Minggu, 28 Oktober 2018

PETA POLITIK KEKUASAAN MENJELANG PILPRES 2019



1. Setelah Pilpres 2014 peta politik kekuasaan terbagi dua, yakni kekuataan raksasa politik    "new NASAKOM" dan Bukan new NASAKOM.
2. Konflik terbuka dua kekuatan ini terjadi saat menjelang pergantian Wakil Gubernur DKI dan konflik kekuatan Islam politik dgn  Ahok, berlanjut kadus  Ahok nista agama Islam.

Saat ini sudah mulai muncul fenomena "Anti incumbency' yakni kekuataan rakyat oposisi dan kecewa terhadap Rezim berkuasa Jokowi semakin meningkat dan meluas. Rakyat semakin kecewa terhadap sikap dan kebijakan Rezim. Konflik manifes atau kekerasan sosial tidak terjadi .
3. Konflik terbuka dua kekuatan raksasa ini melembaga pd Pilgub DKI. Ada dua kekuatan terbelah, yakni pendukung Ahok dan bukan pendukung Ahok. Perebutan kekuasaan di DKI akhirnya dimenangkan kejuaraan raksasa bukan new NASAKOM. Konflik manifes tidak terjadi.
4. Kekalahan kekuatan raksasa new NASAKOM di DKI kemudian mengurangi kepentingan kelompok bisnis pendukung Rezim, terutama kepentingan reklamasi teluk Jakarta.
5. Pertarungan kekuasaan antar dua raksasa ini akan mengambil tempat pd saat Pilpres 2019. Peta politik kekuasaan kini sbb:

1. Pendukung kekuatan baik rakyat dan  dunia usaha terhadap raksasa new NASAKOM terus merosot. Karena antara lain:
1. Terus meningkatnya fenomena Anti incumbency'.
2. Melemahnya dukungan kekuatan ekonomi baik nasional maupun internasional.
3. Kegagalan Rezim Jokowi urus pemerintahan.

Di lain pihak, kekuatan raksasa bukan new NASAKOM semakin menguat karena mendapat dukungan kian banyak dari klas menengah perkotaan dan kekuatan Islam politik. 

Masalah: mampukan Pemerintah dlm hal ini Kepolisian menciptakan keamanan nasional dan ketertiban sosial politik sehingga tercipta suksesi kekuasaan damai dan sungguh2 berdasarkan penegakan prinsip demokrasi?

-------------
Disampaikan Muchtar Effendi Harahap (Peneliti NSEAS) pd FGD Jurnalis "Political Power Mapping Menuju 2019", Jakarta  24 Oktober 2018.

Rabu, 24 Oktober 2018

Pointer FGD jyrnalus

PETA POLITIK KEKUASAAN MENJELANG  PILPRES 2019


1. Setelah Pilpres 2014 peta politik kekuasaan terbagi dua, yakni kekuataan raksasa politik    "new NASAKOM" dan Bukan new NASAKOM. Mereka ini berbasis kekuatan partai politik.

2. Konflik terbuka dua kekuatan  raksasa  ini terjadi saat menjelang pergantian Wakil Gubernur DKI dan konflik kekuatan Islam politik dgn  Ahok, berlanjut kasus  Ahok nista agama Islam.

Saat ini sudah mulai muncul fenomena "Anti incumbency' yakni kekuataan rakyat oposisional  dan kecewa terhadap Rezim berkuasa Jokowi semakin meningkat dan meluas. Ketidakpuaan rakyat terhadap kebijakan2 pembangunan Rezim berkuasa semakin terbuka.

Konflik manifes atau kekerasan sosial politik di antara  kedua  kekuatan itu terkendali  dan tidak terjadi.

3. Konflik terbuka dua kekuatan raksasa ini melembaga pd Pilgub DKI. Juga  ada dua kekuatan terbelah, yakni pendukung Ahok dan bukan pendukung Ahok. Perebutan kekuasaan di DKI akhirnya dimenangkan kejuaraan raksasa bukan new NASAKOM. Konflik manifes tidak terjadi.

4. Kekalahan kekuatan raksasa new NASAKOM di DKI kemudian mengurangi kepentingan kelompok bisnis pendukung Rezim, terutama kepentingan reklamasi teluk Jakarta.

5. Pertarungan kekuasaan antar dua raksasa ini akan mengambil tempat pd saat Pilpres 2019. Peta politik kekuasaan kini sbb:

1. Pendukung kekuatan baik rakyat maupun   dunia usaha terhadap raksasa new NASAKOM terus merosot.

Karena antara lain:
1. Terus meningkatnya fenomena Anti incumbency'.
2. Melemahnya dukungan kekuatan ekonomi baik nasional maupun internasional.
3. Kegagalan Rezim Jokowi urus pemerintahan.

Di lain pihak, kekuatan raksasa bukan new NASAKOM semakin menguat karena mendapat dukungan kian banyak dari klas menengah perkotaan dan kekuatan Islam politik. 

Masalah: mampukan Pemerintah dlm hal ini Kepolisian menciptakan keamanan nasional dan ketertiban sosial politik sehingga tercipta suksesi kekuasaan damai dan sungguh2 berdasarkan penegakan prinsip demokrasi?

-------------
Disampaikan Muchtar Effendi Harahap (Peneliti NSEAS) pd FGD Jurnalis "Political Power Mapping Menuju 2019", Jakarta  24 Oktober 2018.

Minggu, 21 Oktober 2018

KEllGAGALAN JOKOWI DI BIDANG HAM DAN NEGARA ABSEN SAAT TERJADI PERSEKUSI



Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP
(Ketua Team Studi NSEAS)


Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM memberi catatan merah terhadap penyelesaian  pelanggaran HAM oleh Pemerintahan Jokowi.  Komnas HAM melihat janji penyelesaian konflik di era Jokowi hanya sebatas komitmen. Banyak aduan kasus pelanggaran HAM  dibiarkan mandek. Artinya, tanpa tindak lanjut yang jelas dan pengawasan yang ketat (TEMPO.CO, 18 Oktober 2018).

Laporan  Komnas HAM ini memperkuat argumentasi bahwa 4 tahun Jokowi jadi Presiden, kinerja buruk dan masih mengalami  kegagalan di bidang penegakan HAM. Tentu menjadi tidak layak lanjut sebagai Presiden.

Sebagai  standar kriteria penilaian kondisi kinerja Jokowi di bidang penegakan HAM antara lain:

1. Saat kampanye  Pilpres 2014,  Jokowi berjanji  akan menyesuaikan  pelanggaran HAM  masa lalu (Http://tribune hc.com/pemilu-201 janji-janji ham). Faktanya sudah 4 tahun menjadi Presiden,  satupun pelanggaran HAM  dimaksud  tidak diselesaikan.

 2. Melalui dokumen NAWACITA  penghormatan HAM dan penyelesaian berkeadilan  terhadap kasus2 pelanggaran HAM masa lalu. Intinya, Jokowi di samping penegakan hukum, juga berjanji akan menyelesaikan kasus2 pelanggaran HAM masa lalu. Apakah Jokowi menepati janji ini? Tidak juga !

Setelah berhasil menjadi Presiden, diterbitkan RPJMN 2015-2019,  Jokowi akan mencapai sasaran:

1. Meningkatkan kualitas penegakan hukum yg transparan, akuntabel, tidak terbeli-belit, terwujudnya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM melalui Harmonisasi dan evaluasi peraturan terkait Penegakan HAM; Optimalisasi Penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak; Pendidikan HAM.

Setelah 4  tahun jadi Presiden, berhasilkah Jokowi mencapai sasarannya di bidang HAM ini ? Tidak  juga!

2. Kondisi pelaksanaan di Indonesia ditinjau UPR (Universal Periodical Review, Dewan HAM PBB).Pd 2017, beberapa issue al.:
a. Memburuknya toleransi agama;
b. Pelanggaran HAM di Papua ;
c.  Pelaksanaan hukuman mati;
d. Penyediaan pelanggaran HAM masa lalu; dan,
e. Kekerasan terhadap perempuan, terutama kekerasan seksual.

YBHI menilai, Jokowi cenderung fokus ke bidang ekonomi dan infrastruktur. Kurang memperhatikan soal hukum dan HAM. Hal ini terlihat dari bagaimana Pemerintah saat ini menanggapi kasus2  dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu. Juga korban2 minoritas di berbagai tempat tidak bisa mendapatkan hak. Jokowi gagal dalam menuntaskan pelanggaran HAM.

3. Di dalam NAWACITA dan RPJMN 2015-2019, Jokowi berjanji akan  membentuk  Komite adhoc, bertugas mirip Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Hingga 4 tahun Jokowi berkuasa, tidak ada realisasi. Kinerja buruk.

4. Hingga tahun keempat Jokowi  sebagai Presiden,  penyelesaian kasus HAM masa lalu masih buram. Jokowi tercatat memiliki hutang untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM semisal kasus Tragedi Pembantaian Massal 1965-1966, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II, termasuk kasus tewasnya aktivis HAM, Munir.  Intinya, kinerja Jokowi urus bidang HAM buruk dan gagal.

5. Parameter persekusi dapat dijadikan kriteria penilaian kinerja Jokowi urusan penegakan HAM. Kata “Persekusi” menjadi populer di Indonesia terutama di era Jokowi ini. Persekusi bermakna perlakuan buruk atau penganiyaan secara sistematis oleh individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lain, khususnya karena suku, agama, atau pandangan politik. Persekusi adalah salah satu jenis kejahatan kemanusiaan, HAM dan juga pelanggaran hukum pidana. Komnas HAM menilai,  di  era Jokowi ini   kasus persekusi memarak. Persekusi timbul karena riak-riak perbedaan pandangan politik atau prinsip. Komnas HAM menyarankan Jokowi fokus pada komitmennya menyelesaikan kasus-kasus ini. Sebab, penyelesaian kasus pelanggaran HAM adalah salah satu janji yang digembar-gemborkan bakal dituntaskan pada masa awal ia menjabat.

Dalam suatu acara dialog di TV One, 12 Des 2017, nara sumber UHAMKA, Manager Nasution menyebutkan, ada 47 kali persekusi tanpa ada penegakan hukum melalui pengadilan. Dari sisi penegakan hukum, sepanjang terjadinya persekusi tahun 2017, tiada bukti,  Pemerintah melaksanakan. "Negara absen saat terjadi persekusi".

Era 4 tahun  Jokowi berkuasa,  kasus eksekusi menjadi perhatian publik antara lain:
a. Penghadangan Ustad Abdul  Somad di Hotel Aston Denpasar, 9 Desember 2018.
b. Penghadangan 100 orang terhadap Nenok Warisman di Bandara Sultan Syarif Kasim II,  Pekan Baru, 25 Agustus 2018.
c. Penghadangan Habib Anief Alatas dan Habib Bahar bin Ali Sumahid di Bandara Sam Ratulangi Manado, 15 0ktober 2018.

-----------------
Muchtar Effendi Harahap,  Mantan Ketua Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Jayabaya Jakarta, Awal  90an.

Sabtu, 13 Oktober 2018

KEGAGALAN JOKOWI DI BIDANG BBM DAN MASALAH SEJAM KENAIKAN HARGA PREMIUM




Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP
(Ketua Tim Studi NSEAS)



4 tahun Jokowi berkuasa sebagai Presiden (2018) masalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) muncul kembali. Padahal Menkeu Sri Mulyani sebelumnya menyatakan pagu subsidi energi dalam RAPBN 2018, yaitu sebesar Rp103,4 triliun, diproyeksikan oleh pemerintah tanpa adanya penyesuaian harga bahan bakar minyak, tarif listrik maupun elpiji. Maknanya, takkan ada kenaikan harga BBM bersubsidi utk tahun 2018 ini.

Pd siang hari 10 Oktober 2018   PT Pertamina telah menaikkan harga  BBM Pertamax, PertamaxTurbo, Pertamax Dex, dan biosolar yang bukan kewajiban publik dan Non PSO (Public Service Obligation). Kemudian  sore hari sama Rezim Jokowi melalui Menteri ESDM mengumumkan  kenaikan harga bensin Premium,namun satu jam kemudian Rezim membatalkan kenaikan harga bensin Premium  itu. Terjadi pencabutan kebijakan publik hanya berselang satu jam.

Dilaporkan  CNNIndonesia.com, 10 Oktober 2018, Adiatma Sardjito, VP Corporate Communication Pertamina mengaku, Pertamina  tak tahu menahu rencana kenaikan harga  Premium. Bahkan,  menyebut tak siap dan  butuh waktu persiapan dan sedang bahas dengan pemegang saham.

Hal ini menandakan tidak ada  sinergitas sesama lembaga negara utk mengambil kebijakan publik.

Kemudian,  Rezim Jokowi menyatakan,  segera gelar rapat kordinasi membahas ttg kebutuhan  kenaikan harga minyak Primium ini paca pembatalan 10 Oktober 2018. Namun, Menko Prekonomian Darwin Nasution belum memastikan kapan waktunya  (Harian Terbit, 12 Oktober 2018).

Beragam pengamat politik ekonomi, politisi dan akademisi menangapi masalah kenaikan sejam  harga minyak bensin Premium  ini. Beberapa menyatakan:

1. Rezim Jokowi plin plan dan tidak ada koordinasi mengambil keputusan publik.
2. Rezim Jokowi lebih melihat masalah perolehan suara pilih Pilpres 2019.
3. Jokowi membatalkan kebijakan kenaikan harga Primium melalui Menteri ESDM karena Jokowi takut elektabilitasnya anjlok.
4. Kegamangan Rezim Jokowi  dalam menaikkan harga Premium bisa dibilang berlebihan. Pasalnya, konsumsi Premium sendiri terus menerus turun dalam beberapa tahun terakhir.
5. Kenaikan harga minyak Primium  akan memunculkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja Jokowi di bidang ekonomi.
6. PT Pertamina pihak  paling dirugikan dengan batalnya kenaikan harga bahan bakar jenis Premium. Selama ini, keuangan Pertamina terbebani BBM subsidi.

Salah satu urusan pemerintahan harus diselenggarakan oleh Presiden RI Jokowi yakni bidang " enerji dan sumber daya mineral (SDM)", termasuk Bahan Bakar Minyak (BBM).

Kondisi kinerja Jokowi khusus di bidang BBM ini sesungguhnya masih menghadapi kegagalan dan masalah kenaikan harga BBM terutama minyak bensin premium yg masih disubsidi. Jokowi  masih belum  memenuhi janji kampanye Pilpres 2014 . Juga Jokowi belum berhasil  mencapai target dlm perencanaan pembangunan terkait BBM.

Sejumlah standar kriteria bisa diajukan untuk menilai kondisi kinerja Jokowi di bidang BBM.

Pertama, Jokowi berjanji secara lisan dlm kampanye Pilpres 2014,  tidak akan menghapus subsidi BBM. "Keinginan utk subsidi BBM saya kira tidak ada masalah. Subsidi bagi rakyat kecil adalah sebuah  keharusan, " ujar Jokowi. Faktanya, baru beberapa bulan jadi Presiden, Jokowi langsung mengurangi subsidi BBM.

Saat Jokowi baru menjabat pada 2014, anggaran subsidi BBM mencapai Rp 46,79 triliun. Pada 2015, anggaran  subsidi berkurang  menjadi Rp 14,90 triliun. Pd 2016, anggaran tersebut kembali berkurang  ke Rp 14,06 triliun. Pd 2017
 subsidi kembali berkurang  menjadi Rp 7,15 triliun. Utk 2018 Rezim Jokowi   menaikkan subsidi BBM jenis solar dari Rp 500 menjadi Rp 2.000 per liter.

Bahkan, Jokowi acapkali melakukan kebijakan naik turun   harga minyak bensin premium yang harus disubsidi. Pd
Oktober 2014 harga minyak bensin  primum  Rp. 6.500;  Nov.2014 naik menjadi Rp.8.500; 1 Januari 2015 turun menjadi  Rp. 7.600 ( Non Bali Madura) dan
Rp.6.930 (Bali-Madura);
2 Maret 2015 turun menjadi Rp. 6.800;
28 Maret 2015 naik lagi  menjadi  Rp.7.300;
5 Januari 2016 turun menjadi  Rp.7.050
(Jawa Madura Bali);
Rp.6.950 (Non Jawa Madura Bali);
1 April 2016 turun lagi  menjadi Rp. 6.550 (Jawa Madura Bali) dan
Rp. 6,460  (Non Jawa Madura Bali);
10 Oktober 2018
sesuai arahan Jokowi rencana ke harga premium di Jawa Madura Bali naik lagi menjadi Rp.7.000 dan di luar Jawa Madura Bali menjadi Rp.6.900. Diputuskan jam 18.00 (10 Oktober ini) harga minyak primium naik. Tetapi, satu jam setelah keputusan kenaikan harga itu Rezim Jokowi buat lagi keputusan melalui Menteri ESDM yang sama utk membatalkan keputusan kenaikan harga itu. Harga minyak primium tidak jadi naik.

Riwayat naik turun harga bensin primium di atas, menunjukkan ada kecenderungan Rezim Jokowi bermaksud menaikkan harga minyak primium.  Setiap perubahan harga baik naik maupun turun selama era Jokowi ini, tetap masih di atas  kondisi awal harga Oktober 2014.

Kedua,  Jokowi berjanji,
akan mengalihkan penggunaan BBM ke Gas dlm waktu 3 tahun. Janji ini tidak direalisasikan, alias inkar janji. Sudah 4 tahun Jokowi jadi Presiden RI, belum juga terbukti adanya pengalihan penggunaan BBM ke Gas. Tidak ada perubahan berarti terjadi selama Jokowi jadi Presiden.

Seperti kebiasaan Jokowi selaku Presiden, ia menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 tahun 2015 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Bahan Bakar Gas (BBG) untuk Transportasi Jalan. Regulasi ini untuk mempercepat program konversi BBM ke Gas. Faktanya regulasi ini tidak berpengaruh terhadap realisasi program.

Program pemerintah konversi BBM ke Bahan Bakar Gas (BBG) sudah diluncurkan Rezim Jokowi  hingga saat ini realisasinya masih  jalan di tempat.  Menteri  ESDM Ignatius Jonan mengakui, selama ini pemerintah kesulitan dalam menyediakan infrastruktur, terutama lahan untuk lokasi SPBG.
Kalau ada SPBG sudah dibangun pun, persoalannya terjadi pada pasokan gas  terkendala karena tidak adanya jalur distribusi pipa gas. Menurut Jonan, kondisi ini  mencerminkan program konversi BBM ke gas tidak dirancang dengan matang sehingga realisasinya tidak berjalan maksimal.
Kegiatan kampanye konversi BBM ke BBG juga dinilai setengah hati karena konversi hanya menyasar kendaraan transportasi publik seperti angkutan umum, bajaj, dan Transjakarta. Padahal konversi seharusnya juga dilakukan untuk kendaraan pribadi.
"Sekarang jumlah bajaj itu enggak sampai 10 ribu, bus Transjakarta paling 3.000 sampai 4.000, ini terlalu kecil. Padahal ini dianggap sukses kalau private user itu pakai BBG," katanya.
Jonan mengaku berkomitmen akan merealisasikan konversi BBM ke gas di seluruh Indonesia dalam dua tahun ke depan. Dia juga akan mengimbau seluruh produsen otomotif untuk memproduksi kendaraan yang menggunakan bahan bakar gas (KumparanNEWS, 20 Maret 2017).

Pertanyaan: apakah pd 2018 komitmen itu terealisasi? Tidak juga !

Ketiga, di dlm dokumen NAWACITA Jokowi secara tertulis  berjanji, akan mewujudkan kedaulatan enerji  melalui kebijakan pengurangan impor enerji minyak dgn meningkatkan eksplorasi dan  eksploitasi Minyak di dlm dan luar negeri.
Dalam kenyataannya, impor minyak tidak berkurang, bahkan kian meningkat. Jokowi gagal mencapai target pengurangan impor minyak ini.

Pd 2017 impor BBM masih 50 % dan 50% lain  memang merupakan produksi dalam negeri
Namun,  angka  50 % produksi dalam negeri ini menunjukkan Indonesia masih  sangat bergantung dengan impor BBM. Hal ini berarti,   Jokowi masih belum  mampu mencapai target impor BBM diharapkan. Pd 2018 diperkirakan tidak ada perubahan impor BBM berarti menuju penurunan signifikan.

Keempat, di dlm NAWACITA Jokowi berjanji secara tertulis,  akan  meningkatkan efisiensi usaha BUMN penyedia enerji di Indonesia, misalnya Pertamina. Ada banyak pengamat ekonomi dan enerji menilai, kondisi usaha  Pertamina semakin tidak efisien, terutama melayani kebutuhan rakyat akan minyak primium dan BBM subsidi  lain.

Efisiensi akan membantu capaian target sehingga  kinerja bagus. Namun, kondisi kinerja  Pertamina kini justru  terpuruk sejatuh-jatuhnya. Menurut sebuah sumber, pd semester I-2018, laba bersih Pertamina hampir mencapai Rp.5 triliun, atau   hanya 15,63% dari target ditetapkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2018 sebesar Rp. 32 triliun. Di lain pihak,
laba bersih Pertamina  Semester I-2017 tercatat US$1,4 miliar atau ekuivalen dgn  Rp.21 triliun. Maka,  laba bersih Pertamina  semester I-2018 turun 76,20% dibandingkan periode  sama tahun sebelumnya. Hal ini baru dinilai dgn satu indikator, yakni target laba perusahaan. Masih ada indikator lain bisa digunakan utk menilai kinerja ini sebagai misal  kepemimpinan.

Kelima, di dlm RPJMN 2015-2019 Jokowi berencana, akan memproduksi minyak bumi 700-900 barel perhari.  Produksi minyak baseline 2014 adalah 789 ribu barel perhari. Faktanya,  sejak 2015 produksi minyak Indonesia hanya mencapai 786 ribu barel perhari, jauh dari angka 900 ribu barel perhari.  Pd 2016 produksi minyak hanya 831 ribu barel perhari, dapat diklaim mendekati 900 ribu barel perhari.  Pd 2017 produksi 825 ribu barel, menurun ketimbang 2016.   Pd 2018 produksi minyak masih di bawah 900 barel perhari. Jokowi masih belum  mampu mencapai target produksi minyak hingga 900 ribu barel perhari.

Keenam, di dlm RPJMN 2015-2019 Jokowi berencana, akan membangun  satu unit "kilang minyak " dengan  total kapasitas 300 ribu barel per hari. Dalam kenyataannya, target kilang minyak ini belum tercapai meskipun sudah 4 tahun jadi Presiden.

Pd 2 Agustus 2018 Jokowi masih meminta
Pelaksana Tugas Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati utk  merampungkan proyek kilang minyak di berbagai daerah secara tepat waktu. Maknanya hingga 4 tahun Jokowi berkuasa,  rencana membangun kilang minyak masih belum terealisasi.

Di lain pihak indikasi kegagalan membangun kilang  minyak selesai era  Jokowi dari pengakuan Dirut Pertamina Nicke Widyawati.  Menurutnya, memang ada rencana Pertamina akan membangun   kilang di Balikpapan dan Tuban. Diperkirakan, akan rampung semuanya pada tahun 2018 ini  sesuai dengan target yang ditentukan. Namun, ternyata saat ini, Pertamina masih  mencari mitra strategis proyek Kilang Balikpapan untuk membantu pendanaan karena memakan biaya investasi mencapai USD 5,3 miliar. Sementara, proyek Kilang Tuban memakan biaya USD15 miliar dengan kapasitas 300 ribu barel per hari seperti target Rezim Jokowi.

Ketujuh,  Jokowi berencana, akan menambah kapasitas penyimpanan BBM 2,7 juta KL (RPJMN 2015-2019). Belum ada data resmi sudah sejauh apa realisasi rencana ini.

Pd April 2015 Jokowi masih berharap  ada banyak perusahaan minyak dan gas bumi (migas) berani menanamkan modal tidak sedikit untuk membangun infrastruktur migas di tanah air, termasuk peningkatan kapasitas  penyimpanan BBM 2,7 juta Kilo Liter (KL). Hingga 4 tahun Jokowi jadi Presiden, belum ada data resmi dipublisir sudah sejauh apa realisasi rencana ini.

