Jumat, 25 Februari 2011

SEKITAR PERMASALAHAN TRANSPORTASI DARAT DI DKI JAKARTA

Oleh
Moh. Soetopo dan Muchtar Effendi Harahap




Dari Istana Bogor ( 21 Februari 2011), saat membuka Rapat Kerja Pemerintah, Presiden SBY sempat melontarkan teguran bagi Pemerintah DKI Jakarta. "Banyak yang berkomitmen membangun transportasi di Jakarta, luar biasa banyaknya sepuluh tahun ini, semuanya pepesan kosong," ujarnya SBY. Ia menyatakan sudah kenyang mendengar banyaknya rencana tak terlaksana seperti itu. Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo memasang wajah tanpa ekspresi meski disindir SBY. Fauzi kerap disapa Foke itu hanya tampak menunduk, memandang meja bertaplak putih di hadapannya.

Dalam kesempatan itu, SBY mendesak permasalahan transportasi di DKI Jakarta sudah teratasi sebelum 2020. "Perbaikan signifikan dirasakan sebelum 2014. Tidak berarti Pak Fauzi Bowo harus tunggu sampai 2020, paling tidak masyarakat Jakarta bisa rasakan transportasi lebih baik," tandas SBY Kemacetan Jakarta, menurut SBY, tak mungkin diatasi oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo sendirian. Dia berharap pemerintah provinsi, pemerintah pusat, dan semua pihak terkait bersatu untuk mengatasi masalah ini. "Kalau tidak yang tinggal di Jakarta, keluar dari garasi nanti masuk ke jalan sudah macet. Jadi betul-betul mulai sekarang mari kita cegah itu terjadi."
Menanggapi pernyataan kecewa SBY, Fauzi Bowo mengakui memang ada proyek transportasi lambat, tapi itu akibat komitmen di masa sebelum ia menjabat. Semisal, monorel terkendala karena swasta menyatakan tak sanggup memenuhi kewajiban. Adapun MRT alias Mass Rapid Transportation diklaimnya berjalan sesuai dengan jadwal. Fauzi bahkan mengklaim semua proyek di masa jabatannya berjalan lancar. "Belum ada proyek saya rintis apalagi saya tanda tangani MOU (nota kesepahaman) berhenti di tengah jalan," kilah Fauzie dalam jumpa pers di Istana Bogor.

Sesungguhnya kekecewaan SBY sangat terkait dengan kondisi riil di lapangan, yakni kemacetan lalu lintas di DKI Jakarta. Kemacetan ini sudah sejak beberapa decade menjadi satu issue utama dihadapi DKI Jakarta, namun hingga kini masih belum terpecahkan. Kemacetan lalu lintas sesungguhnya tidak terlepas dari permasalahan transportasi darat. Tulisan ini akan mendeskripsikan sekitar permasalahan transportasi darat di DKI Jakarta.

Jakarta yang Nyaman dan Sejahtera untuk Semua

Pembangunan Kota Jakarta yang sangat pesat dan pertumbuhan ekonomi di wilayah ini telah mendorong laju urbanisasi, yang merupakan faktor penting yang mempengaruhi tingkat kemacetan lalulintas. Kebutuhan transportasi dan energi meningkat seiring dengan bertambahnya penduduk, perkembangan kota, dan berubahnya gaya hidup karena meningkatnya pendapatan.

Provinsi DKI Jakarta yang berperan ganda sebagai pemerintahan daerah dan sebagai Ibukota Negara, memiliki kompleksitas permasalahan dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) DKI Jakarta 2008 – 2013 merumuskannya dalam visi “Jakarta yang nyaman dan sejahtera untuk semua”. Penjabaran dari visi tersebut diwujudkan melalui beberapa misi dan strategi, diantaranya: a) membangun sarana dan prasarana kota yang menjamin keamanan dan memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan; b) meningkatkan kualitas lingkungan hidup; c) konsistensi implementasi Perda tentang Rencana Tata Ruang Wilayah, penegakan hukum terhadap pelanggaran baku mutu lingkungan, mengembalikan keadaan udara bersih, laut biru dan air tanah yang tidak tercemar. Strategi dan rencana aksipun telah disusun yang bertujuan untuk mengembangkan persepsi, visi, dan strategi bersama antar instansi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pemangku kepentingan lainnya.

Manusia (Penduduk)

Tinjauan faktor manusia (penduduk) dalam konteks kemacetan lalulintas Jakarta mengarah pada fenomena urbanisasi. Jumlah penduduk di Provinsi DKI Jakarta diproyeksikan akan bertambah dari 8.361.000 jiwa pada tahun 2000 menjadi 9.260.000 jiwa pada tahun 2025 [Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Badan Pusat Statistik (BPS), United Nations Population Fund (UNFPA), 2005]. Laju urbanisasi dari pedesaan ke perkotaan semakin meningkat terutama disebabkan keinginan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, yang pada akhirnya urbanisasi akan menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan transportasi (dan perumahan), sehingga berdampak pada peningkatan kepadatan lalulintas. Pertumbuhan dan peningkatan aktivitas penduduk membuat mobilitasnya semakin tinggi, dan mempengaruhi sektor transportasi terutama pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor. Pertumbuhan penduduk dan urbanisasi telah mendorong pengembangan wilayah perkotaan yang semakin melebar ke daerah pinggiran kota/daerah penyangga di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek). Jika digabungkan, pertumbuhan rata-rata penduduk DKI Jakarta dan Bodetabek (Jabodetabek) antara kurun waktu tahun 1990 – 2000 adalah 2,1% per tahun. Bandingkan dengan pertumbuhan penduduk DKI Jakarta 0,15% (1990 – 2000) dan 1,11% (2000 – 2007) per tahun. Hal ini menyebabkan peningkatan kebutuhan sarana dan prasarana transportasi, serta jarak tempuh yang semakin jauh dari tempat tinggal ke tempat kerja di pusat-pusat kota.
Berdasarkan The Study on Integrated Transport Master Plan for Jabodetabek (SITRAMP) oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) tahun 2004, diperoleh indikasi bahwa terjadi pergerakan lebih dari 1,3 juta kendaraan per hari dari wilayah Bodetabek ke DKI Jakarta dan sebaliknya. Kini pada 2011 jumlah itu telah meningkat tajam. Berdasarkan data Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya (Januari 2011), keberadaan kendaraan bermotor di Jabodetabek terdapat 12 juta unit, dengan rincian 8 juta roda kendaraan roda dua dan 4 juta roda empat. Ia menambahkan berdasarkan survei yang dilakukan dari 2002 sampai 2010, penggunakan sepeda motor terus meningkat dari 21,2 persen menjadi 48,7 persen. Sedangkan untuk, mobil pribadi dari 11,6 persen menjadi 13,5 persen.
Faktor tingkat kesadaran para pengguna jalan juga punya andil dalam timbulnya kemacetan lalulintas. Misalnya, kesadaran pengemudi kendaraan umum maupun pribadi untuk berlalulintas dengan baik dan benar masih kurang, sehingga mengakibatkan gangguan dan hambatan terhadap kelancaran arus lalulintas, khususnya di pusat-pusat kota sebagai pusat kegiatan. Pada gilirannya hal tersebut dapat berdampak pada peningkatan kepadatan dan kemacetan lalulintas.

Tata Ruang

Tinjauan faktor tata ruang dalam konteks kemacetan lalulintas Jakarta mengarah pada keseimbangan ruang. Pembangunan kantor-kantor pemerintah, apartemen mahal, pusat perkantoran dan bisnis hingga saat ini terkonsentrasi di tengah-tengah kota, akibatnya harga tanah di pusat kota meningkat tajam. Bersamaan dengan laju urbanisasi yang sangat cepat, kebutuhan perumahan yang layak dengan harga yang tak terlalu mahal meningkat. Namun penyediaan perumahan layak dan tak mahal tersebut terbatas, bahkan tidak ada sama sekali di pusat kota. Hanya kota-kota penyangga yang masih mampu menyediakan perumahan dengan kondisi tersebut, mengingat harga tanah di daerah penyangga masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan pusat kota. Dengan demikian, pembangunan perumahan belakangan ini lebih diarahkan pada kota-kota penyangga tersebut.
Kondisi ini tentunya menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan transportasi dan jarak tempuh dari rumah ke tempat kerja di pusat kota maupun di kawasan industri. Sebagai contoh, banyak orang yang tinggal di wilayah Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (BODETABEK) harus pulang pergi setiap hari ke Jakarta. Jumlah pergerakan kendaraan ini ditambah dengan kendaraan dari penduduk Jakarta sendiri, menimbulkan kemacetan di hampir semua ruas jalan, terutama pada saat jam puncak di pagi dan sore hari.
Pembangunan permukiman di wilayah Bodetabek umumnya tidak diikuti dengan pembangunan sistem transportasi, sehingga kendaraan bermotor pribadi menjadi pilihan moda transportasi yang utama bagi mereka yang tinggal di Bodetabek dan bekerja di DKI Jakarta. Tataguna lahan yang tidak seimbang dan ditambah dengan tidak adanya integrasi pengembangan sistem transportasi dengan tataguna lahan menjadikan parahnya kemacetan lalu lintas di perkotaan.

Pertumbuhan Ekonomi

Tinjauan faktor pertumbuhan ekonomi dalam konteks kemacetan lalulintas Jakarta mengarah pada perubahan perilaku masyarakat yaitu pola konsumsi dan gaya hidup. Pertumbuhan ekonomi perkotaan ternyata tidak hanya memberikan manfaat, namun juga menimbulkan dampak negatif. Salah satunya adalah peningkatan kepadatan lalulintas karena meningkatnya jumlah kendaraan bermotor baik untuk kegiatan pribadi dan rumah tangga, industri, maupun untuk pengangkutan orang dan barang
Selain itu meskipun bukan menjadi faktor utama, meningkatnya pendapatan dan berbagai kemudahan yang diperoleh dari sektor perbankan telah menyebabkan banyak masyarakat perkotaan seakan berlomba membeli mobil dan sepeda motor, yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan kepadatan lalulintas dan kemacetan.
Sarana dan Prasarana Transportasi
Tinjauan faktor sarana dan prasarana transportasi dalam konteks kemacetan lalulintas Jakarta, untuk faktor sarana transportasi mengarah jumlah dan pola pergerakan kendaraan bermotor, sedangkan faktor prasarana transportasi mengarah pada perencanaan pola tata ruang dan ketersediaan anggaran. Perencanaan sistem transportasi akan sangat mempengaruhi penyebaran arus lalulintas kendaraan bermotor sebagai sumber kemacetan, yaitu mengikuti jalur-jalur transportasi yang direncanakan. Adapun faktor penting yang menyebabkan dominannya pengaruh sarana dan prasarana transportasi terhadap kemacetan, antara lain:

1.Perkembangan jumlah kendaraan yang cepat (eksponensial);
2.Tidak seimbangnya prasarana transportasi dengan jumlah kendaraan yang ada;
3.Pola lalu lintas perkotaan yang ber-orientasi memusat, akibat terpusatnya kegiatan-kegiatan perekonomian dan perkantoran di pusat kota;
4.Masalah turunan akibat pelaksanaan kebijakan pengembangan kota yang ada, misalnya daerah pemukiman penduduk yang semakin menjauhi pusat kota;
5.Kesamaan waktu aliran lalu lintas;
6.kondisi kerusakan permukaan jalan dan faktor gesekan samping jalan;

Mencari Solusi Kemacetan Lalulintas

Menurut dr. Awi Muliadi Wijaya, MKM (dalam Faktor-faktor Penyebab Kemacetan Lalu Lintas di Jakarta dan Alternatif Pemecahan Masalahnya), solusi dari permasalahan kemacetan lalu lintas di Jakarta, tidak dapat dicapai dengan cara-cara yang 'biasa', harus dilakukan upaya-upaya (intervensi) terobosan yang 'tidak biasa' dan mungkin (maaf) 'sedikit gila.' Agar tingkat kemacetan di Jakarta dapat direduksi, maka upaya-upaya terobosan ini harus dilakukan secara sungguh-sungguh (serius, menyeluruh, tidak setengah-setengah), tidak pilih bulu, tegas dan berani walau berisiko mendapat banyak tantangan dan pertentangan. Upaya-upaya terobosan yang disusun berdasarkan faktor-faktor penyebab kemacetan di atas sebagian besar akan berkonsekwensi/memerlukan adanya perubahan kebijakan (perda) tentang transportasi (Lalu Lintas dan Angkutan Jalan). Upaya-upaya itu adalah:

1. Perbaikan faktor jalan raya

Prinsip upaya perbaikan faktor jalan raya adalah semua upaya (intervensi) dengan target kepada jalan raya yang bertujuan untuk memperluas lebar jalan dan memperoleh atau 'merebut' kembali pemanfaatan jalan raya yang selama ini disalahgunakan atau dimanfaatkan secara keliru. Upaya-upaya yang dapat ditempuh antara lain:

a.Memperbaiki jalan-jalan yang rusak/berlubang.
b.Memperlebar ruang jalan di ruas-ruas jalan yang masih memungkinkan untuk dilebarkan.
c.Melarang penggunaan jalan dan atau trotoar untuk berbisnis/usaha, misal: bongkar muat barang di tepi jalan, praktek dagang di trotoar, dan praktek ojek motor. Trotoar hanya diperuntukkan bagi pejalan kaki.
d.Melarang penggunaan jalan untuk kegiatan pasar. Salah satu contoh kegiatan pasar yang mengganggu arus lalulintas adalah praktek Pasar Koneng di daerah Daan Mogot Pesing, Jakarta Barat, yang sangat mengganggu arus lalulintas pada pagi, sore dan malam hari.
e.Menertibkan/melarang penggunaan jalan raya untuk area parkir dan tempat mangkal angkutan umum dan ojek sepeda motor. Salah satu contoh penggunaan jalan raya untuk tempat mangkal angkutan umum dan ojek sepeda motor adalah jalan di depan Mal Slipi Jaya dan Pasar Slipi di bawah jalan layang yang sepanjang hari dimanfaatkan sebagai terminal mikrolet, tempat mangkal bajay dan ojek sepeda motor sehingga jalan menyempit yang diperparah dengan banyaknya sepeda motor yang berjalan melawan arus.
f.Menertibkan pengemis, pedagang asongan dan anak jalanan beroperasi di persimpangan jalan.
g.Melarang angkutan umum ngetem (mangkal atau berlama-lama berhenti) di pinggir jalan, melarang adanya "terminal bayangan." Salah satu contoh jalan yang sangat semrawut adalah jalan Casablanca di depan terminal kampung melayu di bawah jalan layang, kemacetan di sini terutama pada sore hari disebabkan adanya terminal bayangan bagi bus dan mikrolet, banyak pedagang menggelar dagangan di badan jalan dan trotoar, dan pangkalan ojek sepeda motor.
h.Memindahkan pengoperasian Bus Trans Jakarta dari jalur yang sekarang digunakan (bus way) ke jalur/jalan tol dalam kota.
i.Sejalan dengan poin di atas, menghentikan pengoperasian jalan tol dalam kota dan mengalihfungsikan untuk jalur bus Trans Jakarta (bus way).
j.Memisahkan jalur sepeda motor dengan jalur mobil di ruas-ruas jalan tertentu pada hari kerja.
k.Menerapkan sistem "Tarif Jalur Padat" yang mengharuskan pengemudi membayar jika melalui ruas jalan raya tertentu pada saat lalu lintas padat.
l.Membuka jalan-jalan tembus yang baru.
m.Mempercepat pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) berbasis jaringan kereta api yang sudah lama direncanakan. Namun perlu diperbandingkan dan hitung ulang untung rugi pembangunan MRT antara MRT berbasis Underground Tunnel Construction (subway atau underpass) dan MRT berbasis fly over, antara lain dari sisi pembiayaan, keamanan, biaya pemeliharaan, dan daya tahan dengan memperhitungkan faktor kerentanan lapisan bawah tanah Jakarta serta mengingat Jakarta masih rentan terhadap banjir dan keberhasilan pengendalian banjir. Penulis lebih condong memilih MRT berbasis flyover (jalan layang) dengan pertimbangan untuk puluhan tahun kedepan pengelola tidak perlu mengkhawatirkan jalan underpass-nya sudah tidak kedap terhadap banjir, juga dari aspek kemudahan pemeliharaan dibandingkan MRT berbasis subway.
n.'Membersihkan' jalan raya tiga kali sehari (bahkan setiap saat pada hari kerja) dari kendaraan yang diparkir di pinggir jalan tertentu, misalnya dengan upaya sanksi denda, menderek atau merantai kendaraan yang diparkir seenaknya.

2. Perbaikan faktor kendaraan

Prinsip upaya perbaikan faktor kendaraan adalah semua upaya dengan target kepada kendaraan yang ditujukan untuk membatasi volume kendaraan yang melintasi jalan raya, memperbesar daya muat orang (penumpang) dan atau barang yang dapat diangkut, dan menurunkan tingkat emisi gas buang kendaraan bermotor, karena tujuan dari adanya jalan raya adalah untuk memindahkan orang dan barang, bukan kendaraan. Kendaraan hanya sekedar menjadi alat pengangkut.
Menurut hasil jajak pendapat pada infodokterku.com yang dilakukan sejak bulan September 2010 dengan pertanyaan "Menurut pendapat Anda, jenis kendaraan apa yang punya kontribusi paling besar dalam menimbulkan kemacetan di jalan-jalan Ibukota (Jakarta)?" Hasilnya per tanggal 10 November 2010, berturut-turut sebesar 64,58% responden menjawab mobil, 18,75% menjawab angkutan umum dan 16,67% menjawab sepeda motor punya kontribusi paling besar dalam menimbulkan kemacetan lalu lintas di Jakarta.
Berdasarkan hasil jajak pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa mobil dan angkutan umum merupakan kontributor terbesar yang menimbulkan kemacetan lalu lintas di Jakarta. Dapat dimengerti karena mobil (mobil pribadi), disebabkan oleh ukuran 'body'-nya dan jumlah populasinya yang besar di Jakarta, sangat banyak mengambil/menyita lahan jalan raya. Oleh karena itu upaya untuk membatasi jumlah dan volume kendaraan, memperbesar daya muat orang dan/atau barang hendaknya lebih dikonsentrasikan pada intervensi ditujukan kepada kendaraan jenis mobil dan angkutan umum. Sedangkan intervensi pada pengendara sepeda motor, berupa penerapan peraturan yang lebih ketat, siapapun yang melanggar harus ditindak tegas, hal ini akan mengurangi Angka Kecelakaan Lalulintas.

Upaya-upaya pada faktor kendaraan yang dapat ditempuh antara lain:

a.Membatasi jumlah mobil pribadi yang boleh dimiliki.
b.Membatasi jumlah maksimum armada angkutan umum per trayek yang boleh beroperasi.
c.Membatasi penggunaan mobil pribadi. Cara pembatasannya bisa bermacam-macam, misalnya: pembatasan usia mobil yang boleh berlalu-lalang berdasarkan tahun keluaran mobil, pengaturan nomor genap dan ganjil dari plat nomor kendaraan yang boleh beroperasi secara bergantian setiap hari, menerapkan "Zona Bebas Mobil" pada ruas jalan dan hari-hari tertentu sekaligus sebagai upaya untuk mengurangi pencemaran udara, menggalakkan pariwisata, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakatMelarang beroperasinya mobil pribadi 'berbadan lebar' pada hari kerja (senin sampai jumat).
d.Memaksimalkan jumlah penumpang yang dapat diangkut pada mobil pribadi di ruas jalan tertentu pada hari-hari dan jam tertentu, misal: penerapan five in one (bukan three in one seperti sebelumnya).
e.Sejalan dengan penerapan poin di atas, memperluas area penerapan five in one bagi mobil pribadi.
f.Menerapkan kebijakan yang mengatur tingkat emisi gas buang kendaraan bermotor, termasuk melarang beroperasinya kendaraan jenis: bajaj dan sepeda motor bermesin 2 tak.
g.Mulai merintis penggunaan Bahan Bakar Gas (BBG) bagi kendaraan. Banyak keuntungan dari penggunaan BBG, antara lain akan sangat mengurangi polusi udara, mengurangi tingkat kecepatan kendaraan sehingga mengurangi pula tingkat kecelakaan lalulintas, menghemat devisa walaupun investasi awal tinggi tetapi keuntungan yang tinggi menanti dimasa depan. Untuk pembelajaran dalam penerapaan BBG, kita dapat mencontoh negara Cina.

