism, and investment berbasis pengelolaan lingkungan hidup (attractive city).Peraih yakni: Tangerang, Semarang, Palembang, Bandung, Makassar, Jakarta Pusat ( DKI Jakarta) Malang, Cimahi, Banjarmasin, Denpasar, Jambi, Surakarta, Madiun, Jombang, Bukittinggi, Banyumas, Sidoarjo, Magelang, Probolinggo, Jayapura, Mojokerto, Karimun, Kudus, Banda Aceh , Banjarbaru, Salatiga, Jepara, Bontang, Gorontalo, Parepare, Lamongan, Banjar, Prabumulih, Bojonegoro, Ciamis, Malang, Tuban, dan Banjar. Data ini terdapat Kota Jakpus, tetapi tanpa Jaktim, Jaksel, Jakbar, Jakut. Hanya satu kita dari lima kota DKI peraih Adipura Kirana. Ketiga, kategori Adipura Paripurna, penghargaan tertinggi terhadap kota/ibukota kabupaten telah mampu memberikan kinerja terbaik untuk kedua kategori Adipura di atas, yaitu Adipura Buana dan Adipura Kirana. Adipura Paripurna 2016 diberikan kepada: Surabaya , Balikpapan , dan Tulungagung.Tiada satupun kota di DKI peraih Adipura ini. Tragis memang mengingat Jakarta Ibukota RI. Data dan fakta di atas mempertegas, Gubernur Ahok tak mampu dan gagal meraih Penghargaan Adipura disetiap kategori. Gubernur baru sebagai pengganti, harus mampu meraih semua kategori penghargaan Adipura. Inilah indikator paling obyektif untuk menilai prestasi atau kegagalan Gubernur baru mendatang urus lingkungan hidup. Kalau Gubernur lama sih sudah jelas tak mampu dan gagal. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

Rabu, 12 April 2017

URUSAN KOPERASI DAN UKM, GUBERNUR BARU JANGAN GAGAL SEPERTI GUBERNUR LAMA

Salah satu urusan pemerintahan bermanfaat langsung bagi rakyat DKI yakni Koperasi dan UKM (Usaha Kecil dan Menengah). Dua bentuk usaha ekonomi ini acapkali disebut sebagai bagian ekonomi rakyat. Kadangkala ada pengamat ekonomi menyebut sebagai "ekonomi pribumi". Sebagian besar usaha rakyat DKI berada di dalam bentuk ekonomi rakyat atau ekonomi pribumi ini. Dibandingkan Usaha Atas, jumlah rakyat DKI terserap di ekonomi menengah bawah ini dominan. Karena itu, sangat penting Pemprov DKI bekerja untuk ekonomi rakyat atau ekonomi pribumi ini. Tidak hanya slogan "kerja...kerja...kerja nyata untuk rakyat", tetapi dalam realitas obyektif lebih bekerja untuk usaha atas (perusahaan besar) seperti pengembang,dll. Pertanyaannya, apakah Pemprov DKI Jakarta 2013-2017 bekerja untuk ekonomi rakyat dimaksud? Tidak juga !!! Dari parameter penyerapan anggaran alokasi APBD bidang Koperasi dan UKM tiap tahun dapat membuktikan jawaban "tidak juga". Pada tahun 2013 Pemprov DKI dibawah Gubernur Jokowi merencanakan anggaran alokasi APBD untuk Koperasi dan UKM sebesar Rp. 499,9 miliar. Namun, total penyerapan yang mampu dilaksanakan Gubernur Jokowi hanya Rp. 186,8 miliar atau hanya 37,31 %. Angka 37 % ini sungguh sangat...sangat rendah dan buruk. Kondisi kinerja Pemprov DKI dinilai dari penyerapan anggaran ini tergolong sangat...sangat buruk. Angka sekaligus membuktikan kegagalan dan sangat kurang perhatian Pemprov DKI terhadap urusan Koperasi dan UKM. Pada tahun 2014, anggaran alokasi APBD urusan Koperasi dan UKM menurun drastis hingga lebih Rp. 100 miliar, yakni Rp.355,6 miliar. Adapun total penyerapan target capaian ini hanya Rp.146 miliar atau 41, 07 %. Angka ini sungguh menunjukkan Pemprov DKI Jakarta 2014 gagal berat mencapai target alokasi APBD. Kondisi kinerja Pemprov DKI dibawah Gubernur Ahok adalah sangat buruk. Rencana alokasi APBD 2015 urusan Koperasi dan UKM juga terus menurun sekitar Rp.100 miliar yakni Rp. 266,7 miliar. Total penyerapan hanya Rp. 181, 3 atau 67 %, lebih tinggi ketimbang tahun 2014 (41,07 %). Hal ini menunjukkan Gubernur Ahok gagal mencapai target alokasi APBD. Kondisi kinerja Pemprov DKI tergolong lebih buruk. Rata2 kemampuan Pemprov DKI menyerap anggaran alokasi APBD bidang Koperasi dan UKM yakni sekitar 40% tergolong "sangat buruk". Baik Gubernur Jokowi maupun Ahok keduanya gagal meraih target capaian. Karena itu, Gubernur baru DKI mendatang jangan sampe gagal seperti Gubernur lama ini. Sesungguhnya kepedulian Pemprov DKI 2013-2017 terhadap ekonomi rakyat ini sungguh sangat rendah. Ada sejumlah fakta dapat dijadikan bukti atas asumsi ini. Salah satunya adalah penggusuran PKL. Ada semacam ingkar janji kampanye. Saat Pilkada DKI 2012, Jokowi berjanji tidak ada lagi penggusuran PKL. Faktanya? Penggusuran PKL jalan terus. Bahkan, penggusuran dilakukan Gubernur Ahok tanpa disertai ganti rugi memadai. Ada penggusuran PKL tidak diberikan ganti rugi, baik uang maupun bangunan. PKL mendapat ganti relokasi, tempat relokasi tidak sempurna sehingga membuat pedagang bangkrut. Alih-alih memperbaiki, Ahok malah mengancam akan menendang PKL yang mengeluh. Gubernur baru DKI jangan ikuti praktek penggusuran PKL oleh Gubernur lama. Gubernur baru harus memiliki cita2 untuk mengembangkan PKL dalam perspektif ekonomi pribumi.Yakni ekonomi terbebas dari tekanan dan penghisapan klas kapitalis kuat lokal, nasional dan internasional. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

