Selasa, 14 November 2017

DI BAWAH PERMEN LHK NO.P.39/2017, PETANI MISKIN JAWA TIDAK AKAN LAKUKAN JUAL BELI TANAH GARAPAN

DI BAWAH PERMEN LHK NO.P.39/2017, PETANI MISKIN JAWA  TIDAK AKAN  LAKUKAN JUAL BELI TANAH GARAPAN

Oleh

MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)



Ada beberapa orang dari Jawa Barat mengajukan permohonan uji materiil di Mahkamah Agung ( MA)
Permen LHK No.P.39/2017 ttg Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perhutani. Mereka menghendaki MA membatalkan kebijakan perhutanan sosial pro  rakyat miskin di Jawa ini.

Salah seorang Pemohon tinggal di Kabupaten Karawang, ngakunya pemimpin suatu LSM tertentu. Pemohon ini melanjutkan prediksi dan opini tentang akan terjadi praktek jual beli tanah garapan. Kesempatan terjadinya penyimpangan ini terbuka mengingat hak pemanfaatan hutan oleh  pemegang IPHPS (Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial)  seperti  disebutkan Permen LHK No.P.39/2017 berlangsung cukup lama, yakni 35  tahun.

Apalagi hak garap atau hak pemanfaatan lahan hutan tersebut dapat pula diwariskan. Sengketa kepemilikan lahan hutan Perum Perhutani oleh Pemegang IPHPS akan semakin pelik, sementara masalah pengelolaan hutan akan terabaikan dengan sendirinya.

Prakiraan dan  opini Pemohon uji materiil Permen LHK No. P 39/2017   ini  sungguh-sungguh tidak mendasar dan tidak rasional. Baginya,  lamanya masa Izin Pemanfaatan berpengaruh terhadap terjadi praktek jual beli tanah garapan. Pengktitik ini tanpa memahami mekanisme dan prosedur berlangsungnya Izin Pemanfaatan hingga bisa 35 tahun. Seakan-akan Izin Pemanfaatan itu berlangsung begitu saja tanpa ada monitoring dan evaluasi dari Pihak Pemerintah.

Adalah tidak mungkin bisa terjadi praktek jual beli tanah garapan oleh Petani Miskin penerima IPHPS . Di bawah Permen LHK No.P.39/2017, petani miskin Jawa tidak akan lakukan jual beli tanah garapan. Mengapa?

Pertama, tanah garapan itu bukan milik pemegang IPHPS. Sesuai Pasal 14 Permen LHK No. P.39, Pemegang IPHPS sekaligus merupakan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS). Hak Pemegang IPHPS yakni:

a. Melakukan kegiatan pada areal yang telah diberikan IPHPS.
b. Mendapat perlindungan dari gangguan perusakan dan pencemaran lingkungan atau pengambilalihan secara sepihak oleh pihak lain.
c. Mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan sesuai dengan fungsinya.
d. Mendapatkan  pendampingan dalam hal permohonan, pemanfaatan, penyuluhan, teknologi, akses pembiayaan dan pemasaran.
e. Mendapatkan hasil usaha pemanfaatan.
f. Bermitra dengan BUMN atau BUMS.

Berdasarkan ketentuan hak-hak Pemegang IPHPS di atas, maka dapat disimpulkan, tidak ada hak Pemegang IPHPS untuk memiliki (hak kepemilikan) atas areal yang telah diberikan IPHPS. Bahkan, di dalam Pasal 15, secara tegas ditetapkan, anggota kelompok dilarang memindahtangankan lahan garapan.

Kedua,  mengenai lamanya (35 tahun) Pemegang IPHPS, bukan berarti langsung dan otomatis  Pemegang IPHPS memanfaatkan lahan garapan tersebut  selama 35 tahun. Dalam pelaksanannya,  terdapat monitoring dan evaluasi (Monev)  oleh Pemerintah. Jika dalam 5 tahun ternyata hasil evaluasi menunjukkan Pemegang IPHPS tidak melaksanakan kewajiban, Pemerintah memberikan peringatan 3 (tiga) kali berturut-turut dalam waktu 1 (satu) bulan dan dikenakan sangsi pencabutan.

Ketiga, ada kendali strategis lain sehingga sangat tidak mungkin terjadi jual beli tanah garapan sepertimana diperkirakan Pemohon/Pengkritik, yakni Pasal 23 Ayat (4) menetapkan, dalam rangka pembinaan dan pengendalian pehutanan sosial, kepada anggota kelompok Pemegang IPHPS diberikan Kartu Perhutanan Sosial oleh salah satu  Direktur Jenderal Kementerian LHK (Pemerintah). Ketentuan ini membatasi pihak lain dapat memanfaatkan areal lahan garapan.   Akan diketahui cepat jika   pihak tertentu mengakui Pemegang IPHPS padahal sesungguhnya bukan Pemegang IPHPS  karena tidak bisa menunjukkan Kartu Perhutanan Sosial.

Keempat, dlm implementasi Permen LHK No.P.39/ 2017 ini,  Pemerintah atau Negara hadir  sepanjang waktu melalui kegiatan antara lain: bantuan teknis, pemberian kredit, pembinaan, fasilitasi, dan Monev (Monitoring dan Evaluasi). Kehadiran Negara ini   sangat membantu untuk menghindarkan  keberhasilan pihak-pihak bermaksud untuk melakukan jual beli lahan garapan.

Pemohon/Pengkritik  sungguh-sungguh salah memprediksi dan mengajukan opini tentang akan terjadi praktek jual beli tanah garapan. Pemohon/Pengkritik  tidak berangkat dari asumsi dasar,  regulasi tertuang di dalam Permen LHK Nomor P.39 sudah mengantisipasi masalah   kemungkinan akan  terjadi jual beli tanah  garapan.

Kelima, pd   11-12 Nop. 2017  ada  pertemuan  "Rencana Aksi Implementasi Perhutanan Sosial untuk Pemerataan Ekonomi",  bertempat  di sebuah Hotel berlokasi  di Jakarta Pusat, diselenggarakan oleh Kementerian LHK. Diundang sekitar 22 Kelompok Tani Penggarap Lahan Hutan Negara di Pulau Jawa sebagai implementasi
Kebijakan perhutanan dan Permen LHK No.P.39/2017.

Dalam pertemuan, ada 17 Kelompok Tani Perhutanan Sosial diberikan kesempatan untuk menyampaikan berbagai cerita dari lapangan, mencakup:

1. Luas lahan yang sedang dan akan digarap.
2. Sedang mengerjakan apa.
3. Masalah yang digadapi.
4. Rencana Aksi ke depan.

Tidak ada satupun juru bicara Kelompok Tani menyinggung adanya jual beli lahan  garapan. Setelah mereka menerima SK IPHPS, malah mereka menganggap diri mereka telah merdeka. Mereka dari penekanan dan intimidasi pihak2 tertentu tentang pemanfaatan lahan.

Di lain pihak, Penulis sempat berdialog dan wawancara dgn beberapa pimpinan Kelompok Tani Perhutanan Sosial dimaksud terkait masalah jual beli tanah garapan  di bawah Permen LHK No.39/2017. Semua mereka menjawab, tidak mungkin karena ada pengawasan dari kelompok mereka. Pemanfaatan lahan hutan yang diizinkan Pemerintah tidak terlepas dari kerjasama dan pengawasan  kelompok penerima IPHPS.

Uraian di atas  menolak perkiraan dan opini Pemohon dari Kabupaten Kerawang tsb bahwa petani miskin di Jawa  penerima IPHPS akan lakukan jual beli tanah garapan. Bisa jadi perkiraan dan opini Pemohon atau Pengkritik
semacam  ini berdasarkan potret diri (pengalaman  diri)  pd masa lalu, tetapi  bukan di bawah Permen LHK No.P.39/2017.

Adalah tidak mengada-ada jika Kita meminta Tim Hakim MA utk menolak permohonan uji materiil Permen LHK No.P.39/2017. Alasannya, argumentasi penerima IPHPS akan lakukan jual beli tanah garapan tidak akan terjadi dan semata-mata hanya utk membatalkan kebijakan Pemerintah pro rakyat miskin khususnya di Pulau Jawa.

Kamis, 09 November 2017

PETANI MISKIN JAWA TIDAK AKAN MENIMBULKAN BENCANA ALAM

PETANI MISKIN JAWA TIDAK AKAN  MENIMBULKAN BENCANA ALAM

Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)


 Kebijakan perhutanan sosial di Pulau Jawa kini diperkuat regulasi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No. P.39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di wilayah Kerja Perum Perhutani. Permen LHK P.39/2017 ini sesungguhnya antara lain untuk mensukseskan penghentasan kemiskinan masyarakat atau petani tinggal di sekitar dan di dalam wilayah kerja Perhutani,  Pulau Jawa. Petani miskin diberikan IPHPS (Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial) untuk memanfaatkan maksimal 2 Ha tanah hutan yang gundul atau maksimal tegakan 10 % dan mangkrak, tidak dikelola Perhutani. Masa waktu Izin Pemanfaatan ini 35 tahun, dievaluasi 5 tahun sekali. Jika pemegang Izin tidak melaksnakan kewajiban, maka Pemerintah mengambil kembali tanah hutan tersebut.

Di Jawa Barat terdapat beberapa warganegara dari  kelas menengah atas mengkritik, mengecam bahkan mengajukan permohonan uji materiil di Mahkamah Agung agar Permen LHK No.P39/2017 itu dibatalkan, atau tidak berlaku.  Tentu saja para pemohon ini dengan beragam alasan dan kepentingan baik pribadi maupun kelompok.

Pengkritik klaim, pelaksanaan Permen LHK No. P.39/2017  akan menimbulkan banyak bencana alam.  Klaim Pengkritik ini dapat dinilai salah, mengada-ada, prasangka, apriori, ahistoris dan fiksi. Pengkritik  memprediksi kebijakan perhutanan sosial di Pulau Jawa akan merusak lingkungan alam dan pada gilirannya menyebabkan terjadinya bencana alam. Penyebab utama adalah rakyat miskin penerima IPHPS tidak cakep.Pengkritik  mencitrakan dirinya adalah orang  yang cakap dalam mengelola atau memanfaatkan lahan hutan. Kerangka berpikir diskriminatif telah mewarnai kritik dan penolakan atas kebijakan perhutanan sosial di sekitar wilayah kerja Perum Perhutani.

Apakah Petani Miskin tak cakap mengelola hutan lalu otomatis merusak alam dan karenanya timbulkan bencana alam? Jawabannya pasti tidak !

