Minggu, 05 Oktober 2008

POLITIK DAN EKONOMI INDONESIA PASCA PEMILU 2009

POLITIK DAN EKONOMI INDONESIA PASCA PEMILU 2009
Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP



Perubahan Politik Nasional.
Perubahan politik nasional pasca Pemilu 2009 (Legislatif dan Pilpres) sesungguhnya kelanjutan dari perubahan politik nasional sebelumnya, khususnya sejak dicanangkannya tuntutan reformasi dan demokratisasi. Perubahan dimaksud ditandai jelas dengan keruntuhan kekuasaan Orde Baru di bawah rezim Suharto. Politik nasional baik legislatif maupun eksekutif (pemerintahan) tidak lagi terlalu dominan ditentukan lembaga kepresidenan (Istana). Sentralisasi kekuasaan tidak lagi sedemikian kuat seperti zaman Orde Baru. Kekuasaan nasional tidak lagi berada di satu tangan (“one man show politics)”. Sistem pemilihan Presiden dan Wakil tidak lagi melalui perwakilan MPR yang sebagian anggotanya diangkat oleh Presiden.

Perubahan politik nasional sangat ditentukan oleh perubahan konstitusi, UUD 1945. Paradigma kehidupan berbangsa dan bernegara telah mengubah, yakni “dari demokrasi perwakilan menjadi demokrasi langsung”. Bahkan telah memasukkan Bab khusus tentang HAM, terdiri dari 10 pasal. Komisi independent sebagai komponen demokrasi telah terbentuk, antara lain Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Konstitusi (MK), KPU (Komisi Pemilihan Umum), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dll.
.
Tuntutan mahasiswa agar dwi fungsi ABRI dihapuskan telah terpenuhi, antara lain melalui kebijakan reposisi TNI/Polri: pemotongan institusi TNI dari keterlibatan dalam politik pemerintahan; pemisahan Polri dari TNI. Selanjutnya, telah terbit UU Pertahanan yang memperjelas fungsi TNI (meski masih diperlukan berbagai regulasi lain). Kini terus berkembang wacana publik untuk merumuskan gagasan mendasar berkenaan masalah keamanan (security) dan pertahanan, struktur TNI dll. Kebebasan berserikat dan kebebasan pers juga telah tumbuh berkembang pesat.

Perubahan politik nasional ditandai lagi dengan berbagai regulasi untuk memenuhi tuntutan sistem kepartaian banyak. Sebagai pilar demokrasi, kepartaian telah diatur melalui UU Parpol No. 2 Tahun 1999 di bawah pemerintahan Habibie. Lebih 200 parpol telah terbentuk dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan 44 Parpol sebagai Peserta Pemilu 1999. Selanjutnya, UU Parpol No. 31 Tahun 2002 di bawah pemerintahan Mega-Hamzah telah memberi peluang/kesempatan pendirian sekitar 200 ratus parpol. Terdapat 24 partai politik sebagai peserta Pemilu anggota legislatif tahun 2004. Selanjutnya, UU Parpol tahun 2007 di bawah pemerintahan SBY-JK. lebih 50 parpol telah lolos verifikasi badan hukum Departemen Kehakiman & HAM Sebanyak lebih 60 parpol resmi mendaftar sebagai peserta Pemilu 2009 ke KPU (s/d hari penutupan pendaftaran, 12 Mei 2008). Bahkan jumlah partai peserta Pemilu 2009, yakni 34 partai nasional. Lebih banyak ketimbang Pemilu 2004. Ada pula beberapa partai lokal (Propinsi NAD) sah sebagai peserta Pemilu 2009.

Walaupun masih syarat pelanggaran dan kecurangan, terutama dalam perhitungan suara pemilih, pelaksanan Pemilu era reformasi relatif lebih jurdil (jujur dan adil).. Pada 2004 telah dilaksanakan Pilpres secara langsung sesuai Pasal 6A UUD 1945. Juga telah dilaksanakan pemilihan anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) secara langsung pada Pemilu 2004. Akhirnya, kita bisa menunjukkan perubahan politik pada percepatan otonomisasi daerah, semula dipayungi UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah memuat desentralisasi pemerintahan dan distribusi dana sampai ke tingkat Kabupaten/Kota. Selanjutnya, dipayungi oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menetapkan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat. DPRD tidak memiliki wewenang lagi untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Penganti UU. No.22 Tahun 1999). Setidaknya telah dilaksanakan 356 Pilkada Kabupaten/Kota dan 26 Pilkada Propinsi, yang memberikan kedaulatan langsung ditangan rakyat tanpa diwakilkan. Bahkan, sejak bulan Juni 2008, calon perorangan sudah boleh mengikuti Pilkada Propinsi dan Kabupaten/Kota.

Perubahan politik nasional hasil reformasi sesungguhnya ditandai dengan struktur kekuasaan yang lebih “heterogen” baik di legislatif maupun eksekutif. Jika kita mengikuti cara berfikir ilmuwan sosial yang diwaranai antropologi zaman kolonial, berdasarkan politik aliran, maka gambaran perolehan suara hasil Pemilu 2004 yakni kekuatan politik Islam 38, 95 %, kekaryaan 35,84 % dan nasionalis 25,21 %. Gambaran perolehan kursi di DPR hasil Pemilu 2004 berdasarkan politik aliran: kekuatan politik Islam 42, 73 %, kekaryaan 34, 71 % dan nasionalis 22, 54 %. Di lain pihak, hasil Pilpres 2004 menghasilkan kekuasaan eksekutif di tangan Pasangan SBY-JK. Pasangan ini telah mengambil kebijakan “pembagian kekuasaan” kepada kekuatan-kekuatan politik lain, yang secara teoritis sebagai satu persyaratan untuk menciptakan rezim effektif dalam transisi demokrasi.

Perubahan Ekonomi.
Sekalipun diakui ada perubahan politik nasional di sana-sini lebih mengarah kehidupan demokratis dan penegakan HAM, namun kalangan pengkritik menekankan, perubahan politik itu tidak sejalan perubahan ekonomi nasional, terutama kesejahteraan rakyat. Perubahan politik nasional ternyata tidak menghasilkan kepentingan rakyat, kecuali kelompok pemodal/klas atas, terutama perusahaan-perusahaan asing. Keadaan semacam ini dapat dibuktikan dari beragam indikator, kemiskinan & pengangguran, pendapatan perkapita, manajemen fiskal dan perbankan, utang luar negeri, pangan, sumberdaya alam (SDA), kehutanan & lingkungan, industri & perdagangan, media massa & telekomunikasi, infrastruktur, maritim/transporatsi laut, pertahanan, politik luar negeri, korupsi dan politik hukum, perilaku sosial budaya, pendidikan, kesehatan dan perumahan. Dapat disimpulkan, di bawah rezim SBY-JK , indikator2 semaam itu tidak menunjukkan keadaan lebih baik, bahkan menurun. Dominasi oleh modal/perusahan asing atas ekonomi nasional semakin mengkat drastis.

Berdasarkan indikator2 itu dapat dinilai, keadaan Indoneia semakin tidak bermartabat, semakin dalam menjadi subordinat dari jaringan korporatokrasi internasional, yang jelas-jelas menguras habis-habisan kekayaan Indonesia. Korporatokrasi adalah sebuah jaringan ekonomi, keuangan, politik, militer, intelektual dan media masa yang dibangun oleh kekuatan-kekuatan kapitalis dan demokrasi liberal Barat. Kedaulatan nasional kita justru tergadaikan ke berbagai korporasi (perusahaan) asing. Jajak Pendapat Litbang Kompas (6-7 Mei 2008) dengan 871 responden berdomisli di 11 kota, menunjukkan bahwa 75 % responden menyatakan kondisi kesejahteraan rakyat saat ini jauh lebih buruk dibanding 10 tahun lalu. Setiap 8 dari 10 responden juga menyatakan, kondisi perekonomian lebih buruk dibanding satu dekade lalu. Sebanyak 50,4 % responden menganggap reformasi telah gagal membawa perubahan positif di bidang perekonomian, dan 16,5 % menilai gagal memperbaiki kondisi sosial dan kesejahteraan

Gambaran kondisi kemiskinan dan pengangguran semakin meningkat kini tak dapat dipungkiri. SBY pernah mengklaim, pertumbuhan ekonomi terus menaik mendekati 7 %. Namun, peningkatan ini hanya “menipu” pandangan. Pertumbuhan eonomi meningkat hanya pada sektor yang banyak dinikmati kelas menengah ke atas, sedangkan sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak cenderung menurun. Peningkatan devisa negara dikarenakan masuknya investasi asing ke Indonesia mencapai hingga 70 %. Kebijakan Pemerintah masih belum dapat mengurangi tingkat kemiskinan yang mendera rakyat. Selama tahun 2007 ketimpangan ekonomi meningkat dari 0,34 % menjadi 0,37 %. Pertumbuhan orang kaya per tahun mencapai 16 %. Ketimpangan ini menununjukkan melebarnya jurang kemiskinan (Faisal Basri, Kompas, 29 Des. 2007).