3. Perbaikan faktor manusia (pengguna jalan)

Prinsip upaya perbaikan faktor manusia adalah semua intervensi dengan target kepada pengguna jalan (termasuk pengemudi, tukang ojek, tukang parkir, pedagang kaki lima, pejalan kaki dan pemakai jalan lainnya) dengan tujuan utama mengubah sikap, kebiasaan dan perilaku (habits and behaviors) yang selama ini secara keliru diterapkan, misal: sikap mementingkan diri sendiri, saling serobot, tidak mau mengalah, congkak, arogan, menganggap pengguna jalan lain sebagai musuh, membuang sampah di jalan raya, dan bila melanggar aturan lalu lintas dianggap sebagai perilaku yang benar dan tidak memalukan.
Untuk mengubah sikap, perilaku dan kebiasaan masyarakat tidak semudah membalik telapak tangan tetapi memerlukan waktu panjang dan berkesinambungan. Upaya ini dapat dilakukan antara lain melalui promosi di media elektronik, surat kabar dan memberi contoh yang baik. Masyarakat tidak akan mudah berubah tanpa adanya intervensi langsung dari petugas, oleh karena itu yang terpenting Petugas/Polisi Lalu lintas sebagai penegak keadilan di jalan raya harus mampu menegakkan keadilan di jalan tanpa pandang bulu (pilih kasih), menindak tegas para pelanggar yang termasuk:

a.Penyerobot lampu merah.
b.Pengendara sepeda motor yang melawan arus, tidak memakai helm dan melanggar rambu/aturan lalu lintas.
c.Pengendara yang berhenti di tempat yang dilarang.
d.Pengendara yang parkir di tempat yang tidak diperbolehkan.
e.Pejalan kaki yang menyeberang di tempat yang tidak diperbolehkan untuk menyeberang.
f.Pedagang asongan, pengemis, anak jalanan.
g.Pelanggar rambu lalulintas lainnya.
h.Menerapkan peraturan secara konsekwen dan tidak 'pilih kasih,' misal: penerapan sanksi secara konsekwen dan ketat kepada pengendara mobil, angkutan umum dan sepeda motor tanpa pilih kasih, penerapan 'denda' yang tinggi kepada semua pelanggar undang-undang lalu lintas (termasuk pembuang sampah ke jalan) tanpa pilih kasih.

4. Perbaikan faktor lainnya

Perbaikan faktor lainnya adalah intervensi lain yang dapat dilakukan selain ketiga jenis intervensi di atas. Upaya yang dapat dilakukan antara lain:
1.Menerapkan undang-undang lalu lintas angkutan jalan secara konsekwen.
2.Menambah jumlah personel pengatur dan polisi lalulintas terutama pada jam-jam pergi dan pulang kantor.
3.Mengatasi banjir yang menjadi masalah besar bagi Jakarta.
4.Memindahkan Ibukota Indonesia dari Jakarta ke kota lain di luar pulau Jawa.
5.Mengeluarkan kebijakan yang melibatkan sektor lain, misal: penerapan waktu pulang dan pergi kerja dan sekolah tidak berbarengan tetapi diatur berdasarkan kebutuhan dan situasi kepadatan lalu lintas di suatu kawasan dimana waktu pergi dan pulang dapat diatur secara bergilir.
6.Menerapkan tiga atau empat hari kerja dalam seminggu yang harinya diatur secara bergantian dalam setiap kawasan, dengan berpedoman pada prinsip untuk mengurangi kemacetan lalu lintas.
7.Menerapkan kerja jarak jauh dan pendidikan jarak jauh melalui pemanfaatan teknologi komunikasi/internet.

Jumat, 18 Februari 2011

SUMUT TARGET KPK KORUPSI SUDAH MENGAKAR DI MASYARAKAT

Sumut Target KPK
* Korupsi Sudah Mengakar di Masyarakat


Medan-ORBIT: Sejak Sumatera Utara (Sumut) disebut sebagai sarang korupsi, merupakan daerah paling korup se-Indonesia ini, masyarakat kehilangan muka dan khawatir memberangus koruptor di daeah ini tidak mudah.

Pasalnya, menurut Mukhtar Effendi Harahap, mental korupsi di Sumut sudah hampir menyeluruh. Budaya korupsi dilakukan dari pejabat tinggi sampai anggota masyarakat.

Sehingga, jelas Ketua Network for South East Asian Studies (NSEAS), Kamis dinihari (16/2) di Medan, memberantas korupsi di Sumut ini memerlukan kerja keras dan kerjasama terpadu antara elemen masyarakat, media massa dan tokoh yang futuristik.


Artinya, maksud Mukhtar yang dikenal sebagai pengamat politik dan komunikasi sosial di Jakarta, tentulah daerah ini masih memiliki tokoh-tokoh memusuhi koruptor yang terang-terangan merusak negara dan rakyat. Tokoh tersebut punya cita-cita daerah Sumut lebih baik ke depan.

Tertinggal

Mukhtar mengungkap hal itu di depan forum diskusi dadakan di salah satu warung bandrek susu di Medan, dihadiri oleh Pemimpin Umum, Pemimpinan Redaksi suratkabar, aktivis dan anggota NSEAS (jaringan studi Asia Tenggra).

Terkait korupsi di Sumut yang sudah sampai ke tingkat mengkhawatirkan masyarakat, kata Mukhtar, berdasarkan informasi dari Jakarta, tahun 2011 daerah ini menjadi target Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mendapat tindakan tegas.

“Jadi berbagai kasus dugaan korupsi melibatkan pejabat daerah ini yang diangap masyarakat telah hilang dan tidak ada tindakan akan segera diusut. Niat itu selaras dengan KPK yang segera membentuk perwakilan KPK di daerah ini. Tujuannya agar lebih memperlancar pengusutan berbagai tindak pidana korupsi di Sumut,” ungkap Mukhtar.

Dalam diskusi berlangsung hingga menjelang subuh, muncul perdebatan dari aktivis yang menyebutkan, masyarakat daerah ini tidak percaya kalau tindak pidana korupsi bisa dikikis habis. Masyarakat menganggap enteng dengan statemen-statemen segera menindak para koruptor.

Baik di Medan maupun di Sumut ini, tindak pidana korupsi sudah sangat meluas. Hampir di semua birokrat di daerah ini korup. Sehingga kalau kita tidak bisa ikut permainan bisa tertinggal. Jadi mau tidak mau masyarakat yang berurusan dengan pemerintah harus mengikuti irama korup itu.

Lamban

Informasi dihimpun Harian Orbit hingga Rabu (16/2), sementara Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) menjadikan kasus-kasus korupsi sebagai kasus prioritas, di luar kasus-kasus lainnya.

Hal itu diakui Kepala Kejatisu, Sution Usman Adji, sambil megurai sepanjang tahun 2010 Kejatisu menangani 142 kasus tindak pidana korupsi dan menyelamatkan Rp64 miliar lebih keuangan negara. “Kalau tahun 2009 lalu berkisar 110 kasus, tahun 2010 lalu naik,” jelas Sution baru-baru ini.

Sution menambahkan, penanganan kasus korupsi di Kejatisu meningkat 200 persen dari tahun sebelumnya. Melihat peningkatan yang signifikan ini, berarti Sumut masih rawan tindak pidana korupsi.

Sementara itu tidak sedikit pula masyarakat Sumut mengkhawatirkan tindak pidana korupsi semakin merajalela dan menggurita. Terbukti banyak Kepala Daerah sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi.

Hal itu merupakan bukti pula, sebagaimana hasil Indonesia Coruption Watch (ICW), Sumut merupakan daerah terkorup di Indonesia, sementara penegakan hukum masih terlihat lamban.

Pejabat yang sudah dijadikan tersangka oleh KPK antaralain, Bupati Nias Binahati Benekdiktus Baeha, mantan Walikota Pematangsiantar RE Siahaan juga ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka. Menyusul pejabat daerah lainnya.

Kawal KPK

Menurut pengamat politik dan Kebijakan Publik dari Universitas Sumatera Utara (USU) Budi Agustono, maraknya kasus tindak pidana korupsi menunjukkan institusi penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan, dan keberadaan organisasi masyarakat sipil dalam melakukan pengawasan penyelenggaraan pemerintaah daerah masih terlihat lemah.

Untuk itu diperlukan penguatan pengawasan dari Kepolisian dan Kejaksaaan dan organisasi masyarakat sipil seperti yang dilakukan ICW. Mukhtar Effendi Harahap kembali mengingatkan, agar koruptor menjadi musuh bersama.

Sehingga budaya korup yang sudah sampai ke masyarakat luas bisa direm.
“Sampai pada satu titik melalui kegiatan apresiasi bahayanya korupsi, masyarakat segera memutus mata rantai kesempatan birokrat korup. Artinya masyarakat tidak ikut mendorong setiap tindakan koruptif, denga cara menolak mengeluarkan dana d luar yang ditentukan state,” kata Mukhtar.

Kembali Mukhtar mengingatkan, Sumut bakal menjadi pilot projek pemberantasan korupsi. Sudah menjadi acuan KPK dalam menjalankan tugasnya untuk memberantas korupsi, selain membidik kasus-kasus besar di Indonesia Sumut merupakan pilot projek KPK.

KPK juga melihat dugaan korupsi di Sumut telah menjadi konsumsi publik secara nasional. Terbukti banyaknya laporan masyarakat Sumut terkait dugaan korupsi yang diekspos.

Sekaligus dia menambahkan, NSEAS akan segera dibentuk di Sumut untuk mengawal pemberantasan korupsi di daerah ini. “ Kita merasa perlu mengawal tindakan KPK dalam pemberantasan korupsi di daerah ini. Ini menjadi tugas NSEAS ke depan,” ujar Mukhtar, anak Medan yang aktif di Jakarta.

Lakukan Eksaminasi

Mukhtar menyebutkan, tidak ada perubahan sosial suatu negara yang murni datang dari sistem negara itu sendiri. Sudah sama-sama dipahami munculnya KPK merupakan amanah reformasi yang menginginkan transparansi, akuntabilitas serta demokrasi di negara ini.

“Untuk pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dilakukan oleh sebuah sistem suatu negara. Karena korupsi bukan merupakan penyakit elit negeri ini saja, namun mental korupsi itu sudah mengakar ke masyarakat,” tukasnya.
Di tempat terpisah, menyikapi Sumut dijadikan pilot projek KPK, praktisi hukum Nur Alamsyah SH MHum mengatakan, meski KPK menjadikan Sumut sebagai pilot projek dirinya masih pesimis Sumut akan bersih dari tindak pidana korupsi.

Penegak hukum dan masyarakat, terangnya, harus bergandeng tangan, riilnya dalam kaca mata hukum, masyarakat dalam memantau putusan harus menggunakan hak eksaminasinya. Meski hak ini tidak dapat mengubah putusan.

“Bila hak ekseminasi ini digunakan secara otomatis penegak hukum, seperti Kejatisu maupun Kepolisian yang menangani soal dugaan korupsi mendapat koreksi dari masyarakat dan dikirimkan kepada presiden,” jelasnya.
Nah, dengan bergandengan tangan penegak hukum dngan masyarakat dalam pemberantasan korupsi, maka pengak hukum kedepannya jangan alergi melihat masyarakat yang melakukan eksaminasi.

“Caranya, cukup dengan menggelar sidang, serta memanggil para pakar hukum dan para ahli yang jumlah keseluruhannya 10 orang masyarakat, sudah bisa menggelar eksaminasi,”pungkasnya.
(Sumber: www.hariansumutpos.com)

Kamis, 10 Februari 2011

PARPOL MENGUTAMAKAN KOALISI, MENGABAIKAN OPOSISI

Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP




Salah satu fenomena politik kepartaian dalam era reformasi yakni lebih mengutamakan koalisi dan mengabaikan oposisi. Fenomena ini telah menjadi masalah utama bagi proses percepatan demokratisasi di Indonesia. Padahal secara konstitusional UUD 1945 telah menjamin keberadaan dan peranan oposisi dalam kehidupan politik pemerintahan di Indonesia. Sebagai misal Pasal 20A, mengatur fungsi dan tugas-tugas`DPR, antara lain memiliki ”hak interpelasi”, ”hak angket” dan ”hak menyatakan pendapat”.
Pasal 20A berbunyi: Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Pasal 20A ini bahkan mempertegas bahwa setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta ”hak imunitas”. Khusus hak imunitas berarti setiap angota DPR memiliki kekebalan hukum dimana setiap anggota DPR tidak dapat dituntut di hadapan dan diluar pengadilan karena pernyataan, pertanyaan/pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat-rapat DPR, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik.
Pentingnya kehadiran oposisi di DPR juga untuk mengamankan dan mewujudkan hak-hak rakyat sesuai Pasal 23, Pasal 27, Pasal 31, Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945. Pasal 23 UUD 1945 berbunyi, Anggaran pendapatan dan belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu (ayat 1). Pasal 31 berbunyi, Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran (ayat 1); Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang (ayat 2). Pasal 33 berbunyi, Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan (ayat 1); Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (ayat 2); Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (ayat 3). Selanjutnya, Pasal 34 berbunyi, Fakir miskin dan anak-anakyang terlantar dipelihara oleh negara.
Pengalaman Indonesia

Sesungguhnya pengalaman Indonesia telah menunjukkan kehadiran oposisi sebagai kekuatan penggerak perubahan sejarah. Sejak awal, Indonesia mengenal oposisi, baik di lingkungan politik, birokrasi dan masyarakat. Pada dasawarsa 50-an tatkala Indonesia menganut sistem pemerintahan parlementer, posisi kelompok oposisi atau penyeimbang dinilai sangatlah penting. Sebagai contoh, Masyumi, PNI, NU maupun PKI pernah mengalami dua fungsi yang berbeda. Tatakala satu Parpol diberi mandat membentuk Kabinet/Pemerintah, Parpol tersebut berfungsi sebagai kekuatan yang memerintah. Sebaliknya, tatakala Parpol tertentu tidak dilibatkan dalam membentuk Kabinet/Pemerintah, Parpol dimaksud menjadi kekuatan oposisi atau penyeimbang, melakukan fungsi ”checks and balances”. Bahkan, peristiwa G30S/PKI dapat digolongkan sebagai gerakan oposisi.

Kehadiran Parpol oposisional ini menjadi sirna 100 % dalam kancah perpolitikan Indonesia sejak tampilnya kekuasaan rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Setelah Pemilu 1955 disebut sebagai Pemilu paling demokratis, Indonesia baru menyelenggarakan Pemilu tahun 1971 (awal berkuasanya Rezim Orde Baru Soeharto). Pemilu berikutnya (dari tahun 1977 sampai dengan 1997) terjadi pengurangan jumlah Parpol menjadi hanya tiga, yakni PDI (Pardai Demokrasi Indonesia), PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan Golkar (Golongan Karya). Selama Pemilu diselenggarakan oleh Rezim Orde Baru, selalu saja Golkar (Parpol Rezim) pemenang mutlak dan Parpol kalah tidak pernah menjadi oposisi. Kalaupun Parpol kalah (PDI dan PPP) tidak menempatkan kader/anggota dalam jabatan Kabinet/Menteri, hal itu bukan karena tidak mau, tapi memang tidak diberi kesempatan oleh Rezim Orde Baru. Selalu hanya Golkar yang menjadi kekuatan memerintah dan dua kekuatan politik lain (PPP dan PDI) tidak diberi kesempatan untuk ikut memerintah.

Pada masa Orde Baru ini, Pemerintah dan legislatif merupakan kekuatan politik konspiratif saling mendukung. Konspirasi (persekongkolan) itu ternyata belum menghilang di era reformasi ini. Pemerintah dan legislatif saling mendukung tanpa adanya kekritisan (penolakan, perlawanan atau penentangan) dalam konteks fungsi pengawasan.

Untuk menjustifikasi realitas obyektif ini, para petinggi Orde Baru dan juga sebagian petinggi era reformasi menegaskan bahwa budaya politik Indonesia tidak mengenal oposisi, yang bermakna tidak mengenal Parpol oposisional. Mereka juga menyimpulkan, sistem presidensial Indonesia tidak mengenal pelembagaan oposisi. Kalangan intelektual tahun 70-80an mengimplementasikan ajaran masyarakat integralistik di dalam ruang perpolitikan Indonesia. Persatuan dan kesatuan bangsa dan simbol negara kesatuan merupakan tiga kualitas dasar berharga mati ajaran itu. Yang menimbang dan menafsirkan ketiga kualitas dasar itu adalah pemangku kekuasaan negara. Setiap perbedaan dengan timbangan dan tafsiran itu dianggap musuh persatuan dan kesatuan bangsa dan musuh negara kesatuan. Penolakan, perlawanan dan penentangan terhadap kekuasaan identik dengan penghinaan jabatan anugerah Tuhan. Karena itu, perilaku oposisi bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45. Di era reformasi ini, kita juga masih dapat menemukan kalangan intelektual dan politisi memberikan ajaran-ajaran anti oposisi

Makna dan Peran Oposisi

Oposisi, beroposisi, oponen, oposisional merupakan konsep bentukan dari kata kerja “oppose”, bermakna menolak, melawan dan menentang. Secara umum oposisi dapat dimaknai sebagai kelompok kekuatan menolak, melawan dan menentang serta berperan sebagai pengontrol dan penyeimbang pelaksanaan pemerintahan sehingga tidak terjerumus dalam penyalahgunaan kekuasaan.
Salah satu komponen negara demokrasi membedakan dengan negara bukan demokrasi adalah keberadaan dan peran oposisi. Oposisi adalah salah satu elemen penting untuk membangun negara demokrasi kuat. Peran oposisi tetap harus hadir agar demokrasi tetap dalam lajur benar, yakni demokrasi mengabdi kepada kesejahteraan rakyat, bangsa dan negara. Peran oposisi tetap harus mengambil tempat bukan saja sebagai oposisi terhadap pemerintah tapi juga terhadap entitas politik di legislaif. Tanpa adanya peran oposisi, pemerintah menjadi tidak terkontrol dan dapat melakukan apapun dikehendaki tanpa hambatan berarti. Dalam konteks ini, mempertahankan peran oposisi sejatinya sama dengan mempertahankan demokrasi.

Kekuasaan mempunyai kecenderungan bukan saja untuk memperbesar dan memperkuat tetapi juga memusatkan dirinya. Karena itu, pemikiran demokratis tentang kekuasaan selalu menekankan pembagian kekuasaan dan keseimbangan kekuasaan. Oposisi dibutuhkan pertama-tama sebagai kritik kepada kekuasaan dan pengawasan terhadap Pemerintah agar tidak semena-mena atau sewenang-wenang. Oposisi tidak saja bertugas memperingatkan pemerintah terhadap kemungkingan salah kebijakan atau salah tindakan tetapi juga menunjukkan apa harus dilakukan dan apa tidak harus dilakukan. Adalah kewajiban oposisi untuk melakukan kualifikasi apakah sesuai harus atau tidak harus dilakukan. Oposisi diperlukan juga karena apa yang baik dan benar dalam politik haruslah diperjuangkan melalui kontes politik dan diuji dalam wacana politik terbuka dan publik. Adalah naif, masih percaya bahwa pemerintah bersama semua pembantu dan penasehat merumuskan sendiri apa yang perlu dan tepat untuk segera dilakukan dalam politik, ekonomi, hukum, pendidikan dan kebudayaan.

Oposisi berkewajiban mengemukan titik-titik lemah dari suatu kebijakan Pemerintah sehingga apabila kebijakan itu diterapkan, segala sesuatu yang dapat merupakan efek samping merugikan sudah lebih dahulu ditekan/dikelola seminimal mungkin. Kehadiran oposisi membuat pemerintah harus selalu menerangkan dan mempertanggungjawabkan mengapa suatu kebijakan diambil, apa dasar, apa pula tujuan dan urgensi dan dengan cara bagaimana kebijakan itu akan diterapkan.

Mengutamakan Politik Koalisi
Istilah “koalisi” sesungguhnya berasal dari bahasa latin kemudian menjadi bahasa Inggris. Mulai digunakan pada awal abad ke-17. Sejalan dengan perkembangan (kehidupan dan ilmu) politik semakin modern, kata “koalisi” kemudian banyak digunakan sejak akhir abad ke-18. Umumnya kamus ilmu politik mengartikan ”koalisi” secara netral sebagai ”penyatuan sementara sejumlah partai memiliki kepentingan serupa untuk memperkuat pemerintahan”. Kamus Bahasa Indonesia juga memaknai sama: ”kerja sama antara beberapa partai untuk memperoleh kelebihan suara di parlemen”.
Di Indonesia, dalam kenyataannya, istilah “koalisi” mengalami “pembiasan makna” atau “degradasi kata”. Koalisi cenderung dimaknai sebagai upaya elite dan Parpol untuk menyatukan kepentingan sempit, sepihak, dan tidak berurusan dengan hajat hidup dan kesejahteraan orang banyak. Hal ini dapat dibuktikan dengan fenomena politik kepartaian terutama semasa kekuasaan rezim kartelis SBY era reformasi.
Salah satu karakteristik kepartaian era reformasi, yakni sikap Parpol lebih mengutamakan politik “koalisi” ketimbang politik “oposisi”. Sekalipun dalam perebutan kekuasaan melalui Pemilu, Pilpres atau Pilkada, Parpol-parpol mengalami kekalahan (Parpol kalah) dalam perolehan suara pemilih cenderung mendukung dan berkoalisi dengan Parpol mengalami kemenangan (Parpol pemenang) dalam hal ini pemegang kekuasaan pemerintahan, Parpol kalah tidak mengambil peran “oposisi”, mekainkan “koalisi”. Sekalipun, secara vocal politisi Parpol acapkali menyatakan dan mengungkapkan symbol-simbol demokrasi, tetapi dalam realitas obyektif mereka cenderung “anti oposisi”.

