Rabu, 25 November 2009

Pernyataan Eksponen Gerakan 77/78 tentang Pidato SBY

Pernyataan Aktivis Gerakan ‘77/’78 :

PRESIDEN TIDAK LAYAK SEBAGAI PEMIMPIN NASIONAL

Pada hari Senin, 23 November 2009, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono telah menyikapi berbagai isu nasional yang berkembang akhir-akhir ini, yakni skandal Bank Century dan kasus Bibit-Chandra. Sikap Presiden terhadap dua isu nasional kami nilai tidak tegas dan membingungkan serta tidak mencerminkan sikap seorang Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan yang bertanggung-jawab. Sikap Presiden yang mengaburkan substansi permasalahan dari dua isu tersebut justeru menimbulkan spekulasi publik tentang keterlibatan Presiden dalam skandal Bank Century dan upaya kriminalisasi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Menanggapi sikap Presiden RI tersebut, Aktivis Gerakan 77/78 yang tergabung dalam Grup Diskusi 77/78 menyatakan:
1. Presiden menutup mata tentang kenyataan adanya tindakan kriminal dalam kasus skandal Bank Century sebagaimana dilaporkan oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Presiden dalam hal ini juga tidak bersikap memerintahkan Kapolri, KPK, dan Kejaksaan untuk segera menangkap dan menjatuhkan sanksi wajib lapor kepada mereka yang diduga terlibat, yakni Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Hal ini sangat berbeda perlakuannya pada saat menghadapi kasus Bibit-Chandra.

2. Presiden dengan sengaja tidak mengeluarkan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) yang memungkinkan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) menyediakan data bagi proses audit BPK terhadap skandal Bank Century. Hal ini menyebabkan audit BPK hanya dapat menyingkapkan kesalahan kebijakan dan bukan mengusut berbagai pihak yang ikut merampok dana publik yang dikucurkan ke Bank Century melalui Bank Indonesia. Keputusan pemerintah yang mengijinkan PPATK memberi data-datanya kepada BPK sudah terlambat, sementara proses audit BPK sudah berada pada tahap final.

3. Presiden tidak merujuk sama-sekali kepada rekomendasi yang diberikan oleh Tim-8, khususnya tentang pencopotan pihak-pihak yang bertanggung-jawab terhadap kriminalisasi KPK, walaupun bukti-bukti adanya tindak kriminal dalam rekayasa kasus tersebut berupa rekaman hubungan telepon sudah tersedia. Dengan membiarkan pejabat-pejabat bermasalah di lingkungan POLRI maupun Kejaksaan tetap bercokol pada pucuk pimpinan, reformasi bidang hukum yang dicanangkan Presiden adalah omong-kosong.

4. Presiden dengan sengaja membiarkan krisis kepercayaan (distrust) terhadap POLRI dan Kejaksaan merembet ke lembaga-lembaga negara lain, dengan cara tidak menjalankan kewenangannya untuk memulihkan kepercayaan terhadap POLRI dan Kejaksaan Agung melalui pencopotan Kapolri dan Jaksa Agung yang secara terang-terangan melanggar asas-asas moral peradilan.

Apa yang disikapi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, khususnya tentang penghentian proses peradilan Bibit-Chandra, tidak ada artinya sama-sekali, karena hal itu memang merupakan rekayasa. Sebelumnya, bukti-bukti rekaman para mafia peradilan sama-sekali tidak menggerakkan hati Presiden untuk berusaha menegakkan keadilan sejalan dengan rasa keadilan rakyat.

Berdasarkan hal di atas, Aktivis Gerakan 77/78 menilai bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak layak sebagai pemimpin nasional lagi.

Jakarta, 24 November 2009

Aktivis Gerakan 77/78

1. Abdulrachim
2. Agus Suroto
3. Ahmad Gani
4. Alben Sidahuruk
5. Alwis Dahlan
6. Biner Tobing
7. Cahyono Eko Sugiarto
8. Darwis Darlis
9. Dwi Soebawanto
10. Elong Suchlan
11. Erfanto Sanaf
12. Indro Tjahyono
13. Krisnan Muljono
14. M. Hatta Taliwang (Koordinator)
15. M. Singgih
16. Mahmud Madjid
17. Maruli Gultom
18. Muchtar Effendi Harahap
19. Muslich Asikin
20. Nizar Dahlan
21. Policarpus da Lopez
22. Roel Sanre
23. Samuel Koto
24. Setiadarma
25. Sismulyanda Barnas
26. Suluh Tjiptadi
27. Sutopo
28. T.M Aryadi
29. Tashudi
30. Teuku Iskandar
31. Umar Marrasabessy

Kamis, 19 November 2009

Kesimpulan Diskusi Publik GM Aktivis 77/78

Kesimpulan Diskusi Publik
SKANDAL KORUPSI BANK CENTURY:
APA SOLUSINYA?

