Kamis, 27 Februari 2014

KONTRA KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI, PEMILU LEGISLATIF DAN PRESIDEN DIGELAR SERENTAK PADA 2019

Salah satu issue politik belakang ini adalah legalitas dan dasar konstitusional penyelenggaraan Pemilu legislatif dan Pilpres 2014. Issue politik ini bermula dari Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan Effendi Gazali, dkk. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa Pemilu legislatif dan Presiden harus digelar serentak sesuai UUD 45. Namun pemilu serentak tersebut, kata MK dalam putusannya, baru bisa dilaksanakan pada tahun 2019, tidak dilaksanakan pada tahun 2014 ini. Berbagai reaksi muncul atas keputusan MK ini baik kelompok pro mapun kontra. Kelompok pro pada umumnya dating dari elite politik Partai-Partai tergolong besar memiliki anggota DPR-RI seperti PDIP. Partai ini memberikan apresiasi ke MK terkait putusan penerapan pemilu serentak pada 2019. Sementara kelompok kontra kebanyakan dari pakar hukum dan pengamat politik di luar struktur kekuasaan. Ada juga beberapa elite Partai-Partai tergolong kecil sebagai bagian kelompok kontrak Keputuan MK tersebut. Salah seorang pakar hukum paling terkenal mengkritik Keputusan MK adalah Yusril. Menurutnya,dalam putusan tersebut MK telah melakukan blunder besar. Kalau Keputusan itu berlaku seketika, namun baru belaku di Pemilu 2019 dst, maka Pemilu 2014 dilaksanakan dengan pasal-pasal UU Pemilu yang inkonstitusional. Karena landasan untuk penyelenggaraan Pemilu 2014 inkonstusional, maka hasil dari Pemilu 2014 mendatang juga inskonstitusional. Konsekuensinya DPR, DPD, DPRD dan Presiden serta Wapres terpilih dalam Pilig dan Pilpres 2014 juga inkonstitusional. Yusril juga mempertanyakan mengapa putusan yang sudah diambil tahun lalu baru dibacakan sekarang. Putusan MK tersebut sangat aneh, terlebih 3 (tiga) hakim yang mengambil keputusan sudah berganti. "Bayangkan ada putusan yg telah diambil setahun lalu, baru dibacakan hari ini. Sementara 3 hakimnya sudah berganti," tegasnya sembarai menekan bahwa putusan MK hari ini diambil pada saat Mahfud MD, Akil Mochtar dan Ahmad Sodiki masih jadi Hakim Konstitusi. Namun saat putusan ini dibacakan, ketiganya sudah tidak jadi hakim konstitusi lagi. Bagi Yusril, pembacaan putusan seperti itu aneh bin ajaib. Harusnya MK sekarang musyawarah lagi, siapa tahu 3 (tiga) hakim baru pendapatnya berbeda. Mahfud, Akil dan Ahmad Sodiki yang mutus, sekarang sudah tidak jadi hakim MK lagi. “Sudah ada Hidayat dan Patrialis penggantinya”, lanjut Yusril.. Di lain fihak, Sarjana Hukum lain menyayangkan putusan MK ini karena jelas bertentangan dengan Pasal 45 A UU No 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi , yang menyebutkan bahwa putusan MK tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi permohonan. Di sisi lain, kewenangan MK dalam memberikan putusan terhadap judicial review seharusnya menguji konstitusionalitas dari sebuah UU bukan menciptakan norma baru seperti melahirkan putusan pemilihan serentak pada tahun 2019, yang justru tidak lagi memiliki dimensi kepastian dalam penyelenggaraan Pemilu 2014. Diktum ini juga berlaku terhadap pengujian konstitusionalitas Pasal 3 ayat (5) UU 42/ 2008 ini, ketika pemilu dan pilpres dilaksanakan pada tahun 2019 maka terjadi kekosongan hukum dalam pelaksanaan Pemilu 2014 mendatang. Dalam konteks seperti ini maka bisa dikatakan pilpres dan Pemilu 2014 inkonstitusional dan ilegal karena tidak memiliki dasar hukum untuk melaksanakannya. Frasa ini akan berimplikasi terhadap keabsahan presiden 2014 yang terpilih melalui pilpres nanti. Selanjutnya Ketua DPR, Marzuki Alie mempertanyakan keputusan MK ini. Menurut Marzuki, keputusan MK bisa ditafsirkan kalau pemilu 2014 yang tidak dilakukan serentak inkonstitusional. Kenapa Pemilu tidak serentak yang bertentangan dengan konstitusi tetap dilaksanakan pada 2014? Baginya, kewenangan menetapkan kapan pelaksaan Pemilu ada pada penyelenggara Pemilu. Persoalannya, penyelenggara pemilu harus tunduk dan wajib mematuhi semua keputusan MK. “Kalau MK ikut serta dalam penyelenggaraan Pemilu, untuk apa ada penyelenggara pemilu?" kilah Marzuki. Marzuki mengkritik putusan yang terkesan melampaui kewenangan MK sendiri. Menurut Marzuki MK mestinya hanya memutuskan untuk menerima atau menolak suatu uji materi undang-undang tanpa memberi keputusan tambahan seperti soal waktu penetapan pemilu serentak 2019. "MK hanya berhak menerima dan menolak. Kalau MK mengatakan pemilu serentak melanggar konstitusi maka itu urusan penyelenggara pemilu KPU, pemerintah dan semua yang terkait," katanya. Lebih jauh Marzuki menilai, dalih pemilu serentak pada 2014 akan menciptakan kegaduhan bukan wilayah tanggungjawab MK. Apalagi merupakan hal wajar jika dalam sebuah persiapan terjadi perubahan. "Penyelenggara pemilu bisa menetapkan untuk memundurkan penyelenggaran pemilu ke jadwal pilpres sehingga masih cukup waktu untuk melaksanakannya," ujarnya. Ia menjelaskan, pelaksanaan Pemilu legislatif dan Pilpres 2014 secara terpisah bukan tidak mungkin bakal menimbulkan gugatan atas hasil Pemilu. Sebab mereka yang tidak puas bisa saja menganggap pemilu yang berlangsung bersifat inkonstitusional. Suara kontra terhadap putusan MK ini juga datang dari Syarifuddin Suding, politisi dan anggota DPR-RI dari Partai Hanura. Ia menyesalkan putusan MK sebab melanggar UUD 1945. Baginya, ada banyak pertanyaan besar dan keputusan MK ini akan menimbulkan konsekuensi di kemudian hari. Putusan kontroversial ini bakal dicatat sebagai pertama kali dalam sejarah, keputusan MK memiliki jeda panjang hingga lima tahun sebelum diterapkan. Alasan lainnya, legitimasi pemilu 2014 dipertaruhkan karena MK telah membatalkan dan menyatakan ketentuan yang terkait dengan pelaksanaan pemilu 2014 bertentangan dengan UUD 1945. Konsekuensinya, banyak pihak akan mempertanyakan keabsahan hasil pemilu mendatang. Syarifuddin Suding juga menolak pernyataan keputusan MK yang mengatakan jika uji materi tersebut diberlakukan tahun ini maka akan mengganggu tahapan Pemilu sudah mendekati tahap akhir. "Berarti MK tidak menempatkan konstitusi sebagai landasan tertinggi dan malah berkompromi dengan hal-hal teknis," tandasnya. Berdasarkan sejarah politik pemilihan di Indonesia,kita acapkali menemukan realitas obyektif bahwa fihak yang kalah tidak mau menerima kekalahan. Hal ini bisa jadi memang telah terjadi ketidakjujuran atau kecurangan dalam proses pemilihan. Amat sangat jarang, kalau tidak boleh dikatakan sama sekali tidak ada, fihak pemenang menolak hasil pemilihan. Karena itu, kemungkinan sangat besar pada pelaksanaan Pemilu Presiden mendatang, fihak yang kalah menolak hasilpemilihan dengan mengaitkan padadasar legalitas dan konstitusional pelaksanaan Pemilu Presiden tersebut. Jika, hal ini terjadi,maka sumber permasalahan bukan lagi pada mentalitas dan perilaku politik elite politik Indoneia yang selama ini cenderung tidak bisa mau menerima kekalahan, melainkan dari putusan MK ini. Bisa jadi,Putusan MK dimaksud telah menjadi sumber inspirasi bagi pihak-pihakkalah dalam Pemilu Presiden untuk menolak kemenangan pihak lain.

Kamis, 20 Februari 2014

ACUAN DISKUSI PUBLIK DAN KONPRENSI PERS “LAYAKKAH PEMILU 2014 DILAKSANAKAN?

Pada 11 Februari 2014 di Gedung Kantor LBH Jakarta, Lembaga Riset dan Polling Indonesia dan IEPSH (Institute Ekonomi Politik Soekarno-Hatta) menyelenggarakan forum Diskusi Publik dan Konprensi Press “Layakkah Pemilu 2014 Dilaksanakan?”. Di dalam forum tampil sebagai Pembicara Utama, antara lain Taufiq Hidayat (Lembaga Riset dan Polling Indonesia), Denny MC (Ketua Umum Partai Kedaulatan), Chris Siner Key Timu (Petisi 50). Forum ini dihadiri sekitar 100 peserta terdiri dari berbagai unsur masyarakat madani. Berikut ini ACUAN DISKUSI PUBLIK DAN KONPRENSI PERS dimaksud. PERTAMA: Pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD Indonesia akan diselenggarakan pada tahun 2014. Ini akan menjadi pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD langsung ketiga di Indonesia. Pada 7 September 2012, KPU mengumumkan daftar 46 partai politik yang telah mendaftarkan diri untuk mengikuti Pemilu 2014, dimana beberapa partai diantaranya merupakan Parpol yang baru pertama kali mengikuti pemilu ataupun baru mengganti namanya. 9 partai lainnya merupakan peserta Pemilu 2009 yang berhasil mendapatkan kursi di DPR periode 2009-2014. Pada tanggal 10 September 2012, KPU meloloskan 34 Parpol yang memenuhi syarat pendaftaran minimal 17 buah dokumen.Selanjutnya pada tanggal 28 Oktober 2012, KPU mengumumkan 16 partai yang lolos verifikasi administrasi dan akan menjalani verifikasi faktual. Pada perkembangannya, sesuai dengan keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum, verifikasi faktual juga dilakukan terhadap 18 partai yang tidak lolos verifikasi administrasi. Hasil dari verifikasi faktual ini ditetapkan pada tanggal 8 Januari 2013, dimana KPU mengumumkan 10 partai sebagai peserta Pemilu 2014. Pada 18 Maret 2013, KPU mengabulkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang memutuskan Partai Bulan Bintang dapat mengikuti Pemilu 2014. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia juga menjadi peserta Pemilu 2014 setelah KPU mengabulkannya pada 25 Maret 2013. Berikut adalah daftar partai tersebut 1.Partai Nasdem 2.PKB 3.PKS 4. PDIP 5.Partai Golkar 6.Partai Gerindra 7.Partai Dedmokrat 8.PAN 9.PPP 10.Partai Hanura 11.PBB 12.PKPI KEDUA: Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia (Pilpres) juga akan diselenggarakan pada 2014. Ini akan menjadi pemilihan presiden langsung ketiga di Indonesia, dan bagi presiden yang terpilih akan mempunyai jabatan tersebut pada jangka waktu sampai lima tahun. Peraturan perundang-undangan terkait dengan Pilpres adalah UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden. UU ini oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak mengajukan uji materi melalui Mahkamah Konstitusi. MK mengabulkan uji materi tersebut dan memutuskan Pemilu serentak baru akan dilaskanakan pada 2019. Di lain fihak, KPU membutuhkan alokasi anggaran untuk Pemilu 2014 sangat besar. Dana tersebut sudah termasuk pelaksanaan Pilpres pertama dan kedua. Dalam perjelanannya, Komisi II DPR-RI menyetujui anggaran untuk KPU dan Bawaslu masing-masing sebesar 15 Triliyun dan 3 Triliyun. Sesungguhnya anggaran penyelenggaraan Pemilu sudah dimulai sejak 2013, berasal dari APBN 2013. Sehingga total biaya penyelenggaraan Pemilu untuk KPU total sebear Rp. 22 Triliyundan untuk Bawaslu Rp. 5 Triliyun. KETIGA: Peserta Pemilu Legislatif adalah Partai Politik sebagaimana telah diungkapkan di atas. Pemilu adalah merupakan salah satu sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat. Rakyat akan memilih kader-kader Parpol sebagai pemimpin politik secara langsung. Karena itu, kinerja dan kualitas Parpol sangat menentukan kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat, termasuk juga pencapaian cita-cita negara Indonesia sebagai mana tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945. Namun demikian, berdasarkan hasil Telepolling 15 Kota Besar”Kepatuhan Partai Politik terhadap Hukum” diselenggarakan Lembaga Riset & Polling Indonesia, ditemukan kesimpulan bahwa Parpol dipersepsikan oleh public tidak patuh kepada hukum. Hal ini dikaitkan dengan pelanggaran dilakukan Parpol dalam pelaksanaan UU Parpol seperti pendidikan politik, keterbukaan informasi, transparansi keuangan, legalitas Parpol dsb. Persepsi ini diperkuat lagi, public melihat para anggota Parpol banyak terlibat kasus korupsi. KEEMPAT: Fenomena Parpol tidak patuh hukum ini sesungguhnya dapat dibuktikan dengan beragam sudut pandang/perspektif, antara lain: pemenuhan persyaratan Parpol dapat sebagai Peserta Pemilu 2014 yang ditentukan oleh KPU; pemanfaatan dana pajak untuk pembiayaan yang sangat besar untuk keperluan pelaksanaan Pemilu; tingkat partisipasi pemilih (Golput); dasar konstitusional pelaksanaan Pemilu 2014. Khusus pemenuhan persyaratan Parpol dapat sebagai Peserta Pemilu 2014, fenomena Parpol tidak patuh hukum dapat ditemukan berdasarkan Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilihan Umum RI No. 28,29,30,31,37,40/DKPP-PKE-II/2013. Di dalam Putusan tersebut terdapat keterangan adanya dugaan manipulasi data Parpol peserta Pemilu untuk meloloskan Parpol yang seharusnya tidak lolos. Juga adanya manipulasi data terhadap hasil verifikasi adminisistrasi yang dengan sengaja dilakukan Teradu I selaku Ketua dan Anggota KPU. Secara massif Teradu I telah memanipulasi data Parpol peserta Pemilu, di mana bentuk manipulasi adalah meloloskan Parpol yang seharus Parpol tersebut tidak lolos dalam verfikasi factual. Hal ini bermakna, di samping Terpadu I tidak patuh hukum, Parpol-Parpol yang diloloskan berdasarkan manipulasi data tersebut juga tidak patuh hukum. KELIMA: Pemanfaatan dana pajak untuk pembiayaan Pemilu yang sangat besar untuk keperluan pelaksanaan Pemilu. Biaya penyelenggaraan Pemilu 2014 masih sangat tinggi. Dengan kondisi keterbatasan negara dan sedang dirundung bencana, biaya Rp. 22 triliyun untuk KPU dan Rp. 5 triliyun untuk Bawaslu sangat besar. Bahkan,muncul pula biaya pengamanan untuk Polri Rp. 3 Triliyun, juga TNI Rp. 100 Miliyar dan belum lagi untuk Kementerian Kominfo dengan tema program meningkatkan partisipasi pemilih pemula. Bahkan, muncul prakarsa pos anggaran sekitar Rp. 800 miliyar yang akan digunakan untuk biaya saksi Parpol yang dinilai fihak pengkritik tidak ada dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran DIPA penyelenggaraan Pemilu APBN 2014. Permintaan dana besar untuk keamanan Pemilu mengesankan bahwa akan ada ancaman Pemilu 2014 sebagaimana pernyataan Presiden SBY sebelumnya. Pemilu sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat menjadi seperti sarana pengurasan dan pemborosan uang rakyat bagi para lembaga terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu. Fihak Pemerintah juga memanfaatkan Pemilu untuk menguras dana rakyat. Mengingat dana yang diboroskan tersebut bersumber dari dana rakyat, maka pemborosan seperti ini harus ditolak. Apalagi mengingat “outcome” Pemilu tidak berpengaruh terhadap peningkatan kualitas demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Pengelolaan anggaran Pemilu dari masa ke masa sudah terbukti tidak lebih baik dan boros. Bahkan ada Komisioner KPU pernah tersangkut korupsi. KEENAM: Pemilu 2014 adalah inskonstitusional. Berdasarkan konstitusi UUD 1945, Pemilu legislative dan Pemilu Presiden harus digelar serentak sesuai UUD 1945. MK juga mengakui bahwa Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden harus digelar serentak sesuai UUD 1945. Namun, dalam putusan MK, Pemilu serentak tidak bisa dilaksanakan pada tahun 2014 ini, baru bisa dilaksanakan pada tahun 2019. MK menyatakan bahwa pasal 3 ayat 5, pasal 22 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2) dan pasal 112 bertentangan dengan UUD 1945 serta memerintahkan agar penyelenggaraan Pemilu dilakukan serentak pada 2019. Putusan MK ini telah melakukan blunder besar dan menuai kecaman dari berbagai pihak. MK berarti mengakui bahwa Pemilu legislative dan Pemilu Presiden yang tidak serentak yang sesuai konstitusi baru bisa dilaksanakan pada 2019. Sementara itu, Pemilu 2014 tidak serentak, bermakna Pemilu 2014 dilaksanakan dengan pasal-pasal UU Pemilu yang inkonstitusional. Karena landasan hukum Pemilu 2014 inkonstitusional, maka Pemilu 2014 mendatang inkonstitusional. Konsekuensinya DPR, DPD, DPRD dan Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam Pemilu legislative dan Presiden 2014 juga inkonstitusional. Dengan perkataan lain, legitimasi terhadap penyelenggaraan Pemilu menggunakan payung hukum UU No.42 Tahun 2008 adalah inkonstitusional. Artinya, pasca putusan MK yang diputus sebelum penyelenggaraan Pemilu menjadikan proses Pemilu kehilangan legitimasinya. Satu pertanyaan dasar telah muncul: jika putusan Pemilu serentak diberlakukan pada 2019, mengapa MK tidak menunda pelaksanaan Pemilu saja hingga terpenuhinya dasar konstitusional penyelenggaraan Pemilu? KETUJUH: Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2014 diperkirakan akan semakin menurun. Berdasarkan data beberapa Pemilu sebelumnya, kecenderungan masyarakat tidak menggunakan hak pilihnya (Golput) terus meningkat. Pada Pemilu 1999, angka Golput mencapai 10,21 %; menaik menjadi 24 % Pemilu 2004; dan terus menaik 30 % Pemilu 2009. Diperkirakan sebagai pengamat politik, Golput akan menaik tajam pada Pemilu 2014 hingga 35-40 %. Meskipun KPU sudah mensosialisasikan Pemilu, Para Calon Legislatif tingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan berbagai kegiatan kampanye, namun tidak membuat rakyat antusias menyambut Pemilu 2014. Golput akan tetap semakin banyak. Berbagai sebab dapat diajukan mengapa pada Pemilu 2014 ini akan meningkat Golput. Pertama, masih terdapatnya permasalahan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Implikasi ketidakakuratan DPT adalah meingkatnya proporsi warga yang tidak bisa berpartisipasi dalam Pemilu. Golput ini kebanyakan Golput tanda kutip, yakni Golput tidak bisa memilih karena persoalan administrasi, bukan alasan ideologis. Kedua, alasan ideologis, yakni rakyat tidak percaya terhadap elite politik Parpol dan para pemimpin negara baik di eksekutif maupun legislative. Masyarakat berprasangka terhadap elite politik ini, termasuk dalam menghadapi Pemilu legisltif dan Pemilu Presiden 2014. Berdasarkan ideologis, diprediksi rakyat akan semakin banyak tidak akan menggunakan hak pilih. Berbagai lembaga survey telah mengajukan prediksi tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2014. Salah satu prediksi, tingkat partisipasi pemilih hanya tinggal sekitar 54% dan 60%. Memburuknya citra Parpol yang disertai munculnya sejumlah politisi Parpol terindikasi korupsi membuat kecenderungan kelompok masyarakat tidak mau ikut memilih pada Pemilu 2014 semakin meningkat. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap Parpol semakin tinggi. Ketidakpercayaan masyarakat ini dipengaruhi dengan persepsi masyarakat bahwa Parpol tidak patuh terhadap hukum. Telepolling 15 Kota Besar di Indonesia,Lembaga Riset & Polling Indonesia telah menemukan bahwa masyarakat masih sedikit menyatakan secara tegas akan memilih nanti dalam Pemilu 2014. Sebagian besar masyarakat masih ragu (37 %) dan sebagian lagi menyatakan tidak memilih (23.4%). Angka Golput diperkirakan di atas 50 %. Kondisi ini menimbulkan apatisme publik dan mengancam legitimasi Pemilu 2014. KEDEPALAN: Rekomendasi dapat diajukan sebagai berikut: 1. Pelaksanaan Pemilu 2014 harus ditunda karena kondisi dan kecenderungan Parpol yang tidak patuh hukum, penyelenggaraan Pemilu 2014 yang boros dana, dan manfaat (outcome) Pemilu 2014 tidak akan meningkatkan kualitas demokrasi dan kesejahteraan rakyat, Pemilu tidak konstitusional (inkonstitusional) yang menyebabkan hasilnya menjadi tidak legitimate, tingkat partisipasi pemilih atau Golput bisa di atas 50%. Penundaan Pemilu sebaiknya dilakukan hingga kondisi Parpol peserta Pemilu betul-betul patuh hukum, penyelenggaraan Pemilu konstitusional dan tingkat partisipasi pemilih di bawah 30 %. Di bawah kondisi Pemilu ditunda, maka langka-langkah harus dilakukan adalah: 1. Rekonstruksi system kepartaian dan kader Parpol di pemerintahaan ke arah benar-benar patuh terhadap hukum formal berlaku di Republik ini. Rekonstruksi system kepartaian harus berdasarkan penegakan prinsip antara lain: kepatuhan hukum (rule of the game), nondiskriminatif (kesetaraan), keterbukaan (tranparansi), akuntabilitas pubik, dan berorientasi pada kepentingan dan manfaat bagi rakyat kebanyakan. 2. Rekonstruksi system penyelenggaraan Pemilu, terutama prosedur dan standar penentuan Parpol sebagai peserta Pemilu mengacu pada UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Komponen rekonstruksi dimaksud antara lain KPU, system pencalonan anggota legislative, kampanye dan manajemen keuangan/ pembiayaan. 3. Pemerintah dan DPR harus merevisi UU Pemilu dan UU Pilpres sesuai dengan UUD 1945. Pemerintah harus melaksanakan Pemilu berdasarkan UUD 1945, yakni serentak Pemilu legislative dan Pemilu Presiden. 4. Publik melaksanakan advokasi hukum atau gugatan hukum terhadap Presiden SBY jika tidak bersedia menunda yang inkonstitusional dan tetap melaksanakan Pemilu 2014. Untuk itu, perlu ada upaya public untuk menggalang kekuatan pelaksanaan advokasi hukum atau gugatan hukum dimaksud (MEH).