Dinamika politik kepartaian tidak menunjukkan perilaku kompetitif dan oposisional. Parpol-parpol peserta Pemilu jika tidak berhasil memperoleh mayoritas anggota legislatif atau kekuasaan eksekutif, lebih mengutamakan koalisi. Prilaku oposisi menjadi tidak populer dan acapkali dianggap “merugikaan” karena tidak memperoleh kesempatan atau kekuasaan sebagai sumber dana bagi kepentingan Parpol. Perilaku koalisi pada dasarnya berdasarkan perspektif “sharing kekuasaan” dalam jabatan-jabatan politik di legislatif (misalnya, Ketua/Wakil Ketua Komisi) dan eksekutif (misalnya, jabatan Menteri).

Salah satu contoh lebih mengutamakan koalisi dapat ditemukan pengalaman politik kepartaian pasca Pilpres 2009. Pada Pilpres 2009, Parpol pengusung dan pendukung Pasangan SBY-Boediono adalah Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan PKB. Parpol pengusung dan pendukung Pasangan JK(Jusuf Kala)-Wiranto adalah partai Golkar dan Hanura (Hati Nurani Rakyat). Parpol pengusung dan pendukung Pasangan Megawati-Prabowo adalah PDIP dan Partai Gerindra. Pasangan Calon berhasil memenangkan perolehan suara pemilih dalam Pilpres 2009 adalah SBY-Boediono. Dengan perkataan lain, Parpol-parpol pemenang adalah Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP dan PKB. Sementara, Partai Golkar, Partai Hanura, PDIP dan Partai Gerindra tergolong sebagai Parpol kalah.

Perilaku Politik Kepartaian Menjelang Pilpres

Ada dua fenomena lebih mengutamakan koalisi ketimbang oposisi. Pertama, saat pengelompokan dukungan Parpol terhadap Pasangan Calon. Kedua, saat penyelenggaraan Pilpres selesai dan saat pembentukan dan bekerjanya Kabinet pemerintahaan.

Dari sisi ideologis, jelas Parpol-Parpol Islam atau berbasis Islam tidak memiliki ideologi sama dengan Partai Demokrat sebagai Parpol SBY. Partai Demokrat memiliki ideologi bukan Islam, melainkan ”sekuler”. Parpol-parpol Islam justru mengusung dan mendukung pencalonan SBY, bahkan wakilnya Boediono juga bukan kader/anggota Parpol-parpol Islam tersebut.

Karakteristik politik kartel di mana elite Parpol mengutamakan koalisi, bukan oposisi, sekalipun tergolong kalah dalam pertarungan perolehan suara dalam Pemilu legislatif, dapat dicontohkan pengalaman PAN saat penentuan dukungan terhadap calon Presiden RI dalam Pilpres 2009. Amien Rais adalah seorang aktor sangat menentukan keputusan DPP PAN terutama politik kekuasaan seperti penentuan rekruitmen politik anggota PAN di eksekutif dan juga legislatif. Jabatan formal Amin Rais di PAN saat itu adalah Ketua MPP (Majelis Penasehat Partai) DPP PAN, bukan sebagai Ketua Umum DPP PAN.

Menjelang Pemilu 2009, Amien Rais mengarang buku berjudul, Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia! (Yogyakarta, PPSK Press, 2008). Di dalam buku ini, Amien menilai:

a.Indonesia dewasa ini telah semakin dalam menjadi subordinat dari jaringan korporatokrasi internasional, yang jelas-jelas menguras habis-habisan kekayaan Indonesia. Korporatokrasi adalah sebuah jaringan ekonomi, keuangan, politik, militer, intelektual dan media massa yang dibangun oleh kekuatan-kekuatan kapitalis dan demokrasi liberal Barat. Kedaulatan nasional kita justru tergadaikan ke berbagai korporasi asing.

b.Pemerintah Indonesia telah menjadi pelayan kepentingan asing, yang diberi payung hukum dengan perundang-undangan dan berbagai keputusan politik. State capture corruption (korupsi sandera negara), yang paling berbahaya semakin menjulang. Sejauh ini Pemerintah SBY tidak menunjukkan kemauan dan komitmen politik untuk memberantas korupsi sungguh-sungguh.

c.Pemerintah SBY pada dasarnya telah menjadi “broken gevernment’, pemerintahan yang kucar kacir, pecah koordinasi dan kepentingan rakyat banyak tidak dilayani, misalnya antrian minyak tanah, makan nasi aking dan raskin, listrik mati di Jawa dan luar Jawa, kenaikan harga BBM sampai lebih dari 100%, kondisi infrastruktur jalan parah penuh berlubang besar.

Berdasarkan beberapa penilaian di atas antara lain, Amien lalu mengajak pembaca untuk tidak lagi memberi kesempatan kepada SBY memimpin Indonesia. Dikatakannya, bila kepemimpinan SBY, atau model kepemimpinan SBY diberi kesempatan memimpin Indonesia 5 tahun lagi sesudah 2009, penjajahan ekonomi asing semakin luas dan mendalam sehingga negeri ini agaknya tidak punya harapan untuk bangkit kembali dan kondisi multi-dimensional semakin terpuruk. Jenis “korupsi sandera negara” menjadi semakin sistematik, melembaga, mengakar makin mendalam dan desktruktif.

Buku Amien Rais ini menjadi populer di kalangan kader PAN dan telah dibedah di bebebapa kota yang dihadiri dominan kader PAN. Karena itu, apa yang terkandung di dalam buku ini menjadi acuan bagi para politisi PAN untuk membangun opini positif terhadap PAN baik menjelang maupun saat kampanye Pemilu legislatif tahun 2009 berlangsung. Namun, kandungan buku ini tidak konsisten dipertahankan segera setelah Pemilu legislatif tahun 2009 usai.

Amien mendahului Keputusan DPP PAN dipimpin Ketua Umum Soetrisno Bachir, menyampaikan sepihak pernyataan mendukung SBY menjadi Calon Presiden. Dikesankan, pernyataan ini sebagai keputusan pertemuan silahturahim MPP DPP PAN di Rumahnya sendiri, Yogyakarta. Pernyataan dukungan tidak dihadiri oleh beberapa petinggi DPP PAN, termasuk Ketua Umum DPP PAN Soetrisno Bachir. Intinya, dukungan terhadap SBY bukanlah bermula dari prakarsa atau gagasan DPP PAN, melainkan Amien Rais peribadi dikesankan sebagai hasil keputusan MPP DPP PAN.

Setelah Ketua MPP DPP PAN menyatakan dukungan politik itu, terjadilah rekayasa politik internal untuk mengadakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) sepihak di Yogyakarta untuk menjustifikasi/memperkuat pernyataan. Keputusan Rakernas tidak ditandatangani oleh Ketua Umum DPP PAN Soetrisno Bachir. Konflik antara kedua tokoh PAN ini (Amien dan Soetrisno) sempat mencuat. Bahkan Soetrisno sempat menyatakan hendak mundur. Proses pengambilan keputusan harus domain DPP PAN telah diambialih oleh Amien sang Ketua MPP DPP PAN.

Alasan yang disampaikan Amien kepada publik mendukung SBY yakni Partai Demokrat telah menjadi Parpol pemenang Pemilu dan SBY masih berpeluang besar untuk menang. Itu setidaknya menjamin pemerintahan ke depan akan lebih kuat dan stabil. “Berkoalisi dengan the losing side, bukan the winning side, itu sebuah kemubaziran,” kilah Amin. Padahal sebelumnya, Amien dikenal publik sebagai pengkritik tajam model kepemimpinan SBY yang pro korporasi asing.

Kritikan terhadap perilaku politik Amien mendukung SBY datang dari kalangan kader PAN maupun luar PAN. Pendukung Soetrisno menganggap Amien tidak melaksanakan kesepakatan dengan Ketua Umum Sutrisno Bachir. Sesuai dengan kesepakatan, nama tokoh dan arah koalisi belum ditetapkan dan akan dibahas kembali dalam rapat kerja nasional di Jakarta. Selanjutnya, kelompok mengatasnamakan Komunitas Muda Pencinta Buku Amien Rais (Kompibar) akhir April 2009 mendatangani Rumah PAN di Jl. Warung Buncit Jakarta. Mereka sangat kecewa, kesal dan marah atas tindakan Amien yang meminta kader PAN mendukung SBY. Menurut Kompibar, tindak tanduk Amien sangat bertentangan dengan prinsip anti neoliberalisme yang digembor-gemborkannya selama ini. Inilah salah satu sebab mungkin, mengapa masyarakat menilai, tingkat konsistensi PAN mempertahankan ideologi (cita-cita) sangat rendah.

Perilaku Politik Kepartaian Pasca Pilpres

Sembilan Parpol pemilik kursi di DPR, sekalipun berbeda ideologi dengan Partai Demokrat (Parpol SBY), berkoalisi dengan motip perolehan kekuasaan di Kabinet (Jabatan Menteri). Mereka yang berkoalisi dengan SBY (Partai Demokrat) adalah Golkar, PPP, PAN, PKB, dan PKS. Padahal, ideologi PPP, PAN, PKB dan PKS (Islam) sesungguhnya berbeda dengan ideologi Partai Demokrat (sekuler).

Golkar semula tidak mendukung Pasangan SBY-Boediono dalam Pilpres 2009. Golkar mendukung Pasangan Jusuf Kalla-Wiranto, saat Jusuf Kala sebagai Ketua Umum Golkar. Namun, kekalahan Pasangan Jusuf Kalla-Wiiranto dalam Pilpres tidak menyebabkan Golkar juga kehilangan kekuasaan di eksekutif. Golkar berubah sikap menjadi mendukung kekuasaan SBY-Boediono sehingga mendapatkan beberapa jabatan Menteri dalam Kabinet hasil Pilpres 2009. Maksudnya, sekalipun mengalami kekalahan dan lawan politik meraih kemenangan, namun Golkar tetap saja berupaya memproleh kekuasaan melalui keanggotaan Koalisi pendukung SBY-Boediono. Posisi Golkar tidak menjadi kekuatan oposisional, melainkan kekuatan koalisi. Dua jabatan Kabinet diperolah Golkar yakni Menteri Kordiantor Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) R. Agung Laksono (Mantan Ketua DPR-RI) dan Mentri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad (Mantan Gubernur Provinsi Gorontalo). Kedua Menteri ini tergolong anggota pimpinan nasional Golkar.