Selasa, 11 April 2017

KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA, GUBERNUR BARU DKI JADIKAN URUSAN PENTING

Urusan komunikasi dan informatika menjadi urusan penting dalam pembangunan di Jakarta. Kemajuan tekhnologi komunikasi dan informatika dalam era globalisasi sekarang ini mempermudah baik waktu maupun ruang memecahkan permasalahan pemerintahan dan rakyat DKI. Dengan kemajuan tekhnologi ini tentu juga mempermudah reformasi birokrasi (RB) atau penyebab prinsip2 tata lola yang baik (good governance). Namun, harus disadari paling penting adalah perubahan mindset atau pola pikir dari suka dilayani menjadi suka melayani publik. Inilah salah satu prinsip dasar RB. Salah satu urusan pemerintahan DKI yakni komunikasi dan informatika. Sejauh mana prestasi Pemprov DKI Jakarta 2013-2017 dlm melaksanakan urusan komunikasi dan informatika? Inilah data, fakta dan angka parameter penyerapan anggaran APBD urusan komunikasi dan informatika. Pada 2013, Pemprov DKI dibawah Gubernur Jokowi, anggaran urusan komunikasi dan informatika alokasi APBD sebesar Rp. 133,8 miliar. Sedangkan total penyerapan mencapai Rp. 111,6 atau 83,42 %. Angka 83,42 % ini menunjukkan Pemprov DKI gagal mencapai target alokasi APBD. Kondisi kinerja Gubernur Jokowi tergolong "buruk". Pada 2014 alokasi APBD urusan komunikasi dan informatika sebesar Rp. 267,4 miliar. Total penyerapan Rp. 185 miliar atau 69,17%. Era Gubernur Ahok menunjukkan semakin gagal mencapai target alokasi APBD. Kondisi kinerja Gubernur Ahok tergolong "lebih buruk". Pada 2015 masih era Ahok, capaian realisasi anggaran alokasi APBD urusan komunikasi dan informatika hanya sedikit berbeda dibandingkan capaian 2014. Rencana alokasi APBD Rp. 308,8 miliar. Total penyerapan Rp. 215,3 miliar atau 69,72%. Hal ini menunjukkan Gubernur Ahok masih gagal mencapai target alokasi APBD 2015 urusan komunikasi dan informatika. Kondisi kinerja Gubernur Ahok juga tergolong "lebih buruk". Pada dasarnya Pemprov DKI juga gagal berdasarkan parameter tingkat penyerapan anggaran APBD urusan terkait. Kondisi kinerja tergolong "lebih buruk". Salah satu program bidang komunikasi dan informatika adalah komunikasi, data dan opini publik. Khusus "opini publik" bermakna kegiatan respon Pemprov DKI terhadap opini publik baik negatif maupun positif ttg urusan pemerintahan dan rakyat DKI. Pemprov DKI tidak hanya menjadikan saluran media untuk merespon opini publik, tetapi juga pimpinan Pemprov DKI itu sendiri. Selama ini, opini publik negatif terhadap kebijakan urusan pemerintahan dan rakyat DKI seperti penggusuran paksa permukiman, reklamasi, penggusuran PKL cenderung tidak direspon positif oleh Pemprov DKI, terutama era Gubernur Ahok. Acapkali justru merespon negatif opini publik, bahkan menentang opini publik. Saluran media digunakan membangun opini publik untuk menjustifikasi prilaku politik dan kebijakan politik sesungguhnya tidak disukai kebanyakan rakyat. Gubernur baru DKI harus meningkatkan respon terhadap opini publik sekalipun bertentangan dengan kepentingan, kemauan, dan kehendak Pemprov DKI. Opini publik sangat penting diperhatikan karena kepentingan. Masyarakat madani akan tercermin dibedakan opini publik tsb. Kebijakan publik mengharuskan Gubernur baru memenuhi kepentingan masyarakat berdasarkan opini publik. Tentu saja kepentingan negara, dunia usaha dan lingkungan juga harus dipenuhi. Gubernur baru tidak boleh menghindari apalagi apriori menentang opini publik. Harus mampu dan sukses mengelola opini publik sebagai kekuatan untuk urusan pemerintahan. Merespon opini publik membutuhkan saluran media. Namun, juga dibutuhkan kemampuan pimpinan Pemprov DKI sesuai bidang masing2 respon terhadap opini publik tsb. Intinya, Gubernur baru harus menjadikan komunikasi dan informatika ini urusan penting. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

GUBERNUR BARU DKI HARUS MAMPU CAPAI TARGET ANGGARAN PERDAGANGAN DAN BANGUN MAL PKL & UMKM

Ketidakmampuan dan kegagalan Pemprov DKI tahun 2013-2017 (era Gubernur Jokowi dan Ahok) juga berlaku pada urusan pelayanan di bidang perdagangan. Salah satu indikator adalah tingkat pencapaian target penyerapan atau realisasi anggaran APBD urusan perdagangan tiap tahun. Kecenderungan kegagalan di bidang perdagangan ini sesungguhnya relevan dgn kegagalan di bidang ekonomi rakyat yakni koperasi, mikro, kecil, menengah dan juga PKL (Pedagang kaki lima).Sangat rendah sikap pemihakan terhadap ekonomi rakyat. Tetapi, jika terkait kepentingan pengusaha besar apalagi pengembang besar, khususnya era Gubernur Ahok sangat memihak. Buktinya, penggusuran paksa rakyat DKI berlokasi dekat perumahan/Apartemen atau Mal milik pengembang besar dan juga pembangunan pulau2 palsu di Utara Jakarta. Juga lemahnya penegakan hukum terhadap pengelola atau pemilik Mal yg tidak melaksanakan regulasi tentang penyediaan 20 % ruang untuk PKL & UMKM. Tajam ke bawah, tumpul ke atas !!! Sesungguhnya untuk pelayanan di bidang perdagangan ini, Pemprov DKI dapat berbuat banyak, antara lain: pembinaan dan pelatihan, pendanaan dlm bentuk dana bergulir, dan proteksi terhadap pelaku bisnis terutama pengusaha PKL & UMKM. Selain itu, juga dapat dilakukan pembangunan fasilitas perdagangan seperti pembangunan lokasi binaan, penataan pasar tradisional dan pembangunan Mal khusus utk PKL & UMKM. Khusus terakhir ini pernah dijanjikan Paslon Jokowi-Ahok saat kampanye Pilkada DKI 2012 lalu. Tapi, mereka ingkar ! Pada dasarnya semua bentuk kegiatan tsb cenderung diabaikan Pemprov DKI yg hanya sibuk urus penggusuran paksa rakyat DKI dan pembangunan pulau2 palsu/reklamasi. Salah satu indikator kegagalan Pemprov DKI yakni penyerapan anggaran alokasi APBD urusan perdagangan tiap tahun. Terjadi kesenjangan berarti antara target capaian dan apa yg telah dicapai. Pada tahun 2013 Pemprov DKI di bawah Gubernur Jokowi merencanakan anggaran alokasi APBD sebesar Rp. 175,8 miliar. Sementara total penyerapan Rp. 156, 6 atau hanya 89,09 %. Data ini menunjukkan Pemprov DKI belum mampu mencapai target alokasi APBD 2013 urusan perdagangan. Kondisi kinerja Pemprov DKI tergolong buruk. Pada tahun 2014, Ahok menjadi Gubernur pengganti Jokowi. Rencana alokasi APBD menurun drastis hanya Rp.22 miliar. Meskipun begitu, total penyerapan juga tidak mencapai target, hanya Rp.14,6 miliar atau 66,29 %. Hal ini menunjukkan betapa buruknya prestasi. Sudah diturunkan drastis rencana anggaran, tapi masih tak mampu. Sangat jauh rendahnya kemampuan Ahok ketimbang Jokowi. Semakin rendah kemampuan mencapai target alokasi APBD 2014 urusan perdagangan di bandingkan capaian 2013. Kondisi kinerja Gubernur Ahok tergolong "lebih buruk". Pada tahun 2015, masih Gubernur Ahok, rencana alokasi APBD urusan perdagangan sebesar Rp.29 miliar. Sedikit lebih besar dibanding tahun 2014. Namun, total penyerapan sangat rendah, hanya Rp.10,5 miliar atau 36 %. Hal ini menunjukkan Gubernur Ahok semakin gagal mencapai target alokasi APBD urusan perdagangan di bandingkan capaian sebelumnya. Kondisi kinerja Gubernur Ahok "sangat...sangat buruk", jauh dibawah 50 %. Betapa rendahnya kemampuan kepemimpinan Ahok urus bidang perdagangan ini. Untuk menyerap atau menggunakan dana sudah ada saja tidak mampu. Padahal dana untuk urusan perdagangan cuma puluhan miliar rupiah, belum pada tingkat ratusan miliar atau triliunan rupiah. Kalau urusan penyerapan dana CSR dan reklamasi sebagai kegiatan di luar atau off budget, nampaknya Ahok cepat dan mampu. Padahal kegiatan itu sangat mungkin syarat korupsi. Rata2 kemampuan Pemprov DKI menyerap anggaran alokasi APBD urusan perdagangan yakni sekitar 61% pertahun atau lebih buruk. Kalau hanya era Gubernur Ahok (2014-2015) sangat rendah yakni sekitar 50 % atau sangat buruk. Pengalaman Gubernur Ahok urus perdagangan ini sangat tak layak dijadikan contoh praktis untuk Gubernur baru DKI mendatang. Dari sisi penyerapan anggaran, Gubernur baru harus mampu mencapai target minimal jumlah anggaran Rp. 175 miliar, sedikit di atas anggaran tahun 2013. Khusus untuk program, Gubernur baru harus sungguh2 melaksanakan program bantuan teknis, dana bergulir dan proteksi terutama bagi PKL & UMKM. Juga, Gubernur baru perlu bangun Mal PKL & UMKM. Hal ini untuk meneruskan janji kampanye Gubernur lama yg diingkari. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

Senin, 10 April 2017

GUBERNUR BARU DKI JANGAN IKUTI GUBERNUR LAMA: TAJAM KEBAWAH DAN TUMPUL KE ATAS

Kalangan pendukung buta Ahok (buta data, buta fakta dan buta angka) acapkali klaim, Gubernur Ahok "kerja nyata untuk rakyat". Dibangun citra tanpa data, fakta dan angka, selama ini Gubernur Ahok beda dgn Gubernur sebelumnya. Jika ada fihak klaim, Gubernur Ahok tak layak jadi Gubernur DKI, fihak tersebut langsung dituduh pendukung koruptor. Setiap ada fihak menolak kebijakan Ahok, langsung dituduh sbg org tidak mau Jakarta maju. Dibangun citra seakan Ahok kerja nyata utk Jakarta maju. Padahal, sebaliknya, Jakarta "merugi" dipimpin Gubernur Ahok. Kondisi sosial ekonomi rakyat DKI justru terus merosot di bawah Gubernur Ahok. Komponen rakyat berupa PKL (Pedagang Kaki Lima), Mikro dan Kecil khususnya mengalami kondisi kian merosot. Pemprov DKI dibawah Gubernur Ahok tak pro rakyat, lemah ke Pengelola Mal, dan gusur paksa PKL, Mikro dan Kecil. Inilah sebagian bukti sikap Gubernur Ahok dimaksud. Gubernur Ahok tidak memproteksi apalagi mengembangkan usaha PKL, mikro dan kecil. Apa buktinya? Pertama, Pemprov DKI membiarkan menjamurnya dan tumbuh pesat Mini Market atau usaha retail di wilayah DKI. Hal ini telah mengancam usaha PKL, mikro dan kecil klas bawah. Kedua, Gubernur Ahok suka gusur paksa rakyat DJzi, termasuk PKL, mikro dan kecil. Ngak peduli mau mereka kaum perempuan atau lelaki. Lihatlah, pengalaman kaum perempuan jual makanan dan minuman di sekitar Tugu Monas. Satpol PP dikerahkan untuk gusur, bahkan kalau perlu Polisi dan Tentara. Gusur paksa ini juga berlaku di lingkungan perumahan dan kawasan permukiman. Ketiga, Gubenur Ahok lemah ke pengelola Mal . Perda No. 2 Tahun 2002 ttg Perpasaran Swasta di DKI Jakarta, dan Pergub No.10 Tahun 2015 ttg Penataan dan Pemberdayaan PKL, mengharuskan pengelola Mal memberikan ruang 20 % utk UMKM dan PKL. Selama ini pengelola mal menyediakan tempat bagi PKL di lokasi tidak dilalui oleh pembeli. Hal ini membuat PKL sulit berkembang. Masih terdapat perdebatan terkait penyediaan lahan PKL di mal. Hingga kini Gubernur Ahok tak tegas dan tak lakukan penegakan hukum kepada pengelola Mal yang langgar peraturan 20 % buat PKl dan UMKM. Gubernur Ahok, tidak seperti sikap terpaksa terhadap rakyat jelata. hok hanya "menghimbau". Sungguh sikap ini sangat diskriminatif !!! Keempat, cara Gubernur Ahok melakukan penataan PKL, usaha Mikro dan Kecil tanpa mementingkan komunikasi dua arah bahkan dgn kekuatan komersil atau kekerasan polisional dan militeristik. Acap kali membangun opini dan terkesan marah2 mengusir paksa. Bukan lakukan penataan melainkan penggusuran paksa. Kelima, selama ini kebijakan Gubernur Ahok tidak adil dalam memeroleh proyek jasa konstruksi seiring sistem lelang atau pengadaan barang/jasa bidang konstruksi tidak sepenuhnya menyentuh pengusaha jasa konstruksi kecil menengah. Sebagian besar dimenangkan perusahaan besar jasa konstruksi sehingga menimbukan ketidakmerataan. Megaproyek konstruksi seharusnya penyedia jasa/kontraktor kecil bisa terlibat, namun dibawah Gubernur Ahok ini hanya menjadi penonton. Lima indikator diatas merupakan bukti bahwa Pemprov DKI dibawah Gubernur Ahok sesungguhnya "tajam ke bawah, tumpul ke atas" . Dapat dinilai, kebijakan tidak pro rakyat kebanyakan. Ada bukti lain? Ada. Dari alokasi APBD urusan koperasi dan usaha kecil menengah tahun 2013, 2014 dan 2015, terlihat jelas kondisi kinerja Pemprov DKI sangat buruk. Capaian target rata2 dibawah 50 %. Pd tahun 2013, dialokasikan APBD sebesar Rp. 499,9 miliar. Mampu terserap hanya Rp. 286,5 miliar atau 37,31 %. Angka ini sangat rendah, tergolong sangat...sangat buruk. Tatkala itu Gubernur DKI adalah Jokowi. Pd tahun 2014, Gubernur DKI di pertengahan sudah Ahok. Dialokasikan APBD sebesar Rp. 355,6 miliar. Total penyerapan hanya Rp. 146 miliar atau 41,07 %. Angka ini juga sangat rendah, tergolong sangat buruk. Pd tahun 2015, era Gubernur Ahok, dialokasikan Rp. 266,7 miliar. Total penyerapan Rp. 181,3 miliar atau 67,98 %. Ada peningkatan prosentase capaian, tetapi menurun jauh jumlah anggaran dialokasikan APBD; dari Rp. 355, 6 miliar menjadi Rp. 266, 7 miliar. Menurun hampir Rp. 100 miliar. Angka capaian 67,98 % menunjukkan, kondisi kinerja Gubernur Ahok utk tahun 2015 menjadi lebih buruk. Rata2 capaian per tahun yakni di bawah 50 % atau sangat buruk. Hal ini membuktikan, Gubernur Ahok sangat tak peduli urusan usaha rakyat kebanyakan dlm bentuk koperasi, mikro, kecil dan menengah termasuk PKL. Sangat tak peduli urusan ekonomi rakyat kebanyakan. Pengalaman Gubernur lama urus ekonomi rakyat ini tidak baik ditiru. Gubernur baru DKI mendatang harus: 1. Peduli urusan koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah sbg pro ekonomi rakyat. 2. Sungguh2 punya kehendak politik dan bekerja nyata meningkatkan dan mencapai target penyerapan anggaran urusan ekonomi rakyat ini dialokasikan APBD tiap tahun. 3. Membuat kebijakan benar-benar pro pelaku usaha kontraktor kecil menengah di bidang jasa konstruksi. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

Minggu, 09 April 2017

MASJID RAYA JAKARTA BARAT KERJA NYATA AHOK-DJAROT, KLAIM PALSU DOANG

Presiden Jokowi meresmikan Masjid Raya Jakarta Barat. Pendukung buta Ahok (buta data, buta fakta fan buta angka) gunakan Masjid ini sebagai "kerja nyata Ahok-Djarot". Fasilitas Agama Islam ini pun dijadikan bahan kampanye Paslon Ahok-Djarot utk raih suara pemilih umat Islam. Betulkah pembangunan Masjid Raya Jakarta sebagai Kerja Nyata Ahok-Jarot ? Tidaklah. Itu klaim palsu doang !!! Pembangunan Masjid ini dimulai saat Jokowi sbg Gubernur. Prakarsa pembangunan Masjid disetujui DPRD tahun 2012 saat Gubernur Fauzi Bowo. Ahok hanya nerusi. Klaim kerja nyata Ahok-Djarot, manipulasi fakta sejarah. Selama 5 tahun, Pemprov DKI hanya mampu bangun satu unit Masjid Raya se DKI, padahal ada 5 Kotamadya dan Satu Kabupaten. Masjid itu harus bernuansa budaya Betawi, bukan Jawa. Jadi sangat mengada ngada kalau nama masjid diganti nama bukan orang Betawi. Berdasarkan Perda Nk.2 Tahun 2012 ttg RPJMD Provinsi DKi tahun 2014-2017, ada kebijakan penataan bangunan dan gedung pemerintah yang bernuansa budaya Betawi. Urusan perumahan rakyat membangun masjid raya bernuansa Betawi di Jakarta Barat. Target capaian terbangunnya 1 Masjid Raya bernuansa Betawi di Jakarta Barat. Target selesai pd tahun 2016. Tetapi, kenyataannya mundur hingga April 2017. Pemprov DKI hanya berencana menghindari unit Masjid Raya di DKI utk lima tahun anggaran berlangsung (2013-2017). Pendukung buta Ahok lalu jadikan peresmian Masjid ini sebagai bahan utk kampanye bahwa Ahok "care" thdp umat Islam DKI, bukan Penista Agama Islam. Betulkah? Jawaban ada pd data, fakta dan angka dibawah ini. Ternyata Gubernur Ahok telah bersikap dan mengeluarkan kebijakan merugikan kepentingan umat Islam DKI (pendapat.id). Yakni Ahok: 1. Mengeluarkan pernyataan tidak pantas berhubungan dengan ayat Al Qur’an. Kini dia telah menjadi Terdakwa penista agama Islam. 2. Mengeluarkan pernyataan tidak jujur terkait sekolah Islam 9 tahun. Padahal, ia tidak pernah bersekolah di sekolah Islam. 3. Bersikeras menentang Peraturan Menteri Perdagangan melarang penjualan minuman keras. 4. Mengeluarkan pernyataan tidak pantas terkait minuman keras saat terjadi polemik tuntutan pelarangan miras. Ia mempertanyakan salahnya bir & apakah ada orang mati karena bir. 5. Mengusulkan melegalkan prostitusi. 6. Mengusulkan membuat Apartemen Khusus untuk pelacuran. 7. Mengusulkan membuat PSK bersertifikat. 8. Mengeluarkan pernyataan tidak pantas saat terjadi polemik pelegalan prostitusi yaitu menyebut orang Indonesia munafik. 9. Mengeluarkan pernyataan tidak pantas, akan meresmikan Lokalisasi Pelacuran Kalijodoh jika berada dalam jalur hijau. 10. Mengusulkan menghapuskan cuti bersama di saat lebaran. 11. Mempersoalkan kewajiban berbusana muslim di Sekolah bagi Siswa-Siswi Muslim di Hari Jum’at. 12. Mengeluarkan pernyataan tidak pantas, menyebut jilbab seperti serbet. 13. Mengeluarkan kebijakan mengganti kewajiban seragam Muslim di hari Jum’at (jilbab) dengan kebaya encim. Kebijakan ini ditarik kembali setelah mendapat banyak protes. 14. Membuat kebijakan standar ganda penggunaan Monas sebagai tempat kegiatan ibadah. Ia melarang tabligh akbar tetapi mengizinkan perayaan paskah. 15. Mengeluarkan pernyataan tidak pantas, saat melarang Tabligh Akbar di Monas, mempertanyakan apakah Tuhan tidak mendengar jika tidak di Monas. 16. Mengeluarkan kebijakan larangan pemotongan hewan Qurban di Sekolah. 17. Banyak melakukan penggusuran pemukiman warga, memakan korban rumah ibadah. 18. Merencanakan menjadikan Masjid Luar Batang sebagai tempat wisata & membangun plaza di depannya. 19. Merobohkan jembatan penghubung Masjid Luar Batang & Warga Kampung Aquarium. 20. Tidak kunjung membangun Masjid bersejarah Taman Ismail Marzuki setelah dirubuhkan. 21. Mengusulkan penghapusan SKB 2 Menteri tentang pembangunan Rumah Ibadah. SKB 2 Menteri mengharuskan pembangunan rumah Ibadah mendapat persetujuan masyarakat setempat. Intinya, pembangunan Masjid Raya Jakarta Barat bukan kerja nyata Ahok-Djarot. Itu hanya klaim palsu doang. Sebaliknya, Ahok justru bersikap merugikan kepentingan umat Islam. Gubernur baru DKI jangan teruskan sikap Gubernur lama terhadap kepentingan umat Islam. Lakukan hubungan sinerjik dan strategis dgn umat Islam DKI sehingga terlaksana sukses implementasi visi, misi dan program Gubernur baru yg dijanjikan dalam kampanye Pilkada 2017. Ajukan dan laksanakan program pembangunan Masjid Raya di Kota/Kabupaten luar Kota Jakarta Barat. Jangan lagi sakiti hati umat Islam DKI. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

Sabtu, 08 April 2017

GUBERNUR BARU DKI HARUS UTAMAKAN BELANJA JASA DAN MODAL

Pada dasarnya baik dari segi Pendapatan Daerah maupun Belanja Daerah, Pemprov DKI Jakarta pada tahun 2013 hingga 2015 tidak berhasil mencapai target bahkan jauh dari target capaian ditetapkan sebelumnya. Kondisi kinerja Pemprov DKI dinilai "lebih buruk". Kondisi kinerja pada tahun 2016 dan 2017 ini akan terulang kembali. Kondisi kinerja lebih buruk dimaksud dapat ditemukan pada uraian dibawah ini. Rencana Belanja Daerah tahun 2013 sebesar Rp. 46.57 triliun, realisasi Rp. 38.29 atau 82,21 %. Angka ini menunjukkan Pemprov DKI pimpinan Gubernur Jokowi tahun 2013 berkinerja buruk. Pd tahun 2014 Gubernur Jokowi menjadi Presiden RI dan Ahok sebagai pengganti Gubernur DKI. Rencana Belanja Daerah pd tahun 2014 sebesar Rp. 63.65 triliun. Pemprov DKI dibawah Gubernur Ahok jauh dibawah Gubernur Jokowi, yakni Rp. 37,75 triliun atau 59, 32 %. Angka ini menunjukkan kondisi kinerja Gubernur Ahok tergolong "sangat buruk". Pd tahun 2015 tetap Ahok sebagai Gubernur DKI. Target capaian Belanja Daerah pd tahun 2015 sebesar Rp. 59,68 triliun. Pemprov DKI dibawah Gubernur Ahok hanya mampu merealisasikan Rp. 43,03 triliun atau 72,11 %. Angka ini lebih besar ketimbang tahun 2014. Namun, kondisi kinerja Gubernur Ahok tergolong "lebih buruk". Kondisi kinerja tahun 2015 ini diperkirakan juga berlaku pada 2016 dan 2017. Uraian diatas menyimpulkan, setiap Pemprov DKI Jakarta 2013-2017 mengalami kegagalan memenuhi target capaian Belanja Daerah. Bahkan, pada 2014 Gubernur Ahok hanya mampu mencapai 59,32 %, sangat jauh dari target capaian, dan sangat buruk. Juga tak berprestasi. Rata2 kemampuan Pemprov DKI meraih target capaian Belanja Daerah yakni Sekitar 70 % atau "lebih buruk". Pendukung buta Ahok juga harus paham bahwa Gubernur Ahok tak mampu dan tak berprestasi kerja urusan Belanja Daerah, terutama belanja pembangunan. Penyerapan anggaran Belanja Daerah Pemprov DKI dibawah Gubernur Ahok lebih mengutamakan belanja pegawai; satu metode utk membeli dukungan politik dari birokrasi dlm Pilkada atau pertahankan kekuasaan. Di publik dikesankan semua PNS DKI sebagai koruptor sehingga mengalihkan alasan kegagalan Belanja Daerah bukan karena faktor kepemimpinan Ahok sbg Gubernur, tapi utk menghindarkan korupsi anggaran Pemprov DKI. Alasan ini acapkali digunakan pendukung buta Ahok utk membela dan ngeles atas kegagalan Ahok urus Belanja Daerah. Agustus 2015, Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan, penyerapan anggaran "terendah" dan terparah se Indonesia. Jakarta kalah jauh dibanding Kabupaten Kulonprogo, DI Yogyakarta. Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah, Kemendagri, Reydonnyzar Moenek mengungkapkan, serapan anggaran pemerintah Pemprov DKI justru "terbesar" hanya ada di "belanja pegawai". Seharusnya belanja jasa dan modal lebih besar dibandingkan belanja pegawai. Gubernur baru DKI harus napikkan bela dan ngeles pendukung buta Ahok dari kegagalan urus penyerapan anggaran Belanja Daerah. Gubernur baru DKI mendatang harus menyerap belanja jasa dan modal lebih besar dibandingkan belanja pegawai. Jangan tiru cara kerja atau pengalaman salah Gubernur lama. Sekali lagi, Gubernur baru DKI harus utamakan belanja jasa dan modal. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS: Network for South East Asian Studies)

GUBERNUR BARU DKI HARUS MAMPU TINGKATKAN PENDAPATAN DAERAH

Kebijakan pokok pendapatan daerah Pemprov DKI Jakarta tahun 2013-2017 dilakukan seharusnya memperhatikan kebijakan dlm RPJMD 2013-2017 dan RKPD tahun bersangkutan. Kebijakan pendapatan daerah terdiri dari pajak daerah, retribusi, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, lain2 PAD yang sah, dana perimbangan, serta lain2 pendapatan yang sah. Kebijakan pokok pendapatan daerah selain ditujukan utk peningkatan pendapatan daerah juga diarahkan untuk pemberian stimulus terbatas utk mendukung pertumbuhan ekonomi berkualitas. Pemprov DKI harus mengupayakan peningkatan Pendapatan Daerah melalui upaya, al. 1. Peningkatan pajak daerah; dan, 2. Peningkatan perolehan dana perimbangan. Sejauh mana Pemprov DKI tahun 2013-2017 mampu meraih target capaian pendapatan daerah? Dengan pertanyaan sama, apakah Pemprov DKI berhasil atau berprestasi meningkatkan pendapatan daerah? Inilah data, fakta dan angka menjawab pertanyaan tersebut. Sesuai perencanaan tertuang di dalam Perda No.2 Tahun 2012, pd tahun 2013 target capaian pendapatan daerah sebesar Rp. 40,79 triliun terdiri dari PAD, Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan yang Sah. Pemprov DKI tahun 2013 dipimpin Gubernur Jokowi berhasil meraih Rp. 39, 50 atau 96 %.Angka ini relatif tinggi tetapi masih di bawah target capaian. Kondisi kinerja Gubernur Jokowi urusan pendapatan daerah tahun 2013 tergolong masih buruk. Pd tahun 2014 target capaian Pendapatan Daerah sebesar Rp.65,04 triliun. Pemprov DKI dibawah Gubernur Ahok hanya mampu merealisasikan sebesar Rp.43,44 triliun atau 66,80 %. Angka ini menunjukkan kondisi kinerja Gubernur Ahok sebagai lebih buruk ketimbang Gubernur Jokowi. Gubernur Ahok tak mampu mempertahankan kondisi kinerja Pemprov DKI sebelumnya di bawah Gubernur Jokowi. Intinya, Kondisi kinerja Gubernur Ahok lebih buruk. Berikutnya, masih dipimpin Gubernur Ahok, target capaian Pendapatan Daerah pd tahun. 2015 direncanakan sebesar Rp. 56,30 triliun.Hingga akhir 2015 dari rencana, realisasi Rp.44,21 triliun atau 78,52 %. Angka ini juga menunjukkan kondisi kinerja Gubernur Ahok sebagai lebih buruk.Namun, ada sedikit kemajuan dibandingkan tahun 2014. Rata2 kemampuan Pemprov DKI raih target capaian sekitar 69 % atau tergolong lebih buruk. Bermakna tak mampu dan gagal berprestasi raih target capaian pendapatan daerah tiap tahun. Untuk tahun 2016 dan 2017 diperkirakan kondisi kinerja Gubernur Ahok tak mengalami peningkatan berarti. Karena itu, Gubernur baru DKI ke depan harus mampu tingkatkan dan percepatan perolehan pendapatan daerah. Harus ada lompatan agar terlalui keterlambatan dan kemandegan peningkatan selama Gubernur lama. Para pendukung buta Ahok harus memahami bahwa sesungguhnya Gubernur Ahok selama ini tak berprestasi urusan pendapatan daerah. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

Jumat, 07 April 2017

GUBERNUR BARU DKI HARUS MENCONTOH PENGALAMAN JOKOWI, JANGAN AHOK, URUS PAJAK DAERAH

APBD DKI Jakarta dibawah Gubernur Jokowi dan Ahok tahun 2013-2017 sungguh besar untuk ukuran pemerintahan provinsi (Pemprov) di Indonesia. Jumlahnya antara 65-70an triliun rupiah. Tercatat dua kali lipat era Gubernur sebelumnya, Fauzi Bowo. Tapi, jangan bangga dulu. Anggaran besar tak mesti berpengaruh pd peningkatan kondisi rakyat DKI. Kondisi DKI sesungguhnya sbb: 1. Ternyata di DKI jumlah orang nganggur diatas rata2 nasional. 2.Jumlah orang miskin tergolong sangat banyak dan bertambah, tak pernah turun. 3. Kesenjangan kelompok kaya (umumnya non pribumi) dan kelompok miskin (dominan pribumi) semakin melebar. 4.Masih terdapat permukiman kumuh di mana-mana. Issue strategis ini tak terpecahkan, malah penggusuran paksa rakyat lebih diutamakan. 5. DKI kota termacet se dunia. Urus peremajaan kendaraan umum gagal total. Urus pembangunan busway sangat buruk. 6. Banjir besar masih terjadi tiap tahun. Issue strategis banjir masih berlaku dan tak terpecahkan. 7. Semua pelaksanaan urusan pemerintahan tergolong setidaknya "buruk". 8. Tiada penyerapan anggaran alokasi APBD mencapai target ditetapkan dlm perencanaan resmi Pemprov DKI Jakarta di bawah Gubernur Jokowi dan juga Ahok. 9. Dll. Khusus kondisi kinerja Pemprov DKI dibawah Gubernur Ahok tergolong "buruk", tak mampu dan gagal raih target capaian bidang pajak daerah. Mampunya cuma kumpulkan dana CSR di luar politik anggaran yang benar yakni APBD. Padahal politik anggaran tidak mengenal pembiayaan pembangunan di luar APBD. Pajak Daerah antara lain Pajak Kendaraan Bermotor, BBN Kendaraan Bermotor, Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pemanfaatan Air Tanah, Hotel, Restoran, Hiburan, Reklame, Penerangan Jalan, Parkir, BPHTB, Rokok, dan PBB. Apakah Gubernur Ahok berprestasi urus pendapatan Pajak daerah? Inilah jawabannya! Sungguh Gubernur Ahok tidak berprestasi urus pendapatan Pajak Daerah. Hanya Gubernur Jokowi berprestasi, dan mencapai target sesuai perencanaan. Pada tahun 2013 Pemprov DKI di bawah Gubernur Jokowi menargetkan tercapai pendapatan Pajak Daerah sebesar Rp. 22,61 triliun. Gubernur Jokowi mampu dan berhasil mencapai target, yakni Rp. 23,36 triliun atau 103,31 %. Angka ini menunjukkan kondisi kinerja Gubernur Jokowi di bidang Pajak Daerah tergolong bagus dan berprestasi. Namun, pada tahun 2014 Pemprov DKI dibawah Gubernur Ahok kondisi kinerja di bidang Pajak Daerah menurun menjadi buruk. Target capaian tahun 2014 urusan Pajak Daerah sebesar Rp. 32,50 triliun. Namun, Gubernur Ahok hanya mampu mencapai Rp. 27,05 triliun atau 83,24 %. Jauh lebih rendah dari prestasi Gubernur Jokowi. Selanjutnya, Gubernur Ahok tahun 2015 juga gagal dan tak mampu mencapai target. Pendapatan Pajak Daerah ditargetkan sebesar Rp. 32,58 triliun. Tetapi, hanya mampu memenuhi sebesar Rp. 29,07 triliun atau 89,24 %. Kondisi kinerja Gubernur Ahok urusan Pajak Daerah tahun 2015 ini tergolong buruk. Hal ini juga diperkirakan tak jauh berbeda dgn tahun 2016 dan 2017. Pengalaman Gubernur Ahok urus pendapatan Pajak Daerah ini membuktikan, kemampuan Ahok masih dibawah Jokowi. Kondisi kinerja Ahok lebih buruk dibandingkan sebelum nya, kondisi kinerja Jokowi. Karena itu, Gubernur baru DKI harus mencontoh pengalaman Gubernur Jokowi. Jangan mencontoh pengalaman Gubernur Ahok yang tak mampu mempertahankan kondisi kinerja sebelumnya, malah kian merosot. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

Kamis, 06 April 2017

GUBERNUR BARU DKI HARUS KONSISTEN DAN KONSEKUEN URUS TRANSPORTASI

DKI Jakarta sebagai Ibukota dan multifungsi membutuhkan infrastruktur guna menghadapi persaingan global agar dapat memberikan pelayanan optimal kepada seluruh warga dalam mewujudkan kota Jakarta berdaya saing global. Transportasi merupakan infrastruktur perekonomian sangat penting. Ketersediaan transportasi aman, nyaman, tepat waktu dan terjangkau akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pergerakan barang dan manusia, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan daya saing daerah. Untuk mewujudkan peningkatan daya saing daerah juga diperlukan sistem transportasi maju, handal, moderen, dalam arti terintegrasi antar dan inter moda. Kondisi kinerja Pemprov DKI Jakarta 2013-2017 di bawah Gubernur Jokowi dan Ahok sbg "sangat buruk". Jakarta kota termacat sedunia. Jakarta kota nomor lima paling tidak aman bagi kaum perempuan naik kendaraan umum sedunia. Atas dasar perencanaan transportasi (Perda No.2 Tahun 2012), Pemprov DKI di bawah Gubernur Ahok tidak konsisten dan konsekuen melaksanakan. Tak mampu dan gagal mencapai target ditetapkan terutama pembangunan peremajaan kendaraan umum, pembangunan busway, dan pembangunan LRT. Dari parameter peremajaan kendaraan umum, target capaian tiap tahun 1.000 armada. Faktanya? Gubernur Ahok tak mampu dan gagal total. Selama ini baru mampu peremajaan total di bawah 400 unit. Padahal sesuai target capaian, seharusnya hari ini Gubernur Ahok minimal telah meremajakan 4.000 unit. Kinerja sangat2 buruk. Pembangunan busway, terdapat parameter pembangunan 3 koridor, pengadaan sekitar 1.300 armada, waktu tunggu penumpang dan jumlah penumpang. Semua parameter ini Gubernur Ahok tak mampu dan gagal capai target. Kinerja sangat buruk. Sebagai bukti, kasus jumlah penumpang. Target capaian penumpang yaitu: 400.000 penumpang (2013); 550.000 (2014); 730.000 (2015); 850.000 (2016); dan, 1.000.000 (2017). Faktanya? Pd 2016, dilaporkan, jumlah rata2 per hari hanya sekitar 340.000 penumpang. Masih sangat jauh dari target capaian tahun 2016, yakni 850.000 pnp/hari. Ini satu bukti tambahan kondisi kinerja Gubernur Ahok sangat...sangat buruk. Mampu mencapai target hanya di bawah 50 %. Selanjutnya pembangunan LRT (Light Rail Transit). Yaitu kereta api ringan sebagai kereta api penumpang beroperasi dikawasan perkotaan, konstruksinya ringan dan bisa berjalan bersama lalu lintas lain atau dalam lintasan khusus. LRT disebut juga tram. Kini pembangunan LRT Pemprov DKI tahun 2013-2017 diambilalih Pemerintah (Pusat). Pemprov DKI tak mempu meneruskan pembangunan. Bahkan, kini telah melibatkan PT. Kereta Api Indonesia. Untuk ke depan Gubernur baru DKI harus: 1. Konsisten dan konsekuen urus transportasi sesuai perencanaan dlm Perda hasil proses politik demokrasi. 2. Membangun pendekatan solusi permasalahan transportasi bersifat holistik dan sosiologis. Tidak hanya pendekatan teknis infrastruktur seperti selama ini. Variabel sosiologis al. interaksi sosial dimasukkan ke dalam pendekatan holistik dimaksud. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

