Jumat, 19 Januari 2018

REFORMA AGRARIA DAN HUTAN SOSIAL JALAN MENUJU KEADILAN SOSIAL


Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)


I. PENGANTAR

Tulisan ini ditujukan untuk acara Diskusi tentang "Strategi Percepatan Reformasi Agraria dan Perhutanan Sosial", 19 Januari 2018, Gedung Manggala Wanabhakti,  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Jakarta.

Sebagai salah seorang Pembicara, Kami diminta membahas topik: "Reforma Agraria dan Hutan Sosial Jalan Menuju Keadilan Sosial".

Tulisan ini bermula akan menyajikan makna reforma agraria menurut Kementerian LHK,  kemudian kebijakan Pemerintah terkait  perhutanan sosial. Selanjutnya, Tulisan membahas dampak positif kebijakan reforma agraria  terhadap masyarakat, terutama indikator keadilan sosial.

Asumsi dasar Tulisan ini adalah kebijakan reforma agraria terutama perhutanan sosial memiliki dampak positif terhadap masyarakat dan bisa menjadi  jalan menuju keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.

II. REFORMA AGRARIA

Dalam perspektif Kementerian LHK dalam urusan kehutanan, reforma agraria (land reform) secara ringkas dimaknakan untuk  lahan yang ditempati masyarakat dan sudah menjadi pemukiman, dapat dilepaskan dari kawasan hutan menjadi bersertifikat dilihat dari status kawasan hutannya. Total yang disiapkan dari kawasan hutan sekitar 4,1 juta ha.

Selanjutnya reforma agraria diimplementasikan dengan kebijakan perhutanan sosial, yakni Pemerintah menyiapkan akses kelola hutan kepada masyarakat yang disebut Perhutanan Sosial, dimana masyarakat diberi akses kelola hutan selama 35 tahun dan dapat diperpanjang, namun tidak untuk dimiliki.

Kebijakan reforma agraria Kementerian LHK antara lain terdapat dalam kebijakan perhutanan sosial sebagaimana telah diterbitkan  Permen LHK No.P. 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Sebagai penyempurnaan dari Permen LHK No.P. 83 ini, telah diterbitkan Permen No.P.39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perhutani.

Total yang dicadangkan adalah 12,7 juta ha. Saat ini sudah terealisasi 1,4 juta ha dari target 4,3 juta ha sampai tahun 2019.

Selain akses lahan juga disiapkan akses permodalan dengan menggandeng Bank BUMN dan pola bagi hasil dengan BLU (Badan Layanan Umum) Kementerian LHK.

III. DAMPAK POSITIF KEBIJAKAN REFORMA AGRARIA

Kebijakan reforma agraria terutama perhutanan sosial  sesungguhnya akan menimbulkan dampak positif terhadap kondisi kepastian hukum bagi petani penggarap tanah hutan negara; keadilan sosial; dan, kesejahteraan masyarakat terutama petani miskin di sekitar atau wilayah kerja Perum Perhutani.

3.1. Dampak Positif terhadap Kepastian Hukum Petani Penggarap

Kebijakan reforma agraria terutama perhutanan sosial yang diterbitkan oleh Kementerian LHK akan menimbulkan dampak positif terhadap kondisi  kepastian hukum bagi masyarakat miskin dan petani penggarap  penerima IPHPS (Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial). Selama ini  kondisi kepastian hukum  petani
penggarap tanah hutan negara  tergolong  buruk. Petani penggarap acapkali ditangkap, ditekan atau dieksploitasi oleh aparat Kehutanan atau Perhutani untuk di Pulau Jawa. Mereka dituduh telah melakukan kegiatan usaha di tanah negara secara ilegal.

Bagi petani penggarap hutan negara di Pulau Jawa  selama ini terdapat memang secara legal, tetapi dibatasi hanya dua tahun. Setelah itu hubungan hukum petani penggarap dengan tanah menjadi terputus sehingga tidak lagi memiliki kepastian hukum. Jika petani penggarap tersebut terus melakukan kegiatan usaha di tanah negara itu maka akan dituduh sebagsi kegiatan ilegal.

Berdasarkan kebijakan perhutanan sosial,  petani penggarap tanah hutan negara  memberikan kepastian hukum. Untuk Pulau Jawa misalnya, jika hasil evaluasi Pemerintah per lina tahun ternyata Pemegang IPHPS telah melaksanakan kewajiban sesuai ketentuan, maka Pemegang IPHPS bisa memanfaatkan tanah hutan negara itu selama   35 tahun, bahkan diwariskan kepada anak-anak mereka. Hal ini dapat menciptakan kepastian hukum atas pemanfaatan tanah negara, hingga anak-anak mereka.

Ketidakpastian areal kawasan hutan merupakan salah satu yang menghambat efektifitas tata kelola hutan di Indonesia. Ketidakpastian ini memicu munculnya konflik tenurial (lahan) dengan berbagai pihak yang berkepentingan dengan kawasan hutan.  Padahal setidak-tidaknya terdapat 50 juta orang yang bermukim disekitar kawasan hutan dengan lebih dari 33 ribu desa yang berbatasan dengan kawasan hutan.

Persoalan ketidakpastian tata batas hutan ini tidak hanya menimpa masyarakat adat ataupun masyarakat lokal yang berdiam dan memanfaatkan lahan dan sumber daya di dalam kawasan hutan, tetapi juga institusi yang memiliki izin usaha kehutanan dan pemerintah. Di tingkat lapangan batas yang berupa patok batas hutan juga seringkali tidak jelas sehingga sulit diverifikasi dalam pembuatan berita acara.

Untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan, maka diperlukan proses pengukuhan kawasan hutan, dimana seluruh proses yang harus dilakukan adalah penunjukan, penetapan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan. Proses ini semua adalah untuk menuju suatu kawasan hutan yang “legal dan legitimate”.

Pemerintah lewat Kemenhut telah mengatur proses pengukuhan kawasan hutan lewat berbagai aturan, diantaranya Peraturan Pemerintah Nomor 44/2004 tentang Perencanaan Hutan, Permenhut Nomor P.47/2010 tentang Panitia Tata Batas dan Permenhut P.50/Menhut‐II/2011 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Namun ketiga peraturan ini dinilai masih memiliki kelemahan.

Terkadang suatu kawasan hutan negara baru merupakan penunjukkan tetapi telah diterbitkan izin bagi konsesi, padahal seharusnya baru pada tahap penetapan hutan itu memiliki kekuatan hukum dan dapat  dikatakan sebagai hutan negara.

3.2.  Dampak Positif terhadap Kesejahteraan Masyarakat

Kebijakan reforma agraria terutama perhutanan sosial akan menimbulkan dampak terhadap kondisi dan kualitas kesejahteraan masyarakat. Implementasi kebijakan reforma agraria ini  menyebabkan meningkatnya pendapatan keluarga pemegang IPHPS. Selama ini dengan luas lahan hanya maksimal 0,5 Ha, Rata-rata  pendapatan mereka per bulan hanya  Rp. 500 ribu. Tentu saja dengan perhitungan kasar, jika mereka mengelola 2 ( dua) Hektar  akan bertambah minimal menjadi bahkan lebih Rp.2 juta per bulan.

Dari sisi sumber mata pencaharian, kebijakan reforma agraria sektor kehutanan ini     akan menyerap setidak-tidaknya 4 orang per 2 Ha. Dierkirakan dampak positif terhadap penduduk Pulau Jawa sekitar 20 juta jiwa.

3.3. Dampak Positif terhadap Kondisi Keadilan Sosial

Kebijakan reforma agraria terutama perhutanan sosial  akan menimbulkan dampak positif terhadap kondisi dan kualitas keadilan sosial bagi masyarakat atau petani miskin di sekitar dan di dalam  wilayah hutan negara. Kebijakan perhutanan sosial akan menjadi jalan menuju dan  menciptakan keadilan sosial bagi petani miskin yang selama ini tanpa lahan atau dapat memanfaatkan lahan hanya  maksimal 0,5 Hektar  menjadi  dapat memanfaatkan lahan 2 (dua)  Hektar, khususnya di Pulau Jawa. Ada perubahan struktur pemanfaatan lahan untuk sumber mata pencaharian masyarakat atau petani miskin.  Petani miskin semakin banyak dapat memanfaatkan tanah negara seluas  2 Hektar.

Disamping itu, dengan diizinkan petani miskin memanfaatkan tanah negara 2 (dua) Hektar,  maka terjadi peningkatan martabat dan harga diri keluarga petani miskin. Secara psikologis, mereka merasa jauh lebih aman dan bermartabat karena punya tanah 2 (dua) Hektar untuk dimanfaatkan hingga tingkat anak-anak  mereka.

Dampak positif kebijakan perhutanan sosial ini membuka jalan bagi petani penggarap khususnya untuk memperoleh kondisi keadilan sosial lebih baik. Struktur pemilihan tabah yang sangat timpang akan berubah menjadi kurang timpang terutama di sekitar dan di dalam kawasan hutan negara.

IV.  MASALAH DAN TANTANGAN

Masalah dan tantangan yang sedang dihadapi  dalam implementasi reforma agraria terutama  perhutanan sosial yakni  masih jauh dari target luas hutan negara yang diharapkan dapat dimanfaatkan petani penggarap atau masyarakat miskin di sekitar dan di dalam kawasan hutan negara itu.

Untuk kebijakan perhutanan sosial berdasarkan Permen No.P. 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan, target diharapkan terealisasi hingga 2019 seluas 4,3 juta Hektar, tetapi baru tercapai 1,4 juta Hektar.

Untuk Permen LHK No.P. 39 Tahun 2017, luas  tanah negara potensial dapat dimanfaatkan masyarakat miskin di wilayah kerja Perhutani di Puisi Jawa sekitar seluas 1 (satu)  juta Hektar. Namun, realisasi hingga 2017 baru seluas belasan ribu ribu Hektar. Masih sangat jauh dari luas potensial yang dapat dimanfaatkan.

Masalah dan tantangan ini perlu dicari sebab-sebabnya,  kemudian dilanjutkan solusi atau cara pemecahan dalam bentuk strategi harus diimplementasikan  agar jalan menuju keadilan sosial ini semakin melebar.

V. PENUTUP

Kebijakan reforma agraria terutama kebijakan perhutanan sosial akan membawa dampak positif terhadap kondisi kepastian hukum bagi petani penggarap hutan negara, kesejahteraan masyarakat, dan juga keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.

Khusus kondisi keadilan sosial, kebijakan perhutanan sosial akan merubah struktur kepemilikan tanah yang adil karena petani penggarap yang selama ini hanya dapat memanfaatkan tanah 0.5 Hektar menjadi sekitar 2 Hektar. Ada perubahan struktur kepemilikan tanah oleh masyarakat lebih adil.

Kondisi implementasi kebijakan reforma agraria ini masih harus menghadapi  masalah dan tantangan. Yakni  masih terdapat kesenjangan yang sangat lebar antara  target yang diharapkan tercapai dengan realisasi dalam realitas obyektif. .

Kamis, 18 Januari 2018

DIPERLUKAN BUKTI TERTULIS ANIES-SANDI MENGHENTIKAN PEMBANGUNAN PULAU PALSU



OLEH
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP
(PENELITI POLITIK/PEMERINTAHAN NSEAS)


I.   PENGANTAR

Pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, Pasangan Anies-Sandi berjanji secara tertulis 23 program untuk direalisasikan jika terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI. Dari 23 program itu, ada tiga program prioritas, yakni (1)  Mendorong warga menjadi wirausahawan melalui program OK-OCE; (2) Jaminan pendidikan yang tuntas dan berkualitas melalui program KJP Plus; dan (3) penyediaan barang kebutuhan pokok yang terjangkau lewat penyederhanaan rantai distribusi.

Di samping janji tertulis, Pasangan Anis-Sandi juga sempat melontarkan janji tidak tertulis atau lisan;  dari mulai komitmen untuk menghentikan proyek reklamasi di Teluk Jakarta, pembangunan stadion kelas internasional untuk Persija Jakarta, hingga menutup Hotel Alexis.

Terkait janji lisan untuk menghentikan proyek reklamasi, mereka menilai proyek tersebut hanya menguntungkan pihak tertentu. "Kami mengambil keputusan untuk dihentikan (proyek reklamasi)," ujar Sandiaga (17/3/2017).

Kini sudah sekitar 3 (tiga) bulan Anies-Sandi menjadi Gubernur dan wakil Gubernur DKI Jakarta. Namun, belum juga secara tertulis sebagai bukti Anies-Sandi menepati janji kampanye mereka yakni “menghentikan proyek reklamasi atau Pulau Palsu di teluk Jakarta”.  Mengapa hingga kini belum ada bukti  tertulis? Kami berasumsi, karena aktor-aktor berpengaruh dalam pemerintahan nasional dan juga DKI Jakarta dominan memiliki sikap berbeda dengan janji kampanye Anies-Sandi ini. Hanya seorang aktor yang memiliki kesamaan sikap dengan Anis-Sandi. Bahkan, aktor politik Parpol juga cenderung berbeda dengan janji kampanye Anies-Sandi tersebut. Siapakah aktor-aktor dimaksud? Antara lain:  Presiden RI, Wakil Presiden RI, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Menteri Kelautan dan Perikanan (KP), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, DPR-RI dan DPRD DKI Jakarta. Peta sikap aktor dalam pemerintahan nasional dan daerah ini mempengaruhi sikap Anies-Sandi yang belum memberikan bukti tertulis menghentikan pembangunan Pulau Palsu itu.  Apa solusinya? Inilah pertanyaan pokok perlu mendapatkan jawaban.

Selama ini Anies-Sandi baik dalam kampanye maupun setelah Pilkada DKI berakhir, masih acapkali menyatakan akan menghentikan proyek reklamasi atau pembangunan Pulau Palsu di Teluk Jakarta. Namun, belum ada bukti tertulis Anies-Sandi menyatakan sikap tersebut. Bagaimanapun, diperlukan  bukti tertulis Anies-Sandi menghentikan. Tidak hanya sekedar pernyataan lisan bagaikan masih dalam kondisi kampanye Pilkada.

II. SIKAP PEMERINTAH (PUSAT)

Sikap Pemerintah (Pusat) terhadap pembangunan Pulau Palsu (reklamasi) ini beragam, namun dominan menyetujui.

2.1. Sikap Presiden Jokowi

Pada prinsipnya mendukung pembangunan Pulau Palsu, sekalipun tidak tertulis. Saat polemik di publik antara pro-kontra pembangunan Pulau Palsu, sikap Jokowi terus dipertanyakan, antara lain oleh Ketua Komisi  IV DPR Edhy Prabowo. Ia  mempertanyakan sikap Presiden Jokowi yang hanya diam menyikapi polemik reklamasi Teluk Jakarta. Padahal, reklamasi tersebut juga merupakan wewenang Pemerintah (Pusat) berdasarkan Pasal 30 ayat 3 UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Ada kecurigaan kedekatan antara Jokowi dan Gubernur Ahok menjadi ganjalan Pemerintah untuk bersikap tegas  mengenai reklamasi Teluk Jakarta ini.

Namun, Jokowi berkilah, dia  tidak pernah mengeluarkan izin untuk reklamasi baik saat menjabat Gubernur DKI Jakarta maupun saat jadi Presiden RI. "Saya sampaikan, saya sebagai Presiden tidak pernah mengeluarkan izin untuk reklamasi. Sebagai Gubernur, saya juga tidak pernah mengeluarkan izin untuk reklamasi," tegas Jokowi saat ditanya wartawan di kawasan Muara Gembong, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (1/11/2017).

Sekalipun Jokowi menegaskan tidak pernah menerbitkan izin pembangunan Pulau Palsu, namun dia juga tidak menggunakan kewenangannya untuk menghentikan. Intinya, Jokowi mendukung pembangunan Pulau Palsu dimaksud.

2.2. Sikap Wapres Jusuf Kalla

Wapres Jusuf Kalla mengaku sudah bicara dengan Anies, bahwa penggunaannya harus lebih menguntungkan masyarakat dan Pemerintah. Fokus Pemerintah saat ini adalah menyelesaikan pembangunan Pulau  Palsu C dan D dan mengatur penggunaannya agar bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah DKI Jakarta.

"Tidak ada cara lain, mau diapain, caranya hanya bongkar ulang, bagaimana bongkar ulangnya? kalau tidak dipakai malah lebih merusak, kalau dipakai kan ada yang memelihara," kilah Jusuf Kalla sembari menekankan,  Pulau Palsu  C dan D sudah terlanjur dibangun tidak perlu dibongkar. Intinya, Anies-Sandi tetap meneruskan pembangunan Pulau Palsu C dan D, meskipun rencana pembangunan Pulau-pulau Palsu lain dihentikan. Intinya, Jusuf Kalla tidak setuju penghentian pembangunan Pulau Palsu itu.

2.3. Sikap  Menteri Kordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan (LBP):

18 Maret 2016, Rizal Ramli selaku Menteri Kordinator Bidang Kemaritiman mengelar rapat dengan Pemprov DKI, sepakat mengentikan sementara reklamasi. Pada 23 Mei 2017  Rizal Ramli menerbitkan Surat Keputusan Moratorium Pembangunan Pulau Palsu C dan D. Tetapi, aktivitas di kedua Pulau  Palsu masih tampak berjalan meski telah dimoratorium oleh Pemerintah.

Rizal Ramli digantikan oleh Luhut Binsar Panjaitan (LBP).  Berbeda sangat dengan Rizal, LBP  mencabut keputusan moratorium pembangunan Pulau Palsu C, D dan G  dengan Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Nomor S-78-001/02/Menko/Maritim/X/2017. Artinya, pengembang dapat melanjutkan aktivitas reklamasi Teluk Jakarta

Menurut LBP, moratorium dicabut karena Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengeluarkan izin administrasi. Ia mengingatkan Pemprov DKI Jakarta agar tak sembarangan menghentikan proyek reklamasi. Para pengembang bisa menggugat Pemprov DKI jika hal tersebut dilakukan.  Luhut menegaskan, kewenangan reklamasi Teluk Jakarta berada sepenuhnya di tangan Pemerintah Pusat dan pihak lain tidak berhak membatalkan pelaksaannnya, termasuk Pemprov DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Anies-Sandi.

Intinya, LBP tidak setuju penghentian pembangunan Pulau Palsu.

2.4. Sikap Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Susi Pudjiastuti

Sejak tahun 2014 Menteri  Susi sepakat menghentikan reklamasi Teluk Jakarta. Selanjutnya, bersama Komisi IV, Susi (13/4/2016)  sepakat untuk menghentikannya. Susi pernah menyebut reklamasi Teluk Jakarta akan berdampak terhadap lingkungan dan nasib nelayan di Pesisir Utara Jakarta. Bahkan, ganti rugi dari Pemprov DKI kepada nelayan tidak akan cukup.
"Saya tidak setuju kalau nelayan dikasih rumah tanpa memikirkan mata pencaharian dari mereka," ucap Susi dalam acara Indonesia Lawyer Club (ILC), Selasa (5/4/2016). Bagi Susi, ketimbang reklamasi Pulau, lebih baik developer mengembangkan Pulau-pulau di Kepulauan Seribu. Susi secara pribadi menolak reklamasi dan itu sudah dinyatakan di DPR. Ia mengaku belum pernah memberikan izin untuk reklamasi Pulau itu, tetapi ternyata pembangunan sudah dimulai.

Susi satu2nya Menteri  setuju penghentian pembangunan Pulau Palsu.

2.5. Sikap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya

10 Mei 2016, Menteri LHK Siti Nurbaya mengeluarkan SK No.354 tahun 2016 tentang pengenaan sanksi administratif berupa penghentian sementara seluruh kegiatan PT. Kapuk Naga Indah. Ada 11 poin sanksi.
Menteri LHK Siti Nurbaya menghentikan pembangunan reklamasi Pulau C,D dan C setelah menemukan delapan pelanggaran iizin lingkungan. Tetapi, pada 30 Agustus 2017  Siti  mencabut moratorium. Sikap ini memberi peluang untuk diteruskan pembangunan Pulau Palsu.

Intinya, Menteri LHK Siti setuju penghentian pembangunan Pulau Palsu. Siti tidak terbuka seperti sikap Menteri Susi. Namun, kebijakan Siti  memberi peluang bagi kelanjutan pembangunan Pulau Palsu.

2.6. Sikap Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Sofyan Djalil:

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Sofyan Djalil terkesan sangat mendukung pembangunan Pulau Palsu ini. Bermula, 24 Agustus 2017,  dari Kantor Pertanahan Jakarta Utara (berada di bawah BPN),  mengeluarkan sertifikat hak guna bangunan (HGB) Pulau D  seluas 312 Ha. Sertifikat HGB ini bahkan terbit sebelum moratorium dicabut.

Pada 12 Juni 2017, Menteri Sofyan Djalil menerbitkan Surat Keputusan tentang
HPL (Hak Pengelolaan Lahan)  Pulau D. 19 Juni 2017 terbit sertifikat HPL Pulau D atas nama Pemprov DKI Jakarta.  Selanjutnya BPN menerbitkan sertifikat HGB di atas sertifikat HPL Pulau D.

Menurut Sofyan, BPN tidak bisa membatalkan sertifikat HGB Pulau D yang telah diterbitkan. Hal ini menanggapi   surat permohonan Anies kepada  Menteri Sofyan  agar menunda penerbitan sertifikat HGB dan membatalkan Sertifikat HGB  Pulau D yang sudah diterbitkan. Menteri Sofyan menolak dan bahkan menyarankan Pemprov DKI utk mengajukan gugatan ke PTUN. Tidak ada upaya musyawarah  untuk memenuhi permohonan Anies ini. Bagaimanapun, sikap Menteri Sofyan ini tidak mendukung upaya Anies menghentikan pembangunan Pulau Palsu ini.

Intinya, Menteri Sofyan ini sangat setuju pembangunan Pulau Palsu.


III. SIKAP DPR-RI:

14 April 2016, rapat dengar pendapat KKP,  KLHK dan DPR, menghasilkan rekomendasi agar menghentikan reklamasi. Anggota Komisi IV DPR RI Hermanto berpendapat, bila proses pembangunan Pulau reklamasi di Teluk Jakarta terus dilanjutkan maka ini berarti membiarkan proses berdirinya negara dalam negara. Karena itu reklamasi harus dihentikan. "Tidak boleh ada negara di dalam negara", kata Hermanto dalam keterangan  persnya kepada wartawan, Selasa (7/11).

Namun, sikap DPR ini hanya bersifat vokal, belum ada sikap konrit, sebagai misal DPR secara tertulis menolak pembangunan Pulau-Palsu ini atau  membentuk Panja.

IV. SIKAP DPRD DKI JAKARTA

Semula DPRD DKI Jakarta mendukung pembangunan Pulau Palsu ini. Hal ini terbukti dari upaya pembahasan Raperda  Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta dan Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.  Namun, 18 Maret 2018 Rapat Paripurna DKI menolak pengesahan Raperda Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara.  31 Maret 2016, KPK menangkap tangan salah seorang ketua Fraksi DPRD DKI. Ia menerima suap dari Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaya terkait dengan pembahasan dua Raperda Reklamasi.  12 April 2016, DPRD DKI setuju menghentikan pembahasan dua Raperda karena ada permasalahan hukum. 13 Oktober 2016,  Gubernur Ahok menyurati DPRD DKI agar meneruskan pembahasan dua Raperda itu, tetapi DPRD menolak.

Ahok diganti Djarot sebagai Gubernur DKI. Djarot mengirim surat ke KPK untuk meminta pertimbangan apakah dua Raperda  sudah bisa dilanjutkan pembahasan. 29 Juli 2017, Pimpinan DPRD, Ketua Fraksi, Ketua Komisi melaksanakan rapat terbatas, membahas surat Djarot ke KPK. Pendapat Ketua-Ketua Fraksi awalnya tidak terpadu. Ketua Fraksi Golkar cenderung setuju Raperda kembali dibahas. Akhirnya, DPRD sepakat tidak akan membahas Raperda (Tempo, 11-17  September 2017).

Pada dasarnya DPRD ini mendukung pembangunan Pulau Palsu. Tidak ada keputusan resmi DPRD  mendukung upaya Anies-Sandi untuk menghentikan pembangungan Pulau Palsu.

V. SIKAP PEMPROV DKI JAKARTA:

Sikap aktor-aktor dalam pemerintahan nasional dan sikap DPRD DKI Jakarta  tidak pernah tegas menolak pembangunan Pulau Palsu menyebabkan sikap Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Anies-Sandi menjadi tidak tegas dan tidak konkrit secara tertulis menyatakan pengehentian. Upaya penghentian hanya baru di tataran wacana dan lisan, tidak ada bukti tertulis bahwa Anies-Sandi telah menghentikan sama sekali pembangunan Pulau Palsu.  Sikap Anies-Sandi ini  bagaimanapun sangat ditentukan oleh  sikap Wapres Jusuf Kallah yang  menghendaki diteruskan Pulau C dan D telah  terbangun.

Sikap Anies-Sandi harus konsisten dengan janji kampanye dalam Pilkada DKI lalu. Yakni menghentikan pembangunan Pulau Palsu (Reklamasi) di Teluk Jakarta. Anies-Sandi harus tidak hanya bicara menghentikan pembangunan Pulau Palsu. Terlebih, sejauh ini belum ada tindakan tegas untuk menghentikan secara total pembangunan  tersebut.

Ada beberapa langkah konkrit dan terbukti secara tertulis perlu dilakukan jika memang Anies-Sandi serius ingin menepati janji kampanye terkait hal ini.   Setidaknya ada tiga alternatf (pilihan)  Anies-Sandi.

Pertama, Gubernur Anies memberi surat tertulis dan resmi kepada DPRD DKI Jakarta yang isinya menegaskan,  Pemprov DKI Jakarta menghentikan pembangunan reklamasi (Pulau Palsu) secara keseluruhan. Pilihan ini akan berpengaruh terhadap sikap DPRD DKI Jakarta terkait pembangunan Pulau Palsu ini di era kepemimpinan Gubernur Anies dan Wakil Gubernur Sandi. 

Kedua, Gubernur Anies menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub)  tentang penghentian pembangunan Pulau Palsu  dan pengembalian kondisi lingkungan akibat pembangunan    yang telah dilaksanakan. Pulau Palsu yang telah terbangun harus dikembalikan pada kondisi semula oleh korporasi pengembang. Jika korporasi pengembang tidak bersedia, Pemprov DKI mengambil jalur hukum dengan melakukan gugatan pidana. Tidak ada alasan bahwa Pulau Palsu itu secara teknis tidak dapat dihilangkan dari lokasi bersangkutan.

Ketiga, Gubernur Anies menerbitkan Pergub tentang penyelenggaraan referendum oleh Rakyat DKI Jakarta untuk memutuskan apakah pembangunan reklamasi dilanjutkan atau dihentikan.


VI. PILIHAN REFERENDUM

Jika Anies-Sandi tidak mampu mengambil sikap atau keputusan konkrit tertulis menghentikan pembangunan Pulau Palsu itu, karena tekanan atau sikap para aktor dalam pemerintahan tidak sepakat dengan Anies-Sandi, maka pilihan/alternatif referendum sangat tepat. Pilihan ini sangat relevan dengan prinsip  kedaulatan rakyat.

Referendum bermakna meminta pendapat atau penilaian terhadap rakyat khususnya di wilayah DKI Jakarta melalui pemungutan suara. Jika Anies-Sandi betul-betul ingin terbebas dari kendala sikap aktor-aktor pemerintahan yang berbeda pendapat,  maka  Anies-Sandi perlu  mendapat dukungan politik  langsung dari rakyat DKI Jakarta sebagai pemegang kedaulatan atas masalah-masalah DKI Jakarta.

Referendum  (dari bahasa Latin) atau jajak pendapat adalah suatu proses pemungutan suara semesta untuk mengambil sebuah keputusan. Rakyat   memiliki hak pilih dimintai pendapat mereka. Hasil referendum bisa dianggap mengikat atau tidak mengikat. Sebuah referendum dianggap mengikat apabila Pemerintah harus mengikuti seluruh jawaban rakyat yang ada dalam hasil referendum. Apabila referendum tidak mengikat, berarti referendum itu hanya digunakan sebagai fungsi penasihat saja, di mana hasil yang ada tidak harus diikuti, namun menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan selanjutnya.

Untuk kasus Pulau Palsu ini, demi kedaulatan rakyat, referendum harus  mengikat terhadap Pemerintahan DKI. Harus dilaksanakan hasil referendum.

Pertanyaan berikutnya, secara hukum bolehkah diadakan referendum untuk Pulau Palsu ini ? Saya percaya, boleh  sepanjang Gubernur Anies dan DPRD DKI Jakarta memiliki kesepakatan.

Jika hasil referendum Pulau Palsu menunjukkan mayoritas rakyat tidak setuju dilanjutkan,  maka Anies-Sandi  harus patuh untuk  menghentikan total pembangunan Pulau Palsu tsb. Tetapi, jika rakyat DKI mayoritas setuju, maka Anies-Sandi dan semua kelompok penentang   demi kedaulatan rakyat harus menerima dilanjutkannya pembangunan Pulau Palsu. Maka, prinsip kedaulatan rakyat benar-benar ditegakkan atas penyelesaian masalah pembangunan Pulau Palsu.

Referendum ini adalah metode pemecahan masalah pembangunan Pulau Palsu dalam pendekatan "kedaulatan rakyat". Obyeknya pembangunan Pulau Palsu. Perlu diketahui, tidak ada kaitan prakarsa referendum Pulau Palsu ini dengan UU Referendum yang mengurus  UUD. Logika hukum untuk referendum Pulau Palsu, adalah kesepakatan Gubernur DKI dan DPRD DKI, bukan logika hukum UU Referendum yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi itu. Para Pengkritik prakarsa referendum ini harus memahami konsep referendum disini terkait metode pemecahan masalah pembangunan Pulau Palsu, bukan masalah UUD.

Senin, 08 Januari 2018

KINERJA JOKOWI URUS NARKOBA DAN TERORISME



Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP
(Ketua Tim Studi NSEAS)



Selama kampanye Pilpres 2014,  sangat terbatas dan langka Capres Jokowi berbicara ttg narkoba dan terorisme. Hal ini berlaku pd kampanye tertululis  dalam dokumen “Visi, Misi dan Program Aksi Jokowi Jusuf Kalla 2014”. Di dalam dokumen ini tidak tercatat hal ikhwal penanggulangan narkoba dan terorisme. Dua masalah ini tidak menjadi prioritas program Jokowi jika terpilih sebagai Presiden RI.

Kebijakan penanggulangan narkoba dan terorisme  Jokowi tertuang hanya  di dalam RPJMN 2015-2019.  Dijelaskan, pencegahan dan pemberantasan narkoba menjadi masalah kemanusiaan global. Ada sekitar 250 juta orang atau setara 4% populasi dunia umur 15-64 tahun menderita penyalahgunaan narkoba (UNODC, 2013). Tentu saja kini angka ini  meningkat.

Untuk Indonesia, sesuai hasil  Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia, 2011, diketahui angka prevalensi penyalahgunaan narkoba sudah mencapai 2,2 % atau sekitar 4,2 juta orang usia 10-60 tahun. Diproyeksikan jika tak ada upaya penanggulangan, pd akhir 2019 mencapai 4,9 % setara 7,4 juta orang.

Di lain pihak kondisi pengguna narkoba dpt ditemukan dari hasil
Survei BNN dan Pusat Penelitian Kesehatan UI (Februari 2017). Survei ini  menyasar responden dari kalangan pelajar dan mahasiswa di 18 Provinsi. Hasilnya,  jumlah pengguna narkoba di Indonesia terus meningkat. Pd awal  2016   mencapai 5,9 juta orang. Angka ini meningkat secara fantastis sejak 2015.

Selanjutnya,  Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan, di Indonesia ada 4,5 juta orang  menyalahgunakan narkoba, serta 1,2 juta orang di antaranya tidak bisa direhabilitasi karena kondisi  sudah terlalu parah. Lebih tragis lagi, sebanyak 40-50 orang meninggal sia-sia setiap hari karena narkoba.
Jokowi sendiri menyatakan "perang", dan  bahkan menetapkan “Indonesia Darurat Narkoba”.

Sasaran strategi pemerintahan Jokowi  urus narkoba, yakni:  penguatan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.
Keluaran sbg parameter kinerja urus narkoba dpt dibatasi  al :
1. Pembinaan lingkungan
bersih narkoba di lembaga pemerintah dan masyarakat;
2. Peningkatan kesadaran masyarakat  dan kewaspadaan tentang bahaya  narkotika;
3. Pengungkapan jaringan sindikat tindak pidana narkoba; dan,
4. Laju peningkatan prevalensi penggunaan narkoba 0,05 % pertahun.

Terkait urus terorisme,
bagi Pemerintah, ancaman terorisme bukan saja keamanan masyarakat, tetapi juga langsung membahayakan ideologi Pancasila sbg konsensus dasar bangsa juga UUD 1945, NKRI,  dan Bhineka Tunggal Ika. Satu cara penanggulangan terorisme adalah melalui upaya pencegahan dgn meningkatkan daya tangkap (ketahanan) masyarakat dari pengaruh teroris.

Mengacu Data BNPT 2016, pencapaian daya tangkal masyarakat dari ideologi radikal sebesar 117 %. Lebih besar ketimbang 2014 (85,89 %), selisih 36 %. Melebihi 30 % dari target tahun 2016.  Pemerintah juga sudah membangun kesadaran masyarakat melalui pembentukan pemberdayaan forum, al.: Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), Forum Kordinasi Pemberantasan Terorisme (FKPT), Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Pusat Pendidikan Wawasan Kebangsaan(FKWK).

Rata2 capaian kinerja berdasarkan parameter forum ini, yakni 94 % tingkat provinsi dan 63 % tingkat Kabupaten/Kota (LAKIP 2016 Ke menkon Polkam).

Meski pemerintah klaim punya kinerja baik dan berhasil urus terorisme, namun faktanya masih terjadi aksi terorisme.   Aksi pertama, dua pekan memasuki tahun 2016, publik dihadapkan pada peristiwa serangan teroris di Jalan Thamrin, Jakarta. Setelah meledak kan bom, pelaku baku tembak dgn petugas Polisi.

Aksi terorisme kedua di Terminal Kampung Melayu (25/5/2016). Tercatat 16 orang menjadi korban ledakan bom. Dari 16 korban, sebanyak 5 orang meninggal dunia, yaitu 2 terduga pelaku dan 3 polisi yang tengah berjaga disekitar lokasi aksi.

Pads 13 Mei 2018 telah terjadi lima kali aksi bom bunuh diri di Jawa Timur, yakni tiga aksi bom bunuh diri di tiga gereja, bom di perumahan Wono Colo, Sidoarjo, dan terakhir pukul 8.50 WIB, aksi bom bunuh diri di Mapolresta Surabaya, Jawa Timur.

Minggu, 07 Januari 2018

KINERJA JOKOWI URUS KORUPSI



Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP
(Ketua Tim Studi NSEAS)


PEMBERANTASAN KORUPSI,  satu urusan pemerintahan harus dikerjakan Presiden Jokowi. Saat kampanye Pilpres 2014, Capres Jokowi secara lisan berjanji, akan terbitkan  Perpres Pemberantasan Korupsi (hhtp://news.detik.com/pemilu2014/read/). Hingga kini belum terealisir.

Selanjutnya, Jokowi berjanji akan berbicara terkait kasus BLBI (http://www.jpnn.com/read/2014/07/17/). Hingga kini Jokowi belum juga berbicara.

Disamping lisan, Jokowi juga berjanji secara tertulis di dalam dokumen “Visi, Misi dan Program Aksi Jokowi Jusuf Kalla 2014”. Di dalam dokumen ini tercatat konsep Tri Sakti dan Nawacita. Apa janji Capres Jokowi terkait korupsi?

Bersama Wacapres Jusuf Kalla,  Jokowi berjanji, akan menolak Negara lemah dengan melakukan reformsai sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. Akan memprioritaskan: 1.  Pemberantasan korupsi dengan konsisten dan terpercaya; 2.  Pemberantasan mafia peradilan; dan 3.  Penindakan tegas terhadap korupsi di lingkungan Peradilan.

Selanjutnya kebijakan pemberantasan korupsi Jokowi tertuang di dalam RPJMN 2015-2019.

Di dalam RPJMN ini dijelaskan,  masalah pokok era SBY dlm pencapaian sasaran utama pencegahan dan pemberantasan korupsi, yakni masih rendah komitmen aparatur negara dan permisifitas masyarakat ttg korupsi. Permasalahan utama pd substansi peraturan perundang-undangan. Dari 32 rekomendasi United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC), 22 rekomendasi peraturan perundang-undangan dan 7 rekomendasi kajian dan kegiatan lain. Substansi RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, RUU Bantuan Hukum Timbal Balik (MIA), RUU Perampasan Asset misalnya hingga 3 tahun Jokowi berkuasa belum juga terbit menjadi UU. Utk RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, RUU KUHP, dan RUU KUHAP masih perlu sinkronisasi agar tidak tumpang tindih.

Prakarsa  ini masih belum terealisir dan terkendala di era Jokowi  ini.

RPJMN 2015-2019 menetapkan sasaran utama, al. 1. Terwujudnya birokrasi bersih dan akuntansi; dan, 2. Terwujudnya birokrasi efektif dan efisIen.

Selanjutnya, di dalam Pidato di depan Sidang Tahunan MPR tahun 2017, Jokowi menekankan, salah satu penggerus daya saing kita adalah korupsi. Ini musuh kita bersama. Karena itu, Jokowi mengajak seluruh rakyat Indonesia bersama-sama memerangi korupsi. Pemerintah mendukung setiap usaha dari semua pihak, dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi serta  memperkuat KPK. Bagi Jokowi, korupsi menggerogoti APBN  dan uang rakyat.

Jika Ketetapan RPJMN 2015-2019 sbg standar kriteria penilaian kritis kinerja Jokowi urus pemberantasan korupsi, maka jelas tergolong buruk dan gagal mencapai sasaran utama. Waktu 1,5 tahun lagi sangat tidak memungkinkan dapat mencapai sasaran tsb.

Kinerja buruk urus  korupsi ini juga dapat digunakan sejumlah penilaian aktor  penggiat dan institusi anti korupsi.  Beberapa di antaranya:

1. Mahkamah Agung (CNN Indonesia, 29/12/2016) :

Jumlah perkara korupsi di lembaga peradilan sepanjang 2016 mencapai 453 perkara, menempati urutan kedua setelah kasus narkotik (800 perkara).

2. Indonesia Corruption Watch ( 20/10/2016):

 Kinerja pemerintahan Jokowi  dua tahun berkuasa  di bidang pemberantasan korupsi belum memuaskan dan jauh dari harapan masyarakat. Satu tahun pertama, agenda pemberantasan korupsi tidak menjadi prioritas utama Jokowi. Kinerja  Jokowi urus korupsi justru tenggelam di balik sejumlah kegaduhan, khususnya soal kriminalisasi dan pelemahan terhadap KPK.

3. Survei LSI, Lembaga Survei Indonesia:

Mayoritas warga anggap korupsi meningkat 2 tahun terakhir. Mayoritas warga menilai korupsi meningkat dalam dua tahun terakhir. Survei  16-22 Agustus 2017 ini menunjukkan, hanya 19,3 % responden  merasa korupsi di Indonsia semakin menurun. Sementara,  menjawab tidak mengalami perubahan sebesar 24,5 persen. Sisanya mengaku tidak tahu atau tidak menjawab.

4. PP Pemuda Muhammadiyah (27/23/2017):

 Pemberantasan korupsi masih jauh dari program Nawacita.  Jokowi  kehilangan komitmen dan posisi parah dlm  pemberantasan korupsi. Jokowi tidak membayar utang kampanye justru sukses mendorong era kegelapan pada korupsi.

5. Survei Korupsi Asia Pasifik:

32 % orang Indonesia melakukan suap. Negara dengan tingkat suap paling tinggi adalah India (69 persen) dan Vietnam (65 persen). Menyusul di kategori selanjutnya yaitu Pakistan, Thailand, Kamboja, dan Indonesia dengan indeks suap di angka 31-40 persen. Masuknya Indonesia di kategori tsb  menjadi kabar buruk terhadap upaya pemberantasan korupsi  telah digaungkan di negeri ini.

6. Organisasi 'Transparansi Internasional (25/1/2017):

Transparansi Internasional  mengeluarkan laporan tahunan Indeks Persepsi Korupsi yang menunjukkan tingkat korupsi di 176 negara. Meski perolehan skor Indonesia naik.  Ranking Indonesia turun ke peringkat 90.

7. M.Nasir Djamil Anggota Komisi III DPR:

Walau sudah ada tiga lembaga seperti Polri, Kejaksaan dan KPK, korupsi tidak menurun secara signifikan. Utk memberantas korupsi dilakukan penguasa harus dilakukan oleh penguasa pula. "Hanya penguasa bisa mengawasi kekuasaan," tegasnya. Sembari menekankan, korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Untuk itu, perlu penanganan luar biasa pula (Sindonews, 17/10/2017).

Penilaian aktor anti korupsi dan institusi  di atas membuat Kita dapat berkesimpulan, kondisi korupsi di Indonesia era Jokowi tidak berubah lebih baik. Hal ini berartiJokowi gagal urus korupsi. Kondisi kinerja Jikowi  masih tergolong buruk! Tidak ada kemajuan urus korupsi.

8.Datangi KPK, Investor Jepang Laporkan Pungli di Indonesia
BERITA KOMPAS TV | Kamis, 19 Juli 2018

Komisi anti-suap Jepang mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi dan mengadukan keluhan pengusaha di Indonesia.

Perusahaan asal Jepang mengaku kerap dimintai biaya ilegal oleh pejabat Indonesia. Biasanya, pebisnis Jepang dimintai suap ketika ingin izin bisnis dan mengikuti lelang proyek pemerintah.

Suap yang diminta oleh oknum pejabat yang berkaitan dengan bisnis cukup bervariasi. Mulai dari ratusan yen sampai ratusan juta yen. Kalau dikonversi, maka setara dengan ratusan ribu sampai miliaran rupiah.

Padahal, praktik pungli ini tidak lazim ditemui di Jepang. Pada akhirnya, praktik suap pun menyulitkan pebisnis

Sabtu, 06 Januari 2018

KINERJA JOKOWI URUS HUKUM DAN HAM

KINERJA JOKOWI URUS HUKUM DAN HAM

Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP
(Ketua Tim Studi NSEAS)



Saat kampanye lisan Pilpres 2014, Capres Jokowi berjanji, tidak akan memilih Jaksa Agung dari Parpol. Faktanya, Jokowi menunjuk kader Parpol Nasdem, HM Prasetyo menjadi Jaksa Agung.

Selanjutnya, Jokowi berjanji, menyelesaikan pelanggaran HAM  masa lalu (Http://tribune.com/pemilu-201 janji-janji ham). Faktanya sudah 3 tahun lebih menjadi Presiden,  satupun pelanggaran HAM  dimaksud  tidak diselesaikan.

Kampanye tertulis  Jokowi tertuang didalam dokumen   Tri Sakti dan Nawacita. Berjanji, akan menolak negara lemah dgn melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Memprioritaskan akan memberantas korupsi, mafia peradilan, penebangan liar, perikanan liar, penambangan liar, kejahatan perbankan, pencucian uang,  lingkungan, dan pemberantasan narkoba. Jokowi juga menjamin, kepastian hukum hak kepemilikan tanah, penyelesaian sengketa tanah,dan menentang meminimalisasi penuntutan kembali hak tanah masyarakat; perlindungan anak, perempuan dan kelompok masyarakat international, serta penghormatan HAM dan penyelesaian berkeadilan  terhadap kasus2 pelanggaran HAM masa lalu. Intinya, Jokowi disamping penegakan hukum, juga berjanji akan menyelesaikan kasus2 pelanggaran HAM masa lalu. Apakah Jokowi menepati janji ini? Tidak juga !