Hotel Sahid Jaya, 19 November 2009

Demi untuk melaksanakan misi reformasi, maka Grup Diskusi 77/78 menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Skandal Korupsi Bank Century: Apa Solusinya?”. Diskusi ini bertujuan menghilangkan praktik-praktik korupsi dan KKN sebagai benalu dari kehidupan ekonomi rakyat selama ini. Dari pembahasan dalam diskusi tersebut dapat dirumuskan kesimpulannya berupa substansi pemikiran sebagai berikut:
1.Pemerintah harus bersikap tegas dalam mengusut skandal Bank Century sebagai satu skandal terbesar setelah skandal dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Kebijakan Pemerintah untuk menyuntikkan dana talangan sebesar 6,7 trilyun rupiah dengan melanggar prinsip-prinsip perbankan, membuktikan bahwa misi reformasi telah dikhianati.
2.Mendorong BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) segera memberikan laporan audit terhadap skandal Bank Century berdasarkan fakta-fakta aliran dana dan sesuai dengan kaidah-kaidah pemeriksaan yang benar tanpa melakukan manipulasi dan penafsiran yang keliru terhadap fakta-fakta yang ada.
3.Laporan tentang skandal Bank Century harus disertai dengan pengungkapan aliran dana yang berlangsung, baik sebelum maupun sesudah mendapat dana talangan. Dalam hal ini presiden kalau dianggap perlu, segera menerbitkan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) yang memungkinkan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) memberikan data-datanya kepada BPK.
4.Pemerintah RI sebagai otoritas negara dan pelindung hak-hak warga negara tanpa reserved harus secepatnya menuntaskan penggantian dana para nasabah Bank Century yang dirugikan oleh adanya skandal ini.
5.Pemerintah harus mendukung upaya untuk memperkuat KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sebagai satu lembaga yang memiliki kewenangan dalam menyelenggarakan pengadilan Tipikor (tindak pidana korupsi) dan mendukung penanganan mega-skandal Bank Century oleh KPK
6.DPR harus konsisten dan konsekuen melanjutkan pelaksanaan hak angket skandal Bank Century yang telah mendapat dana talangan dengan melawan persetujuan DPR. Hak Angket ini harus diamankan dari berbagai bentuk kompromi dan transaksi yang akan menjegal pelaksanaannya.
7.Seluruh elemen masyarakat, termasuk gerakan pemuda dan mahasiswa, perlu mendukung semua upaya dalam membongkar dan memberi solusi atas skandal Bank Century serta memperjuangkan penanganan skandal Bank Century hingga tuntas. Hal ini mengingat terjadinya skandal Bank Century merupakan preseden buruk yang telah menghancurkan moral bangsa dan upaya penegakan negara hukum di Indonesia di era reformasi.

Jakarta, 19 November 2009
Grup Diskusi Aktivis 77/78

Kamis, 12 November 2009

Menelaah Skandal Korupsi Bank Century

MENELAAH SKANDAL KORUPSI BANK CENTURY
Oleh
Muchtar Effendi Harahap




Indonesia terus tercatat sebagai “juara” di antara negara-negara yang tingkat korupsinya tinggi di dunia. Bahkan, fenomena “state capture corruption”, korupsi sandera negara, telah mengambil tempat semakin meluas, terutama di bawah era reformasi ini. Jenis korupsi yang “paling berbahaya” ini sedang melumpuhkan kemampuan bangsa Indonesia mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Kekuasaan negara seperti Pemerintah (eksekutif), DPR (legislatif) dan Mahkamah Agung (yudikatif) secara sadar atau tidak telah membuat keputusan-keputusan yang merugikan negara dan publik (korupsi) dalam rangka menghamba pada kepentingan korporasi lokal maupun asing (korporatokrasi internasional).

Dengan kata lain, sebuah korporasi atau gabungan korporasi asing (korporatokrasi internasional) lewat pemerintah yang sedang berkuasa mampu membeli peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah, mendiktekan kontrak harga di bidang-bidang seperti perbankan, pertambangan, pertanian, kehutanan, pendidikan, pertahanan, dll. Akibatnya pemerintah sendiri hanya sekedar kepanjangan tangan korporasi-korporasi besar dan asing.

Menelaah secara cermat skandal korupsi aliran dana publik dari dari LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) ke Bank Century, selanjutnya disebut sebagai “skandal korupsi Bank Century “ dapat menyimpulkan bahwa skandal ini tergolong “state capture corruption”, korupsi sandera negara, terjadi dalam era pemerintahan SBY (tahun 2004-2009). Sebagai tergolong korupsi raksasa, bagaimanapun, telah melibatkan sejumlah ‘aktor”, termasuk aktor-aktor tertentu dalam pemerintahan (Eksekutif, legislatif dan yudikatif), disamping korporasi lokal dan asing. Kasus Bank Century ini sesungguhnya mencakup dua masalah utama, yakni:

Pertama, aksi PT. Antaboga Deltasekuritas menjual produk investasi sejak 2002-2008. Pemilik Antaboga juga pemilik Bank Century, Robert Tantular, menggunakan tenaga pemasaran dan kepala cabang Bank Century untuk “membujuk” nasabah Century memindahkan dananya ke Antaboga, tetapi pada 17 November 2008 gagal bayar. Polisi menyatakan adanya penggelapan uang nasabah. Akibatnya, sekitar Rp. 1,5 triliyun dana nasabah—sebagian besar nasabah Bank Century—menguap. Manajemen Bank Century telah melakukan penipuan terhadap nasabah. Hingga kini, kalangan nasabah yang dirugikan terus berjuang baik melalui jalur hukum maupun politik. Mereka melalui jalur hukum telah berhasil memenangkan perkara melalui keputusan Pengadilan, namun manajemen Bank Century dan Pemerintah SBY tidak menindak lanjuti keputusan itu dalam bentuk pengembalian dana nasabah.

Kedua, Kebijakan pemerintah tentang aliran dana publik dari LPS ke Bank Century sebesar Rp. 6,7 triliyun tanpa persetujuan DPR-RI dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sekandal korupsi Bank Century ini cukup mendapat sorotan publik, yang telah berimplikasi terhadap konflik terbuka Polri-KPK dalam kasus penahanan Ketua KPK Bibit dan Chandra oleh Polri. Masalah ini, disamping trkait dana Rp. 6,7 triliyun, menurunkan masalah lain yakni tindak pidana korupsi dalam proses pelaksanaan kebijakan. Diduga, dana tersbut mengalir kepada fihak-fihak yang sesungguhnya tidak berhak untuk menerima. Bahkan dalam sorotan publik diduga sebagian dana “talangan” itu telah digunakan untuk keperluan kampanye pasangan SBY-JK dalam Pemilu Pilpres 2009.

Berbagai penilaian publik telah muncul bahwa kebijakan aliran dana publik ke bank Century melanggar peraturan perundang-undangan, antara lain:

1. UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 26-29 dan Pasal 50A.
2. UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Pasal 5 Butir (a) Ayat 1 dan Butir (g) dan (i).
3. UU No. 23 Tahun 1999 sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2 Tahun 2008 tentang Bank Indonesia, Pasal 11 dan Pasal 34.
4. UU No. 24 Tahun 2004 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Pasal 11 Ayat 1.
5. UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 35 Ayat 3 dan 4.
6. Keputuan Presiden No.95 Tahun 2004 terkait Balanket Guarantee.
7. UUD Tahun 1945, khususnya Pasal 22 Ayat 1,2 dan 3.

Di lain fihak, sejumlah anggota DPR-RI menilai kebijakan ini sebagai tidak memiliki dasar hukum. Pemerintah pernah mengajukan PERPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) tentang Jaring Pengamanan Sistem Keuangan sebagai dasar hukum pemberian dana dimaksud, namun DPR menolaknya. Bahkan ada anggota DPR menilai kebijakaan “bailout Bank Century” ini tergolong ilegal, kriminal dan masuk tindak pidana.

Laporan Kemajuan Pemeriksaan Investigasi BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) atas kasus bank Century juga menyebutkan, terdapat indikasi praktik-praktik operasi perbankan di Bank Century yang tidak sehat yang merugikan bank dan berpotensi membebani keuangan negara, yaitu:

1. Penggelapan hasil penjualan surat-surat berharga Bank Century oleh pihak terkait senilai USD 7 juta;
2. Hasil penjualan surat-surat berharga sebesar USD 30.28 juta dijadikan jaminan pengambilan kredit oleh fihak terkait (FGAH) dan karena kreditnya macet, maka dana hasil penjualan surat-surat berharga milik Bank Century tersebut di-set off oleh Bank;
3. Pemberian kredit fiktif senilai Rp. 397,97 miliyar kepada pihak terkait dan pemberian LC Fiktif sebesar USD 75,5 juta;
4. Surat-surat berharga milik Bank Century senilai USD 45 juta yang telah jatuh tempo tidak diterima hasilnya oleh BC karena surat berharga tersebut masih dikuasai oleh salah satu pemegang saham;
5. Manajemen Bank Century diduga melakukan pengeluaran biaya-biaya fiktif senilai Rp. 209,80 miliyar dan USD 4,72 juta sejak tahun 2004 s/d Oktober 2008.

Skandal ini juga mencakup pelarian asset Bank Century Rp. 11,6 triliyun ke luar negeri sebagaaimana telah diduga oleh Kejaksaan Agung. Institusi penegak hukum uni telah menetapkan dua orang tersangka dalam kasus pelarian ini, yakni Komisaris Bank Century Hesyam Al Waraq dan pemegang saham pengendali Bank Century Rafat Ali Rivai. Keduanya menguasai Bank Century melalui korporasi asing First Gulf Asia Holdings Limited. Kejaksaan Agung menargetkan kasus ini sudah bisa maju ke pengadilan pada akhir Januari 2010 Pengadilan akan digelar secara in absentia karena dua tersangka saat ini berstatus buron.

Skandal korupsi Bank Century ini sudah menjurus sebagai kejahatan negara kepada warga negara yang mengakibatkan hilangnya kepercayaan warga negara terhadap dunia perbankan nasional. Karena itu, Grup Diskusi (GD) Aktivis 77/78 menuntut:

1. Penyelenggara Negara harus bertanggungjawab untuk segera menyelesaikan skandal korupsi ini secara transparan dan akuntabel.
2. Penyelesaian pengembalian dana para nasabah Bank Century secepatnya tanpa diskriminasi, sebagai wujud perlindungan negara terhadap warga negara.
3. Pertanggungjawaban manajemen Bank Century secara hukum.
4. Pertanggungjawaban Bank Indonesia dalam fungsi pengawasan terhadap perbankan nasional, khususnya Bank Century.
5. Pertanggungjawaban pemerintah secara transparan dalam mengeluarkan kebijakan terhadap Bank Century.
6. Pemerintah harus membuka secara transparan aliran dana Bank Century kepada publik.
7. KPK agar segera mengusut kasus Bank Century sebagai kasus “pidana luar biasa” yang memiliki implikasi publik yang sangat mendalam secara sosial, politik dan ekonomi.

Setidaknya ada 6 (enam) komponen strategis yang telah dan sedang melakukan kegiatan sehubungan pemecahan masalah skandal ini, yakni:

Pertama, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), semakin menguat desakan masyarakat atau publik baik di Pusat maupun daerah ditujukan kepada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) agar mengusut tuntas skandal ini. Terdapat keyakinan, KPK bisa menggunakan “bukti rekaman telepon” (telah dibuka di Mahkamah Konstitusi) untuk menguatkan proses penyidikan terhadap berbagai pihak yang diduga terlibat skandal yang menyedot uang publik hingga Rp. 6,7 triliyun.

Kedua, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), berbagai kelompok masyarakat juga mendesak BPK agar segera menyelesaikan audit investigasi Bank Century sehingga skandal ini bisa segera ditangani KPK. Sementara ini, BPK telah mengeluarkan “Laporan Kemajuan Pemeriksanaan Investigasi atas Kasus Bank Century”. Laporan awal ini mengungkapkan penemuana adanya indikasi pelanggaran pidana. Ada sekitar 100 rekening yang telah mendapatkan pengaliran dana publik yang diberikan ke Bank Century. Melalui laporan ini, BPK telah berjanji, akan melanjutkan pemeriksanaan sesuai dengan Standar Pemeriksanaan Keuangan Negara agar BPK memiliki dasar yang memadai untuk mengambil kesimpulan atas bank Century sesuai permintaan DPR.

Ketiga, PPATK (Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan), merupakan komponen strategis untuk menunjang pekerjaan BPK dan KPK. Kedua lembaga ini membutuhkan bantuan PPATK, dan masih menunggu hasil penelusuran aliran dana. Hasil pekerjaan PPATK dapat membantu BPK untuk menentukan apakah ada indikasi pelanggaran hukum atau tidak dan pada gilirannya KPK akan jalan terus melanjutkan penyelidikan atau tidak.

Keempat, DPR-RI, telah muncul prakarsa tentang “Hak Angket”. Bermula dari fraksi PDI-P, Hanura dan Gerindra, terus menggulirkan prakarsa hak angket atas skandal korupsi Bank Century. Hingga acuan ini dibuat, prakarsa ini masih tahap usulan, dan lembar dukungan hak angket telah ditandatangani lebih 70 anggota DPR-RI. Draft Hak Angket segera diajukan ke Badan Musyawarah (Bamus), kemudian baru di bawa ke rapat paripurna untuk menda persetujuan. Namun, terutama fraksi pendukung Pemerintah berkilah, menunggu hasil audit akhir BPK. Ada fraksi pendukung menekankan, jika BPK menyatakan ada pelanggaran pidana, mereka juga akan ikut mensponsori hak angket. Hingga kini prakarsa hak angket ini belum juga bergulir di Sidang Paripurna. Melalui penggunaan hak angket ini, diharapkan juga DPR dapat menekan Pemerintah untuk memedulikan nasib sekitar 1.000 nasabah Bank Century yang kini nasibnya terkatung-katung.

Kelima, kelompok nasabah yang dirugikan, telah berjuang melalui jalur hukum dan politik. Khusus jalur hukum, mereka telah memenangkan perkara di pengadilan, yang memutuskan bahwa manajemen bank Century bersalah. Perjuangan hukum ini berlangsung di Yogyakarta dan Jakarta. Saat itu terdakwa Robert Tantular, pemegang saham sekaligus komisaris Bank Century, diancam dengan UU Perbakan dan divonis empat tahun penjara. Namun, Pemeirntah dan Bank Century tetap saja tidak mengembalikan dana milik nasabah yang dirugikan ini. Kelompok nasabah ini juga berjuang bersama sejumlah lawyer (advokat), TPK (Tim Pengacara Rakyat) melalui class action (gugatan perwakilan kelompok warga). Mereka menggugat tentang perbuatan melawan hukum oleh Pemerintah RI Cq. Menteri Keuangan RI, Gubernur BI dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Presiden RI. Namun, dalam sidang ketiga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, gugatan ini ditolak hakim tanpa alasan jelas. Ini penolakan negara yang kesekian yang dialami nasabah.

Keenam, kekuatan masyarakat madani lainnya, telah bertindak sebagai komponen strategis antara lain: Grup Diskusi Aktivis 77/78, ICW, FUI (Forum Umat Islam), Kelompok Kerja Organisasi Kemasyarakatan Islam, Masyarakat Profesional, Komunitas Mahasiswa Raya, Serikat Rakyat Miskin Indonesia, HMI, PMKRI, Ikatan Mahasiswa Muhamadyah, Gerakan Masyarakat Jawa Timur untuk Supremasi Hukum, Komite Indonesia Bangkit, sejumlah BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), aktor individual (Syafii Maarif, Dien Samsyudin, Gus Dur, Hasyim Muzadi), dan juga partai politik (PDIP, Gerindra dan Hanura).

Bagaimanapun juga, skandal korupsi Bank Century ini sebagai masalah nasional dalam sorotan publik belum terpecahkan. Uang kalangan nasabah belum dikembalikan, dana Rp. 6,7 triliyun milik publik belum dapat dikembalikan/ditarik, pelaku tindak pidana korupsi atas penggunaan dana Rp. 6,7 triliyun itu belum teridentifikasi, apalagi diajukan ke pengadilan. Karena itu, segenap komponen masyarakat madani masih perlu membangun persepsi yang sama dan bersinerji untuk mencari solusi ( cara pemecahan masalah) dan tindak lanjut untuk dilaksanakan sesuai dengan pilihan dan kemampuan masing-masing. Diharapkan tercapainya solusi skandal korupsi Bank Century ini akan mendorong dan meningkatkan upaya masyarakat madani untuk memberantas fenomena “state capture corruption” (korupsi sandera negara) yang telah mengambil tempat semakain luas di Indonesia, khususnya dalam era reformasi ini. Fenomena ini harus diberantas karena membawa dampak negatif sangat besar terhadap proses demokratisasi politik dan ekonomi sebagai syarat utama untuk peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup rakyat.

Kegiatan strategis yang bisa diambil komponen masyarakat madani seperti partai politik, ormas, mahasiswa, LSM, tokoh-tokoh nasional, kalangan jurnalis, dan juga kelompok nasabah yang dirugikan, terfokus pada “penekanan” (pressure) terhadap komponen-komponen strategis (KPK, BPK, PPATK, dan DPR). Bentuk kegiatan penekanan ini tentu saja tergantung “pilihan” dan “kemampuan” komponen masyarakat madani itu sendiri. Setelah itu, komponen masyarakat madani memuarakan kiatan penekanan dan penguatan KPK.

Intitusi penegak hukum ini (KPK) harus didorong untuk bisa langsung mencapai satu sasaran strategis, yakni memenjarakan dan mengajukan ke pengadilan para pelaku tindak pidana korupsi terutama dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan “bailout” Bank Century. Sasaran strategis lainnya adalah Bank Mutiara (nama baru Bank Century) segera mengembalikan dana publik (LPS) yang diterimanya (Rp. 6,7 triliyun) dan juga dana milik sekitar 1.000 nasabah (sekitar Rp. 1,5 triliyun).

Minggu, 08 November 2009

Sikap GD Aktivis 77/78 ttg Korupsi Bank Century

OLEH
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP

Kebijakan pemerintah tentang aliran dana publik lebih dari Rp. 6 trilyun ke Bank Century yang dikeluarkan tanpa persetujuan dan mendapat penolakan dari DPR menunjukkan indikasi adanya state capture corruption (kejahatan negara terhadap warga negara). Kebijakan pemerintah dan negara kemudian lebih mengutamakan kepentingan pemilik modal Bank Century (termasuk orang asing) dan korporat-korporat yang memiliki dana di bank tersebut. Di lain pihak kepentingan kebanyakan nasabah diabaikan. Kebijakan-kebijakan ini sangat jelas telah merugikan keuangan warga negara.

Nasabah Bank Century mengajukan tuntutan publik agar dana mereka dikembalikan. Hingga kini mereka terus berjuang, baik melalui jalur hukum maupun politik. Namun baik Pemerintah maupun Bank Century (kini Bank Mutiara) belum memenuhi tuntutan para nasabahnya, meskipun secara hukum mereka telah memenangkan perkara. Dalam hal ini pihak Bank Century telah diputus pengadilan sebagai pihak bersalah (Pengadilan DI Yogyakarya).

Dengan latar-belakang tersebut, sekaligus untuk memperingati hari Sumpah Pemuda, Group Diskusi (GD) Aktivis 77/78 menyelenggarakan diskusi publik di Jakarta pada 28 Oktober 2009. Beberapa butir pemikiran yang dikemukakan dalam diskusi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Dalam menangani kasus Bank Century seharusnya pihak pemerintah dan Bank Indonesia, berdasarkan data PPATK, membuka ke mana saja aliran dana Bank Century. Aliran dana ini meliputi aliran dana Bank Century, baik sebelum maupun setelah mendapat suntikan dari Bank Indonesia atau LPS (Lembaga Penjamin Simpanan). Ketertutupan tentang aliran dana ini telah menimbulkan spekulasi bahwa dana sebesar 6,8 triliun rupiah telah diselewengkan untuk tujuan politik dan kekuasaan.

2. Kerugian negara akibat dari kasus Bank Century menyisakan tanda tanya besar. BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) kini memeriksa seberapa besar dana yang telah dikucurkan ke Bank Century dan untuk apa saja dialokasikan. Semula pada 14 Nopember 2008 untuk menyelamatkan Bank Century hanya dibutuhkan dana 689,39 miliar rupiah yang diambil dari fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP). Tetapi karena rasio kecukupan modal (CAR) Bank Century di bawah 8% (sejak 31 Oktober 2008 CAR Bank Century sudah minus 3,53%), maka untuk memenuhi CAR dibutuhkan dana sebesar 4,9 triliun rupiah. Sementara Perppu yang sudah berlaku selama 3 bulan ditolak oleh DPR, KSSK malahan mengucurkan lagi dana 1,7 triliun rupiah. Bahkan pada akhirnya dana yang dikucurkan mencapai angka 6,8 triliun rupiah.

3. Kepercayaan publik terhadap sistem perbankan kini merosot karena minimnya peran BI dalam masalah pengawasan bank. Kalau persoalan sebuah bank bisa dideteksi sejak dini, maka dana-dana talangan yang dikucurkan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) tidak akan sebesar sekarang ini. Bila BI dalam hal ini tegas memberikan sanksi kepada manajemen Bank Century, sejak diketahui menjual produk reksadana bodong pada 2003-2005, kerugian nasabah juga tidak akan sebesar sekarang. BI juga gagal melakukan rekruitmen agar bank dikelola oleh orang-orang yang bisa dipercaya (kredibel) dan cakap (capable) serta tidak memiliki conflict of interest. Kalau rekruitmen dilakukan dengan baik, Bank Century tidak akan mengalami kalah kliring dan minusnya rasio kecukupan modal bank tersebut.
Penyakit kronis yang diderita Bank Century telah dibiarkan berlarut-larut sampai akhir 2008, sehingga menghancurkan sistem perbankan nasional yang selama ini dibangun dengan susah payah. Semua ini harus bisa dijelaskan kepada publik, karena menyangkut dana-dana yang berasal dari publik. Sebagian dana talangan tersebut juga berasal dari pemerintah (setoran modal) yang berarti juga dana masyarakat banyak.

4. Sebelumnya dalam menghadapi skandal Bank Bali yang merugikan negara 1 triliun rupiah pemerintah tidak melakukan suntikan dana yang besar. Sebaliknya untuk bank kecil sekelas Bank Century, kini harus dikucurkan dana 6,8 triliun rupiah. Kenyataan ini sangat mengerikan, bahkan hal ini sudah merupakan satu perampokan, menurut mantan wakil presiden Yusuf Kalla.
Kalau alasan penyelamatan oleh Bank Indonesia (BI) dan Departemen Keuangan (Depkeu) karena akan terjadi resiko sistemik sebagaimana direkomendasikan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK), maka hal tersebut tidak masuk akal. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hanya memiliki cadangan uang 18 triliun rupiah, tetapi 30 persen sudah dikuras untuk penyelamatan Bank Century. Artinya LPS hanya dapat digunakan untuk tiga bank. Sementara ada ratusan bank di republik ini yang harus dijamin dana deposannya.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus melakukan audit di balik penyebab bengkaknya bailout (dana talangan) Bank Century akibat sejumlah deposan kakap pemegang reksa dana Antaboga secara diam-diam beralih ke deposito. Tujuan mereka jelas, agar mendapat penjaminan dari LPS pada saat bank mengalami kesulitan likuiditas. Membengkaknya dana suntikan hingga 6,8 triliun rupiah menandakan bahwa LPS gagal menyehatkan Bank Century. Padahal proposal FPJP untuk proses penyelamatan bank itu semula hanya sebesar Rp 1,3 triliun. Hal ini disebabkan karena deposan kelas kakap di Bank Century telah mendapat bunga simpanan tak wajar lebih tinggi daripada suku bunga standar LPS.

5. Deposan kakap di Bank Century, yang berinvestasi di Antaboga Delta Sekuritas, diduga adalah beberapa keluarga konglomerat. Walaupun mereka membantah, nama deposan perorangan kelas kakap di Bank Century yang sering disebut-sebut adalah Boedi Sampoerna, Arifin Panigoro, serta Murdaya Poo (Hartati Murdaya). Para deposan kakap ini juga ikut campur dalam penyelamatan Bank Century.
Para deposan kakap memperoleh bunga lebih besar daripada nasabah lain. Deposan-deposan kakap itu juga menjadi donatur dari salah satu partai pemenang pemilu. Satu-satunya deposan kakap Bank Century yang belum membantah adalah Budi Sampoerna. Pemilik perusahaan rokok PT HM Sampoerna itu menyimpan dana sebesar 2 triliun rupiah di Bank Century.
Skandal Bank Century masih akan panjang dan belum memasuki aspek kriminalitas dan dugaan dana bailout untuk menyelamatkan dana deposan kakap dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang menyetorkan sejumlah dana politik. Juga perlu diselidiki adanya informasi bahwa deposan-deposan kakap tersebut ikut memengaruhi pengambilan keputusan penyelamatan Bank Century. Sebagian deposan itu merupakan donatur dari partai politik tertentu. Mereka sering disebut sebagai elit yang jumlahnya sekitar 10 orang yang menguasai 50 persen dari total dana simpanan di Bank Century.

Berdasarkan butir-butir pemikiran tersebut, maka GROUP DISKUSI Aktivis 1977-1978 (GD Aktivis 77/78) menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Kasus Bank Century sudah menjurus sebagai kejahatan negara kepada warga negara (state capture corruption) yang mengakibatkan hilangnya kepercayaan warga negara terhadap dunia perbankan nasional. Oleh karena itu Penyelenggara Negara harus bertanggung-jawab untuk segera menyelesaikan kasus tersebut secara transparan dan akuntabel dengan jalan:
a. Penyelesaian pengembalian dana para nasabah Bank Century secepatnya tanpa diskriminasi, sebagai wujud perlindungan negara terhadap warga negara.
b. Menuntut pertanggung-jawaban manajemen Bank Century secara hukum.
c. Menuntut pertanggung-jawaban Bank Indonesia dalam fungsi pengawasan terhadap perbankan nasional, khususnya Bank Century.
d. Menuntut pertanggung-jawaban pemerintah secara transparan dalam mengeluarkan kebijakan terhadap Bank Century.

2. Untuk menghindari semua prasangka buruk para pihak tersebut di atas, solusinya adalah Pemerintah harus membuka secara transparan aliran dana Bank Century kepada publik.

3. Menuntut KPK agar segera mengusut kasus Bank Century, sebagai kasus pidana luar biasa yang memiliki implikasi publik yang sangat mendalam secara sosial, politik, dan ekonomi.

Jakarta, 30 Oktober 2009
Group Diskusi Aktivis 77/78 :

Abdulrachim
Agus Suroto
Ahmad Gani
Alben Sidahuruk
Alwis Dahlan
Awad Bahasoan
Biner Tobing
Cahyono Eko Sugiarto
Darwis Darlis
Dwi Soebawanto
Elong Suchlan
Erfanto Sanaf
Indro Tjahyono
Krisnan Muljono
M. Hatta Taliwang (Koordinator)
M. Singgih
Mahmud Madjid
Maruli Gultom
Muchtar Effendi Harahap
Muslich Asikin
Nizar Dahlan
Policarpus da Lopez
Roel Sanre
Samuel Koto
Setiadarma
Sismulyanda Barnas
Solo Simanjuntak
Suluh Tjiptadi
Sutopo
T.M Aryadi
Tashudi
Teuku Iskandar
Umar Marrasabessy

Minggu, 01 November 2009

Pernyataan Keperihatinan Group Diskusi 77/78 tentang Penahanan Pimpinan KPK

KEPRIHATINAN DAN PERNYATAAN SIKAP
GRUP DISKUSI AKTIVIS 77 - 78


Seperti kita ketahui saat ini telah terjadi konflik kelembagaan antara Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Telah menjadi rahasia umum semua ini dipandang publik sebagai upaya kriminalisasi dan pengkerdilan KPK.

Dalam proses selanjutnya beberapa Pimpinan KPK telah diseret dalam penyelidikan dan penyidikan dengan menggunakan berbagai dalih hukum.

Selanjutnya Presiden telah mengeluarkan PERPPU dan Kepres tentang kepemimpinan KPK.

Pada tahap berikutnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan keputusan sela yang mengabulkan gugatan pimpinan KPK, khususnya mengenai penonaktifan, pemberhentian dan pengangkatan pimpinan KPK.

Dengan memperhatikan dan mencermati kondisi serta perkembangan di atas, maka kami yang tergabung dalam Group Diskusi Aktivis 77 – 78 menyatakan :

•Dengan dikeluarkannya PERPPU dan Keppres oleh Presiden tentang kepemimpinan KPK, menunjukkan bahwa Presiden telah melakukan intervensi terhadap konflik antar kelembagaan, POLRI dan KPK

•Bahkan konflik antar kelembagaan ini telah berkembang sampai pada taraf membingungkan masyarakat, di mana semangat dan upaya pemberantasan korupsi yang merupakan program utama pemerintahan SBY menjadi terganggu.




•Jika semangat dan upaya pemberantasan korupsi itu menjadi terganggu dan tidak ada upaya penyelesaian secepatnya konflik antar kelembagaan tersebut, maka akan menimbulkan krisis yang lebih besar yang akan dihadapi oleh bangsa dan negara.

Untuk itu kami menyerukan :

1.Agar Presiden dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara, segera mengambil tindakan untuk melaksanakan amar putusan MK.

2.Melakukan tindakan dan pembenahan terhadap institusi POLRI untuk menjamin kinerja dan tidak menimbulkan konflik yang berkepanjangan dengan KPK

3.Agar Presiden mengambil tindakan dan segala upaya untuk memperkuat penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di seluruh Indonesia


Jakarta, 30 Oktober 2009
Grup Diskusi Aktivis 77/78 :

1. M. Hatta Taliwang (Koordinator)
2. Awad Bahasoan
3. Umar Marrasabessy
4. Sismulyanda Barnas
5. Biner Tobing
6. Indro Tjahyono
7. Samuel Koto
8. Darwis Darlis
9. Abdulrachim
10 Muchtar Effendi Harahap
11. Cahyono Eko Sugiarto
12 Nizar Dahlan
13. Dwi Soebawanto
14 Mahmud Madjid
15. Elong Suchlan
16. Alben Sidahuruk
17. Erfanto Sanaf
18. Ahmad Gani
19. Alwis Dahlan
20. Suluh Tjiptadi
21. Policarpus da Lopez
22. Krisnan Muljono
23. Setiadarma
24. Tashudi
25. Roel Sanre
26. Teuku Iskandar
27. Solo Simanjuntak
28. Maruli Gultom
29. Muslich Asikin
30. Sutopo
31. M. Singgih
32. Agus Suroto
33. T.M Aryadi