Apa yang bisa Kita maknakan dari uraian di atas, yakni Jokowi tidak bisa dan mampu memenuhi janji2 kampanye Pilpres 2014 dan target rencana di bidang BBM. Hal ini membantu utk menunjukkan  kegagalan Jokowi di bidang   BBM. Tidak layak lanjut sebagai Presiden pasca Pilpres 2019. Sungguh !!!

--------------
Muchtar Effendi Harahap adalah Mantan Redaktur SKM EKSPONEN  dan Kordinator Redaksi Harian MASA KINI Yogyakarta, Medio 1980an.




Senin, 08 Oktober 2018

JOKOWI MASIH GAGAL URUS ORANG MISKIN DAN MASALAH STANDAR KEMISKINAN



Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP
(NSEAS)




Saat kampanye Pilpres 2014, Jokowi berjanji lisan, akan  meningkatkan anggaran penanggulangan kemiskinan termasuk memberi subsidi Rp.1  juta per bulan untuk keluarga pra sejahtera sepanjang pertumbuhan ekonomi di atas 7%. Selama 4 tahun ini Jokowi gagal raih pertumbuhan 7%. Karenanya, janji itu tak harus dilaksanakan.

Di dlm dokumen NAWACITA , Jokowi tidak ada janji khusus terkait kemiskinan. Sementara di dlm RPJMN 2015-2019, Jokowi berencana mengurangi jumlah orang miskin.Menurunkan jumlah orang miskin Jokowi  sudah berhasil, tetapi utk 4 tahun berhasil hanya 1 % atau 0,25% pertahun.

Segera setelah BPS mempublikasikan hasil survei kemiskinan per Maret 2018, Rezim Jokowi mencitrakan diri dan membangun opini publik,  berhasil urus masalah kemiskinan. BPS klaim, jumlah orang miskin Maret 2018 menurun hanya tinggal
25,95 juta orang atau 9,  82%, turun dari  September 2017, yaitu 26,58 juta orang (10,12 %). Utk Maret 2018, angka rata2 garis kemiskinan adalah Rp.401.220 perkapita/ bulan, maka pengeluaran dalam sehari sebesar Rp 13.374.

Jokowi sendiri menggunakan forum Sidang MPR 16 Agustus  2018, ungkapkan keberhasilan penurunan orang miskin  ini. Dikatakannya, untuk pertama kalinya, persentase kemiskinan Indonesia turun ke angka satu digit, yaitu menjadi 9,82  %   Maret  2018. ''Kami sudah berhasil menekan angka kemiskinan dari 28,59 juta atau 11,22 %    Maret 2015 menjadi 25,95 juta atau 9,82 %  Maret 2018," ujarnya.

Kebanggaan Rezim Jokowi juga ditunjukkan Menko PMK Puan
Maharani. Ia tegaskan, penurunan angka kemiskinan ini menunjukkan,  program bantuan sosial memberikan manfaat bagi masyarakat dalam memperkuat ekonomi keluarga tidak mampu.

Kemudian Menkeu Sri Mulyani juga tidak mau ketinggalan, juga angkat bicara.Ia dgn bangga memamerkan data statistik kemiskinan terbaru dirilis BPS. Menurutnya,  capaian itu  pertama dalam sejarah.  Persentase kemiskinan Maret 2018 tercatat sebesar 9,82 %  jumlah penduduk.  Beberapa era pemerintahan sebelumnya belum pernah berhasil menurunkan angka kemiskinan hingga di bawah 10 %  jumlah penduduk.  Pemerintahan Soeharto baru mendekati angka 10 % saat sudah memasuki Repelita Kelima, tapi harus terkena hantaman krisis moneter 1998  mengakibatkan angka kemiskinan melonjak ke kisaran 24 %, 1998. Capaian terbaik Orde Baru hanya mencapai 11,3 %  penduduk. Begitu pun saat SBY. Tatkala dirinya menjabat Menkeu di era SBY, angka kemiskinan  berada stagnan di kisaran 14-17 %. “Jadi menurunkan angka kemiskinan di bawah 10 % ini merupakan pencapaian tersendiri. Kami ingin menurunkannya lebih lanjut,” ujarnya.

Data BPS tentang penurunan orang miskin ini benar2 dimanfaatkan Rezim Jokowi utk membangun opini publik bahwa Rezim telah berhasil urus kemiskinan. Hal ini dapat dimaklumi, karena memang realitas obyektif, 4 tahun Rejim ini berkuasa miskin  prestasi dan keberhasilan  untuk digunakan membangun opini publik. Apalagi mengingat sekalipun gagal urus pemerintahan, masih ingin menjadi berkuasa pasca Pilpres 2019.

Sedungguhnya, BPS tidak menyimpulkan,  Pemerintah telah berhasil urus kemiskinan.  BPS hanya menyajikan data hasil survei.

Masalahnya, data penurunan jumlah orang miskin versi BPS  digugat  oleh sejumlah pihak. SBY,   misalnya, menyebutkan masih ada 100 juta orang miskin di Indonesia dan ini menjadi masalah bagi Pemerintah. Selanjutnya,
Prabowo Subianto mengklaim tingkat kemiskinan di Indonesia naik 50 persen dalam 5 tahun terakhir.(TEMPO.CO,21 Juli 2018).

Para penggugat  menolak keras standar kemiskinan versi BPS dengan beragam alasan:

1.Perhitungan itu belum bisa merepresentasikan kondisi riil saat ini.
2. Penghentasan kemiskinan Rezim Jokowi dianggap gagal karena hanya mengukur status orang miskin dari kemampuan makan dua kali sehari.
3.  Hanya mampu mengurangi 1 % utk 4 tahun.
4. Tidak menganalisis korelasi antara angka kemiskinan dan kemampuan daya beli.
5. Rasio Gini tidak digunakan sbg standar juga utk melihat kondisi kemiskinan dan ketimpangan relatif.