Koalisi sejumlah Parpol mendukung SBY ini telah secara terang-terangan membentuk suatu wadah/institusi dengan nama Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi Parpol Pendukung Pemerintah. Wadah ini dibentuk di kediaman SBY (Cikeyas, Bogor) dipimpin langsung Presiden SBY (Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat), sementara Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie sebagai Ketua Harian dan Syarif Hasan (elite Partai Demokrat dan Menteri Koperasi & UKM) sebagai Sekretaris. Ketika Setgab Koalisi pro SBY-JK ini telah berlangsung setahun, publik menunjukkan ketidakpuasan terhadap keberadaan Setgab Partai Koalisi Pendukung Pemerintah ini. Sebagai contoh, hasil Jajak Pendapat „Kompas“ 5-7 Januari 2011, dari 721 responden berusia minimal 17 tahun, separuh responden (51,9%) menilai keberadaan Setgab saat ini tidak berjalan efektif. Responden dari pemilih Parpol menengah tergabung dalam Setgab cenderung menilai tidak perlu lagi ada Setgab (Kompas, 10 Januari 2011).

Keputusan PDIP sebagai Parpol Oposisi
Sejak Indonesia dipimpin oleh SBY tahun 2004 (Presiden RI), PDIP memutuskan diri menjadi Parpol oposisi terhadap Pemerintah. Secara resmi sikap oposisi PDIP muncul pertama sekali melalui keputusan Kongres Nasional PDIP II, Maret 2005 di Pulau Bali. Bahkan, PDIP tidak mengundang pejabat Parpol dan Eksekutif termasuk Presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla. Pada kongres PDIP tahun 2005 ini terjadi perbedaan tajam dalam penentuan metode demokratis yang berlaku di PDIP. Sekelompok orang mengambil pandangan bahwa walaupun PDIP adalah Parpol modern namun masih menggunakan metode lama otoriter, seperti memberikan hak istimewa mutlak kepada Ketua Parpol dan hanya memiliki satu kandidat untuk posisi-posisi senior. Kelompok ini kemudian mendirikan Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) tahun 2005, mengambil sistem kepemimpinan kolektif dengan 35 orang dalam pimpinan kolektif nasional. Tetapi, dalam perjalanannya, PDP terpecah menjadi 2 (dua) kubu. Keduanya mengaku sebagai pimpinan Parpol yang sah. Masing-masing kubu juga memiliki Kantor dan situs web resmi sendiri.
Sikap oposisi PDIP ini sesungguhnya sangat ditentukan oleh sikap Megawati sebagai Ketua PDIP. Di berbagai kesempatan baik sebelum Kongres 2010 maupun sesudahnya, Megawati acapkali menegaskan kembali sikap PDIP tetap menjadi oposisi. ”Sikap PDIP saya kira sudah sangat jelas. Kami melakukan prosesnya (oposisi) juga tidak dengan asal-asalan saja”, tandas Megawati dalam keterangan pers usai membuka Konferensi Daerah III PDP PDIP NTB (Nusata Tengagara Barat) di Kota Mataram, Februari 2009. Baginya, sikap oposisi PDIP hanya akan bisa diubaj melalui Kongres Nasional PDIP.

Pada 6-9 April 2010 PDIP mengadakan Kongres Nasional III di Bali. Saat itu PDIP juga tidak mengundang Presiden SBY untuk hadir dalam Pembukaan Kongres. Salah satu agendanya adalah apakah tetap beroposisi atau berkoalisi. Sikap ini muncul seiring memudarnya sikap beberapa Parpol seperti Golkar, PPP dan PKS yang selama berkoalisi dengan Pemerintah (SBY) tetapi saat voting Anggota DPR dalam kasus Bank Century, mereka justru berseberangan dengan Partai Demokrat, Parpol berkuasa (SBY). Sesuai kehendak Megawati, PDIP akhirnya memutuskan sebagai Parpol ideologi dan oposisi yang berfungsi untuk melakukan kontrol dan penyeimbang lima tahun kedepan. Sebagai Parpol ideologi, Megawati menegaskan Kongres Nasional III telah berhasil mengembalikan PDIP sebagai alat perjuangan segala bentuk aspirasi rakyat (Agustus 2010). Megawati menghimbau PDIP harus bisa melahirkan dan menjadikan kader-kader ideologis. Di lain fihak, sebagai Parpol oposisi, sikap politik PDIP tetap berada di luar pemerintahan. PDIP mempunyai kewajiban untuk tetap kritis dan menolak kebijakan manakala dianggap tidak berpihak kepada rakyat atau tidak sesuai dengan ideologi PDIP. Bagi sebagian elite PDIP, oposisi tidak dimaknai sekedar asal beda, tetapi lebih memaknai kebijakan dari platform yang cara pandangnya ideologi 1 Juni 1945.

Keputusan PDIP sebagai oposisi sesungguhnya masih dipertanyakan oleh para pengamat politik. Pertanyaan utama: apakah sikap oposisi PDIP hanya terhadap kebijakan Pemerintah SBY? Dengan perkataan lain, sikap oposisi hanya terbatas pada penempatan kader PDIP pada jabatan Menteri atau Kabinet semata? Bagaimana sikap politik PDIP terkait dengan dukungan terhadap Pasangan Calon Kepala Daerah? Apakah PDIP tetap tidak mau berkoalisi dengan Parpol koalisi SBY (Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP, PKB) mendukung Pasangan Calon dalam Pilkada? Pertanyaan-pertanyaan ini, jika dijawab secara akademis, mungkin akan menghasilkan kesimpulan bahwa sikap oposisi PDIP terlihat ”ragu-ragu”, tidak total di luar pemerintahan. Karena itu, kontribusi PDIP sebagai Parpol oposisi terhadap perkembangan demokrasi masih perlu dipertanyakan. Bahkan, sikap oposisi semacam ini sulit dijadikan justifikasi pandangan bahwa keputusan PDIP sebagai Parpol oposisi akan memperkuat jatidiri untuk menumbuhkan kepercayaan rakyat pada Pemilu 2014. Oposisi dicanangkan PDIP bisa jadi hanya semacam ”pencitraan” untuk masa depan perolehan suara pemilih, bukan masa depan demokrasi dan kehidupan kebanyakan ”wong cilik”.

Perilaku Politik Kepartaian di DPR

Dalam kenyataannya, kebanyakan Parpol berhasil menempatkan anggota di DPR cenderung menghindari perilaku oposisional terhadap Pemerintah atau kekuasaan eksekutif. Hampir seluruh kekuatan politik di DPR diserap oleh Pemerintah, yakni Partai Demokrat, Partai Golkar, PKS, PAN, PPP dan PKB. Semua Parpol besar dan menengah menempatkan wakil di jajaran Kabinet (Menteri), kecuali PDIP, Partai Hanura dan Partai Gerindra. Parpol terjebak pragmatisme, tidak memerlukan pemikiran matang dan ideologi kokoh. Pragmatisme hanya memperhitungkan keuntungan praktis. Uang dan kursi kekuasaan sering kali menjadi tawaran menarik bagi kaum pragmatis. Hal ini diperkuat lagi proses rekruitmen/penempatan anggota Parpol belum memadai, di samping kualitas pengetahuan sumber daya manusia (SDM) masih rendah dalam politik atau ”miskin” pengalaman politik, dan juga keterbatasan memahami fungsi dan tugas-tugas DPR. Di samping itu, tingkat loyalitas anggota DPR lebih tinggi terhadap kepentingan Parpol ketimbang kepada konstituen/rakyat. Parpol masih memegang kendali kuat atas anggota-anggota Parpol tersebut di DPR.

Ketidakhadiran oposisi politik di DPR akan membawa konsekuensi negatif terhadap proses demokratisasi, yakni watak rezim kekuasaan eksekutif masih mengarah otoriterianisme. Segala kebijakan Pemerintah akan mudah diterima sekalipun kebijakan berpotensi merugikan kepentingan rakyat. Mengacu pada sebagian pengamat politik di Indonesia, ketidakhadiran oposisi terlembaga bermakna rezim kekuasaan tidak demokratis, diktatorial atau tetap oligarkis, yaitu kekuasaan dipegang oleh beberapa orang. Karena itu, Parpol tidak dapat ikutserta melakukan upaya percepatan proses demokratisasi dan pada gilirannya tidak juga dapat sungguh-sungguh ikutserta melakukan upaya percepatan proses pembebasan rakyat Indonesia dari ”kemiskinan” dan ”keterbelakangan” dalam kebutuhan pokok makanan, perumahan, kesehatan, pendidikan, dll.

Sabtu, 05 Februari 2011

HILANGNYA PERAN IDEOLOGI PARPOL

Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP




Salah satu karakteristik fenomena politik kartel kepartaian di Indonesia adalah hilangnya peran ideologi (cita-cita) sebagai penentu perilaku politik Parpol dalam kehidupan sehari-hari baik dalam pemerintahan, masyarakat maupun dunia usaha. Ideologi Parpol hanya digunakan untuk memperoleh suara pemilih melalui kegiatan kampanye Pemilu anggota legislatif/parlemen (Nasional dan Daerah) atau eksekutif (Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota). Ideologi Parpol menjadi tidak relevan seusai (pasca) kegiatan kampanye Pemilu dimaksud atau perjuangan perebutan kekuasaan legislatif dan eksekutif. Hilangnya peran Ideologi (cita-cita) Parpol sebagai salah satu karakteristik fenomena politik kartel kepartaian di Indonesia dapat dilihat dari realitas obyektif kehidupan kepartaian dewasa ini, khususnya era reformasi.
Pada level nasional, terdapat koalisi Parpol saat dan setelah Pemilu (pemerintahan) tidak berdasarkan kesamaan, bahkan terdapat perbedaan ideologis. Pada level daerah (lokal), saat penyelenggaraan Pilkada acapkali terdapat koalisi/gabungan Parpol pendukung Pasangan Calon Gubernur/Bupati/Walikota dengan ideologi saling berbeda dan bahkan saling bertentangan satu sama lain. Kesamaan motip politik kekuasaan atau perolehan dana, bukan ideologis, lebih mewarnai Parpol pendukung Pasangan Calon tertentu dalam Pilkada.

Pengertian Ideologi: Perubahan atau Status Qou

Dalam dunia akademis, pada dasarnya pengertian ideologi mencakup dua sisi. Sisi pertama, ideologi bermakna sebagai keseluruhan pandangan, cita-cita, nilai dasar, keyakinan, atau asas dijadikan pedoman/acuan normatif kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam perspektif sisi pertama ini, ideologi dianggap mampu membangkitkan kesadaran, memberikan orientasi dan motivasi dalam perjuangan. Ideologi mengharuskan pelaku-pelaku politik berpikir dan berperilaku dalam kerangka perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara lebih baik. Intinya, disebut sebagai ideologi berorientasi “perubahan lebih baik”
Sementara, pengertian ideologi sisi kedua, yakni ideologi merupakan pedoman/acuan normatif bagi pelaku-pelaku politik agar berpikir dan berperilaku dalam rangka "minimal mempertahankan kekuasaan politik dan ekonomi" telah diraih selama ini. Ideologi dalam perspektif tipe kedua ini berorientasi pada “status qou” kekuasaan.

Ideologi PArpol: Perubahaan Lebih Baik

Makna ideologi di dalam tulisan ini adalah ideologi sisi pertama, yakni keseluruhan pandangan, cita-cita, nilai dasar, keyakinan, dan asas dijadikan pedoman/acuan normatif untuk memperjuangkan perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara lebih baik. Ideologi Parpol dimaksudkan ideologi berorientasi “perubahan lebih baik”. Ideologi Parpol dapat mencakup apa tercantum di dalam dokumen tertulis antara lain Peryantaan/deklarasi Pendirian Parpol, AD (Anggaran Dasar)/ART (Anggaran Rumah Tangga)atau Pedoman tertentu Parpol maupun apa tidak tercantum di dalam dokumen tertulis tersebut. Sebagai realitas subyektif (apa seharusnya), ideologi Parpol dapat pula dipahami dan berperan sebagai:
1. Sistem kepercayaan memberikan kesadaran dan pencerahan mengenai kehidupan.
2. Sangat strategis sebagai landasan legitimasi politik sekaligus memberi penuntun/acuan bagi seluruh kebijakan dan perilaku politik, serta sebagai tali pengikat kegiatan politik.
3. Penuntun/acuan kehidupan politik Parpol sehari-hari secara konsisten dan konsekuen.
4. Jiwa setiap kegiatan Parpol, baik berupa pernyataan, kritikan, program, maupun permasalahan pokok politik.
5. Perwujudan perjuangan nilai dalam Parpol untuk ikut memberikan warna terhadap bangunan imajiner sebuah bangsa memungkinkan terciptanya segala cita-cita bermasayarakat, berbangsa dan bernegara.
6. Pengikat sosial untuk mendapatkan dukungan besar dan luas.

Lazimnya ideologi Parpol tercantum dalam AD/ART Parpol bersangkutan, tejelma ke dalam kehidupan sehari-hari Parpol dan menjadi penuntun bagi perjuangan Parpol, termasuk dalam hubungan antar Parpol. Kalangan Politisi Parpol harus memahami Ideologi Parpol. Sistem nilai baik tertuang di dalam ketentuan-ketentuan formal dan kode etik Parpol harus menjadi landasan berpikir dan bertindak dalam memainkan peran masing-masing personil pengurus atau kader Parpol baik di masyarakat, dunia usaha maupun pemerintahan. Ideologi harus bisa dikomunikasikan kepada rakyat. Ketidakjelasan Ideologi membuat perjuangan Parpol tidak berpola dan tidak bermuara dan pada akhirnya memperlemah dukungan dan legitimasi politik. Parpol sangat memerlukan ideologi agar mampu menjembatani persepsi masing-masing individu, sehingga memunculkan persepsi tunggal merupakan basis perjuangan.
Melalui komunikasi ideologi, Parpol akan membantu masyarakat pemilih untuk menentukan pilihan di antara banyak pilihan. Parpol harus mampu menanamkan ideologi ke dalam alam pikiran dan ingatan pemilih dan sekaligus mungkin mengurangi situasi ketidakpastian di dalam pikiran pemilih.
Dalam perspektif kelembagaan, Parpol memiliki antara lain struktur organisasi, mekanisme kerja dan personil. Ideologi harus mewarnai struktur organisasi Parpol. Ideologi juga harus mewarnai mekanisme kerja Parpol berdasarkan konstitusi Parpol, yakni AD/ART serta pedoman-pedoman kebijakan Parpol. Ideologi juga harus mewarnai pola pikir dan perilaku politik personil dan kader dalam pengelolaan Parpol, terutama kelangan pengurus Parpol. Tidak boleh terjadi, penetapan AD/ART bertentangan dengan ideologi Papol, apalagi pemalsuan AD/ART hasil kesepakatan melalui forum tertinggi Parpol seperti Kongres, Muktamar atau Musyawarah Nasional (Munas).
Bagaimanapun, setiap Parpol melalui tertulis di AD/ART telah memiliki ideologi. Tidak ada Parpol tanpa memiliki Ideologi, setidak-tidaknya telah mencantumkan Pancasila sebagai asas Parpol. Namun, apakah ideologi Parpol dimaksud telah berperan di dalam pola pikir dan perilaku personil/pengurus sehari-hari dalam proses pengambilan keputusan, masih perlu dipertanyakan bahkan bagaikan sesuatu “utopis”.

Ideologi “Status Qou” di Indonesia

Di Indonesia, baik era Orde Baru maupun Era Reformasi, realitas obyektif (apa adanya) menunjukkan, fenomena ideologi tipe pertama (ideologi sebagai perubahan lebih baik) tidak menentukan perilaku politik Parpol baik dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, dunia usaha apalagi pemerintahan/negara). Kalangan personil/pengurus Parpol, terutama politisi Parpol di eksekutif dan legislatif, berperilaku lebih berorientasi pada pertahanan kekuasaan (statuqs quo), ketimbang perubahan kehidupan lebih baik. Ideologi tercantum di dalam dokumen tertulis AD/ART cenderung sekedar “penghias” administrasi kelembagaan. Fenomena ideologi “status qou” lebih mewarnai perilaku politik Parpol sehari-hari, terutama hubungan dengan kekuasaan pemerintahan/negara.
Sesungguhnya dalam sejarah negara Indonesia, tidak ada satu pun ideologi Parpol mampu menyelesaikan permasalahan politik ekonomi Indonesia. Karena itu dibutuhkan konsensus sesama Parpol untuk memperjelas kesamaan dan perbedaan ideologis. Adopsi idea atau gagasan Parpol lain menjadi suatu keharusan agar ideologi dianut bertambah kuat dan mampu menyesuaikan diri dari tuntutan masyarakat pemilih tanpa kehilangan fondasi/dasar ideologis semula. Tetapi, dalam kenyataannya, hal ini tidak terjadi, bahkan idea atau gagasan ideologis hanya dikomunikasikan dan dikampanyekan untuk keperluan perolehan suara pemilih dalam Pemilu Pilpres, Legislatif atau Pilkada. Begitu keperluan perolehan suara telah selesai, maka peran ideologi Parpol menjadi menghilang, berganti pada pertahanan atau penguatan kekuasaan dalam pemerintahan/negara khususnya. Sebagian pengamat politik menilai, telah terjadi "degradasi" ideologi Parpol.
Dalam keadaan menghilangnya peran ideologi, personil pengurus dan politisi Parpol lebih mengutamakan kebijakan “pencitraan” melalui media massa. Pengutamaan pencitraan ini tidak diperkuat dengan pengorganisasian konstituen berdasarkan ideologi, tetapi pertukaran “sumber daya ekonomi” semacam “politik uang”. Pemilih memberikan suara semata-mata karena mendapatkan hal-hal kebendaan atau “uang” dari pencari suara, terutama personil Parpol yang membutuhkan suara. Hal ini didukung oleh kondisi sosial ekonomi segmen pemilih kebanyakan tergolong miskin/duafa/marhaen. Segemen pemilih miskin ini menghendaki keputusan atau perilaku politik pragmatisme, bukan ideologis. Keadaan ini mempermudah elite Parpol bertindak kartel untuk menurunkan pentingnya ideologi atau menghilangkan peran ideologi dalam proses perolehan suara pemilih. Kendatipun terdapat anggota masyarakat tetap setia (tidak pernah mengalihkan suara) terhadap Parpol tertentu (misalnya, PDI dan PPP) berdasarkan ideologis, namun kebanyakan pemilih lebih cenderungan menentukan pilihan secara pragmatis (pertukaran kebendaan atau uang).
Perilaku politik Parpol berdasarkan pragmatisme atau bermotip kekuasaan belaka sesungguhnya merupakan kontiunitas/keberlanjutan dari kebiasaan lama Orde Baru. Perilaku personil atau politisi Parpol tidak jauh berbeda dari pola oligarki Orde Baru. Semakin tinggi tekanan persaingan politik membuat kaum politisi Parpol lebih berorientasi pada cara-cara untuk memenangkan Pemilu semata sebagai program jangka pendek. Padahal, alasan pendirian Parpol untuk perjuangan politik berdasarkan sistem nilai, norma, standar, kreteria atau pedoman tertentu telah dirumuskan dan harus ditegakkan sebelumnya. Bahkan, dalam jangka panjang, telah dirumuskan Parpol sebagai sarana kaderisasi dan pendidikan politik untuk melahirkan politisi-politisi berkualitas dan handal di masa mendatang.
Menghilangnya dan degradasi ideologi Parpol menggiring politik kepartaian ke depan lebih didasarkan pada kebendaan dan uang, bukan hal-hal seperti keyakinan atau sistem nilai/norma perjuangan. Kondisi ini membuat tidak ditemukan perbedaan berarti antara satu Parpol dengan Parpol lain. Pentingnya uang dalam politik antara lain didorong mahalnya biaya politik. Sebagai misal, dana pencalonan dan kampanye untuk memperoileh suara pemilih dibutuhkan oleh Pasangan Calon dalam Pilkada secara langsung sangatlah besar sehingga dinilai menjadi salah satu faktor fenomena korupsi Kepala Daerah dan juga politisi Parpol di Daerah. Mahalnya biaya politik ini juga diperkuat oleh politik lebih mementingkan pencitraan dan bukan rekam jejak sang tokoh/calon. Besarnya biaya politik ini telah membuat “persaingan” antar Parpol hanya terjadi saat penyelenggaraan Pemilu. Seusai Pemilu, “persaingan” juga berakhir dan muncul koalisi melebihi ukuran merangkum hampir semua Parpol dan mengabaikan seleksi berdasarkan ideologi. Kelompok Parpol bergerak bersamaan dan mengabaikan posisi ideologis, ditambah ketidakhadiran kekuatan oposisi. Hilangnya “persaingan” antar Parpol seusai Pemilu telah menghilangkan sejumlah kebajikan dalam “persaingan” seperti adanya kontrol Parpol-parpol kalah terhadap perilaku politik kekuasaan Parpol-parpol pemenang dalam Pilpres, Pemilu Legislatif atau Pilada.

Fakta dan Data Hilangnya Peran Ideologi

Untuk membuktikan hilangnya peran ideologi Parpol dapat menggunakan beragam fakta dan data. Hilangnya peran ideologi Parpol dapat dibuktikan dari hasil Jajak Pendapat Masyarakat, antara lain dari Litbang Kompas (17-19 Maret 2010) tentang ideologi 9 (sembilan) Parpol di DPR (Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, PKS, PPP, PAN, PKB, Gerindra dan Hanura). Jajak pendapat ini mencakup 1.097 responden dari 33 Ibukota provinsi se Indonesia. Kepada masyarakat diajukan pertanyaan untuk memperoleh pengetahuan tentang persepsi masyarakat terkait ideologi Parpol. Hasil Jajak Pendapat menunjukkan bahwa parpol telah kehilangan ideologi. Parpol lebih mengedepankan kepentingan pragmatisme sehingga dianggap tidak konsisten dalam mempertahankan ideologi.
Dari seluruh Parpol diajukan, masyarakat menilai bahwa Partai Demokrat adalah paling konsisten mempertahankan ideologi (35%), mengalahkan Parpol-Parpol selama ini mengesankan diri sebagai « Parpol ideologis” seperti PDIP hanya mencapai 25 % dan PKS hanya meraih 17%. Secara umum masyarakat menilai, Parpol baik tergolong besar maupun kecil menganggap ideologi hanya formalitas belaka, tidak diimplementasikan untuk perubahan melalui proses pemikiran normatif. Adapun hasil Jajak Pendapat tersebut sebagai berikut: P.Demokrat (35 %), diikuti PDI-P (sekitar 25 %) dan PKS (sekitar 17 %), Golkar ( sekitar 12 %), Gerindra (sekitar 2 %), PAN (sekitar 1.5 %), PPP (sekitar 1 %), HANURA (0.6 %) dan PKB (sekitar 0.4 %). Tiga Parpol tertinggi tingkat konsistensi berturut-turut: Partai Demokrat, PDIP dan PKS. Dalam hitungan skala, masyarakat menilai Partai Demokrat paling konsisten (tertinggi) mencapai 40.7 %-29.6%, diikuti PDIP 23.5 %-27.4%, dan PKS 13.2%-25.2%. PAN mengaku Parpol reformis ternyata di mata masyarakat memiliki tingkat konsistensi sangat rendah, hanya 1.5%-0.9%, masih di bawah Parpol baru Gerindra, mencapai 2.8%-3.5%.
Di lain pihak, Jajak Pendapat Litbang Kompas tersebut juga menunjukkan bahwa kiprah Parpol di era reformasi ini di mata masyarakat baik strata pendidikan rendah menengah maupun pendidikan tinggi lebih dominan menunjukkan bahwa tingkat konsistensi Parpol mempertahankan ideologi (cita-cita) mereka sendiri adalah rendah. Hal ini memperkuat penilaian sebagian besar pengamat bahwa perilaku Parpol cenderung berdasarkan pragmatisme, kalau tidak boleh disebut “ultra-oportunisme”.

Kasus PDIP

Fakta di atas sesungguhnya tidak berbeda dari pengakuan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam sejumlah kesempatan . Menurut Megawati, 10 tahun terakhir pragmatisme memang telah menghilangkan roh PDIP, yaitu Pancasila 1 Juni 1945 hasil galian Soekarno, berwujud Marhaenisme diidentifikasi sebagai pembelaan kepada "wong cilik". Dalam evaluasi internal, PDIP menyadari bahwa pragmatisme menurunkan suara PDIP. Pada Pemilu 2009 PDIP secara mengejutkan telah berhasil meraih suara di urutan pertama, yakni 33,7 persen. Pemilu 2004 PDIP meraih suara menurun hanya 18,5 persen suara (menjadi urutan kedua), kalah dari perolehan suara Golkar (21,6 persen). Pada Pemilu 2009, perolehan suara PDIP semakin melorot tajam'. PDIP mendapat hanya 14 persen suara (menjadi urutan ketiga), mengalami kekalahan dari Partai Demokrat (20,4 persen) dan Golkar (14,5 persen).

Kasus Pilpres dan Pilkada

Fakta berikutnya, terlihat pada level nasional, yakni Koalisi Pendukung Pasangan SBY-Boediono dalam Pilpres 2009 tidak mendasarkan ideologi, haluan dan juga platform bersama (visi dan misi) Parpol Koalisi. Bahkan, terdapat ideologi sangat berbeda sesama Parpol Koalisi seperti antara PKS (Islam) dan Partai Demokrat (Nasionalis-Sekuler). SBY adalah Kader/Anggota Partai Demokrat, sementara Wakilnya bukan kader/anggota Partai Demokrat dan juga bukan kader/anggota Parpol Koalisi lain (PKS,PPP, PKB dan PAN). Adalah suatu fakta, perilaku politik empat Parpol secara formal berideologi atau berbasis Islam (PPP, PKB, PKS dan PAN) tidak menempatkan anggota/kader Parpol Islam sebagai Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden. Sesunguhnya, Ideologi Islam tertera di dalam dokumen tertulis AD/ART Parpol-Parpol pendukung Pasangan SBY-Boediono dalam Pilpres 2009 tidak memainkan peran dalam penentuan/penempatan Pasangan Calon Presiden/Wakil Presiden.
Fakta-fakta selanjutnya dapat ditemukan dari perilaku Parpol di level daerah dalam pengelompokan dukungan terhadap Pasangan Calon Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) dalam Pilkada secara langsung dalam era reformasi ini. Satu fakta paling terang menderang, yakni Kasus Pilkada DKI Jakarta 2007 sebagai pertama sekali penerapan pemilihan secara langsung. Hanya ada dua pasangan calon dalam Pilkada dimaksud yakni pasangan calon Adang Daradjatun-Dani Anwar dan pasangan calon Fauzi Bowo-Prijanto. Jumlah suara pemilih sah 3.645.066 suara. Tampil sebagai pemenang adalah pasangan Fauzi –Prijanto (66,89%. Sedangkan perolehan pasangan Adang-Dani hanya 33,11%. Hanya PKS pendukung Pasangan Adang-Dani, sementara semua Parpol lain mempunyai perwakilan di DPRD DKI Jakarta (berbeda ideologi) mendukung pasangan calon Fauzie-Prijanto. Artinya, Parpol-parpol pendukung Pasangan Calon Fauzie-Prijanto sesungguhnya memiliki ideologi sangat berbada satu sama lain. Dari kesamaan ideologi, seyogyanya PPP, PKB dan PAN tidak mendukung Fauzie-Prijanto, tetapi mendukung Pasangan Calon dari PKS, yakni Adang-Dani. Argumentasinya, PKS, PPP, PKB dan PAN memiliki kesamaan ideologi (Islam atau berbasis Islam). Pragmatisme perilaku Parpol mengambil tempat dalam mendukung Pasangan Fauzie-Prijanto sudah menjadi pengetahuan umum di kalangan aktivis Parpol di DKI Jakarta saat itu.
Mirip kasus Pilkada DKI Jakarta, fakta Pilkada berikutnya dapat ditemukan pada Pilkada Kota Medan tahun 2005 telah mengantarkan Abdillah sebagai Walikota bersama Wakilnya Ramli kemudian menjadi terhukum sebagai pelaku korupsi melalui Pengadilan Tipikor. Pilkada Kota Medan tahun 2005 merupakan Pemilu pertama dimana masyarakat Kota Medan memilih pemimpin secara langsung. Dua pasang calon Walikota dan Wakil Walikota Medan bertarung, yakni Pertama, pasangan H Maulana Pohan/Sigit Pramono Asri; kedua, Pasangan Abdillah-Ramli. Pasangan Maulana-Sigit hanya didukung oleh PKS. Sedangkan Pasangan Abdillah-Ramli didukung oleh seluruh Parpol diluar PKS. Abdillah, adalah Walikota Medan incumbent. Sedangkan, Maulana Pohan merupakan Wakil Walikota Medan. Sedangkan Ramli adalah Sekretaris Daerah Kota Medan dan Sigit Pramono Asri merupakan anggota DPRD Kota Medan. Pasangan Abdillah-Ramli keluar sebagai pemenang di Pilkada Kota Medan. Data KPU Sumut menunjukkan, pasangan Maulana-Sigit meraih 292.803 suara atau 37,4%, sementara Pasangan Abdillah-Ramli memperoleh 489.010 suara atau 62,5%. Terkesan Pasangan Abdillah-Ramli dukungan semua Parpol kecuali PKS meraih kemenangan mutlak. KPU Kota Medan kemudian menetapkan Abdillah-Ramli sebagai Walikota dan Wakil Walikota Medan terpilih periode 2005-2010.
Hilangnya peran ideologi sangat terlihat pada kelompok Parpol Islam bersama Parpol Nasionalis Sekuler dan Agama Non Islam. Mereka bersama-sama mendukung Pasangan Abdillah-Ramli. Bahkan, Abdillah dan Ramli bukanlah personil pengurus/kader salah satu Parpol pendukung. Abdillah seorang pengusaha menjadi "incumbent", sementara Ramli pegawai negeri karir dalam pemerintahan Sumatera Utara. Dari kesamaan ideologi, seyogyanya PPP, PKB dan PAN mendukung Pasangan Maulana-Sigit dukungan PKS, tetapi kenyataanya tidak. Apa motip PPP,PKB dan PAN mendukung Pasangan Abdillah-Ramli? Tentu bukan motip ideologis! Beragam fakta seperti kasus Pilkada DKI dan Medan ini dapat ditemukan di seluruh Provinsi di Indonesia dalam era reformasi dan Pilkada secara langsung dewasa ini.