Setelah berhasil menjadi Presiden, diterbitkan RPJMN 2015-2019. Di bidang hukum dan HAM Jokowi akan mencapai sasaran:
1. Meningkatkan kualitas penegakan hukum yg transparan, akuntabel, tidak terbeli-belit, melalui: Peningkatan keterpaduan dalam sistem peradilan pidana; Pelaksanaan sistem peradilan anak; Reformasi sistem hukum perdata yang mudah dan cepat; Penegakan SDM aparat penegak hukum; Pelayanan hukum.
2. Meningkatkan efektivitas pencegahan dan pemberantasan korupsi melalui: Harmonisasi peraturan perundang-undangan di bidang korupsi; Efektivitas implementasi kebijakan anti-korupsi; Pencegahan korupsi.
3. Terwujudnya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM melalui: Harmonisasi dan evaluasi peraturan terkait korupsi; Penegakan HAM; Optimalisasi bantuan hukum dan layanan peradilan bagi masyarakat; Penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak; Pendidikan HAM.
Dlm rangka mewujudkan arah kebijakan bidang hukum dan HAM ini, penataan regulasi akan diambil:
1. Revisi KUHP dan KUHAP.
2. Revisi KUHAPer.
3.Revisi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan mengenai Aparat Penegak Hukum.
4. Revisi UU terkait dgn pemberantasan tindak pidana korupsi.
5. Pembentukan peraturan pelaksana UU SPPA (Sistem peradilan pidana anak).

Setelah 3 tahun lebih jadi Presiden, berhasil kah Jokowi mencapai sasaran? Tidak  juga!

Hingga kini belum juga ada revisi KUHP, KUHAP juga KUHAPer,dll. dimaksud.

Khusus bidang HAM, Kondisi pelaksanaan di Indonesia ditinjau UPR (Universal Periodical Review, Dewan HAM PBB).Pd 2017, beberapa issue al.: 1. Memburuknya toleransi agama; 2. Pelanggaran HAM di Papua ; 3. Pelaksanaan hukuman mati; 4.  Penyediaan pelanggaran HAM masa lalu; dan, 5. Kekerasan terhadap perempuan, terutama kekerasan seksual.

Apa penilaian aktor pejuang HAM di masyarakat madani?
YBHI menilai, selama 3 tahun memimpin pemerintahan, Jokowi cenderung fokus ke bidang ekonomi dan infrastruktur. Kurang memperhatikan soal hukum dan HAM. Hal ini terlihat dari bagaimana Pemerintah saat ini menanggapi kasus2 dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu. Juga korban2 minoritas di berbagai tempat tidak bisa mendapatkan hak. Jokowi gagal dalam menuntaskan pelanggaran HAM.

Salah satu issu HAM,  penanganan peristiwa pelanggaran HAM berat. Di era SBY, dibuka ruang diskusi dgn para korban pelangaran HAM berat di Istana. Sementara di era Jokowi, tidak ada diskusi dan terjadi kemunduran. Jokowi belum merealisir janji kampanye Pilpres 2014 juga sudah dituangkan dalam Nawacita dan RPJMN 2015-2019. Salah satu janji Jokowi yakni pembentukan Komite adhoc, bertugas mirip Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Menurut Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras, Feri Kusuma, hingga kini belum ada pembahasan apapun upaya untuk memanggil para korban untuk mendiskusikan langkah apa yang sebaiknya ditempuh. Ia dan teman2 pegiat HAM sudah berulangkali datang ke Kantor Staf Presiden dan Sekretaris Kabinet untuk memberikan berkas2  dan menyampaikan argumentasi terkait penyelesaian kasus2 ini tetapi sampai sekarang tidak ada respon dari Presiden (Harian Terbit, 11 Des 2017).

Suciwati Munir kembali menagih janji Jokowi utk menuntaskan kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Pasalnya, bagi Suciwati, selama 3 tahun terakhir Jokowi sama sekali belum berbuat apa2 utk merealisasikan janjinya. "Saya bilang, pemerintahan ini tidak punya jiwa dalam penegakan hukum.Saya pikir dalam penindakan hukum dan HAM, Jokowi nol," kata Suci, Istri Almarhum Munir aktivis korban pelanggaran HAM (18/8/2017).

Para pejuang HAM mencermati, pd 2016 dan 2017, kasus penegakan HAM  absen dalam pidato kenegaraan Jokowi. Padahal dalam pidato kenegaraan 2015, Jokowi mengatakan bahwa pemerintah berkomitmen membentuk komite rekonsiliasi untuk pelanggaran HAM berat.

“Saat ini pemerintah sedang berusaha mencari jalan keluar paling bijaksana dan mulia untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Air. Pemerintah menginginkan ada rekonsiliasi nasional sehingga generasi mendatang tidak terus memikul beban sejarah masa lalu,” sebut Jokowi.

Prakarsa muncul dari Menko Polkam, Wiranto,  yakni DKN ( Dewan Kerukunan Nasiobal), suatu solusi penyelesaian kasus HAM diluar hukum. Prakarsa ini bukan dari suara korban. Tetapi, DKN belum ada payung hukum. Tujuannya, kata Menko Polkam Wiranto  (7 Nopember 2017) untuk menegakkan kembali rasa musyawarah mufakat merupakan budaya Indonesia.
Rencananya lembaga tersebut akan diisi oleh para tokoh-tokoh bangsa yang diakui kredibilitasnya dan kebijakannya. Menurut Wiranto, hal ini karena tidak semua masalah horisontal dilarikan ke yudisial melainkan harus melalui non yudisial. Cara ini menggunakan cara-cara lama atau adat musyawarah mufakat.

Pada  8 Juni 2018, Komnas HAM  bertemu Jokowi. Jokowi meminta masukan terkait DKN untuk menuntaskan kasus HAM.
Tetapi, prakarsa ini tinggal prakarsa, walau sudah 3,5 tahun Jokowi berkuasa. Tidak ada tindak lanjut sehinngga  janji lisan kampanye Pilpres 2014 masih janji belaka.

Hingga tahun ketiga kepemimpinannya sebagai Presiden, penyelesaian kasus HAM masa lalu masih buram. Jokowi tercatat memiliki hutang untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM semisal kasus Tragedi Pembantaian Massal 1965-1966, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II, termasuk kasus tewasnya aktivis HAM, Munir.  Intinya, kinerja Jokowi urus bidang HAM buruk dan gagal.

Parameter persekusi dapat dijadikan kriteria penilaian kinerja Jokowi urusan penegakan HAM. Kata “Persekusi” menjadi populer di Indonesia terutama di era Jokowi ini. Persekusi bermakna perlakuan buruk atau penganiyaan secara sistematis oleh individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lain, khususnya karena suku, agama, atau pandangan politik. Persekusi adalah salah satu jenis kejahatan kemanusiaan, HAM dan juga pelanggaran hukum pidana.

Dalam suatu acara dialog di TV One, 12 Des 2017, nara sumber UHAMKA, Manager Nasution menyebutkan, ada 47 kali persekusi tanpa ada penegakan hukum melalui pengadilan. Dari sisi penegakan hukum, sepanjang terjadinya persekusi tahun 2017, tiada bukti,  Pemerintah melaksanakan. Negara absen saat terjadi persekusi. Kinerja buruk !


SUMBER DATA BATU:

1. PERNYATAAN JAGUNG TTG  KASUS HAM

Jaksa Agung - Muhammad Prasetyo
Red: Bayu Hermawan |
Kejaksaan Agung kesulitan memproses kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM masa lalu
REPUBLIKA.CO.ID,  BOGOR -- Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, pihaknya masih menunggu kelengkapan bukti dari penyelidikan Komnas HAM terhadap terjadinya dugaan pelanggaran HAM berat. Prasetyo mengungkapkan, Kejaksaan Agung kesulitan memproses kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM masa lalu, karena saksi dan bukti yang belum mencukupi



"Hanya masalah perkara pelanggaran HAM berat ini yang memiliki kewajiban mengumpulkan bukti awal itu Komnas HAM untuk mengadakan penyelidikan, sementara Kejaksaan menerima hasil penyelidikan Komnas HAM dan itu lalu diteliti apakah sudah memenuhi syarat untuk ditingkatkan ke penyidikan atau belum, tentunya sedang kita bicarakan terus," kata Jaksa Agung HM Prasetyo seusai bersilaturahim dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor pada Jumat (15/6).

Pada 31 Mei 2018 lalu, Presiden Joko Widodo memerintahkan Jaksa Agung HM Prasetyo untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM seusai bertemu dengan para peserta aksi Kamisan. Kasus-kasus tersebut antara lain kasus 1965-1966, kasus Talangsari Lampung, kasus Tanjung Priok, kasus penghilangan orang secara paksa, kasus Mei 1998, kasus Trisakti-Semanggi 1 dan 2 Jakarta , kasus Jambu Keupok dan Simpang KKA di Aceh.

"Kita sudah bicara dengan semua pihak bahkan sebelum mereka datang (ke Istana Presiden), juga ada perwakilan yang sempat ketemu dengan Komnas HAM juga sempat bertemu, kita semua sepakat tentunya dengan melihat fakta-fakta yang ada," ungkap Prasetyo.

Prasetyo mengakui bahwa Kejaksaan Agung kesulitan untuk memproses kasus-kasus tersebut karena kasus-kasus itu sudah lama berlalu sehingga saksi dan buktinya pun belum mencukupi.

"Saya selalu katakan bahwa peristiwa itu sudah lama terjadi sementara tentunya penegakan hukum itu harus di atas fakta dan bukti. Bukti itu macam-macam, ada saksi, ahli, ada surat-surat dan ada petunjuk tentunya harus dikumpulkan dengan baik dan kami tentunya mengharapkan kelengkapan itu karena kalau tidak hasilnya pun tidak maksimal bahkan akan hadapi kegagalan ketika menghadapi pengadilan," jelas Prasetyo.

Prasetyo mengatakan bahwa ia akan memprioritaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi setelah diberlakukannya UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

"Kita akan coba lebih cermati dulu kasus-kasus yang terjadinya setelah kita memiliki UU Pengadilan HAM No 26 tahun 2000 karena kalau sebelum itu perlu keputusan politik dari DPR dan sebagainya untuk peradilan HAM ad hoc," ujarnya Prasetyo.

Prasetyo pun menyarankan adanya penyelesaian nonyudisial terhadap kasus-kasus tersebut. "Maka tempo hari saya mengatakan setelah melihat fakta bukti dan hal-hal lain yang diperlukan untuk meningkatkan ke penyidikan masih belum ditemukan lengkap ada cara lain untuk melakukan rekonsiliasi penyelesaian non yudisial, ini yang sedang kita coba bahas lebih intens dengan semua pihak supaya bisa memahami maksud dan tujuan kita," jelas Prasetyo.

Sebelumnya Koalisi Masyarakat Sipil mengatakan bahwa tugas Komnas HAM sebagai penyelidik menurut UU No 26 tahun 2000 dan UU No 8 tahun 1981 cukup sampai menemukan perbuatan yang diduga sebagai pelanggaran HAM yang berat sedangkan mencari bukti guna membuat terang siapa pelakunya adalah tugas penyidik yaitu Jaksa Agung itu sendiri.

Sumber: Antara |
kasus pelanggaran ham jaksa agung prasetyo

2. HRW: Kepemimpinan Jokowi Gagal Hadang Intoleransi
Kepemimpinan Presiden Joko Widodo dinilai tidak mampu menggerakkan aparat negara untuk menuntaskan kasus kejahatan HAM. Menurut Human Rights Watch, kegagalan tersebut menempatkan generasi mendatang dalam risiko besar.

Awalnya pemerintah Joko Widodo dipuji berkat "langkah-langkah kecil" melindungi hak sipil kaum minoritas. Langkah Kejaksaan Agung menggugurkan larangan LGBT dalam perekrutan tenaga kerja dan menyusutnya tahanan politik Papua dari 37 menjadi lima orang adalah dua kebijakan yang disambut hangat oleh organisasi HAM, Human Rights Watch, dalam laporan tahunannya.

Selebihnya Indonesia mendapat rapor merah dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM dan intoleransi.

Pemerintah dinilai gagal mewujudkan perlindungan HAM seperti yang dijanjikan Presiden Joko Widodo. Kaum minoritas agama tercatat masih sering menghadapi diskriminasi dan intimidasi dari otoritas pemerintahan dan ancaman kekerasan dari kelompok militan Islam. Sementara tahanan politik di Papua dibui hanya karena menyuarakan pendapat secara damai.

"Pemerintah Jokowi menutup mata terhadap maraknya penganiayaan terhadap kelompok minoritas agama dan seksual," kata Wakil Direktur Asia HRW, Phelim Kine. "Pejabat menggunakan pasal penistaan agama yang ambigu untuk membidik kelompok agama tertentu, sementara polisi menggelar penggerebekan terhadap kaum LGBT."

Penilaian miring tersebut terkandung di dalam laporan setebal 643 halaman tentang kondisi pelanggaran HAM di lebih dari 90 negara yang dirilis Human Rights Watch baru baru ini.


Terrorisme
Pemerintah mengklaim sebanyak 999 eks-jihadis berhasil mengikuti program deradikalisasi. Sejumlah pengamat juga menghargai satuan anti teror Densus 88 yang kini lebih sering menangkap terduga teroris, dan tidak lagi menembak di tempat. Pendekatan lunak ala Indonesia juga mengundang pujian dunia. Tantangan terbesar adalah RUU Anti Terorisme yang bakal melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme.


Infrastruktur
Pembangunan infrastruktur sejak awal menjadi jurus pamungkas Jokowi. Berbagai proyek yang tadinya mangkrak kembali dihidupkan, antara lain jalan Trans-Papua, infrastruktur kelistrikan berkapasitas 35.000 megawatt yang baru tuntas 40% dan transportasi. Di bawah pemerintahannya anggaran infrastruktur digandakan dari 177 triliun Rupiah pada 2014 menjadi 401 triliun untuk tahun anggaran 2017.

HRW menyusun laporan tahunan berdasarkan catatan HAM sejumlah organisasi sipil di Indonesia, antara lain Komisi Nasional Perempuan yang mendata ratusan Undang-undang dan Peraturan Daerah yang diskiriminatif terhadap perempuan - termasuk diantaranya Perda yang mewajibkan perempuan mengenakan jilbab di sekolah, kantor pemerintah atau ruang publik.

Hal serupa diungkapkan Kepala Divisi Pembelaan HAM Kontras Arif Nur Fikri. Kepada CNN Indonesia dia mengaku pihaknya mencatat sedikitnya 163 kasus penyiksaan yang dilakukan aparat kepolisian, TNI, maupun sipir penjara. Sebanyak 86 kasus melibatkan anggota Kepolisian, 39 kasus oleh aparat TNI dan sisanya dilakukan sipir.

"Kasus penyiksaan grafiknya terus meningkat sementara hukuman terhadap pelaku penyiksaan itu masih minim," kata Arif kepada CNN Indonesia.

Menurut HRW sederet kasus pelanggaran HAM seharusnya bisa menjadi batu loncatan bagi pemerintah Indonesia untuk memastikan perlindungan hak sipil buat masyarakat di masa depan.

"Ke depan Presiden Jokowi harus mendemonstrasikan kepemimpinannya dengan memastikan keadilan bagi korban diskriminasi dan pelanggaran HAM, entah itu 50 tahun lalu atau sekarang," kata Kine. "Kegagalan mengadili pelaku kejahatan HAM akan menempatkan generasi muda dalam risiko yang sama.


SUMBER DATA BARU:

1.CNN Indonesia
Selasa, 07/08/2018 06:50
Bagikan :

Komnas HAM menegaskan berkas kasus yang sudah diajukan ke Jaksa Agung akan tetap menjadi berkas hukum meski ada proses lain yang sedang berlangsung. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menolak pilihan Menko Polhukam Wiranto untuk membentuk tim terpadu dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di luar jalur hukum.

Tak hanya menolak bergabung dengan tim itu, Komnas HAM mengatakan berkas kasus yang sudah diajukan ke Jaksa Agung akan tetap menjadi berkas hukum meski ada proses lain yang sedang berlangsung.

"Saya tidak tahu tim itu akan seperti apa. Berkas Komnas HAM ini berkas hukum, satu-satunya cara ditindak secara hukum yakni penyidikan, tidak ada jalan lain," kata Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Amiruddin di kantornya, Senin (6/8).

Lihat juga: Wiranto Klaim Tim Terpadu Bukan Buat Jual Isu HAM di Pilpres

Amir mengatakan hal itu berdasarkan amanat UU 26/2000 yang mengatakan bahwa penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM hanya bisa diselesaikan secara hukum.

Hanya penyidik Kejaksaan Agung yang mampu mengetok palu tanda kasus tersebut selesai atau perlu ditangani lebih lanjut.

"Tidak ada jalan lain karena lembaga yang lain bukan lembaga hukum yang dimaksud dalam UU No. 26 tahun 2000. Di situ hanya menyebut penyidik, jaksa agung dalam arti," lanjutnya.

Dia melanjutkan Komnas HAM juga diberi amanat sebagai penyidik dalam kasus kasus pelanggaran HAM tersebut. Pihaknya mengklaim telah menyelesaikan tugas penyelidikan sejak lama. Kini, kelanjutan kasus HAM masa lalu berada di tangan Jaksa Agung.


"Kasus-kasus yang sudah kami kirimkan pada jaksa Agung ada sembilan. Itu juga bukan kasus-kasus kemarin sore, sudah puluhan bahkan belasan tahun. Kami sudah menyelesaikan itu," kata dia.

Lihat juga: Isu HAM Diperkirakan Masih Seksi untuk Pilpres 2019

Komnas HAM telah menyelidiki enam kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang menjadi perhatian khusus. Kasus tersebut yakni tragedi 1965-1966, peristiwa Talangsari, penembakan misterius (petrus), Peristiwa Semanggi I dan II, serta penghilangan paksa para aktivis.

Sementara sekitar tahun 2000 ada kasus Wamena, Wasior, dan Jambu Kepok di Aceh. Setiap kasus memiliki tipologi yang berbeda-beda.

Kasus-kasus tersebut mandek karena Jaksa Agung merasa data yang disediakan Komnas HAM belum valid dan masih kurang bukti.

Jaksa Agung M. Prasetyo pun mengaku kesulitan mengusut kasus pelanggaran HAM masa lalu lantaran peristiwanya sudah terlalu lama berlalu. Saksi dan bukti yang ada juga belum dianggap memenuhi kebutuhan penyelesaian kasus.

Menko Polhukam Wiranto. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho)
Belakangan ini, Wiranto berinisiatif membentuk tim terpadu penyelesaian kasus HAM masa lalu. Langkah tersebut menjadi kontroversial tak hanya karena dia memilih jalur non-yudisial tetapi juga dipimpin oleh Wiranto sendiri yang diduga punya catatan hitam dalam kasus pelanggaran HAM.

Sebagian pihak menganggap inisiatif tersebut sebagai langkah politis menyongsong pilpres dan pileg 2019.

Penuntasan Berdasarkan Hukum

Komisioner Pengkaji Komnas HAM M. Choirul Anam menegaskan berdasarkan UU 26/2000 satu-satunya cara untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM adalah melalui jalur hukum. Bahkan, pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonisiliasi (KKR) juga diamanatkan dalam pasal 47 dalam UU 26/2000.

Dia mengatakan tak boleh ada pembentukan tim berdasarkan ide politik di luar undang undang.

"Kerangka waktu lahir ketika 2000 awalnya reformasi. Kalau dilihat dari kerangka itu bahw


KINERJA JOKOWI URUS POLITIK DALAM NEGERI (PDN)



Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP
(Ketua Tim Studi NSEAS)


Politik Dalam Negeri (PDN),  satu urusan pemerintahan harus dikerjakan Presiden Jokowi. Saat kampanye Pilpres 2014, Capres Jokowi berjanji tertulis di dalam dokumen “Visi, Misi dan Program Aksi Jokowi Jusuf Kalla 2014”.  Tercatat konsep Tri Sakti dan Nawa Cita. Apa janji Capres Jokowi terkait urusan Politik Dalam Negeri (PDN)?

Bersama Wacapres Jusuf Kalla,  Jokowi berjanji, akan mereformasi sistem dan kelembagaan demokrasi dengan penekanan 6 prioritas utama:
1.     Merestorasi UU Partai Politik untuk mendorong pelembagaan Parpol melalui penguatan sistem kaderisasi, rekruitment, dan pengelolaan keuangan parpol.
2.     Mendorong pengaturan pembiayaan Parpol melalui APBN/APBD diatur dengan UU Parpol.
3.     Menginisiasi reformasi pengaturan pembiayaan kampanye melalui perubahan UU Pemilu,  membatasi pengeluaran parpol bagi kepentingan Pemilu. Dimaksudkan agar Parpol tidak terjebak dalam politik biaya tinggi.
4.     Mereformasi pengaturan pengawasan dan penyelenggaraan Pemilu.
5.     Mendukung terus menerus penciptaan struktur Ketatanegaraan dan Tata Pemerintahan mampu melaksanakan "good and clean governance" melalui mekanisme "checks and balance" antara lembaga negara.
6.     Mewujudkan tata kelola pemerintahan didasarkan pada prinsip tata kelola baik dan bersih.

Setelah mereka berhasil dlm Pilpres 2014, diterbitkan RPJMN 2015-2019. Khusus urusan PDN, sasaran: terwujudnya proses positif konsolidasi demokrasi, diukur dengan pencapaian angka Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 7,5 pd 2019, tingkat partisipasi politik rakyat 77,5% dan terselenggaranya Pemilu aman, adil dan demokratis pd 2019. Sasaran ini akan dicapai melalui:
1.     Menguatnya kelembagaan demokrasi dgn capaian IDI 71 tahun 2019, dan terselenggaranya Pemilu serentak 2019 aman, damai, adil jujur dan demokratis.
2.     Terjaminnya kebebasan sipil dan terpenuhinya hak-hak politik rakyat dgn capaian IDI  kebebasan sipil 87, dan hak-hak politik 68 tahun 2019.
3.     Meningkatnya keterwakilan perempuan dalam kepengurusan Parpol hingga 30 %.
4.     Meningkatnya keterbukaan informasi publik dan komunikasi publik, serta meningkatnya akses masyarakat terhadap informasi publik.
5.     Terjaganya stabilitas sosial dan politik ditandai dgn berkurangnya jumlah konflik kekerasan dan menurunnya jumlah serangan terorisme di masyarakat secara berkelanjutan hingga 2019.

Kini Jokowi telah lebih 3 tahun menjadi Presiden RI. Apakah ia berhasil atau gagal memenuhi janji kampanye (Tri Sakti dan Nawacita) dan sasaran (RPJMN 2015-2019)?  Secara umum kondisi politik PDN dapat digambarkan dari penilaian sejumlah Politisi dan Pakar:

1.     Prabowo Subianto, Paradoks Indonesia: Negara Kayaraya, Tetapi masih Banyak Rakyat Hidup Miskin (Jakarta: KGN, 2017:
Demokrasi Indonesia berada dalam keadaan sangat rawan. Terlalu banyak pemimpin bisa disogok, bisa dibeli. Akhirnya mereka tidak menjaga kepentingan rakyat, tidak mengamankan kepentingan rakyat, tetapi  malah menjual negara kepada pemodal besar, bahkan  bangsa asing. Banyak pemimpin bukan taat kepada UUD, kepentingan bangsa, tetapi kepada uang. Ini semua karena demokrasi kita laksanakan, demokrasi liberal yang membutuhkan biaya sangat besar.

2.     Ketua DPP PKS Pipin Sopian (detikNews, 2/11/2017) menegaskan,  IDI saat ini menurun.  secara berkala dari tahun 2014, 2015, dan 2016. Ia memprediksi tahun ini juga akan menurun. IDI ditentukan oleh tiga aspek: Pertama,  kebebasan sipil, hak politik masyarakat, dan efektifnya lembaga demokrasi. Kebebasan sipil saat ini mulai terkekang.  Penegakan hukum seakan ada proses pembiaran. Kedua, ketiadaan equality before the law. Ketiga, menurunnya partisipasi Parpol karena ada intervensi terlalu kuat terhadap Parpol. Ada proses 'pemaksaan' untuk mendukung pemerintahan Jokowi-JK. PKS melihat IDI sekarang mengalami penurunan.

3. Rilis Hasil Survei Nasional CSIS: 2 Tahun Jokowi (Agustus 2016):
Persepsi publik tentang perkembangan demokrasi dalam 10 tahun terakhir yakni 61,1 % responden menilai demokrasi telah berkembang;  25,7 % Tidak ada perubahan khusus; 7,3 % menilai   Demokrasi mengalami kemunduran; dan, 5,9 % tidak jawab. Sedangkan tingkat dukungan publik terhadap demokrasi, yakni 55,1 % menilai demokrasi adalah sistem politik lebih baik; 21,3 % menilai dalam kondisi tertentu sistem non demokrasai diperlukan; 16,9 % menilai sistem politik yang ada tidak berpengerauh apapun; 6,7 % tidak jawab.  Atas pertanyaan figur pemimpin dianggap penting bagi Indonesia, yakni 65 % menilai mempnyai kepemimpinan tegas, tapi harus tetap dalam sistem demokratis; 22,9 % menilai kepemiminan yang kuat dengan sikap kurang demokratis, tidak apa2 selama membangun ekonomi dan masyarakat; 7,9 % kepemimpinan kuat/tegas penting, dan tidak masalah jika demokratis atau tidak; 3,8 % tidak jawab. Jumlah sample dalam survei ini 1.000 orang,  tersebar secara proporsional di 34 Propinsi di Indonesia. Pengumpulan data dilakukan pada 8 – 15 Agustus 2016 melalui wawancara tatap muka menggunakan kuesioner terstruktur.

4.     Hasil survei BPS (2016) ttg Indeks Demokrasi Indonesia (IDI):
IDI 2016 mengalami penurunan dibanding 2015. IDI 2016 sebesar 70,09, masih dalam kategori sedang. Meskipun ada penurunan dibandingkan 2015
IDI tahun 2016 mencapai 70,09 dalam skala indeks 0-100. Angka ini turun dibanding IDI 2015, mencapai 72,82. Penurunan IDI 2016 dipengaruhi 3 aspek demokrasi. Pertama, kebebasan sipil,  turun 3,85 poin dari 80,30 menjadi 76,45. Kedua, hak-hak politik, turun 0,52 poin, dari 70,63 menjadi 70,11. Ketiga, lembaga-lembaga demokrasi,  turun 4,82 poin, dari 66,87 menjadi 62,05. Selanjunya, Indeks  Kebebasan Sipil adalah 76,45; hak-hak sipil 70,11;  lembaga demokrasi 62,05. Ketiga aspek IDI ini  mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya. Penurunan terbesar terjadi pd aspek lembaga demokrasi. Indeks kebebasan sipil 2016 menurun 3,85 poin dibanding 2015, Indeks hak-hak politik menurun 0,52 poin, juga indeks lembaga demokrasi turun 4,82 poin.

5.     Komisi Informasi Pusat (KIP) :
Pemerintah terkesan masih setengah hati dalam mendukung keterbukaan informasi publik karena belum satu kata dari seluruh kalangan eksekutif dalam menjalankan keterbukaan informasi publik (27/2/2017).  Banyak Badan dan Lembaga, khususnya instansi Pemerintah enggan dalam memberikan informasi publik. Mirisnya lagi, masih ada berberapa Provinsi belum memiliki Komisi Informasi, al: Kalimantan Utara, NTT, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara dan Papua. Pada 2016 Komisi Informasi sudah terbentuk di 29 Provinsi, 3 Kabupaten  dan 1 Kota.(27/10/2016).

Di lain fihak, ada penilaian, hingga saat ini proses mendapatkan informasi publik terbilang sulit. Harus melalui jalur hukum  panjang dan menghabiskan banyak waktu. Ketika putusan Komisi Informasi menyatakan sebuah informasi sebagai informasi terbuka bagi publik, biasanya badan publik selaku termohon melakukan banding, dan bisa jadi informasi gagal terbuka lewat keputusan di Pengadilan Tata Usaha Negara atau di Mahkamah Agung (MA).  Bahkan ketika MA sudah memutuskan sebuah informasi terbuka, putusan tersebut tidak dilaksanakan oleh badan publik.

Uraian di atas dapat digunakan untuk menilai keberhasilan Jokowi mencapai sasaran terutama parameter  IDI dan informasi publik. IDI diharapkan tercapai 71 pd 2019. Pd 2016 sudah tercapai 70,09 (sedang), menurun dibandingkan IDI 2015 (72,82). Karena itu, belum berhasil mencapai target IDI 71. Diperkirakan untuk tahun2 ke depan, akan terjadi penurunan IDI sehingga menjadi jauh dari keberhasilan.