Alasan, perhitungan itu belum bisa merepresentasikan kondisi riil saat ini datang dari Ekonom Rizal Ramli. Sebagai Mantan Menko Perekonomian era Gusdur, ia memiliki pengalaman urus penghentasan kemiskinan di Indonesia.
Liputan6.com, 29 Juli 2018 membeberkan penilaian Rizal Ramli ttg hasil survei BPS dimaksud. Menurutnya,  perhitungan dibuat BPS utk menjustifikasi angka penurunan orang miskin  terkesan menjebak.
"Memang kita bisa main-main dengan statistik. Soal kemiskinan, BPS mungkin benar angka kemiskinan turun. Tetapi definisi kemiskinan  dipakai kurang dari Rp 14 ribu per hari, hanya sekitar Rp 13.400,"  kilahnya. Laporan tsb turut mengindikasikan meningkatnya pengeluaran per kapita per bulan atau garis kemiskinan negara,  naik 3,63 % dari Rp 387.160 per kapita per bulan  September 2017 menjadi Rp 401 220 per kapita per bulan  Maret 2018.
Bila dihitung lebih jauh, masyarakat Indonesia kini masih terbilang miskin adalah individu dgn pengeluaran dalam satu hari kurang dari Rp 13.374.

Rizal Ramli berpendapat, perhitungan itu belum bisa merepresentasikan kondisi riil saat ini. "Coba kita pikir, dengan biaya Rp 13.400 itu  masih belum cukup untuk biaya transportasi, listrik, dan macam-macam," paparnya.
Rizal menilai, jumlah tsb terbilang rendah sekali jika dikomparasikan dengan standar kemiskinan menurut dunia internasional,  USD 2, atau Rp 28.668 (Kurs Rp 14.334 per USD 1).
Adapun nilai garis kemiskinan  ditetapkan Bank Dunia adalah USD 1,9 per hari, atau sekitar Rp 27.234 utk sehari.
"Kalau kita pakai definisi USD 2, Rp 13.400 begitu rendah sekali. "Jadi jangan bangga,  Rp 13.400 sehari itu sudah lumayan," pungkasnya.

Alasan, hanya mengukur 2  kali makan sehari. Program pengentasan kemiskinan  Jokowi dianggap gagal, lantaran hanya mengukur status orang miskin dari kemampuan makan 2  kali sehari. Hal ditekankan
Sekjen  Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) Dika Moehammad. Jika ukuran orang miskin hanya dari ketidakmampuan memenuhi makan 2  kali sehari, maka program  pengentasan kemiskinan diyakini sudah salah sasaran dan menimbulkan kegagalan.
Lihat saja, sambungnya,  garis kemiskinan BPS hanya mencukupi kebutuhan 1  kali makan sehari untuk satu orang. Jadinya, setiap orang sehari mampu makan 2 kali, dinyatakan tidak masuk dalam kategori orang miskin.

Alasan, hanya mampu mengurangi 1% utk 4 tahun. Satu tulisan sangat kritis ttg standar kemiskinan ini datang dari Natalius Pigai. Baginya, setiap era pemerintahan berhasil menurunkan jumlah orang miskin. Habibie hanya setahun menurunkan orang miskin 1,1%. Gus Dur dua tahun menurunkan  5,01%. Megawati  waktu singkat menurunkan  2,51%. SBY periode pertama  menurunkan  2,51%; periode kedua 3,46%. Jokowi  4 tahun  menurunkan  hanya 1,1%.
Ada memang muncul kritik angka2 Pigai ini, dikaitkan dgn jumlah penduduk berbeda masing2 era. 

Sekalipun Jokowi berhasil menurunkan jumlah orang miskin, tetapi sangat minim yakni hanya  1,01 % utk 4 tahun. Rata2 pertahun  0,25 %. Ironisnya, dana negara habis  utk 1,01% ini  Rp.7 triliun atau Rp 2 triliun pertahun.  Sebaliknya, org kaya naik 10% pertahun. Boleh disimpulkan, Rezim Jokowi gagal urus orang miskin.

Alasan, tidak menganalisis kemampuan daya beli. Enny Sri Hartati dari INDEF mengkritik, Pemerintah  tidak menganalisis  detail korelasi antara angka kemiskinan dengan kemampuan daya beli rumah tangga. Pemerintah klaim, angka kemiskinan per Maret 2018 sebesar 9,82 % adalah  terendah sejak 20 tahun, justru berbanding terbalik dengan tingkat daya beli rumah tangga semakin menurun.  Secara logika ekonomi itu mestinya tidak mungkin. Jadi,  namanya masyarakat miskin menurun, harusnya daya beli masyarakat meningkat (CNN Indonesia, 20/7). Dlm kenyataan, daya beli masyarakat kini merendah !

Alasan, Ratio Gini dapat digunakan sbg standar   melihat kondisi kemiskinan dan  ketimpangan relatif di suatu wilayah. Periode 2011-2015 misalnya, ketimpangan terjadi lebih tinggi di Indonesia. Nilainya meningkat dari 0,38 di 2010 menjadi 0,41 periode 5 tahun tsb. Rezim Jokowi hanya mampu menciptakan  Ratio Gini masih jauh dari target,  mendekati 0,40 rata2. Versi BPS, September 2017,  Ratio Gini 0,391. Tetapi, entah dari mana sumber data, pada Pidato Kenegaraan 2018, Jokowi mengklaim,  telah berhasil mencapai  Ratio Gini  0,389. Namun, tetap saja masih belum mampu kembali pada kondisi 2010 dgn angka Ratio Gini  hanya 0,38.

Apa maknanya? Jika dilihat bersamaan dengan orang miskin versi BPS, penurunan jumlah orang miskin memang terjadi, tetapi Rezim Jokowi  masih gagal mengatasi ketimpanga masih tinggi. Bahkan, ada penilaian,  4 tahun Rezim Jokowi berkuasa, orang miskin turun 1 %, sementara orang kaya naik 10 %. Menyedihkan memang !!!

BPS mengakui, masih ada disparitas kemiskinan tinggi antara di kawasan pedesaan dgn perkotaan. Persentase penduduk miskin di pedesaan,Maret 2018, 13,2%, hampir 2  kali lipat dibanding di perkotaan 7,02%.

Rasio gini di pedesaan juga naik menjadi 0,324, Maret 2017 dan 0,32 September 2017. Sedangkan Ratio Gini di perkotaan turun menjadi 0,401, terendah sejak September 2018. "Kita punya banyak PR bagaimana supaya kebijakannya tepat sasaran," jelas Suhariyanto saat paparan data kemiskinan, Juli 2018 lalu.

Uraian di atas menunjukkan, hasil survei BPS menyimpulkan penurunan kemiskinan dapat diterima. Tetapi, standar kemiskinan digunakan BPS mendapat gugatan atau  penolakan. Meskipun ada penurunan jumlah orang miskin, tetapi Rezim Jokowi mencapai sangat minim, hanya 1  % utk 4 tahun atau 0,25 % pertahun. Karena itu, Tim Studi NSEAS berkesimpulan, Rezim Jokowi masih gagal urus orang miskin.

-------------
Muchtar Effendi Harahap adalah Mantan Dosen "Sosiologi Pembangunan"  pada FiSIP Universitas Muhammadyah Yogyakarta (UMY) Medio 1980an.



Jumat, 05 Oktober 2018

KEGAGALAN JOKOWI DI BIDANG PERINDUSTRIAN DAN MASALAH KEPEMIMPINAN AIRLANGGA



Oleh

MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (Ketua Tim Studi NSEAS)

Airlangga Hartarto adalah Menteri Perindustrian. Ia juga Ketua Umum Partai Golkar, salah satu Parpol pendukung berat Rezim Jokowi. Sebagai Menteri Airlangga adalah Pembantu Presiden Jokowi di bidang perindustrian.

Belakangan ini Airlangga menjadi obyek percakapan publik. Diberitakan, Airlangga telah mengembalikan uang Rp. 700 juta ke KPK krn berkaitan dgn dugaan kasus suap proyek kerjasama PLTU Riau-1 (JAWAPOS.COM).Dua kader Golkar, Eni Maulani Saragih dan Idrus Markam telah ditetapkan sebagai Tersangka.

Muslim Arbi, salah seorang Aktivis Anti Korupsi intens menulis hal-ikhwal dugaan suap PLTU Riau-1 ini. Ia menilai, Airlangga terancam jadi tersangka setelah ada pengakuan dari Eni Maulana Saragih bahwa ada pertemuan di rumah Airlangga membahas proyek PLTU Riau-1.
“Eni Maulani Saragih politikus Golkar mengakui ada pertemuan di rumah Ketum Partai Golkar. Nampaknya tak lama lagi Airlangga bisa jadi tersangka,” kata Muslim Arbi (suaranasional,27/9).

Tulisan2 Muslim Arbi yg Alumnus ITB ini mendapat reaksi keras dari fihak Golkar. Badan Advokasi Partai Golkar (BAPG) mengecam pernyataan prediisi Muslim Arbi.Menurut mereka, penyataan Muslim Arbi merusak nama baik Airlangga.

Masalah dugaan suap proyek kerjasama PLTU Riau-1 dihadapi Menteri Perindustrian Airlangga sang Ketua Umum Golkar ini, bagaimanapun, akan berpengaruh terhadap kondisi kinerja Jokowi di bidang perindustrian. Sebagai pembantu Presiden di bidang perindustrian, Airlangga harus terbebas dari masalah2 pribadi di luar urusan perindustrian. Mengapa? Karena Jokowi dlm upaya merealisasikan janji kampanye dan rencana kerja, membutuhkan Airlangga utk implementasi atau eksekusi secara efektif dan efisien. Disamping itu, juga diperlukan pencitraan Airlangga di publik sehingga publik memberikan dukungan dan kepercayaan. Tetapi, masalah dihadapi Airlangga ini membuat semakin melemahnya kepemimpinan penyelenggaraan di bidang perindustrian.
Padahal 4 tahun Jokowi menjadi Presiden RI, di bidang perindustrian kondisi kinerja Jokowi masih buruk dan gagal.

Beberapa standar kriteria dapat dijadikan dasar utk kesimpulan ini yakni:
1. Secara lisan dlm kampanye Pilpres 2014 berjanji, akan   membangkitkan industri mobil nasional, agar merek2 lokal punya posisi sejajar dgn merek mobil internasional. Hingga  4 tahun menjadi Presiden, Jokowi masih inkar janji. Nampaknya setahun ke depan Jokowi tetap inkar janji.
2. Di dokumen NAWACITA Jokowi berjanji akan mengembangkan  5-7 sentra industri baru di  koridor luar Jawa.
Ada lima Koridor  di luar Jawa, yakni pertama. Sumatera; kedua. Nusa Tenggara-Bali; ketiga, Kalimantan; keempat, Sulawesi; kelima,Papua dan Maluku. Jika setiap Koridor dibangun rata-rata 6 sentra industri baru, minimal 5 tahun terbangun 30  sentra, atau  6 sentra pertahun. Rencana ini gagal. Tidak ada info valid dari Pemerintah, sudah berapa banyak terbangun.
3 Sesuai RPJMN 2015-2019,   Jokowi berencana akan melaksanakan pembangunan 14 Kawasan Industri (KI) di luar Jawa dan 22 Sentra Industri Kecil dan Menengah (SIKIM). Khusus rencana 14 kawasan industri di luar Jawa, 3 tahun Jokowi berkuasa baru berhasil membangun  5 kawasan. Kini 5 kawasan itu sudah operasional yakni Untuk kawasan industri baru di luar Pulau Jawa yang telah beroperasi, antara lain di Sei Mangkei (Sumatera Utara), Morowali (Sulawesi Tengah), Bantaeng (Sulawesi Tenggara), Palu (Sulawesi Tengah), dan Konawe (Sulawesi Tenggara). (Sumber Menteri Perindustrian, Kompas.com - 23/10/2017). Utk 3 tahun ini capaian target  masih kurang 50%. Utk 4 tahun ini, sudahkah tercapai target 80%? Belum ada data resmi, sangat mungkin masih belum tercapai alias gagal.
4.Sesuai RPJMN 2015-2019,   Jokowi berencana akan
menumbuhkan populasi industri dgn target 9.000 usaha industri berskala besar dan sedang. 50 % tumbuh di luar Jawa, tumbuhnya 20 ribu unit usaha industri kecil. Apa hasilnya?
Menteri Perindustrian Airlangga  mengklaim, selama  2015-2017, jumlah unit usaha industri menengah, (bukan industri besar),  dan sedang mengalami peningkatan  mencapai 4.433 unit usaha sampai kuartal II tahun 2017. "Jika dibandingkan tahun 2014 sebanyak 1.288 unit usaha," katanya sembari  menekankan  peningkatan ini ditargetkan akan terus berlangsung pada periode 2 tahun ke depan hingga mencapai 8.488 unit usaha di akhir tahun 2019. Sedangkan, jumlah tenaga kerja  terserap oleh industri pada 2015-2017 juga meningkat dari 15,39 juta orang 2014 menjadi 16,57 juta orang sampai kuartal II 2017. "Ditargetkan akan terus bertambah sampai akhir 2019 hingga mencapai 17,1 juta orang tenaga kerja akan terserap oleh industri nasional (masih rencana belum realisasi).
Kondisi 4 tahun Jokowi berkuasa, bagaimana ? Pemerintah  belum memberikan data, fakta dan angka. Selama ini, hanya utk 3 tahun Jokowi berkuasa.
5. Sesuai RPJMN 2015-2019, Jokowi berencana akan meningkatkan nilai ekspor dan nilai tambah per tenaga kerja. Faktanya? Sejumlah Pakar Ekonomi justru menilai kondisi pembangunan perindustrian, terjadi adalah de-industrialisasi.

Tidak ada kemajuan dan  de-industrialisasi terus berlangsung  sehingga terus berkurang kontribusi sektor industri terhadap PDB. Pemerintah juga
tak mampu melindungi industri nasional dari persaingan dgn perusahaan swasta dan BUMN asing.
Salah seorang Ekonom dimaksud, misalnya  Fuad Bawazier Mantan Menteri Keuangan RI. Menurutnya,  sektor industri merupakan penyumbang pajak (tax revenue) sebesar 31% cenderung menciut karena terjadinya de-industrialisasi yaitu dari 28% (1997) menjadi 20% PDB (2017). Maknanya, dari tahun ke tahun kontribusi sektor industri terhadap pajak terus merosot. Era Jokowi juga tak mampu membendung kemerosotan ini.
4 tahun Jokowi berkuasa, belum mampu menunjukan prestasi capaian kinerja dan keberhasilan meraih target.  Mengingat permasalahan di hadapi Menteri Airlangga belakangan ini dan Jokowi sudah terjerembab di dalam.dunia pencitraan dan penggalangan kekuatan untuk meraih suara Pilpres 2019, Tim Studi NEEAS sangat pesimis Jokowi bisa meraih keberhasilan untuk tahun ke-5 Ia menjadi Presiden. Jokowi akan gagal di bidang perindustrian diperkuat permasalahan pribadi Pembantunya Menteri Perindustrian yang takkan efektif dan efisien memimpin Kementerian Perindustrian.

--------------
Muchtar Effendi Harahap adalah Alumnus Ilmu Politik Program Pasca Sarjana UGM Yogyakarta, Tamat 1986


*DEINDUSTRIALISASI SUDAH TERJADI SEJAK SBY, SEMAKIN RUSAK DI ERA JKW*

*Bappenas Sebut RI Memasuki Deindustrialisasi Prematur*

CNN Indonesia
Kamis, 22/11/2018 17:40
Bagikan :

Ilustrasi industri manufaktur. (Dok Wuling Motors)
Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro mengatakan saat ini Indonesia tengah mengalami deindustrialisasi prematur. Ini terjadi lantaran porsi manufaktur di dalam Produk Domestik Bruto (PDB) kian mengempis sebelum benar-benar mencapai puncaknya.

Bambang mengatakan Indonesia pernah disebut sebagai negara industri karena porsi manufaktur dalam PDB mencapai 30 persen. Namun, kontribusi industri tersebut kini kian menyusut.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) kuartal III 2018 bahkan menunjukkan porsi industri manufaktur tercatat sebesar 19,66 persen terhadap PDB. Pertumbuhan industri manufaktur hanya 4,33 persen, atau lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi 5,17 persen.

"Indonesia belum berhasil reindustrialisasi, tapi yang terjadi adalah deindustrialisasi prematur. Dulu sempat kontribusi industri mencapai 30 persen terhadap PDB, tapi kini tercatat 20 persen saja meski memang porsinya masih paling besar," jelas Bambang, Kamis (22/11).

Lebih lanjut ia menuturkan, turunnya kontribusi industri manufaktur disebabkan karena booming harga komoditas yang terjadi usai krisis ekonomi tahun 1998 silam.

Sebelum krisis 1998, Indonesia sempat menjadi negara tujuan investasi manufaktur berbasis sumber daya manusia (labor intensive) karena upah buruh yang cenderung lebih murah. Namun, krisis ekonomi ternyata menyerang sektor manufaktur lantaran banyak yang memiliki utang dalam denominasi dolar AS.

Akhirnya, banyak pelaku usaha yang beralih untuk mengembangkan bisnis di sektor komoditas, utamanya minyak kelapa sawit (CPO) dan batu bara. Permasalahannya, pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh komoditas tidak sinambung. Sebab, industri berbasis komoditas sangat tergantung dengan harga dunia.

"Makanya Indonesia pernah punya ekonomi bagus karena harga komoditas lagi booming. Tapi begitu harganya turun, ya pertumbuhan ekonomi ikut melesu. Padahal, harga-harga yang stabil adalah harga manufaktur, bukan harga komoditas," imbuh dia.

Saat ini, menurut dia, industrialisasi dibutuhkan agar Indonesia bisa segera terlepas dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap). Pertumbuhan ekonomi yang hanya berada di kisaran 5,1 persen per tahun, menurut Bambang, baru akan membuat Indonesia masuk dalam kategori negara berpendapatan tinggi pada 2040 mendatang.

"Dan memang di hitungan kami, pertumbuhan ekonomi potensial sejauh ini adalah 5,3 persen. Dengan angka sejauh ini, artinya pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan tidak mencapai titik potensialnya. Kuncinya memang dua, industrialisasi dan juga jasa modern," pungkas dia.

Data BPS pada kuartal III 2018 menunjukkan industri pengolahan yang tumbuh 4,33 persen terutama didorong pertumbuhan industri nonmigas sebesar 5,01 persen. Dari seluruh sektor industri nonmigas, industri tekstil dan pakaian jadi memimpin pertumbuhan dengan angka 10,17 persen.

Sementara industri batu bara dan pengilangan migas mengalami pelemahan dan hanya tumbuh 1,63 persen.

(glh/agi)