Selasa, 04 Februari 2014

PROGRAM PELAYANAN ADMINISTRASI TERPADU KECAMATAN (PATEN)

Pelimpahan sebagian kewenangan Bupati dan Walikota kepada para Camat di setiap daerah sesungguhnya merupakan hal yang mendesak untuk dilakukan agar pelaksanaan pembangunan dapat berjalan dengan baik. Apalagi jika hal tersebut dikaitkan dengan pelaksanaan program Paten (Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan) seperti diatur dalam Permendagri No 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan, di mana seluruh Kecamatan sudah harus menerapkan program tersebut pada tahun 2015. Terwujudnya pelayanan publik yang berkualitas (prima) menjadi salah satu ciri tata pemerintahan yang baik (good governance). Kinerja pelayanan publik sangat besar pengaruhnya terhadap kualitas kehidupan masyarakat. Oleh karena itu membangun sistem manajemen pelayanan publik yang handal adalah keniscayaan bagi Daerah kalau mereka ingin meningkatkan kesejahteraan warganya. Tidak mengherankan kalau perbaikan kualitas pelayanan publik menjadi salah satu alasan mengapa Pemerintah mendesentralisasikan kewenangan penyelenggaraan pelayanan publik kepada Daerah. Dengan menyerahkan kewenangan penyelenggaraan pelayanan kepada Daerah, Pemerintah berharap pelayanan publik akan menjadi lebih responsif atau tanggap terhadap dinamika masyarakat di Daerahnya. Ketika manajemen pelayanan diserahkan ke Daerah, kesempatan warga untuk ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan seharusnya menjadi semakin terbuka. Warga harus dapat dengan lebih mudah mengawasi jalannya penyelenggaraan pelayanan. Mereka harus dapat menyampaikan aspirasinya (local voice) kepada rezim pelayanan. Mekanisme penyampaian keluhan harus dikembangkan di setiap satuan birokrasi pelayanan dan birokrasi wajib menindaklanjuti keluhan yang disampaikan warga penggunanya. Untuk mengawasi praktik penyelenggaraan pelayanan di Daerah Kabupaten/Kota, Gubernur sebagai Wakil Pusat melakukan supervisi atas pelayanan publik di wilayahnya. Mengingat terbatasnya sumberdaya yang tersedia bagi Daerah untuk penyelenggaraan pelayanan publik maka Daerah perlu didorong untuk mengutamakan pelayanan dasar. Untuk itu, perlu ada definisi yang jelas tentang pelayanan dasar. Agar pemerataan akses terhadap pelayanan dasar dapat dijaga maka perlu ada pengaturan tentang standar pelayanan minimum untuk pelayanan yang termasuk dalam kategori pelayanan dasar. Penetapan standar pelayanan minimum tidak berarti membatasi ruang bagi Daerah untuk menyelenggarakan 6 pelayanan sesuai dengan aspirasi dan kapasitas Daerah. Daerah yang memiliki kapasitas lebih dapat menyelenggarakan pelayanan diatas standar pelayanan minimum. Penyelenggaraan pelayanan publik di Daerah menunjukan kinerja yang bervariasi. Beberapa Daerah berhasil mengembangkan inovasi dalam manajemen pelayanan publik dengan mengembangkan berbagai teladan (best practices). Misalnya, beberapa Kota/Kabupaten berhasil mengembangkan manajemen pelayanan yang partisipatif dengan mengadopsi kontrak pelayanan seperti yang dilakukan di Kota Yogyakarta (DIY) dan Blitar (Jawa Timur). Sementara Kabupaten Jembrana (Bali) berhasil memberikan pelayanan pendidikan dan kesehatan secara gratis dan beberapa Kabupaten seperti Sragen (Jawa Tengah), Sidoarjo (Jawa Timur), dan banyak Kabupaten/ Kota berhasil mengembangkan Pelayanan Satu Pintu. Namun, pada saat yang sama banyak Kabupaten/Kota yang gagal mewujudkan kinerja pelayanan yang lebih baik. Otonomi Daerah ternyata memiliki dampak yang berbeda dalam praktik penyelenggaraan pelayanan di Daerah. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, salah satu tugas Camat adalah melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan Desa atau Kelurahan. Berdasarkan Undang-Undang ini, secara filosofis otonomi daerah dan desentralisasi bertujuan untuk demokrasi dan kesejahteraan. Untuk demokrasi, pertanyaannya adalah bagaimana menjadikan Pemerintah Daerah sebagai instrumen pendidikan politik di tingkat lokal/daerah untuk mendukung proses demokratisasi menuju masyarakat madani (civil society). Sedangkan untuk kesejahteraan, pertanyaan bertumpu pada bagaimana menjadikan Pemerintah Daerah sebagai instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat atau penyediaan layanan publik secara efisien dan efektif. Sementara itu, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, pada Pasal 9 ayat (1) ditetapkan bahwa dalam rangka mempermudah penyelenggaraan berbagai bentuk pelayanan publik, dapat dilakukan penyelenggaraan sistem pelayanan terpadu. Sistem pelayanan terpadu sesungguhnya merupakan inovasi manajemen dalam rangka mendekatkan, mempermudah, dan mempercepat pelayanan terhadap publik/masyarakat. Terkait dengan pelayanan terhadap publik/masyarakat ini, di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemda Provinsi, Pemda Kab./Kota, pada Pasal 7 Ayat 1 ditetapkan, urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berkaitan dengan pelayanan dasar. Pada tataran di bawahnya, Kecamatan, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan,ditegaskan bahwa tugas Camat meliputi antara lain melakukan perencanaan kegiatan pelayanan kepada masyarakat di Kecamatan dan melakukan percepatan pencapaian standar pelayanan minimal di wilayahnya. Bagaimanapun juga, baik buruknya pelayanan oleh Pemerintahan Kecamatan mencerminkan kualitas kinerja Pemerintah Daerah. Kecamatan telah menjadi tumpuan pelayanan publik mengingat banyak tugas dari Dinas-Dinas Kabupaten/Kota yang secara riil justru bisa dioperasinalisasikan karena adanya fungsi kewilayahan yang dimiliki Kecamatan. Kedekatan perangkat Kecamatan tehadap permasalahan yang berkembang di wilayahnya membuat Kecamatan menjadi tempat pengaduan bagi masyarakat atau apa yang mereka hadapi. Kecamatan acapkali berhadapan langsung dengan permasalahan yang ada dalam masyarakat. Karena itu, Kecamatan sering juga dijadikan sebagai mediasi atas konflik yang muncul di antara kelompok masyarakat. Dalam realitas obyektif, wajah pemerintahan Kecamatan dewasa ini sesungguhnya ditandai dengan pelayanan masih banyak dikeluhkan, relatif belum optimal dan pengaturan kerja staf kurang efisien. Masih diperlukan, pembenahan untuk meningkatkan kualitas pelayanan Kecamatan.Pemerintah sesungguhnya sangat menyadari realitas obyektif Kecamatan dimaksud. Baik secara langsung atau tidak, Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan sebagai tindak lanjut upaya untuk melaksanakan kegiatan pelayanan publik, antara lain Permendagri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Permendagri ini mengatur penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas dan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat. Selanjutnya Pemerintah melalui Permendagri Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (PATEN). Ditetapkan bahwa seluruh Kecamatan telah menerapkan PATEN selambat-lambatnya pada tahun 2014. Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (PATEN) merupakan inovasi manajemen dalam rangka mendekatkan, mempermudah, dan mempercepat pelayanan administrasi perizinan/non perizinan di tingkat Kecamatan, utamanya bagi Kecamatan yang letaknya jauh dari Kantor Pemerintah Kabupaten/Kota dan sulit dijangkau karena faktor kondisi geografis dan infrastruktur jalan yang belum memadai. Untuk mensuksekan program PATEN ini, Pemerintah juga telah menerbitkan antara lain:Kepmendagri No.138-270 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Pedoman Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan PATEN; Surat Edaran Mendagri Nomor 100/121/PUM tanggal 3 Februari 2009 tetang Upaya Strategis Peningkatan Pelayanan Publik di Daerah; Surat Edaran Mendagri Nomor 318/312/PUM tangal 28 Februari 2011 tetang Penerapan Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (PATEN); dan Surat Edaran Mendagri Nomor 138/113/PUM tanggal 13 Januari 2012 tetang Percepatan Penerapan Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (PATEN) di Daerah. Mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan, Pemerintah dalam rangka merespon dinamika perkembangan penyelenggaraan pemerintahan daerah menuju tata kelola pemerintahan yang baik, perlu memperhatikan kebutuhan dan tuntutan masyarakat dalam pelayanan. Juga dalam rangka meningkatkan kualitas dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat serta memperhatikan kondisi geografis daerah, Pemerintah menganggap perlu mengoptimalkan peran Kecamatan sebagai perangkat daerah terdepan dalam memberikan pelayanan publik. Karena itu, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan. Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (PATEN) adalah penyelenggaraan pelayanan publik di Kecamatan dari tahap permohonan sampai ke tahap terbitnya dokumen dalam satu tempat. Ruang lingkup PATEN meliputi: a. pelayanan bidang perizinan; dan b. pelayanan bidang non perizinan. Maksud penyelenggaraan PATEN adalah mewujudkan Kecamatan sebagai pusat pelayanan masyarakat dan menjadi simpul pelayanan bagi kantor/badan pelayanan terpadu di Kabupaten/kota. PATEN mempunyai tujuan untuk meningkatkan kualitas dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Kecamatan sebagai penyelenggara PATEN harus memenuhi syarat: a. substantif; b. administratif; dan c. teknis. Syarat substantif adalah pendelegasian sebagian wewenang Bupati/Walikota kepada Camat. Pendelegasian sebagian wewenang meliputi: a. bidang perizinan; dan b. bidang non perizinan. Pendelegasian sebagian wewenang ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota. Pendelegasian dimaksud dilakukan dengan memperhatikan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pelayanan. Persyaratan administratif meliputi: a. standar pelayanan; dan b. uraian tugas personil Kecamatan. Standar pelayanan, meliputi: 1. Jenis pelayanan. 2. Persyaratan pelayanan. 3. Proses/prosedur pelayanan. 4. Pejabat yang bertanggungjawab terhadap pelayanan. 5. Waktu pelayanan. 6. Biaya pelayanan. Standar pelayanan ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota. Uraian tugas personil Kecamatan diatur dengan Peraturan Bupati/Walikota. Persyaratan teknis meliputi: a. Sarana prasarana; dan b. pelaksana teknis. Sarana prasarana meliputi: 1. Loket/meja pendaftaran. 2. Tempat pemrosesan berkas. 3. Tempat pembayaran. 4. Tempat penyerahan dokumen. 5. Tempat pengolahan data dan informasi. 6. Tempat penanganan pengaduan. 7. Tempat piket. 8. Ruang tunggu. 9. Perangkat pendukung lainnya. Pelaksana Teknis meliputi: 1. Petugas informasi. 2. Petugas loket/penerima berkas. 3. Petugas operator komputer. 4. Petugas pemegang kas. 5. Petugas lain sesuai kebutuhan. Pelaksana Teknis adalah Pegawai Negeri Sipil di Kecamatan. Untuk menunjang efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan PATEN, Kecamatan dapat menyediakan sistim informasi. Bupati/Walikota menetapkan Kecamatan yang telah memenuhi persyaratan sebagai penyelenggara PATEN. Penetapan Kecamatan sebagai penyelenggara PATEN dilakukan dengan Keputusan Bupati/Walikota. Bupati/Walikota membentuk Tim Teknis PATEN, ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota. Tim Teknis PATEN mempunyai tugas: 1. Mengidentifikasi kewenangan Bupati/Walikota berkaitan dengan pelayanan administrasi yang dilimpahkan kepada Camat. 2. Pejabat penyelenggara PATEN melakukan pengelolaan layanan secara transparan dan akuntabel. Biaya penyelenggaraan PATEN dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran Kecamatan. Dalam hal penyelenggaraan PATEN menghasilkan penerimaan, wajib melakukan penyetoran ke kas daerah. Bupati/Walikota melakukan pembinaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan PATEN, yakni: 1. Penyelenggaraan sebagian wewenang Bupati/Walikota yang dilimpahkan. 2. Penyelenggaraan pelayanan yang pasti, mudah, cepat, transparan dan akuntabel. 3. Penyelenggaraan tugas lainnya yang ditugaskan kepada Camat. Pembinaan dan pengawasan dapat didelegasikan kepada Tim Teknis PATEN. Pendelegasian dilakukan secara tertulis. Hasil Pembinaan dan pengawasan disampaikan oleh Bupati/Walikota kepada Gubernur dengan tembusan kepada Menteri cq Direktur Jenderal yang membidangi pemerintahan umum bahwa setiap penerima layanan diberikan kemudahan untuk mendapatkan informasi. Masyarakat berperan serta secara aktif dalam penyelenggaraan PATEN. Peran serta dapat berupa: 1. Ikut serta dalam penyusunan standar layanan. 2. Memberikan masukan dalam proses penyelenggaraan layanan. 3. Memenuhi semua persyaratan pada saat meminta layanan. Seluruh Kecamatan ditetapkan sebagai penyelenggara PATEN selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak ditetapkan Peraturan Menteri ini (Januari 2010). Sesungguhnya Permendagri ini merupakan spirit bagaimana melayani atau “how to serve”, mengandung banyak nilai-nilai/spirit menuju tata kelola pemerintahan yang baik. Secara kelembagaan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, Kecamatan menjadi simpul pelayanan. Kecamatan bekerja sistematis, merencanakan, melaksanakan dan melihat atau mengevaluasi. Kemendagri juga telah menerbitkan pedoman lebih terincil untuk pelaksanaan PATEN melalui Kepmendagri Nomor 138-270 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Pedoman Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (PATEN) Berbagai kebijakan telah diambil Pemerintah untuk meningkatkan penyelenggaraan pelayanan publik ini. Namun, dalam realitas obyektif masih menghadapi berbagai masalah dan tantangan, antara lain: 1. Tidak adanya insentif/disintensif bagi Daerah yang melaksanakan. 2. Tidak adanya semacam “sanksi” dalam peraturan yang mengaturnya. 3. Kebijakan PATEN belum menarik bagi promosi daerah maupun Kepala Daerah, belum terasa ada bukti “instant”. 4. Terjebak pada “business as usual” tanpa inovasi pelayanan masayarakat (masih banyak hal lain yang menyita perhatian). 5. Belum ada “guidance detil” hal apa saja yang bisa dilimpahkan. Pelimpahan kewenangan seyogyanya mempertimbangkan tipologi Kecamatan dan didasarkan atas skala, jenis, durasi, dampak, tingkatan tanggungjawab, besaran retribusi. Realitas obyektif menunjukan satu masalah, yakni semakin menguatnya unsur-unsur subyektivitas dalam penyelenggaraan pelayanan. Hal ini ditandai dengan semakin maraknya diskriminasi dalam pelayanan berbasis pada unsur-unsur subyektivitas seperti pertemanan, etnis, afiliasi politik, kesamaan profesi (sesama PNS), dan agama. Disamping diskriminasi pelayanan publik, masalah lain dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah rendahnya aksesibilitas pelayanan, yang ditandai dengan masih besarnya angka pengguna biro jasa (intermediaries) dalam penyelenggaraan pelayanan. Besarnya angka pengguna biro jasa dalam mengakses pelayanan publik sangat bervariasi, berkisar antara 50-80 persen tergantung pada jenis pelayanan. Besarnya angka pengguna jasa ini menunjukan ketidak sanggupan warga untuk berhubungan langsung dengan penyelenggara pelayanan. Hal ini menjelaskan besarnya opportunity cost yang dihadapi oleh masyarakat dalam mengakses pelayanan publik. Kecenderungan prosedur pelayanan hanya mengatur kewajiban dan mengabaikan hak-hak pengguna pelayanan publik menjadi salah satu sebab mengapa penyelenggaraan pelayanan publik sering menjadi sumber ketidakpuasan warga terhadap Pemerintah. Penyelenggara pelayanan cenderung menempatkan dirinya sebagai penguasa, yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada pengguna dan dapat berbuat seenaknya dalam mengelola pelayanan publik. Akibatnya, penyelenggara pelayanan publik sering menjadi arena konflik antara Pemerintah dengan warganya. Sebuah sumber menunjukkan beberapa sebab kinerja pelayanan publik di Daerah pada umumnya masih jauh dari yang diharapkan. Pertama, penyelenggaraan pelayanan selama ini cenderung dianggap sebagai domain rezim pelayanan. Jenis pelayanan, kualitas, dan cara pelayanan sepenuhnya ditentukan oleh rezim pelayanan. Warga tidak memiliki kesempatan untuk ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tentang berbagai hal terkait dengan pelayanan yang dibutuhkannya. Akibatnya, pelayanan yang diberikan oleh Daerah sering tidak sesuai dengan aspirasi dan kebutuhannya. Kedua, prosedur pelayanan cenderung hanya mengatur kewajiban dari warga pengguna, tetapi hak-haknya tidak pernah diatur dan dilindungi. Prosedur juga sering gagal mengatur mengenai kewajiban dari penyelenggara pelayanan. Akibatnya, rezim pelayanan dapat memperlakukan warga pengguna seenaknya. Tidak adanya pengaturan tentang hak-hak warga membuat proses pelayanan publik menjadi penuh dengan ketidakpastian. Survei kepuasan warga pengguna terhadap pelayanan perizinan di Kota Yogyakarta pada tahun 2005 yang dilakukan oleh PSKK UGM menunjukan bahwa angka pengguna yang menggunakan perantara atau calo pelayanan dalam pengurusan izin sangat besar dan bervariasi antar jenis perizinan. Ketiga, proses pelayanan seringkali dikaitkan dengan struktur hirark hibirokrasi di Daerah. Panjangnya jenjang hirarkhi birokrasi dengan sendirinya membuat proses pelayanan publik menjadi panjang dan menghabiskan banyak enerji dari warga dan penyelenggara pelayanan. Apalagi ketika prosedur pelayanan dibuat dengan semangat untuk mencegah terjadinya moral hazards proses pelayanan public menjadi sangat kompleks dan sulit diikuti secara wajaroleh warga pengguna. Akibatnya, banyak warga cenderung menggunakan biro jasa atau perantara. Besarnya angka pengguna biro jasa menunjukan bahwa masyarakat tidak lagi sanggup mengakses pelayanan secara wajar. Keempat, birokrasi pelayanan belum mampu mengembangkan budaya dan etika pelayanan yang menghargai posisi pengguna sebagai warga negara yang berdaulat. Birokrasi pelayanan masih menempatkan warga sebagai obyek pelayanan yang dapat diperlakukan seenaknya sesuai dengan kemauannya.Kepuasan warga belum menjadi kriteria utama bagi birokrasi pelayanan untuk menilai kinerjanya. Akibatnya, akuntabilitas birokrasi belum dilihat dari kepuasaan warga terhadap pelayanannya melainkan dari kepatuhan birokrasi terhadap peraturan dan prosedur pelayanan. Rakyat sebagai pengguna pelayanan publik harus mempunyai kepastian tentang jenis dan kualitas pelayanan publik yang disediakan Pemda. Untuk itu harus dibangun kontrak pelayanan publik antara Pemda dengan masyarakat. Kontrak tersebut akan menjelaskan jenis pelayanan, kualitas, biaya, prosedur dan waktu yang diperlukan untuk mengakses pelayanan publik tersebut. Kemudian kalau Pemda gagal memenuhi kontrak pelayanan publik tersebut, harus terdapat kejelasan kemana masyarakat harus menyampaikan keluhannya. Keberadaan Ombudsman Daerah dapat dijadikan saluran bagi masyarakat untuk menyampaikan keluhannya. Perlu pengaturan yang jelas tentang konsep pelayanan dasar yang wajib disediakan oleh Pemerintah. Selama ini pelayanan dasar belum didefinisikan dengan jelas dalam perundangan-undangan yang ada. Tidak adanya definisi yang jelas tentang pelayanan dasar yang wajib disediakan oleh Pemerintah dapat memiliki risiko tidak terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat. Apa saja yang termasuk dalam pelayanan dasar harus didefinisikan dengan jelas, sehingga perhatian Daerah terhadap penyelenggaraan pelayanan dasar dapat diamati oleh warga dan pemangku kepentingannya dengan mudah. Juga perlu ditegaskan tentang kewajiban Daerah untuk menyelenggarakan pelayanan dasar sesuai dengan standar pelayanan minimum (SPM) dan atau standar lainnya yang dibuat oleh Pemerintah. Daerah dapat menyelenggarakan pelayanan dasar diatas standar nasional,sesuai dengan kemampuan dan aspirasi masyarakatnya. Dalam penyelenggaraan pelayanan dasar, Daerah harus mengembangkan sistim pelayanan yang berkeadilan, efisien, responsif, akuntabel, dan partisipatif. Daerah harus dapat menyelenggarakan pelayanan yang mudah diakses oleh semua warganya terlepas dari ciri-ciri subyektifnya, mampu menjawab kebutuhan warga, dan yang diselenggarakan secara partisipatif dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Dalam mewujudkan sistim pelayanan publik, Daerah harus mengembangkan manajemen pelayanan publik yang memungkinkan terjadi perbaikan secara berkelanjutan. Karena itu manajemen pelayanan publik harus menjamin adanya hak warga untuk menyampaikan aspirasi, keluhan, dan usulan perbaikan (local voices) dan menjadikan hal itu sebagai bagian yang penting untuk perbaikan kinerja dan akuntabilitas publik. Untuk mendorong adanya perbaikan manajemen pelayanan yang berkelanjutan maka Daerah perlu didorong untuk secara periodik melakukan evaluasi kinerja pelayanan publik dengan melakukan, antara lain, pengembangan indeks kepuasan warga pengguna. Lembaga Ombudsman Daerah dapat dijadikan sebagai lembaga mediasi penyelesaian masalah dan konflik yang terjadi antara warga pengguna dengan manajemen pelayanan publik. Daerah perlu mendorong birokrasi pelayanannya untuk mengembangan maklumat atau kontrak pelayanan yang mengatur secara proporsional dan seimbang hak dan kewajiban dari penyelenggara dan pengguna pelayanan. Maklumat atau kontrak pelayanan dapat menjadi alat yang mudah dan sederhana bagi warga mengawasi praktik penyelenggaraan pelayanan. Bagi penyelenggara, keberadaan maklumat pelayanan penting karena dapat menjadi pedoman bagi mereka untuk mewujudkan pelayanan sesuai yang dijanjikannya.

PELIMPAHAN KEWENANGAN BUPATI/WALIKOTA TERHADAP CAMAT

Pendelegasian kewenangan adalah pelimpahan kewenangan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, yang diberikan dari pihak atasan kepada bawahan dengan ketentuan: 1. Kewenangan tersebut tidak beralih menjadi kewenangan dari penerima delegasi. 2.Penerima delegasi wajib beratangungjawab kepada pemberi delegasi. 3.Pembiayaan untuk melaksanakan kewenangan tersebut berasal dari pemberi delagasi kewenangan. Pola pendelegasian kewenangan terdiri dari: 1.Pola seragam 2.Pola beranekaragam Pendelegasian sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota kepada Camat dilakukan dengan menerbitkan Surat Keputusan Bupati/Walikota, bukan dengan Peraturan Daerah. Pertimbangannya adalah bahwa yang didelegasikan adalah kewenangan pejabat (Bupati/Walikota) kepada pejabat bawahannya (Camat). Untuk menjalankan kewenangan yang telah didelegasikan oleh Bupati/Walikota, Camat memerlukan dukungan organisasi. Tugas pokok dan fungsi organisasi Kecamatan diatur dengan Peraturan Daerah, sama seperti pengaturan tugas, pokok dan fungsi perangkat daerah lainnya. Sebab pembentukan organisasi akan berkaitan dengan personil dan pembiayaan yang memerlukan persetujuan DPRD. Pendelegasian sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota kepada Camat dapat dilaksanakan apabila memenuhi empat prasyarat sebagai berikut: 1.Adanya keinginan politik dari Bupati/Walikota untuk mendelegasikan sebagian kewenangan pemerintahan kepada Camat. 2.Adanya kemauan politik dari Bupati/Walikota dan DPRD Kabupaten/Kota untuk menjadikan Kecamatan sebagai SKPD dan Pusat Pelayanan Publik. 3.Kesediaan Dinas atau Lembaga Teknis Daerah untuk melimpahkan sebagian kewenangan teknis yang dapat dijalankan oleh Camat, melalui keputusan Kepala Daerah. 4.Adanya dukungan anggaran/pendanaan dan personil/SDM Aparatur yang kompeten untuk menjalankan kewenangan yang sudah dilimpahkan kepada Camat. Adapun langkah-langkah teknis yang perlu dilakukan untuk dapat merumuskan dan mengimplementasikan pelimpahan sebagian kewenangan Bupati/Walikota kepada Camat sebagai berikut: 1.Melakukan inventarisasi bagian-bagian kewenangan dari Dinas dan atau Lembaga Teknis Daerah yang dapat didelegasikan kepada Camat melalui pengisian daftar isian. 2. Mengadakan rapat teknis antara pimpinan Dinas Daerah dan atau Lemtekda dengan Camat untuk mencocokkan bagian-bagian kewenangan dapat dilimpahkan dan mampu dilaksanakan oleh Camat. 3.Menyiapkan Rancangan Keputusan Bupati/Walikota untuk dijadikan Keputusan. 4.Menata-ulang organisasi Kecamatan sesuai dengan besaran dan luasnya kewenangan yang dilimpahkan untuk masing-masing Kecamatan. 5.Mengisi organisasi dengan personil/SDM sesuai kebutuhan dan kompetensi. 6.Menghitung perkiraan anggaran untuk masing-masing Kecamatan sesuai dengan beban tugas dan kewenangan, dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan pemerintah daerah bersangkutan. 7.Menghitung perkiraan kebutuhan logistik untuk masing-masing Kecamatan. 8.Menyiapkan tolok ukur kinerja organisasi Kecamatan. Sebagian kewenangan pemerintahan sudah dilimpahkan kepada Camat pada suatu saat dapat saja ditarik kembali. Adapun alasan penarikan kembali kewenangan sudah dilimpahkan antara lain: 1.Kewenangan sudah dilimpahkan tidak dilaksanakan dengan baik. 2.Obyek sasaran dari kewenangan tersebut tidak ada di Kecamatan bersangkutan. Misalnya kewenangan perizinan IMB usaha Perkebunan untuk Kecamatan tidak mempunyai areal perkebunan atau kewenangan pengelolaan kota untuk Kecamatan yang bukan perkotaan. 3.Setelah dilaksanakan pelimpahan yang dijalankah oleh Camat justru menimbulkan ketidakefisienan dan ketidakefektifan. 4.Pelaksanaan pelimpahan kewenangan telah meluas melampaui satu Kecamatan, sehingga perlu ditarik kembali ke tangan Bupati/ Walikota. 5.Adanya kebijakan baru di bidang pemerintahan sehingga kewenangan selama ini dijalankan oleh Camat dengan berbagai pertimbangan kemudian ditarik kembali dan atau dipindahkan pelaksanaannya kepada unit organisasi pemerintahan lainnya. Sebagai misal, kewenangan di bidang pertanahan, kependudukan, Pemilihan Umum dan lain sebagainya. Apabila pelimpahan sebagian kewenangan Bupati/Walikota kepada Camat dilakukan dengan Keputusan Bupati/Walikota, maka penarikan kewenangannya juga harus dilakukan dengan Keputusan setingkat Keputusan Bupati/Walikota. Penarikan kembali kewenangan dilimpahkan secara hati-hati dan cermat, jangan sampai menimbulkan masalah di kemudian hari atau menimbulkan penolakan dari masyarakat yang dilayani. Pelimpahan kewenangan bukan hanya sekedar memberikan legalisasi kewenangan kepada Camat, melainkan diarahkan pada upaya meningkatkan efektivitas dan efesiensi pelayanan kepada masyarakat dengan penggunaan dana dan fasilitas publik secara efektif dan efisien. Pelimpahan kewenangan harus mampu mendorong terciptanya kemudahan dan kecepatan akses bagi masyarakat untuk memperoleh pelayanan, sekaligus juga memberikan partisipasinya dalam pembangunan. Satu sumber merekomendasikan, bagi daerah sudah melakukan pelimpahan kewenangan kepada Camat, hendaknya dilanjutkan dengan mengevaluasi kebijakan tersebut. Jika rincian kewenangan tersebut sudah berdasarkan kepada “core competence” dimiliki Kecamatan, maka kebijakan tersebut segera dioptimalkan. Namun jika sebaliknya belum sesuai dengan core cempetence dimiliki Kecamatan, maka secepatnya dilakukan penyesuaian. Bagi daerah yang belum melakukan pelimpahan kewenangan kepada Camat, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan kategorisasi Kecamatan yang ada di dearahnya berdasarkan kompetensi intinya. Selanjutnya dilakukan identifikasi kewenangan untuk setiap Kecamatan tersebut dituangkan dalam bentuk kebijakan. Pemerintah Daerah dalam menempuh kebijakan pelimpahan kewenangan kepada Camat diikuti dengan dukungan dan penguatan personil/SDM Aparatur Kecamatan, dukungan dana serta fasilitas serta pembinaan organisasi dan manajemen Kecamatan. Pertama, Kewenangan Atributif Berdasarkan sumbernya kewenangan dapat dibedakan menjadi dua (2) macam, yaitu kewenangan atributif dan kewenangan delegatif. Kewenangan atributif adalah kewenangan yang melekat dan diberitakan kepada suatu institusi atau pejabat berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sedangkan kewenangan delegatif adalah kewenangan yang berasal dari pendelegasian kewenangan dari institusi atau pejabat yang lebih tinggi tingkatannya. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Camat selain menerima kewenangan bersifat delegatif juga memiliki kewenangan bersifat atributif. Hal ini juga diperjelas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2). Dalam Pasal 126 UU No 32 Tahun 2004 ayat (3), atau dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 pada Pasal 15 ayat (1), tugas umum pemerintahan dimaksud juga merupakan kewenangan atributif meliputi: a.Mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat. b.Mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum. c.Mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan. d.Mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum. e.Mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat Kecamatan. f.Membina penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan/atau Kelurahan, dan g.Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan Pemerintahan Desa atau Kelurahan. Ayat (5) Pasal 15 PP Nomor 19 Tahun 2008 lebih jauh menegaskan tentang ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang Camat diatur dengan Peraturan Bupati/Walikota. Namun, hingga kini belum terdapat penjabaran secara detail jenis-jenis kegiatan yang merupakan pelimpahan sebagian kewenangan Bupati/Walikota kepada Camat baik pada tingkat Undang-undang, Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri. Namun, belakangan ini telah muncul suatu konsep yang dipersiapkan untuk Lampiran Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Pelimpahan Sebagian Kewenangan Bupati/Walikota Kepada Camat. Konsep tersebut telah menrinci masing-masing bidang kegiatan yang dilimpahkan sebagaimana terdapat di LAMPIRAN III dalam Laporan Akhir ini. Kedua, Kewenangan Delegatif. Sedangkan kewenangan delegatif adalah kewenangan yang berasal dari pendelegasian kewenangan dari institusi atau pejabat yang lebih tinggi tingkatannya. Dalam hal Kecamatan, pelimpahan kewenangan kepada Camat, kewenangan delegatif adalah kewenangan yang berasal dari pendelegasian dari Bupati/Walikota. Pelimpahan sebagian kewenangan Bupati/Walikota kepada Camat berdasarkan Pasal 15 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 dijelaskan bahwa selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Camat melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah, meliputi aspek (1) Perizinan; (2) Rekomendasi; (3) Koordinasi; (4) Pembinaan; (5) Pengawasan; (6) Fasilitasi; (7; (8) Penetapan; (9) Penyelenggaraan; dan, (10) Kewenangan lain yang dilimpahkan. a) Kewenangan Perizinan Jenis urusan kewenangan perizinan seperti: (1) Izin Mendirikan Bangunan (IMB); (2) Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol; (3) Izin Gangguan (HO); (4) Izin Trayek; (5) Izin Usaha Perikanan; (6) Izin Usaha Makanan Skala Kecil/Warung Kecil; (7) Izin Usaha Jasa Rekreasi dan Hiburan; (8) Izin Penutupan Jalan Tertentu; (9) Izin Lokasi Pedagang Kaki Lima; (10) Izin Usaha Pnyelenggaraan Pondokan; (11) Izin Perhelatan dan Keramaian Sosial; (12) Izin Pertunjukan/Huburan; (13) Izin Tempat Usaha Skala Kecil; (14) Izin Salon; (15) Izin Perahu Kecil; (15) SIUP Usaha Mikro; (16) SIUP Usaha Kecil; (17) SIUP Usaha Menengah; (18) SIUP Usaha Besar; (19) Izin Pertambangan Golongan C; (20) Surat izin Pendirian SPBU; (21) Surat Izin Perternakan; (22) Tanda Daftar Perusahaan Mikro; (24) Tanda Daftar Perusahaan Kecil; (25) Tanda Daftar Perusahaan Menengah; (26) Tanda Daftar Perusahaan Besar; (27) Tanda Daftar Industri; (28) Izin Pemasangan Reklame; (29) Izin Peralihan/Pemindahan Hak atas Tanah; (30) Izin Tempat Usaha Burung Walet; (31) Izin Pasar Malam; (32) Izin Lokasi Transmigrasi. b)Kewenangan Rekomendasi Jenis kewenangan rekomenasi seperti: (1) Rekomendasi Proposal Bantuan; (2) Surat Rekomendasi Penelitian Mahasiswa; (3) Surat Keterangan Pindah Domisili; (4) Penandatangan Kartu Pencari Kerja; (5) Pembuatan Rekomendasi DP3; (6) Pemberian rekomendasi izin kursus/ketrampilan; (7) Pemberian rekomendasi izin pendirian serta pencabutan izin satuan pendidikan dasar, satuan pendidikan menengah, dan satuan penyelenggaraan pendidikan non formal yang ada di lingkungan wilayah Kecamatan; (8) Pemberian rekomendasi izin praktik tenaga kesehatan tertentu; (9) Pemberian rekomenrdasi izin usaha jasa konstruksi skala Kecamatan; dan, (10) Pemberian rekomendasi pembangunan kawasan perumahan oleh Pihak Swasta. c)Kewenangan Koordinasi Jenis kewenangan koordinai seperti (1) Koordinasi dalam penyelenggaraan pendidikan; (2) Koordinasi pengawasan pendayagunaan bantuan sarana dan prasarana pendidikan; (3) Koordinasi dalam penanggulangan bencana alam berskala Kecamatan; (4) Koordinasi pelaksanaan program pemerintahan di bidang perumahan; (5) Koordinasi penyebarluasan rencana tata ruang kawasan strategis di wilayah Kecamatan bersangkutan; (6) Koordinasi dalam rangka penyusunan dan penetapan rencana tata ruang wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK); (7) Koordinasi pelaksanaan pembangunan dalam wilayah Kecamatan sesuai program pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten dan kawasan strategis Kabupaten; (8) Koordinasi penertiban jasa titipan untuk kantor agen dalam wilayah Kecamatan; (9) Koordinasi dalam rangka penetapan status tanah ulayat/tanah adat; dan, (10) Koordinasi dalam rangka perancangan pembangunan transmigrasi, serta pembinaan dan penyelenggaraan sistem informasi ketransmigrasian di wilayah kerjanya. d)Kewenangan Pembinaan Jenis kewenangan pembinaan seperti: (1) Pembinaan dan penilaian pekerjaan Kepala SD, SLTP dan SLTA; (2) Pembinaan penyuluhan KB; (3) Pembinaan Kader Pengelola Kegiatan Bina Keluarga; (4) Pembinaan kegiatan Karang Taruna; (5) Pembinaan Pejuang dan Keluarga Pejuang Kemerdekaan RI; (6) Pembinaan dan Pengembangan Kelompok Kesenian, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga; (7) Pembinaan Penyelenggaraan Perpusatakaan Desa/Kelurahan; (8) Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa; (9) Pembinaan Penyusunan APBDesa; (10) Pembinaan Pemilihan Kepala Desa; Pembinaan Bimbingan Teknis Pendataan Monografi Desa. e)Kewenangan Pengawasan Jenis kewenangan pengawasan seperti: (1) Pengawasan Rumah Liar; (2) Pengawasan Pangkalan Minyak Tanah; (3) Pengawasan Proyek-proyek pembangunan yang ada di wilayah; (4) Pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang pendidikan skala Kecamatan; (5) Pengawasan pelayanan Pusat Kesehatan Masyarakat; (6) Pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundng-undangan daerah di bidang Jalan; (7) Pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan daerah di bidang pengairan; (8) Pengawasan pemanfaatan bangunan; (9) Pengawasan tehadap penetapan peraturan daerah tentang penataan ruang; dan (10) Pengawasan terhadap pelaksanaan perencanaan pembangunan berskala Kecamatan. f)Kewenangan Fasilitasi Jenis kewenangan fasilitasi seperti: (1) Memfasilitasi peningkatan peran serta masayarakat di bidang pendidikan; (2) Memfasilitasi penyelenggaraan upaya kesehatan lingkungan dan pemanfaataan dampak pembangunan terhadap kesehatan lingkungan; (3) Memfasilitasi perencanaan umum, perencanaan teknis, pembangunan dan pemeliharaan jalan Kabupaten, jalan strategis Kabupaten, jalan kota dan jalan desa; (4) Memfasilitasi penyusunan Perda Kabupaten/Kota di bidang Pengairan; (5) Memfasilitasi penyusunan Perda dan sebagai pelaksana Perda Kabupaten dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman, bangunan gedung bersama masyarakat; (6) Memfasilitasi penyusunan rencana tata ruang kawasan perkotaan, termasuk penyusunan rencana detail tata ruang Kecamatan; (7) Memfasilitasi pengendalian dampak pencemaran air; (8) Memfasilitasi penentuan batas wilayah desa dan Kelurahan; (9) Memfasilitasi musyawarah antar pihak yang bersengketa terjadi dalam wilayah Kecamatan untuk mendapatkan kesepakatan para pihak; dan, (10) Memfasilitasi pelaksanaan pemantauan daerah rawan bencana. g)Kewenangan Penetapan Jenis kewenangan penetapan seperti: (1) Pelantikan Kepala SD Negeri; (2) Pelantikan dan Pengambilan Sumpah Lurah/Kepala Desa; (3) Pelaksanaan Uji Tertulis Carik Desa; (4) Penetapan persyaratan pemberian izin untuk pembangunan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya air yang terletak di dalam satu wilayah Kecamatan; (5) Penetapan Usulan Rencana Pembangunan skala Kecamatan; (6) Penetapan Hasil Klasifikasi dan Profil Keluarga Sejahtera; (7) Penetapan Kebijakan Teknis operasional program dan anggaran bantuan bagi koperasi dan lembaga keuangan di wilayah Kecamatan; (8) Penetapan dan penegasan batas wilayah Desa/Kelurahan dalam wilayahnya; (9) Penetapan sasaran areal pengelolaan sumber daya alam; dan, (10) Penetapan sasaran areal dan lokasi kegiatan pengembangan lahan, rehabilitasi lahan kritis dan konservasi perairan. h)Penyelenggaraan Jenis kewenangan penyelenggaraan seperti (1) Penyelenggaraan Pelayanan Persampahan; (2) Penyelenggaraan Pengangkutan Sampah dari Sumbernya; (3) Penyelenggaraan Pelayanan Administrasi Penduduk (Kartu TandaPenduduk, Kartu Keterangan Bertempat Tinggal, Kartu Identitas Penduduk Musiman, Kartu Keluarga, Akte Kelahiran, Surat Keterangan Kurang Mampu, Surat Keterangan Ahli Waris, Surat Keterangan Bersih Diri, Surat Dispensasi Nikah, Surat Keterangan Musibah/Kebakaran); (4) Penyelengngaraan Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat; (5) Penyelanggaraan Pelayanan Parkir; (6) Penyelengaraan Pelayanan Pasar; (7) Penyelenggaraan Pengujian Kendaraan Bermotor; (8) Penyelenggaraan Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran; (9) Penyelenggaraan Pelayanan Peta Wilayah Kecamatan; (10) Penyelenggaraan penyuluhan KB. i) Kewenangan lain yang Dilimpahkan Jenis kewenangan lain yang dilimpahkan seperti: penyelenggaraan urusan dan kegiatan bidang-bidang tertentu, misalnya bidang perindustrian, perdagangan, perkebunan, kehutanan, pertanian, penerangan, pengembangan otonomi daerah, politik dalam negeri, pemuda dan olah raga, ketenagakerjaan, sosial, urusan pemberdayaan perempuan, lingkungan hidup, penataan ruang, sarana dan prasarana perkotaan dan pedesaan, pekerjaan umum, pendidikan, sesuai tuntutan kebutuhan masyarakat, sepanjang bukan kewenangan perangkat daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PELIMPAHAN KEWENANGAN TUGAS UMUM PEMERINTAHAN DAERAH: Berdasarkan peraturan perundang-undangan, terdapat dua kategori kewenangan. Dalam Pasal 15 ayat 1 dan 2 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan, disebutkan bahwa tugas dan wewenang Kecamatan yang dilimpahkan oleh Bupati/Walikota meliputi: 1.Tugas Umum Pemerintahan Urusan Tugas umum pemerintahan yang meliputi kewenangan sebagai berikut: a.Mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat; upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum; penerapan penegakan peraturan perundang-undangan; pemeliharan prasarana dan fasilitas pelayanan umum; dan, penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat Kecamatan. b.Membina penyelenggaraan pemerintahan Desa dan/atau Kelurahan. c.Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau belum dapat dilaksanakan oleh pemeringtahan Desa atau Kelurahan. 2.Urusan Otonomi Daerah Kewenangan atas urusan otonomi daerah meliputi antara lain: perizinan, rekomendasi, koordinasi, pembinaan, pengawasan, fasilitasi, penetapan, penyelenggaraan dan kewenangan lain yang dilimpahkan (ayat 2). Berdasarkan dua kategori kewenangan di atas, ada Kabupaten/Kota yang mengatur kedua wewenang Kecamatan tersebut dalam satu peraturan Bupati/Walikota. Ada pula Kabupaten/Kota yang membuat peraturan terpisah, masing-masing satu peraturan untuk satu wewenang Kecamatan berdasarkan kategori di atas. Abdul Malik Gismar dkk. Telah melakukan studi dengan judul, Studi Kapasitas Kecamatan di Provinsi Kalimantan Tengah (Jakarta: Partnership for Governance Refom, 2010). Studi ini telah mengidentifikasi pelaksanaan pelimpahan kewenangan atas sebagian urusan otonomi daerah pada Kecamatan di 14 Kabupaten/Kota di Kalimantan Tengah, yakni (1) Kota Pelangka Raya; (2) Kabupaten Kotawaringin Timur; (3) Kabupaten Kapuas; (4) Kabupaten Katingan; (5) Kabupaten Lamandau; (6) Kabupaten Pulang Pisau; (7) Kabupaten Sukamara; (8) Kabupaten Barito Timur; (9) Kabupaten Barito Utara; (10) Kabupaten Barito Selatan; (11) Kabupaten Gunung Mas; (12) Kabupaten Murung Raya; (13) Kabupaten Seruyan; dan, (14) Kabupaten Kota Waringin Barat. Studi Malik Gismar dkk., ini menunjukkan Kabupaten/Kota yang menjadikan dua kategori wewenang tersebut dalam satu regulasi yakni Kota Palangka Raya, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Katingan, Kabupaten Lamandau, Kabupaten Pulang Pisau, dan Kabupaten Sukamara. Sementara daerah yang memisahkan 2 (dua) kategori tersebut dalam dua peraturan adalah Kabupaten Kapuas. Bahkan, untuk Kota Palangka Raya, Peraturan Walikota mengatur pelimpahan kewenangan Walikota kepada masing-masing Kecamatan secara berbeda-beda dengan nomor Lampiran terpisah. Studi Malik Gismar dkk., juga menyimpulkan bahwa rata-rata peningkatan kewenangan jenis urusan pada kategori urusan otonomi daerah lainnya jauh lebih sedikit dibandaing jumlah pelimpahan urusan tugas umum pemerintahan. Rata-rata jumlah pembagian kewenangan antara Kecamatan dan Kabupaten untuk kategori urusan otonomi daerah lainnya ini masih sangat minim, yakni hanya mencapai 20%. Kabupaten Gunung Mas dan Kabupaten Kotawaringin Barat memiliki presentase pembagian kewenangan pada kategori ini yang cukup tinggi, yakni 12% dan 7%. Bahkan terdapat beberapa Kabupaten yang tidak membagi kewenangan dalam dua kategori tersebut di atas, seperti Kabupaten Seruyan, Kabupaten Lamandau, Kabupaten Barito Utara, Kabupaten Murung Raya dan Kabupaten Barito Selatan. Di lain fihak, Studi ini menunjukkan, pembagian kewenangan antara Kabupaten dan Kecamatan untuk kategori urusan tugas pemerintahan umum rata-rata sudah memadai. Di Kabupaten Gunung Masa, misalnya, sekitar 50% jenis urusan tugas umum pemerintahan telah dilimpahkan kewenangannya kepada Kecamatan. Sementara itu, Kabupaten Pulang Pisau mencapai 38% & dan Kabupaten Kapuas mencapai 25%.

PERUBAHAN FUNGSI DAN KEDUDUKAN KECAMATAN DALAM ERA REFORMASI

Fungsi dan kedudukan Kecamatan telah mengalami perubahan-perubahan dari masa ke masa. Fungsi dan kedudukan Kecamatan mengalami pergeseran yang sangat berarti sesuai dengan konteks politik dan legal, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Kecamatan memiliki fungsi dan kedudukan yang sangat kuat, karena Kecamatan diakui sebagai wilayah administratif dan sebagai kepala wilayah Camat juga menjalankan tugas dekonsentrasi. Dalam kedudukan yang seperti ini, Kecamatan memiliki peran yang strategis karena menjadi ujung tombak dari banyak kegiatan pemerintahan. Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 ini memberi makna bahwa “wilayah administrasi” adalah lingkungan kerja perangkat Pemerintah yang menyelenggarakan pelaksanaan tugas pemerintah umum di daerah. Urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang meliputi bidang-bidang ketentraman dan ketertiban, politik, koordinasi, pengawasan, dan urusan pemerintahan lainnya yang tidak termasuk dalam tugas sesuatu instansi dan tidak termasuk urusan rumah tangga Daerah. Di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1979 peran dan fungsi Kecamatan mengalami perubahan yang sangat mendasar. Kecamatan bukan lagi perangkat dekonsentrasi tetapi berubah menjadi perangkat daerah. Camat sebagai perangkat daerah berperan membantu Bupati/Walikota menjalankan tugas desentralisasi dan tugas dekonsentrasi kemudian dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Camat tidak lagi memiliki kewenangan hirarkis terhadap Kepala Desa, karena Desa diperlakukan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang otonom berbasis adat dan tradisi. Sekitar 5 tahun kemudian Pemerintah dan DPR-RI melakukan revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kecamatan tidak lagi merupakan suatu wilayah kekuasaan pemerintahan, melainkan sebagai satuan wilayah kerja atau pelayanan. Dalam konteks ini Kecamatan kini merupakan perangkat daerah Kabupaten/Kota yang setara dengan Dinas dan Lembaga Teknis Daerah, bahkan setara dengan Kelurahan. Camat semakin menjadi “perpanjangan tangan” Bupati/Walikota. Pergeseran ini membawa dampak cukup serius mengingat fungsi dan kedudukan dewasa ini menjadikan kewenangan-kewenangan yang dimilikinya menjadi terbatas. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintahan Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan. Peran dan fungsi Kecamatan mengalami pergeseran yang sangat berarti sesuai dengan konteks politik dan legal, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Kecamatan memiliki kedudukan yang sangat kuat, karena Kecamatan diakui sebagai wilayah administratif dan sebagai kepala wilayah Camat juga menjalankan tugas dekonsentrasi. Dalam kedudukan yang seperti ini, Kecamatan memiliki peran yang strategis karena menjadi ujung tombak dari banyak kegiatan pemerintahan. Dalam perjalanan sejarah pemerintahan di Indonesia, kedudukan Kecamatan telah mengalami perubahan-perubahan dari masa ke masa. Pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong oleh MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) telah ditugaskan untuk meninjau kembali Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Penugasan tercantum di dalam Ketetapan MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian Otonomi Seluas-luasnya kepada Daerah. Sebagai pelaksanaan dari penugasan MPRS tersebut, Pemerintah bersama-sama DPR Gotong Royong mengeluarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan tidak berlakunya berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), antara lain Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Kemudian pada Tahun 1974, Pemerintah dan DPR baru berhasil menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 ini memberi makna bahwa “wilayah administrasi” adalah lingkungan kerja perangkat Pemerintah yang menyelenggarakan pelaksanaan tugas pemerintah umum di daerah. Urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang meliputi bidang-bidang ketentraman dan ketertiban, politik, koordiansi, pengawasan dan urusan pemerintahan lainnya yang tidak termasuk dalam tugas sesuatu instansi dan tidak termasuk urusan rumah tangga Daerah. Setiap Wilayah dipimpin oleh seorang Kepala Wilayah (Pasal 76). Berdasarkan Pasal-pasal di atas, dan mengacu pada Pasal 80, dapat disimpulkan bahwa kedudukan Camat dalam pemerintahan ditempatkan sebagai Kepala Wilayah dan Wakil Pemerintah Pusat. Sebagai Kepala Wilayah, Camat merupakan Penguasa Tunggal di bidang pemerintahan dalam wilayahnya dalam arti memimpin pemerintahan mengkoordinasikan pembangunan dan membina kehidupan masyarakat di segala bidang. Adapaun wewenang, tugas dan kewajiban Camat sebagai Kepala Daerah sesuai dengan ketentuan Pasal 81, yakni: a.Membina ketenteraman dan ketertiban di wilayahnya sesuai dengan kebijaksanaan ketenteraman dan ketertiban yang ditetapkan oleh Pemerintah. b.Melaksanakan segala usaha dan kegiatan di bidang pembinaan ideologi, Negara danpolitik dalam negeri serta pembinaan kesatuan Bangsa sesuai dengan kebijaksanaanyang ditetapkan oleh Pemerintah. c.Menyelenggarakan koordinasi atas kegiatan-kegiatan Instansi-instansi Vertikal dan antara Instansi-instansi Vertikal dengan Dinas-Dinas Daerah, baik dalam perencanaanmaupun dalam pelaksanaan untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesarbesarnya. d.Membimbing dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan Daerah. e.Mengusahakan secara terus menerus agar segala peraturan perundang-undangan danPeraturan Daerah dijalankan oleh Instansi-instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerahserta pejabat-pejabat yang ditugaskan untuk itu serta mengambil segala tindakan yangdianggap perlu untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintah. f.Melaksanakan segala tugas pemerintahan yang dengan atau berdasarkan peraturanperundang-undangan diberikan kepadanya. g.Melaksanakan segala tugas pemerintah yang tidak termasuk dalam tugas sesuatuInstansi lainnya. Di dalam Penjelasan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, lebih terinci diuraikan hal ikhwal Kepala Wilayah, termasuk Camat. Diuraikan bahwa Kepala Wilayah dalam semua tingkat sebagai wakil Pemerintah Pusatadalah Penguasa Tunggal di bidang pemerintahan di daerah, kecuali bidang pertahanan dan keamanan, bidang peradilan, bidang luar negeri dan bidang moneter dalam arti mencetak uang, menentukan nilai mata uang dan sebagainya. Ia berkewajiban untuk memimpin penyelenggaraan pemerintahan, mengkoordinasikan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta membina kehidupan masyarakat dalam segala bidang. Dengan perkataan lain, Penguasa Tunggal adalah Administrator Kemasyarakatan. Di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1979 peran dan fungsi Kecamatan mengalami perubahan yang sangat mendasar. Kecamatan bukan lagi perangkat dekonsentrasi tetapi berubah menjadi perangkat daerah. Camat sebagai perangkat daerah berperan membantu Bupati/Walikota menjalankan tugas desentralisasi dan tugas dekonsentrasi kemudian dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Camat tidak lagi memiliki kewenangan hirarkhis terhadap Kepala Desa, karena Desa diperlakukan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang otonom berbasis adat dan tradisi. Perubahan politik kekuasaan dan pemerintahan mengambil tempat sejak Indonesia memasuki masa/era reformasi pada tahun 1997/98. Gelombang reformasi dan demokratisasi di Indonesia telah menjadikan aspek pemerintahan, dunia usaha dan masyarakat madani sebagai sasaran reformasi dan demokratisasi. Khusus pemerintahan sebagai sasaran reformasi dan demokratisasi, kita mengenal konsep reformasi birokrasi (RB). Kecamatan diharapkan dapat memiliki peran dalam reformasi birokrasi (RB) dan pelayanan publik sebagai antara lain: 1.Mesin perubahan, pengerak dan menggerakkan perubahan. 2.Quick Wins Pemerintah Kabupaten/Kota atau pelaku langkah inisiatif yang mudah dan cepat dicapai yang mengawali pelaksanaan suatu program dalam reformasi birokrasi. 3.Pengendali dan Pusat Pelayanan Wilayah Kecamatan. 4.Pengendali berbagai unit pelayanan di Kecamatan dan melaksanakan pelayanan berdasarkan pelimpahan kewenangan dari Bupati/Walikota. Pada awal gelombang reformasi dan demokratisasi di Indonesia (akhir 1990an), salah satu keputusan politik sangat strategis untuk pelaksanaan otonomi daerah dan berdampak terhadap kedudukan Kecamatan adalah Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Ketetapan MPR-RI di atas, penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada Daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Di samping itu, penyelenggaraan Otonomi Daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran-serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah. Sebagai tindak lanjut Ketetapan MPR-RI dimaksud, Pemerintah bersama DPR-RI menerbitkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah yang dijadikan pedoman dalam Undang-undang ini sebagai berikut : 1.Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah. 2.Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab. 3.Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, sedang Otonomi Daerah Propinsi merupakan otonomi yang terbatas. 4.Pelaksanaan otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar-Daerah. 5.Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan karenanya dalam Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi Wilayah Administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan Daerah Otonom. 6.Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. 7.Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah. 8.Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ini memaknakan Kecamatan adalah wilayah kerja Camat sebagai perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Menurut Pasal 66, Kecamatan merupakan perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang dipimpin oleh Kepala Kecamatan, disebut Camat. Camat diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat. Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota. Camat bertanggungjawab kepada Bupati dan Walikota. Pembentukan Kecamatan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Di dalam Undang-undang ini juga ditetapkan bahwa Kelurahan merupakan perangkat Kecamatan yang dipimpin oleh Kepala Kelurahan, disebut Lurah. Lurah diangkat dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat oleh Walikota/Bupati atas usul Camat. Lurah menerima pelimpahan kewenangan pemerintahan dari Camat, dan bertanggungjawab terhadap Camat. Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 ini, kedudukan Kecamatan tidak lagi sebagai Kepala Wilayah sebagaimana ditetapkan di dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1974. Kedudukan Kecamatan menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 sebagai Wilayah Administrasi dalam rangka dekonsentrasi, menurut undang-undang ini kedudukannya diubah menjadi perangkat Daerah Kabupaten atau Daerah Kota. Paradigma baru penyelenggaraan pemerintahan telah membawa konsekuensi bagi lembaga pemerintah di tingkat Pusat dan Daerah, termasuk keberadaan lembaga Kecamatan. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini mengamanatkan untuk memberikan otonomi yang luas, nyata, bertanggungjawab dan dinamis. Dalam hal ini daerah diberikan kemandirian untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan. Untuk meningkatkan pelayanan lebih dekat dengan masyarakat, maka ditempuh pelimpahan kewenangan oleh Bupati/Walikota kepada Camat. Namun, dalam kenyataannya, pelimpahan kewenangan itu tidak otomatis dapat meningkatkan pelayanan prima di Kecamatan. Yang terjadi justru menimbulkan kesenjangan operasional dikarenakan kapasitas dan kompetesni inti Camat tidak sepadan dengan kewenangan yang diterima. Sebuah Studi Pelayanan Prima di Kecamatan dan Kelurahan di Kota Bandung oleh Kantor Litbang dan Pusat Kajian dan Diklat Peratur I LAN-RI, tahun 2002, telah menunjukkan realitas obyektif semecam itu. Studi ini kemudian menyarankan untuk meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat, agar ditempuh, antara lain penataan kelembagaan Kecamatan sesuai dengan kompetensi yang baru, dan meningkatkan SDM di Kecamatan. Masih dalam era reformasi, sekitar 5 tahun kemudian Pemerintah dan DPR-RI melakukan revisi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kebijakan otonomi daerah yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dalam perspektif pembangunan negara pada hakikatnya adalah memberikan kesempatan yang luas bagi para pemimpin daerah untuk membangun wilayahnya sesuai dengan kebutuhan daerah yang responsif terhadap kepentingan masyarakat. Dalam artian ini, birokrasi pemerintahan di daerah dituntut untuk meningkatkan kualitas layanannya terhadap publik melalui pengembangan sistem manajemen pemerintahan yang efektif dan transparan. Implikasinya adalah bahwa pengorganisasian atau penyelenggaraan pemerintahan di daerah sebagai ujung tombak pembangunan harus sejalan dengan tuntutan perubahan. Salah satu institusi yang mengalami dampak mendasar akibat pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah lembaga Kecamatan. Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, Kecamatan tidak lagi merupakan suatu wilayah kekuasaan pemerintahan, melainkan sebagai satuan wilayah kerja atau pelayanan. Dalam konteks ini Kecamatan kini merupakan perangkat daerah Kabupaten/Kota yang setara dengan Dinas dan Lembaga Teknis Daerah, bahkan setara dengan Kelurahan. Hal ini dinyatakan secara jelas dalam Pasal 120 ayat (2) dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut, yakni: Perangkat daerah Kabupaten/Kota terdiri atas Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan dan Kelurahan. Kedudukan Kecamatan, dipimpin oleh Camat, semakin dipertegas sebagai perangkat daerah Kabupaten/Kota. Camat semakin menjadi “perpanjangan tangan” Bupati/Walikota. Pergeseran ini membawa dampak cukup serius mengingat kedudukannya dewasa ini menjadikan kewenangan-kewenangan yang dimilikinya menjadi terbatas. Padahal dalam posisinya sebagai garda depan dan simpul pelayanan masyarakat, seharusnya Camat memiliki kewenangan-kewenangan yang cukup sehingga memungkinkan bertindak cepat dan tepat. Karena dialah yang lebih mengetahui persoalan-persoalan masyarakat setempat. \ Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ini, kewenangan Atributif Camat (Pasal 126 Ayat 3), menyelenggarakan tugas umum pemerintahan: 1.Mengkoordinir kegiatan pemberdayaan masyarakat. 2.Mengkoordinir Tramtib. 3.Mengkoordinir penerapan peraturan perundang-undangan. 4.Mengkoordinir pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum. 5.Mengkoordinir kegiatan pemerintahan di tingkat Kecamatan. 6.Membina pemerintahan Desa/Kelurahan. 7.Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi tugasnya atau yang belum mampu dilaksanakan Desa/Kelurahan. Di luar kewenangan atributif Camat juga memproleh pelimpahan sebagian kewenangan Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah.Kecamatan tetap diperlakukan sebagai perangkat daerah dan karena itu, keberadaan dan fungsinya sangat tergantung pada daerah, sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Sebagai perangkat daerah, Kecamatan semestinya dapat difungsikan sebagai salahsatu agen pelayanan atau menjadi intermediasi yang penting dalam hubungan antara warga dengan Kabupaten/Kota. Di daerah tertentu yang memiliki lingkungan geografis yang luas dan akses terhadap pusat pemerintahan di Kabupaten sangat sulit Kecamatan dapat menjadi salah satu agen pelayanan publik dan menjadi intermediaries dalam hubungan antara pemerintah dengan warganya. Namun, sayang keberadaan Kecamatan selama ini belum memperoleh apresiasi yang wajar dan dimanfaatkan oleh Kabupaten/ Kota memfasilitasi pelayanan kepada warganya. Sedangkan, potensi yang tersedia di Kecamatan sebenarnya dapat diberdayakan untuk menjadi salah satu pilihan bagi Kabupaten/Kota untuk memperbaiki kinerja pelayanan dan pemerintahannya. Bupati/Walikota dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada Camat untuk memberi pelayanan kepada warganya. Jika didasarkan pada Pasal 126 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, maka tugas utama Camat adalah menyelenggarakan pemerintahan umum berdasarkan kewenangan menangani sebagian urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepadanya oleh Bupati/Walikota dan ditambah dengan tugas umum pemerintahan yang telah diuraikan dalam Pasal 126 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Artinya, tugas pokok Camat tetap melaksanakan kewenangan yang dilimpahkan oleh Bupati/Walikota dan disertai dengan tugas umum pemerintahan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ini, fungsi pokok yang diemban Kecamatan sebagai unit administrasi, diarahkan untuk melaksanakan pelimpahan tugas dan wewenang dari Pemerintah Kabupaten/Kota yang terkait dengan otonomi daerah. Selain itu, melalui Camat, Kecamatan juga dilekati dengan sejumlah fungsi umum penyelenggaraan pemerintahan seperti koordinasi, pembinaan dan pelaksanaan pelayanan masyarakat. Secara yuridis formal, fungsi ini tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pasal 126, ayat (2) dan ayat (3). Mengenai penugasan yang terkait dengan otonomi daerah, ayat (2) dari regulasi ini menyebutkan bahwa “Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang Bupati atau Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah”. Dari klausul ini sangat jelas bahwa secara yuridis memang ada fungsi Kecamatan yang digunakan untuk mengemban pelimpahan kewenangan terkait dengan urusan otonomi daerah. Pada level operasional, penerjemahan pelimpahan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah haruslah dilakukan secara detail. Dengan demikian, karakter wewenang dilimpahkan idealnya telah didefinisikan dari segi fungsi kewenangan, pembiayaan kewenangan dan mekanisme akuntabilitas kewenangan. Hal ini untuk menghindari pelimpahan tugas yang berlebihan dari instansi di level Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Kecamatan serta untuk menciptakan kinerja Kecamatan yang efektif dan efisien sesuai dengan fokus dari penugasannya. Mengacu pada Pasal 126, Ayat (2) diatas, pelimpahan kewenangan tersebut selanjutnya akan memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi Camat dan Kecamatan untuk mengoperasionalisasikan fungsi-fungsi yang harus diperankannya. Namun dalam kenyataannya, operasionalisasi fungsi-fungsi dimaksud belumlah dijalankan sebagaimana mestinya. Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, IPB, dengan dukungan dana dari DRSP-USAID pada 2008 mengadakan studi “Institution and Kecamatan Governance: Review on Implementation and Recommendation”. Studi ini mengambil kasus-kasus pemerintahan daerah di enam Kabupaten di lima Provinsi dengan unit analisis Kecamatan. Studi memfokuskan pada Kecamatan di wilayah Kabupaten (rural-rural) dengan pertimbangan bahwa di kawasan inilah institusi Kecamatan menghadapi dilema dan dinamika ketata-pemerintahan yang jauh lebih kompleks bila dibandingkan dengan daerah kota (urban-urban). Studi di lima Kabupaten ini menemukan bahwa jikalaupun ada pelimpahan kewenangan, maka pendelegasian kewenangan itu tidak disertai dukungan anggaran, SDM dan prasarana yang mencukupi, sehingga kelembagaan inipun akhirnya tidak berfungsi sesuai harapan. Secara ringkas beberapa situasi dihadapi Camat dapat dideskripsikan sebagai berikut: 1.Kewenangan tetap berada di tangan Bupati dan didistribusikan secara proporsional kepada Dinas-Dinas Teknis sebagai SKPD pendukung/kelengkapan organisasi pemerintahan Bupati. Camat dan Kecamatan tidak dapat berbuat banyak untuk melakukan fungsinya, sekalipun di wilayahnya ditemukan kekosongan intervensi dari Dinas Teknis, karena kewenangan tersebut tidak melimpah kepadanya. 2.Tidak ada political will ataupun sekedar goodwill dari Bupati untuk mengalihkan sebagian kewenangan dinas yang tidak efektif kepada Camat/Kecamatan. Terdapat beragam alasan mengapa delegated authority ini melimpah kepada Camat. Alasan-alasan tersebut merentang dari alasan politis-praktis hingga alasan teknis seperti kelegawaan Dinas dalam membagi tugasnya kepada Kecamatan. 3.Kalaupun ada kewenangan yang dilimpahkan ke Kecamatan sebagaimana dijumpai pada studi kasus di Kabupaten Sambas di mana seratusan kewenangan telah dilimpahkan ke Camat, namun manakala pendanaan tidak menyertainya maka ruang keberfungsian Kecamatan pun tidak dapat ditingkatkan. Lebih jauh diuraikan oleh Studi ini, secara faktual kewenangan yang dimiliki oleh Camat dan Kecamatan pada saat ini (masa diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 Taunh 2004) hanya memberikan “ruang bermain” sangat sempit dan terbatas kepada Camat untuk berperan maksimal bagi publiknya. Kewenangan-kewenangan itu, meskipun ditemukan beragam di enam Kabupaten studi, tetapi sangat jelas mengindikasikan bahwa otoritas Camat hanya berkisar pada fungsi-fungsi pelayanan yang sangat marjinal dan secara politis lokal amat sangat tidak prestisius. Kewibawaan Camat pada masa diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 saat ini, hanyalah ditopang oleh kewenangan untuk membuat rekomendasi kependudukan (misal: surat miskin, surat keterangan untuk memperoleh izin gangguan, izin mendirikan bangunan, dan sejenisnya) ke Kabupaten, untuk pembuatan KTP, surat cuti dan distribusi gaji bagi pegawai Kecamatan. Semua Kecamatan dalam studi tetaplah berada pada gambaran memperihatinkan. Salah satu kendala yang dihadapi Camat dan Kecamatan untuk bisa berperan lebih luas melalui penggunaan Pasal 126 ayat 2 Undang_undang Nomor 32 TAhun 2004 adalah ketidakadaan goodwill secara politis dari Bupati, sebagai akibat adanya “kekhawatiran politis” akan hilangnya sebagian kekuasaan Bupati (di mata publik) bila kewenangannya melimpah kepada Camat. Secara politis kehilangan kekuasaan ini berpotensi mengancam posisi politis Bupati manakala kewibawaan dan kharisma politis telah bergeser ke Kecamatan sebagai akibat pelimpahan kewenangan yang berlebihan. Oleh karena itu, political will untuk merealisasikan pasal 126 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 di manapun studi ini dilakukan hampir pasti tidak akan pernah dijumpai. Secara sosiologis penguatan kewenangan akan selalu berdampak pada penguatan insentif politik yang besar bagi Camat dan sebaliknya, tindakan tersebut jelas disinsentif secara politis bagi Bupati yang masih menjalankan pemerintahan di daerahnya. Perlu dicatat disini baik Bupati maupun Camat sekalipun berbeda fungsi dan peran secara peraturan perundang-undangan yang berlaku, namun dalam pandangan publik mereka adalah figur-figur publik yang memiliki kharisma politik yang boleh setera. Sekali saja Camat memperoleh kesempatan untuk memperkuat posisinya via pelimpahan kewenangan, maka Bupati/Walikota akan segera kehilangan kekuasaan politisnya di mata publik. Dengan batasan-batasan struktural dan psikologis sangat ketat seperti itu, maka segala macam bentuk inovasi Kecamatan yang diharapkan muncul di permukaan sama sekali tidak akan pernah muncul apalagi berkembang. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terutama ketentuan Pasal 126 ayat (1) dan ayat (7), Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2008 tentang Kecamatan. Peraturan Pemerintah ini merupakan pedoman dalam pembentukan dan penyelenggaraan urusan pemerintahan di Kecamatan. Peraturan Pemerintah ini juga memaknakan Kecamatan atau sebutan lain adalah wilayah kerja Camat sebagai Perangkat Daerah Kabupaten/Kota. Pembentukan Kecamatan adalah pemberian status pada wilayah tertentu sebagai Kecamatan di Kabupaten/Kota. Penghapusan Kecamatan adalah pencabutan status sebagai Kecamatan di wilayah Kabupaten/Kota. Penggabungan Kecamatan adalah penyatuan Kecamatan yang dihapus kepada Kecamatan lain. Camat atau sebutan lain adalah pemimpin dan koordinator penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kerja Kecamatan yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah, dan menyelenggarakan tugas umum pemerintahan. Kecamatan dibentuk di wilayah Kabupaten/Kota dengan Peraturan Daerah. Pembentukan Kecamatan dapat berupa pemekaran 1 (satu) Kecamatan menjadi 2 (dua) Kecamatan atau lebih, dan/atau penyatuan wilayah Desa dan/atau Kelurahan dari beberapa Kecamatan. Pembentukan Kecamatan 2 harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Kedudukan Kecamatan merupakan perangkat daerah Kabupaten/Kota sebagai pelaksana teknis kewilayahan yang mempunyai wilayah kerja tertentu dan dipimpin oleh Camat. Camat berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui sekretaris daerah. Camat menyelenggarakan tugas umum pemerintahan yang meliputi: 1.Mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat. 2.Mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum. 3.Mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan. 4.Mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum. 5.Mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat Kecamatan. 6.Membina penyelenggaraan pemerintahan Desa dan/atau Kelurahan. 7.Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan Desa atau Kelurahan. Pelaksanaan kewenangan Camat dimaksud mencakup penyelenggaraan urusan pemerintahan pada lingkup Kecamatan sesuai peraturan perundang-undangan. Pelimpahan sebagian wewenang Bupati/Walikota kepada Camat dilakukanberdasarkan kriteria eksternalitas dan efisiensi.Tugas Camat dalam mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat meliputi: 1.Mendorong partisipasi masyarakat untuk ikut serta dalam perencanaan pembangunan lingkup Kecamatan dalamforum musyawarah perencanaan pembangunan di Desa/Kelurahan dan Kecamatan; 2.Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap keseluruhan unit kerja baik pemerintah maupun swasta yang mempunyai program kerja dan kegiatan pemberdayaan masyarakat di wilayah kerja Kecamatan; 3.Melakukan evaluasi terhadap berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat di wilayah Kecamatan baik yang dilakukan oleh unit kerja pemerintah maupun swasta. 4.Melakukan tugas-tugas lain di bidang pemberdayaan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 5.Melaporkan pelaksanaan tugas pemberdayaan masyarakat di wilayah kerja Kecamatan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada satuan kerja perangkat daerah yang membidangi urusan pemberdayaan masyarakat. Tugas Camat dalam mengoordinasikan upaya peyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum dimaksud meliputi: 1.Melakukan koordinasi dengan kepolisian RI dan/atau TNI mengenai program dan kegiatan penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum di wilayah Kecamatan. 2.Melakukan koordinasi dengan pemuka agama yang berada di wilayah kerja Kecamatan untuk mewujudkan ketenteraman dan ketertiban umum masyarakat di wilayah Kecamatan. 3.Melaporkan pelaksanaan pembinaan ketenteraman dan ketertiban kepada Bupati/Walikota. Tugas Camat dalam mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan dimaksud meliputi: 1.Melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah yang tugas dan fungsinya di bidang penerapan peraturan perundang-undangan. 2.Melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah yang tugas dan fungsinya di bidang penegakan peraturan perundang-undangan dan/atau Kepolisian RI. 3.Melaporkan pelaksanaan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan di wilayah Kecamatan kepada Bupati/Walikota. Tugas Camat dalam mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan dimaksud meliputi: 1.Melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah dan/atau instansi vertikal yang tugas dan fungsinya di bidang pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum. 2.Melakukan koordinasi dengan pihak swasta dalam pelaksanaan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum. 3.Melaporkan pelaksanaan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum di wilayah Kecamatan kepada Bupati/Walikota. Tugas Camat dalam mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat Kecamatan dimaksud meliputi: 1.Melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah dan instansi vertikal di bidang penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. 2.Melakukan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan dengan satuan kerja perangkat daerah dan instansi vertikal di bidang penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. 3.Melakukan evaluasi penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat Kecamatan. 4.Melaporkan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat Kecamatan kepada Bupati/Walikota. Tugas Camat dalam membina penyelenggaraan pemerintahan Desa dan/atau Kelurahan dimaksud meliputi: 1.Melakukan pembinaan dan pengawasan tertib administrasi pemerintahan Desa dan/atau Kelurahan. 2.Memberikan bimbingan, supervisi, fasilitasi, dan konsultasi pelaksanaan administrasi Desa dan/atau Kelurahan. 3.Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kepala Desa dan/atau lurah. 4.Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perangkat Desa dan/atau Kelurahan. 5.Melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan Desa dan/atau Kelurahan di tingkat Kecamatan. 6.Melaporkan pelaksanaan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan Desa dan/atau Kelurahan di tingkat Kecamatan kepada Bupati/Walikota. Tugas Camat dalam melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan Desa atau Kelurahan dimaksud meliputi: 1.Melakukan perencanaan kegiatan pelayanan kepada masyarakat di Kecamatan. 2.Melakukan percepatan pencapaian standar pelayanan minimal di wilayahnya. 3.Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat di Kecamatan. 4.Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat di wilayah Kecamatan. 5.Melaporkan pelaksanaan kegiatan pelayanan kepada masyarakat di wilayah Kecamatan kepada Bupati/Walikota. Organisasi Kecamatan terdiri dari 1 (satu) Sekretaris, paling banyak 5 (lima) Seksi, dan Sekretariat membawahkan paling banyak 3 (tiga) subbagian. Seksi dimaksud paling sedikit meliputi: a.Seksi Tata Pemerintahan. b.Seksi Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. c.Seksi Ketenteraman dan Ketertiban Umum. Posisi Camat dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 dapat diringkas sebagai berikut: 1.Camat bukan lagi berperan sebagai Kepala Wilayah (aparat dekonsentrasi). 2.Camat berperan sebagai perangkat daerah dibantu perangkat Kecamatan. 3.Camat memimpin Kecamatan: Wilayah kerja yang membawahi Desa dan atau Kelurahan. 4.Sumber penerimaan Kecamatan berasal dari Pemerintah Daerah. 5.Camat bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris Daerah. 6.Camat dibentuk dengan Peraturan Daerah (Perda) berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008. Selain tugas-tugas di atas, Camat juga melaksanakan kewenangan pemerintahan dilimpahkan oleh Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008, di luar kewenangan atributif, Camat juga memperoleh pelimpahan sebagian kewenangan Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. Kewenangan urusan otonomi daerah dimaksud meliputi aspek: (1) Perizinan; (2) Rekomendasi; (3) Koordinasi; (4) Pembinaan; (5) Pengawasan; (6) Fasilitasi; (7) Penetapan; (8) Penyelenggaraan; dan, (9) Kewenangan lain yang dilimpahkan. Pelaksanaan kewenangan Camat mencakup penyelenggaraan urusan pemerintahan pada lingkup Kecamatan sesuai peraturan perundang-undangan. Pelimpahan sebagian kewenangan Bupati/Walikota kepada Camat dilakukan berdasarkan kriteria externalitas dan efisiensi. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang Camat diatur dengan peraturan Bupati/Walikota.Tata kerja dan hubungan kerja Camat sesuai Pasal 27 dan 28 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008, ditetapkan sebagai berikut: 1.Camat melakukan koordinasi dengan Kecamatan sekitarnya. 2.Camat mengkordinasikan unit kerja di wilayah kerja Kecamatan dalam rangka penyelenggaraan kegiatan pemerintahan untuk meningkatkan kinerja Kecamatan. 3.Camat melakukan kordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah di lingkungan wilayah kerja Kecamatan. 4.Hubungan kerja Kecamatan dengan perangkat daerah Kabupaten/Kota bersifat kordinasi tehnis fungsional dan tehnis operasional. 5.Hubungan Camat dengan instansi vertikal bersifat kordinasi tehnis fungsional. 6.Hubungan kerja Kecamatan dengan swasta, LSM, Parpol dan Ormas di wilayah kerjanya bersifat koordinasi dan fasilitasi. Dalam perencanaan Kecamatan, Camat menyusun perencanaan pembangunan sebagai tindak lanjut dari Musrenbang Desa/Kelurahan. Perencanaan pembangunan Kecamatan merupakan bagian dari perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. Perencanaan pembangunan Kecamatan dilakukan melalui Musrenbang Kecamatan secara partisipatif. Mekanisme penyusunan rencana pembangunan Kecamatan berpedoman kepada Permendagri. Kecamatan sebagai SKPD menyusun rencana anggaran satuan kerja perangkat daerah sesuai peraturan perundang-undangan. Rencana anggaran SKPD Kecamatan disusun berdasarkan rencana kerja Kecamatan. Rencana kerja Kecamatan disusun berdasarkan rencana strategis Kecamatan. Sesuai pasal 31 dan pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 ini, pembinaan dan pengawasan atas pemerintahan Kecamatan dilakukan oleh Bupati/Walikota. Setiap tahun Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan evaluasi terhadap kinerja Kecamatan yang mencakup: 1.Penyelenggaraan sebagian wewenang Bupati/Walikota yang dilimpahkan kepada Camat. 2.Penyelenggaraan tugas umum pemerintahan. 3.Penyelenggaraan tugas lainnya yang ditugaskan kepada Camat. 4.Hasil evaluasi disampaikan oleh Bupati/Walikota kepada Gubernur dengan tembusan kepada Mendagri. Pelaksanaan evaluasi berpedoman kepada Permendagri. Sebagai perangkat daerah, Kecamatan semestinya dapat memiliki peran atau difungsikan sebagai SKPD dan Pusat pelayanan publik atau menjadi intermediaries penting dalam hubungan antara warga dengan Kabupaten/Kota. Di daerah tertentu memiliki lingkungan geografis luas dan akses terhadap pusat Pemerintahan di Kabupaten sangat sulit, Kecamatan dapat menjadi Pusat Pelayanan Publik dan menjadi intermediaries dalam hubungan antara Pemerintah dengan warganya. Potensi tersedia di Kecamatan sebenarnya dapat diberdayakan untuk menjadi pilihan bagi Kabupaten/Kota untuk memperbaiki kinerja pelayanan dan Pemerintahannya. Bupati/Walikota dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada Camat untuk menyelenggarakan pelayanan publik. Kedudukan Kecamatan sekarang ini telah berubah menjadi sebagai wilayah kerja dan SKPD. Sebagai unit kerja pelayanan publik, seharusnya struktur organisasi Kecamatan dirancang untuk melakukan sejumlah tugas dilimpahkan dan urgen dilaksanakan di Kecamatan. Sebagai perangkat daerah, Kecamatan semestinya dapat memiliki peran atau difungsikan sebagai SKPD, salah satu agen pelayanan atau menjadi intermediaries penting dalam hubungan antara warga dengan Kabupaten/Kota. Di daerah tertentu memiliki lingkungan geografis luas dan akses terhadap pusat Pemerintahan di Kabupaten sangat sulit, Kecamatan dapat menjadi salah satu agen pelayanan publik dan menjadi intermediaries dalam hubungan antara Pemerintah dengan warganya. Potensi tersedia di Kecamatan sebenarnya dapat diberdayakan untuk menjadi salah satu pilihan bagi Kabupaten/Kota untuk memperbaiki kinerja pelayanan dan Pemerintahannya. Bupati/Walikota dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada Camat untuk memberi pelayanan kepada warganya. Payung hukum yang mendasari Kecamatan sebagai SKPD dan Pusat Pelayana Publik antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan dan Permendagri Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (PATEN). Payung hukum ini seharusnya dapat dijadikan instrument penekan kepada Bupati/Walikota agar mendelegasikan kewenangan pelayanan ke Kecamatan. Sebagai SKPD peran Kecamatan perlu ditempatkan pada kedudukan yang jelas sesuai dengan kebutuhan daerah. Jika dari pertimbangan kewilayahan, aksesibilitas dan transportasi keberadaan Kecamatan sebagai pusat pelayanan publik amat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan publik tertentu maka Kecamatan perlu diberdayakan sebagai Pusat Pelayana Publik pada skala Kecamatan. Untuk daerah yang ingin menjadikan Kecamatan sebagai pusat pelayanan publik maka Bupati/ Walikota wajib melimpahkan kewenangan delegatif tertentu kepada Camat. Beberapa pelayanan seperti: pengelolaan kebersihan, pemeliharaan prasarana umum, perijinan usaha kecil skala Kecamatan dan pengawasan tata ruang dapat didelegasikan kepada Kecamatan. Dalam hal ini daerah harus memberikan perangkat kelembagaan, pembiayaan, dan personel yang memadai kepada Kecamatan agar mereka dapat menjalankan perannya secara optimal. Untuk kawasan Kota yang wilayah geografisnya relatif sempit, pelayanan di kota mudah diakses, dan sarana transportasi mudah diperoleh, daerah dapat mengembangkan pelayanan satu atap dan terpusat di Kota. Dalam konteks ini daerah tidak memerlukan perangkat Kecamatan sebagai pusat pelayanan. Untuk daerah yang seperti ini keberadaan Kecamatan yang kuat menjadi tidak relevan dan karena tugas utama Camat adalah membantu Bupati/Walikota untuk melaksanakan fungsi pemerintahan umum. Pengaturan yang memberi kesempatan kepada daerah untuk mengembangkan struktur kelembagaan dan perangkat daerah yang berbeda sesuai dengan kondisi daerahnya perlu diatur dengan jelas dalam UU ini (MUCHTAR EFFENDI HARAHAP).