Menurut ECONIT’s Economic Outlook 2008, selama tiga tahun terakhir, pengeluaran untuk program anti-kemiskinan naik 2,8 kali, tetapi jumlah orang miskin nyaris tidak berkurang (40 juta jiwa). Kontradiski ini menunjukkan dua hal penting: pertama, efektivitas program anti-kemiskinan sangat rendah; kedua, proses pemiskinan struktural akibat kebijakan jauh lebih cepat dan ganas dibandingkan dengan program anti-kemiskinan. Beberapa contoh akibat kebijakan dimaksud sbb: 1. Ketidakmampuan Pemerintah SBY melakukan stabilisasi harga kebutuhan pokok sejak dua tahun terakhir, telah mengakibatkan kemerosotan daya beli dan peningkatan kemiskinan jutaan orang. 2. Kebijakan pro-pasar bebas ugal-ugalan dalam bentuk pembebasan ekspor rotan mentah oleh Menteri Perdagangan telah mengakibatkan ratusan pengusaha kerajinan rontan bangkrut dan mengakibatkan ratusan ribu orang menganggur. 3. Keputusan Menteri Perdagangan yang memberikan izin peningkatan alokasi ekspor pupuk telah mengakibatkan kebaikan harga pupuk 40 % di beberapa daerah dan banyaknya pupuk palsu. Kebijakan ini akan menurunkan produktivitas dan pendapatan petani.

Di lain fihak Laporan Kompas, 11 Februari 2008 menunjukkan, dari jumlah penganggur yang terdata, penganggur dari kalangan terdidik menunjukkan kecenderungan meningkat. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) per Februari 2007 oleh BPS menunjukkan, angka pengangguran terbuka berkurang menjadi 9,75 % dibandingkan dengan periode Agustus 2006 sebesar 10,28%. Meskipun menurun, menurut Kompas, jumlah penganggur dari kalangan perguruan tinggi justru meningkat. Jika Agustus 2006 penganggur dari kalangan ini sebanyak 673.628 orang atau 6,16 %, setengah tahun kemudian jumlah ini naik menjadi 740.206 atau 7,02 %. Tren kenaikan ini sudah terlihat sejak tahun 2003. Padahal, tahun-tahun sebelumnya penganggur terdidik sempat berkurang setelah pada tahun 1999 mencapai angka tertinggi, yakni 9,2 %. Sedangkan status pekerjaan lulusan perguruan tinggi dominan buruh, karyawan dan pegawai (75,29 %).

Data BPS (Mei 2008) menunjukkan jumlah tenaga kerja di sektor pertanian sebenarnya relatif tidak banyak berubah dalam tiga tahun terakhir. Pada Februari 2006, pertanian menyerap 42,32 juta tenaga kerja, sedangkan Februari 2007 terdapat 42,61 juta orang masih bekerja di sektor pertanian. Pada Februari 2008. sektor pertanian yang lebih banyak bersifat informal menyerap 42,69 juta tenaga kerja dari total penduduk yang bekerja (102,05 juta orang); hanya sekitar 28,52 juta (sekitar 25 %) sebagai buruh/karyawan di sektor formal. Industri adalah penyedia lapangan kerja formal terbesar.

Akhir Mei 2008 SBY menaikkan harga BBM. Akibatnya, menurut LIPI (Harian TEMPO, 29 Mei 2008), jumlah penduduk miskin 2008 akan bertambah 4,5 juta orang. Total orang miskin diperkirakan mencapai 41,7 juta jiwa atau 21,92 % dari total penduduk, jauh lebih tinggi ketimbang perkiraan pemerintah sebesar 14,8 – 15 %. Jumlah penduduk miskin tahun lalu tercatat 37,2 juta jiwa (sekitar 16,58 % dari total penduduk). Kenaikan harga BBM juga akan menambah terbuka baru, sehingga akhir 2008 jumlahnya akan mencapai 9,7 juta jiwa (8,6%) dari total penduduk. Angka pengangguran ini lebih tinggi dari kondisi Februari 2008, yakni 8,43 %.

Sesungguhnya Indonesia masih belum dapat keluar dari krisis ekonomi yang terjadi sejak 1997 (era Orde Baru). Pengangguran masih relatif besar dan belum dapat dikurangi secara berarti; sekitar 27 %. Bahkan diperkirakan, 40 % penduduk Indonesia masih tergolong miskin (versi Bank Dunia, minimal 2 $ US per hari pendapatan). Kini telah terjadi peningkatan kemiskinan yang drastis. Pengangguran juga semakin meningkat, bahkan kini penangguran dari kalangan terdidik telah meningkat: sekitar 800 ribu orang.

Sementara itu, harga barang kebutuhan pokok terus meningkat ke tahun (2005, 2006, 2007, 2008). Sedangkan daya beli masyarakat masih belum terangkat. Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) dan Friedrich Ebert Stiftung (FES) telah melaksanakan survei, Januari-April 2008, dengan 910 pekerja (responden) dengan tingkat upah di bawah Rp. 1 juta hingga di atas Rp.15 juta per bulan di Jakarta, Medan, Surabaya dan Bandung (Kompas, 2 Mei 2008).

Hasil survei menunjukkan pendapatan pekerja tak mencukupi. Upah minimum pekerja masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi inti. Rata2 pekerja mencukupi kebutuhannya dengan berutang. Di sisi lain, kepercayaan terhadap kepastian kerja relatif rendah. Kondisi upah yang bahkan nyaris tidak mampu menutupi kebutuhan paling pokok: makan. Hal ini tergambar pada indeks daya beli dan indeks persepsi pekerja. Rata2 upah minimum yang ditetapkan di empat kota tsb Rp. 900.000,- per bulan. Angka ini jelas defisit bagi pekerja karena, misalnya, survei indeks daya beli menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi inti, seseorang pekerja lajang yang mengontrak rumah membutuhkan biaya minimum Rp. 1,82 juta per bulan. Sementara pekerja berkeluarga yang mencicil rumah membutuhkan upah minimum Rp. 3,12 juta sebulan. Indeks daya beli tersebut menunjukkan, upah minimum yang ditetapkan di keempat kota tsb tidak sesuai dengan pemenuhan kebutuhan riil minimum.

Lebih jauh dilaporkan, ekspektasi pekerja untuk memiliki tempat tinggal, memenuhi kebutuhan transportasi, pangan, kesehatan, pendidikan, kepastian kerja, dan jaminan sosial. Indeks terendah terdapat pada ekspektasi terhadap kepastian kerja, disusul pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Kenaikan harga pangan dan biaya transportasi akan sulit ditanggung pekerja karena alokasi terbesar pendapatan pekerja sudah diperuntukkan bagi dua komponen pengeluaran tersebut.

Sebelumnya, hasil Jajak Pendapat Litbank Kompas (20-30 April 2008) dengan 622 responden berdomisili di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Padang, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, Manado, dan Jayapura (Kompas, 5 Mei 2008) menunjukkan bahwa penetapan upah minimum masih menguntungkan pengusaha (80,3%), pekerja (10,9%), tidak tahu (8,8%). Selanjutnya, Aturan/kebijakan di bidang ketenagakerjaan juga menunjukkan yang sama, yakni mentuntungakn pengusaha (86,7%), pekerja (7,8%) dan tidak tahu (6,1%).

Kemiskinan dan pengangguran itu diperkuat lagi dengan utang luar negeri sudah sangat besar hingga nilainya nyaris dengan PDB (2001-2005). Kewajiban pembayaran utang Indonesia dari tahun ke tahun telah menguras devisa. Bunga utang telah terakumulasi hingga menyita 1/3 pembayaran utang sehingga menjadi beban tersendiri. Dalam 20 tahun terakhir, cicilan pokok dan bunga utang telah menyedot hampir ½ pengeluaran rutin dalam anggaran pembangunan. Untuk menutupi defisit APBN Rp. 73,4 triliyun (2007), Pemerintah SBY-JK telah mengeluarkan obligasi yang diperdagangkan. Negara asing telah memiliki obligasi dimaksud dalam setahun meningkat Rp.23,7 triliyun dari Rp. 54,9 triliyun akhir 2006 menjadi 78,6 triliyun pada 2007. Sementara itu, belum juga dilaksanakan secara konsekuen Pasal 31, Ayat 4 UUD hasil Amandemen, yakni sekurang-kurangnya 20 % dari APBN dan APBD untuk pengelolaan pendidikan nasional.

Situasi buruk ini diperkuat lagi dengan kebijakan alokasi anggaran baik APBN maupun APBD, memperlihatkan oligarki elite lebih mementingkan pembiayaan politiknya daripada pemenuhan hak-hak dasar orang miskin sebagaimana dilaporkan Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Arif Nur Alam (Rakyat Merdeka, 19 Sep.2008). Menurut perhitungan FITRA, bantuan seluruh APBD selama 5 tahun anggaran di 33 propinsi dan 434 kabupaten/kota untuk partai politik berdasarkan kursi telah menyedot anggaran sebesar Rp. 306 miliyar per tahun atau Rp. 1,5 triliyun selama 5 tahun. Sedangkan untuk APBN sebesar Rp., 57 miliyar selama 5 tahun. Sehingga total anggaran APBD dan APBN selama 54 tahun yang digrogoti partai politik sekitar Rp. 1,59 tiliyun.

Dana bantuan untuk partai sekitar Rp. 1,59 trilyun pada umumnya dipakai oleh orang partai untuk membangun infrastruktur partai seperti pembangun dan penyewaan gedung atau operasionalisasi kantor partai. Bagi FITRA, seharusnya partai menggunakan dana tersebut untuk memberikan pendidikan politik kepada para konstituen.

Lebih jauh FITRA menunjukkan, separuh APBD 2008 (52%) di daerah habis untuk membiayai belanja pegawai dan 3 % -nya untuk belanja bantuan sosial yang nota bene belanja politik. Sementara belanja modal yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi hanya sekitar 22 %. Tidak berbeda dengan potret APBN, 13 % dialokasikan untuk pegawai, sementara belanja modal hanya 8 %.

Alokasi anggaran yang tidak berpihak kepada rakyat tersebut mengakibatkan hak dasar rakyat memperoleh pendidikan dan kesehatan masih terabaikan. Berdasarkan temuan FITRA pada APBD 2008, rata2 belanja langsung pendidikan baru mencapai 7 % (termauk DAK pendidikan). Sementara belanja langsung kesehatan mencapai 9 % (termasuk DAK).





Perubahan Politik Pasca Pemilu 2009?
Dua pertanyaan mendasar penting diajukan. 1. Apakah Pemilu Legislatif 2009 akan menghasilkan perubahan politik, khususnya struktur kekuasaan di DPR-RI? 2. Apakah Pilpres 2009 akan meghasilkan perubahan politik, khususnya struktur kekuasaan di eksekutif yang pada gilirannya perubahan kebijakan lebh memihak kepentingan rakyat ketimbang kepentingan modal/perusahaan asing?

Untuk menjawab pertanyaan No. 1, maka langkah pertama mengidentifikasi partai-partai peserta potensial memiliki kursi di DPR-RI baik partai lama maupun partai baru. Jumlah partai peserta pemilu 2009 telah ditetapkan oleh KPU, mencakup 34 Partai. Sebagian besar partai dimaksud tergolong partai baru, dan partai-partai lama yang mencapai 2,5 % perolehan suara sah dalam Pemilu 2004, hanya tujuh partai, yakni Golkar 21,58 %, PDIP 18,53 %, PPP 8,15 %, PKB 10,57%, PKS 7,34 %, PAN 6,44 %, P.Demokrat 7,45%, dan PBB 2,62 %. Payung hukum Pemilu legislatif 2009 adalah UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Salah satu pasal penting dalam UU ini menyangkut keketentuan Parlementary Treshold, yakni hanya partai yang memperoleh minimal 2 ½ % total suara sah, yang dapat memperoleh kursi di DPR-RI.

Jika digunakan data hasil Pemilu 2004 dan dilaksanakan ketentuan Parlementary Treshold, maka dapat diprakirakan yang akan lolos dan memperoleh kursi di DPR-RI hanyalah delapan partai, yakni: Golkar, PDIP, PPP 11, PKB, PKS, PAN, P.Demokrat, dan PBB. Kalaupun partai baru berhasil memperoleh minimal 2,5 % suara sah sehingga akan memiliki kursi di DPR-RI, paling memungkinkan adalah Partai Hanura yang memiliki basis konstiten sama dengan Golkar dan Partai Demokrasi Pembaruan (PDP).yang memiliki basis konstituen sama dengan PDIP. Namun, tetap saja dominasi kekuasaan di legislatif nasional ditangan partai lama, yang kini juga telah berkuasa. distribusi kekuasaan tidak akan menunjukkan adanya kekuasaan partai dominan atau melebihi 50 %. Intinya, tidak akan terjadi perubahan kekuatan politik yang berarti di lembaga legislatif.

Di lain fihak, untuk menjawab pertanyaan No. 2, memprakirakan perubahan politik tingkat eksekutif (Presiden-Wakil Presiden), sesungguhnya hanya dapat dilakukan semata-mata berdasarkan hasil jajak pendapat. Sekalipun, lembaga-lembaga jajak pendapat belum dapat dinilai sebagai netral, tidak berkepentingan secara finansial, atau sungguh-sungguh menegakkan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik, hanya sumber-sumber itu yang dapat dimanfaatkan dengan data kuantitatif dan mudah dimengerti.

Setelah Pilpres 2004 dan menjelang Pilpres 2009, berbagai lembaga telah mengadakan survei/jajak pendapat tentang calon Presiden seperti Soegeng S.S, LSI (Lembaga Survei Indonesia), LAKSNU, IndoBarometer, LSI (Lingkaran Survei Indonesia), Reform Institute, Okspsospol Fisip UI, LSN (Lembaga Survei Nasional), CSIS, NLC, IRDI, LRI Johanspolling. Pada umumnya hasil survei lembaga-lembaga ini menonjolkan dua tokoh utama, yakni Megawati dan SBY. Sementara, tokoh-tokoh lainnya jauh tertinggal dari kedua tokoh itu.

Salah satu hasil jajak pendapat dapat diajukan dari LSN (Lembaga Survei Nasional), 2008, sbb: Megawati 16, 7%, SBY 16,4%, Sultan HB 6,9%, Hidayat NW 5,8 %, Wiranto 5,1 %, JK 4,1%, Amien Rais 3,7 %, Gus Dur 3,4%, Gus Dur 3,4 %, Sutiyoso 1,7 %, Akbar Tanjung 1,4 %, tokoh lainnya 3,5%. Sementara itu, Reform Institute menunjukkan (Survei Juni-Juli 2008), Megawati 19,4 %, SBY 19, 06 %, Sultan HB 7,12 %, Amien Rais 6,14 %, Prabowo 3,81 %, Gus Dur 3,3 %, Wiranto 3,05 %, Akbar Tanjung 2,52 %, Sutyoso 1,57 %, Hidayat NM 0,68 %, belum menentukan 28, 8 %, tokoh lainnya 1,85 %.

Lembaga lain, NLC (National Leadership Centre), mengaku mengambil 2000 Responden, 30 Propinsi, 18-29 Juli 2008 menyimpulkan, Megawati 28 %, SBY 27 %, Prabowo 11 %, Sultan 6 %, Wiranto 5 %, Gus Dur 4 % dan JK 2 %. Selanjutnya, IRDI (Indonesa research and Development Institute) 5-12 Juli 2008, 2600 Responden, 33 Propinsi , 260 Desa/Kelurahan, 50:50 % laki2 dan perempuan menunjukkan hasil survei sbb: SBY 37 %, Megawati 34, 58 %, Wiranto 10,23 %, Hidayat NW 8.00%, Sultan HB 5,29 %, JK 3,96 %.

Dari beberapa hasil survei tentang Pilpres, dapat disimpulkan terjadi pemblokan suara pada hanya dua tokoh (Megawati dan SBY) sangat tinggi, sementara semua lainnya jauh di bawah dua tokoh tersebut. Berdasarkan pertimbangan hasil survei, tokoh yang sangat berpeluang untuk menjadi Presiden hanya pada Megawati dan SBY.

Jika, prakiraan ini dapat dianggap obyektif dan kredibel, maka tidak akan ada perubahan struktur kekuasaan di eksekutif yang berarti. Yang ada hanyalah pergantian tokoh yang masing-masing sudah pernah menajdi Presiden RI era reformasi. Karenanya, perubahan kekuasaan politik nasional tidak akan terjadi. Paradigma elite politik tetap mengutamakan modal/perusahaan asing, mengalahkan kepentingan rakyat. Selama Megawati berkuasa, beberapa kebijakan diambil telah diwarnai paradigma ini. Berdasarkan hasil survei semua lembaga, seakan tidak akan muncul tokoh baru yang belum pernah secara emperis berkuasa sebagai Presiden hasil Pemilu 2009.

Perubahan Ekonomi Pasca Pemilu 2009?
Pertanyaan berikutnya: apakah Pemilu 2009 akan menghasilkan perubahan ekonomi nasional, terutama kesejahteraan masyarakat? Dengan pertanyaan lain, apakah Pemilu 2009 yang tidak akan mengubah struktur kekuasaan legislatif dan eksekutif akan mengubah ekonomi nasional menjadi lebih baik?

Selama reformasi berlangsung, perubahan politik ternyata tidak sejalan dengan perubahan ekonomi, terutama kesejahteraan rakyat kebanyakan. Yang terjadi justru semakin miskin dan banyaknya pengangguran dan dominasi asing atas sumberdaya ekonomi Indonesia. Indonesia semakin tidak bermartabat, kepentingan modal/perusahaan asing lebih diutamakan ketimbang kepentingan rakyat. Bisa jadi kondisi ekonomi nasional yang tidak membaik ini akibat perubahan struktur kekuasaan yang tidak mendapatkan tekanan publik baik dari dalam maupun luar struktur kekuasaan.

Untuk menjawab pertanyaan ini, sesungguhnya membutuhkan kesamaan persepsi tentang apakah sesungguhnya akan terjadi perubahan politik nasional, terutama kekuatan politik di legislatif dan eksekutif hasil Pemilu 2009. Kami sendiri dalam posisi memprakirakan, Pemilu 2009 tidak akan menghasilkan perubahan politik (struktur keuasaan) nasional yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat. Struktur keuasaan terbangun akan melanggengkan kepentingan modal/perusahan asing karena para elite kekuasaan di legislatif dan juga eksekutif tetap masih memiliki paradigma lama. Tidak akn terjadi perubahan substansial struktur kekuasaan, kecuali hanya pergantian orang perorangan (elite) baik di legislatif maupun eksekutif. Sejarah membuktikan, struktur kekuasaan semacam itu gagal meningkatkan kesejahteran rakyat kebanyakan, justru kemiskinan dan pengangguran semakin bertambah dari tahun ke tahun.


Lima tahun pasca Pemilu 2009 tidak akan terjdai perubahan ekonomi, terutama kesejahteran ekonomi rakyat. Bisa jadi, tingkat kemiskinan semakin menaik dan jumlah pengangguran semakin membanyak pada gilirannya akan mempercepat “chaos” yang dapat mengundang kekuatan luar intervensi negara/kekuatan asing ke dalam negeri dan disintegrasi politik nasional. Konsekuensinya, beberapa propinsi tak pelak lagi akan melepaskan diri dari negara RI.

Perubahan politik nasional tanpa diikuti perubahan ekonomi nasional menjadi persoalan utama Indonesia, yang hanya bisa dipecahkan oleh elite politik berwawasan kepentingan nasional, terutama kepentingan rakyat kebanyakan dan mempunyai keberanian memutus hubungan struktural dengan modal/perusahan asing yang telah merugikan kepentingan rakyat kebanyakan.

Jika hasil jajak pendapat selama ini sesuai dengan hasil Pilpres 2007, maka hanya ada dua tokoh yang sangat mungkin menjadi Presiden: SBY dan Megawati. Pertanyaannya: apakah kedua tokoh ini akan sungguh-sungguh berwawasan dan mengambil kebijakan demi kepentingan rakyat (bukan modal/perusahan asing) jika kelak mereka menjadi Presiden untuk lima tahun ke depan? Berdasarkan catatan pengalaman mereka sebagai Presiden, Anda, pembaca, tentu bisa menjawab pertanyaan ini secara bijak !

----------------------
*Ketua Yayasan Jaringan Studi Asia Tenggara (Network for South East Asian Studies=NSEAS)