Perlu dipertegas, Permen LHK No. P.39/ 2017 menetapkan bahwa IPHPS diberikan pada areal hutan tutupan lahan terbuka atau tegakan hutan kurang atau sama dengan 10 %, secara terus menerus selama 5 tahun atau lebih. Areal hutan terbuka itu akan ditanam kembali lewat kegiatan perhutanan sosial disertai monitoring dan evaluasi (Monev), melibatkan pendampingan dalam hal permohonan, pemanfaatan, penyuluhan, teknologi, akses pembiayaan dan pemasaran.

Pengkritik klaim, Petani Miskin  Pemegang IPHPS tidak cakep akan  menjadikan hutan Indonesia rusak dan timbulkan bencana. Klaim tidak logis dan tidak faktual.

Pasal 5, ayat (2) Permen LHK Nomor P. 39/2017  menetapkan,   usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dilaksanakan di hutan produksi. Artinya, Pemegang IPHPS tidak beleh usaha pemanfaatan hasil hutan kayu di hutan lindung.

Selanjutnya, Pasal 6 menetapkan, IPHPS dalam Hutan Produksi diatur pada lahan efektif untuk produksi dengan pola tanam:

a. Budidaya tanaman pokok hutan seluas 50 %. b. Budidaya tanaman multi guna/Multy Pupose Trees Species (MPTS) seluas 30 %.
c. Budidaya tanaman semusim seluas 20 %.

Maknanya implementasi Permen LHK No.P.39/2017  akan menyebabkan Pemegang IPHPS melakukan budi daya tanaman pokok hutan seluas 50 %. Hal ini berarti kondisi lingkungan hutan wilayah kerja semakin baik, bukan semakin buruk. Justru kalau tidak dilaksanakan Permen LHK No. P.39/2017  ini dengan kondisi tegakan hanya sama atau kurang 10 % atau juga gundul, kondisi lingkungan semakin buruk dapat menimbulkan bencana alam seperti banjir.

Untuk Hutan Lindung, pola tanam harus dilaksanakan Pemegang IPHPS (Pasal 7) yakni:

a. Tanaman kayu non fast growing species untuk perlindungan tanah dan air seluas 20 %.
b. Tanaman multi guna /Multy Puposes Trees Species (MPTS) seluas 80 %.
c. Tanaman di bawah tegakan berupa tanaman selain jenis umbi-umbian dan/atau tanaman lainnya yang menyebabkan kerusakan lahan.

Ketentuan ini harus dinilai berdasarkan kondisi eksisting hutan lindung yang hanya memiliki tegakan kurang atau sama dengan 10 % atau juga gundul. Jadi, angka 20 % tanaman kayu non fast growing species bermakna mendapatkan dampak positif sebesar minimal 20 %  kayu non fast growing.

Pengkritik mungkin membayangkan  kondisi eksisting hutan lindung dimaksud penuh tegakan dan masih normal sebagai hutan lindung.

Berdasarkan uraian di atas, maka implementasi Permen LHK Nomor P.39 bukan menyebabkan bencana alam, justru memperbaiki kondisi lingkungan
wilayah kerja menjadi lebih baik dan mengurangi potensi  bencana alam.  Tidak boleh dibayangkan Pemegang IPHPS menebang tanaman kayu yang sudah ada di hutan lindung atau hutan produksi penuh tanaman kayu.

Lebih-lebih lagi ketentuan IPHPS dalam hutan produksi mengharuskan budidaya tanaman pokok hutan seluas 50 %, budidaya tanaman multiguna seluas 30 %, budidaya tanaman semusin seluas 20 %. Sedangkan IPHPS pada hutan lindung, pola tanamnnya: 20 % tanaman kayu untuk perlindungan tanah dan air, tanaman multi guna 80%.

Apabila program ini berjalan baik, besar kemungkinan meletakan dasar Pulau Jawa dari Pulau Padi menjadi Pulau Buah-buahan.

Uraian di atas dapat menyangkal prediksi atau klaim Pengkritik bahwa petani miskin penerima IPHPS akan meneyebabkan bencana alam. Logika sangat sederhana dan tidak faktual ini dapat diduga hanya untuk menjustifikasi agar Tim Hakim memenuhi permohonan uji materiil di MA. Sangat mungkin Tim Hakim MA akan menolak permohonan mereka ksrena argumentasi Pengkritik diajukan tanpa data, fakta  tidak faktual dan angka,  juga tidak logis. Prediksi dan opini pengkritik tergolong  mengada-ngada, nencari-cari alasan. Masyarakat atau petani miskin hidup di sekitar dan di dalam hutan tidak sebodoh atau serendah diperkirakan Pengkritik.

Bisa jadi, masyarakat atau Petani Miskin ini lebih cakep dalam mengelola hutan ketimbang Pengkritik yang sesungguhnya bukan Petani, tetapi “Penikmat Rente", tidak pro rakyat miskin di Pulau Jawa, termasuk di Jawa Barat.

Rabu, 08 November 2017

PETANI MISKIN JAWA TAKKAN MEMPERBURUK TATA KELOLA HUTAN

PETANI MISKIN JAWA TAKKAN  MEMPERBURUK TATA KELOLA HUTAN

Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

Pengkritik  perhutanan Sosial di Pulau Jawa memprediksi  Permen  LHK No P.39 /2017 ttg Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani  semakin memperburuk tata kelola hutan. Pengkritik dari Jawa Barat ini klaim,  ribuan  petani miskin pemegang IPHPS (Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial) orang tidak mempunyai keahlian khusus di bidang kehutanan. Mereka  menyebabkan kesemrautan pengelolaan hutan negara.

Sesungguhnya prediksi pengkritik ini  salah, mengada-ada, prasangka, apriori, ahistoris dan  tak faktual. Petani miskin di Pulau Jawa Penerima IPHPS takkan memperburuk tata kelola hutan.   Pengkritik  tidak memahami ketentuan  IPHPS.  Pemegang  IPHPS  punya hak dan kewajiban, dan terima  pembinaan dan fasilitasi.

Mengapa petani miskin Penerima IPHPS takkan merusak tata kelola hutan?

Pertama, Pemegang  IPHPS menurut Permen LHK No. P.39:
1. Petani dengan matapencaharian utama mengerjakan lahan secara langsung.
2. Petani penggarap  tidak memiliki lahan atau petani memiliki lahan di bawah atau sama dengan 0,5 Ha.
3. Petani dengan memperhatikan perspektif gender.
4. Pengungsi akibat bencana alam, diutamakan menjadi anggota kelompok.

Pemegang IPHPS sudah terbiasa hidup di bidang kehutanan dan mengerjakan langsung lahan. Sebagai petani menggarap, mereka warganegara tinggal di sekitar atau di dalam  wilayah kerja Perhutani dibuktikan KTP (Kartu Tanda Pengenal) dan NIK (Nomor Induk Kependudukan), atau  telah memiliki riwayat penggarapan dibuktikan dengan surat keterangan dari Ketua Kelompok Masyarakat, Ketua Kelompok Tani atau Koperasi.   Karena itu,  mereka memiliki pengetahuan dan pemahaman khusus di bidang kehutanan. Tingkat pendidikan formal  mereka cenderung rendah. Tetapi, tak berarti tingkat Pengetahuan dan pemahaman khusus di bidang kehutanan rendah juga.

Kedua,  Pemegang IPHPS memiliki hak dan kewajiban. Petani miskin ini  akan bekerja sesuai dengan hak dan kewajiban. Apa kewajiban mereka ?

1. Menjaga arealnya dari perusakan dan pencemaran lingkungan. 2. Memberi tanda batas areal kerjanya.
3. Menyusun rencana pemanfaatan jangka panjang selama 10 (sepuluh) tahun dan jangka pendek selama 1 (satu) tahun.
4. Melakukan penanaman dan pemeliharan di areal kerjanya.
5. Melakukan tata usaha hasil hutan.
6. Mempertahankan fungsi hutan.
7. Melaksanakan fungsi perlindungan.

Kewajiban ini mengharuskan pemegang IPHPS untuk mendukung  meningkatkan tata kelola hutan yang baik.  Takkan  memperburuk Tata Kelola Hutan.

Ketiga, Pemegang IPHPS yang ribuan itu  mendapatkan  "pendampingan". Pasal 9 Permen LHK Nomor 39 tahun 2017 berbunyi,  Pemohon IPHPS dapat menunjuk pendamping LSM  (lembaga swadaya masyarakat) setempat  berbadan hukum. Dalam hal Pemohon IPHPS tidak menunjuk pendamping, maka Pokja PPS (Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial) menunjukkan pendamping  setempat berbadan hukum.

PPS adalah kelompok kerja membantu fasilitasi dan verifikasi kegiatan percepatan perhutanan sosial.

Pendampingan  Pemegang IPHPS membuat  sangat tak mungkin memperburuk tata kelola hutan. Justru,  pendampingan ini membuat tata kelola hutan kian baik.   Pengkritik  mengabaikan  adanya  pendampingan Pemegang IPHPS.

Keempat, ada Monitoring dan Evaluasi (Monev),  tentu saja dapat mengendalikan setiap prilaku  Pemegang IPHPS. Harus laksanakan  kewajiban.

Monitoring dilakukan secara berkala paling sedikit 1 kali setiap 6 bulan. Evaluasi  paling sedikit 1 kali 1 tahun. Monev  oleh Pemerintah,  Direktur Jenderal,  melibatkan Pokja PPS dan Perum Perhutani, dibantu Tim Kerja.

Monev tentu saja mengendalikan  Pemegang IPHPS sehingga tidak memperburuk tata kelola hutan seperti diprediksi Pengkritik.

Kelima, Pemegang IPHPS tidak mungkin memperburuk tata kelola hutan karena Pemerintah melakukan langsung "pembinaan" dan "fasilitasi".  Sesuai Pasal 23 Permen LHK No P.39/ 2017, Direktur Jenderal, Kepala Badan, dan Kepala Dinas sesuai dengan kewenangannya melakukan pembinaan dan fasilitasi pelaksanaan perhutanan sosial. Pembinaan dan fasilitasi ini mencakup kegiatan al.: penandaan batas areal kerja, pemetaan dengan drone , pendampingan, penyuluhan, dukungan bibit, sarana produksi, bimbingan teknis, sekolah lapang, promosi/pemasaaran produk, penelitian dan pengembangan. 

Pembinaan dan fasilitasi perhutanan sosial dapat juga diberikan oleh Kementerian/Lembaga, Lembaga keuangan, BUMN/BUMS, dalam rangka program pemberdayaan masyarakat

Pembinaan dan fasilitasi oleh Pemerintah dan lembaga2 negara ini mengarahkan  Pemegang IPHPS meningkatkan tata kelola hutan yang baik, bukan justru memperburuk.

Keenam, Pemerintah memberi sanksi kepada Pemegang IPHPS. Pasal 24 Permen LHK Nomor P.39 menetapkan, dalam hal hasil evaluasi Pemegang IPHPS melakukan pelanggaran berupa pemindahan IPHPS kepada pihak lain dan melakukan manipulasi/pemalsuan data dikenakan sanksi pencabutan izin. Dalam hal hasil evaluasi pemegang IPHPS tidak memenuhi kewajibannya diberikan peringatan 3  kali berturut-turut dalam waktu 1 bulan dan dikenakan sanksi pencabutan izin. 

Sanksi ini tentu saja membuat  Pemegang IPHPS takkan  menyimpang dari ketentuan Permen LHK No. P. 39., termasuk kegiatan dan pola tanam yg  diperbolehkan.

Ketujuh, bukti lapangan dapat menyangkal prediksi pengkritik. Pd 6 Nop. 2017, Presiden Jokowi menyerahkan SK IPHPS lebih  1.662 orang di  Desa Dungus,Wings,  Kab.Madiun Jatim. Penerima SK IPHPS berasal dari Kab. Madiun, Kab. Tulung Agung, dan Kab.Tuban. Seluruh Penerima IPHPS petani hutan di sekitar dan di dalam area kerja Perum Perhutani. Mereka sudah terbiasa hidup dan bekerja sebagai petani penggarap di bidang kehutanan.

Adalah keliru Pengkritik mengklaim, ribuan penerima IPHPS tidak mempunyai kemampuan khusus di bidang kehutanan. Persoalan fundamental bagi petani penggarap ini bukan kemampuan khusus, tetapi luas lahan hutan yang bisa dimanfaatkan. Selama ini mereka tanpa lahan atau maksimal 0,5 Ha dgn pendapatan rata2 Rp.500 ribu per bulan/KK. Petani di acara ini mendapatkan dokumen negara sebagai pemanfaatan hutan negara maksimal 2 Ha, disebut SK IPHPS. SK ini payung hukum bagi Petani Penerima utk memanfaatkan lahan tsb selama 35 tahun. Lahan ini bukan di bagi-bagi, tapi dipinjamkan oleh negara. Petani memberikan hasil bersih 30 % kepada perhutani, 70 % sisanya untuk petani tsb.

 Krn itu, tak ada alasan Pengkritik memprediksi ribuan Penerima  IPHPS akan membuat tata kelola hutan tidak baik. Hidup mereka sejak kakek nenek mereka sudah terbiasa di lingkungan kehutanan.

Tujuh   alasan di atas menyangkal penilaian Pengkritik dari Jawa Barat ini. Justru sebaliknya, implementasi Permen LHK No.P39/2017 ini turut meningkatkan kualitas tata kelola hutan di Pulau  Jawa khususnya.

Sabtu, 04 November 2017

KEDAULATAN RAKYAT: KEPUTUSAN PULAU PALSU MELALUI REFERENDRUM

Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)




Alumni & Mhs UI Bangkit untuk  Keadilan telah  mengadakan Seminar dgn thema "Kedaulatan Bangsa Pasca Reformasi",  Jumat 27 Oktober 2017, Ruang Terapung, Perpustakaan UI Depok.

Panitia Seminar juga berharap ada  pembahasan  tentang Proyek Reklamasi di Teluk Jakarta yang sedang menjadi issue nasional sekarang ini.

Hadir selaku Pembicara,
Kapolri diwakili Staf Ahli, Yusril Ihza Mahendra,    Connie Rahakundini,
Rocky Gerung,
Abdul Rachim,
Muchtar Effendi Harahap dan Taufik Bahaudin. Dimoderatori Ramli Kamidin.

Dalam pembahasan kedaulatan rakyat, Seminar cenderung sepakat telah terjadi perubahan antara sebelum dan sesudah reformasi. Sebelum reformasi kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui MPR, diwakili anggota DPR  hasil pemilu, utusan daerah dan golongan. Intinya, semua  kelompok warganegara minoritas terwakili di MPR. Di era reformasi, kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui UUD. Ada penilaian, kedaulatan rakyat masih sebagai  cita-cita, jauh dari kenyataan.

Yusril dominan membahas kedaulatan rakyat. Menurutnya, sebelum reformasi  konsep kedaulatan yang sepenuhnya di tangan rakyat,  merupakan titik temu dari aliran hukum adat, aliran pemikiran Islam dan juga aliran pemikiran politik. Setelah Amandemen UUD 1945, DPR bukan lagi menjadi kekuasaan tertinggi. Telah terjadi perubahan fundamental, dari MPR ke UUD dalam hal ini Pemilihan Langsung oleh rakyat.

Dalam pembahasan reklamasi atau Pulau Palsu di teluk Jakarta, Seminar menunjukkan semangat untuk menolak. Salah satu alasan mengemuka dari segi dampak negatif terhadap lingkungan, terutama kelompok nelayan dan keberadaan fasilitas PLN. Bahkan, diperkirakan, menurut Abdul Rachim,  pembangunan Pulau Palsu itu membuat PLN merugi Rp. 3 miliar per hari.

Dalam pembahasan Pulau Palsu kaitan dgn kedaulatan rakyat, saya sebagai Pembicara dalam Seminar  menilai,  telah menjadi beberapa issu. Yakni: issu lingkungan, mata pencaharian nelayan, pertahanan dan keamanan, cinasisasi, politik kekuasaan Rezim Jokowi, juga tindak pidana korupsi atau suap pimpinan Parpol tertentu hingga triliunan rupiah.

Pulau Palsu ini dinilai seperti negara di dalam negara. Tidak boleh dimasuki oleh bahkan wartawan sekalipun. Ada  semacam Satpam Developer berjaga-jaga untuk melarang masuk warganegara Indonesia.  Bahkan, Kepolisian tidak hadir di Pulau Palsu itu.
Seminar sepakat,   Pulau Palsu itu  bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat.

Seminar tidak berbeda dengan issue di luar pembangunan Pulau Palsu mendapatkan penolakan dari kelompok2 Alumni perguruan tinggi di Indonesia.

Apa solusi tepat atas masalah pembangunan Pulau Palsu ini dalam pendekatan kedaulatan rakyat?

Menurut Saya, solusi paling tepat untuk masalah apakah pembangunan Pulau Palsu itu bertentangan atau tidak dengan prinsip kedaulatan rakyat, yakni meminta pendapat atau penilaian terhadap rakyat khususnya di wilayah DKI Jakarta melalui semacam referendum atau pemungutan suara. Jika Rezim Jokowi betul2 ingin meyakinkan publik bahwa pembangunan Pulau Palsu itu tidak bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat, adakan referendum atau pemungutan suara.

Referendum  (dari bahasa Latin) atau jajak pendapat adalah suatu proses pemungutan suara semesta untuk mengambil sebuah keputusan. Rakyat   memiliki hak pilih dimintai pendapat mereka. Hasil referendum bisa dianggap mengikat atau tidak mengikat. Sebuah referendum dianggap mengikat apabila Pemerintah harus mengikuti seluruh jawaban rakyat yang ada dalam hasil referendum. Apabila referendum tidak mengikat, berarti referendum itu hanya digunakan sebagai fungsi penasihat saja, di mana hasil yang ada tidak harus diikuti, namun menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan selanjutnya.

Untuk kasus Pulau Palsu ini, demi kedaulatan rakyat, referendum harus  mengikat terhadap Rezim Jokowi. Harus dilaksanakan hasil referendrum Pulau Palsu.

Pertanyaan berikutnya, secara hukum bolehkah diadakan referendum untuk Pulau Palsu ini ? Sebagai Ahli Hukum Tata Negara, Yusril menegaskan "boleh" asal Gubernur DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta memiliki kesepakatan dan menerbitkan regulasi untuk itu.

Rocky Gerung, salah seorang Pembicara Seminar melalui Moderator  juga sepakat solusi referendrum ini seperti halnya di Inggris rakyat memutuskan terus atau berhenti menjadi anggota MEE (Masyarakat Ekonomi Eropa)  melalui referendrum. Hasilnya, negara Inggris keluar dari keanggotaan MEE. Ini contoh penegakan prinsip kedaulatan rakyat. Rakyat memiliki kekuasaan tertinggi, bukan parlemen apalagi eksekutif.

Jika hasil referendum Pulau Palsu menunjukkan mayoritas rakyat tidak setuju, maka Rezim Jokowi harus patuh atas hasil referendum yakni menghentikan total pembangunan Pulau Palsu di Teluk Jakarta itu. Tetapi, jika rakyat DKI mayoritas setuju, maka semua kelompok penentang pembangunan Pulau Palsu demi kedaulatan rakyat harus menerima dilanjutkannya pembangunan Pulau Palsu. Maka, prinsip kedaulatan rakyat benar2 ditegakkan atas penyelesaian masalah pembangunan Pulau Palsu sebagaimana biasa di publik disebut "reklamasi".

Referendum itu diperlukan kalau negara dan rakyat berbeda pendapat dalam suatu masalah. Kebijakan rezim Jokowi ttg Pembangunan Pulau Palsu ditolak publik dan juga Gubernur DKI baru. Karena tidak ada titik temu dan kebijakan ini langsung berdampak pada lingkungan dan juga rakyat  nelayan, maka baik rezim maupun gubernur harus patuh pada kedaulatan rakyat. Rakyat menentukan apakah kebijakan itu ditolak atau diterima. Caranya ya referendum. Referendum tidak harus soal konstitusi. Dalam politik bisa ttg politik luar negeri, politik dalam negeri dan juga kebijakan publik. Dengan referendum tidak ada alasan lagi pejabat negara saling ngotot. Semua diserahkan pada rakyat pemilik kekuasaan tertinggi (daulah),
bukan Jokowi bukan juga Luhut.

Logika hukum Pengkritik ini  tidak relevan dan dangkal amat.  Yang dibicarakan metode pemecahan masalah pembanguna n pulau palsu dalam pendekatan "kedaulatan rakyat". Obyeknya pembangunan pulau palsu. Digunakan UU Referendum untuk menyangkal gagasan referendum Pulau palsu, sangat tidak relevan. UU Referendum itu urusan UUD, kemanggisan pembangunan kualifikasi. Logika hukum untuk referendum pulau palsu, adakah kesepakatan Gubernur DKI dan DPRD DKI, bukan logika hukum UU Referendum. Jangan dihubung-hubungkan seperti cerita Kancil abak2 TK dan SD. Tidak juga ada hubungannya masalah korupsi pulau palsu dgn referendum. Referendum itu metode pemecahan masalah secara politik..tidak harus untuk UUD atau merdeka suatu daerah. Itu terlalu jauh.
HOME BERITA NASIONAL
 NASIONAL
Soal Reklamasi, Prabowo Ingatkan Anies-Sandi Akomodasi Pengusaha
Prabowo berharap Anies-Sandi mengambil langkah yang terbaik dalam memutuskan kebijakan reklamasi Teluk Jakarta.

