Jumat, 25 November 2011

REFORMASI BIROKRASI DI INDONESIA

Oleh
Muchtar Effendi Harahap

--------------------------------------------------------------------------------
CATATAN:
Dalam rangka menambah pengetahuan dan memperluas wawasan Kita tentang Reformasi Birokrasi di Indonesia baik secara teoritis maupun praktis, Tulisan Reformasi Birokrasi di Indonesia ini merupakan Tulisan Awal untuk seperangkat tulisan hal-ikhwal Reformasi Birokrasi (RB). Dengan perkataan lain, di samping tulisan ini, ada juga tulisan-tulisan lain mengenai RB di Indonesia, terutama komponen SDM Aparatur pemerintah/birokrasi sebagai salah satu sasaran RB.

-------------------------------------------------------------------------------


Salah satu cita-cita gelombang reformasi dan demokratisasi di Indonesia setelah keruntuhan kekuasaan rezim Soeharto adalah reformasi birokrasi (RB) pemerintahan. RB pada hakikatnya merupakan upaya melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business prosess) dan Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur. RB dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Prakarsa RB sesungguhnya berawal dari situasi dan kesadaran kolektif kekuatan reformis untuk menghapuskan perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di kalangan aparatur pemerintahan, termasuk birokrasi. RB merupakan jawaban atas situasi dan tuntutan akan tegaknya aparatur pemerintahan yang bedaya guna, berhasil guna, bertanggungjawab, bersih dan bebas KKN.

Situasi menjelang dan segera setelah keruntuhan rezim Soeharto sebagai salah satu factor munculnya prakarsa RB sebagai jawaban situasi dan tuntutan dimaksud antara lain:

1.Terjadinya krisis multidimensional berkepanjangan dan belum selesai serta membutuhkan percepatan melalui RB.
2.Sistem administrasi yang diterapkan peninggalan pemerintahan colonial yang juga memiliki dasar-dasar hukum dan kepentingan colonial.
3.Struktur, norma, nilai dan regulasi yang ada masih berorientasi pada pemenuhan kepentingan pengusaha daripada pemenuhan hak sipil warga negara. Struktur dan proses yang dibangun merupakan instrument untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Misi utama adalah untuk mempertahankan kekuasaan dan mengontrol perilaku individu.
4.Pemerintah tidak mampu atau gagal berupaya untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat, juga melakukan perubahan struktur, noma, nilai dan regulasi. Tingkat efisiensi, efektivitas dan produktivitas birokrasi pemerintahan belum optimal. Tingkat transparansi dan akuntabilitas birokrasi pemerintahan masih rendah.
5.Tidak tercipta budaya pelayanan publik yang berorientasi pada kebutuhan pelanggan (service delivery culture). Tingkat disiplin dan etos kerja aparatur /pegawai negeri masih rendah. Sementara itu, berlaku obsesi birokrat dan politisi untuk menjadikan birokrasi sebagai lahan pemenuhan hasrat dan kekuasaan. Korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi hal umum sehingga kualitas pelayanan publik terabaikan. Tingkat kualitas pelayanan publik masih belum mampu memenuhi harapan publik.
6.Fenomena korupsi di Indonesia sudah menjadi penyakit kronis dan sulit disembuhkan; korupsi telah menjadi sesuai yang sistemik; sudah menjadi suatu sistem menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara. Berbagai lembaga penelitian menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi dan sarat koniisme. Tingkat korupsi sangat parah di Indonesia, dan birokrasi dinilai termasuk terburuk. Pada tahun 2000 Indonesia memperoleh skor 8 (yakni kisaran skor nol untuk tebaik dan 10 terburuk). Hingga kini praktek KKN masih berlangsung hingga saat ini.

Good Governance

Sebagaimana diungkapkan sepintas di atas, RB dilaksanakan dalam rangka mewujudkan good governance (tata pengelolaan pemerintahan yang baik). Berbagai ilmuwan politik dan administrasi negara di Indonesia telah mempromosikan konsep good governance sebaagi tata pengelolaan pemerintahan yang baik. Sebagaimana diungkapkan Eko Prasojo dan Teguh Kurniawan (2008), mengutip pendapatan Stroker (1998), konsep governance merujuk pengembangan dari gaya memerintah di mana batas-batas antara dan di antara sektor publik dan sektor privat menjadi kabur , sejalan dengan kebutuhan negara modern untuk melibatkan mekanisme politik dan pengakuan akan pentingnya issu-issu tentang empati dan perasaan publik utnuk terlibat sehingga memberikan kesempatan bagi adanya mobilisasi baik secara sosial maupun politik. Hal ini kemudian membuat partisipasi melalui pembangunan jejaring antara pemerintah dan masyarakat menjadi aspek sangat penting bagi keberlanjutan sebuah legitimasi kebijakan.

Studi Bang Dunia (1989) mengajukan terminologi governance sebagai “the exercise of political power to manage an nation’s affair. Terminologi Bank Dunia menjadi popular dan dijadikan sebaagi kriteria dalam bantuan pembangunan kepada negara-negara berkembang. Bagi Eko Prasojo dan Teguh Kurniawan (2008), terminologi governance ini berbeda dengan terminology government yang hanya meliputi bentuk institutional-formal negara dan birokrasi. Istilah governance juga meliputi proses dinamis menajemen pemerintahan, hubungan antar institusi dan organisasi di dalam pemerintah, serta hubungan antara pemerintah dan sektor publik, masyarakat sipil dan inisiatif swasta. Terminology governance, lanjut Eko Prasojo dan Teguh Kurniawan (2008), merupakan tradisi, institusi dan proses deteminasi penyelenggaraan kekuasaan negara melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan serta berdasarkan pada kepentingan publik.

Berdasarkan difenisi Bank Dunia, konsep good governance mencakup pemerintah (negara) berdasarkan pada hukum (rules), transparansi, akuntabilitas, reliabilitas informasi, serat efisiensi dalam manajemen pemerintahan. Namun, kosnep good governance ini, bagi Eko Prasojo dan Teguh Kurniawan (2008), mengalami perluasan isi sehingga meliputi juag aspek berfungsinya pasar dan sektor swasta serta partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan.

Konsep good governance kemudian dikembangkan oleh UNDP. Good governance memiliki prinsip-prinsip yakni (1) partisipasi, (2) kesetaraan/equity (non diskrimanatif), (3) transparansi, (4) akuntabilitas publik, (5) rule of law (aturan main), (6) responsiveness, (7) orientasi konsensus, (8) efektivitas dan efisiensi, dan (9)visi strategis. Pengertian good governance dimaksudkan sebagai pemerintahan yang berbasis penegakan prinsip-prinsip tersebut.


KKN dan Good Governance

Di Indonesia, ada kesadaran kolektif kekuatan reformasi bahwa untuk memberantas KKN harus menjadikan pemerintahan yang berbasis penegakan prinsip-prinsip good governance. Untuk penciptaan good governance, diperlukan penyelenggaraan RB (reformasi birokrasi) dan dirancang pada dasarnya sebagai birokrasi yang rasional.

Sesungguhnya upaya pemberantasan KKN telah menjadi agenda formal kekuatan reformasi bergulir sejan tahun 1997/1998. Mustopadiddjaya AR (2003) menunjukkan berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan Pemerintah dalam kerangka upaya pememberantasan KKN. Pertama-tama adalah antara Tap MPR No. XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas KKN. Tap MPR ini menyatakan antara lain bahwa upaya pemberantaasn korupsi hanrus dilakukan secara tegas dengan melaksanakan secara konsisten UU Tindak Pidana Korupsi. Upaya pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantanpejabat negara, keluarga dan kroninay, maupun pihak swasta/konglemerat termasuk mantan Presiden Suharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan HAM.

Selanjutnya, menurut Mustopadiddjaya AR (2003), disamping dibentuk UU baru, juga dilakukan pembaharian atas UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi menjadi UU N0. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN. UU No. 28 Tahun 1999 mewajibkan setiap penyelenggara negara untuk:

1.Mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum
memangku jabatannya.
2.Bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah
Menjabat.
3.Melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah
Menjabat.
4.Tidak melakukan KKN;
5.Melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras dan
Golongan.
6.Melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak
melakukan perbuatan tercela.
7.Bersedia menjadi saksi dalam perkara KKN, serta dalam perkara
lainnya.

Apa dimaksud dengan penyelenggaraan negara yang bersih adalah penyelenggara negara nentaati asas umum penyelenggaraabn negara bebas KKN serta perbuatan tercela lain, yakni:

1.Kepastian hukum
2.Tertib penyelenggaraan negara
3.Kepentingan umum
4.Keterbukaan
5.Proporsionalitas
6.Profesionalitas
7.Akuntabilitas

UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Kepres Nomor 44 tahun 2000 tentang Komisi Ombudsmen Nasional sebagai tindak lanjut Keppres Nomor 155 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsmen Nasional; PP Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemrintah Daerah; PP Nomor 56 Tahun 2000 tentang Pelaporan Penyelenggaran Pemerintahan Daerah; PP Nomor 274 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; Tap MPR Nomor VI tahun 2001 yang intinya ,menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial, ketenangan dan ketentraman hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan pada hukum dan berpihak pada keadilan.

Kemudian untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN, Presiden selaku Kepala Negara berdasarkan Keputusan PresidenNomor 127 Tahun 1999 membentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan PejabatNegara, sebagai lembaga independen yang dalam pelaksanaan tugasnya bebasdari pengaruh kekuasaan eksekutif, Iegislatif dan yudikatif. Keanggotaan komisiini terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat; dan terdiri dari Sub Komisi eksekutif, legislatif: yudikatif dan BUMN/BUMD. Hasil-hasil pemeriksaan Komisi Pemeriksa disampaikan kepada Presiden, DPR, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Khusus hasil-hasil pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat di lingkungan yudikatif juga disampaikan kepada Mahkamah Agung. Pengangkatandan pemberhentian anggota Komisi ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah mendapat persetujuan DPR, untuk masa jabatan 5 tahun.

Selain itu, untuk memperkuat landasan hukum pemberantasan korupsi, maka UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diganti dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diperbaharui dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU Nomor 20 Tahun 2001 ini secara tegas menuangkan keinginan untuk memberantas praktik korupsi; antara lain dengan dimuatnya secara lebih tegas tentang unsur suap, dan juga tentang tindak pidana suap lain yang disebut sebagai gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan, kewajiban, dan tugas.

UU Nomor 20 Tahun 2001 menjelaskan, yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti yang luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas, penginapan, perjalanan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Pemberian tersebut, baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan mempergunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Dengan pencantuman gratifikasi tersebut, makin jelas bahwa berbagai fasilitas yang selama ini diragukan sebagai suatu pelanggaran atau penyelewengan menjadi jelas, yaitu semua itu termasuk kategori suap yang dapat diusut. Dalam perkembangannya, bahkan telah terbentuk dan bekerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah menangkap tangan sejumlah aparatur birokrasi, Kepala Daerah, anggota legislative, dan bahkan pelaku usaha. Pembentukan KPK berdasarkan beberapa kali perubahan UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

RB di bawah Presiden SBY

RB telah diakui oleh Presiden SBY belum berjalan sebagaimana mestinya sekalipun telah berkuasa sebagai Presiden selama 7 tahun. Bahkan, salah satu argumentasi SBY untuk melaksanakan reshuffle kabinet baru-baru ini berkaitan dengan upaya pelaksanaan reformasi birokrasi. Menteri PAN & RB diangkat dari politisi/anggota DPR-RI asal NAD (Aceh) diperkuat dengan seorang Wakil Menteri dari Akademisi (Guru Besar) Administrasi Pemerintahan Universitas Indonesia (UI).

Sebelumnya, sesungguhnya SBY telah menerbitkan Instruksi Presiden No. 1 tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010. Instruksi ini ditujukan kepada para Menteri cabinet Indonesia Bersatu II; Sekretaris Kabinet; kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4); Kepala Kepolisian Negara RI; Jaksa Agung; Panglima TNI; Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal; kepaal Badan Pertanahan nasional; Kepada BPS; Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana; Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi; Kepada Badan Metereologi, klimatologi dan Geofisika; Kepada Badan Kordinasi Keluarag Berencana Nasional; Kepala Badan Kordiansi Survei dan Pemetaan nasional; dll. kandungan Instruksi adalah upaya percepatan pelaksanaan prioritas pembangunan nasional tahun 2010.

Instruksi Presiden ini menetapkan prioritas 1 Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola yakni:

1.Program penetapan dan penerapan sistem indikator kinrja utama pelayanan publik yang selaras antara pemerintah pusat dan daerah. Indikatornya: penetapan indikator kinerja utama (IKU) pelayanan publik yang selaras antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Keluaran: Jumlah komulatif SPM yang ditetapkan (13 SPM) dengan target penyelesaian Desember 2010; Instansi penanggungjuawab: Kemendagri; dan, jumlah Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang telah diterapkan oleh daerah (5 SPM) dengan target penyelesaian Desember 2010, dan penanggungjuawab Kemendagri; semua Pemerintah Daerah.
2.Program penetapan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan pengembangan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK). Tindakan: pemberian NIK kepada setiap penduduk dengan keluaran 329 Kab./Kota dengan sasaran tercapainya pemantapan sistem administrasi kependudukan (SIAK). Juag tindakan pemberian e-KTP berbasis NIK dengan 4,2 juta jiwa di 6 Kab./Kota dengan target penyelsiaan Desember 2010 . Sasaran: tercapainya pemantapan sistem administrasi kependudukan dalam 3 tahun, penanggungjawab Kemendagri da. Pemkot/Kab.
3.Program pemantapan pengadaan barang dan jasa dengan tindakan penguatan peratuarn perundang-undangan tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah dan pembentukan layanan pengadaan secaar elektronik (LPSE). Keluaran, tersusunnya RUU tentang Pengadaan barang dan Jasa Pemerintah dan terlaksanannya sosialisasi Pepres pengganti Pepres 80/2003 bagi seluruh instansi pusat dan daerah. Juag terbentuknya LPSE bari di K/L/D/I dengan kordinasi LKPP sebanyak 100 LPSE target penyelesaian Desember 2010. Sasaran adalah terwujdunya peningkatan efisensi belanja negara. Penanggungjawab adalah LKPP dan semua K/L dan daerah.

Komite Pengarah dan Road Map RB (RMRB)

Dalam rangka meningkatkan efektivitas pelaksanaan RB nasional, dibentuk Komite Pengarah RB Nasional(KPRBN) dan Tim RB Nasional (TRBN) melalui KeppresNo. 23 Tahun 2010 tentang Perubahan Keppres No. 14 Tahun 2010 tentangPembentukan Komite Pengarah RB Nasional (KPRBN)dan Tim RB Nasional (TRBN). KPRBN diketuai olehWakil Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. TRBN diketuaioleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan RBdan bertanggung jawab kepada Ketua KPRBN.Dalam pelaksanaan tugasnya, Komite Pengarah ReformasiBirokrasi Nasional dibantu oleh Tim Independen dan Tim Quality Assurance berperan antara lain melakukan monitoring dan evaluasiserta memastikan pelaksanaan RB. Sedangkan TRBNdibantu oleh Unit Pengelola RB Nasional (UPRBN). Untuk tingkat K/L dan Pemda dibentuk Tim Rerformasi Birokrasi pada masing-masing K/L dan Pemda.

Penanggung jawab RB pada tingkat mikro adalah pimpinan masing-masing K/L dan Pemda. Pelaksanaan RB untuk Periode 2010 – 2014 berpedoman pada GDRB 2010-2025, RMRB 2010-2014, dan berbagai kebijakan pelaksanaannya dengan memperhatikankarakteristik masing-masing instansi dilaksanakan secara konsisten,terintegrasi, dan berkelanjutan.Organisasi Tim RB tingkat K/L dan Pemdaterdiri dari tim pengarah dan tim pelaksana. Ketua Tim Pengarah adalahpimpinan K/L dan Pemda, sedangkan anggota tim pengarah dipilih daripejabat-pejabat kunci untuk memastikan komitmen pimpinan tertinggiterhadap upaya RB. Sementara tim pelaksana ditetapkansesuai dengan kapasitas dan kemampuannya dalam mengimplementasikanprogram RB pada masing-masing instansi pemerintah.

Pelaksanaan RB untuk periode 2010 – 2014 mengacu pada GDRB 2010-2025 dan RMRB 2010-2014. RMRB 2010-2014 merupakan acuan langkah-langkah/tahapan pelaksanaan reformasibirokrasi pada tingkat makro, tingkat meso, dan tingkat mikro. Setiap tahap pelaksanaan RB diharapkan akan memberikan dampak penguatan pada langkah berikutnya.

Road Map RB (RMRB) adalah bentuk operasionalisasi Grand Design RB (GDRB) disusun dan dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali dan merupakan rencana rinci pelaksanaan RB dari satu tahapan ke tahapan selanjutnya selama lima tahun dengan sasaran per tahun jelas. Sasaran tahun pertama akan menjadi dasar bagi sasaran tahun berikutnya, begitupun sasaran tahun-tahun berikutnya mengacu pada sasaran tahun sebelumnya.

Road Map RB (RMRB) bertujuan untuk memberikan arah pelaksanaan RB di kementerian/lembaga(K/L) dan Pemerintah Daerah (Pemda) agar berjalan secara efektif, efisien,terukur, konsisten, terintegrasi, melembaga, dan berkelanjutan. Ruang lingkup RMRB Nasional tahun 2010-2014 mencakup tiga hal, yakni: 1. Penguatan Birokrasi Pemerintah; 2. Tingkat Pelaksanaan; dan, 3. Program; dan, 4. Mengukur Keberhasilan.

Penguatan birokrasi pemerintah bermakna terwujudnya penguatan birokrasi pemerintah dalam rangka pemerintahan bersih dan bebas KKN, meningkatnya kualitas pelayanan publik kepada masyarakat, dan meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Tingkat pelaksanaan mencakup dua tingkat, yaitu tingkat nasional dan tingkat instansional. Pada tingkat nasional, pelaksanaan RB dibagi ke dalam tingkat pelaksanaan makro dan meso. Tingkat pelaksana makro menyangkut penyempurnaan regulasi nasional dalam upaya pelaksanaan RB. Sementara tingkat pelaksanaan meso menjalankan fungsi manajerial, yaitu mendorong kebijakan-kebijakan inovatif, menerjemahkan kebijakan makro, dan mengkoordinasikan (mendorong dan mengawal) pelaksanaan RB di tingkatK/L dan Pemda. Pada tingkat instansional (disebut tingkat pelaksanaanmikro) implementasi kebijakan/program RB sebagaimana digariskan secara nasional dan menjadi bagiandari upaya percepatan RB pada masing-masing K/L dan Pemda.

Selanjutnya, program , berorientasi hasil (outcomes oriented programs), baik pada tingkat makro, meso, maupun tingkat mikro. Program tingkat makro mencakup: 1.Penataan Organisasi; 2. Penataan Tatalaksana; 3. Penataan Sistem Manajemen SDM; 4.Penguatan Pengawasan; 5.Penguatan Akuntabilitas Kinerja; 6.Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. Program tingkat meso mencakup 1.Manajemen Perubahan; 2.Konsultasi dan Asistensi; 3.Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan; 4.Knowledege Management; 1.Manajemen Perbahan; 2. Penataan Peraturan Perundang-undangan; 3. Penataan dan Pengutaan Organisasi; 4. Penataan Tatalakasana; 5. Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur; 6. Penguatan Pengawasan; 7. Penguatan Akuntabilitas Kerja; 8. Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik; 9. Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan.
Dalam mengukur keberhasilan RB, dapat dilakukan antara lain melalui pencapaian sasaran RB sebagaimana ditetapkan di dalam Grand Design RB 2010-2014 dengan indikator kinerja utama (key perpermoance indicators), mencakup empat komponen: 1. Sasaran; 2. Indikator; 3. Base Line (2009); dan, Target (2014). Sasaran dimaksud adalah: 1. Terwujudnya Pemerintahan bersih dan bebas KKN dengan indikator IPK (Skala 0-10); Base line 2.8; target 5.0. 2. Terwujudnya Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik kepada Masyarakat dengan indikator Opini BPK (WTP)=Pusat/Daerah; Base line 42.17%dan , target 100% (pusat), serta 2.73 % dan 69% (Daerah). 3. Meningkatnya Kapasitas dan Akuntabilitas Kinerja Birokrasi dengan sasaran Integritas Pelayanan Publik: Pusat/ Daerah; Base line 6.64 dan target 8.0 (Pusat) dan 6.46 dan 8.0 (Daerah); sasaran peringkat kemudaahn berusaha dengan base line 122 dan target 75; indeks efektivitas Pemerintahan (Skala-2.5 s/d 2.5) dengan base line 24 % dan target 80 %.

Pelaksanaan RB 2010-2014 Tingkat Makro (Pertama) mencakup 1) Program Penataan Organisasi; dan, 2) Program Penataan Tatalaksana; 3) Program Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur; 4) Program Penguatan Pengawasan; 5) Program Penguatan Akuntabilitas Kinerja; 6) Program Peningkatan Kualitas Pelayanan publik.

Program Penataan Organisasi bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kelembagaan pemerintah pusat dan daerah secara proporsionalsesuai dengan kebutuhan pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan,sehingga organisasi birokrasi menjadi tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing). Target ingin dicapai melalui programini adalah:

a) Menurunnya tumpang tindih tugas pokok dan fungsi antar-K/Ldan Pemda;
b) Meningkatnya kapasitas kelembagaan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi
K/L dan Pemda.

Program Penataan Tatalaksana bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas bisnis proses dan mekanisme kerja/prosedur dalam sistemmanajemen pemerintahan. Target ingin dicapai melalui program ini adalah:
a) Meningkatnya penggunaan teknologi informasi dalam prosespenyelenggaraan
manajemen pemerintahan;
b) Meningkatnya efisiensi dan efektivitas proses manajemen pemerintahan.

Program Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur bertujuan untuk meningkatkan profesionalime SDM Aparatur didukung oleh sistem rekruitmen dan promosi, serta pengembangan kualitas aparatur berbasis kompetensi dan transparan. Selain itu, program ini juga diharapkan mampu mendorong mobilitas antaraparatur daerah, antaraparatur pusat, dan antara aparatur pusat dan daerah, serta memperoleh gaji dan bentuk jaminan kesejahteraan sepadan. Target ingin dicapai melalui program ini adalah:

a) Meningkatnya ketaatan terhadap pengeloaan SDM Aparatur.
b) Meningkatnya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan SDM Aparatur.
c) Meningkatnya disiplin SDM Aparatur.
d) Meningkatnya efektivitas manajemen SDM Aparatur.
e) Meningkatnya profesionalisme SDM Aparatur.