Parameter kinerja Jokowi selanjutnya, kebebasan sipil 87, dan hak-hak politik 68 pd 2019.  2016 Indeks  kebebasan sipil 76,45; hak-hak politik sipil 70,11;  lembaga demokrasi 62,05. Ketiga aspek IDI mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya. Penurunan terbesar terjadi pada aspek lembaga demokrasi. Indeks aspek kebebasan sipil 2016 menurun 3,85 poin
dibanding 2015, Indeks hak-hak politik menurun 0,52 poin, juga indeks lembaga demokrasi turun 4,82  poin.

5.     Komisi Informasi Pusat (KIP) :
Pemerintah terkesan masih setengah hati dalam mendukung keterbukaan informasi publik karena belum satu kata dari seluruh kalangan eksekutif dalam menjalankan keterbukaan informasi publik (27/2/2017).  Banyak Badan dan Lembaga, khususnya instansi Pemerintah enggan dalam memberikan informasi publik. Mirisnya lagi, masih ada berberapa Provinsi belum memiliki Komisi Informasi, al: Kalimantan Utara, NTT, Sulteng, Malut dan Papua. Pada 2016 Komisi Informasi sudah terbentuk di 29 Provinsi, 3 Kabupaten  dan 1 Kota. (27/10/2016).

Di lain fihak, ada penilaian, hingga saat ini proses mendapatkan informasi publik terbilang sulit. Harus melalui jalur hukum  panjang dan menghabiskan banyak waktu. Ketika putusan Komisi Informasi menyatakan sebuah informasi sebagai informasi terbuka bagi publik, biasanya badan publik selaku termohon melakukan banding, dan bisa jadi informasi gagal terbuka lewat keputusan di Pengadilan Tata Usaha Negara atau di Mahkamah Agung (MA).  Bahkan ketika MA sudah memutuskan sebuah informasi terbuka, putusan tersebut tidak dilaksanakan oleh badan publik.

Uraian di atas dapat digunakan untuk menilai keberhasilan Jokowi mencapai sasaran terutama parameter IDI dan informasi publik. IDI diharapkan tercapai 71 pd 2019. Pd 2016 sudah tercapai 70,09 (sedang), menurun dibandingkan IDI 2015 (72,82). Karena itu, belum berhasil mencapai target IDI 71. Diperkirakan untuk tahun2 ke depan, akan terjadi penurunan IDI sehingga menjadi jauh dari keberhasilan.

Parameter kinerja Jokowi selanjutnya, kebebasan sipil 87, dan hak-hak politik 68 tahun 2019. Pd 2016 Indeks  kebebasan sipil 76,45; hak-hak politik sipil 70,11;  lembaga demokrasi 62,05. Ketiga aspek IDI mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya. Penurunan terbesar terjadi pada aspek lembaga demokrasi.indeks aspek kebebasan sipil pada 2016 menurun 3,85 poin dibanding pada 2015, Indeks hak-hak politik menurun 0,52 poin, juga Indeks lembaga demokrasi turun 4,82 poin. Angka ini masih jauh dari target capaian Jokowi pd 2019. Diperkirakan, Jokowi takkan berhasil mencapai target pd 2019.

Parameter selanjutnya adalah terselenggaranya Pemilu serentak 2019 aman, damai, adil jujur dan demokratis. Kita masih harus menunggu data dan fakta pd  2019,  baru dapat memberikan penilaian tingkat keberhasilan. Pemilu serentak ini belum memiliki data dan fakta pembanding karena memang dalam sejarah politik Indonesia, baru kali ini akan dilaksanakan Pemilu serentak. 

Sedangkan keterwakilan perempuan dalam kepengurusan Parpol hingga 30 %, telah tercapai karena adanya validasi data dari Pemerintah dan KPU bagi setiap Parpol. Hanya saja 30 % keterwakilan perempuan ini pada kepenguusan tingkat Pusat, bukan Daerah.

Dari sisi parameter keterbukaan informasi publik dan komunikasi publik, telah ada kemajuan, tetapi masih harus menghadapi beragam kendala. Seperti dinyatakan Komisi Informasi Pusat (KIP),  Pemerintah terkesan masih setengah hati dalam mendukung keterbukaan informasi publik karena belum satu kata dari seluruh kalangan eksekutif dalam menjalankan keterbukaan informasi publik. Banyak instansi Pemerintah enggan dalam memberikan informasi publik. Masih ada Provinsi belum memiliki Komisi Informasi. Proses mendapatkan informasi publik terbilang sulit. Harus melalui jalur hukum panjang dan menghabiskan banyak waktu.

Kinerja Jokowi urus PDN juga dapat dinilai dari parameter jumlah konflik kekerasan dan serangan terorisme di masyarakat secara berkelanjutan hingga 2019. Hingga 2017 tentu saja konflik kekerasan dan serangan terorisme telah berkurang. Dapat dinilai, Jokowi akan berhasil urus politik dalam negeri.

Khusus parameter janji kampanye dalam Tri Sakti dan Nawacita, Jokowi belum melaksanakan restorasi UU Partai Politik.  Kondisi sistem kaderisasi, rekruitment, dan pengelolaan keuangan parpol masih berlaku sebagaimana sebelum Jokowi menjadi Presiden. Hal ini juga berlaku pada parameter pembiayaan Parpol melalui APBN/APBD, belum ada perubahan pengaturan  berarti dengan UU Parpol.

Selama lebih 3 tahun Jokowi jadi  Presiden,  janji Nawacita ini  belum ditepati. Belum ada upaya konkrit Jokowi lakukan  revisi UU No. 2 Tahun 2011 ttg Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik (UU Parpol). Padahal Revisi UU ttg Partai Politik sudah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019, tapi, belum pernah masuk agenda Prolegnas Prioritas di DPR RI. Parameter ini menunjukkan kinerja Jokowi buruk dan gagal.

Sumber Data baru :
[7/13, 4:14 PM] Muchtar Effendi Harahap: Ini 5 Negara Teratas Dalam Indeks Demokrasi Dunia, Indonesia?
Oleh Rizki Akbar Hasan pada 11 Mar 2018, 21:00 WIB


Liputan6.com, Jakarta - Media ternama Amerika Serikat, The Economist, merilis Indeks Demokrasi Dunia Tahun 2017 pada 30 Januari 2018. Indeks itu merupakan proyek salah satu sayap lembaga think-tank media tersebut; The Economist Intelligence Unit (EIU).

Indeks tersebut memaparkan tentang penilaian keberlangsungan demokrasi pada setiap negara dunia, yang diukur dengan menggunakan lima variabel penilaian.

BACA JUGA
Jepang Peringati 7 Tahun Gempa dan Tsunami
Donald Trump: Kesepakatan dengan Korea Utara dalam Proses
Arab Saudi dan Inggris Teken Kesepakatan Jual Beli Jet Tempur
Lima variabel penilaian indeks demokrasi itu meliputi; (1) proses elektoral dan pluralisme, (2) keberfungsian pemerintahan, (3) partisipasi politik, (4) kultur politik, dan (5) kebebasan sipil.

Hasil penilaian yang diukur dari kelima variabel itu akan menghasilkan skor rata-rata yang dijadikan sebagai tolak ukur penetapan peringkat indeks.

Mereka yang duduk di peringkat 19 teratas dalam indeks tersebut dikategorikan oleh EIU The Economist sebagai negara dengan pemerintahan yang menerapkan sistem demokrasi secara penuh.

Dari total 167 negara yang tercantum dalam Indeks Demokrasi Dunia 2017 versi The Economist, berikut 5 negara paling demokratis di dunia, seperti Liputan6.com rangkum dari Toptenz, Minggu (11/3/2018).

Saksikan juga video pilihan berikut ini:


1 of 7
5. Denmark

Ilustrasi Denmark (Twitter @DasSabrine)
Kebebasan atas hak individual merupakan komponen utama yang menjadikan skor demokrasi Denmark berada di peringkat 5 tertinggi dalam indeks EIU The Economist dengan skor 9,22 (dari skor sempurna 10,00).

Denmark juga memiliki skor tinggi dalam kesetaraan gender di berbagai aspek kehidupan, seperti di ekonomi, sosial, dan politik.

Tak hanya itu, asas transparansi tinggi yang diterapkan oleh setiap lembaga pemerintahan dan parlemen turut menjadi salah satu sumbangsih.

2 of 7
4. Selandia Baru

Paspor Selandia Baru (AP PHOTO)
Sejumlah aspek yang membuat negara itu duduk di peringkat 4 dalam indeks EIU The Economist adalah toleransi atas keberagaman yang tinggi di Selandia Baru.

Dari segi kesetaraan gender, Selandia Baru menjadi salah satu negara yang melibatkan perempuan terlibat dalam proses pemungutan suara pada setiap Pemilu.

Penanganan baik yang dilakukan pemerintah terhadap kelompok masyarakat asli juga menjadi aspek yang diapresiasi.

Keberfungsian pemerintahan yang mumpuni, keterwakilan kelompok masyarakat minoritas di pemerintahan dan parlemen adalah hal positif lain yang turut menjadi salah satu sumbangsih.

Dalam indeks itu, Selandia Baru memiliki skor 9,26 (dari skor sempurna 10,00).

3 of 7
3. Swedia

Sarah Sjostrom memegang bendera Swedia di atas podium setelah meraih medali emas renang nomor 100 meter gaya kupu-kupu pada Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro, Minggu (7/8). Sjostrom memecahkan rekor dunianya atas namanya sendiri (GABRIEL Bouys/AFP)
Seperti dikutip dari The Economist, Swedia memiliki skor 9,39 dan duduk di peringkat 3 dalam indeks tersebut.

Media AS itu mencatat, variabel "proses elektoral dan pluralisme" negara sosialis itu memiliki skor 9,58. Sementara, variabel "keberfungsian pemerintahan" Swedia memiliki skor 9,64.

Sementara itu, variabel "partisipasi politik", "kultur politik", dan "kebebasan sipil" Swedia memiliki skor 8,33; 10,00; dan 9,41.

Sebuah catatan positif muncul pada aspek kultur politik Swedia yang menorehkan skor sempurna.

4 of 7
2. Islandia

Pemandangan alam Islandia (Wikimedia Commons)
Seperti pada kebanyakan negara rumpun Nordik lainnya, Islandia yang duduk di peringkat dua indeks dengan skor 9,58, memiliki komitmen kuat pada kesetaraan sosial dan prinsip 'memanusiakan manusia' yang begitu komprehensif di berbagai lini kehidupan.

Perempuan terwakili dengan baik di politik, masyarakat begitu antusias dan terlibat aktif dalam kehidupan berdemokrasi, dan kebebasan dijamin sangat baik oleh hukum.

5 of 7
1. Norwegia

Atlet Norwegia Haavard Lorentzen memakai topi bermotif kembang s
[7/13, 4:19 PM] Muchtar Effendi Harahap: saat merayakan kemenangan meraih medali emas di acara skating 500m putra selama Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang 2018 di Gangneung Oval di Gangneung (19/2). (AFP Photo/Aris Messinis)
The Economist menulis bahwa Norwegia yang duduk di peringkat pertama dengan skor 9,87 memiliki komitmen kuat terhadap demokrasi, bahkan, layak menyebut negara tersebut sebagai 'negara yang secara penuh menerapkan prinsip demokrasi'.

Penyebabnya adalah; tingkat partisipasi politik yang tinggi, keterlibatan aktif masyarakat dalam kehidupan berdemokrasi, serta penjaminan yang mumpuni atas setiap aspek hak asasi manusia seluruh warga.

Bagaimana dengan Indonesia?

6 of 7
Indonesia

Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) bersama Veronica Tan ketika pencoblosan Pilkada DKI Jakarta pada 19 April 2017. Saat perayaan hari pernikahan ke-20 tahun pada 6 September 2017 lalu, Ahok menulis sepucuk surat untuk Veronica. (Liputan6.com/Gempur M Surya)
Indonesia bertengger pada posisi 68 dan tergolong dalam kategori negara dengan "demokrasi yang cacat" atau flawed democracies (rentang 20 - 76).

Seperti dikutip dari The Economist, Indonesia memiliki skor rata-rata 6,39.

Media AS itu mencatat, variabel "proses elektoral dan pluralisme" RI memiliki skor 6,92. Sementara, variabel "keberfungsian pemerintahan" Indonesia memiliki skor 7,14 -- skor tertinggi dari total lima variabel penilaian.

Sementara itu, variabel "partisipasi politik", "kultur politik", dan "kebebasan sipil" Indonesia memiliki skor 6,67; 5,63; dan 5,59.

The Economist menyebut bahwa posisi Indonesia dalam indeks tersebut merosot tajam 20 puluh peringkat dari penghitungan tahun 2016 -- menjadi sebuah noktah hitam bagi keberlangsungan demokrasi di Tanah Air.

Penyebab kemerosotan itu, menurut The Economist, dipicu oleh "Dinamika politik pada Pilkada DKI Jakarta 2017", isu seputar mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, serta bangkitnya gerakan sosial-masyarakat berbasis keagamaan.



Kamis, 04 Januari 2018

KINERJA JOKOWI URUS APARATUR NEGARA


Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP
(Ketua Tim Studi NSEAS)



Aparatur negara, satu urusan pemerintahan harus dikerjakan Jokowi. Saat kampanye Pilpres 2014, Capres Jokowi berjanji tertulis di dalam dokumen “Visi, Misi dan Program Aksi Jokowi Jusuf Kalla 2014”. Tercatat konsep Trisakti dan Nawa Cita. Apa janji Capres Jokowi terkait urusan aparatur negara?
Capres Jokowi berjanji, akan menjalankan secara konsisten UU Aparatur Sipil Negara (ASN) sehingga tercipta ASN kompeten dan terpercaya. Konsisten akan menjalankan agenda Reformasi Birokrasi (RB) berkelanjutan al.: meningkatkan kompetensi ASN. 
Janji kampanye tertulis ini ditindaklanjuti di dalam RPJMN 2015-2019. Sasaran utama pembangunan bidang aparatur negara 2015-2019 adalah meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan bersih, efektif dan terpercaya.  Parameter:
1.     Terwujudnya birokrasi bersih dan akuntabel, ditandai meningkatnya integritas birokrasi, kapasitas dan independensi pengawasan, akuntabilitas keuangan dan kinerja pemerintah; dan meningkatnya transparansi proses pengadaan barang/jasa. Indikator kinerja: (a) Opini WTP atas Laporan Keuangan; (b) Tingkat Kapabilitas APIP; (c) Tingkat Kematangan Implementasi APIP; (d) Instansi Pemerintah Akuntabel; (e) Penggunaan E-Procurement Belanja Pengadaan.
2.     Terwujudnya birokrasi efektif dan efisien, ditandai:  (a) Meningkatnya kualitas RB nasional; (b) Terwujudnya kelembagaan birokrasi tepat fungsi dan tepat ukuran serta sinerjis; (c) Terwujudnya bisnis proses sederhana dan berbasis TIK (Teknologi Informatika dan Komonikasi); (d)  Terwujudnya impelementasi manajemen ASN berbasis merit; (e)  Meningkatnya kualitas kebijakan dan kepemimpinan dalam birokrasi; dan (f) Meningkatnya efisiensi penyelenggaraan birokrasi. Indikator kinerja: (a)  Persentase Instansi Pemerintah memiliki Nilai Indeks Reformasi Birokrasi Baik (Kategori B ke atas); (b) Indeks Profesionalisme ASN; (c) Indeks E-Government National.
3.     Terwujdunya birokrasi yang memiliki pelayanan publik berkualitas, ditandai dengan: (a) Makin efektifnya kelembagaan dan tata kelola pelayanan publik, dan (b) Meningkatnya kapasitas pengelolaan kinerja pelayanan publik.  Indikator kinerja: (a) Indeks Integritas Nasional; (b) Survey Kepuasan masyarakat (SKM); (c) Persentase Kepatuhan Pelaksanaan UU Pelayanan Publik (Zona Hijau).

Janji kampanye Pilpres 2014 ini kemudian ditindaklanjuti di dalam RPJMN 2015-2019.  Pembangunan aparatur negara berperanan strategis utk mendukung pemerintahan amanah dan efektif, dan keberhasilan pembangunan nasional di berbagai bidang. RB merupakan inti pembangunan aparatur negara.  Diharapkan dapat mewujudkan birokrasi pemerintah lebih profesional, berintegritas tinggi, dan mampu menjadi pelayanan bagi masyarakat. Pembangunan aparatur negara tidak dapat dilepaskan dan harus merujuk pada landasan ideologis dan konstitusional negara Pancasila dan UUD 1945.

Sebagai tindak lanjut RPJMN 2015-2019  Kementerian PANRB menerbitkan Renstra 2015-2019. Sasaran utama,  meningkatnya kualitas tata kelola pemerintahan bersih, efektif dan terpercaya.  Parameter keberhasilan sasaran:
1.     Birokrasi bersih dan akuntabel. Sasaran: (a) Penerapan sistem nilai dan integitas birokrasi efektif; (b) Penerapan pengawasan independen, profesional dan sinergitas; (c) Peningkatan kualitas pelaksanaan dan integrasi antara sistem akuntabilitas keuangan dan kinerja; (d) Peningkatan fairness, transparansi dan profesionalisme dalam pengadaan barang/jasa.
2.     Birokrasi efektif dan efisien.  Sasaran: (a) Penguatan agenda RB nasional dan peningkatan kualitas implementasinya; (b) Penataan kelembagaan instansi pemerintah tepat ukuran, tepat  fungsi dana strategis; (c) Penataan bisnis proses sederhana, transparan, partisipatif dan berbagai e-Government; (d) Penerapan manajemen ASN transparan, kompetitif, dan berbasis merit utk mewujudkan ASN profesional dan bermartabat; (e)  Penerapan sistem manajemen kinerja nasional efektif; (f) Peningkatan kualitas kebijakan publik; (g) Perngembangan kepentingan visioner, berkomitmen tinggi dan transpormatif; (h) Peningkatan efisiensi (belanja aparatur) penyelenggaraan birokrasi; (i) Penerapan manajemen kearsipan handal, komprehensif  dan terpadu.
3.     Birokrasi memiliki pelayanan publik bekualitas. Sasaran: (a) Penguatan kelembagaan dan manajemen pelayanan; (b) pengutan kapasitas pengelolaaan kinerja pelayanan publik.

Sasaran2 di atas sesungguhnya sangat baik jika memang dapat dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen. Untuk 3 tahun lebih kekuasaan Jokowi, bisa jadi kondisi aparatur negara akan lebih baik dan birokrasi lebih bersih, efektif dan terpercaya. Namun, realitas obyektif tidaklah demikian.  Belum ada perubahan berarti.

Realitas obyektif dapat dirasionalisasikan dgn pengakuan  MenPANRB, Yuddy Chrisnandi. Masih ada berbagai potensi permasalahan bidang PANRB di tingkat Pemda. Pengelolaan area perubahan terdapat dalam Roap Map Reformasi Birokrasi 2015-2019 pada Pemda belum berjalan secara merata. Penataan kelembagaan umumnya masih cenderung utk menciptakan organisasi gemuk dengan jenjang pengambilan keputusan panjang, belum berorientasi pada birokrasi efisien dan ramping. (Bisnis.com, 19 Mei 2016).
Di lain pihak, ternyata, hanya 40 %  ASN yang memiliki keahlian dan kecakapan tertentu dalam bekerja. 60 % sisanya hanya pandai kemampuan administrasi (JPNN.com , 15 Sep 2016).

Data ini didapat melalui hasil survei Kemenpan RB. “Banyak saat ini ASN tidak memiliki spesifikasi keahlian tertentu, ini menjadi perhatian kita,” ujar MenPANRB Asman Abnur. Karena kondisi itu, saat menjalankan pekerjaannya, banyak hal yang tidak diketahui oleh ASN tsb. Selain itu saat berada di kantor, ASN juga kerap tidak berinovasi dan menciptakan gagasan terbaru dalam bekerja. Banyaknya pegawai di bidang administratif dianggap penyebab lemahnya kinerja PNS. Para PNS juga dianggap kalah dengan pegawai swasta lantaran tidak adanya beban dan target ditetapkan. PNS juga dianggap lebih besar. Karena itu, menurut MenPANRB, Pemerintah melakukan beberapa cara untuk merampingkan jumlah PNS dan memaksimalkan yang ada.

Pengakuan berikutnya, Mendagri Tjahyo Kumolo.  Ada 5 masalah krusial Pemda selama tahun 2016. 1. Rendahnya integritas penyelenggara pemerintahan daerah.  2. Penyalahgunaan wewenang Kepala Daerah dalam perizinan; 3. Konsistensi dokumen perencanaan dan penganggaran tahunan daerah; 4. Kualitas pengelolaan keuangan daerah belum memadai; 5.Kepatuhan Pemda dalam melaksanakan urusan pemerintahan belum optimal ( 26/9/2016).

Selanjutnya, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) lebih jauh mengakui,  ada transaksi jual beli jabatan pada 2016. Estimasi transkasi mencapai Rp. 36, 7 triliun. Asumsi nominal  untuk jabatan tinggi mulai Rp. 250 juta hingga Rp. 500 juta.

Jual beli jabatan ini tidak beda jauh praktik rente jabatan. PP Pemuda Muhammadiyah merilis hasil penelitian dan simulasi soal praktik rente jabatan ASN. Sebanyak 90 % dari proses pengisian 21 ribu jabatan Kepala Dinas di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten/Kota diduga diperjualbelikan. Berdasarkan sampel di 10 daerah, harga rente jabatan eceran tertinggi Rp. 400 juta, eceran terendah Rp.100 juta. Diambil rata2 Rp 200 juta (VIVA.co.id, 23 Januari 2017).

Praktik rente jabatan dinilai sebagai modus baru dalam korupsi Kepala Daerah. Mereka tidak lagi mengambil uang APBD,  namun memperjualbelikan jabatan di SKPD. Praktik rente jabatan  acap kali dilakukan pada momen menjelang atau setelah Pilkada. Jika disimulasikan, dugaan potensi rente jabatan di daerah lebih Rp. 44 triliun.

Realitas obyektif lain mencakup tingginya jumlah pengaduan tertulis masyarakat kepada KemenPANRB. Pada 2015, dari 696 pengaduan, 84 berkas kategori pungli atau korupsi. Pada 2016 dari 924 pengaduan, 77 berkas kategori pungli dan korupsi. Pada 2017, terhitung awal Juni, 38 pengaduan kategori pungli atau korupsi dari 410 berkas (Antara, 12/7/2017).

Pelayanan publik merupakan cerminan pelayanan negara kepada rakyat. Cita2 mewujudkan pemerintahan kelas dunia dalam desain besar RB terus diupayakan melalui layanan publik profesional, transparan, dan akuntabel. Kini, sedikit demi sedikit, masyarakat mulai merasakan perbaikan layanan tersebut. Sebuah hasil survei dua tahun era Jokowi menggambarkan  kepuasan responden terhadap sejumlah faktor di bidang pelayanan publik.
Kepada responden ditanyakan kondisi sejumlah perbaikan layanan publik di daerah masing2 selain menilai kondisi secara nasional.63 % responden mengaku puas dengan kinerja pegawai pemerintah dalam melayani masyarakat di lingkungan tempat tinggal mereka.
Dalam pengurusan dokumen dibutuhkan seperti KTP, Kartu Keluarga, Akta Kelahiran, misalnya, publik merasakan peningkatan kecepatan dan perbaikan keramahan proses pelayanan dari waktu sebelumnya. Perilaku negatif aparat dalam melayani publik juga semakin berkurang. Sikap acuh tak acuh dulu sering ditemui masyarakat saat pengurusan dan berhadapan dengan pegawai instansi pemerintahan kini mulai berganti dengan layanan yang baik dan profesional. Pujian ini dilontarkan oleh 76,6 % responden survei menyatakan keramahan sikap pegawai saat melayani masyarakat.

Penilaian positif lain terkait kinerja aparat pelayanan publik diberikan dalam praktik transparansi ditunjukkan instansi pemerintahan. Aspek transparansi mengacu pada informasi biaya resmi pelayanan publik masa lalu jarang atau tidak terbuka untuk publik. Separuh responden survei (61,1 %) menganggap, saat ini transparansi biaya layanan publik sudah semakin banyak dipraktikkan di instansi pemerintah.  Sebanyak 6 dari 10 responden memberi nilai positif untuk citra ASN  sebagai ujung tombak pelayanan birokrasi.

Namun, memberantas perilaku negatif birokrasi tampaknya masih terkendala. Sejumlah sikap buruk aparat pemerintah terkait pungli saat melayani masyarakat sehari-hari masih kerap dijumpai.
Praktik pungli masih terjadi al.: uang suap dan pelicin mengindikasikan adanya tindakan korupsi.
Sepertiga lebih bagian responden (38,5 %) mengaku masih selalu atau sesekali dipungut biaya di luar tarif resmi oleh pegawai Pemda saat mereka mengurus surat atau dokumen dibutuhkan. Sebanyak 44,0 % responden bahkan merasa perilaku aparat pemerintah melakukan pungli berlangsung cukup lama.

Pengakuan terakhir boleh diajukan: (a) Masih ada gap kompetensi ASN  terlalu jauh; dan, (b)  Rendahnya kesadaran Badan Kepegawaian serta desentralisasi pengembangan kompetensi ASN. Gap kompetensi ASN ini terkait dengan tingkat pendidikan dan kemampuan pegawai dalam melaksanakan tugas keseharian.

Pengakuan kondisi aparatur negara masih bermasalah atau  sudah lebih baik di atas, tentu masih dapat diperdebatkan. Jokowi masih memiliki waktu sekitar 1,5 tahun lagi untuk mengerjakan urusan aparatur negara sesuai dengan sasaran ditentukan. Mari kita cermati kemajuan Jokowi urus aparatur negara ini 1,5 tahun ke depan. Apakah berhasil atau gagal? Apakah kinerja Jokowi baik atau buruk?

Rabu, 03 Januari 2018

KINERJA JOKOWI URUS OTONOMI DAERAH

KINERJA JOKOWI URUS  OTONOMI DAERAH
Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP
(Ketua Tim Studi NSEAS)


Otonomi daerah, satu urusan pemerintahan harus dikerjakan Presiden Jokowi. Saat kampanye Pilpres 2014, Capres Jokowi berjanji tertulis di dalam dokumen “Visi, Misi dan Program Aksi Jokowi Jusuf Kalla 2014”. Di dalam dokumen ini tercatat konsep terkenal Jokowi yakni Trisakti dan Nawa Cita. Apa janji Capres Jokowi terkait urusan otonomi daerah?
Bersama Wacapres Jusuf Kalla, Jokowi berjanji, akan memperkuat politik desentralisasi dan otonomi daerah. Kebijakan akan diambil dgn proritas utama:
1.Meletakkan dasar dimulai desentralisasi “asimestris” utk melindungi kepentingan nasional di kawasan perbatasan, memperkuat daya saing Indonesia secara global, dan membantu daerah kapasitas berpemerintahan yg belum cukup memadai dalam memberikan pelayanan publik.
2.Mensinerjikan tata-kelola pemerintahan sebagai suatu sistem tidak terfragmentasi.
3.     Menyelesaikaan problem fragmentasi penyelenggaraan politik desentralisasi di Pusat, menggantikan dominasi rezim sektoral dan keuangan dgn rezim desentralisasi. Operasionalisasi rezim desentralisasi dilakukan dgn pengutamaan pendekatan kewilayahan, terutama Bappenas dan Kementerian Koordinator.
4.Mengatur kembali sistem distribusi keuangan nasional dgn melihat kondisi dan kebutuhan daerah yang asimetris.
5.Merubah kebijakan DAU sebagai salah satu sebab mendorong pembentukan daerah otonom baru (DOB) dan mengharuskan adanya pentahapan dlm pembentukan DOB.
6.Mereformasi keuangan daerah, mendorong mengurangi biaya rutin dan alokasi lebih banyak utk pelayanan publik.
7.   Mereformasi pelayanan publik melalui penguatan Desa dan  Kelurahan (UU Desa),  Kecamatan (UU Pemerintahan Daerah) sebagai ujung tombak pelayanan publik.
8.Mendorong perubahan UU ttg Kewarganegaraan,  memberikan hak bagi setiap warga negara; melanjutkan reformasi sistem kependudukan nasional terintegrasi (Nomor Induk Kependudukan Nasional).
9.     Meningkatkan kapasitas Pemerintah Nasional lebih menjalankan fungsi pembinaan dan pengawasan bagi daerah otonom lebih maksimal; mendorong penggabungan atau penghapusan daerah otonom.
Setelah Jokowi berhasil menjadi Presiden RI, diterbitkan RPJMN 2014-2019, juga menyajikan issu strategis untuk dipecahkan terkait kapasitas kelembagaan pemerintah daerah mencakup:
1.     Restrukturisasi organisasi perangkat daerah (OPD)
2.     Penataan kewenangan antar tingkat pemerintahan.
3.     Penataan daerah.
4.     Kerjasama daerah.
5. Harmonisasi peraturan perundang-undangan.
6.Sinerjitas perencanaan dan penganggaran Pusat dan daerah.
7.     Akuntabilitas dan tata pemerintahan.
8.     Peningkatan pelayanan publik.
9.     Otonomi khusus
Janji kampanye (Tri Sakti dan Nawa Cita) dan program (RPJMN 2014-2019) akan dikerjakan Presiden Jokowi  sehubungan urusan otonomi daerah sesungguhnya sangat luas. Namun, setidaknya Kita dapat mengambil intisari permasalahan otonomi daerah menurut  Jokowi.
Pertama, adanya fragmentasi dalam tata kelola pemerintahan dan penyelenggaraan politik desentralisasi di pusat, serta dominasi rezim sektoral. Jokowi akan memecahkan masalah ini  dgn pengutamaan pendekatan kewilayahan, terutama Bappenas dan Kementerian Koordinator (Menko). Sudahkah Bappenas dan Menko selama tiga tahun ini mengutamakan pendekatan kewilayahan?  Kayaknya sih belum !.  Dominasi rezim sektoral dan keuangan masih menguat, tidak ada perubahan berarti.
Kedua, pelayanan publik di daerah dinilai masih rendah dan harus ditingkatkan. Presiden Jokowi akan mereformasi pelayanan publik melalui penguatan pemerintahan Desa/Kelurahan (UU Desa) dan   Kecamatan (UU Pemda) sebagai ujung tombak pelayanan publik. Sudah tiga tahun berjalan kekuasaan Jokowi, perhatian terhadap masalah ini justru sangat rendah. Tidak ada kegiatan berarti baik regulasi, kebijakan maupun kegiatan pembinaan Pemerintah Nasional  untuk peningkatan pelayanan publik di daerah ini. Selama ini Jokowi lebih memperhatikan dan memperioritaskan pembangunan infrastruktur, fisik, ketimbang penguatan kelembagaan pemerintahan daerah. Malah, di suatu pengarahan kepada para Gubernur, Bupati dan Walikota se-Indonesia di Istana Negara, Jokowi mengingatkan, politik anggaran penting tapi pengelolaan APBD jangan lagi menggunakan pola lama. Kebijakan anggaran dilakaukan para Kepala Daerah hampir semuanya mirip, masih menggunakan pola lama. APBD tersedia dibagikan secara merata kepada para Dinas. Sementara, program prioritas berhubungan kepentingan rakyat tidak diperhatikan secara penuh.  Sehingga, kilah Jokowi, anggaran “mengedrive” adalah Kepala Dinas. Idealnya, Gubernur, Bupati dan Walikota berani menentukan penggunaan anggaran dianggap memiliki dampak signifikan bagi sektor produktif (SINDOnews, 24/10/2017). Hingga kini pemikiran Jokowi ini baru level pengarahan lisan, belum dalam bentuk kebijakan politik atau regulasi.
Ketiga, pembentukan DOB harus bertahap, tidak boleh langsung terbentuk. Untuk itu harus ada perubahan kebijakan DAU.  Parameter pembentukan DOB menunjukkan, selama tiga tahun Jokowi berkuasa, tidak ada satupun pembentukan DOB. Sikap Presiden Jokowi selama tiga tahun ini memastikan moratorium pemerkaran DOB tetap berlanjut. Selama era pemerintahan Jokowi belum ada pembentukan DOB. Pemerintah masih menunda pemekaran 314 DOB sudah diusulkan DPD (173 DOB) dan DPR (141 DOB). Mengapa ditunda? Menurut Mendagri  Tjahjo Kumolo, anggaran negara sedang diprioritaskan dulu utk kebutuhan mendesak seperti pembangunan infrastruktur dan mempercepat kesejahteraan rakyat di daaerah (28/8/2017). Wapres Jusuf Kalla juga berkilah, usulan DOB sulit direalisasikan mengingat pemekaran daerah membutuhkan alokasi anggaran besar. “Seperti dimaklumi, defisit kita makin tinggi secara persentase. Kami harus selesaikan dulu masalah pokoknya, ya masalah anggaran itu,” ujarnya.
Dapat disimpulkan, sudah tiga tahun lebih kekuasaan Presiden Jokowi, urusan otonomi daerah belum menunjukkan perubahan berarti. Bahkan, para pengamat otonomi daerah masih mengkritis kondisi obyektif otonomi daerah, al: (1) Masih berlakunya tumpang tindih kewenangan antar institusi pemerintahan dan aturan berlaku; (2) Pelayanan publik masih lamban, terlalu birokratis, kurang responsif dan jauh dari standar umum dan berlaku universal (faster, better dan cheaper); (3) Menjamurnya praktik korupsi pemimpin daerah; dan, (4). Kecenderungan pemimpin daerah bersifat elitis dan bagaikan “Raja2 Kecil”. 
Kebijakaan desentralisasi dan otonomi daerah semula diharapkan mampu al: mewujudkan suatu tatanan sistem pemerintahan daerah yang lebih demokratis; mempercepat tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat; dan, meningkatkan kapasitas publik. Namun, di era Jokowi masih terjadi kesenjangan besar antara perubahan tingkat konseptual dengan perubahan tingkat pemahaman dan perilaku penyelenggara pemerintahan daerah. Dominasi elite daerah tetap ada bahkan oligarki politik ekonomi masih berlangsung, dan  jauh dari cita-cita negara demokrasi. Kaum oligarki menyandera negara acap kali terjadi di daerah sebagai turunan dari Pusat.

Satu kasus kebijakan Jokowi syarat kritik dan kecaman baik dari penyelenggara negara maupun masyarakat madani, yakni pengangkatan seorang anggota Polri aktif
sebagai Pejabat Gubernur Jabar. Kebijakan pengangkatan anggota Polri aktif ini dituangkan di dalam Keputusan Presiden  (Kepres)  Nomor 106/P Tahun 2018 tertanggal  8 Juni 2018.Kepres itu berisi pengesahan pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur sebelumnya Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar. Kepres itu juga menyebutkan pengangkatan pimpinan tinggi madya Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional Komisaris Jenderal Mochamad Iriawan sebagai penjabat Gubernur Jawa Barat. Presiden menugaskan pelantikan penjabat Gubernur tsb dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.

Para pengkritik menilai, kebijakan Jokowi ini  melanggar UU antara lain:
1. UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, Pasal 28 ayat 3
2. UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada Pasal 201 Ayat 10
3. UU No. 5 Tahun 2014 Tentang ASN Pasal 19 ayat (1) huruf b

Tentu saja Jokowi tidak akan mampu mewujudkan tatanan sistem pemerintahan daerah dimaksud mengingat waktu berkuasa hanya tinggal sekitar 1,5 tahun lagi. Bagaimanapun, kinerja Jokowi urus otonomi daerah belum bagus dan masih jauh dari keberhasilan berdadasrkan janji kampanye (Tri Sakti dan Nawa Cita)  dan program (RPJMN 2014-2019). 

Sumber data baru:
REZIM YG NUDUH UI, ITB, UB, UNDIP, UNAIR, ITS, IPB  kampus radikal... saat nya kita telanjangi rezim ini..     IKATAN ALUMNI UI : Release Media ILUNI UI*

Diskusi Publik *“Dwifungsi Polri menjelang Pilkada Serentak”*

Beberapa hari belakangan ini, diskursus tentang usulan mendagri untuk mengajukan dua orang perwira tinggi (aktif) Polri menuai protes dan kecaman dari berbagai pihak, diskursu yang kian meluas tersebut tertutama terkait dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang dilanggar dengan pengangkatan penjabat gubernur yang berasal dari perwira tinggi (aktif) POLRI. Dalam rilisnya Pusat studi Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia juga menyoroti terlanggarnya pasal 201 ayat 10 UU Pilkada dan menyoroti juga bagaimana ketidakpatuhan permendagri juga terhadap pasal 201 (10) dalam UU pilkada. Karena pimpinan tinggi madya yang dimaksudkan tidak dapat diartikan secara serampangan karena harus pula merujuk pada UU Aparatur Sipil Negara.

Menyoroti hal tersebut, Policy Center ILUNI UI pada hari Kamis tanggal 1 Februari 2018 mengadakan diskusi public untuk membahas polemik pengangkatan penjabat Gubernur dari perwira tinggi (aktif) POLRI tersebut dengan menghadirkan pembicara diantaranya HR Muhammad Syafii (Romo Syafii) sebagai anggota DPR RI pada Komisi III DPR RI, Titi Anggraini (PERLUDEM) dan Mustafa Fakhri (Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara atau PS HTN pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia). Diskusi yang juga di hadiri oleh pembahas lainnya diantaranya Ramdansyah (activist Reformasi 1998) dan juga Dr. Ferry Liando (Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Sam Ratulangi).

Romo Syafii, menyoroti perihal pengangkatan Penjabat Gubernur dari Pati aktif Polri adalah sebuah keputusan yang tidak argumentative dan hanyalah pertimbangan politik belaka, alasan kurang eselon di kemendagri serta kepentingan kambtibnas dalam pilkada di sumut dan jabar adalah suatu alasan yang tidak beralasan. Mengingat tindakan tersebut sangat jelas bertentangan dengan pasal 201 ayat 10 UU PIlkada serta pasal 28 UU Kepolisian Negara dan UU ASN khususnya pasal 20. Bahwa dalam pasal 201 yang kemudian diartikan oleh mendagri lewat permendagri 1 tahun 2018 juga tidak tepat, karena harus merujuk pada pasal 20 UU ASN yang mana disebutkan secara tegas bahwa pengisian jabatan itu hanya dapat diperuntukan untuk tingkat pusat dan bukan daerah. Terlebih UU kepolisian negara secara tegas menyebutkan bahwa kepolisian negara tidak boleh melibatkan diri dalam politik praktis dan dalam hal pejabat kepolisian mengisi jabatan diluar dinas kepolisian maka harus terlebih dahulu mundur atau berhenti dari kedinasan kepolisian. Hal ini semakin menunjukkan bahwa policy yang akan diambil oleh kemendagri adalah suatu kebijakan yang tidak lagi state oriented akan tetapi government oriented, dan menarik polisi negara untuk masuk dalam tindakan government oriented adalah hal yang membahayakan bagi polri dimana akan menimbulkan distrust akan peran polri yang netral dalam pilkada.

Titi Anggraini selaku Direktur Perludem selain menyoroti perihal pelanggaran undang-undang sebagaimana yang juga sudah dijelsakan oleh Romo Syafii. Titi juga menyayangkan pandangan Presiden Jokowi yang menanggapi enteng perihal ini, padahal  pilkada serentak tahun ini adalah bentuk pemanasan sekaligus batu ujian bagi mesin partai untuk bergerak sebelum pemilu dan pilpres 2019. Terlebih lagi, menurut Titi dalam 2024 akan dilakukan pilkada serentak secara nasional maka perihal penjabat gubernur dan Bupati akan terjadi pada 2022 dan 2023. Jangan sampai hal ini menjadi pintu masuk permisifitas kita sehingga memuluskan jalan bagi kembalinya dwifungsi yang mana sama sama telah kita sepakati semenjak reformasi yaitu terkait dwifungsi ABRI, dimana Poli juga berada di dalamnya. Bias dibayangkan pada 2022/2023 akan dibutuhkan 272 penjabat sementara dari pimpinan madya dan pratama untuk mengisi kekosongan jabatan di daerah. Semestinya mulai saat ini kemendagri harus sudah menyusun roadmap terkait permasalahan 272 penjabat sementara tersebut.

Mustafa Fakhri, selaku Ketua PSHTN selain membahas tentang pelanggaran berbagai peraturan sebagaimana rilis media yang telah dilakukan PSHTN kan tetapi juga menyoroti tentang bagaimana amanat reformasi dalam pemisahan struktur menjadi TN POLRI dalam Tap MPR akan tetapi juga juga dimaksudkan agar profesionalitas dan Netralitas TNI dalam Pertanahan negara serta Polri dalam kemanan dalam negeri tetap terjaga. Secara teoritis polri adalah lembaga superbody karena tidak saja dalam lingkungan eksekutif dalam rangka kamdagri akan tetapi juga sebagian dalam yudikatif yaitu penegakan hokum, dimana polri dapat menetapkan seseorang sebagai tersangka, untuk itu akan sangat berbahaya jika jabatan sipil juga dipegang oleh pejabat polri aktif. Karena amanat Tap MPR VII tahun 2000 terkait pemisahan TNI POLRI dalam ayat 3nya disebutkan jabatan sipil jika akan ditempati pejabat TNI POLRI maka terlebih dahulu harus berhenti atau mundur. Jika diberbagai negara bahkan tidak dapat langsung menempati jabatan sipil akan tetapi ada jeda waktu 2 tahun, agar jabatannya tidak digunakan untuk mempengaruhi bekas bawahannya. Untuk itu PS HTN mendesak Presiden untuk menolak usulan mendagri yang menempatkan pejabt polri aktif sebagai penjabat sementara gubernur atau jabatan sipil lainnya. Meminta Presiden untuk tetap menjaga semnagat reformasi sebagaimana yang terdapat dalam amanat reformasi 1998 yaitu menolak dwifungsi ABRI (TNI-POLRI).

Ferry Liando sebagai pembahas menyoroti soal netralitas memang agak sulit untuk dijamin meskipun itu juga dilakukan atau jabatan tersebut dipegang oleh sipi, namun memang dalam pilkada netralitas sangat perlu dilakukan untuk pilkada yang jujur dan adil dan tidak menimbulkan distrust. Ramdansyah selaku activist Reformasi 1998 mencoba mengingatkan kepada seluruh activist reformasi dan mahasiswa jaman now untuk menyikapi secara serius kembalinya dwifungsi dan tetap konsisten akan agenda reformasi jika tetap dilanjutkan usulan atau disetujui maka ini adalah suatu bentuk pembangkangan atas aamanat reformasi, dan Ramdansyah juga menyoroti ada berbagai ketidakpatuhan KPU akan pengunduran waktu tahapan pemilu atas UU Pemilu dan trend ketidakpatuhan menunjukkan penegasian atas demokrasi yang jujur, adil dan bermartabat.

Sebagai penutup semoga kesetiaan pada negara (state oriented) lebih diutamakan daripada pada pemerintahan (government oriented) sehingga tidak mengubah jalur rule of laws menjadi rule by laws yang pada ujungnya hanya akn menciptakan negara kekuasaan belaka (machstaat) dan tidak lagi negara yang berdasarkan atas hukum (Rechstaat). Untuk itu tindakan pemerintah hendaknya menuju pada penciptaan suasan yang kondusif, jauh dari distrust serta pelaksanaan demokrasi yang jujur,adil dan bermartabat.



ILUNI UI 2016-2019

“Rumah Kita”

Contact Person

Ivan Ahda

Communication Center


M: 08112030230