Rabu, 05 April 2017

GUBERNUR BARU DKI JANGAN TERUSKAN KEGAGALAN URUS INVESTASI DAERAH

Judul tulisan ini adalah Gubernur Baru DKI Jangan Teruskan Kegagalan Urus Investasi Daerah. Maknanya adalah Gubernur lama DKI 2013-2017 tak mampu dan gagal meraih target capaian tiap tahun bidang investasi daerah. Gubernur baru DKI harus mampu dan berhasil melakukan "percepatan" bidang investasi daerah. Selama ini investasi daerah mandeg, jika tak boleh disebut "merosot". Investasi daerah bermakna investasi dilakukan Pemprov DKI. Tujuan Investasi daerah , untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial dan/atau manfaat lain. Yakni: 1. Keuntungan berupa deviden, bunga, dan pertumbuhan nilai perusahaan mendapatkan Investasi Pemprov DKI. 2. Meningkatnya jasa dan keuntungan bagi hasil investasi. 3. Meningkatnya pemasukan pajak bagi negara/daerah. 4. Meningkatnya penyerapan tenaga kerja dapat mengurangi jumlah rakyat DKI nganggur. PMDN singkatan Penanaman Modal Dalam Negeri. PMA singkatan Penanaman Modal Asing. Target capaian setiap tahun nilai investasi bers-kala nasional (PMDN/PMA) berdasarkan Perda No. 2 Tahun 2012 sbb. Pada 2013, target capaian investasi PMDN sebesar Rp.10,59 triliun, sedangkan PMA sebesar Rp. 48,48 triliun (2013). Pada 2014 PMDN sebesar Rp. 11,38 triliun; PMA sebesar Rp. 52,09 triliun. Pada 2015 PMDN sebesar Rp. 12,15 triliun; PMA sebesar Rp. 55,62 triliun. Pada 2016, PMDN sebesar Rp. 13,02 triliun; PMA sebesar Rp. 59,57 triliun. Pada 2017. PMDN sebesar Rp.13,97 triliun; PMA sebesar Rp. 63,94 triliun. Untuk urusan investor dan proyek, tercatat bahwa target capaian jumlah investor berskala nasional (PMDN/PMA) sbb. Pada 2013, PMDN 89 proyek dan PMA 1.148 proyek. Pada 2914, PMDN 91 proyek dan PMA 1.215 proyek. Pada 2025, PMDN 96 proyek dan PMA 1.350 proyek. Pada 2016, PMDN 98 proyek dan PMA 1.425 . Pada 3017, PMDN 100 proyek dan PMA 1.500 proyek. Hasilnya? Dari ukuran realisasi target kecapaian investasi masing2 sbb. 1. Pada 2013, realisasi investasi PMA di Provinsi DKI Jakarta sebesar US$ 2.590 juta atau sekitar Rp. 31,09 triliun, kurs Rp. 12.000. Sedangkan realisasi investasi PMDN di Provinsi DKI Jakarta pada 2013 sebesar Rp. 5,75 triliun. Realisasi investasi di Provinsi DKI Jakarta 2013 tidak mencapai target ditetapkan. Realisasi PMA dan PMDN tahun 2013 sebesar Rp. 36,84 triliun dengan target ditetapkan sebesar Rp. 59,07 triliun. Target tercapai 62 %. Data ini menunjukan, kinerja Pemprov DKI tahun 2013 dibawah Gubernur Jokowi ini lebih buruk krn lebih 20 % selisih dari target capaian 100 %. 2. Pada 2014, realisasi PMA di Provinsi DKI sebesar Rp. 37,65 Triliun. Realisasi investasi PMDN sebesar Rp. 10,54 trilun. Target tercapai 28 %. Data ini menunjukan, kinerja Pemprov DKI tahun 2014 di bawah Gubernur Ahok ini merosot drastis, tergolong sangat-sangat buruk krn hanya mampu mencapai jauh di bawah 50 %. 3. Pada tahun 2015, realisasi investasi PMA di Provinsi DKI Jakarta sebasar Rp. 45,24 triliun. Sedangkan realisasi investasi PMDN 2015 sebesar Rp. 15,51 triliun. Target tercapai hanya 34 %. Data ini menunjukan, kinerja Pemprov DKI tahun 2015 dibawah Gubernur Ahok ini sungguh semakin buruk karena hanya mampu mencapai di bawah 50 %. Pemprov DKI dibawah Gubernur Ahok tak mampu dan gagal memenuhi target capaian urusan investasi daerah. Untuk 2016, tentu tidak jauh dari kegagalan tahun2 sebelumnya. Bahkan, ada tahun tergolong sangat buruk karena mampunya mencapai hanya di bawah 50 %. Gubernur Ahok sungguh tidak bekerja nyata untuk peningkatan investasi daerah. Para pendukung buta Ahok perlu pahami kinerja buruk Ahok ini dgn data, fakta dan angka. Jangan cuma bisa kasih pencitraan fiksi seperti issue kali bersih suka dijadikan bukti Ahok berprestasi dan kerja nyata. Padahal Kali di DKI ini urusan Pemerintah (Pusat), Kementerian PUPR. Gubernur baru DKI mendatang jangan teruskan pengalaman kegagalan Gubernur Ahok urus investasi daerah. Jadikan pengalaman kegagalan itu hanya sebagai pelajaran pahit !!! Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

Senin, 03 April 2017

GUBERNUR BARU HARUS MENJAMIN KEAMANAN DAN KETERTIBAN DGN PARTISIPASI RAKYAT.

Medio Desember 2016 LSI membeberkan hasil survei, 60,3 % rakyat DKI menginginkan Gubernur baru. April 2017 ini tentu rakyat DKI dimaksud telah bertambah. Pertanyaan berikut adalah: apa harus dilakukan Gubernur baru untuk menciptakan keamanan dan ketertiban rakyat DKI ? Padahal, selama ini Jakarta adakah kota paling tidak aman di dunia. Gubernur lama tdk mampu dan gagal urus keamanan dan ketertiban rakyat DKI. Kondisi keamanan dan ketertiban rakyat, merupakan salah satu faktor mendukung peningkatan dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi DKI. Tanpa terjamin keamanan dan ketertiban tentu investasi lama bisa "minggat", investasi baru "berpikir berat" untuk masuk ke DKI. Juga DKI harus terjamin aman mengingat status sbg Ibukota. Citra positif Indonesia sangat bergantung pd tingkat keamanan dan ketertiban DKI. Apakah Pemprov DKI selama ini mampu menjaga dan menjamin keamanan dan ketertiban DKI? Jawaban atas pertanyaan dapat diambil dari uraian di bawah ini. Pemprov DKI 2013-2017 tidak mampu menciptakan kondisi keamanan dan ketertiban DKI sesuai dengan persyaratan bagi pertumbuhan dan investasi. DKI dibawah Gubernur Ahok, kota paling tak aman se dunia. Pd awal 2015 CNN Indonesia menyajikan hasil survei Economist Intelligence Unit menempatkan Jakarta sebagai kota "paling tak aman se dunia". Survei 50 kita di dunia memasukkan 40 indikator kuantitatif dan kualitatif, terbagi dalam empat kategori tematik yakni (1) keamanan digital; (2) jaminan kesehatan; (3) infrastruktur; dan. (4) personal. Setiap kategori terbagi lagi ke dalam tiga hingga delapan subindikator, seperti langkah kebijakan dan frekuensi kecelakaan lalu lintas. Gubernur baru harus mampu menurunkan prestasi kota paling tak aman se dunia. Di lain fihak, pd akhir 2014, Thomson Reuters Fondation, sebuah lembaga survei meneliti keamanan perempuan dalam angkutan umum. Dari 16 kota terbesar di dunia, Jakarta berada di peringkat "kelima soal" ketidakamanan perempuan saat menaiki angkutan umum. Empat peringkat awal adalah Bogota ibukota Kolombia, Mexico City ibukota Meksiko, Lima ibukota Peru, dan Delhi ibukota India. Rata-rata wanita disurvei mengatakan mereka pernah diraba-raba atau dilecehkan secara lisan saat naik transportasi umum. Juga, kebanyakan merasa tidak aman bepergian sendirian di malam hari di Jakarta. Gubernur baru harus mampu menurunkan peringkat negatif keamanan perempuan ini minimal ke nomor dibawah 10 dari 16 kota besar dlm 5 tahun kedepan. Gubernur lama tak mampu dan gagal urusan keamanan dan ketertiban masyarakat DKI. Untuk Gubernur baru harus mampu menjamin keamanan dan ketertiban dengan melibatkan partisipasi masyarakat sebagai kunci menciptakan keamanan dan ketertiban. Tak boleh hanya bergantung pd Kepolisian. Jakarta harus menjadi kota aman dan ramah. Salah satu program layak dilaksanakan Gubernur baru adalah "audit" berkala keamanan dan ketertiban masyarakat dengan melibatkan petugas keamanan lingkungan maupun aparat keamanan. Gubernur lama tak pernah laksanakan program audit ini. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

Minggu, 02 April 2017

GUBERNUR BARU DKI HARUS MEMPERJUANGKAN REFORMASI BIROKRASI

Gubernur baru DKI mendatang jangan jadikan pengalaman Gubernur lama sebagai standar kriteria. Gubernur lama ternyata tak mampu dan gagal melaksanakan urusan reformasi birokrasi (RB). Tidak terjadi perubahan mendasar pada area2 perubahan yg harus menjadi sasaran. Perubahan memang terjadi dlm batas2 tertentu pelayanan publik tingkat Kecamatan dan Kelurahan. Tapi, masih ada fakta untuk terima e-KTP menunggu hingga 5 bulan baru jadi. Alasannya, belum ada blanko e-KTP. Pemprov DKI ternyata tak mampu beri solusi, hanya alihkan kelemahan pd Pemerintah (Pusat). Rakyat DKI digiring salahkan Pemerintah. Rakyat tentu tak mau tahu. Bagi rakyat itu urusan Pemprov DKI diwakili Pemerintahan Kelurahan. Dlm perspektif RB (reformasi birokrasi) perubahan strategis sesungguhnya terdapat di sekitar struktur kekuasaan elite atau atas, terutama "mindset" dan prilaku politik Gubernur DKI, Wakil Gubernur dan para pimpinan Dinas atau SKPD. Intinya, adalah perubahan dari kebiasaan dilayani dan neraka pemilik menjadi melayani rakyat. Pemilik bukan Gubernur atau Wakil bagaikan pemilik saham dlm korporasi swasta, tetapi rakyat DKI itu sendiri. Pemprov DKI harus bekerja memberi pelayanan prima terhadap rakyat. Bukan marah2 dan gusur paksa rakyat. Untuk itu, Gubernur baru DKI harus berbeda dgn Gubernur lama. Gubernur baru harus berpikir, pemilik DKI ini rakyat DKI dan bertugas memberi pelayanan seprima mungkin terhadap rakyat DKI. Semua keputusan dan kebijakan publik harus mempertimbangkan kepentingan rakyat. Mengapa Gubernur baru harus berbeda dgn Gubernur lama? Karena kondisi kinerja Gubernur lama tergolong buruk dlm urusan RB. Berdasarkan penilaian KemenPAN & RB, kinerja Reformasi Birokrasi (RB) Pemprov DKI 2013-2014, hanya mampu meraih predikat CC =58. Angka predikat ini berada pd urutan ke-18 di bandingkan kinerja Provinsi2 lain di Indonesia. Nilai Pemprov DKI Jakarta diberi oleh KemenPANRB sama dan sederajat dengan nilai Pemprov Papua Barat. Bahkan, di bawah Pemprov Kalimantan Tengah. Hasil penilaian kinerja Pemprov DKI Jakarta ini menunjukkan prestasi Gubernur Ahok dalam urusan akuntabilitas penerapan program kerja, dokumentasi target tujuan, dan pencapaian organisasi tergolong rendah dan tidak sebanding dengan posisi DKI Jakarta sebagai Ibukota RI dengan sumberdaya terbesar di Indonesia. Gubernur Ahok ternyata tidak mampu melaksanakan kebijakan nasional tentang RB. Realitas obyektif menunjukkan, lembaga negara tingkat Pusat yang punya kompetensi menilai kinerja Gubernur Ahok urus pemerintahan DKI Jakarta, masih di bawah Gubernur Kalimantan Tengah, yang dalam urusan pembangunan daerah jauh lebih rendah memiliki APBD dan juga sumber daya ketimbang Pemprov DKI. Gubernur baru DKI mendatang harus mampu dan bekerja keras agar memperoleh predikat "AA" dan tergolong lima Provinsi terbaik. Jangan tiru Gubernur lama, suka pencitraan media massa seakan-akan jujur, bersih, reformis, dan bekerja untuk rakyat. Pencitraan media massa ternyata tak sesuai realitas obyektif. Bahkan, lembaga negara sendiri menilai Kinerja Gubernur tergolong buruk. Padahal Jakarta adalah Ibukota RI syarat potensi sumberdaya jauh lebih besar ketimbang Provinsi lain. Selanjutnya, Agustus 2015, Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan, penyerapan anggaran "terendah" di Indonesia terjadi di DKI. DKI Jakarta terparah, kalah jauh dari Kabupaten Kulonprogo, DI Yogyakarta. Sementara Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah, Kemendagri, Reydonnyzar Moenek mengungkapkan serapan anggaran pemerintah Pemprov DKI justru terbesar hanya ada di belanja pegawai. Seharusnya belanja jasa dan modal lebih besar dibandingkan belanja pegawai. Gubernur baru DKI harus mampu menangani rendahnya penyerapan anggaran ini dan harus menyerap lebih besar belanja jasa dan modal agar bebar2 pembangunan bermanfaat bagi rakyat DKI, tak semata aparatur/ASN Pemprov DKI. Pemprov DKI hingga kini masih hadapi permasalahan yg sudah berlaku sebelum era Gubernur Jokowi dan Ahok. Permasalahan tsb terkait: 1. Pelaksanaan konsep RB secara efisiensi efektif. 2. Pembenahan birokrasi (perubahan sikap dan tingkah laku atau mind set aparat Pemprov DKI terpadu dan berkelanjutan. 3.Penataan kelembagaan efisien dan efektif, Tata laksana jelas transparan, kapasitas SDM profesional dan akuntabilitas tinggi, pelayanan publik prima. 4. Hubungan sinerjik antar sesama lembaga pemerintahan, dgn masyarakat madani dan dunia usaha. Gubernur lama ternyata tak mampu dan gagal menangani masalah2 di atas. Hanya sibuk dgn pencitraan dan bantu kepentingan konglomerat pengembang seperti pembangunan pulau palsu/reklamasi, dan penggusuran paksa rakyat miskin berlokasi dekat area bisnis property pada pengembang seperti Kali Jodoh dan Luar Batang yg sana sekali tak terkait dgn proyek penanganan banjir di DKI. Juga sibuk kini dan dan bertindak untuk kepentingan kekuasaan diri melalui Pilkada 2017 sampe menjadi Terdakwa Penista Agama Islam. Karenanya, Gubernur baru DKI mendatang harus mampu memecahkan permasalahan RB ini. Lima tahun ke depan tentu cukup utk urusan solusi dibutuhkan. Setidaknya target capaian urusan RB ini minimal 50 %, lima tahun berikutnya 50 % lagi. Bagaimanapun, kondisi permasalahan RB DKI dibutuhkan 10 tahun lagi. Selama ini Gubernur lama tidak bekerja nyata urusan issue strategis RB ini. Gubernur baru terpaksa harus lakukan "percepatan" karena Gubernur lama stagnan urusan RB. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

GUBERNUR BARU DKI HARUS BERI RUANG PENGADUAN RAKYAT SELUAS MUNGKIN

Gubernur Ahok telah berada dalam “pencitraan” sukses dan berprestasi urus rakyat DKI. Kalangan pendukung buta Ahok ( buta data, buta fakta dan buta angka) membangun citra Ahok terlalu jauh berbeda dengan realita yang ada. Terkadang dibangun opini untuk mengaburkan fakta sebenarnya. Ada banyak kisah berbeda antara persepsi dan realita. Kehadiran warga di Balai Kota dicitrakan media massa pendukung seolah-olah warga tsb datang utk mengaduh dan Ahok selalu melayani. Padahal, di sisi lain, dgn mudahnya gusur paksa rakyat tanpa mau tahu adanya pengaduan rakyat. Bahkan, gugatan rakyat di pengadilan telah menang dan mengalahkan kebijakan Ahok, tetap tak digubris. Contoh konkrit, kisah penolakan rakyat nelayan terhadap pembangunan pulau palsu/reklamasi di utara DKI. Bertubi-tubi rakyat mengaduh, Gubernur Ahok tetap tak peduli alias coek !!! Pengaduan rakyat bisa dipandang sebagai bentuk partisipasi dan rasa kepedulian rakyat dalam pelaksanaan pelayanan publik. Pengaduan rakyat adalah bentuk penerapan dari pengawasan/kontrol rakyat, disampaikan oleh rakyat kepada aparatur pemerintahan terkait berupa sumbangan pikiran. gagasan, keluhan, pengaduan, kritik dan bahkan kecaman tetapi tetap semangat agar keadaan lebih baik dan membangun. Untuk itu, Gubernur baru DKI mendatang harus selalu berpikir dan bertindak agar terus menerus meningkatkan dan memperluas ruang bagi rakyat DKI untuk pengaduan ini. Jangan contoh Gubernur lama yg gemar pencitraan tanpa kerja nyata bahkan cuek dgn rakyat. Pengaduan rakyat ini merupakan satu parameter kondisi demokrasi suatu negara. Semakin meningkat dan meluas ruang bagi rakyat untuk mengaduh kepada negara, maka bisa dinilai kondisi semakin demokratis. Semangat reformasi menghasilkan pendekatan reformasi birokrasi, di dalamnya termasuk penerapan konsep pengaduan rakyat ini. Demokrasi mengharuskan adanya komunikasi dua arah atau timbal balik antara negara dan rakyat. Pengaduan rakyat merupakan kegiatan utk komunikasi timbal balik dimaksud. Di Indonesia telah terbit regulasi mengatur hal ikhwal pengaduan rakyat. Al.: 1. UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. 2. Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2013 tentang Pengaduan Pelayanan Publik. 3. Peraturan Menteri PAB No. 13 Tahun 2009 tentang Pedoman Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik dengan Partisipasi Masyarakat. Perda No. 2 Tahun 2012 ttg RPJMD Prov.DKI Jakarta 2013-2017 menetapkan program penanganan pengaduan masyarakat (kasus/khusus). Indikator akan dicapai yaitu meningkatnya penyelesaian kasus pengaduan rakyat. Intinya, parameter kondisi kinerja adalah "penanganan" atas kasus pengaduan rakyat. Semakin banyak Pemprov DKI melakukan penanganan atas pengaduan rakyat, maka semakin bagus kondisi kinerja Pemprov DKI. Kondisi kinerja tahun 2012 dibawah Gubernur Fauzi Bowo, tingkat penyelesaian pengaduan pelanggaran K3 (Ketertiban, Ketentraman dan Keindahan) yaitu 55 %. Sedangkan target capaian tiap tahun era Pemprov DKI Tahun 2013-2017 masing2 60 % (2013); 65 % (2014); 70 % (2015); 75 % (2016); dan, 80 % (2017). Target capaian akhir 2017 adalah 80 %. Pd 2013 direncanakan 490 penanganan kasus pengaduan. Tetapi. Pemprov DKI dibawah Gubernur Jokowi tidak melaporkan resmi berapa penanganan kasus pengaduan dapat ditangani. Maka, dapat dinilai, kondisi kinerja lebih buruk. Pd 2014 memang tercatat ada program penanganan pengaduan rakyat. Pemprov DKI dibawah Gubernur Ahok melaporkan, tingkat penanganan kasus pengaduan rakyat 57, %. Padahal target capaian tahun 2014 yakni 65 %. Terdapat kekurangan 8 %, tergolong buruk. Pd 2015 Gubernur Ahok sama sekali tidak melaporkan secara resmi ke DPRD tingkat penanganan kasus pengaduan rakyat. Tergolong lebih buruk. Di lain fihak, ORI membuat rapor kinerja birokrasi DKI tahun 2015 di bawah Gubernur Ahok ini 74,64 atau urutan No. 17 dari 33 Provinsi. Selaku Ibukota, angka ini sangat memalukan!!!. Gubernur baru DKI mendatang harus mampu memposisikan DKI minimal nomor 5 tertinggi, kalau tak bisa buat nomor 1 atau 2. Upaya Gubernur baru ke arah nomor 5 ini harus dimulai dari kerangka berfikir, kata kunci reformasi birokrasi menjadi penting untuk pemberdayaan fungsi pelayanan publik. Dengan perkataan lain, Gubernur baru harus menjadikan pembentukan " democratic governance" sebagai agenda perjuangan. Pembentukan "democratic governance" dapat meminimalkan prilaku korupsi pejabat tinggi Pemprov DKI. Birokrasi jangan digunakan utk kepentingan Pilkada sang Gubernur, tetapi benar2 utk pelayanan publik dan dasar nilai profesionalisme kerja dan integritas aparat. Tidak seperti kondisi birokrasi DKI dibawah Gubernur Ahok selama ini. Berdasarkan Perda No.2 Tahun 2012, pd umumnya kondisi kinerja Pemprov DKI 2013-2017 dari parameter penanganan pengaduan rakyat tergolong buruk. Gubernur baru DKI ke depan harus mampu menangani semua kasus pengaduan secara rasional dan bijak. Harus ada pemikiran bahwa pengaduan rakyat DKI merupakan penegakan prinsip kedaulatan rakyat, pemilik sumber daya Pemprov DKI ini. Metode penilaian kondisi kinerja Pemprov DKI bisa juga menggunakan hasil penilaian lembaga negara seperti Ombusdmen RI (ORI). Parameter digunakan jumlah pengaduan. Semakin tinggi atau banyak pengaduan masyarakat, semakin buruk kondisi kinerja. Tipe ideal adalah sedikitnya masyarakat mengadu kepada Pemprov DKI. Menurut ORI, Pd era Gubernur Fauzi sebelum era Gubernur 2013-2017, jumlah pengaduan, tertinggi di Indonesia. Pd kondisi Pemprov DKI Jakarta 2013-2017, kondisi jumlah pengaduan juga tertinggi dan masih tetap bertahan di Indonesia (Laporan an 2011 Ombudsman RI). Capaian ini sama dengan capaian era Gubernur Fauzi. Tidak ada perubahan kemajuan berarti. Dokumen Statistik Laporan/Pengaduan Masyarakat Ombudsman RI menyebutkan, Ombudsman DKI sejak Januari s/d Desember 2015 menerima laporan/pengaduan atas dugaan maladministrasi dalam pelayanan publik sebanyak 1.122 laporan Berdasarkan data ORI, maka kinerja Pemprov DKI Jakarta di bawah Gubernur Ahok dapat dikatakan “buruk”. Jakarta masih menduduki Propinsi dengan pengaduan tertinggi di Indonesia . Gubernur baru DKI harus mampu dan serius mengurangi jumlah pengaduan jauh dibawah 1.122 laporan. Target capaian tiap tahun seyogyanya rata2 500 laporan, kalau bisa hanya 30 % dari total 1.122 laporan tercapai tahun 2015 dibawah Gubernur Ahok. Sebagai penutup, NSEAS menekankan kpd Gubernur baru al.: 1. Harus memberi ruang seluas mungkin bagi rakyat DKI utk pengaduan rakyat kepada Pemprov DKI. 2. Harus melayani dan menangani setiap pengaduan rakyat. 3. Harus mampu meminimalkan jumlah pengaduan rakyat dgn pembentukan "democratic governance,". Tipe ideal yakni sedikit rakyat mengadu. 4. Jangan contoh prilaku "cowek" Gubernur lama, hanya pencit raan seakan melayani pengaduan rakyat. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)