Rabu, 21 Maret 2012

DEBAT PUBLIK RUU KEAMANAN NASIONAL (KAMNAS)

I.STATUS RUU KAMNAS

1.Pemerintah RI melalui Kementerian Pertahanan (Kemenhan) telah mengajukan Rencana Undng-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) kepada DPR untuk dibahas dan disahkan. RUU Kamnas ini sesungguhnya sudah digulirkan sejak tahun 2007 dan memicu polemic hingga Presiden memutuskan menariknya dari DPR. Pada 23 Mei 2011 telah dikeluarkan Surat Presiden ditujukan kepada DPR dalam hal Pembahasan RUU Kamnas dan penunjukkan Menhan, Mendagri, dan Menkumham sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan RUU Kamnas. Saat ini RUU Kamnas masuk dalam Prolegnas 101, INPRES 2010 yang proses legislasinya di DPR.

2.Komisi I DPR telah membahas substansi RUU Kamnas lebih dari 11 pekan dengan memanggil sejumlah pakar LSM dan Institusi, di antaranya Elsam, Imparsial, Kontras, Komnas HAM , Dewan Pers dan LIPI.

3.DPR telah membentuk Panitia Khusus (Pansus) RUU Kamnas. Pansus itu disahkan setelah Badan Musyawarah (Bamus) memutuskan RUU Kamnas dibahas di tingkat Pansus dengan melibatkan Komisi I, II, dan III. Sebelumnya, RUU itu hanya dibahas di Komisi I. Kepemimpinan Pansus RUU Kamnas direncanakan dari unsur Demokrat, Golkar, PDIP, dan PKS. Pimpinan DPR memberi tenggang waktu Pansus RUU Kamnas untuk bekerja secepatnya, maksimal 2 kali masa sidang plus 1 kali masa sidang bisa selesai.

4.Ketua Pansus adalah Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar, Agus Gumiwang Kartasasmita. Agus terpilih melalui voting dalam rapat Pansus dipimpin wakil ketua DPR, Priyo Budi Santoso. Agus mengalahkan kandidat lain: Trimedya Panjaitan (PDIP dan Komisi III) dan Benny K. Harman (P.Demokrat dan Komisi III). Voting ini adalah yang kedua dalam sejarah pembentukan Pansus di DPR periode ini. Voting pertama saat pemilihan Ketua Pansus Angket Bank Century.

5.Rapat Pansus 21 Maret 2012 memutuskan mengembalikan RUU Kamnas ke Pemerintah. Semua fraksi menolak kecuali Fraksi Demokrat (hadir) dan Gerindra (tidak hadir dalam rapat). Keputusan pengembalian RUU Kamnas ini dilakukan sebelum ada acara Pansus mendengarkan keterangan Pemerintah. RUU Kamnas menjadi naskah RUU pertama dikembalikan DPR periode 2009-2014 kepada Pemerintah. Alasan pengembalian RUU Kamnas ke Pemerintah menurut ketua Pansus Agus Gumiwang:

a.Ditemukan banyak ketidakselarasan antara naskah akademik dengan RUU itu.
b.RUU Kamnas menggunakan paradigma dan pendekatan systemic building atau pendekatan kontingensi yang masih terbuka untuk diperdebatkan.
c.Ketidaksesuaian antar pasal-pasal dalam RUU tentang Kamnas.
d.Terdapat duplikasi dan kontradiksi UU sektoral (UU No 34 tahun 2004 tentang TNI, UU No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, dan UU No 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara). ` UU sektoral tersebut merupakan aktor keamanan dalam RUU tentang Kamnas.
e.RUU Kamnas berpotensi melanggar HAM dan kebebasan berdemokrasi.

II. KANDUNGAN RUU KAMNAS

Kandungan RUU Kamnas terdiri dari 7 Bab dan 60 Pasal plus penjelasan pasal-pasal sebagai berikut:
•Bab I (1 pasal) mengandung “Ketentuan umum”.
•Bab II (3 pasal) mengandung “Hakekat, tujuan dan Fungsi Kamnas”.
•Bab III (11 Pasal) mengandung “Ruang Lingkup Kamnas”.
•Bab IV (2 Pasal) mengandung “Ancaman Kamnas”.
•Bab V (39 Pasal) mengandung “Penyelenggaraan Kamnas”.
•Bab VI (2 Pasal) mengandung “Ketentuan Peralihan”.
•Bab VII (2 Pasal) mengandung “Ketentuan Penutup”.

III.FORUM DISKUSI DAN MEDIA MASSA

Di luar DPR, RUU Kamnas telah menjadi obyek perdebatan, perbincangan dan diskusi publik baik di forum-forum diskusi publik maupun media masas. Untuk perdebatan melalui forum diskusi publik antara lain:

1.Uji Publik RUU Kamnas diselenggarakan Kerjasama UPN “Veteran” Jawa Timur dengan Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan (Ditjen Pothan) Kemenhan, di Shangrilla Hotel Surabaya, 3 Nopember 2011. Kegiatan ini merupakan rangkaian pembahasan RUU Kamnas yang telah dibahas sejak Oktober 2009 dalam bentuk konsultasi publik, juga telah dibahas oleh kalangan baik institusi pemerintah, akademisi, TNI-Polri maupun LSM di berbagai wilayah di Indonesia. Dihadiri sekitar 100 peserta, sebagian besar adalah akademisi Jawa Timur. Sebagai pembicara: Sekretaris Ditjen Pothan, Laksamana TNI Ir. Leonardi sebagai Ketua Tim Uji Publik RUU Kamnas.

2.Diskusi RUU Kamnas diselenggarakan di Warung Daun, Jakarta, 14 Januari 2012. Pembicara: Paskalis Kosay (Anggota Komisi I DPR) dan Mayjen Dadi Sutanto (Staf Ahli bidang Pertahanan Kemenhan).

3.Seminar Nasional diselenggarakan Persatuan Keluarga Besar Purnawirawan Polri (PP,POLRI) dengan tema “Mengkritisi RUU Kamnas” , 20 Februari 2012, Jam 08/00-14.00 WIB di Ball Room-A Hotel Grand Hyatt, Jakarta. Pembicara: Prof. Dr. Awaludin Djamin MPA, Dr. J.Kristiadi, dan Dr. Irman Putra Sidin, Usman Hamid SH,MH. Sebagai Pembahas adalah Prof. Dr. Hermawan Sulistyo sebagai Pembahas. Pada umumnya, pembicara dan pembahas menolak sebagian pasal dan bahkan menolak keseluruhan RUU Kamnas.

4.Seminar Nasional diselenggarakan BEM FH Univ. Jayabaya dengan tema “Menyikapi Polemik RUU Kamnas dalam Membangun Komitmen Terciptanya Stabilitas Nasional”, 5 Maret 2012, Jam 12.00-Selesai, Lt 5 Rektorat Universitas Jayabaya, Jakarta. Bertindak sebagai pembicara adalah Brigjen TNI Hartind Asrind (Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemhan). Dr. Agus Brotosusilo, SH, MA (Akademisi UI), Irjen Pol Prn. Sisno Adiwinoto (WaKetum Ikatan dan Profesi Perpolisian Indonesia), Al Araf (Direktur Advokasi Imparsial), Syahganda Nainggolan (Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle). Peserta: BEM se-Jakarta, masyarakat Umum, pelajar dan unsurOKP/Ormas. Kecuali Brigjen TNI Hartind Asrind, semua pembicara cenderung mengkritik RUU Kamnas, bahkan menolak RUU Kamnas. Forum ini menampilkan seorang pembicara pendukung yang berkepentingan agar RUU Kamnas berhasil menjadi UU.

Untuk perdebatan publik di media massa antara lain:

1. J. Kristiadi, Peneliti CSIS (KOMPAS.Com, 20 Februari 2012): menghimbau agar berbagai kalangan termasuk pemerintah dan masyarakat tidak terus larut dalam perdebatan mengenai RUU Kamnas. Hasil perdebatan antarkalangan telah berlangsung beberapa tahun terakhir seharusnya dikerucutkan untuk memperbaiki isi RUU Kamnas jika dirasa ada yang kurang. RUU Kamnas akan bermanfaat baik bagi kehidupan berbangsa dan bernegara jika diatur oleh kepemimpinan nasional yang kuat. Harus bisa mengajak masyarakat untuk memberikan masukan bagi keamanan negara. Kesulitan utama menyusun RUU ini karena negara yang seharusnnya memiliki peran penting untuk menjaga keamanan bagi masyarakat, justru menjadi ancaman untuk warganya sendiri. Sebaiknya RUU Kamnas dikembalikan pada pemerintah dan diperbaiki sejumlah pasal dinilai secara substansi mengundang kontorversi.

2.Hermawan Sulistiyo, Peneliti LIPI (REPUBLIKA.CO.ID, 20 Februari 2012): menilai motivasi pembuatan RUU Kamnas hanya persoalan perebutan lahan antara TNI dan Polri. Selama ini terjadi gap antara TNI dan Polri dalam kewenangan mengatur keamanan negara. Kondisi itu membuat TNI tersingkir. Polri mendapat peran luar biasa begitu besar hingga berujung pada masalah kesejahteraan.Hal itu menimbulkan kecemburuan di kalangan TNI. Polisi sekarang yang pangkatnya sama dengan tentara sudah bawa mobil mewah. Atas dasar itu, TNI berupaya membuat aturan yang bisa mewadahinya agar dapat merebut wewenang Polri dalam menjaga keamanan. Hal itu lucu sebab tugas dan fungsi TNI adalah menjaga pertahanan dan kedaulatan negara.

3.Farouk Muhammad, Tim Kerja RUU Kamnas Kimite I DPD (REPUBLIKA.CO.ID, 20 Februari 2012) : mempertanyakan konstitusionalitas RUU Kamnas yang tidak diamanatkan Pasal 30 UUD 1945 yang tidak berbicara tentang “keamanan nasional” tetapi “pertahanan dan keamanan negara” atau “keamanan negara”. RUU Kamnas tidak sejalan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki landasan yang jelas. Tim Kerja RUU Kamnas Komite I DPD merekomendasikan dua butir. Pertama, Pemerintah kembali menyempurnakannya dengan mempertimbangkan masukan Tim Kerja RUU Kamnas Komite I DPD. Kedua, Tim Kerja RUU Kamnas Komite I DPD berharap diikutsertakan setidak-tidaknya dalam pembicaraan tingkat I.

4.Imparsial (LSM) melalui Siaran Pers berjudul “RUU Kamnas: Mengancam Kebebasan dan Demokrasi”, 12 Februari 2012, berkesimpulan: Pertama, RUU Kamnas ini multitafsir, represif, dan bersifat subversif sehingga mengancam HAM, penegakan hukum, kebebasan sipil, hak dan kebebasan parlemen dalam membuat UU, kebebasan berekspresi (aksi buruh, aksi mahasiswa, aksi petani), kebebasan pers dan demokarsi itu sendiri. Kedua, RUU Kamnas ini sama saja dengan UU subversi yang pernah hidup pada masa pemerintahan otoriterian Orde baru. RUU ini dapat mengembalikan format politik rezim represif seperti masa lalu. Ketiga, sifat represif dan subversive serta mengancam HAM dan demokrasi.

5.Megawati Ketua Umum DPP PDI (MICOM, 14 Februari 2012) memerintahkan fraksi PDIP untuk menolak dan mengembalikan draft RUU Kamnas kepada pemerintah, disesuaikan dengan urgensinya. Pasal-pasal dalam draft dinilai menelikung hak rakyat. Banyak yang rancu dan tumpang tindih harus disinkronkan dulu. Substansi RUU Kamnas seperti pada masa Orde Baru, antara lain ada penyadapan, peluang melakukan penangkapan.

6.Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane, menilai RUU Kamnas bertentangan dengan dengan ketentuan hukum, yakni Pasal 30 UUD '45 dan Tap VI MPR Tahun 2000. Prosesnya juga bertentangan dengan Pasal 18 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. RUU Kamnas` hanya melihat keamanan dengan kacamata pertahanan sehingga terjadi pencampuradukan antara keamanan dan pertahanan. Padahal, keduanya merupakan dua hal berbeda. Keamanan sarat dengan tindakan preventif, sedangkan pertahanan sarat dengan tindakan represif yang menafikan KUHP. Untuk itu IPW akan berjuang keras menentang pembentukan sebuah UU yang bertentangan dengan UU lain, terutama UUD '45 dan Tap MPR (REPUBLIKA.CO.ID,11 Maret 2012).

7. Edy Prasetyono (Dosen FISP UI) mengatakan, secara legal perlu dibentuk suatu UU tentang keamanan nasional yang berisi institusi dan instrument kamanan serta kewenangan mereka masing-masing. Semua harus diperinci secara tegas agar tidak dapat lagi ditafsirkan secara berbeda-beda. Selain itu, perlu amandemen UU berkaitan masalah keamanan nasional. UU yang ada masih mengandung aspek-aspek yang saling berbenturan, bahkan sebagian bertentangan dengan prinsip-prinsip supremasi otoritas politik. Secaar institusional perlu penataan kelembagaan semua aktor keamanan nasional, terutama TNI, Polri dan Intelijen (Kompas, 22 Juli 2011).

8.Kusnanto Anggoro, Pengamat Militer, menilai fungsi pencegahan saja tidak cukup, RUU Kamnas justru harus mengatur penanganan masalah (problem solving), bukan pembangunan sistem untuk jangka panjang. Dengan demikian, pengaturan tentang keamanan nasional lebih mengutamakan perlindungan daripada pembangunan sistem keamanan nasional, penyelesaian masalah mendesak dari persoalan-persoalan jangka panjang, penegasan tanggungjawab negaara daripada kriminalisasi warga negara. Kalau hal itu disepakati, pembahasan RUU Kamnas akan menjadi lebih sederhana karena hanya sebatas pengintegrasian instansi-instansi yang sudah ada hanya pada waktu-waktu tertentu saja dan tidak permanen. Hanya dalam rangka menghadapi ancaman mendesak yang membawa konsekuensi fisik pada negara dan warga negara (MICOM, 12 Maret 2012).

9.Mayjen (Purn) Dadi Sutanto, Ketua Tim Perancang RUU Kamnas: menjelaskan, beleid sistem keamanan nasional ini tidak akan menganggu hubungan antar institusi penegak hukum. Tidak ada yang dipreteli. Kewenangan Polri dan TNI tetap. RUU Kamnas ini akan menjadi payung hukum untuk sistem keamanan secara menyeluruh, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Setiap instansi mesti diatur pelibatannya dalam menangani keamanan agar tidak tumpang tindih. Dalam keadaan tertentu, TNI misalnya AL bisa melakukan penegakan hukum di laut, Polisi nggak berwenang. Di Udara TNI AU bisa menindak seperti melakukan intersep. RUU Kamnas merupakan amanat UUD 1945 yang sejak berdirinya belum pernah diatur.

10.Agus Surahartono, Panglima TNI (KOMPASIANA.COM, 9 Januari 2012) menegaskan bahwa RUU Kamnas tidak akan memangkas kewenangan Polisi tentu sebuah pernyataan yang realistis. Karena sebetulnya RUU Kamnas dibuat untuk meningkatkan operasional keamanan di Indonesia. Peran TNI dalam pembahasan RUU itu sebatas sebagai pelaksana keamanan. Yang jelas, saat ini dari seluruh negara di dunia, hanya Indonesia yang belum memiliki UU Kamnas. Padahal UU tersebut mutlak diperlukan sebagai penunjang stabilitas keamanan negara dan mengantisipasi berbagai ancaman mulai dari ancaman geografi, demokgrafi, kondisi sosial seperti geologi, politik sosial bdaya dan hankam.

11. Mayjen TNI Puguh Santoso, Direktur Jenderal Strategi Pertahanan, Kemenhan (Beritasatu.Com, 12 Februari 2012) menekankan, RUU Kamnas tidak akan secara teknis mengatur penanganan masalah pada tingkat operasional. Strategi penanganan kamnas yang diatur di dalam RUU Kamnas bukan perwujudan baru dari sistem Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) di era Orde Baru. Pengorganisasian Kopkamtib terpusat langsung di bawah kendali Presiden Suharto dan bertugas menjalankan strategi militer dan nonmiliter untuk menjaga stabilitas dan keamanan nasional. RUU ini akan mengikat berbagai aktor keamanan, setiap aktor tidak lagi jalan sendiri-sendiri namun menjadi suatu sistem yang akan dibangun. Sistem itu akan dibangun melalui koordinasi Dewan Keamanan Nasional (DKN) yang mempunyai anggota tetap beberapa Menteri dan beberapa Menteri sektoral lain sebagai anggota tidak tetap. Keanggotaan tidak tetap bersifat kontekstual sesuai dengan ancaman keamanan sedang dihadapi. DKN juga terdiri dari pakar-pakar dari masing-masing kementerian dan ahli-ahli di luar pemerintahan yang turut merancang desain strategi nasional dalam menjawan ancaman nasional. DKN tugasnya hanya memberi rekomendasi pada tataran strategis bukan pada tataran teknis.

12.Laksda TNI (Purn.) Budiman Djoko Said, Mantan Rektor UPN Veteran Jakarta (VIVAnews, 21 Juli 2011) menilai kecurigaan dan ketakutan dalam masyarakat bahwa RUU Kamnas nantinya bisa menjurus pada pola pikir dan sikap zaman Orba yang represif dengan pola militeristik adalah efek dari trauma masyarakat akan kepemimpinan terdahulu. Kalau RUU ini memang berorientasi untuk kepentingan nasional, tidak perlu ada ketakutan. Hal ini wajar karena selama berahun-tahun masyarakat Indonesia pernah berada dalam masa itu. Tumpang tindih RUU Kamnas dengan UU sejenisnya pasti ada, tapi kalau memang mau ideal, harus ditata ulang, dipetakan betul. Kalaupun terjadi perubahan, penghapusan, amandemen ataupun pembentukan UU baru, adalah sebagai risiko. Cost yang mesti dibayar karena pemerintah dulu telah salah membuat manajemen pemerintahan.

13.Purnomo Yusgiantoro, Menhan, menegaskan, hendaknya pengertian kewenangan penangkapan dan pemahaman potensi ancaman jangan dipelintir dahulu. Menurutnya, kita tidak akan kembali ke zaman represif. Kita hidup di zaman demokrasi. Proyeksi ancaman saat ini luas. Ada ancaman tradisional dari dalam negeri dan luar negeri. Ada anacman asimetris seperti terorisme dan separatism. Selain itu dikenal juga ancaman bencana alam dan wabah penyakit (Kompas, 28 januari 2011)

14.Pos M Hutabarat, Dirjen Direktur Pothan Kemenhan, mengatakan, RUU Kamnas mengatur pengawasan terhadap semua instansi yang memiliki wewenang khusus, seperti penyadapan, penangkapan, dan pemeriksaan. Instansi itu, antara lain TNI, Polri, Kejaksanaan, BIN, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). UU Kamnas disebut tidak menambah wewenang. Pasal 54 itu mengatur pengawasan yang dilakukan DKN.

15.Teguh Juwarno, Sekretaris Fraksi PAN (REPUBLIKA CO.ID, 6 Maret 2012, menilai RUU Kamnas mengancam keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Sebabnya wewenang penyadapan tidak diatur dengan baik sehingga mengancam privasi individu. Definisi ancaman juga tidak jelas sehingga multitafsir dan rawan dijadikan alat kesewenang-wenangan. Selain itu, ada keanehan dalam RUU ini. Dua Kapolri sebelumnya, Sutanto dan Bambang Hendarso Danuri, tidak pernah mau menandatangani RUU ini agar kemudian dibahan di DPR. Namun, di era Kapolri Jenderal Timur Pradopojustru RUU ini ditandatanganinya, tanda bahwa dia setuju RUU ini dibahas di DPR. Bagi Teguh, ini menimbulkan pertanyaan.

16.Agus Gumiwang Kartasasmita, Ketua Pansus RUU Kamas menegaskan, tidak ada penguatan ataupun pelemahan terhadap peran TNI maupun Polri. RUU Kamnas akan mengatur apa yang terbaik untuk keamanan nasional dan memosisikan peran dua institusi itu sebagaimana mestinya.

IV.SSUE-ISSUE RUU KAMNAS:

Berdasarkan perdebatan publik baik di DPR, forum diskusi maupun media massa, sementara ini terdapat issue-issue RUU Kamnas terdidentifikasi sebagai berikut:

1.RUU Kamnas tidak memiliki dasar dan filosofis yang kuat, tdiak memiliki landasan hukum yang kuat dan banyak pasalnya bertentanagn dengan UU yang ada.

2.RUU ini melibatkan aktor-aktor penting keamanan baik TNI, Kepolisian dan Badan Intelijen (BIN) yang secara sektoral juga mempunyai UU menegani pengaturan keamanan. Belum ada kesesuaian antara naskah akademik dan draf RUU. Ada duplikasi dalam RUU ini dan bahkan kontadiksi dengan aturan lama sehingga perlu harmonisasi dan sinkronisasi.

3.RUU Kamnas dinilai akan mengurangi tugas dan kewenangan Kepolisian. Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo mengaku tak dapat menolak RUU itu lantaran bagian dari pemerintah. Timur hanya berharap Komisi III sebagai mitra Kepolisian ikut membahas RUU itu.

4.Masyarakat mencurigai bahwa dengan RUU Kamnas ini seolah-olah pola lama Orde baru dimunculkan kembali dimana peran TNI/Polri akan semakin besar dalam berbagai kebijakan publik dengan memakai payung RUU Kamnas. RUU Kamnas berpotensi mengamcam HAM dan demokrasi.

5.Masih adanya sejumlah kritikan dari kalangan pemerintah terhadap RUU Kamnas. Misalnya, ada keinginan dari Kepolisian untuk turut membahas RUU Kamnas mempersoalkan nama "Keamanan Nasional" yang mestinya diganti "Keamanan Negara".

6.Pasal 1 ayat 2 berbunyi: “Ancaman adalah setiap upaya, kegiatan, dan/atau kejadian, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang mengganggu dan mengancam keamanan individu warga negara, masyarakat, eksistensi bangsa dan negara, serta keberlangsungan pembangunan nasional.” Tidak adanya definisi yang jelas tentang ‘ancaman’ memungkinkan untuk mengeliminasi setiap kelompok dan ideologi yang dipandang sebagai ancaman. Hal ini sejalan dengan paradigma ketahanan nasional yakni memandang ancaman bukan sekedar militer tetapi juga “tidak bersenjata” yang aktual maupun potensi. Hal ini dinilai akan mengakibatkan pelanggaran HAM baru oleh pemerintah.

7.Pasal 1 ayat 13 berbunyi: “Ancaman tidak bersenjata adalah ancaman selain ancaman militer dan ancaman bersenjata yang membahayakan keselamatan individu dan/atau kelompok, kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan bangsa.”Ayat ini sejalan dengan ayat di atas, bahkan lebih spesifik lagi bahwa siapapun dan apapun yang “membahayakan keselamatan individu dan/atau kelompok”, artinya ayat ini bisa digunakan untuk menjalankan peran TNI dan BIN dengan tindakan represinya yang tanpa rambu-rambu peraturan perundang-undangan mengeliminir kelompok-kelompok masyarakat yang dainggap mengancam keselamatan individu, kelompok dan mengatas namakan negara padahal hal tersebut adalah hanya kamuflase pemerintah untuk mengamankan kekuasaannya.

8.Pasal 4 huruf c & d memelihara dan meningkatkan stabilitas keamanan nasional melalui tahapan pencegahan dini, peringatan dini, penindakan dini, penanggulangan, dan pemulihan; dan menunjang dan mendukung terwujudnya perdamaian dan keamanan regional serta internasional. Pasal ini akan membatasi ruang gerak kelompok yang dikategorikan dan dianggap sebagai ancaman bukan saja terhadap nasional, tetapi juga regional dan internasional.

9.Pasal 5 jo Pasal 9 point a huruf 4 jo Pasal 1 ayat 12 jo pasal 17 jo Pasal 20.
Unsur keamanan nasional terdiri atas: 1.Tingkat Pusat yang meliputi: a. Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Kementerian Negara; b. Tentara Nasional Indonesia (TNI); c. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri); d. Kejaksaan Agung; e. Badan Intelijen Negara (BIN); f. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB); g. Badan Nasional Narkotika (BNN); h. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT); dan i. Lembaga Pemerintah Non Kementerian terkait. Ruang lingkup keamanan nasional, identifikasi ancaman dan unsur keamanan nasional yang diatur dalam RUU ini terlalu luas sehingga menimbulkan ruang dan peluang terjadinya tumpang tindih kerja dan fungsi antar aktor keamanan dan mengandung pertentangan antara Undang-Undang yang mengatur tentang masing-masing Institusi di dalamnya. Hal tersebut akan menambah carut marut tatanan kehidupan sosial masyarakat yang saat ini sudah sangat terpuruk akibat dari adanya tata kelola pemerintahan yang tidak memihak kepada rakyat. Pasal ini dinilai akan berimplikasi pada perluasan kewewenangan tanpa limitasi seperti: menyadap, menangkap, dst..(Re Pasal 54 RUU ini); menjadi kekuasaan ekstra yudisial sebagaimana pada masa Komkamtib dan Bakorstanas Orba. Bahkan lebih parah lagi, karena pemerintahan daerah, unsure TNI dan kedinasan kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian yang ada di kabupaten/kota, bisa melakukan penyadapan, penangkapan.

10.Pasal 10, 15 jo 34 tentang darurat sipil dan militer sudah tak relevan lagi bila acuannya pada UU tentang Keadaan Bahaya tahun1959.

11.Pasal 12 jo Pasal 34 ayat 2 tentang Pengaturan tentang pengerahan TNI pada status tertib sipil. Pasal ini dinilai bias sekuritisasi dan bias dominasi militer.

12.Pasal 16 tentang sasaran ancaman, terdiri atas a) bangsa dan negara; b)keberlangsungan pembangunan nasional; c) masyarakat; dan d) insane. Butir a,c dan d memadai, rerfleksi keseimbangan paradigm berpusat negara % manusia. Butir b multitafsir. Aktivis buruh, lngkungan, adat dapat dituding “anti pembangunan nasional.” Pasal ini dinilai multitafsir, represif dan suversif.

13.Pasal 17 ayat (1) berbunyi “Ancaman keamanan nasional di segala aspek kehidupan dikelompokkan ke dalam jenis ancaman yang terdiri atas: a. ancaman militer; b. ancaman bersenjata; dan c. ancaman tidak bersenjata.” Pasal 17 ayat (4) menyatakan bahwa ancaman potensial dan non potensial diatur dengan keputusan presiden. Ini sangat berbahaya bagi demokrasi dan sangat tirani. Pasal-pasal ini mendudukkan hal yang mengancam negara bukan saja secara militer atau bersenjata, tetapi juga yang tidak bersenjata berupa ideologi dan pemikiran. Hal ini dapat dibaca pada penjelasan pasal 17 ayat 1 huruf c. Pasat 17 dinilai pasal karet dengan sangat mudah disalahgunakan. Jika diterakan jenis dan bentuk ancaman sebagaimana tercantum dalam penjelasan RUU ini, dengan kewenangan yang terkandung dalam hak kuasa khusus pada Pasal 54 hurif e, maka ruang kemungkinan penyalahgunaan sangat besar. Spektrum ancaman menjadi tidak terbatas, menjangkau semua hal yang sesungguhnya merupakan elemen-elemen ketahanan nasional; RUU Kamnas mencampuradukkan keamanan nasional dengan ketahanan nasional. Begitu pula potensi ancaman tidak dibedakan dari gangguan dan ancaman aktual.

14.Pasal 22 jo 23 memberikan peran terlalu luas kepada unsur BIN sebagai penyelenggara Kamnas.

15.Pasal 25 huruf b dan d tentang Dewan Keamanan Nasional mepunyai tugas;
b. Menilai dan menetapkan kondisi keamanan nasional sesuai dengan eskalasi ancaman; d. mengendalikan penyelenggaraan keamanan nasional. Tidak jelasnya batasan ancaman dan pengertian radikalisme, serta ideologi transnasional menjadikan pasal ini bisa mengancam siapa saja dan membuat Dewan Kamnas punya wewenang penuh untuk menetapkan kondisi keamanan dan batasan eskalasinya, serta mengendalikan keamanan nasional. Pasal ini mengarahkan pemerintahan menuju militeristik dan tirani dengan melakukan tindakan-tindakan oleh unsur-unsur Militer. Kewenangan DKN dinilai terlalu luas yakni sampai memiliki kewenangan untuk menetapkan kondisi keamanan nasional sesuai eskalasi ancaman. Sudah seharusnya penetapan ini menjadi kewenangan Presiden sedangkan DKN hanya memberikan pandangan dan masukan meski Presiden juga sebagai Ketua DKN. Keputusan terakhir penetapan ini tetap ada di Presiden. DKN juga tidak perlu memiliki kewenangan untuk mengendalikan penyelenggaraan keamanan nasional.

16.Pasal 31 berbunyi: “Kepala Daerah Povinsi/Kabupaten/Kota menetapkan kebijakan dan strategi pelaksanaan tata pemerintahan di daerah yang mendukung penyelenggaraan keamanan ansional berdasarkan kebijakan dan strategi keamanan nasional”. Pasal ini dinilai tidak diperlukan pengaturan tentang emerintah daerah mengingat fungsi pertahanan dan keamanan bersifat terpusat dan tidak didesentralisasikan karenannnya pasal-pasal mengatur pemerintah daerah sebaiknya dihapus.

17.Pasal 33 ayat (1) berbunyi: “Dalam hal memelihara dan menjaga keamanan umum dan ketertiban umum dalam status hukum keadaan tertib sipil, dan status hukum keadaan darurat sipil sesuai kewenangan dan tanggungjawabnya…..,Bupati/Walikota membentuk Forum Kordinasi Keamanan nasional Daerah Kabupaten/Kota yang terdiri dari Pimpinan TNI di Daerah Kabupaten/Kota, Pimpinan Polri di daerah Kabupaten/Kota, Kepala Kejaksanaan Negeri di daerah Kabupaten/Kota, Kepala BPBD Kabupaten/Kota, dan Kepala BNNK”. Karena fungsi pertahanan dan keamanan adalah bersifat terpusat dan tidak terdesentralisasikan, maka tidak dipeerlukan forum kordinasi keamanan nasional daerah. Seluruh pasal yang mengatur forum ini sebaiknya dihapus. Kehadiran forum ini tidak ubahnay seperti “Bakorinda”, yang pernah dibentuk masa Orde Baru dan di masa Reformasi telah dibubarkan.

18.Pasal 42 ayat (1) berbunyi: “Penanggulangan ancaman di laut dilaskanakan oleh TNI dalam hal ini TNI AL dan instansi yang memiliki otoritas penyelenggaraan keamanan di laut”. Pasal ini sebaiknya dihapus karena RUU Kamnas ini terkesan hanya membahas dan mengistimewakan TNI AL.

19.Pasal 54 huruf e jo 20 tentang unsur Keamanan Nasional tingkat pusat meliputi :“TNI, BIN, BNPT dan Polisi…….. Penjelasan Pasal 54 huruf e:“Kuasa khusus yang dimiliki oleh unsur keamanan nasional berupa hak menyadap, memeriksa, menangkap dan melakukan tindakan paksa ………..”Keinginan untuk meminta kewenangan menangkap itu sesungguhnya pengulangan dari kewenangan yang diminta dalam RUU Intelijen. Hal ini menunjukkan adanya rencana yang terselubung dan terencana dari pemerintah dalam membuat RUU bidang pertahanan dan keamanan (RUU Keamanan Nasional dan RUU Intelijen) dengan tujuan yang politis yakni berkeinginan mengembalikan posisi dan peran aktor keamanan (TNI dan BIN) seperti pada format politik orde baru yakni meletakkan kedua institusi itu sebagai bagian dari aparat penegak hukum. Sikap pemerintah yang berkeinginan memberikan kewenangan menangkap kepada BIN dan TNI bukan hanya akan merusak mekanisme criminal justice system tetapi juga akan membajak sistem penegakkan hukum itu sendiri, dengan kewenangan tersebut maka berpotensi melakukan pelanggaran HAM karena TNI dan BIN dalam melakukan upaya paksa seperti menangkap, menahan, dan memeriksa serta menyadap tidak memiliki dasar hukum karena kewenangan tersebut hanya dapat dilaksanakan oleh penyidik sesuai dengan KUHAP, dan di Negara manapun di dunia ini peranan dari tentara adalah bukan merupakan aktor penegak hukum melainkan sebagai unsure pertahanan Negara.) Bahkan, pasal ini dinilai, orang bodoh dan orang miskin bisa ditangkap karena termasuk ancaman. RUU Kamnas bukanlah memberikan perlindungan keamanan insane, justru sebaliknya, menjadi ancaman insane yang berpikiri saja harus hati-hati karena bisa ditangkap, dianggap potensi ancaman oleh Pemerintah.

20.Pasal 55 dan 56 Pembiayaan: 1. Biaya penyelenggaraan keamanan nasional dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan/atau sumber-sumber lain yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 55 dan pasal 56 menambah berat beban rakyat. Seharusnya anggaran tersebut berasal dari APBN sehingga uang dari rakyat dikelola oleh pemerintah dapat diberikan untuk melaksanakan pembangunan lebih mendesak saat ini untuk mensejahterakan rakyat bukan untuk menambah beban biaya demi para penyelenggara Kamnas yang tujuannya justru membatasi kebebasan rakyat dan bahkan memberikan dampak kekuasaan negara yang otoriter dan militeristik serta menindas rakyat. Alasan lainnya, karena fungsi pertahanan dan keamanan hanya diperbolehkan melalui APBN. Perlu ada penegasan, pembiayaan untuk aktor keamanan melalui APBN.

21.Pasal 59, ayat (1) berbunyi: “Pada saat berlakunya undang-undang ini, semua peraturan perudnang-undangan yang terkait dengan Keamanan Nasional yang sudah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentanagn dengan undang-undang ini”. Ayat (2) berbunyi: “Pada saat Undang-unadng ini mulai berlaku, ketentuan Pasal 15 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4169) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. UU ini menjadi lex spesialis, semacam payung menghapus UU lainnya, termasuk UU Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara”. Pasal ini mencabut Pasal 15 UU No. 3 tahun 2002 terkait DPN yang bertugas menelaaah kondisi Kamnas atau pertahanan negara, menilai resiko kebijakan dan memberikan opsi kebijakan pada presiden. Konsekuensinya, keanggotaan tidak mencakup “Anggota tidak tetap dari unsure nonpemerintahan berjumlah 5 orang, terdiri dari atas pakar bidang pertahanan, organisasi masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat”. Penggunaan kuasa khusus bisa digunakan tanpa pengawasan.

V.BEBERAPA PERTANYAAN NSEAS PERLU MENDAPAT JAWABAN:

1.Perlukah UU Kamnas bagi Negara Republik Indonesia?
•Jika perlu, mengapa?

2.Perlukah pembentukan Dewan Keamanan Nasional (DKN) di In donesia?
•Jika perlu, mengapa?

3.Apakah RUU Keamanan Nasional akan “mempreteli” atau mengurangi kewenangan
Kepolisian?
•Jika ya, kewenangan Kepolisian yang mana akan dipreteli atau dikurang?

4.Mengapa sejumlah aktivis NGO’s dan Akademisi menolak RUU Kamnas?

5.Apakah RUU Kamnas berpotensi melanggar HAM dan kebebasan berdemokrasi ?
•Jika ya, pasal-pasal mana dan apa argumentasinya?



--edisi 21 Maret 2012--

Rabu, 14 Maret 2012

KORUPSI KADER PARPOL DI DPR-RI (BAGIAN KEEMPAT)

Korupsi Kader PDIP

Kelahiran PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) terkait dengan peristiwa 27 Juli 1996, menampilkan Megawati Soekarnoputri di kancah perpolitikan nasional. Meski sebelumnya Megawati tercatat sebagai Ketua Umum PDI (Partai Demokrasi Indonesia) dan anggota Komisi I DPR, namun setelah peristiwa itu Megawati tampil lebih populer di seluruh Indonesia. Segera setelah memasuki era reformasi, untuk menyongsong Pemilu 1999, PDIP didirikan dan Megawati bertindak sebagai Ketua Umum. Pada Pemilu pertama era reformasi ini, PDIP memperoleh peringkat pertama untuk suara DPR dengan memperoleh 151 kursi dan Megawati menduduki jabatan Wakil Presiden dan Abdurrahman Wahid dari PKB (Partai Kebangkutan Bangsa) sebagai Presiden. Setelah Abdurrahman Wahid turun dari jabatan Presiden pada 2001, PDIP berhasil menempatkan Megawati ke kursi Presiden. Namun, dalam Pemilu 2004 perolehan suara PDIP turun ke peringkat kedua, yakni hanya meraih 109 kursi. Untuk Pemilu Presiden 2004, PDIP kembali mencalonkan Megawati sebagai calon presiden, berpasangan dengan KH Hasyim Muzadi sebagai calon wakil presiden. Tidak berhasil. Pada Pemilu 2009 perolehan suara PDIP turun lagi ke peringkat ketiga, hanya meraih 14.600.091 suara (14,0%) dan 95 kursi (16,96%) di DPR. Pada Pilpres 2009 PDIP kembali mencalonkan Megawati sebagai Calon Presiden, berpasangan dengan Prabowo (Partai Gerindra) sebagai calon wakil presiden. Juga tidak berhasil.

Sebagaimana pengalaman Partai Demokrat dan Partai Golkar, PDIP juga memiliki kader di DPR tersandung kasus tindak pidana korupsi. Kasus korupsi kader PDIP paling spektakuler adalah terkait dengan kasus aliran dana BI ke 52 anggota Komisi IX DPR. Sebagaimana menurut “Catatan Buruk Akuntabilitas Partai Politik”, Public Accountability—Indonesia Corruption Watch, Seri-Korupsi Politik dalam WWW.antikorupsi.org. dan ICW yang menggunakan sumber dokumen pemeriksanaan Hamka Yandhu di dalam Harian KORAN TEMPO, 1 Juli 2008, dari keseluruhan 52 anggota Komisi IX tersebut, jumlah kader PDIP tergolong paling banyak. KPK menilai para kader PDIP dimaksud telah melanggar ketentuan mengenaiai penyuapan yakni Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) kesatu Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Para kader PDIP tersandung kasus aliran dana BI tersebut adalah Dudhie Makmun Murod, Agus Condro Prajitno, Max Moein, Rusman Lumbantoruan, Poltak Sitorus, Williem Tutuarima, Panda Nababan, Engelina Pattiasina, Muhammad Iqbal, Budiningsih, Ni Luh Mariani Tirtasari, Sutanto Pranoto, Soewarno, Mathoes Pormes, Sofyan Usman, Daniel Tanjung, Jeffrey Tongas Lumbabatu (Kompas, 22 Maret 2011 dan Republika, 23 Juni 2011).

Dudhie Makmun Murod adalah salah seorang anggota DPR Periode 1999-2004 dari Fraksi PDIP. Ia terkena kasus penerimaan cek perjalanan/pelayat terkait pemilihan Deputi Bank Indonesia, Miranda Gultom.

Agus Condro Prajitno, kader PDIP anggota DPR, menjadi Tersangka, ditahan, divonis 15 bulan penjara dan Rp. 50 juta subsider tiga bulan penjara.

Max Moein, kader PDIP anggota DPR, Tersangka, ditahan, 20 bulan, Rp. 50 juta subsider tiga bulan penjara. Data dan fakta perilaku koruptif anggota DPR dapat dikumpulkan dari kesaksian Max Moeis pada sidang Pengadilan Tipikor terkait dengan kasus Pemilihan Deputi Bank Indonesia, Miranda Gultom. Ia mengaku menerima cek di ruang komisi dari seorang tidak bisa dipastikannya. Cek pelayat itu baginya adalah dana dari Parpol untuk mendukung kampanye pemilihan Presiden di daerah pemilihannya, Kalimantan Barat. Uang itu habis untuk kampanye tanpa ada pertanggungjawaban (Harian Kompas, 20 Maret 2010). Pengakuan Max Moein ini dapat menunjukkan, dana diperoleh seorang kader Parpol bisa berasal dari tindak pidana korupsi.

Selanjutnya, Rusman Lumbantoruan, tersangka, ditahan 20 bulan, Rp. 50 juta subsider tiga bulan penjara. Poltak Sitorus, tersangka, ditahan, telah meninggal/wafat. Williem Tutuarima, tersangka, ditahan, 18 bulan, Rp. 50 juta subsider tiga bulan penjara. Panda Nababan, tersangka, ditahan, 17 bulan, membayar Rp. 50 juta, subsider tiga bulan. Engelina Pattiasina, tersangka, ditahan, 17 bulan, membayar Rp. 50 juta, subsider tiga bulan. Muhammad Iqbal, tersangka, ditahan, 17 bulan, membayar Rp. 50 juta, subsider tiga bulan. Budiningsih, tersangka, ditahan, 17 bulan, subsider tiga bulan. Ni Luh Mariani Tirtasari, tersangka, ditahan. Sutanto Pranoto, tersangka, ditahan, vonis 17 bulan. Soewarno,tersangka, ditahan, vonis 17 bulan. Mathoes Pormes, tersangka, ditahan, vonis 17 bulan. Sofyan Usman, tersangka, ditahan, vonis 15 bulan penjara. Daniel Tanjung, tersangka, ditahan, vonis 15 bulan penjara. Jeffrey Tongas Lumbabatu, tersangka, ditahan, telah meninggal/wafat.

Di lain fihak, untuk memperoleh data dan fakta sehubungan perilaku kader PDIP di DPR memperoleh dana ilegal ini, dapat digunakan kasus “Korupsi Dana YPPI BI” yang dialami para anggota Komisi IX DPR Periode 1999-2004. Kasus ini telah mengantarkan Mantan Direktur Hukum BI Oey Hoey Tiong dan mantan Kepala Biro BI Rusli Simanjuntak masing-masing sebagai terdakwa. Di dalam sidang para terdakwa ini di Pengadilan Khusus Tipikor, Jakarta 28 Juli 2008, Hamka Yandhu (Kader Partai Golkar) pernah bersaksi dan mengakui bahwa semua anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 dari sembilan fraksi berjumlah 52 orang menerima dana dari BI dengan nilai total Rp. 21,6 miliar. Kemudian nama-nama penerima dana itu dibacakan oleh Majelis Hakim satu persatu sesuai fraksi masing-masing, yang dibenarkan oleh Hamka. Pembagian dana berdasarkan fraksi, diberikan secara tunai tanpa tanda tangan, dan tidak ada pertanggungjawaban. Khusus kader PDIP di DPR menerima dana sebagaimana dibacakan Majelis Hakim adalah Dodhie Makmun Murod, Max Moein, Poltak Sitorus, Aberson Marie Sihaloho, Tjiandra Widjaja, Zulvan Lindan, William Tutuarima, Sutanto Pranoto dan Daniel Setiawan.

Korupsi Kader PKB

Fenomena rentannya Parpol terhadap perolehan dana ilegal dapat juga dilihat dari kader PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) di DPR terkait dengan kasus tindak pidana korupsi. Salah seorang di antaranya adalah Yusuf Erwin Faisal. Ia didakwa terlibat korupsi alih fungsi hutan di Sumatera Selatan dengan dugaan aliran cek senilai Rp. 5 miliar kepada sejumlah anggota DPR. Aliran cek itu bertujuan agar DPR memberikan rekomendasi terhadap permohonan alih fungsi hutan lindung Pantai Air Telang di Sumatera Selatan untuk dijadikan Pelabuhan Tanjung Api-api. Yusuf mengakui, para anggota DPR seringkali terbebani kewajiban untuk mencarikan dana guna membiayai keperluan Parpol. “Salah satu sebabnya adalah maraknya kompromi dan adanya pusaran politik. Ekspektasi Parpol terhadap kader sangat tinggi untuk mencari sponsor untuk kepentingan partai”, ujar Yusuf Erwin Faisal saat membacakan pembelaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, 23 Maret 2009.

Pusaran politik bermuara pada Parpol, lanjut Erwin, sangat sulit dikendalikan oleh anggota DPR. Beberapa anggota DPR lantas menyiasati hal itu dengan mencari sumber dana dari pihak ketiga atau swasta untuk menghindari kerugian negara. Semua anggota DPR mengetahui kode etik melarang anggota DPR menerima uang dari rekan kerja. Karena itu, menurut Erwin, bisaanya uang langsung mengalir ke organisasi massa atau Parpol.

Sementara itu, para kader PKB di DPR tersandung kasus “Korupsi Dana YPPI BI” sebagaimana dibacakan Majelis Hakim adalah Amru Al Mustaqim, Ali As’ad, Aris Azhari Siagian, Am Muchtar Nurjaya dan Amru Almutaqin

Korupsi Kader PPP

Al Amin Nur Nasution adalah Anggota Komisi IV DPR Periode 2004-2009 dari Fraksi PPP. Kasus dugaan suap terkait pengalihan fungsi hutan lindung seluas 7.300 hektar di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Ia ditangkap KPK pada 9 April 2008. Al Amin tertangkap tangan, KPK mengembangkan penyelidikan hingga akhirnya kembali menahan Sarjan Tahir (anggota DPR, kader Partai Demokrat) terkait kasus pengalihan fungsi hutan bakau menjadi pelabuhan di Banyuasin, Sumatera Selatan. Sarjan Tahir tidak tertangkap tangan, tetapi berdasarkan penyelidikan KPK di lapangan mereka menemukan adanya keterlibatan Sarjan dalam kasus korupsi. Sebelum Al Amin, Sarjan Tahir dan Bulyan Royan, KPK sudah menahan Saleh Djasit, penahanannya tidak terkait tugas Dewan, tetapi saat menjabat sebagai Gubernur. Hampir dua minggu setelah Al Amin, KPK menahan Hamka Yandhu dan mantan anggota DPR Anthony Zeidra Abidin (kader Golkar) terkait kasus Aliran Dana BI.

Endhin Soefihara adalah Anggota DPR Periode 1999-2004 dari Fraksi PPP. Ia tersandung Kasus penerimaan cek perjalanan/pelayat terkait pemilihan Deputi Bank Indonesia, Miranda Gultom. Status vonis. Sebelumnya, para kader PPP di DPR tersandung kasus aliran dana YPPI sebagaimana dibacakan Majelis Hakim adalah Daniel Tandjung, Sofyan Usman dan Habil Marati.

Korupsi Kader PAN

PAN sebagai kekuatan reformasi dulu getol mengangkat issue KKN Orde Baru, juga tidak terbebas dari ketersandungan kasus korupsi. Pertama-tama adalah kasus Abdul Hadi Djamal. Ia salah seorang Ketua DPP PAN periode 2004-2009 dan anggota Komisi V DPR dan Panitia Anggaran DPR. Telah menjadi terpidana kasus suap Rp. 3 miliar dengan vonis penjara tiga tahun dan denda Rp. 150 juta subsider empat bulan kurungan seperti dijatuhkan di Pengadilan Tipikor, November 2009.

Politikus PAN ini terbukti menerima suap Rp. 3 miliar untuk memuluskan dana stimulus fiskal itu tidak mengajukan banding dan kasasi, tetapi langsung PK (Peninjauan Kembali). Pada 10 Mei 2010 MA (Mahkamah Agung) memutuskan, tidak dapat menerima (niet ontvankelijk verklaard) permohonan PK Abdul Hadi Djamal. Ia didakwa telah menerima uang berturut-turut sebesar 80 ribu dolar US, Rp. 32 juta, 70 ribu dolar US, 90 ribu dolar US dan Rp. 54,5 juta. Menurutnya, uang tersebut rencananya akan diserahkan kepada Jonny Allen Marbun selaku Pimpinan Panitia Anggaran di DPR. Ia menjelaskan uang itu digunakan untuk memuluskan proyek pembangunan dermaga dan bandara di Indonesai Bagian Timur.

Pengakuan Abdul Hadi Djamal dalam pemeriksaan KPK telah menyeret nama anggota DPR lain, antara lain: Rama Pratama (kader PKS) dan Jhonny Allen Marbun (kader Partai Demokrat). KPK juga memeriksa Enggartiasto Lukito (kader Golkar) dan Emir Moeis (kader PDIP) sebagai saksi.

Kader PAN berikutnya adalah Noor Adenan Razak. Ia adalah Anggota Komisi VIII DPR Periode 1999-2004 dari Fraksi Reformasi (PAN). Ia tersandung Kasus suap bagi perubahan Anggaran Biaya Tambahan (ABT) untuk Pembangunan Pusdiklat Bapeten sebesar Rp. 250 juta dan bilyet giro sebesar Rp. 1.227.272.000,-

Kader PAN lain terkait dengan tindak pidana korupsi adalah Wa Ode Nurhayati, anggota DPR-RI periode 2009-2014. Anggota Badan Anggaran DPR ini datang ke KPK pada 26 Januari 2012 untuk diperiksa sebagai tersangka kasus korupsi Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID) tahun 2011. Sesuai didiperikas KPK, WA Ode langsung ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Pondok Bambu, Jakarta. Ia disangka menerima pemberian hadiah terkait alokasi dana PPID. Hadiah berupa uang diduga diberikan oleh pengusaha Fahd A. Rafiq, juga Ketua Umum Generasi Muda (Gema) Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR). Sehari sebelumnya, KPK menetapkan Fahd A. Rafiq sebagai tersangka baru dalam kasus suap PPID tahun 2011 di DPR. Pemberian uang atau hadiah kepada Wa Ode diduga terkait bantuan pengalokasian dana bidang infrastruktur jalan pada PPID untuk Kabupaten Aceh Besar, Pidie Jaya, dan Bener Meriah di Propinsi Aceh. Wa Ode Nurhayati disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat 2, dan atau Pasal 11 UU Pemberantasan Korupsi junto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP (Republika, 13 Februari 2012).

Sebelumnya, nama kader PAN terungkap terkait dengan kasus “Korupsi Dana YPPI BI” adalah adalah Rizal Djalil. Juga ada empat anggota lain menerima aliran dana BI, namun nama-nama tidak terungkap (Kompas, 28 Juli 2008).

Korupsi Kader PBB dan PBR

Kader PBB (Partai Bulan Bintang) terkena kasus korupsi antara lain Hilman Indra. Ia adalah anggota DPR 2004-2009. Ia tersandung kasus Korupsi alih fungsi hutan lindung Pantai Air Telang di Sumatera Selatan untuk Pelabuhan Tandjung Api-api. Divonis 4 Tahun, Sementara itu, kader PBB di DPR tersandung kasus “Korupsi Dana YPPI BI “ sebagaimana dibacakan Majelis Hakim adalah MS Kaban

Terakhir, Bulyan Royan, kader PBR (Partai Bintang Reformasi), Anggota Komisi V DPR Periode 2004-2009. Ia tersandung kasus Pengadaan Kapal Patroli di Dirjen Perhubungan Laut-Dephub. Status Vonis. Dikhabarkan, Bulyan Royan mantan anggota Komisi Kelautan di DPR, telah merugikan keuangan negara sebesar Rp. 1,68 miliar dalam kasus pengadaan kapal patroli di Kementerian Perhubungan. Ia tertangkap tangan di Plaza Senayan, sekitar pukul 17.00, oleh Tim KPK. Ketika tertangkap, KPK menemukan uang sebesar 66 ribu dolar US, dan 5.500 euro atau sekitar Rp. 607,2 juta (asumsi 1 dolar= Rp. 9.200) dan Rp. 79,75 juta (asumsi 1 euro=Rp. 14.500) dari tangan Bulyan Royan. Menurut KPK, uang itu terkait dengan posisi Bulyan Royan saat menjadi anggota Komisi V DPR. Satu sumber menyebutkan, pemberian uang adalah fee bisaa diberikan sebelum tender, besarannya 7-8 % dari nilai tender. “Fee diberikan kepada sejumlah anggota DPR dan pejabat Dephub”.

Fenomena Gunung Es

Kasus korupsi di DPR ibarat fenomena gunung es. Publik meyakini kasus-kasus korupsi anggota DPR mengemuka hanya sebagian kecil saja, kasus-kasus tertutup dan terlindungi jauh lebih banyak. Sebanyak 56, 7 % responden jajak pendapat Litbang Kompas meragukan kasus-kasus korupsi melibatkan sejumlah anggota DPR akan dapat dituntaskan secara hukum. Citra buruk DPR di mata publik terus meningkat selama empat tahun terakhir. Pada 2005, sebanyak 58,8 % responden menilai buruk citra DPR. Dalam jajak pendapat bulan April 2008, sekitar tujuh dari sepuluh responden menyatakan citra DPR buruk dan dalam jajak pendapat kali ini, publik menilai buruk citra DPR meningkat lagi menjadi 81,3 % responden.

Issu publik korupsi di DPR lain telah muncul tekait dengan pernyataan La Ode, Wakil Ketua DPD (Dewan Perwakilan Daerah) di Yogyakarta. Dikahabarkan, menurut La Ode, telah terjadi kasus korupsi besar di tubuh DPR, bahkan kasus ini lebih besar dibandingkan penggelapan pajak dilakukan Gayus Tambunan, pegawai Dirjen Pajak Kementerian Keuangan. Pelakunya, lanjut La Ode, memiliki posisi seperti dia, yaitu di tingkat wakil. Pelaku itu adalah salah satu pimpinan di lembaga legislatif pusat. “Kasus ini merugikan keuangan negara hampir Rp. 100 miliar. Perampokan uang negara ini berlangsung menjelang musyawarah nasional (Munas) salah satu partai politik.” La Ode berjanji akan membukanya, namun hingga buku ini disusun Ia belum juga melaksanakan janjinya.

Sementara itu, Mahfud MD Ketua MK (Mahkamah Konstitusi) juga menyatakan, telah memiliki data dapat membuktikan, terjadi korupsi dengan nilai lebih besar dibandingkan kasus Gayus Tambunan. Mahfud mengaku, data berasal dari anggota DPR menyatakan telah terjadi semacam penyalahgunaan wewenang sehingga mengakibatkan keluarnya uang secara tidak prosedural.

Kasus anggota DPR mengaku memperoleh dana illegal dapat ditunjukkan pada kasus tindak pidana korupsi pengadaan alat roentgen portabel di Departemen Kesehatan tahun 2007. Sebagai terdakwa pada kasus ini adalah Sjafii Ahmad. Dalam sidang pengadilan kasus ini, Asiah Salekan, anggota Komisi Kesehatan DPR periode 2004-2009 mengakui telah menerima duit sebesar Rp. 85 juta dari Sjafii Ahmad. Namun, politikus Golkar ini mengaku tidak mengetahui maksud Sjafii memberikan duit berupa cek pelawat. Asiah menerima duit tersebut dalam dua tahap. Pertama, sebenar Rp. 20 juta dalam bentuk cek pelawat Bank mandiri dan kedua senilai Rp. 65 juta dalam bentyuk cek multiguna Bank BNI.

Selain Asiah, dua nama lain terungkap menerima duit adalah politikus Partai Demokrat, Max Sopacua dan kolega Asiah di Golkar, Charles Jonas Mesang. Sjafii memberikan uang kepada ketiga anggota DPR tersebut pada 2007-2008 ketika mereka duduk di Komisi Kesehatan DPR. Jaksa menyebut Max (anggota Fraksi Demokrat) menerima Rp. 45 juta untuk membayari Honda CR-V, sedangkan Mesang (anggota Fraksi Golkar) menerima Rp. 90 juta. Menurut Jaksa, dana mereka terima itu berasal dari Budiarto Maliang, Komisaris PT. Kimia Farma, suatu perusahaan milik negara pemenang lelang proyek pengadaan alat roentgen dimaksud. Budianto memberikan cek pelawat keluaran Bank Mandiri dan cek multiguna dari Bank BNI dengan nilai total Rp. 8,98 miliyar kepada Syafii. Uang ini diberikan kepada Sjafii sebagai imbalan karena ia telah mengusahakan agar PT. Kimia Farma memenangi tender (Koran TEMPO, 4 Januari 2011).

Modus korupsi anggota DPR lainnya yakni suap-menyuap dalam pemilihan pejabat negara. Modus ini juga menjadi biasa sebagaimana pengakuan Hamka Yandu (Kader partai Golkar) pada sidang perkara masih terkait dengan kasus pemberian cek pelayat (pemilihan Miranda Gultom). Hakim Hendra Yospin di sidang pengadilan pernah mencecer Hamka mengenai kebisaaan suap di DPR dalam pemilihan pejabat. “Apakah mekanisme pemilihan pejabat lembaga tinggi negeri ini kalau tidak ada duitnya (calonnya) bisa tersingkir? Perilaku itu sudah dari dulu atau baru kali ini?” tanya Yospin. Hamka menjawab, “Hal itu biasa” (Harian Kompas, 28 April 2010).

Jumat, 09 Maret 2012

KORUPSI KADER PARPOL DI DPR-RI (BAGIAN KETIGA)

Pada awal era reformasi, 2001, Kemitraan (Partnership for Governance Reform) telah memperingatkan adanya fenomena perilaku korupsi kader Parpol melalui hasil survei nasional tentang korupsi di Indonesia. Hasil survei Kemitraan ini menempatkan parpol sebagai salah satu institusi publik yang tidak dapat dipercaya.
Pada 2010 Kemitraan juga melakukan survei nasional di 33 provinsi tentang hal yang sama, Hasilnya adalah tidak ada perubahan lebih baik dan sangat mengecewakan. Sebanyak 90 % responden dari kalangan akademisi menilai elite Parpol di legislatif berperilaku korupsi, dan lebih 80 % responden dari kalangan media dan LSM menilai elite parpol di legislatif berperilaku korupsi. Kader Parpol di legislatif dan eksekutif yang menjadi responden juga meyakini bahwa elite Parpol mereka berprilaku korupsi dengan tingkat keyakinan di atas 50 persen.

Sesungguhnya hasil survei Kemitraan dapat juga diperkuat dengan data dan fakta tentang perilaku korupsi kader Parpol di DPR-RI baik hasil Pemilu 2004 maupun Pemilu 2014. Data dan fakta tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber, antara lain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan media massa yang membeberkan pengakuan terdakwa atau saksi anggota DPR, pernyataan Tim Jaksa Penuntut atau hasil sidang-sidang pengadilan Tipikor, Jakarta. Bahkan, menurut KPK, sampai dengan Agustus 2011, telah dihukum sekitar 60 anggota DPR. Berikut ini akan diungkapkan data dan fakta kader Parpol di DPR terkait perilaku korupsi atau memperoleh dana ilegal.

Korupsi Kader Partai Golkar

Golkar tergolong Parpol besar dan produk era rezim Orde Baru, dan pada Pemilu 2004 telah berhasil menjadi peserta pemenang nomor satu dalam memperoleh kursi di DPR. Pada era rezim Orde Baru, korupsi di DPR-RI yang dipandu oleh Parpol tidak merajalela seperti pada era reformasi karena pada era Orde Baru Golkar menguasai hampir semua lini kehidupan berbangsa. Salah satu sebabnya adalah apa yang diinginkan rezim Orde Baru dan Golkar pasti disetujui DPR.

Pada era reformasi, seiring dengan merajalela perilaku korupsi anggota DPR, kader Golkar juga tidak terbebas dari perilaku korupsi. Data dan fakta dapat diperoleh dari telah hasil sidang Tipikor, Jakarta, antara lain: Andiwarsita Adinugroho, Saleh Djasit, Anthony Zeidra Abidin, Hamka Yandhu, Azwar Chesputra dan Fachri Andi Leluasa.

Andiwarsita Adinugroho adalah Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (HPHI) dan Anggota DPR periode 1999-2004 dari Fraksi Golkar. Andiwarsita menjadi tersangka kasus APHI dan dituntut oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan 8 tahun penjara. Ia dituduh merugikan keuangan negara Rp. 9,5 miliar. Pada 12 November 2005 Pengadilan memvonis 6 tahun.

Saleh Djasit adalah Anggota Komisi VII DPR Periode 2004-2009 dari Fraksi Partai Golkar. Semula ia diduga melakukan tindak pidana korupsi pengadaan 20 alat pemadam kebakaran Pemerintah Propinsi Riau dengan kerugian negara sekitar Rp. 4,7 miliar. Saleh Djasit akhirnya divonis bersalah dan dihukum.

Anthony Zeidra Abidin adalah Anggota Komisi XI DPR Periode 1999-2004. Saat jadi tersangka, posisinya sebagai Wakil Gubernur Propinsi Jambi. Ia tersandung kasus Aliran Dana BI ke DPR, dan akhirnya divonis bersalah dan dihukum.

Hamka Yandhu adalah Anggota Komisi XI DPR Periode 1999-2004 dari Fraksi Partai Golkar. Ia tersandung kasus penerimaan cek perjalanan/pelayat terkait pemilihan Deputi Bank Indonesia, Miranda Gultom, yang kini telah berstatus “tersangka” oleh KPK. Pengadilan Tipikor di Jakarta telah menjatuhkan vonis bersalah terhadap Mantan Ketua Sub Komisi Keuangan di Komisi IV DPR ini. Saat diperiksa sebagai saksi, Hamka Yandhu mengungkapkan, semua anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 dari sembilan Fraksi berjumlah 52 orang menerima dana dari BI dengan nilai total Rp. 21,6 miliar. Nama penerima dana itu dibacakan Majelis Hakim satu persatu sesuai Fraksi masing-masing, kemudian dibenarkan Hamka Yandhu.

Terdapat sejumlah kader Golkar lain juga tersandung kasus penerimaan cek perjalanan terkait pemilihan Deputi Bank Indonesia, Miranda Gultom, dan sebagai tersangka dan umumnya divonis 16 bulan penjara. Mereka adalah (1) Ahmad Hafiz Zamawi; (2) Marthin Bria; (3) Paska Suzetta; (4) Boby Suhardiman; (5) Antony Zeidra Abidin; (6) TM Nurlif; (7) Asep Ruchimat Sudjana Tersangka; (8) Reza Kamarullah; (9) Baharuddin Aritonang; (10) Hengky Baramuli.

Selanjutnya, Azwar Chesputra adalah Anggota DPR 2004-2009 dari Fraksi Golkar. Azwar tersandung kasus korupsi alih fungsi hutan lindung Pantai Air Telang di Sumatera Selatan untuk Pelabuhan Tandjung Api-api. Ia terkena vonis 4 tahun penjara.

Sebagaim ana Azwar Chesputra, Fachri Andi Leluasa juga Anggota DPR 2004-2009 dari Fraksi Golkar, tersandung kasus korupsi alih fungsi hutan lindung Pantai Air Telang di Sumatera Selatan untuk Pelabuhan Tandjung Api-api. Ia terkena vonis 4 tahun penjara.

Korupsi Kader Partai Demokrat

Partai Demokrat merupakan Parpol berkuasa dalam pemerintahan. Anggota DPR dari Parpol ini juga tidak terbebas dari kasus korupsi. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menemukan 45 % responden survei LSI percaya bahwa elite Partai Demokrat terlibat korupsi. Survei LSI ini diselenggarakan pada 1-7 Juni 2011, dengan metode wawancara tatap muka menggunakan kuesioner, jumlah responden 1.200, dan margin of error ±2,9%.

Persepsi korupsi ini bahkan lebih tinggi di kalangan responden yang saat Pemilihan Presiden 2009 memilih Megawati Soekarnoputri atau Jusuf Kalla. Sebanyak 57,4% pendukung Megawati-Prabowo Subianto sangat percaya bahwa elite Demokrat terlibat korupsi. Sedangkan 52,8% suara pendukung pasangan Jusuf Kalla dan Wiranto juga menyatakan hal yang sama. “Ini menunjukkan, pemilih PDIP dan Golkar, dan mayoritas pemilih pilpres Megawati dan Jusuf Kalla percaya petinggi Demokrat terlibat korupsi di Menpora,” kata Denny JA, Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia, dalam jumpa pers di Jakarta, Minggu 12 Juni 2011. Menurut Denny, faktor utama yang memengaruhi persepsi ini adalah kasus yang membelit Muhammad Nazaruddin yang bulan lalu dipecat sebagai Bendahara Umum partai pemenang Pemilu itu. Sebanyak 53,7 persen responden percaya Nazaruddin korupsi.

Hasil survei LSI di atas sesungguhnya tidak berbeda dengan realitas obyektif kasus dugaan tindak pidana korupsi kader-kader Partai Demokrat di DPR. Berdasarkan hasil pengolahan Litbang Kompas, Harian Kompas 13 Juli 2011, dan 27 Januari 2012, dan Website: Digital Media Ekspos News, 13 Juli 2011, dll, para kader Partai Demokrat terkena kasus korupsi antara lain: As’ad Syam, Sarjan Tahir, Yusran Aspar, Amrun Daulay, Agusrin Maryono Najamudin, Nazaruddin, Murwan Effendi, RE Siahaan, Djufri, dan Angelina Sondakh.

As’ad Syam adalah Anggota DPR 2009-2014 Dapil Jambi), Kader Partai Demokrat. As’ad Syam tersandung korupsi pembangunan pembangkit listrik tenaga diesel Sungai Bahas senilai Rp. 4,5 miliyar saat menjabat Bupati Muaro Jambi. Putusan Kasasi MA memutuskan As’ad bersalah dan menjatuhkan hukuman Vonis 4 tahun penjara dan denda Rp. 2000 juta subsider enam bulan (Kasasi MA, 11/12/2008).

Sarjan Tahir adalah anggota DPR 2004-2009), Kader Partai Demokrat. Ia terkena dugaan kasus suap alih fungsi hutan mangrove untuk Pelabuhan Tanjung Api-api. Ia terkena vonis 4,5 tahun penjara (PK MA,17/11/2009). Kasus dugaan suap terkait pengalihan fungsi hutan lindung seluas 7.300 hektar di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Ditahan 2 Mei 2008. Status tersangka pada Sarjan Taher diputuskan KPK pada 27 Februari 2008.

Yusran Aspar adalah anggota Komisi IV DPR 2009-2014 dari Fraksi Partai Demokrat. Yusran terkena dugaan kasus korupsi biaya pembebasan tanah kompleks perumahan PNS senilai Rp. 6,3 miliar semasa pejabat Bupati Penalam Paser Utama Kaltim periode 2003-2008. Yusran mendapat putusan kasasi MA tentang hukuman 1 tahun 6 bulan penjara serta denda Rp. 100 juta (Kasasi MA, 2009). Anggota Komisi IV DPR Periode 2004-2009 dari Fraksi Partai Demokrat.

Amrun Daulay adalah anggota DPR 2009-2014 Dapil Sumut II), Kader Partai Demokrat. Amrun Daulay terkena dugaan kasus korupsi pengadaan mesin jahit dan impor sapi Rp. 25 miliyar saat Amrun menjabat Dirjen Bantua dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial. Ia ditetapkan sebagai Tersangka oleh KPK (8 April 2011). Ditahan KPK (5 Juli 2011).

Agusrin Maryono Najamudin adalah Gubernur Bengkulu , Kader Partai Demokrat. IA tersandung dugaan kasus korupsi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Bea Penerimaan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar Rp. 20,16 miliar. Namun, ia mendapat vonis bebas (PN Jakpus, 29/5/2011).

Nazaruddin adalah Anggota DPR 2009-2014 Dapil Jatim IV. Ia tersandung dugaan kasus korupsi Pembangunan Wisma Atlet SEA Games di palembang dengan nilai proyek mencapai Rp. 191 miliar. Tersangka (KPK, 30/6/2011). Ditetapkan senagai tersangka oleh KPK 30 Juni 2011. Ia ditangkap di Cartagena, Kolombia, 7 Agustus 2011.

Kasus korupsi kader Partai Demokrat paling mencolok di publik adalah dugaan tindak pidana korupsi anggota DPR sekaligus sebagai Bendahara Umum DPP Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin (33 tahun). Sekretaris Umum Dewan Kehormatan Partai Demokrat, Amir Syamsuddin, (23 Mei 2011) mengumumkan pemberhentian Nazaruddin dari jabatan Bendahara Umum Partai Demokrat. Keputusan ini diambil antara lain karena berbagai pemberitaan miring tentang Nazaruddin membuat Partai Demokrat dalam posisi yang tidak menguntungkan. Laporan itu juga menghambat Nazaruddin dalam melaksanakan tugasnya. Amir Syamsuddin mengatakan, Dewan Kehormatan juga menilai semua informasi dugaan keterlibatan Nazaruddin dalam kasus hukum dan etika terkait dengan jabatannya sebagai Bendahara Umum.

Kasus korupsi relatif mendapat perhatian serius publik atas Nazaruddin anggota Kader Partai Demokrat ini terkait kasus suap proyek pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan, Kementerian Pemuda dan Olahraga RI. Salah satu contoh persekongkolan antara politisi di DPR dan pejabat pemerintah (eksekutif) ini diduga berkaitan dengan sejumlah anggota DPR. Anggota Kader Partai Demokrat lain diduga terkait dengan kasus ini adalah Anggelina Sondakh, anggota Komisi X DPR.

Pada 21 April 2011, KPK menangkap Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga (Sekmenpora) Wafid Muharam di ruang kerjanya, bersama dengan Direktur Marketing PT Anak Negeri Mindo Rosalina Manulang dan Manajer PT Duta Graha Indah (DGI) Mohammad El Idris. Peristiwa ini kemudian berlanjut dikenal sebagai kasus „dugaan suap Sesmenpora“. M Nazarudin disebutkan sebagai Pendiri PT Anak Negeri perusahaan Mindo Rosalina Manullang sebagai Direktur Marketing. Kasus dugaan suap Sesmenpora kemudian meyeret nama anggota Komisi X DPR, Angelina Sondakh (kader P.Demokrat), dan I Wayan Koster (Kader PDIP). Sebelum pemberhentian Nazaruddin dari jabatan Bendahara Umum, Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, telah melaporkan Nazaruddin kepada Presiden SBY terkait pemberian 120.000 dollar Singapura oleh Nazaruddin kepada Sekretaris Jenderal MK Janedjri M Gaffar. Bahkan, melalui konperensi press diselenggarakan SBY, Mahfud membeberkan ke publik kasus Nazaruddin terkait pemberian 120.000 dollar Singapura yang mengundang perhatian publik atas kasus Nazaruddin ini.

Pada 13 Juni, Nazaruddin dipanggil KPK untuk pertama kali sebagai skasi dalam kasus dugaan suap di Kemenpera tersebut, namun tidak hadir. Sebelumnya, 10 Juni 2011, KPK juga menjadwalkan pemanggilan terhadap Nazaruddin sebagai saksi dalam kasus korupsi di Kementerian Pendidikan Nasional pada 2007. Juga Nazaruddin tidak hadir. KPK melalui Juru Bicara Johan Budi (Republik 14 Juni 2011) pernah menegaskan akan menjemput paksa Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat ini bila sampai tiga kali mangkir dari panggilan penyidik. Akhirnya, pada 30 Juni 2010 KPK menetapkanya sebagai “tersangka” dalam kasus Wisma Atlet ini.

Diberitakan, Nazaruddin terbang ke Singapura pada 23 Mei 2011 bersama istirinya, Neneng Sri Wahyuni. Partai Demokrta sempat mengirimkan satu tim khusus untuk menemui Nazaruddin di Singapura. Namun, Tim itu gagal membujuk Nazaruddin pulang ke Tanah Air. Sementara itu, Nazaruddin belum pernah memberikan keterangan sakit secara resmi kepada KPK. Bahkan, Nazaruddin sempat menyebutkan sejumlah nama terkait kasus dugaan suap Sesmenpora. Di antaranya, Dewan Pembina P. Demokrat Menpora Andi Mallarangeng, Wakil Ketua Banggar DPR dari P. Demokrat Mirwan Amir, Anggota Komisi X DPR dari P. Demokrat Angelina Sondakh, dan Anggota Komisi X DPR dari PDIP Wayan Koster. Kebanyakan mereka sudah membantah tudingan Nazaruddin (Republika, 24 Juni 2011). Intinya, semua Parpol memiliki kader anggota DPR berperilaku korup atau meperoleh dana ilegal.

Profil anggota DPR dari Parpol Demokrat yang koruptif satu per satu semakin terlihat dari pernyataan Nazaruddin dari luar negeri (Harian Media Indonesia, 25 Juli 2011). Dalam wawancara dengan Metro TV paad 19 Juli 2011, Nazaruddin mengatakan kemenangan Anas Urbaningrum (saat itu sebagai Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR) di Kongres II Partai Demokrat 21-23 Mei 2010, Bandung. Sebagai pesaing Anas dalam kompetisi Ketua Umum DPP Partai Demokrat ketika itu adalah marzukie Ali (Ketua DPR-RI) dan Andi Mallarangeng (Menteri Olahraga dan Pemuda). Nazaruddin menyampaikan terdapat peredaran uang di dalam Kongres itu sekitar US $ 20 ribu.Uang itu dibagi-bagikan ke pengurus Partai Demokrat di daerah. „Ada DPC yang dikasih US$10 ribu, ada yang US$15 ribu, ada US20 ribu, ada sampai US40 ribu,“ ujar Nazaruddin. Bahkan nazaruddin menyebut uang US$5 juta dan Rp. 35 miliar diangkut dengan mobil boks dipakai untuk memenangkan Anas menjadi Ketua Umum. Uang yang dibagi-baikan itu berasal dari uang korupsi proyek dibiayai APBN, antara lain Proyek Pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang.

Harian Kompas (21 September 2011) berdasarkan sumber Litbang Kompas/NDW, diolah dari pemberitaan Kompas.com membeberkan beberapa tuduhan Nazaruddin tentang kasus korupsi melibatkan politisi Parpol di DPR. Pertama, Proyek Wisma Atlet di Kemenpora, uang Rp. 9 miliar mengalir ke sejumlah anggota Badan Anggaran DPR, Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum, dan Ketua Fraksi Partai Demokrat Djafar Hafsah. Selanjutnya, aliran dana, Rp. 8 miliar diberikan kepada anggota Banggar DPR I Wayan Koster (F-PDI Perjuangan) dan Angelina Sondakh (Fraksi Partai Demokrat). Keduanya kemudian menyerahkan kepada pimpinan Banggar, Mirwan Amir. Dari Mirwan diserahkan ke pimpinan Banggar lainnya dan Anas Urbaningrum yang tidak disebutkan jumlahnya. Rp. 1 miliar diserahkan kepada Djafar Hafsah. Dalam kasus ini Nazaruddin sebagai „Terdakwa“.

Kedua, Proyek Pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kemnakertran. PT. Anugrah Nusantara merupakan salah satu perusahaan peserta tender proyek PLTS senilai Rp. 8,9 miliar. Nazaruddin dan Anas adalah pimpinan perusahaan itu. PT Anugrah menyubkontrakkan proyek. Dugaan pengelembungan harga pelaksanaan senilai Rp. 3,8 miliar. Dalam kasus ini status Nazaruddin dalam pemeriksanaan KPK sebagai „Saksi“.

Ketiga, Sumber Dana Kongres Partai Demokrat, Biaya Kongres Partai Demokrat berasal dari proyek di Kementerian dan BUMN, antara lain proyek Hambalang, proyek e-KTP, proyek bantuan operasional sekolah (BOS), serta pembangkit listrik PLN di Riau dan Kaltim. Dalam pemeriksaan 10 jam oleh KPK, Senin, 19 September 2011, Nazaruddin menyebutnkan adanya dana untuk Kongres sekitar Rp. 50 miliar dan 7 juta dollar AS.

Keempat, Rekayasa kasus oleh KPK, Ketua Komite Etik KPK Abdullah Hehammahua berbohong terkait pertemuan Nazaruddin dengan Wakil Ketua KPK Chandra M. Hamzah. Nazaruddin mengakui bertemu dengan Chandra sebanyak lima kali di luar persidangan Komisi III. Pernyataan Ketua Etik KPK Abdullah Hehamahua mengutip keterangan Nazaruddin pada pemeriksaan KPK (10 September 2011).

Yulianis dalam kesaksiannya, mengatakan, Nazaruddin telah mengalirkan uang mencapai 1,1 juta dolar AS kepada para politikus di Senayan. Pemberian uang bertujuan untuk pengurusan proyek pembangunan wisma atlet. Yulianis mengaku memberikan langsung uang tersebut kepada Nazaruddin saat berada di kantor, pemberian uang diantarkan melalui sopir Yulianis, yaitu Lutfhi, Dadang dan Bari. Semua pengeluaran dilakukan pada 30 April 2010 dengan empat kali pemberian. Pertama 450 ribu dollar AD, dan terakhir 400 ribu dolar AS.

Di lain fihak, Nazaruddin juga menjadi tersangka dalam kasus Tindak Pidana Pencucian Uang yang diduga lewat pembelian saham PT Garuda. Berdasarkan pengakuan Yulianis dalam persidangan Nazarudin uang senilai Rp300,8 miliar sempat digelontorkan untuk pembelian saham, saat perusahaan tersebut sedang melakukan IPO Februari tahun 2011. Saham dibeli lewat lima perusahaan yaitu Permai Raya Wisata membeli 30 juta lembar saham senilai Rp22,7 miliar, Cakrawala Abadi membeli 50 juta lembar saham senilai Rp37,5 miliar, Eksharetek membeli 165 juta lembar saham senilai Rp124,1 miliar, Pasific membeli 100 juta lembar saham Rp75 miliar, dan Dharmakusuma membeli 55 juta lembar saham senilai Rp41 miliar.

Nazaruddin dalam kasus suap Wisma Atlet yang sudah menjadi tersangka justru menyeret rekan-rekan di Partai Demokrat seperti Anas Urbaningrum, Anggelina Sondakh, Saan Mustopa, Mirwan Amir, dan Andi Mallarangeng.
Anas Urbaningrum adalah Ketua Umum Partai Demokrat. Tuduhan-tuduhan Nazarudin tehadap Anas Urbaningrum pada gilirannnya mendapat dukungan dari kesaksian-kesaksian sejumlah saksi yang bekerja di Group Permai. Terungkap bahwa posisi Anas di dalam perusahaan. Para saksi mengungkapkan posisi Anda di dalam perusahaan dan menjelaskan secara rinci hari-hari apa saja Anas biasa datang ke kantor dan bekerja pada perusahaan tempat mereka bekerja. Mobil apa saja yang pernah diberikan perusahaan lengkap dengan nomor poliisi yang digunakan.

Yulianis dalam kesaksiannya pada 25 Januari 2012, mengatakan bahwa terdakwa Muhammad Nazaruddin merupakan mantan atasannya di PT Permai Group. Kesaksian Yulianis juga menyinggung adanya aliran dana proyek wisma atlet ke kongres Partai Demokrat. PT Permai Group, kata Yulianis, juga mengalirkan dana tunai saat kongres Partai Demokrat berlangsung. Uang dibawa langsung dengan menggunakan tiga unit mobil dengan kawalan mobil polisi. Uang yang dibawa dalam mobil sebenar Rp. 30 miliyar dan lima juga dolar AS dengan perincian dua juta dolar AS dari PT Permai dan tiga juta dolar AS dari sumbangan. Uang diambil dari anal-anal perusahaan PT Permai Group. Uang langsung dibawa ke Hotel Aston Bandung, tempat kongres berlangsung. Di samping berapa banyak kardus uang yang dibawa untuk Kongres Partai Demokrat di Bandung, juga terungkap beberapa yang dibawa kembali ke Jakarta. Juga bagaimana pengiriman uang 1 juta dollar AS dari perusahaan untuk diberikan kepada Anas.

Anas juga disebut oleh dua Saksi di persidangan kasus suap Wisma Atlet, yakni Gerhana Sianipar dan Muhajiddin Nur Hasyim. Gerhana adalah Direktur PT Exartech Technologi Utama, perusahaan yang juag tergabung dalam Group Permai. Sementera, Hasyim adalah adik Nazaruddin dan juga salah satu pemilik Group Permai. Gernaha dan Hasyim mengaku tidak mengenal Grup Permai. Keduanya hanya menyebut Konsorsium perusahaan yang dikendalikan dari Tower Permai di Mapang, Jakarta Selatan. Menurut Hasyim, Konsorsium di Tower Permai pemodalnya sepenuhnya Anas. Anas lebih berhak tentang apa yang harus dijalankan dan diputuskan dalam Konsorsium. Anas juga mengatur penempatan tugas beberapa pegawai di Konsorsium. Anggota konsorosium yang dapat pekerjaan maka dimodali konsorsium, yang diketuai Yulianis, dan ownernya Anas dan saya. Saksi Gerhana juga mengakui pernah Anas di konsorsium Tower Permai. Posisi Anas atasan Nazaruddin. Dalam Rapat, Nazarudin juga meminta data untuk dipertanggungjawabkan kepada Anas. “Kalau saya lewat ruang meeting, saya pernah lihat Pak Nazar koordiansi dengan Pak Anas pagi-pagi”, kata Saksi Gerhana (Kompas, 8 maret 2012).

Andi Mallarangeng juga tersandung issue perilaku korupsi sehubungan dengan kasus korupsi Wisma Atlet. Dalam kesaksiannya, Rosalina mengatakan bahwa ada aliran dana Wisma Atlet sebesar Rp. 500 juta ke Tim Sukses Andi Mallarangeng untuk pemenangan dalam kongres Partai Demokrat di Bandung 2010. Pada 11 September 2014, Jaksa penuntut umum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menuntut Anas 15 tahun penjara. Dalam perjalanannya, kasus korupsi Anas Urbaningrum, pada 24 September 2014 Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan hukuman 8 tahun dan denda Rp. 300 juta. Pada 6 Februari 2014, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengurangi hukuman Anas menjdai 7 tahun penjara. Pengurangan itu tidak berlaku pada denda. Namun, KPK mengajukan kasasi atas putusan Pengadilan Ringgi DKI Jakarta yang dinilai aneh: menolak banding Anas, tetapi mengurangi hukuman. Anas juga mengajukan kasasi. Terakhir, 8 Juni 2015, Mahkamah Agung melipatgandakan vonis terhadap Anas menjdai 14 tahun penjara, denda Rp. 5 miliyar (subsider 16 bulan penjara), serta membayar uang pengganti Rp. 57 miliyar (KORAN TEMPOM< 9 Juni 2015).

Murwan Effendi adalah Bupati Seluma, Bengkulu. Pemberian suap kepada anggota DPRD, penyusunan APBD dan penggunaan dana infrastruktur TA 2010. Perubahan anggaran membuat biaya pembangunan mmbengkak dari Rp. 350 miliar menjadi Rp. 385 miliar. Ditetapkan Tersangka oleh KPK, 11 Juli 2011.

RE Siahaan Mantan Walikota P.Siantar Sumut 2005-1010, juga Ketua DPC Partai Demokrat Siantar 2005-2010. Kasus korupsi pengelolaan Rp. 16 miliar dana bantuan sosial APBD, serta dana pemeliharaan di Dinas PU TA 2007 bernlai Rp. 30 miliar. Diduga kerugian Negara Rp. 9 miliar.

Djufri (Anggota DPR 2009-2014). Pengelembungan dana pembelian lahan sejumlah proyek di kota Bukittingi. Vonis 4 Tahun (PN Padang 6/1/2012).

Angelina Sondakh. Anggota DPR 2009-2014 Fraksi Demokrat. Ia telah ditetapkan oleh KPK sebagai Tersangka. Anggelina Sondakh adalah Wakil Sekjen DPP Partai Demokrat dan anggota DPR. Tuduhan Nazarudin terhadap Anggelona Sondakh akhirnya mendapat dukungan dari sejumlah kesaksian dalam persidangan Nazarudin. Berdasarkan catatan Yulianis, anggota DPR Anggelina Sondakh (Kader Partai Demokrat) dan Wayan Koster (Kader PDIP) masing-masing mendapat Rp. 2 miliar dan Rp. 3 miliar. Bahkan, KPK telah memutuskan Anggelina sebagai tersangka dalam kasus Wisma Atlet.

Selain kader-kader Partai Demokrat di atas, juga Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Jhonny Allen Marbun tersandung kasus dugaan korupsi. Anggota DPR RI asal Sumut ini telah dua kali dilaporkan ke KPK oleh mantan ajudannya sendiri bernama Selestinus Angelo Ola. Pertama, terkait kasus dugaan korupsi pembangunan Dermaga di Indonesia Bagian Timur. Salestinus melaporkannya ke KPK dengan tuduhan menerima suap di Badan Anggaran. Ketika itu Salestinus menyatakan, Jhonny selaku Wakil Ketua Badan Anggaran DPR pada tahun 2008 terlibat pengaturan penyaluran anggaran ke daerah. Johnny mendapatkan komisi lima persen dari dana yang disepakati untuk dialokasikan ke daerah. Kedua, pada 5 Januari 2012, Salestinus melaporkan Jhonny Allen Marbun ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salestinus –merupakan mantan pekerja Jhonny - datang ke Gedung KPK membawa bukti-bukti dugaan korupsi yang dilakukan Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat itu. "Ya, tadi saya sudah sampaikan semua data-datanya kepada KPK," ujar Salestinus usai melapor ke KPK.. Diungkapkan Salestinus, Jhonny Allen diduga melakukan korupsi tanah kuburan senilai Rp10 miliar. Yakni dengan melakukan mark up tanah kuburan di Pondok Rangon Jakarta Timur. Dalam prosesnya, Jhonny berkomplot dengan Ketua Pimpro Pembebasan Tanah Pondok Rangon dari Dinas Pemakaman, Endang Syuhada.“Jhonny Allen diduga menyuap Endang Syuhada sebesar Rp550 juta,” ucap Salestinus. Uang tersebut diberikan untuk kelancaran mark up senilai Rp10 miliar. Yakni kelancaran untuk menyepakati mark up pada tanah yang dibeli Jhonny Allen seluas 3,5 hektar dengan total biaya Rp13 miliar menjadi Rp23 miliar(INILAH.COM, 5 Januari 2012).

Pada 23 Februari 2012 ratusan mahasiswa tergabung dalam Forum Generasi Muda Muslim Sumatera Utara mendesak aparat penegak hukum segera mengusut tuntas kasus dugaan suap dan mark-up yang dilakukan Jhonny Allen Marbun demi menindak lanjuti laporan dan pengaduan atas dirinya. Desakan tersebut disampaikan mahasiswa saat berunjukrasa di Gedung DPRD Sumatera Utara dibawah pimpinan Koordinator Aksi Adhitia Melfan Tanjung. “Sudah lebih dua tahun kasus yang melibatkan Jhonny Allen Marbun dipeties-kan oleh KPK. Kami melihat bahwa pimpinan KPK sengaja menyembunyikan kasus tersebut hingga kepemimpinan KPK saat ini,” ujar Adhitia (Berita Sore Online, 07 Maret 2012)

Senin, 05 Maret 2012

KORUPSI KADER PARPOL DI DPR-RI (BAGIAN KEDUA)

Perilaku korupsi kader Parpol sebagai anggota DPR sesungguhnya beragam modus, mulai sebagai pelaku tidak langsung tetapi menentukan pada “pengadaan barang/jasa Pemerintah” terutama tingkat nasional (dana APBN) hingga sebagai pelaku pendukung pembuatan keputusan politik dalam bentuk Undang-undang dan kebijakan politik menguntungkan atau berpihak pada kepentingan pelaku usaha/korporasi baik nasional maupun internasional sebagaimana disebut sebagai “korupsi sandera negara” (state capture corruption).

Majalah Berita Mingguan TEMPO Edisi 16-22 Mei 2011 telah menurunkan laporan utama tentang perilaku korupsi anggota DPR. Menurut TEMPO, gedung DPR menjadi bursa transaksi gelap penentuan kebijakan publik. Penyusunan anggaran atau pembahasan pasal Rancangan Undang-undang (RUU) kerap dilumuri politik uang. Tawar menawar dilakukan untuk memutuskan pasal-pasal krusial dalam penyusunan RUU. Kepala Daerah bersusah payah menyiapkan sogokan buat memperoleh alokasi anggaran. Penyusunan anggaran merupakan lahan basah bagi anggota Dewan. Para “wakil rakyat” menggunakan proses persetujuan merupakan kewenangan mereka untuk memperoleh keuntungan. Transaksi gelap dilakukan politikus dari hampir semua fraksi.

Berdasarkan pengelusuran TEMPO, banyak anggota DPR menghubungi Kepala-kepala Daerah, menawari mereka anggaran tertentu, dan kemudian memotong 5-10 persen sebagai “fee”, harus dibayar dimuka, tunai. Proses serupa dilakukan dengan pengusaha untuk persetujuan anggaran pengadaan barang. Lebih jauh Tempo membeberkan, seorang bekas anggota Panitia Anggaran mengatakan tiap Parpol biasanya memiliki sejumlah anggota giat “menjala uang”. Kader Parpol ini ditempatkan di Badan Anggaran, perangkat DPR beranggotakan 85 orang dari pelbagai fraksi secara proporsional. Di sini proses pembahasan anggaran dimainkan agar proyek dikawal bisa mulus. Anggota Badan Anggaran tidak produktif menyetor uang ke Parpol bakal dipindahkan ke alat kelengkapan DPR lain. Di Badan Anggaran kadang terjadi peleburan anggota lintas Fraksi dan lintas Komisi. Permainan juga melibatkan mediator, datang ke Senayan (Gedung DPR) dan melobi anggota DPR agar meloloskan proyek di daerahnya, Para mediator datang membawa proposal dari daerah sudah disetujui Bupati atau Walikota.

Mafia Anggaran di DPR menjadi issu paling aktual seiring dengan mencuatnya kasus korupsi Wisma Atlet di Palembang melibatkan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, Sondakh, dan anggota DPR lain. Issu Mafia Anggaran di DPR telah mengundang beragam opini dan komentar baik dari anggota DPR sendiri maupun bukan. Mafia Anggaran bermakna bahwa para anggota Panitia Anggaran yang dan juag kader Parpol menggunakan kewenangan mereka untuk memark-up dan sekaligus membuat komitmen kepada fihak Pengusaha maupun pejabat eksekutif agar memberikan dana sekian persen dari nilai proyek kepada pada anggota Panitia Anggaran. Intinya, para anggota DPR (dari semua fraksi) berjemaah dan berkerjasama untuk memperoleh dana ilegal dari Negara atas proyek pengadaan barang dan jasa Pemerintah.

Tindak lanjut issu Mafia Anggaran adalah issue pembentukan Panja Mafia Anggaran. Parpol pertama mengajukan prakarsa pembentukan Panja Mafia Anggaran ini adalah Partai Gerindra. Melalui keterangan pers, Gerinda memandang pembentukan Panja Mafia Anggaran di badan legislatif merupakan salah satu upaya untuk membenahi permasalahan anggaran. Gerindra berpendapat, pelaksanaan dan pengelolaan anggaran yang dilakukan eksekutif saat ini jauh dari harapan. "Dalam konteks anggaran, Gerindra sangat setuju dibentuk Panja Mafia Anggaran. Ini sudah domain publik. Kalau ada, Gerindra akan mendukung," ungkap Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon dalam keterangan pers di Restoran Pulau Dua pada 26 Juli 2011.

Panja Mafia dibentuk untuk mengusut berbagai praktik penyimpangan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang dilakukan anggota DPR melalui berbagai proyek di beberapa kementerian. Sebelumnya, Fraksi Partai Gerindra mengusulkan dibentuknya Panja Mafia Anggaran di Dewan. Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon menegaskan pihaknya mendorong pembentukan Panitia Kerja (Panja) Mafia Anggaran di DPR. Dia berpendapat, persoalan anggaran merupakan domain publik. "Kami mendukung pembentukan panja mafia anggaran, karena ini domain publik," ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Selasa (26/7/2011).

Sementara dalam kesempatan yang sama, anggota Badan Anggaran dari Fraksi Partai Gerindra Sadar Subagyo menyebutkan sedikitnya 55 persen APBN bocor. Dia menyebutkan kebocoran mulai dari penerimaan hingga belanja. “Kebocoran di penerimaan 25 persen, di belanja 30 persen,” ujarnya.

Sesungguhnya wacana pembentukan Panja Mafia Anggaran di DPR ini muncul setelah maraknya kasus mafia anggaran yang diduga melibatkan anggota DPR. Sejumlah kasus korupsi diduga terkait dengan mafia anggaran di DPR sebelum wacana PAnja ini mencuat, antara lain kasus suap Wisma Atlet SEA Games XXVI Jakabaring, Palembang, dan proyek pembangunan sarana olahraga di Bukit Hambalang oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga. Kasus ini menyeret mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M. Nazaruddin, yang merupakan anggota Badan Anggaran (Banggar) dari Fraksi Partai Demokrat. Selain Nazaruddin, kasus ini juga menyebut-nyebut nama Wakil Ketua Badan Anggaran Mirwan Amir, juga Wakil Bendahara Umum Partai Demokrat. Anggota Banggar dari Fraksi Partai Demokrat Angelina Sondakh dan I Wayan Koster dari Fraksi PDIP juga terseret pusaran kasus ini.

Selain soal Wisma Atlet dan proyek Hambalang, terdapat beberapa kasus lain, yakni kasus dugaan korupsi pengadaan barang di Kementerian Pendidikan Nasional, kasus pengadaan PLTS di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan kasus pengadaan alat kesehatan di Kementerian Kesehatan juga diduga terkait adanya permainan anggaran di DPR. Pada 20 September 2011 KPK telah memeriksa para pimpinan Banggar DPR, yakni Melchias Markus Mekeng ( Kader Golkar), Tamsil Lindrung ( Kader PKS), Mirwan Amir ( Kader P.Demokrat) dan Olly Dondokambey ( Kader PDIP). Mereka diperiksa sebagai saksi kasus dugaan suap terkait dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Darah Transmigrasi di kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. KPK telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah Sekretaris Dirjen Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi Kemnakertrans I Nyoman Suisnaya; Kepala Bagian Program, Evaluasi, dan Pelaporan Dirjen P2KT Dadong Irbarelawan; dan kuasa direksi PT Alam Jaya Papua, Dharnawati.

Beragam tanggapan telah mencuat tentang wacana pembentukan Panja ini baik menolak maupun mendukung. Para petinggi DPR umumnya menolak pembentukan Panja. Sebagai misal, Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan (Kader PAN) melalui Detikcom, 26 Juli 2011. Kader PAN ini terang-terangan menyatakan tidak sependapat dengan usulan pembentukan Panja Mafia Anggaran DPR. Baginya, untuk menjamin transparansi anggaran DPR hanya diperlukan pemantauan langsung oleh KPK. Pembentukan Panja Mafia Anggaran itu tidak diperlukan. DPR periode lalu mengambil inisiatif mengajak dan melibatkan KPK dalam setiap pembahasan anggaran di DPR. Kerjasama dengan KPK juga belum pernah dihentikan. “Yang diperlukan hanyalah mempertegas kembali kerjasama dengan KPK dalam hal transparansi anggaran”, kilahnya. Sembari menekankan, pembentukan Panja Mafia Anggaran kurang tepat secara substansial dan mengingatkan Panja ini mengawasi kerja DPR sendiri. "Panja ini yang mau dipanjakan siapa? Kok DPR membuat Panja untuk dirinya sendiri. Nanti bisa ada Panja Legislasi ini kan menjadi kurang pas, ," tandasnya.

Senada Taufik (Kader PAN), Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso (Kader Golkar) juga menolak pembentukan Panja Mafia Anggaran. Kader Golkar ini berkilah, untuk memberantas mafia anggaran di DPR tak perlu langsung dibentuk Panja Mafia Anggaran. Namun cukup dilakukan oleh lembaga yang saat ini sudah ada, yakni KPK. "Sebenarnya yang lebih penting kita dorong untuk bisa ditindaklanjuti oleh KPK dan penegak hukum lainnya. Terlalu lama kalau dibentuk Panja masalah anggaran kemarin. Lebih baik KPK ditindaklanjuti. Saya kepikiran tidak diperlukan," ujar Priyo kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (28/7/2011).

Namun beberapa hari kemudian, opini Priyo sang Kader Golkar ini berubah dari menolak menjadi mendukung sebagaimana dibeberkan Suara Karya 27 Juli 2011. Dalam kesempatan itu, dia menegaskan, Partai Golkar akan sepenuhnya mendukung pembentukan panja dan pansus mafia anggaran agar dapat mengungkap berbagai fakta dugaan terjadinya kebocoran dalam penggunaan APBN. "Jika ada prakarsa untuk membentuk panja atau pansus, silakan saja. Partai Golkar mendukung selama itu memberikan kebaikan bagi pemanfaatan APBN secara benar," ujar Priyo.

Priyo kemudian menambahkan, seandainya ditemukan ada kader dari Partai Golkar di DPR yang terbukti terlibat dalam mafia anggaran, Partai Golkar tidak akan melindunginya. Namun, dia mengingatkan, agar proses pembentukan panja atau pansus mafia anggaran itu dilakukan secara proporsional sehingga tidak lantas menafikan kinerja Badan Anggaran DPR. "Jangan sampai panja atau pansus ini malah mencurigai tugas dan kewenangan Badan Anggaran DPR. Sebab, terkadang ada informasi yang tidak bisa dibuka untuk umum," ujarnya.

Senada Priyo, dukungan pembentukan Panja yang bertugas menyelidiki dugaan terjadinya praktik percaloan atau kebocoran APBN di parlemen juga datang dari Ketua DPR Marzuki Alie (Kader P. Demokrat) (Suara Karya, 27 Juli 2011). Marzukie Ali juga menyatakan sepakat dengan usulan pembentukan panja atau pansus yang mengungkap keberadaan mafia anggaran. "Partai Demokrat tentu setuju," ujarnya. Ia berjanji akan membuka kesempatan selebar-lebarnya kepada panja atau pansus jika berniat menyelidiki dugaan adanya praktik mafia anggaran di DPR yang melibatkan anggota DPR, termasuk dari Partai Demokrat. "Siapa saja, kalau bersalah, tentu tidak akan kita lindungi," katanya.

Selanjutnya opini dari Tjahjo Kumolo (Kader PDIP) menekankan, pembentukan Panja atau Pansus Mafia Anggaran membutuhkan persetujuan dari seluruh fraksi di DPR. "Jika semua fraksi di DPR sepakat, Fraksi PDI Perjuangan akan mendukung penuh. Tapi, tidak bisa hanya PDIP saja teriak sendiri, semua fraksi harus sepakat," ujarnya. Saat ini, Fraksi PDIP tidak pada posisi menginisiasi usulan pembentukan Pansus Mafia Anggaran. "Fraksi PDI Perjuangan DPR lebih mendukung audit penggunaan keuangan APBN oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang bertugas mengaudit keuangan negara," katanya. Menurut Tjahjo, posisi PDI Perjuangan sebagai parpol yang berada di luar pemerintah sehingga bertugas melakukan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah. Bukan mengontrol pengawasan terhadap partai politik lain (Suara Karya, 27 Juli 2011).

Di lain fihak, KOMPAS.com 29 Juli 2011 menyajikan opini kritis Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang tentang wacana pembentukan Panitia Kerja Mafia Anggaran DPR RI. "Kalau dilihat dari sisi niatnya itu baik, dan bagus. Akan tetapi, pertanyaannya adalah apakah Panja yang akan dibentuk DPR itu berani untuk membongkar lembaganya sendiri? Atau apakah Panja ini berani mengungkap praktik yang dilakukan oleh teman sefraksi atau teman sebagai satu korps di DPR,

Menurut Sebastian, membongkar praktik mafia anggaran di DPR bukan hal mudah. Sebastian menilai, praktik-praktik mafia anggaran di parlemen dilakukan oleh sekelompok orang dengan organisasi yang sangat tertata rapi. Jika ingin mengusut tuntas kasus tersebut, kata Sebastian, maka hal itu harus dengan upaya yang sangat serius. "Jangan sampai ini malah menjadi bagian dari upaya mengaburkan persoalan juga. Misalnya, seolah-olah ada upaya untuk membongkar, lalu nanti keluar rekomendasi yang mengatakan dalam internal DPR tidak terjadi apa-apa," kata Sebastian sembari menekankan dukungan pada pembentukan Panja itu, selagi motivasinya benar. Namun di balik dukungan itu, ia juga menyimpan keraguan karena jarang di negeri ini ada lembaga berani mengungkap keboborokan internal kelompoknya. "Yang sering terjadi selama ini mereka sering menutupi karena satu korps,"tandasnya.

TEMPO Interaktif (29 Juli 2011) melaporkan opinisi Pakar Hukum Tata Negara, Jimlly Asshiddiqie, mendukung usulan pembentukan Panja. Alasannya, Dewan harus lebih berkonsentrasi pada pembenahan internal dibanding meributkan soal politik, seperti kasus surat palsu Mahkamah Konstitusi. "Sekarang itu yang lebih serius anggaran. Kalau DPR konsisten, di-panja-kan saja sekaligus untuk membersihkan citra," ujar Jimly saat ditemui wartawan di Gedung DPR, Jumat, 29 Juli 2011.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini mengatakan, DPR seharusnya tak perlu takut untuk membentuk Panja Mafia Anggaran karena kalaupun terbukti, hal ini tak hanya melibatkan Badan Anggaran dan DPR. "Yang namanya mafia anggaran itu kan pasti tidak hanya melibatkan DPR, (tapi) terlibat semua. Dan bukan hanya Banggar, tetapi juga terkait komisi-komisi," ujar Jimly.

Jimmly menilai Panja Mafia Anggaran lebih besar manfaatnya ketimbang Panja Mafia Pemilu. "Surat palsu itu menjadi penting secara politik karena melibatkan Andi Nurpati. Dan cara pandang politikus itu melibatkan ada kaitannya dengan hasil Pemilu 2009," ujarnya "Jadi ribetlah, padahal itu kan persoalan sepele saja."

Menyusul mencuatnya wacana Panja Mafia Anggaran, telah terbentuk suatu koalisi masyarakat madani, yakni Koalisi Antimafia Anggaran. Anggota Koalisi ini antara lain Indonesia Budget Centre (IBC) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK). Pada jumpa pers, 21 Agustus 2011, Koalisi ini menemukan enam celah korupsi. Pertama, bertambahnya kekuasaan DPR dalam penganggaran. Kedua, tidak transparan dalam penyusunan anggaran. Ketiga, memuunculkan alokasi di luar aturan keuangan Negara.Keempat, tidak ada rapat dengar pendapat dengan masyarakat saat penentuan anggaran. Kelima, ketimpangan antara rencana alokasi dan kebutuhan daerah. Keenam, praktik “memancing uang dengan uang”. Dalam penelusuran IBC menunjukkan, terdapat 63 anggota DPR periode 1999-2004 yang terlibat dalam berbagai modus korupsi. Sebanyak 52 % di antaranya korupsi terkait kebijakan anggaran dan pemalsuan administrasi. Sisanya, kasus korupsi penyelewengan jabatan dalam pemilihan pejabat Negara. Fihak PSHK dalam kesempatan jumpa pers juga mengingatkan, praktik mafia anggaran terjadi sejak hulu hingga hilir, sejak anggaran disiapkan hingga disahkan. Saat perencanaan, mafia anggaran sudah bermain. Hal ini terjadi di pemerintah dan DPR (Kompas, 22 Agustsu 2011).

Fenomena perilaku korupsi anggota DPR yang notabenennya kader Parpol dapat juga diindikasikan dengan rekening Bank anggota DPR yang “mencurigai” berdasarkan laporan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan). Lembaga ini saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III di gedung DPR, 20 Februari 2012, pernah mengaku tengah menelusuri sekitar 2.000 transaksi mencurigakan anggota DPR, mayoritas anggota Banggar. Di samping itu, PPATK melaporkan transaksi tidak wajar 1-2 Menteri di Kabinet Indonesia Bersatu II; 12 Laporan transaksi mencurigakan Kejaksaan; 1 Laporan pegawai KPK; 12 Laporan Hakim; 474 Laporan PNS di atas 45 tahun; 233 laporan PNS di bawah 45 tahun; 89 Laporan petinggi Polri. Sebagian transaksi ini telah dilaporkan ke aparat penegak hukum. Khusus 2.000 transaksi mencurigakan anggoat DPR, mayoritas transaksi dilakukan oleh anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR (Seputar Indonesia, 21 Februari 2012).

Sudah banyak data dan fakta hukum dan keputusan pengadilan membuktikan perilaku korupsi anggota DPR. Juga berbagai opini publik melalui survei menunjukkan lembaga penyelenggaraa negara ini termasuk lembaga paling korup, setelah Parpol. Sesungguhnya realitas obyektif masih menunjukkan fenomena anggota DPR korup dan opini publik tentang DPR semacam itu masih terus berlangsung. Kader Parpol di DPR-RI baik hasil Pemilu 2004 maupun Pemilu 2009, tidaklah terbebas sama sekali dari perilaku koruptif atau memperoleh dana ilegal.

KORUPSI KADER PARPOL DI DPR-RI (BAGIAN PERTAMA)

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI atau DPR) adalah salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat. DPR terdiri atas anggota/kader Parpol yang dipilih melalui Pemilu. Mengacu pada konsep Trias Politika, di DPR berperan sebagai lembaga legislatif, mempunyai fungsi ; legislasi, anggaran, dan pengawasan yang dijalankan dalam kerangka representasi rakyat. Fungsi legislasi dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. Fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. Fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN.

Selama era reformasi, telah dilaksanakan tiga kali diselenggarakan Pemilu, yakni Pemilu 1999, Pemilu 2004 dan Pemilu 2009. Khusus Pemilu tahun 2004 menghasilkan anggota DPR sebanyak 550 orang. Distribusi perolehan kursi DPR oleh Parpol peserta Pemilu berturt-turut sebagai berikut: Partai Golkar 128 kursi; PDIP 109 kursi; PPP 58 kursi; Partai Demokrat 55 kursi; PKB 52 Kursi; PAN 53 kursi PKS 45 kursi; PBR 14 kursi; PDS 13 kursi; PBB 11 kursi; PDKB 4 kursi; Partai Pelopor 3 kursi; PBB 2 kursi; PKPI 1 kursi;; PNI Marhaenisme 1 kursi; PPDI 1 kursi. Beberapa perolehan kursi Parpol berubah sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Kader Parpol terbanyak menduduki kursi di DPR hasil Pemilu 2004 adalah Golkar, disusul PDIP, PPP, PKB, P.Demokrat, PKS dan PAN.

Kalau Pemilu 2004 mengantar Golkar sebagai pemenang nomor satu, namun Pemilu 2009 memenangkan P.Demokrat. Golkar turun menjadi nomor dua, sedangkan PDIP turun menjadi nomor tiga. Distribusi kader Parpol di DPR hasil Pemilu 2009 sebagai berikut: P. Demokrat 148 kursi; Golkar 107 kursi; PDIP 94 kursi; PKS 57 kursi; PAN 46 kursi; PPP 37 kursi; PKB 28 kursi; Gerindra 26 kursi; dan, Hanura 17 kursi.
Dalam kenyataannya, keberadaan DPR tidak terbebas dari penilaian kritis publik karena tidak menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Beberapa penilaian kritis publik dimaksud yakni:
1.DPR hanya merupakan stempel dari pemerintah karena tidak bisa melakukan fungsi pengawasannya demi membela kepentingan rakyat.
2.DPR tidak mamupu mengkritisi kebijakan pemerintah yang terbilang tidak pro rakyat seperti kenaikan harga BBM, dll.
3.DPR masih menyisakan pekerjaan yakni belum terselesaikannya pembahasan beberapa undang-undang.
4.Rakyat semakin tidak puas terhadap para anggota DPR karena buruknya kinerja DPR.
5.Terdapat fenomena perilaku korupsi atau memperoleh dana ilegal kader Parpol di DPR.
Korupsi penyakit terparah bangsa ini, telah mewabahi DPR baik hasil Pemilu 2004 maupun Pemilu 2009. Lembaga legislatif/parlemen berisi wakil rakyat dari kader Parpol peserta Pemilu yang seharusnya mengemban aspirasi dan kedaulatan rakyat, justru menjadi sarang pelaku korupsi. Sudah banyak anggota DPR masuk bui karena suap dan manipulasi atau tindak pidana korupsi. Banyak pula anggota DPR di menjadi saksi dan berkelit di persidangan suap tanpa merasa bersalah.

Menurut ICW, pada 2009 anggota DPR menempati urutan pertama pejabat menjadi tersangka korupsi. Setelah itu, disusul oleh pejabat Departemen. Anggota DPR/DPRD menjadi tersangka atau terpidana korupsi sebanyak 18,95 %, kemudian disusul oleh pejabat eselon/pimpro 17, 89%, Duta Besar/Pejabat Konsulat/Imigrasi 13,68 % dan Kepala Daerah (Gubernur, Walikota dan Bupati) 12,63 %. Sisanya ada pejabat di level Komisi Negara, Dewan Gubernur, BUMN, Aparat Hukum dan BPK, prosentase sebaran tersangka hanya di bawah 10 %. Hasil pengamatan ICW juga menunjukkan, dari 11 Komisi di DPR periode 2004-2009, hampir semuanya dijadikan sumber korupsi. Komisi dinilai rentan adalah Komisi VI (Bidang Perdagangan dan Industri), Komisi VII, Komisi VIII (Agama), Komisi X (Pendidikan) dan Komisi bidang Keuangan dan Perbankan.

Untuk perbandingan Indonesia dengan negara-negara lain, dapat digunakan hasil Survei Indeks Persepsi Korupsi (IPK) diadakan setiap tahun oleh “Transparency International tahun 2009. Hasilnya menunjukkan IPK Indonesia memperoleh skor 2,8, lebih baik daripada skor pada 2008 (mencapai 2,6), berada di urutan 111 dari 180 negara. Pada 2008 Indonesia berada di urutan pada 126 dari 180 negara. Indonesia termasuk negara tingkat korupsi sangat parah dan di kawasan ASEAN masih berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Semua upaya Pemerintah SBY ternyata tidak mampu mengubah persepsi negatif. Bahkan, pada 2010 IPK Indonesia masih tetap 2,8, berada di urutan ke-110 dai 178 negara, tidak ada perubahan berarti dibandingkan 2009.

Political & Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) adalah suatu perusahaan konsultan berbasis di Hongkong mengeluarkan hasil studi tahunan tentang tingkat korupsi di negara-negara tujuan investasi di kawasan Asia Pasifik. Hasil studi PERC tahun 2007 menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup kedua di Asia atau sejajar dengan Thailand. Hasil studi ini menunjukkan, Indonesia naik satu peringkat dari posisi sebelumnya menempati peringkat pertama negara terkorup di Asia. Studi ini dilaksanakan pada Januari dan Februari, melibatkan 1.476 pelaku bisnis asing (responden) di 13 negara Asia. Hasil studi ini kemudian digunakan untuk membuat peringkat mengenaiai persepsi terhadap tindakan korupsi dan penanganannya di Asia, menggunakan sistem skor 0-10. Negara dinilai bersih dari korupsi mendapat skor 0, sedangkan paling buruk mendapat skor 10. Indonesia bersama Thailand menduduki peringkat kedua dengan skor 8,03, setingkat di bawah Filipina mendapat nilai 9,40. Bagi Indonesia, hasil ini sedikit lebih baik setelah tahun lalu. Indonesia mendapat nilai 8,16.

Meski sudah mengindikasikan hasil positif, namun pada hasil studi PERC Maret 2009, memposisikan Indonesia naik ke peringkat teratas kembali sebagai negara terkorup dengan mencetak skor 8,32 dari nilai 10. Sementara Thailand memproleh skor 7,63, disusul Kamboja dengan skor 7,25, India 7,21 dan Vietnam 7,11. Sedangkan Filipina menjadi negara terkorup tahun 2008 mendapatkan skor 7,0 atau menempati peringkat enam sebagai negara terkorup di Asia. Sementara Singapura (1,07), Hongkong (1,89) dan Australia (2,4) menempati tiga besar negara terbersih, meskipun ada dugaan kecurangan sektor privat. Amerika Serikat menempati urutan keempat dengan skor 2,89.

Hasil studi PERC tahun 2010 tetap memposisikan Indonesia sebagai negara terkorup dengan mencetak skor 9,07 dari nilai 10. Angka ini naik dari 7,69 poin tahun lalu. Studi ini mencakup 2.174 responden eksekutif bisnis tingkat menengah dan senior di Asia, Australia dan Amerika Serikat. Hasil studi PERC dimaksud memposisikan Indonesia kembali terpuruk dalam peringkat korupsi antara negara. Dari 16 negera sasaran studi, menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup, diikuti Kamboja di urutan kedua, Vietnam, Filipina, Thailand, India, Cina, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Macao, Jepang, Amerika Serikat, Hong Kong, Australia dan Singapura. Skor Indonesia adalah 9,27 dalam skala 0-10 di mana 0 berarti sangat bersih, dan 10 sangat korup, turun cukup signifikan dari skor tahun lalu, yaitu 8,32. Pada tingkat Asean, Indonesia tingkat korupsi hampir sempurna dan lebih buruk daripada Kamboja (9,10), Vietnam (8,07), Filipina (8,06), Thailand (7,60), malaysia (6,47) dan Singapura (1,42).

Studi ini melihat bagaimana korupsi berdampak pada berbagai tingkat kepemimpinan politik dan pamong praja serta lembaga-lembaga utama. Studi ini juga mencakup penelitian tentang pengaruh korupsi terhadap lingkungan bisnis secara keseluruhan. Menurut PERC, dengan merajalelanya korupsi di semua level di Indonesia, perang korupsi dilakukan Presiden SBY telah terhambat politisasi issue dilakukan pihak merasa terancam oleh aksi dilakukan SBY. “(Hasil) korupsi digunakan oleh para koruptor untuk melindungi mereka sendiri dan untuk melawan reformasi. Seluruh perang terhadap korupsi terancam bahaya”, ujar Laporan PERC.

Mirip dengan penilaian Laporan PERC, sebelumnya Reuters melihat bahwa kasus Bank Century merupakan pertarungan antara kubu reformasi dan anti-reformasi. Menkeu Sri Mulyani telah melakukan reformasi birokrasi untuk membersihkan para pejabat korup di Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai berada di bawah kementerian dipimpinnya. Dengan mengutip seorang investor AS di Indonesia, Reuters membeberkan, para investor sangat khawatir dengan para politisi Indonesia lebih tertarik untuk bertarung memperebutkan kekuasaan daripada mendukung proses reformasi. “Kehilangan seorang reforman akan membuat investor khawatir bahwa Indonesia akan kembali ke kapitalisme kroni, akan sangat menyakitkan bagi para investor dan sebagian besar bangsa Indonesia, setidaknya bagi mereka bukan dari bagian para taipan atau secara politis berhubungan baik ataupun keduanya”, ungkap Investor tersebut.

Menurut PERC, Indonesia adalah negara terkorup dibandingkan negara-negara lain distudi. Hal ini seharusnya menjadi peringatan bagi Pemerintahan SBY untuk lebih serius dalam usaha pemberantasan korupsi. Turunnya skor Indonesia dalam studi PERC, dikhawatirkan menjadi kecenderungan bagi studi-studi lain mengukur kinerja dan performa pemberantasan korupsi di Indonesa, tatkala tahun 2009 dapat dikatakan memang mengalami keterpurukan akibat beragam persoalan antara lain: Cicak vs. Buaya, politisasi kasus Bank Century, dan usaha-usaha kriminalisasi dan pelemahan KPK.

Untuk perbandingan antar lembaga pemerintahan dan masyarakat sipil, dapat digunakan hasil studi lembaga Transparency International Indonesia (TII) dalam beberapa tahun terakhir. Hasilnya masih menempatkan DPR sebagai salah satu lembaga terkorup di negeri ini. Korupsi sudah merusak cara berpikir anggota DPR sedemikian rupa. Kasus-kasus korupsi dihadapi anggota DPR memperlihatkan penjarahan uang negara tidak dilakukan secara individual, tetapi beramai-ramai. Artinya korupsi di DPR dilakukan sistemik dan melembaga. Selama empat tahun (2003,2004, 2007 dan 2008) menempatkan Parpol dan parlemen pada peringkat ketiga besar lembaga terkorup dalam persepsi publik di Indonesia.

Hasil studi TII tahun 2003 menempatkan Parpol pada posisi kedua sebagai lembaga terkorup di negeri ini setelah lembaga peradilan. Hasil studi TII tahun 2004 menempatkan Parpol dan Parlemen menjadi lembaga terkorup pertama. Bahkan pada tahun sama, Transparency International (TI) mengumumkan, sebanyak 36 dari total 62 negara sepakat menyatakan Parpol adalah lembaga terkorup. Hasil studi TII tahun 2007 menempatkan Parpol menjadi membaik, berada di urutan ketiga setelah Kepolisian dan lembaga Peradilan. Sementara, Parlemen menjadi terkorup pertama. Hasil studi TII tahun 2008 menunjukkan posisi Parpol menurun kembali, berada di urutan kedua sebagai lembaga terkorup setelah Parlemen.

Resistensi anggota DPR juga cukup kuat terhadap kritik-kritik keras dialamatkan kepada mereka. Pada 2006, DPR rupayanya dibikin “gerah” oleh kritik pedas disuarakan Kelompok Musik Slank lewat lagu berjudul “Gosip Jalanan”. “Mau tau gak mafia di Senayan?” Kerjanya tukang buat peraturan. Bikin UUD, ujung-ujungnya duit.” Petikan syair itulah membikin para wakil rakyat gerah. Bahkan, Badan Kehormatan DPR sempat berniat memperkarakan kelompok musik Slank ini dan pencipta lagunya, meski kemudian dibatalkan.

Resistensi atau penolakan anggota DPR cukup kuat terhadap terutama hasil survei TII tahun 2007 memotret persepsi publik tentang korupsi di lembaga-lembaga negara. Banyak anggota DPR, termasuk sang Ketua, mengaku tersinggung atas hasil menyebutkan lembaga tempat mereka “mengabdikan diri” sebagai lembaga paling banyak korupsinya. Namun, kalangan pengamat Parpol, berdasarkan hasil studi TII ini, sepakat bahwa Parpol sebagai fihak paling bertanggungjawab dalam menumbuhsuburkan korupsi di negeri ini. Diandaikan, korupsi politik seperti lingkaran setan dan Parpol berada di titik pusatnya. Dengan perkataan lain, Parpol sebagai sarana terpenting mencapai kekuasaan politik menjadi “episentrum” korupsi. Di dalam Parpol koruptor dididik dan kemudian membangun jaringan untuk melakukan korupsi berjemaah! (MUCHTAR EFFENDI HARAHAP)