Program Penguatan Pengawasan bertujuan untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan bersih dan bebas KKN. Target ingindicapai melalui program ini adalah:
a) Meningkatnya kepatuhan terhadap pengelolaan keuangan negara.
b) Meningkatnya efektivitas pengelolaan keuangan negara.
c) Meningkatnya status opini BPK.
d) Menurunnya tingkat penyalahgunaan wewenang.

Program Penguatan Akuntabilitas Kinerja bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Target ingin dicapai melalui program ini adalah:
a) Meningkatnya kinerja instansi pemerintah.
b) Meningkatnya akuntabilitas instansi pemerintah.

Program Peningkatan Kualitas Pelayanan publik bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat.Target ingin dicapai melalui program ini adalah:
a) Meningkatnya kualitas pelayanan publik kepada masyarakat (transparan, cepat, tepat, sederhana, aman, terjangkau dan memiliki kepastian).
b) Meningkatnya jumlah unit pelayanan memperoleh standarisasi pelayanan internasional.
c) Meningkatnya indeks kepuasan masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan publik.

Pelaksanaan RB 2010-2014 Tingkat Meso (Kedua) mencakup (1) tahapan pelaksanaan tahun pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima. Tahun pertama adalah membangun landasan kuat untuk menjamin implementasi RB secara konsistensesuai dengan target telah ditentukan. Langkah-langkah dilakukan:

•Membangun sistem operasi RB meliputi pengorganisasian pelaksanaan reformasibirokrasi, pengaturan mekanisme pelaksanaan RB, dan penyusunan sistem monitoring dan evaluasi pelaksanaan RB;
•Menyelesaikan usulan pelaksanaan RB dari K/L sudah masuk pada tahun 2009, sosialisasi, dan public campaign;
•Melakukan penilaian usulan RB dari seluruh K/L dan Pemda;
•Menyusun berbagai pedoman, dan juklak/juknis diperlukan;
•Melakukan monitoring atas hasil pelaksanaan RB di K/L dan Pemda;
•Melakukan evaluasi dan menyusun rekomendasi atas hasil pelaksanaan RB di K/L dan Pemda.

Tahun Kedua melanjutkan hal-hal belum dapat diselesaikan pada tahun pertama, menjaga/memelihara program/kegiatan sudah berhasil dilaksanakan,melakukan monitoring, evaluasi, dan penyempurnaan terhadap hasil-hasil sudah diperoleh pada tahun pertama. Langkah-langkah dilakukan:
•Melanjutkan penyelesaian usulan pelaksanaan RB dari K/L dan Pemda, sosialisasi dan public campaign.
•Melakukan monitoring pelaksanaan RB di K/L dan Pemda.
•Melakukan evaluasi dan menyusun rekomendasi atas hasil pelaksanaan RB di K/L dan Pemda.
•Melakukan identifikasi dan analisis terhadap kemungkinan/risiko kegagalan pelaksanaan RB, dan mengusulkan rencana mitigasi risiko.

Tahun Ketiga meneruskan hal-hal belum dapat diselesaikan pada tahun kedua, menjaga/memelihara hal-hal sudah berhasil dilaksanakan, dan melakukan
monitoring, evaluasi dan penyempurnaan terhadap hasil-hasil sudah diperoleh pada tahun kedua. Langkah-langkah dilakukan:
•Melanjutkan sosialisasi dan public campaign.
•Melanjutkan penilaian usulan pelaksanaan RB dari K/L dan Pemda.
•Melakukan monitoring pelaksanaan RB di K/L dan Pemda.
•Melakukan evaluasi dan menyusun rekomendasi atas hasil pelaksanaan RB di K/L dan Pemda.
•Melakukan identifikasi dan analisis terhadap kemungkinan/ risiko kegagalan pelaksanaan RB, dan mengusulkan rencana mitigasi risiko.

Tahun keempat Meneruskan hal-hal belum dapat diselesaikan pada tahun ketiga, menjaga/memelihara hal-hal sudah berhasil dilaksanakan, dan melakukan monitoring, evaluasi, dan penyempurnaan terhadap hasil-hasil sudah diperoleh pada tahun ketiga. Langkah-langkah dilakukan:
•Melanjutkan sosialisasi dan public campaign.
•Melakukan penilaian usulan pelaksanaan RB dari pemerintah daerah.
•Melakukan monitoring pelaksanaan RB di K/L dan Pemda.
•Melakukan evaluasi dan menyusun rekomendasi atas hasil pelaksanaan RB di K/L dan Pemda.
•Melakukan identifikasi dan analisis terhadap kemungkinan/ risiko kegagalan pelaksanaan RB, dan mengusulkan rencana mitigasi risiko.

Tahun kelima meneruskan hal-hal belum dapat diselesaikan pada tahun keempat, menjaga/memelihara hal-hal sudah berhasil dilaksanakan, dan melakukan monitoring dan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh proses RB baik tingkat nasional maupun instansi (K/L dan Pemda). Langkah-langkah dilakukan adalah melakukan evaluasi menyeluruh hasil pelaksanaan RB nasional dan instansi (K/L dan Pemda) dilaksanakan sejak tahun 2007 sampai tahun 2014.

Pada tingkat meso, ada beberapa program RB dilaksanakan, yakni 1) Program Manajemen Perubahan; 2) Konsultasi dan Asistensi; 3) Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan; 4) Knowledge Management. Program Manajemen Perubahan bertujuan untuk mengubah secara sistematis dan konsisten dari sistem dan mekanisme kerja organisasi serta polapikir dan budaya kerja individu atau unit kerja didalamnya menjadilebih baik sesuai dengan tujuan dan sasaran RB. Target ingin dicapai melalui program ini adalah:
a) Meningkatnya komitmen K/L dan Pemda dalam melakukan RB.
b) Terjadinya perubahan pola pikir dan budaya kerja birokrasi pemerintah.
c) Menurunnya risiko kegagalan disebabkan kemungkinan timbulnya resistensi
terhadap perubahan.

Program Konsultasi dan Asistensi bertujuan untuk memberikan kejelasan pelaksanaan RB pada K/L dan Pemda. Target ingin dicapai melalui program ini adalah:
a) Meningkatnya pemahaman K/L dan Pemda dalam melakukan RB.
b) Meningkatnya efisiensi dan efektivitas pelaksanaan RB.

Program Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan bertujuan untuk memastikan pelaksanaan RB pada K/L dan Pemda dan memberikan umpan balik bagiupaya perbaikan proses RB. Target ingin dicapai melalui program ini adalah:
a) Meningkatnya akuntabilitas dan kinerja K/L dan Pemda.
b) Meningkatnya efisiensi dan efektivitas pelaksanaan RB.

Program Knowledge Management bertujuan untuk mendorong pertukaran pengetahuan tentang pelaksanaan RB di antara K/L dan Pemda. Target ingin dicapai melalui program ini adalah:
a) Meningkatnya profesionalisme SDM aparatur K/L dan Pemda.
b) Meningkatnya efisiensi dan efektivitas pelaksanaan RB.

Pelaksanaan RB 2010-2014 Tingkat Mikro (Ketiga) pada tingkat mikro, terdapat beberapa program RB dilaksanakan, yakni1) Program Manajemen Perubahan; 2) Program Penataan Peraturan Perundang-undangan; 3) Program Penataan dan Penguatan Organisasi; 4) Program Penataan Tatalaksana; 5) Program Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur; 6) Program Penguatan Pengawasan; 7) Program Penguatan Akuntabilitas Kinerja; 8) Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik; 9) Program Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan.

Program Manajemen Perubahan bertujuan untuk mengubah secara sistematis dan konsisten dari sistem dan mekanisme kerja organisasi serta polapikir dan budaya kerja individu atau unit kerja didalamnya menjadi lebih baik sesuai dengan tujuan dan sasaran RB. Target ingin dicapai melalui program ini adalah:
a) Meningkatnya komitmen pimpinan dan pegawai K/L dan Pemda dalam melakukan RB.
b) Terjadinya perubahan pola pikir dan budaya kerja K/L dan Pemda;
c) Menurunnya risiko kegagalan disebabkan kemungkinan timbulnya resistensi terhadap perubahan.

Program Penataan Peraturan Perundang-undangan bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan peraturan perundang-undangan dikeluarkan oleh K/L danPemda. Target ingin dicapai melalui program ini adalah:
a) Menurunnya tumpang tindih dan disharmonisasi peraturan perundang-undangan dikeluarkan oleh K/L dan Pemda;
b) Meningkatnya efektivitas pengelolaan peraturan perundang-undangan K/L dan Pemda.

Program Penataan dan Penguatan Organisasi Program bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi K/L dan Pemda secara proporsional sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan tugas masing-masing, sehingga organisasi K/L dan Pemda menjadi tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing). Target ingin dicapai melalui program ini adalah:
a) Menurunnya tumpang tindih tugas pokok dan fungsi internal K/L dan Pemda;
b) Meningkatnya kapasitas K/L dan Pemda dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi.24

Program Penataan Tatalaksana bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem, proses, dan prosedur kerja jelas, efektif, efisien, danterukur pada masing-masing K/L. Target ingin dicapai melalui program ini adalah:
a) Meningkatnya penggunaan teknologi informasi dalam proses penyelenggaraan manajemen pemerintahan di K/L dan Pemda.
b) Meningkatnya efisiensi dan efektivitas proses manajemen pemerintahan di K/L dan Pemda.
c) Meningkatnya kinerja di K/L dan Pemda.

Program Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme SDM aparatur pada masing-masing K/L dan Pemda, didukung oleh sistem rekrutmen dan promosi aparatur berbasis kompetensi, transparan, serta memperoleh gaji dan bentuk jaminan kesejahteraan sepadan. Target ingin dicapai melalui program ini adalah:
a) Meningkatnya ketaatan terhadap pengelolaan SDM Aparatur pada masing-masing K/L dan Pemda.
b) Meningkatnya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan SDM Aparatur pada masing-masing K/L dan Pemda.
c) Meningkatnya disiplin SDM Aparatur pada masing-masing K/L dan Pemda.
d) Meningkatnya efektivitas manajemen SDM Aparatur pada masing-masing K/L dan Pemda.
e) Meningkatnya profesionalisme SDM Aparatur pada masingmasing K/L dan Pemda.

Program Penguatan Pengawasan bertujuan untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan bersih dan bebas KKN pada masing-masing K/L dan Pemda. Target ingin dicapai melalui program ini adalah:
a) Meningkatnya kepatuhan terhadap pengelolaan keuangan Negara oleh masing-masing K/L dan Pemda.
b) Meningkatnya efektivitas pengelolaan keuangan negara pada masing-masing K/L dan Pemda.
c) Meningkatnya status opini BPK terhadap pengelolaan keuangan negara pada masing-masing K/L dan Pemda.
d) Menurunnya tingkat penyalahgunaan wewenang pada masingmasing K/L dan Pemda.

Program Penguatan Akuntabilitas Kinerja bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja K/L dan Pemda. Target ingin dicapai melalui program ini adalah:
a) Meningkatnya kinerja K/L dan Pemda.
b) Meningkatnya akuntabilitas K/L dan Pemda.

Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik pada masing-masing K/L dan Pemda sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat. Target ingin dicapai melalui program ini adalah:
a) Meningkatnya kualitas pelayanan publik (lebih cepat, lebih murah, lebih aman, dan lebih mudah dijangkau) pada K/L dan Pemda.
b) Meningkatnya jumlah unit pelayanan memperoleh standardisasi pelayanan internasional pada K/L dan Pemda.
c) Meningkatnya indeks kepuasan masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan publik oleh masing-masing K/L dan Pemda.

Program Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan bertujuan untuk mnejamin agar pelaksanaan reformasi birokrasi dijalankan sesuai dengan ketentuan dan target ditetapkan dalam road map K/L dan Pemda. Target ingin dicapai melalui program ini adalah memberikan peringatan dini tentang resiko kegagalan pencapaian target ditetapkan. Kegiatan-kegiatan pada tingkat pelaksanaan mikro tersebut, perlu memperhatikan hal-hal di bawah ini:
1)Setiap K/L dan Pemda pada dasarnya memiliki kemajuan berbeda. Ada K/L dan Pemda sudah melaksanakan sebagian program RB, tetapi ada pula K/L dan Pemda belum melaksanakan program RB.
2)Tahun sebagai awal dimulainya K/L dan Pemda melaksanakan program RB juga berbeda.

Oleh karena itu, berbeda dengan tingkat pelaksanaan makro dan meso pada tingkat pelaksanaan mikro tidak ditetapkan agenda waktunya. Hal ini dikarenakan setiap K/L dan Pemda memiliki karakteristik berbeda. Pelaksanaan RB pada K/L dan Pemda dilakukan dengan titik awal dan kecepatan berbeda sesuai dengan kesiapan K/L dan Pemda. Dengan demikian setiap K/L dan Pemda harus menyusun roadmap pelaksanaan RB. Program, kegiatan dan hasil diharapkan pada tingkat pelaksanaan mikro tersebut di atas, adalah:
ROGRAM DAN KEGIATAN HASIL D
A. Manajemen Perubahan
1.Pembentukan tim manajemen perubahan K/L dan Pemda Tim manajemen perubahan K/L dan Pemda.
2.Penyusunan strategi manajemen perubahan dan strategi komunikasi K/L dan Pemda.
3.Strategi manajemen perubahan dan strategi komunikasi K/L dan Pemda serta terbangunnya komitmen, partisipasi dan perubahan perilaku diinginkan.
4.Sosialisasi dan internalisasi manajemen perubahan dalam rangka RB.
5.Terbangunnya kesamaan persepsi, komitmen, konsistensi serta keterlibatan dalam pelaksanaan program dan kegiatan RB pada seluruh tingkatan pegawai pada K/L dan Pemda.

B. Penataan Peraturan Perundang-undangan
Penataan berbagai peraturan perundang-undangan dikeluarkan/diterbitkan oleh K/L dan Pemda. Identifikasi peraturan perundang-undangan dikeluarkan/diterbitkan oleh K/L dan Pemda sebagai dasar untuk melakukan regulasi dan deregulasi.

C. Penataan dan Penguatan Organisasi
1.Restrukturisasi/penataan tugas dan fungsi unit kerja pada K/L dan Pemda
2.Peta tugas dan fungsi unit kerja pada K/L dan Pemda tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing) dapat mendorong percepatan RB.
3.Penguatan unit kerja menangani organisasi, tatalaksana,pelayanan publik, kepegawaian dan diklat.
4.Unit kerja organisasi, tatalaksana, kepegawaian dan diklat mampu mendukung tercapainya tujuan dan sasaran RB.

D. Penataan Tatalaksana
1. Penyusunan SOP penyelenggaraan tugas dan fungsi
•Dokumen SOP penyelenggaraan tugas dan fungsi
2. Pembangunan atau `Pengembangan e-government
•Tersedianya e-government pada masing-masing K/L dan Pemda

E. Penataan Sistem Manajemen SDM
1. Penataan sistem rekrutmen pegawai
•Sistem rekrutmen terbuka, transparan dan akuntabel
2. Analisis jabatan Dokumen peta dan uraian jabatan
3. Evaluasi jabatan Peringkat jabatan dan harga jabatan
4. Penyusunan standar kompetensi jabatan
•Dokumen kualifikasi jabatan
5. Asesmen individu berdasarkan kompetensi
•Peta profil kompetensi individu
6. Penerapan sistem penilaian kinerja individu.
•Kinerja individu terukur
7. Pembangunan/Pengembangan database pegawai
•Ketersediaan data pegawai mutakhir dan akurat
8. Pengembangan pendidikan dan pelatihan pegawai berbasis kompetensi
•Pendidikan dan pelatihan pegawai berbasis kompetensi

F. Penguatan Pengawasan
1. Penerapan Sistem Pengendalian
•Intern Pemerintah (SPIP) pada masing-masing K/L dan Pemda
•Peningkatan ketaatan, efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi
2. Peningkatan Peran Aparat Pengawasan
•Intern Pemerintah (APIP) sebagai Quality Assurance dan consulting
•Peningkatan kualitas pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara

G. Penguatan Akuntabilitas Kinerja
1. Penguatan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah
•Peningkatan kualitas laporan akuntabilitas kinerja
2. Pengembangan sistem manajemen kinerja organisasi
•Sistem mampu mendorong tercapainya kinerja organisasi terukur
3. Penyusunan Indikator Kinerja Utama (IKU) pada K/L dan Pemda.
•Tersusunnya Indikator Kinerja Utama (IKU) pada K/L dan Pemda.

H. Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
1. Penerapan standar pelayanan pada unit kerja masing-masing
•K/L dan Pemda Peningkatan kualitas pelayanan publik (lebih cepat, lebih murah,
lebih aman, dan lebih mudah dijangkau)
2. Penerapan SPM pada kabupaten/kota
•Peningkatan kualitas pelayanan dasar pada kabupaten/kota
3. Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik
•Peningkatan partisipasi masyarakat

I. Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan
1. Monitoring
•Laporan monitoring.
2. Evaluasi (dilakukan setiap tahun sekali)
•Laporan evaluasi tahunan
3. Evaluasi menyeluruh (dilakukan pada semester kedua 2014)
•Laporan evaluasi lima tahunan

Kamis, 17 November 2011

POLITIK ERA REFORMASI, KEBHINEKAAN DAN PERAN UMAT ISLAM

CATATAN: Tulisan ini bermula dari Makalah Muchtar Effendi Harahap disajikan pada Seminar tema “Meneguhkan Peran Umat Islam untuk Menjaga Kebhinekaan dalam Bingkai NKRI”, diselenggarakan Parmusi bekerjasama dengan Fraksi PPP MPR-RI, di Jakarta, 16 November 2011. Berdasarkan tema simenar, Tulisan ini menyajikan hal-ikhwal deskripsi situasi politik era reformasi (kemajuan dan tantangan), empat pilar utama (Pancasila, UUD 1945, Bineka Tunggal Ika, dan NKRI) dan, Peran Umat Islam. Khusus mengenai peran umat Islam, Makalah ini hanya mengajukan beberapa prinsip, namun lebih luas diserahkan pada forum seminar karena memang peserta seminar dominan pelaku praxis umat Islam dalam politik. Kami juga mengucapkan terima kasih banyak terhadap Tim Pelaksana telah memberikan kesempatan sebagai salah seorang Pembicara pada forum Seminar.


I.POLITIK ERA REFORMASI:KEMAJUAN DAN TANTANGAN

Proses demokratisasi di Indonesia semakin terlihat sejak terjadi gelombang reformasi sekitar 1997/1998, kelompok mahasiswa mencanangkan agenda reformasi, dan keruntuhan kekuasaan rezim Orde Baru Soeharto. Segera setelah itu, Indonesia memasuki politik era reformasi. Gelombang reformasi di Indonesia sesungguhnya memiliki cita-cita demokrasi antara lain:

1.Sistem demokrasi berlaku menunjukkan kekuasaan dibagi-bagi dengan sengaja melalui konstitusi dan peraturan perundang-undangan sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan di satu tangan, dan terdapat “checks and balances”. Memasuki tahap Konsolidasi demokrasi, harus lebih menjamin terwujudnya esensi demokrasi yakni penghargaan atas nilai-nilai partisipasi, transparansi, akuntabilitas, kesamaan (quality) non diskriminatif atau penghargaan atas`kebebasan dan perbedaan, dll.
2.Sesuai Pembukaan dan Bantang Tubuh UUD 1945, penegakan prinsip kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat sebagai HAM harus dilaksanakan untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan kuat dalam NKRI merdeka, bersatu, berdaulat, adil, demokratis, dan berdasarkan hukum. Setiap warganegara adalah pemegang kedaulatan atau pemilik seluruh harta bumi dan kekayaan alam Indonesia. Kedaulatan rakyat bermakna rakyat pemilik kekuasaan, bebas berkehendak, mutlak memiliki, klaim menguasai, menjaga dengan hak penuh.
3.Demokrasi menjadi sarana penciptaan iklim yang kondusif dan progam konkrit untuk mensejahterakan rakyat.

Terdapat berbagai penilaian kemajuan dan tantangan/kendala politik era reformasi. Untuk penilaian kemajuan , antara lain:
1.Amandemen UUD 1945
•Rumusan UUD jauh lebih kokoh menjadi hak konstitusional warga negara.
•Dari demokrasi perwakilan menjadi demokrasi langsung.
•Pasal 6A UUD 1945, yang mengatur sistem Pilpres tidak lagi melalui perwakilan MPR, tetapi pemilu langsung.
•Terdapat 10 pasal tentang HAM.
•Adanya Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Konstitusi (MK), DPD
•Pergeseran kekuasaan membuat UU dari Pemerintah ke DPR

2.Penghapusan Dwi Fungsi ABRI
•Kebijakan reposisi TNI/Polri: pemisahan Polri dari TNI.
•Pemotongan institusi TNI dari keterlibatan dalam politik.
•Anggota DPRD.DPR dan DPD dipilih rakyat pada Pemilu 2004.
•Terbit UU Pertahanan, memperjelas fungsi TNI.

3.Otonomi Daerah
•UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, membuat desentralisasi pemerintahan tingkat Kabupaten/Kota.
•UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan, memuat distribusi dana tingkat Kabupaten/Kota.
•UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memuat Pilkada Propinsi dan Kabupaten/Kota secara langsung.

4.Penghapusan KKN
•TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN.
•Pembentukan KPK

5. Kepartaian
•Pemilu 1999: 44 peserta
•Pemilu 2004: 24 peserta
•Pemilu 2009: 38 Parpol (ditambah 6 Parpol lokal di Aceh)

6.PEMILU
•Lebih kompetitif (bersaing)
•Lebih Jurdil
•Lebih terbuka

7.Kebebasan Pers
•Pemerintah tidak boleh menyensor, membredel dan menghentikan siaran media.

8.Kebebasan Berserikat dan Mengeluarkan Pendapat
•Masyarakat madani tumbuh berkembang (Parpol, perhimpunan , Ornop/LSM, Ormas, OKP, Ombudsman, dll.)
•Ada ruang untuk aksi demo di jalanan.

Walaupun ditemukan kemajuan, kalangan pakar atau pengamat politik menunjukkan beragam juga tantangan/kendala politik era reformasi, antara lain:

1. Kembali ke UUD 1945

Masih terdapat kelompok-kelompok masyarakat perkotaan menolak amandemen dan menuntut agar kembali ke UUD 1945 saat Orde Baru berkuasa. Belum ada ketentuan referendum dalam UUD hasil Amandemen tentang kebijakan atau kelangsungan kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden hasil Pilpres secara langsung.

2. Reformasi Prosedural

Reformasi politik (pemerintahan) telah berjalan, namun masih penuh kendala sehingga terkesan tersendat-sendat. Transformasi kultural demokratis (kreatif dan inovatif) masih sangat lambat, bahkan masih terjadi transformasi kultural birokrasi feodal. Semakin terasa adanya fenomena konservatisme dan elitisme baik di tingkat legislatif maupun eksekutif dalam proses pengambilan keputusan. Kehidupan demokrasi Indonesia masih bergerak dalam bingkai procedural, sementara secara substansial masih bergerak menjauh dari pengabdian kepada kepentingan rakyat. Proses demokrasi semakin tidak efisien dan efektif, menghabiskan banyak waktu, tenaga dan biaya. Demokrasi tidak mensejahterakan rakyat, melahirkan politik uang, menghasilkan pemimpin politik korup dan tidak amanah. Demokrasi semata-mata menekankan pada procedural, bukan mengedapankan transformasi nilai.

3.Politik Oligarkis dan Kartel Kepartaian

Fenomena oligarkis dan bahkan “kartelis koruptif” dalam sistem kepartaian, yakni partai-partai semakin menjadi birokrasi dalam dirinya sendiri dan untuk dirinya sendiri sedangkan pejabat partai di luar dan di dalam parlemen semakin menjadi birokrat, secara terencana melepaskan diri dari konstituen yang diwakili (pemberi mandat). Kalangan aktor masyarakat madani memperjuangkan cita-cita demokrasi dan penegakan prinsip kedaulatan rakyat di Indonesia cenderung tidak mempercayai peran dan fungsi Parpol. Mereka menilai, tidak ada hubungan signifikan antara Parpol dan kelompok konstituen, juga peran Parpol di dalam pekerjaan demokrasi. Kepercayaan rakyat terhadap Parpol tergolong sangat rendah. Parpol tidak berfungsi sebagai alat rakyat untuk menyampaikan kedaulatan mereka.

4.Penentuan Calon dalam Pilkada Tidak Partisipatif dan Transparan

Masih belum atau sulit berlangsung demokratis (penegakan prinsip partisipatif dan transparansi khususnya) karena sebagian besar penentuan calon pada Pilkada secara substansial tidak ditentukan partai sesuai tingkat Pilkada tersebut (misalnya, DPD untuk Kabupaten/Kota dan DPW untuk Propinsi), melainkan oleh para elite pusat partai, level lebih tinggi daripada DPD atau DPW. Proses penentuan calon secara kelembagaan tidak melalui tingkat paling bawah (Kelurahan/Desa atau Kecamatan) dalam bentuk misalnya konvensi atau pemilihan Bakal Calon oleh anggota partai atau pimpinan level Desa/Kelurahan berdasarkan penegakan prinsip partisipasi dan transparansi.

5.Negara Terkorup di Dunia

Indonesia telah mengalami jenis korupsi super destruktif dan berskala negara, yaitu state capture corruption. Negara sendiri melakukan korupsi atau pemerintah yang sedang berkuasa menggadaikan pada kekuatan korporasi asing, misalnya melalui politik hukum, yakni pembuatan UU dan PP (Peraturan Pemerintah). Pemerintah Indonesia telah menjadi pelayanan kepentingan asing, yang diberi payung hukum dengan perundang-undangan dan berbagai keputusan politik. State capture corruption (korupsi sandera negara), yang paling berbahaya semakin menjulang. Sejauh ini Pemerintah tidak menunjukkan kemauan dan komitmen politik untuk memberantas korupsi sungguh-sungguh.

Pada April 2011 Political and Economic Risk Consultancy (PERC) di Hongkong melakukan survey setiap tahun dan menjadikan para pebisnis asing di setiap negara sebagai responden. Salah satu indikator adalah korupsi. Publikasi 14 negara terkorup di Asia di Singapura, Indonesia nomor satu. Sebagai pembanding Indonesia dapat dilihat urutan nama dan skor sebagai berikut: 1. Indonesia dengan skor 8,32 ; 2. Thailand, 7,63 ; 3.Kampuchea, 7,25; 4. India, 7,23; 5. Vietnam , 7,11; 6. Filipina, 7,0; 7.Malaysia , 6,7; 8. Taiwan, 6,47; 9. China, 6,16; 10. Macau,5,34; 11. Korea, 4,6; 12. Jepang , 3,99; 13.Hongkong, 1,89; dan, 14. Singapura, 1,07. Indonesia, dalam sejarah penyusunan peringkat daftar negara-negara terkorup, tidak pernah berada dalam kategori negara terbersih. Jika ada perbaikan, secara umum posisi Indonesia selalu masuk kategori terburuk.

Di lain fihak, pada 13 Juni 2011 di Washington DC, hasil proyek survei tahunan (World Justice Project) suatu organisasi non-profit dibiayai Neukom Family Foundation, Bill & Melinda Gates Foundation, dan LexisNexis menyimpulkan dari 65 negara, Indonesia berada di posisi bawah baik secara regional maupun global.

6.Kesejahteraan Rakyat

Politik era reformasi tidak mampu memecahkan permasalahan perekonomian. Juga, terdapat masih ada asumsi dasar, masyarakat Indonesia belum siap untuk demokrasi dinilai dari tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Keadaan semakin tidak bermartabat dapat dilihat dari indikator antara lain: kemiskinan & pengangguran, pendapatan perkapita, utang luar negeri; sumber daya alam, kehutanan & lingkungan hidup, industri & perdagangan (harga barang kebutuhan pokok), dan pertahanan. Indonesia semakin dalam menjadi subordinat dari jaringan korporatokrasi internasional, jelas-jelas menguras habis-habisan kekayaan Indonesia. Korporatokrasi adalah sebuah jaringan ekonomi, keuangan, politik, militer, intelektual dan media masa yang dibangun oleh kekuatan-kekuatan kapitalis dan demokrasi liberal Barat. Kedaulatan nasional kita justru tergadaikan ke berbagai korporasi asing.

II.EMPAT PILAR UTAMA

Dalam politik era reformasi, telah muncul pula prakarsa 4 pilar utama perekat politik bernegara, yakni (1) Pancasila; (2) UUD 1945; (3) Bhineka Tunggal Ika; dan (4) NKRI.

1.PANCASILA

Payung hukum Pancasila sebagai pilar utama politik era reformasi diperkuat dengan TAP MPR No. 18 Tahun 1998 tentang Pencabutan TAP MPR No. 2 Taun 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara. TAP MPR ini menegaskan bahwa Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari NKRI harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara (Pasal 1 TAP MPR No. 8 Tahun 1990 jo TAP MPR No. 1 tahun 2003 jo Pasal 1 Aturan Tambahan UUD 1945). Karena itu, Pancasila merupakan cara pandang harus memiliki kemampuan mengakomodasikan keragaman, baik agama, suku, etnis, sosial, budaya, dll. sehingga terpelihara sikap nasionalisme dan cinta tanah air. Pancasila sebagai pilihan dasar negara telah mengalami dinamika sejarah politik. Pancasila mengalami berbagai penapsiran sepanjang era demokrasi parlementer, era Orde Lama , era Orde Baru, dan era Reformasi. Dalam konteks ini, Umat Islam melalui para tokoh politik Islam pernah menunjukkan sikap sangat toleran, yakni kesediaan untuk menghapuskan tujuh kata: “Dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya” dalam Piagam Jakarta. Hingga sekarang pun kebanyakan politisi Islam tetap menggunakan strategi ini dalam merumsukan hubungan antar Islam dan negara di dalam memperkokoh NKRI. Pada era Orde Lama, penafsiran Pancasila ditapsirkan dengan konsep nasional, agama dan komunisme (Nasakom). Umat Islam menentang konsep ini. Pada era Orde Baru, Pancasila ditempatkan sebagai pandangan alam (way of view) dan menjadikan azas tunggal bagi seluruh organisasi kemasyarakatan. Umat Islam bahkan kelompok agama lain menentang penempatan Pancasila tsb. Terjadi penafsiran tunggal Pancasila, terutama melalui BP7, tidak boleh ada penapsiran lain. Kini era reformasi, penapsiran Pancasila tidak lagi tunggal atau sempit, sudah menjadi ideologi terbuka,milik bersama, tidak ada lagi semacam dominasi suatu kelompok.

Tantangan/kendala masih dihadapi untuk pilar utama Pancasila ini antara lain, masih belum selesainya perbedaan dalam menentukan saat lahirnya dan pencipta/penggali Pancasila. Kalangan tertentu lebih menginginkan lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 1945 saat Sukarno menyampaikan Pidato. Sementara pihak lain, khususnya kelompok politik Islam, menginginkan hari lahirnya Pancasila pada 23 Juni 1945 sebagai titik kompromi karena 18 Agustus sebagai hari konstitusi.

2.UUD 1945

Rumusan Amandemen 1945 sesungguhnya jauh lebih kokoh menjadi hak konstitusional warganegara, jauh lebih menegakkan HAM dan juga demokrasi, namun masih ditemukan tantangan/kendala, antara lain: terjadinya tarik menarik kewenangan antara Kepresidenan dan DPR terkait sistem presidensial; DPD tidak memiliki kewenangan legislasi dan penganggaran. Tantangan/kendala lebih penting adalah semakin meningkatnya jumlah aktor politik kelas menengah dan atas perkotaan menuntut agar kembali ke UUD 1945 sebelum Amandemen (Orde Baru).
Ada tiga kelompok dalam menilai Amandemen UUD 1945. Pertama, kelompok pro (mendukung) Amandemen dalam beragam argumentasi, namun mempunyai kesepakatan tentang masih perlunya penyempurnaan di sana-sini. Kedua, kelompok kontra (menolak) Amandemen UUD 1945. Mereka pada umumnya menyetujui perubahan namun cukup ditampung melalui UU. Kelompok ini pada dasarnya menuntut “kembali ke UUD 1945”. Ketiga, kelompok tidak keduanya (tidak pro, tidak kontra), lebih menekankan proses pengambilan keputusan atas Amandemen itu sendiri. Menurut kelompok ketiga ini, perdebatan atau polemik tentang Amandemen ini riil (nyata) dan berpotensi melemahkan untuk menentukan pilihan secara langsung atas konstitusi mereka sendiri. Karena itu, perlu diadakan “referendum” menanyakan langsung kepada rakyat untuk memilih UUD 1945 versi mana, yang asli atau hasil Amandemen.

3. BHINEKA TUNGGAL IKA

Bhineka Tunggal Ika adalah konsep dari bahasa sangsekerta, produk kerajaan Majapahit, lahir dari pandangan Mpu Tantular dituliskan di dalam karyanya, Sutamosa. Masa Majapahit, pemeluk agama Hindu dan Budha memiliki hak sama dalam bernegara dan beribadah. Rakyat Majapahit beribadah tanpa hambatan dari negara. Bahkan, diriwayatkan bahwa Raja Majapahit, Rajasanegara, pemeluk agama Hindu, sementara Patihnya, Gajah Mada, pemeluk Budha. Bhineka Tunggal Ikan bermakna dapat merangkul dan memecahkan permasalahan keberagaman suku, etnis, agama, bahasa, sosial, budaya, dll. dalam suatu situasi kebersamaan: Indonesia. Konsep ini diharapkan dapat menjadi perekat kehidupan politik era reformasi, terutama politik masyarakat madani. Juga dapat mengendalikan konflik laten sehingga tidak menjadi konflik manifest etnis atau agama seperti di Ambon, Poso, dll. Sesungguhnya umat Islam dengan menghapuskan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, telah menunjukkan bentuk kesadaran perjuangan bahwa Indonesia haruslah menjadi rumah nyaman bagi siapun, tanpa melihat latar belakang agama, suku, ras dan budaya.

Tantangan/kendala dihadapi adalah pelbagai tindakan kekerasan dan konflik berlabel suku, agama, ras dan golongan merebak di mana-mana seperti konflik antaretnis dan antaragama di Pontianak, Ambon, Poso, Sampit, Kupang serta beberapa tempat lainnya. Kerusuhan bulan Mei 1998 berupa penjarahan, pembunuhan dan pemerkosaan etnis Cina menambah panjang sejarah gelap kebinhekaan di Indonesia. Secara retorika konsep Bhineka Tunggal Ika atau nasionalisme tetap bergema dari waktu ke watu, namun hanya sebatas pembicaraan, dan tidak dihayati maknanya serta tidak tampak pada perilaku.

4. NKRI

Pilar NKRI masih terus harus diupayakan sebagai perekat bangsa dan negara Indonesia (nation building). NKRI diharapkan dapat sebagai landasan bernegara dan berbangsa, mempersatukan rakyat seluruh Indonesia dan tidak melakukan pemberontakan untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia. Namun, realitas obyektif menunjukkan masih terdengar dan terlihat adanya prakarsa dan aksi-aksi kelompok politik daerah terus berjuang memisahkan diri dari negara Republik Indonesia dan mengancam ketuhan negara kesatuan (NKRI) seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Rakyat Maluku (RMS) dan Operasi Papua Merdeka (OPM). Realitas obyektif ini seyogyanya menjadi bagian sentral ingatan kolektif bangsa Indonesia untuk direfleksikan bersama untuk menjaga kebhinekaan dalam bingkai NKRI.

III.PERAN UMAT ISLAM

Sesungguhnya makalah ini harus menyajikan peran atau kegiatan strategis apa saja bisa dilakukan oleh Umat Islam dalam rangka mengukuhkan Umat Islam lebih berperan dalam menangani tantangan/kendala dihadapi rakyat Indonesia dalam menegakkan pilar-pilar utama di atas, terutama Bineka Tunggal Ika, dalam situasi politik era reformasi syarat beragam kemajuan dan tantangan dihadapi. Secaar garis besar, sebagai “bahan” pembahasan kita dalam proses seminar ini, Kami mengajukan beberapa peran atau kegiatan strategis dimaksud yakni:

1.Memaknai pilar-pilar utama secara substansial, bukan procedural atau retorika semata. Memaknai pilar utama secara substantive yang dapat memberikan kontribusi bagi penegakan pilar utama dan pemenuhan kesejahteraan rakyat. Pilar utama harus diarahkan pada kemampuan mewujudkan kesejahteraan rakyat, bukan sebaliknya menjauhkan rakyat dari proses politik untuk mewujudkan kesejahteraan mereka.
2.Memberikan kontribusi bagi penegakan pilar-pilar utama dan kesejahteraan rakyat. Dalam hal kebhinekaan, sesungguhnya Islam membenarkan dan mendukung kebhinekaan seperti pernah dipraktekkan dalam sejarah politik pemerintahan Islam.
3.Umat Islam memiliki kepentingan atas`penegakan pilar-pilar utama dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat menikmati di samping kehidupan demokrasi politik substansial, juga kesejahteraan ekonomi.
4.Umat Islam harus selalu berpikir luas, besar, mendalam dan utuh. Hanya dengan berpikir seperti itu, konsep kebhinekaan akan terjaga.Bhineka dalam konteks Indonesia adalah konsep yang mewadahi seluruh komponen bangas ini yang disebut Indonesia. Hati, pikiran dan wawasan yang luas sebagai wadah menjadi sifat lebih toleran dan berhasil memahami orang lain apa adanya.
5.Parpol berideologi Islam atau berbasis umat Islam sesungguhnya memiliki tanggungjawab politik dan secara moral sebagai kekuatan politik terdepan menegakkan pilar-pilar utama tersebut. Perlu mengeluarkan segala kekuatan dalam rangka membela Islam “rahmah” untuk semua. Juga, perlu membuat lompatan berpikir strategis, memperluas pandangan lebih relevan dengan tuntutan zaman, semisal harus bersentuhan masyarakat lebih bhineka itu.