Prabowo memberikan pesan kepada Anies-Sandi mengenai kebijakan reklamasi Teluk Jakarta. ANTARA FOTO/M. AGUNG RAJASA
     
Komentar
Terbaca
3.1K
Senin 16/10/2017, 19.55 WIB
Ameidyo Daud
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo angkat bicara soal isu penghentian reklamasi Teluk Jakarta. Ia mengingatkan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, agar mengakomodasi kepentingan semua sektor, termasuk dunia usaha, dalam mengambil kebijakan terkait reklamasi Teluk Jakarta.

Pesan itu disampaikan oleh Prabowo ketika ditanyakan oleh para wartawan tentang kebijakan reklamasi yang harus ditempuh oleh Anies-Sandi saat memimpin Jakarta.  Selama masa kampanye, Anies-Sandi kerap menyuarakan janji menghentikan reklamasi Jakarta.

"Tentunya, janji adalah utang. Tentunya juga mereka bertekad bekerja untuk kepentingan rakyat. Tadi saya juga pesankan mereka harus akomodatif, harus juga memperhatikan kepentingan semua sektor, juga kepentingan para pengusaha yang harus diperhitungkan dan harus bisa diakomodasi," kata Prabowo, usai pelantikan Anies- Sandi di Istana Negara, Senin (16/10).

(Baca: Resmi Dilantik, Anies-Sandi Ditagih Hentikan Reklamasi Teluk Jakarta)

Prabowo menyatakan Anies-Sandi akan mengambil langkah yang terbaik dalam memutuskan kebijakan reklamasi Teluk Jakarta.



Daftar newsletter Katadata sekarang!
Dapatkan berita terbaru pilihan kami melalui email Anda setiap hari (Senin - Jumat).
Sign Up Newsletter
Prabowo berharap Anies dapat bekerja dengan baik lantaran masalah Jakarta sangat rumit dan pelik. Prabowo juga enggan memberikan petuah banyak lagi kepada pasangan ini lantaran telah banyak nasihat yang diberikan.

Sementara Anies juga masih enggan membahas nasib reklamasi ke depannya. "Lihat ke janji saja," katanya usai dilantik Presiden Joko Widodo di Istana Negara.

Menjelang pelantikan Anies-Sandi, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan telah mencabut moratorium (penghentian) proyek reklamasi di pulau C, D, dan G. Para pengembang kembali memiliki hak mengelola reklamasi. Pulau C dan D akan digarap oleh PT Kapuk Naga Indah, sementara Pulau G dikerjakan oleh PT Muara Wisesa Samudera, anak perusahaan PT Agung Podomoro Land.

(Baca: Usai Dilantik, Anies-Sandi Akan Berikan Rekomendasi Tolak Reklamasi)

Luhut menyatakan telah berdiskusi dengan Sandiaga dan menjelaskan hal-hal terkait pencabutan moratorium. Luhut juga mengatakan nantinya Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Ridwan Djamaludin akan segera berkoordinasi dengan tim dari Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta terpilih untuk menyelesaikan masalah hukum terkait moratorium ini.

"Mereka (tim dari Sandiaga Uno) datang ke sini dan saya jelaskan bahwa Pak Ridwan akan beri pengarahan," kata Luhut beberapa pekan lalu.

Setelah moratorium dicabut, pemerintah provinsi DKI Jakarta juga mengajukan surat kepada DPRD untuk membahas Raperda Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta dan Raperda tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (ZWP3K). Pembahasan kedua Raperda untuk memperkuat legalitas kebijakan reklamasi Teluk Jakarta

HOME BERITA NASIONAL
 NASIONAL
Anies-Sandi Bakal Manfaatkan Pulau Reklamasi Teluk Jakarta
Sudirman Said mengatakan Anies-Sandi akan memanfaatkan pulau hasil reklamasi Teluk Jakarta. Pulau yang telah dibangun tak dapat dibongkar.

Ketua Tim Sinkronisasi Anies-Sandi, Sudirman Said, mengatakan pulau reklamasi Teluk Jakarta akan dimanfaatkan pemprov Jakarta. ARIEF KAMALUDIN|KATADATA
     
Komentar
0
Terbaca
534

Rabu 1/11/2017, 17.33 WIB
Dimas Jarot Bayu
Ketua Tim Sinkronisasi Anies Baswedan-Sandiaga Uno, Sudirman Said, mengatakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memutuskan akan memanfaatkan pulau-pulau reklamasi Teluk Jakarta yang sudah dibangun. Pulau-pulau tersebut, yakni Pulau C, D, dan G yang moratorium atau penghentian sementaranya telah dicabut pemerintah pusat.

Sudirman mengatakan, pulau reklamasi yang telah dibangun tak mungkin dibongkar. Sebab, hal tersebut justru akan menimbulkan masalah lingkungan. "Jadi dimanfaatkan, tapi pemanfaatannya sesuai dengan aturan yang berlaku," kata Sudirman di Balai Kota, Jakarta, Rabu (1/11).

(Baca: Luhut: Silakan Anies Hentikan Reklamasi Jakarta, Asal Sesuai Aturan)

Sebelumnya, Anies-Sandi bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla di kantor Wapres. Dalam pertemuan pada Selasa, 31 Oktober kemarin, Kalla menyatakan seharusnya pemprov Jakarta melanjutkan pembangunan pulau reklamasi.

Sudirman mengatakan, pemanfaatan pulau yang telah dibangun harus disesuaikan dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Selain itu, perlu dikaji lagi pemanfaatannya dengan berbagai Perpres dan Pergub yang berkaitan dengan reklamasi. "Harus ada suatu harmonisasi," kata Sudirman.

Daftar newsletter Katadata sekarang!
Dapatkan berita terbaru pilihan kami melalui email Anda setiap hari (Senin - Jumat).
Sign Up Newsletter
Sudirman mengatakan, rencana pemanfaatan itu sedang dikaji oleh tim internal Pemprov DKI Jakarta. Dia pun menilai pengkajian pemanfaatan Pulau C, D, dan G tak perlu terburu-buru sehingga hasilnya lebih komprehensif.

"Karena isunya sudah jadi kontroversi publik, makanya harus lebih hati-hati. Kehati-hatian itu penting," kata dia. (Baca juga: Soal Reklamasi, Prabowo Ingatkan Anies-Sandi Akomodasi Pengusaha)

Adapun terhadap rencana pembangunan pulau lainnya, Sudirman menilai Pemprov DKI tetap berkomitmen menghentikan pembangunannya. Menurut dia, Anies-Sandi akan menghentikan reklamasi dengan mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Menurut Sudirman, pembangunan reklamasi yang dikerjakan jauh dari apa yang dirancang sejak awal dalam Keppres Nomor 52 Tahun 1995. "Kata-kata pulau itu kan muncul belakangan. Itu yang harus diluruskan," kata Sudirman.

(Baca: KPK: BPN Terburu-buru Terbitkan Sertifikat Reklamasi Pulau C dan D)

Pendapat Sudirman ini berbeda dengan anggota Tim Sinkronisasi Marco Kusumawijaya yang mengusulkan Anies-Sandi merevisi draf Peraturan Daerah (perda) sebagai cara menghentikan proyek reklamasi Teluk Jakarta. Draft Perda tersebut kini masih berada di tangan Pemprov DKI Jakarta dan belum dibahas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta.

Marco mengatakan draf Raperda mengenai Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKS Pantura) mengandung peta-peta yang persis seperti yang diinginkan pengembang. Marco yang juga pendiri Rujak Center for Urban Studies mengatakan Anies Baswedan dapat mengubah peta-peta dalam Raperda tersebut sehingga reklamasi berhenti

HOME BERITA NASIONAL
 NASIONAL
Luhut: Silakan Anies Hentikan Reklamasi Jakarta, Asal Sesuai Aturan
Anies harus mempertimbangkan aturan dan kewenangannya bila ingin menghentikan reklamasi Teluk Jakarta.

ARIEF KAMALUDIN (KATADATA)
     
Komentar
0
Terbaca
5.1K

Selasa 17/10/2017, 13.19 WIB
Dimas Jarot Bayu
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mempersilakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melanjutkan rencana penghentian reklamasi Teluk Jakarta. Luhut mengingatkan, penghentian reklamasi harus dilakukan sesuai aturan dan kewenangan yang berlaku.

"Silakan saja, kalau sesuai aturan saya ikut saja. Kalau aturannya memang demikian kami ikuti," kata Luhut di kantornya, Jakarta, Selasa (17/10).

Luhut merespons pernyataan Anies dalam pidato perdananya sebagai Gubernur DKI pada Senin (16/10) malam. Anies tak secara langsung menyatakan menghentikan reklamasi Teluk Jakarta. Dia menyatakan pengelolaan tanah, air, teluk dan pulau tidak boleh diletakan di atas kepentingan individu maupun korporat.

"Termasuk pengelolaan tanah, air teluk dan pulau tidak boleh diletakan atas dasar kepentingan individu. Pengelolaan itu semua tidak boleh untuk suatu golongan, suatu perhimpunan atau suatu korporasi tapi untuk kepentingan warga Jakarta semua," kata Anies dalam pidatonya.

(Baca juga: Soal Reklamasi, Prabowo Ingatkan Anies-Sandi Akomodasi Pengusaha)

Luhut mengingatkan, ada batasan-batasan kewenangan yang dimiliki oleh pejabat pemerintah, baik menteri, gubernur, bahkan presiden sekalipun. Sehingga, kata dia,   Anies harus mempertimbangkan aturan dan kewenangan yang dimilikinya ketika ingin menghentikan reklamasi.

Daftar newsletter Katadata sekarang!
Dapatkan berita terbaru pilihan kami melalui email Anda setiap hari (Senin - Jumat).
Sign Up Newsletter
"Jangan anggap jadi Gubernur DKI lantas semua bisa dikerjakan, tidak dapat begitu. Jadi kita harus melihat jernih," kata Luhut.

Luhut menuturkan, pencabutan moratorium atau penghentian sementara proyek reklamasi telah sesuai aturan. Pemerintah menganggap seluruh persyaratan yang ditentukan kepada pengembang Pulau C, D, dan G telah dipenuhi.

Alhasil, Luhut menyatakan tidak ada alasan pemerintah untuk terus menunda pembangunan proyek tersebut. Luhut menuturkan, dia hanya bekerja sesuai kewenangannya sebagai Menko Maritim ketika mencabut moratorium tersebut. "Saya sesuai dengan ketentuan kewenangan dan aturan yang ada saya kerjakan," kata Luhut.

(Baca: KPK: BPN Terburu-buru Terbitkan Sertifikat Reklamasi Pulau C dan D)

Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Kemenko Kemaritiman Ridwan Djamaluddin menuturkan, pihaknya telah bertemu dengan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno untuk membahas masalah reklamasi Teluk Jakarta. Ridwan menuturkan, pihaknya telah menjelaskan berbagai pertimbangan yang diambil ketika reklamasi dilanjutkan.

"Kami sudah jelaskan secara gamblang pertimbangan legal, teknis, dan sosial. Jika masih ada yang diperlukan kami siap memberikan keterangan lebih lanjut," kata Ridwan.

Ridwan menyatakan tak masalah jika tim sinkronisasi Anies-Sandi melakukan kajian independen atas reklamasi Teluk Jakarta. Dia menyatakan, kajian tersebut justru bisa memberikan pertimbangan atas kelanjutan proyek reklamasi.

"Kalau ada masukan misalnya Gubernur  Anies akan melakukan kajian ulang (reklamasi Teluk Jakarta), kalau itu dilakukan ya akan lebih bagus juga. Jadi nanti tinggal para ahli yang bicara, bukan yang ahli bicara," kata Ridwan
HOME BERITA NASIONAL
 NASIONAL
HGB Pulau Reklamasi Selesai Satu Hari, Sofyan Djalil: Kami Revisi
Sofyan Djalil diadukan ke Ombudsman RI terkait pemberian sertifikat pulau reklamasi C dan D di Teluk Jakarta.

Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil menyatakan merevisi sertifikat HGB Pulau D. KATADATA | ARIEF KAMALUDIN
     
Komentar
0
Terbaca
1.2K

Jum'at 3/11/2017, 15.45 WIB
Dimas Jarot Bayu
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil mengaku merevisi sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang diberikan kepada pengembang Pulau D dalam reklamasi Teluk Jakarta. Pulau buatan itu sebelumnya mendapat sertifikat HGB dari BPN DKI Jakarta Utara pada hari yang sama dengan surat diajukan, yakni 23 Agustus 2017.

Sofyan menyatakan, sertifikat HGB yang lalu diberikan seluruhnya kepada pengembang PT Kapuk Naga Indah (KIN) yang mengelola Pulau D. Menurutnya, pemberian sertifikat tersebut keliru.

"Kemarin HGB yang dikeluarkan 100% (kepada PT KIN) itu keliru, kami perbaiki," kata Sofyan di Kementerian Pertahanan, Jakarta, Jumat (3/11). (Baca: KPK: BPN Terburu-buru Terbitkan Sertifikat Reklamasi Pulau C dan D)

Dalam revisi, Sofyan menyebut pengembang hanya memiliki 51,5% HGB dari seluruh pulau D. Adapun, sisanya diberikan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. "Selebihnya itu untuk fasilitas sosial dan fasilitas umum Pemprov DKI Jakarta," kata Sofyan.

Menurut Sofyan, pihaknya telah mengeluarkan sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) maupun HGB sesuai aturan. HPL, kata dia, diberikan kepada Pemprov DKI karena pulau reklamasi C dan D berada di bawah kewewnangannya.

"Kemudian Pemprov DKI punya perjanjian dengan pengembang, kami berikan HGB," kata Sofyan. (Baca: Luhut: Silakan Anies Hentikan Reklamasi Jakarta, Asal Sesuai Aturan)

Daftar newsletter Katadata sekarang!
Dapatkan berita terbaru pilihan kami melalui email Anda setiap hari (Senin - Jumat).
Sign Up Newsletter
Adapun terhadap pelaporan dirinya dan Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Utara Kasten Situmorang terkait pemberian sertifikat HPL dan HGB Pulau C dan D ke Ombudsman RI, Sofyan menyatakan tak mempersoalkannya. "Itu hak masyarakat lah," kata Sofyan.

Sofyan dilaporkan oleh Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) atas dugaan maladministrasi dalam pemberian HPL dan HGB Pulau C dan Pulau D. Pelaporan tersebut disampaikan hari ini di Kantor Ombudsman, Jakarta, Jumat (3/11).

KSTJ sebelumnya menyatakan keberatan atas terbitnya HPL dan HGB Pulau C dan Pulau D proyek reklamasi Teluk Jakarta kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional.

(Baca: Anies-Sandi Bakal Manfaatkan Pulau Reklamasi Teluk Jakarta)

Keberatan ini dituangkan dalam surat Nomor 014/SK/KSTJ/VIII/2017 tentang Permohonan Pembatalan Pemberian Hak Pengelolaan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional kepada Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dalam rangka proyek reklamasi Pulau C dan Pulau D di Teluk Jakarta tertanggal 14 Agustus 2017.

Keberatan itu dilayangkan karena KSTJ menilai ada banyak masalah hukum yang membuat HPL dan HGU tersebut tidak layak terbit. Hal tersebut, salah satunya karena izin lingkungan baru diajukan setelah Pulau C dan Pulau D berdiri.

Selain itu, pembangunan pulau yang menyatu juga dinilai bertentangan dengan Lampiran I Gambar 24 Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2030.

(Baca juga: Soal Reklamasi, Prabowo Ingatkan Anies-Sandi Akomodasi Pengusaha)

KSTJ juga menilai tidak adanya Peraturan Daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota, Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kota, dan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Kota sebelum diterbitkannya HGB dan HPL. Hal ini dianggap bertentangan dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan.

HPL dan HGB juga dianggap cacat karena untuk melakukan reklamasi di Teluk Jakarta seharusnya ada Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Selain i

Nasional Internasional Ekonomi Olahraga Teknologi Hiburan Gaya Hidup Infografis Foto Video Fokus Kolom Terpopuler Indeks
Home Nasional Berita Peristiwa
Sandiaga: Usai Alexis, Reklamasi Tinggal Tunggu Waktu
Tiara Sutari , CNN Indonesia
Senin, 30/10/2017 19:53
Bagikan :

Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno berjanji, usai menghentikan izin operasional Hotel Alexis, Pemprov DKI akan mengumumkan kelanjutan nasib reklamasi teluk Jakarta. (CNN Indonesia/Mesha Mediani)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah memastikan tidak akan melanjutkan izin usaha Hotel Griya Pijat Alexis yang berada di kawasan Jakarta Utara.

Penghentian izin operasional Hotel alexis merupakan salah satu janji kampanye yang dilontarkan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno selama masa kampanye pemilihan gubernur.

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno mengatakan, penghentian izin itu seolah 'memecahkan telor'. Penghentian Alexis merupakan satu dari 23 program kerja Anies-Sandi.


"Pecah telor ya untuk Alexis, kita tak perpanjang izin usahanya," kata Sandi di kompleks Gedung Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Jakarta, Senin (30/10).
Lihat juga: Ormas Jakarta Utara Ucap Syukur Anies Tutup Alexis
Usai penutupan Alexis, Sandi menyinggung nasib proyek reklamasi di Pesisir Utara Jakarta. Saat ini Sandi mengaku, keputusan untuk menghentikan pembangunan pulau di pesisir Utara Jakarta itu pun sudah final.

"Untuk reklamasi tinggal tunggu, kami apa yang ada dalam janji kerja itu final," kata Sandi.

Sandi menjelaskan, saat ini, pemerintah provinsi DKI sedang memelajari Kajian Lingkungan Hidup Strategis proyek reklamasi.

Sebelum proyek itu dihentikan Sandi mengaku harus membicarakan semuanya dengan DPRD DKI agar tidak ada aturan hukum yang dilanggar.

"Ya kami tinggal menunggu komunikasi dengan DPRD saja, ke depan tinggal komunikasi pemanfaatan (Pulau) yang sudah ada," kata Sandi.

Terkait draf dua Raperda tata ruang, Sandi belum bisa memutuskan.

Dia menyebut semua yang terkait teknis soal proyek reklamasi ini masih dipelajari.

"Semua yang terkait teknis belum bisa kita bicarakan. Teknis menghentikan pun kita tak bisa beri tahu, yang jelas kita bergerak, terbukti dengan Alexis kan," kata Sandi
Wapres: pemerintah selesaikan reklamasi yang sedang dibangun
Selasa, 31 Oktober 2017 16:10 WIB | 1.677 Views
Pewarta: Azizah Fitriyanti
Wapres: pemerintah selesaikan reklamasi yang sedang dibangun
Wapres Jusuf Kalla (ANTARA FOTO/Saptono)
 Yang kita bicarakan sebenarnya yang existing, yang sudah ada, `kan tidak mungkin dibongkar, `kan lebih banyak ongkos pembongkarannya daripada membuatnya
Jakarta (ANTARA News) - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan pemerintah akan menyelesaikan proses reklamasi Teluk Jakarta untuk pulau buatan yang terlanjur sedang dibangun, yakni Pulau C dan D, dari 14 pulau yang termasuk dalam proyek.

"Pemerintah juga tidak mengatakan akan melanjutkan, tapi bahwa apa yang sudah dijalankan itu diteruskan dan saya kira DKI juga sependapat dengan itu," kata JK di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa.

Menurut Wapres, keputusan untuk melanjutkan pembangunan yang sudah ada telah dibicarakan pemerintah pusat dan DKI Jakarta atas dasar pertimbangan efisiensi.

"Yang kita bicarakan sebenarnya yang 
existing, yang sudah ada, kan tidak mungkin dibongkar, kan lebih banyak ongkos pembongkarannya daripada membuatnya," kata dia.

Wapres juga mengaku telah mendengar penjelasan langsung dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terkait keputusan tersebut.

"Ya, menurut pandangan saya, pengertian saya, begitu. Dan saya sudah bicara juga dengan Anies, bahwa penggunaannya akan harus lebih menguntungkan masyarakat dan pemerintah," kata dia.

Oleh karena itu, Wapres menegaskan fokus pemerintah saat ini adalah menyelesaikan pembangunan Pulau C dan D dan mengatur penggunaannya agar bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah DKI Jakarta.

"Tidak ada cara lain, mau diapain, caranya hanya bongkar ulang, bagaimana bongkar ulangnya? kalau tidak dipakai malah lebih merusak, kalau dipakai kan ada yang memelihara," kata dia.

Terkait penggunaan pulau yang sudah jadi, pada 24 Agustus 2017, Kantor Pertanahan Jakarta Utara telah menerbitkan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Pulau D, pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta, atas nama PT Kapuk Naga Indah.

Sertifikat HGB Pulau D diterbitkan menyusul terbitnya sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) pulau hasil reklamasi tersebut atas nama pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 19 Juni 2017.

Penerbitan sertifikat HGB Pulau D juga didasarkan pada Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Pemprov DKI dengan PT Kapuk Naga Indah yang menyebut pengembang akan mengantongi sertifikat HGB.

Editor: Fitri Supratiw
Kata JK, Anies Sepakat Teruskan Proyek Reklamasi Pulau C dan D
MOH. NADLIR
Kompas.com - 31/10/2017, 22:00 WIB



Penampakan pulau C dan D dari atas udara. Pulau C dan D adalah sejumlah pulau yang termasuk dalam proyek reklamasi di Teluk Jakarta.(Kompas.com/Alsadad Rudi)
JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah dipastikan akan melanjutkan proyek reklamasi Teluk Jakarta. Namun, kelanjutan proyek itu hanya untuk menyelesaikan pulau buatan yang telanjur dibangun, yakni pulau C dan D. Hal itu diungkapkan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (31/10/2017).
"Pemerintah juga tidak mengatakan akan melanjutkan. Namun, apa yang sudah dijalankan itu diteruskan. Saya kira Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga sependapat dengan itu," kata Kalla.
"Harus dilanjutkan yang sudah ada, yang baru, ya, tidak menurut pendapat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta," ujarnya.
Keputusan itu, kata Kalla, telah dibicarakan antara pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang saat ini dipimpin Gubernur Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno.
"Yang kami bicarakan sebenarnya yang existing, yang sudah ada, kan, tidak mungkin dibongkar. Lebih banyak ongkos pembongkarannya daripada membuatnya," katanya.

Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan-Sandiaga Uno bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pertemuan tersebut digelar di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Kamis (26/10/2017). (Biro Pers Wakil Presiden RI )
"Saya sudah bicara juga dengan Anies Baswedan bahwa penggunaannya harus lebih menguntungkan masyarakat dan pemerintah," lanjutnya.
Menurut Kalla, tak ada pilihan yang bisa diambil pemerintah saat ini selain menyelesaikan pembangunan pulau yang sempat dihentikan.
"Tidak ada cara lain, mau diapain, caranya hanya bongkar ulang. Bagaimana bongkar ulangnya? Kalau tidak dipakai malah lebih merusak. Kalau dipakai, kan, ada yang memelihara," ucapnya.
Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencabut sanksi administrasi reklamasi Pulau C dan D di Teluk Jakarta. Pencabutan sanksi itu menyusul dilengkapinya sejumlah persyaratan oleh pengembang, yakni PT Kapuk Naga Indah (KNI), anak perusahaan Agung Sedayu Group.
Ada 11 syarat yang dipenuhi pengembang. Selama syarat itu belum terpenuhi, pengembang menghentikan sementara pembangunan properti di atas kedua pulau it
AKARTA, KOMPAS.com - Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi mengatakan, pembahasan dua rancangan peraturan daerah (raperda) terkait reklamasi di Teluk Jakarta akan dilanjutkan. Kedua raperda tersebut yakni revisi Perda Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta dan Raperda tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (ZWP3K).
 
Prasetio mengatakan hal tersebut setelah DPRD DKI Jakarta mengadakan rapat pimpinan gabungan bersama pejabat Pemprov DKI Jakarta untuk membahas kedua raperda itu.
"Secara keseluruhan fraksi setuju untuk melanjutkan pembahasan, tapi tidak reklamasi, tata ruang. Kami enggak ada urusan dengan reklamasi, kami tata ruang iya dengan zonasi pesisir," ujar Prasetio di Gedung DPRD DKI Jakarta, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Kamis (12/10/2017).
Prasetio menjelaskan, saat pulau- pulau reklamasi itu sudah terbangun menjadi daratan, DPRD DKI Jakarta memiliki tugas untuk mengatur tata ruang pulau tersebut. Pengaturan harus dilakukan agar pulau hasil reklamasi tidak seluruhnya dikuasai pengembang pulau-pulau itu.
Perda tata ruang itu nantinya akan mengatur bagian-bagian yang dikuasai pengembang, yang diperuntukan buat masyarakat, kantor-kantor pemerintahan, dan lainnya.
"Ntar kalau tiba-tiba semua dipakai pengembang, di mana masyarakatnya? Kan kami harus memikirkan di mana rumah nelayan, di mana nelayan bisa mencari uang, di mana cara penjualan ikannya, di mana hasilnya, kan harus ada tempatnya," kata Prasetio.
Meski demikian, Prasetio menyebutkan pembahasan dua raperda itu tidak akan dibahas dalam masa pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat. Sebab masa jabatan Djarot akan berakhir pada 15 Oktober 2017.
"Dibahas. Mungkin enggak selesai di Pak Djarot. Dibahas sama teman fraksi semua. Selesainya juga enggak harus terburu-buru dengan ini Pak Djarot," kata Prasetio.
Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta Saefullah juga menyatakan hal serupa. Dia menyebut, pembahasan kemungkinan akan dilanjutkan pada masa pemerintahan gubernur dan wakil gubernur terpilih DKI Jakarta Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.
"Mengingat masa jabatan Pak Djarot ini akan segera berakhir tanggal 15 berakhir ya. Maka pembahasan nanti akan dilanjutkan ketika sudah pergantian gubernur yang baru," kata Saefullah saat ditemui terpisah.
"Jadi intinya tidak segera dibahas itu ya, mungkin bisa kapan-kapan, nanti setelah gubernur baru definitif," lanjut dia.
Saefullah menjelaskan, kedua raperda yang akan dibahas berkaitan erat dengan reklamasi di Teluk Jakarta. Pulau-pulau hasil reklamasi akan menjadi bagian dari wilayah pesisir dan pantai utara Jakarta.
Taufik Beri Sinyal DPRD DKI Lanjutkan Pembahasan Raperda Reklamasi
NURSITA SARI
Kompas.com - 06/10/2017, 16:17 WIB



Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, M Taufik dalam dikskusi publik di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (30/6/2016).(Kahfi Dirga Cahya)

JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Mohamad Taufik memberi sinyal pembahasan dua rancangan peraturan daerah (raperda) terkait reklamasi akan dilanjutkan. Sebab, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman (Kemenko Maritim) telah mencabut moratorium reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta.
Saat ini DPRD DKI masih menunggu surat permohonan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait kelanjutan pembahasan revisi Perda Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta dan Raperda tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (ZWP3K) itu.
"Kan kami belum terima (suratnya). Kalau sudah diterima, kami siapkan, kami bahas. Surat dari eksekutif, lampirannya (pencabutan) moratorium itu. Baru kami bahas di badan musyawarah, jadwalkan," ujar Taufik saat dihubungi, Jumat (6/10/2017).
Pada rapat pimpinan gabungan (rapimgab) DPRD DKI Jakarta 26 Juli 2017 lalu, DPRD DKI Jakarta memutuskan untuk menghentikan total pembahasan dua raperda terkait reklamasi itu. Namun, kata Taufik, setelah setelah moratorium dicabut, DPRD kemungkinan akan kembali membahasnya.
"Selama itu dibetulkan dan tidak ada pelanggaran terhadap aturan, saya kira DPRD akan melanjutkan pembahasan soal tata ruangnya," kata Taufik.
Pembahasan dua raperda itu, lanjut Taufik, tidak akan membutuhkan waktu yang lama. Sebab, hanya tinggal satu ayat yang perlu dibahas, yakni soal kontribusi tambahan 15 persen.
"Ini kan sisa satu ayat saja, bisa sebentar, karena (raperda) zonasi kan tinggal paripurna, kemudian (raperda) tata ruang sisa satu ayat," ucap Taufik.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta Tuty Kusumawati sebelumnya mengatakan, hari Jumat ini, Pemprov DKI Jakarta akan mengirim surat kepada DPRD DKI Jakarta untuk melanjutkan pembahasan dan mengesahkan dua raperda terkait reklamasi.
"Kepada DPRD mohon untuk segera dibahas dan disetujui bersama, dilakukan paripurna persetujuan untuk perda. Kami bersurat hari ini," kata Tuty.
Jakarta - DPRD DKI Jakarta menyebut akan terus menunda pembahasan rancangan peraturan daerah (raperda) reklamasi. Pembahasan kembali raperda akan kembali dilanjutkan bila pemerintah pusat mencabut moratorium proyek reklamasi itu.

"Nggak bisa DPRD tiba-tiba jalanin, harus ada surat (pencabutan moratorium). Ini kan usulnya dari eksekutif, membuat moratorium kan pemerintah pusat. Maka yang punya hak untuk mencabut moratorium adalah orang yang membuat moratorium," kata Wakil Ketua DPRD DKI M Taufik di Gedung DPRD, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Kamis (28/9/2017).

Taufik menampik berusaha memperlambat pembahasan raperda reklamasi. Ia menegaskan tidak bisa membahas raperda kecuali surat moratorium reklamasi dikirim ke DPRD DKI.



"Bukan soal (memperlambat). Kita nunggu suratnya dulu, kita mau lihat. Kalau nggak ada surat, masa tiba-tiba DPRD mau bahas? Bahas dengan siapa? Eksekutif kan nggak bisa juga," sebutnya.

Taufik juga mengaku tidak mempersoalkan kontribusi pengembang sebesar 15 persen. Ia hanya mendesak agar kontribusi tambahan dimasukkan melalui APBD.

"Kontribusi 15 persen nggak apa-apa, asal uangnya masuk APBD. (Kontribusi) 100 persen juga nggak apa-apa. Biar nggak ada temuan BPK," tuturnya.

Raperda yang masih tertunda pembahasannya adalah raperda soal Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Jakarta Utara dan Raperda Soal Rencana Zonasi Wilayah, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil. Pembahasan dan pengesahan Raperda masih tertunda setelah operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan terhadap anggota Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI Mohamad Sanusi karena terjerat kasus suap.

Sebelumnya Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat mengeluhkan pembahasan Raperda reklamasi yang terus ditunda. Penundaan diduga terkait polemik kontribusi tambahan 15 persen yang ditolak DPRD DKI. 
(fdu/bag)

PERMEN LHK P.39/2017 UTK PETANI MISKIN JAWA: KONFLIK HORIZONTAL HANYA FIKSI BELAKA Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS) Permen LHK No. P.39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani bertujuan untuk mensejahterakan petani miskin di Pulau Jawa. Mereka akan diberi hak utk memanfaatkan tanah hutan negara yang sudah gundul, mangkrak, terlantar maksimal 2 Ha. Pemerintah juga akan memberi pendampingan, bibit, pupuk dll. Negara hadir membantu petani miskin dari mulai persiapan hingga pasca panen. Di Jawa Barat ada sekelompok orang mengkritik dan berupaya membatalkan Permen LHK No.P.39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani. Satu kritik mereka, yakni Permen LHK No. P.39 akan menimbulkan "konflik masyarakat" antara Pemegang IPHPS dan petani penggarap bermitra Perhutani dalam LMDH yang sudah ada. Mereka memberi perkiraan dan opini, setelah tumpang tindih dengan pemanfaatan hutan pada akhirnya dikhawatirkan dapat memicu konflik horizontal dalam masyarakat. Penarikan kesimpulan akan memicu konflik horizontal ini adalah salah, mengada-ada, prasangka, apriori, ahistoris dan fiksi. Mengapa? Pertama, lokasi penerapan IPHPS tidak tumpang tindih. Jika penentuan lokasi di lokasi wilayah kerja LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) yang realitasnya memiliki tegakan kurang 10 % atau bahkan gundul, maka jelas LMDH itu harus disesuaikan dengan IPHPS, bukan berarti petani miskin tercatat sebagai peserta LMDH dikeluarkan sebagai sasaran atau target program. Sepanjang masyarakat atau petani dimaksud miskin tanpa tanah atau hanya punya tanah kurang 0,5 Ha dan bersomisili di sekitar atau di dalam areal kerja Perhutani bersangkutan, tetap dijadikan pemegang IPHPS. Kedua, bagaimanapun juga, petani miskin di wilayah kerja akan bersikap dan punya kultur perilaku “kompromis” dengan kebijakan Pemerintah. Mereka yang sudah mendapat IPHPS sebelumnya tergolong petani penggarap yang tidak memiliki lahan atau petani yang memiliki lahan di bawah atau sama dengan 0,5 Ha. Sasaran pelaksanaan Permen LHK Nomor P.39/2017 juga petani penggarap semacam itu. Sesama kelas sosial sangat kecil terjadi konflik horizontal terkait hubungan mereka dengan negara. Mereka ini memiliki kultur nerimo dan patuh sama negara. Yang bersikap negatif dan konflik terhadap kebijakan Pemerintah atau pemegang IPHPS baru bukanlah petani miskin yang sudah ada dan menjadi anggota LMDH, melainkan kelompok pengusaha rente yang selama ini menyalahgunakan kebijakan Pemerintah tentang kerjasama Perhutani dengan masyarakat dalam pemanfaatan hutan negara. Ketiga, hingga tulisan ini dibuat belum pernah terjadi konflik horisontal. Konflik horizontal sesama petani gurem tidak akan terjadi kecuali ada rekayasa pelaku usaha bidang kehutanan di sekitar wilayah kerja Perhutani yang menganggap akan mengalami kerugian ekonomi jika Permen LHK No.P.39/2017 sungguh-sungguh diimplementasikan.  Keempat, issue ini sesungguhnya digelembungkan agar Pemerintah tidak menggusur usaha mereka yang bukan petani penggarap dan ilegal di tanah hutan wilayah kerja Perhutani selama ini. Dengan perkataan lain, agar Pemerintah mau memberi keistimewaan kepada mereka sebagai pengusaha dan pemanfaat tanah negara di wilayah kerja Perum Perhutani selama ini. Secara sosiologis sesungguhnya mereka berasal dari strata menengah atas di wilayah setempat, bukan sasaran atau target Permen LHK Nomor P.39/ 2017. Mereka ini tergolong "Penikmat Rente". Kelima, pengalaman di Jawa Timur. Pada Kamis 2 November 2017, Presiden Jokowi menyerahkan SK IPHPS (Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial) kepada sekitar seribu petani penggarap dan miskin di Kabupaten Probolinggo. Kegiatan ini bertemakan" Perhutanan Sosial untuk Pemerataan Ekonomi", di Desa Berani Wetan. Penerima SK IPHPS ini anggota kelompok: 1. Ranu Makmur; 2. Tani Tunas Harapan; 3. Tani Bumi Asri; 4.Tani Wana Makmur: 5. Tani Alas Subur:,6. Tani Sumber Puting: 7. Alam Subur; 8. Tani Rimba Lestari; 9. Tani Sumber Rezeki; dan, 10.Tani Lestari. Rakyat miskin menerima SK IPHPS sebanyak 1.179 orang. Total luas lahan 2.834 Ha, masing2 1.275 Ha dari Probolinggo; 947 Ha dari Kab. Lumajang; dan, 612 Ha dari Kab. Jember. Berdasarkan hasil wawancara sejumlah penerima SK IPHPS oleh Jokowi, diperkirakan pendapatan keluarga penerima SK rata2 di atas Rp 5 juta per bulan. Bersamaan itu, Jokowi menyerahkan SK Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulon KK) kepada masyarakat. Terdapat sejumlah kelompok kemitraan Perhutani, LMDH. Hubungan antara penerima IPHPS dan sejumlah LMDH ini terjadi keharmonisan dan saling menyesuaikan. Tidak ada tumpang tindih lahan antara kedua fihak, dan juga konflik horizontal. Klaim pengkritik dan pengecam, akan terjadi tumpang tindih lahan dan konflik horizontal tidak terbukti pada desa-desa penerima SK IPHPS di Probolinggo, Lumajang dan Jember. Dari lima alasan di atas, jelas perkiraan atau klaim sekelompok pengkritik dan pengecam Permen LHK No.P.39/2017 akan terjadi konflik horizontal hanya fiksi belaka. Tidak ada data dan fakta membuktikan adanya perkiraan negatif tsb.

PERMEN LHK P.39/2017 UTK PETANI MISKIN JAWA: KONFLIK HORIZONTAL HANYA FIKSI BELAKA


Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)


Permen LHK No. P.39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani bertujuan untuk mensejahterakan petani miskin di Pulau Jawa. Mereka akan diberi hak utk memanfaatkan tanah hutan negara yang sudah gundul, mangkrak, terlantar maksimal 2 Ha. Pemerintah juga akan memberi pendampingan, bibit, pupuk dll. Negara hadir membantu petani miskin dari mulai persiapan hingga pasca panen.

Di Jawa Barat ada sekelompok orang  mengkritik  dan berupaya membatalkan Permen LHK No.P.39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani. Satu kritik mereka, yakni Permen LHK No. P.39 akan menimbulkan "konflik masyarakat" antara Pemegang IPHPS dan petani penggarap bermitra Perhutani dalam LMDH yang sudah ada.
Mereka  memberi perkiraan dan opini, setelah tumpang tindih dengan pemanfaatan hutan pada akhirnya dikhawatirkan dapat memicu konflik
horizontal dalam masyarakat.  Penarikan kesimpulan akan memicu konflik horizontal ini adalah salah, mengada-ada,  prasangka, apriori, ahistoris dan fiksi.  Mengapa?

Pertama, lokasi penerapan IPHPS tidak tumpang tindih. Jika penentuan lokasi di lokasi wilayah kerja LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) yang realitasnya memiliki tegakan kurang 10 % atau bahkan gundul, maka jelas LMDH itu harus disesuaikan dengan IPHPS, bukan berarti petani miskin tercatat sebagai peserta LMDH dikeluarkan sebagai sasaran atau target program. Sepanjang  masyarakat atau petani dimaksud miskin tanpa tanah atau hanya punya tanah kurang 0,5 Ha dan bersomisili di sekitar atau di dalam areal kerja Perhutani bersangkutan, tetap dijadikan pemegang IPHPS. 

Kedua, bagaimanapun juga, petani miskin di wilayah kerja akan bersikap dan punya kultur perilaku “kompromis”  dengan kebijakan Pemerintah. Mereka yang sudah mendapat IPHPS sebelumnya tergolong petani penggarap yang tidak memiliki lahan atau petani yang memiliki lahan di bawah atau sama dengan 0,5 Ha. Sasaran pelaksanaan Permen LHK Nomor P.39/2017 juga petani penggarap semacam itu. Sesama kelas sosial sangat kecil terjadi konflik horizontal terkait hubungan mereka dengan negara. Mereka ini memiliki kultur nerimo dan patuh sama negara.  Yang bersikap negatif dan konflik terhadap kebijakan Pemerintah atau pemegang IPHPS baru bukanlah petani miskin yang sudah ada dan menjadi anggota LMDH, melainkan kelompok pengusaha rente yang selama ini menyalahgunakan kebijakan Pemerintah tentang kerjasama Perhutani dengan masyarakat dalam pemanfaatan hutan negara.

Ketiga, hingga tulisan  ini dibuat belum pernah terjadi konflik horisontal. Konflik horizontal sesama petani gurem tidak akan terjadi kecuali ada rekayasa pelaku usaha bidang kehutanan di sekitar wilayah kerja Perhutani yang menganggap akan mengalami kerugian ekonomi jika Permen LHK No.P.39/2017 sungguh-sungguh diimplementasikan.

Keempat, issue ini sesungguhnya digelembungkan agar Pemerintah tidak menggusur usaha mereka yang bukan petani penggarap dan ilegal di tanah hutan wilayah kerja Perhutani selama ini. Dengan perkataan lain, agar Pemerintah mau memberi keistimewaan kepada mereka sebagai pengusaha dan pemanfaat tanah negara di wilayah kerja Perum Perhutani selama ini. Secara sosiologis sesungguhnya mereka berasal dari strata menengah atas di wilayah setempat, bukan sasaran atau target Permen LHK Nomor P.39/  2017. Mereka ini tergolong "Penikmat Rente".

Kelima, pengalaman di Jawa Timur.  Pada Kamis 2 November 2017, Presiden Jokowi menyerahkan SK IPHPS (Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial) kepada sekitar seribu petani penggarap dan miskin di Kabupaten Probolinggo. Kegiatan ini bertemakan" Perhutanan Sosial untuk Pemerataan Ekonomi", di Desa Berani Wetan. Penerima SK IPHPS ini anggota kelompok: 1. Ranu Makmur; 2. Tani Tunas Harapan; 3. Tani Bumi Asri; 4.Tani Wana Makmur: 5. Tani Alas Subur:,6. Tani Sumber Puting: 7. Alam Subur; 8. Tani Rimba Lestari; 9. Tani Sumber Rezeki; dan, 10.Tani Lestari.

Rakyat miskin menerima SK IPHPS sebanyak 1.179 orang. Total luas lahan 2.834 Ha,  masing2 1.275 Ha dari Probolinggo; 947 Ha dari Kab. Lumajang; dan, 612 Ha dari Kab. Jember. Berdasarkan hasil  wawancara sejumlah penerima SK IPHPS oleh Jokowi, diperkirakan pendapatan keluarga penerima SK  rata2 di atas Rp 5 juta per bulan.

Bersamaan itu, Jokowi menyerahkan  SK Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulon KK) kepada masyarakat. Terdapat sejumlah kelompok kemitraan Perhutani, LMDH. Hubungan  antara penerima IPHPS dan sejumlah LMDH ini terjadi keharmonisan dan saling menyesuaikan. Tidak ada tumpang tindih  lahan antara kedua fihak, dan juga konflik horizontal. Klaim pengkritik dan pengecam, akan terjadi tumpang tindih lahan dan konflik horizontal  tidak terbukti pada desa-desa penerima SK IPHPS di Probolinggo, Lumajang dan Jember.

Dari lima alasan di atas, jelas perkiraan atau klaim sekelompok pengkritik dan pengecam Permen LHK No.P.39/2017 akan terjadi konflik horizontal hanya fiksi belaka. Tidak ada data dan fakta membuktikan adanya perkiraan negatif tsb.

Rabu, 01 November 2017

KEBIJAKAN PERHUTANAN SOSIAL DI JAWA: TIDAK ADA TUMPANG TINDIH Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS) Terdapat beberapa warganegara RI "bukan petani" dari kelas menengah atas mengkritik dan mengecam kebijakan Pemerintah ttg perhutanan sosial di Pulau Jawa. Kebijakan itu tertuang di dalam Permen LHK No.P.39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani. Salah seorang pengkritik dan pengecam tsb di antaranya Musikus terkenal dari Kota Bandung. Mereka mengritik dan mengecam antara lain: akan terjadi “tumpang tindih” pemanfaatan lahan hutan antara fihak pemegang IPHPS (Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial) dirancang dalam Permen LHK Nomor P.39 dan fihak mitra kerja Perhutani atau Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Lalu, mereka mengaitkan dampak negatif berikutnya, yakni terpicunya konflik horizontal di dalam masyarakat. Sungguh pemikiran pengkritik dan mengecam Permen LHK No.P.39 Tahun 2017 ini salah, mengada-ada, berprasangka, apriori, ahistoris dan fiksi. Mengapa? Pertama, sesuai Pasal 4 Permen LHK Nomor 39 Tahun 2017, lokasi atau wilayah kerja Perhutani yang akan diberikan IPHPS pada wilayah kerja dengan tutupan lahan yang terbuka atau terdapat tegakan hutan dari atau sama dengan 10 % (sepuluh perseratus) secara terus menerus dalam kurun waktu 5 (lima) tahun atau lebih. Penetapan wilayah kerja ditetapkan oleh Direktur Jenderal yang membidangi planologi kehutanan. Hasil penetapan dimasukkan pada revisi Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial (PIAPS). Pasal 4 ini menetapkan bahwa lokasi baru bukan di lokasi LMDH. Tidak akan tumpang tindih karena posisi lokasi berbeda. Kedua, di dalam Bab X Ketentuan Peralihan, Pasal 25 ditetapkan, dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, maka Pengelolaan Hutan bersama Masyarakat (PHBM) yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini yang arealnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 disesuaikan dengan Peraturan Menteri ini (Butir a). Ketentuan ini jelas mengharuskan bagi kondisi tanah hutan negara yang merupakan lokasi LMDH, jika wilayah kerja masih dalam kondisi tutupan lahan yang terbuka dan terdapat tegakkan hutan dari atau sama dengan 10 %, maka harus disesuaikan dengan Permen LHK Nomor P.39 . Karena itu bukan “tumpang tindih”, tetapi harus ditataulang sesuai dengan Permen LHK No. P.39 Tahun 2017 ini. Sedangkan bagi PHBM (Pengelolaan Hutan bersama Masyarakat) yang telah ada sebelum berlakunya Permen LHK P.39 ini yang arealnya di luar ketentuan dalam Pasal 4 dinyatakan tetap berlaku dan selanjutnya pelaksanaannya disesuaikan dengan Ketentuan Permen LHK Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Maknanya adalah bagi lokasi LMDH yang benar-benar kondisi masih “baik”, tidak gundul atau tegakan hutan melebihi 10 %, maka program LMDH terus berlanjut tidak perlu disesuaikan dengan Permen LHK Nomor P.39 Tahun 2017. Pasal 25 dalam Ketentuan Peralihan ini juga menetapkan, pelaksanaan Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan di hutan lindung di luar ketentuan Pasal 4 Permen LHK Nomor P.39 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Permen LHK Nomor P.83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Tidak akan terjadi tumpang tindih dengan program pemberian IPHPS sesuai Permen LHK Nomor P.39. Artinya, pelaksanaan Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan di hutan lindung dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Permen LHK Nomor P.83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Ketiga, Pengelolaan Hutan bersama Masyarakat (PHBM) tetap berlaku dan dievaluasi pelaksanaannya disesuaikan dengan penyusunan NKK (Ketentuan Permen LHK Nomor P.83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial dan Peraturan Dirjen PSKL Nomor P.18 tahun 2016 tentang Pedoman Penyusunan Naskah Kesepakatan Bersama). Tiga alasan ini dapat menyangkal perkiraan atau prediksi sekelompok orang penolak dan pengkritik kebijakan perhutanan sosial di Pulau Jawa, yakni akan terjadi tumpang tindih pemanfaatan lahan. Prediksi mereka ini sungguh salah, mengada-ada, berprasangka, apriori, historis dan fiksi. Sekarang ini program perhutanan sosial versi Permen LHK No.P.39 telah berjalan dalam persiapan antara lain di : 1. Muara Gembong, Jawa Barat. 2. Probolinggo, Jawa Timur. 3. Madiun, Jawa Timur. 4. Boyolali, Jawa Barat. Sebagai sampel, tidak ada terjadi tumpang tindih pemanfaatan lahan antara pemegang IPHPS dan mitra kerja Perhutani yang sudah ada sebelumnya, LMDH. Tidak ada bukti tumpang tindih pemanfaatan lahan sepertimana diprediksi para pengkritik.

KEBIJAKAN PERHUTANAN SOSIAL DI JAWA: TIDAK ADA TUMPANG TINDIH

Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

Terdapat beberapa warganegara RI "bukan petani" dari kelas menengah atas  mengkritik dan mengecam kebijakan Pemerintah ttg perhutanan sosial di Pulau Jawa. Kebijakan itu tertuang di dalam  Permen LHK No.P.39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani. Salah seorang pengkritik  dan pengecam tsb di antaranya  Musikus  terkenal dari Kota Bandung.

Mereka mengritik dan mengecam  antara lain:   akan terjadi “tumpang tindih”  pemanfaatan lahan hutan antara fihak  pemegang IPHPS (Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial) dirancang dalam  Permen LHK Nomor P.39  dan fihak mitra kerja Perhutani atau Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Lalu, mereka mengaitkan dampak negatif berikutnya, yakni terpicunya konflik horizontal di dalam masyarakat.

Sungguh pemikiran  pengkritik dan mengecam Permen LHK No.P.39 Tahun 2017 ini salah, mengada-ada, berprasangka, apriori, ahistoris dan fiksi. Mengapa?

Pertama, sesuai Pasal 4 Permen LHK Nomor 39 Tahun 2017, lokasi atau wilayah kerja Perhutani yang akan diberikan IPHPS pada wilayah kerja dengan tutupan lahan yang terbuka atau terdapat tegakan hutan dari atau sama dengan 10 % (sepuluh perseratus) secara terus menerus dalam kurun waktu 5 (lima) tahun atau lebih. Penetapan wilayah kerja ditetapkan oleh Direktur Jenderal yang membidangi planologi kehutanan. Hasil penetapan dimasukkan pada revisi Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial (PIAPS).  Pasal 4 ini menetapkan bahwa lokasi  baru bukan di lokasi LMDH. Tidak akan tumpang tindih karena posisi lokasi berbeda.

Kedua, di dalam Bab X Ketentuan Peralihan, Pasal 25 ditetapkan, dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, maka Pengelolaan Hutan bersama Masyarakat (PHBM) yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini yang arealnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 disesuaikan dengan Peraturan Menteri ini (Butir a). Ketentuan ini jelas mengharuskan bagi kondisi tanah hutan negara yang merupakan lokasi LMDH, jika wilayah kerja masih dalam kondisi tutupan lahan yang terbuka dan terdapat tegakkan hutan dari atau sama dengan 10 %, maka harus disesuaikan dengan Permen LHK Nomor P.39 . Karena itu bukan “tumpang tindih”, tetapi harus ditataulang sesuai dengan Permen LHK No. P.39 Tahun 2017 ini.

Sedangkan bagi PHBM (Pengelolaan Hutan bersama Masyarakat)  yang telah ada sebelum berlakunya Permen LHK P.39 ini yang arealnya di luar ketentuan dalam Pasal 4 dinyatakan tetap berlaku dan selanjutnya pelaksanaannya disesuaikan dengan Ketentuan Permen LHK Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Maknanya adalah bagi lokasi LMDH yang benar-benar kondisi  masih “baik”, tidak gundul atau tegakan hutan melebihi 10 %, maka program LMDH terus berlanjut tidak perlu disesuaikan dengan Permen LHK Nomor P.39 Tahun 2017.

Pasal 25 dalam Ketentuan Peralihan ini juga menetapkan, pelaksanaan Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan di hutan lindung di luar ketentuan Pasal 4 Permen LHK Nomor P.39 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Permen LHK Nomor P.83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Tidak akan terjadi tumpang tindih dengan program pemberian IPHPS sesuai Permen LHK Nomor P.39. Artinya, pelaksanaan Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan di hutan lindung dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Permen LHK Nomor P.83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial.

Ketiga, Pengelolaan Hutan bersama Masyarakat (PHBM) tetap berlaku dan dievaluasi pelaksanaannya disesuaikan dengan penyusunan NKK (Ketentuan  Permen LHK Nomor P.83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial dan Peraturan Dirjen PSKL Nomor P.18 tahun 2016 tentang Pedoman Penyusunan Naskah Kesepakatan Bersama).

Tiga alasan ini dapat menyangkal perkiraan atau prediksi sekelompok orang penolak dan pengkritik kebijakan perhutanan sosial di Pulau Jawa, yakni akan terjadi tumpang tindih pemanfaatan lahan. Prediksi mereka ini sungguh salah, mengada-ada, berprasangka, apriori, historis dan fiksi.

Sekarang ini program perhutanan sosial versi Permen LHK No.P.39 telah berjalan dalam persiapan  antara lain di :
1. Muara Gembong, Jawa Barat.
2. Probolinggo, Jawa Timur.
3. Madiun, Jawa Timur.
4. Boyolali, Jawa Barat.

Sebagai sampel, tidak ada terjadi tumpang tindih pemanfaatan lahan antara pemegang IPHPS dan mitra kerja Perhutani yang sudah ada sebelumnya, LMDH. Tidak ada bukti tumpang tindih pemanfaatan lahan sepertimana diprediksi para  pengkritik.