Jumat, 28 April 2017

MANFAAT OPOSISI LOYALIS BAJA TERHADAP GUBERNUR BARU DKI

Di medsos beberapa hari ini beredar berita, pendukung buta Ahok populer disebut "Loyalis Basuki-Djarot (Badja)" tidak mengakui Anies-Sandi sebagai pemenang Pilkada DKI Jakarta. Mereka menuduh, kemenangan Anies-Sandi krn intimidasi, tidak fair. Terkesan masih belum bisa menerima kekalahan Ahok-Djarot. Pendukung buta Ahok ini mengusulkan perlu pemerintahan DKI Jakarta bayangan untuk menyaingi Anies-Sandi. Mereka tegaskan, dengan kekuatan hampir 42 persen pendukung Badja, bisa menjadi kekuatan penyeimbang terhadap Anies-Sandi. Mereka masih menganggap Badja itu Gubernur yang sebenarnya. NSEAS (Network for South East Asian Studies) sangat setuju atas gagasan pendukung Badja ini khusus ttg "kekuatan penyeimbang terhadap Anies-Sandi". Gagasan pendukung Badja ini sangat layak didukung agar keberadaan kekuatan pendukung Badja yg kalah pd Pilkada 2017 lalu menjadi "fungsional", "produktif" dan "bermanfaat" bagi percepatan demokratisasi di DKI. Tak perlu lagi berkepanjangan bersedih dan bahkan memfitnah Anies-Sandi. Sebagai kekuatan penyeimbang bagi Gubernur baru tentu saja eksistensi pendukung Badja akan memainkan peran oposisi yg mutlak dibutuhkan dalam alam demokrasi. Manfaat kelompok/kekuatan oposisi loyalis Badja terhadap Gubernur baru DKI Jakarta al.: 1. Gubernur baru terkontrol, takkan terjerumus dalam penyalahgunaan kekuasaan seperti Gubernur lama. 2. Gubernur baru akan terkendali, takkan memperbesar, memperkuat, dan juga memusatkan diri seperti Gubernur lama. 3. Gubernur baru takkan semena-mena, terhindar dari kemungkingan salah kebijakan/tindakan. 4. Gubernur baru akan mengetahui apa harus dilakukan, apa tidak harus dilakukan, apakah sesuai harus atau tidak harus dilakukan. 5. Kebijakan Gubernur baru akan berkualitas. Apa yg baik dan benar diperjuangkan melalui kontes politik dan diuji dalam wacana politik terbuka dan publik. 6. Kebijakan Gubernur baru akan efektif dan efesien serta betul2 mempertimbangkan kepentingan rakyat, selain negara, dunia usaha dan lingkungan. Kehadiran kekuatan oposisi membuat Gubernur baru harus selalu menerangkan dan mempertanggungjawabkan mengapa suatu kebijakan diambil, apa dasar, apa pula tujuan dan urgensi dan dengan cara bagaimana kebijakan itu akan diterapkan. Pengalaman Gubernur lama, hal ini tak dilakukan. Gubernur lama acapkali berkilah. mengaitkan suara oposisi dgn masalah pribadi, bukan masalah kelembagaan. Gubernur lama tidak berani mengakui eksistensi kekuatan oposisi. Inilah salah satu faktor kegagalan Gubernur lama selenggarakan urusan pemerintahan dan rakyat DKI. Akhirnya, Gubernur lama tumbang melalui cara demokratis dan konstitusional (Pilkada 2017). Di mana posisi kekuatan oposisi pendukung Badja dimaksud? Dalam akan demokrasi, bidang kehidupan ini mencakup: 1. Bidang pemerintahan/negara. Utk DKI, mencakup al. Pemprov DKI dan DPRD. Kekuatan oposisi pendukung Badja bisa terwakili pd fraksi2 parpol pendukung utama Ahok-Djarot pd Pilkada lalu, yaitu satu atau gabungan fraksi parpol PDIP, Golkar, Nasdem dan Hanura. Dgn posisi fraksi2 ini oposisional, maka terhindar dari pengelompokan koalisi kartel yg selama ini berlaku di dunia legislatif baik daerah maupun nasional. 2. Bidang masyarakat madani. Bisa juga pendukung Badja membangun kelompok2 kritis sebagai komponen masyarakat madani melakukan penekanan (public pressure) bahkan dlm henti aksi demo jalanan terhadap Gubernur baru. Hal dibolehkan sepanjang mematuhi peraturan perundang-undangan. 3. Bidang bidang dunia usaha. Dunia usaha busa juga menjadi oposisi dalam bentuk kritik, kecaman, protes atas kebijakan2 tertentu Gubernur baru. Sebagai misal, penolakan atas ketentuan upah minimum buruh/pekerja. Tidak ada karangan bagi pengusaha untuk mengkritik dan mengecam kebijakan Gubernur baru. Sebagaimana telah diungkapkan diatas, loyalis atau pendukung Badja, bisa menjadi kekuatan oposisi terhadap Anies-Sandi. Namun, sebelum memposisikan diri sebagai kekuatan oposisi harus ada prinsip2 ditegakkan. Setidaknya ada dua prinsip pokok. Prinsip pertama, dlm beroposisi terhadap Anies-Sandi berdasarkan data, fakta dan angka relevan dengan kebijakan Gubernur baru yg dikritisi, ditolak atau dipersoalkan. Jangan berdasarkan fiksi atau issue atau fitnah. Prinsip kedua, setelah ditunjukkan permasalahan atas kebijakan tersebut, disampaikan sebab2 permasalahan dimaksud dan sekaligus cara pemecahan terbaik (solusi). Orientasi berpikir pada problem solving dan tetap menggunakan metode ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Sementara ini, kita anggap saja kekuatan pendukung Badja menghendaki kekuatan oposisi terhadap Gubernur baru mempunyai kemampuan untuk melaksanakan prinsip2 tersebut. Kita jangan dulu apriori atas kemampuan mereka. Mari sila lanjutkan dan realisasikan gagasan penyeimbang ini demi percepatan demokratisasi di DKI. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda