Minggu, 02 April 2017

GUBERNUR BARU DKI HARUS MEMPERJUANGKAN REFORMASI BIROKRASI

Gubernur baru DKI mendatang jangan jadikan pengalaman Gubernur lama sebagai standar kriteria. Gubernur lama ternyata tak mampu dan gagal melaksanakan urusan reformasi birokrasi (RB). Tidak terjadi perubahan mendasar pada area2 perubahan yg harus menjadi sasaran. Perubahan memang terjadi dlm batas2 tertentu pelayanan publik tingkat Kecamatan dan Kelurahan. Tapi, masih ada fakta untuk terima e-KTP menunggu hingga 5 bulan baru jadi. Alasannya, belum ada blanko e-KTP. Pemprov DKI ternyata tak mampu beri solusi, hanya alihkan kelemahan pd Pemerintah (Pusat). Rakyat DKI digiring salahkan Pemerintah. Rakyat tentu tak mau tahu. Bagi rakyat itu urusan Pemprov DKI diwakili Pemerintahan Kelurahan. Dlm perspektif RB (reformasi birokrasi) perubahan strategis sesungguhnya terdapat di sekitar struktur kekuasaan elite atau atas, terutama "mindset" dan prilaku politik Gubernur DKI, Wakil Gubernur dan para pimpinan Dinas atau SKPD. Intinya, adalah perubahan dari kebiasaan dilayani dan neraka pemilik menjadi melayani rakyat. Pemilik bukan Gubernur atau Wakil bagaikan pemilik saham dlm korporasi swasta, tetapi rakyat DKI itu sendiri. Pemprov DKI harus bekerja memberi pelayanan prima terhadap rakyat. Bukan marah2 dan gusur paksa rakyat. Untuk itu, Gubernur baru DKI harus berbeda dgn Gubernur lama. Gubernur baru harus berpikir, pemilik DKI ini rakyat DKI dan bertugas memberi pelayanan seprima mungkin terhadap rakyat DKI. Semua keputusan dan kebijakan publik harus mempertimbangkan kepentingan rakyat. Mengapa Gubernur baru harus berbeda dgn Gubernur lama? Karena kondisi kinerja Gubernur lama tergolong buruk dlm urusan RB. Berdasarkan penilaian KemenPAN & RB, kinerja Reformasi Birokrasi (RB) Pemprov DKI 2013-2014, hanya mampu meraih predikat CC =58. Angka predikat ini berada pd urutan ke-18 di bandingkan kinerja Provinsi2 lain di Indonesia. Nilai Pemprov DKI Jakarta diberi oleh KemenPANRB sama dan sederajat dengan nilai Pemprov Papua Barat. Bahkan, di bawah Pemprov Kalimantan Tengah. Hasil penilaian kinerja Pemprov DKI Jakarta ini menunjukkan prestasi Gubernur Ahok dalam urusan akuntabilitas penerapan program kerja, dokumentasi target tujuan, dan pencapaian organisasi tergolong rendah dan tidak sebanding dengan posisi DKI Jakarta sebagai Ibukota RI dengan sumberdaya terbesar di Indonesia. Gubernur Ahok ternyata tidak mampu melaksanakan kebijakan nasional tentang RB. Realitas obyektif menunjukkan, lembaga negara tingkat Pusat yang punya kompetensi menilai kinerja Gubernur Ahok urus pemerintahan DKI Jakarta, masih di bawah Gubernur Kalimantan Tengah, yang dalam urusan pembangunan daerah jauh lebih rendah memiliki APBD dan juga sumber daya ketimbang Pemprov DKI. Gubernur baru DKI mendatang harus mampu dan bekerja keras agar memperoleh predikat "AA" dan tergolong lima Provinsi terbaik. Jangan tiru Gubernur lama, suka pencitraan media massa seakan-akan jujur, bersih, reformis, dan bekerja untuk rakyat. Pencitraan media massa ternyata tak sesuai realitas obyektif. Bahkan, lembaga negara sendiri menilai Kinerja Gubernur tergolong buruk. Padahal Jakarta adalah Ibukota RI syarat potensi sumberdaya jauh lebih besar ketimbang Provinsi lain. Selanjutnya, Agustus 2015, Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan, penyerapan anggaran "terendah" di Indonesia terjadi di DKI. DKI Jakarta terparah, kalah jauh dari Kabupaten Kulonprogo, DI Yogyakarta. Sementara Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah, Kemendagri, Reydonnyzar Moenek mengungkapkan serapan anggaran pemerintah Pemprov DKI justru terbesar hanya ada di belanja pegawai. Seharusnya belanja jasa dan modal lebih besar dibandingkan belanja pegawai. Gubernur baru DKI harus mampu menangani rendahnya penyerapan anggaran ini dan harus menyerap lebih besar belanja jasa dan modal agar bebar2 pembangunan bermanfaat bagi rakyat DKI, tak semata aparatur/ASN Pemprov DKI. Pemprov DKI hingga kini masih hadapi permasalahan yg sudah berlaku sebelum era Gubernur Jokowi dan Ahok. Permasalahan tsb terkait: 1. Pelaksanaan konsep RB secara efisiensi efektif. 2. Pembenahan birokrasi (perubahan sikap dan tingkah laku atau mind set aparat Pemprov DKI terpadu dan berkelanjutan. 3.Penataan kelembagaan efisien dan efektif, Tata laksana jelas transparan, kapasitas SDM profesional dan akuntabilitas tinggi, pelayanan publik prima. 4. Hubungan sinerjik antar sesama lembaga pemerintahan, dgn masyarakat madani dan dunia usaha. Gubernur lama ternyata tak mampu dan gagal menangani masalah2 di atas. Hanya sibuk dgn pencitraan dan bantu kepentingan konglomerat pengembang seperti pembangunan pulau palsu/reklamasi, dan penggusuran paksa rakyat miskin berlokasi dekat area bisnis property pada pengembang seperti Kali Jodoh dan Luar Batang yg sana sekali tak terkait dgn proyek penanganan banjir di DKI. Juga sibuk kini dan dan bertindak untuk kepentingan kekuasaan diri melalui Pilkada 2017 sampe menjadi Terdakwa Penista Agama Islam. Karenanya, Gubernur baru DKI mendatang harus mampu memecahkan permasalahan RB ini. Lima tahun ke depan tentu cukup utk urusan solusi dibutuhkan. Setidaknya target capaian urusan RB ini minimal 50 %, lima tahun berikutnya 50 % lagi. Bagaimanapun, kondisi permasalahan RB DKI dibutuhkan 10 tahun lagi. Selama ini Gubernur lama tidak bekerja nyata urusan issue strategis RB ini. Gubernur baru terpaksa harus lakukan "percepatan" karena Gubernur lama stagnan urusan RB. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda