Rabu, 26 April 2017

PENGGERUSAN ELEKTABILITAS JOKOWI PILPRES 2019 MENDATANG

Setelah kekuatan anti Ahok berhasil menumbangkan Ahok dari penguasa tertinggi di DKI, sasaran berikutnya tentu penggerusan atau downgrade elektabilitas Jokowi. Kekuatan anti Ahok ini sesungguhnya juga anti Jokowi, menginginkan Rezim kekuasaan Jokowi tumbang pada Pilkada 2019 mendatang. Kekuatan Rezim Kekuasaan Jokowi mencakup parpol2 pendukung Ahok dlm Pilkada DKI, kelompok pengusaha/konglomerat Taipan. Dalam politik luar negeri, kekuatan Jokowi ini lebih pro Negara Cina yang Komunis. Upaya penggerusan elektabililitas Jokowi mengambil tampat dalam berbagai bentuk kegiatan, dari mulai "halohalo" interaksi individual, opini publik di media massa dan media sosial, forum publik hingga aksi demo jalanan. Kegiatan penggerusan elektabilitas ini tentu saja akan berlangsung hingga pemungutan suara Pilpres 2019 mendatang. Satu kasus penggerusan elektabilitas Jokowi adalah kekalahan Paslon Ahok-Djarot dlm Pilkada DKI 2017. Kekalahan Ahok sungguh memperkuat dan mendorong kekuatan anti Rezim Kekuasaan Jokowi semakin intens lakukan penggerusan elektabilitas Jokowi. Kasus berikutnya adalah pengadilan Ahok sebagai penista agama Islam. Kekuatan anti Jokowi menilai, Rezim Kekuasaan memihak dan intervensi terhadap proses pengadilan Ahok. Kasus ini merupakan tahap proses penggerusan elektabilitas Jokowi. Dinamika politik kekuasaan pasca Pilkada DKI 2017 sesungguhnya memasuki tahap kegiatan yang menjadikan Jokowi sebagai sasaran penggerusan elektabilitas. Upaya kekuatan anti Jokowi ini juga akan melakukan kegiatan penggerusan elektabilitas Jokowi pada beberapa perebutan kekuasaan melalui Pilkada tingkat Provinsi seperti Jawa Barat mendatang. Kini sedang terjadi konflik antara Rezim Jokowi dengan kekuatan umat Islam khususnya tentang tuntutan JPU (Jaksa Penuntut Umum) terhadap Ahok penista Agama Islam. Tuntutan JPU terhadap Terdakwa Ahok hanya setahun dengan masa percobaan dua tahun. Kekuatan umat Islam menilai, Rezim Jokowi telah intervensi dan berupaya membebaskan Terdakwa Ahok. Di lain fihak, kekuatan Islam umumnya menuntut agar Ahok dihukum minimal lima tahun. Konflik ini membawa implikasi negatif terhadap elektabilitas Jokowi. Berbagai kritik dan kecaman ditujukan kepada Jokowi dinilai telah intervensi terhadap tuntutan JPU agar Ahok terbebas dari masuk penjara dan tetap jadi Gubernur DKI hingga berakhir Oktober 2017 mendatang. Penilaian negatif ini diperkuat lagi dengan keberadaan Jaksa Agung membawahi JPU tsb adalah kader Nasdem, salah satu parpol pendukung Jokowi dlm Pilpres 2014 dan Ahok dlm Pilkada 2017 lalu. Jaksa Agung mengeluarkan pula pernyataan di publik, Ahok tidak bersalah. Maka, publik umat Islam menilai, Ia membela dan menjadi "Juru Bicara" Ahok. Reaksi umat Islam atas tuntutan JPU dimaksud antara lain dalam bentuk pernyataan dan aksi demo. Sebagai misal, massa berunjuk rasa di luar kantor Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, menyusul usainya sidang pembacaan tuntutan kasus Terdakwa Ahok. Massa demo menuntut Ahok dihukum maksimal, tidak terima JPU hanya menuntut hukuman satu tahun penjara dengan dua tahun masa percobaan. Selanjutnya, Amien Rais, Mantan Ketua PP Muhammadiyah menegaskan, kalau sampai Hakim memberikan hukuman seperti keputusan Jaksa, hukuman satu tahun dengan percobaan dua tahun, Jokowi akan memanen protes luar biasa masyarakat Indonesia."Jangan pernah berharap jadi Presiden lagi, sudah, itu keyakinan saya,” tandasnya. Reaksi juga muncul dalam aksi besar-besaran diprakarsai Front Pembela Islam (FPI). Imam Besar FPI Habib Rizieq Syihab, melalui selebaran mengajak Aksi Simpatik Kepung Sidang Ahok, 25 April 2017, tepat hari Sidang Ahok. Semua kegiatan ini akan membawa implikasi negatif terhadap elektabilitas Jokowi. Untuk meminimalkan keberhasilan upaya penggerusan elektabilitas ini, Jokowi harus mampu dan berprestasi melaksanakan urusan pemerintahan dan rakyat Indonesia. Standar kriteria penilaian mampu dan berprestasi adalah janji2 kampanye Pilpres lalu dan target capaian tiap tahun program/kegiatan tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2014-2019. Masalahnya, hingga kini sudah lewat dua tahun jadi Presiden, Jokowi belum juga bisa menunjukkan data, fakta dan angka keberhasilan urusan pemerintahan dan rakyat Indonesia. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda