Selasa, 29 September 2015

RUU TENTANG JASA KONSTRUKSI: BEBERAPA ISSUE STRATEGIS DALAM PERSPEKTIF ASOSIASI PROFESI

I. INISIATIF DPR Paroh akhir tahun 2015 ini di kalangan masyarakat jasa konstruksi membicarakan issue-issue strategis Rencana Undang-Undang (RUU) tentang Jasa Konstruksi. RUU ini adalah inisiatif DPR, bukan Pemerintah. Sebagai inisiatif DPR, RUU ini membutuhkan tanggapan Pemerintah, terutama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dalam bentuk daftar permasalahan dan usulan perbaikan atau penyempurnaan kandungan RUU dimaksud. RUU ini semula terdapat 111 pasal, kemudian berubah menjadi 113 pasal. Tujuan RUU ini adalah: 1. Memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil jasa konstruksi yang berkualitas; 2. Mewujudkan tertib penyelenggaraan jasa konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 3. Mewujudkan peningkatan partisipasi masyarakat di bidang jasa konstruksi; 4. Menata system jasa konstruksi yang mampu mewujudkan keselamatan public dan menciptakan kenyamaan lingkungan terbangun; 5. Menjamin tata kelola penyelenggaraan jasa konstruksi yang baik; dan 6. Menciptakan integrasi nilai seluruh layanan dari tahapan penyelenggaraan jasa konstruksi. Khusus untuk tenaga kerja konstruksi, terdapat satu Bab tersendiri (BAB VII), mencakup klasifikasi dan kualifikasi; pelatihan tenaga kerja konstruksi; sertifikasi kompetensi kerja; registrasi pengalaman professional; standar remunerasi; tenaga kerja konstruksi asing; tanggungjawab profesi. Tenaga kerja konstruksi terdiri atas klasifikasi di bidang arsitektur, sipil, mekanikal, elektrikal, tata lingkungan, dan manajemen pelaksanaan. Tenaga kerja konstruksi terdiri atas kualifiksai dalam jenjang: 1. Jabatan operator; 2. Jabatan teknisi atau analis; dan 3. jabatan ahli. II.SERTIFIKASI KOMPETENSI KERJA: Terkait sertifikasi kompetensi kerja, ditentukan: 1. Setiap tenaga kerja yang bekerja di bidang konstruksi wajib memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja; 2. Sertifikat Kompetensi Kerja diberikan kepada tenaga kerja konstruksi telah memenuhi standar kompetensi kerja; 3. Sertifikat kompetensi kerja diberikan oleh Lembaga Sertifikat Profesi (LSP) bidang jasa konstruksi; 4. LSP dapat dibentuk oleh BSRJK atau oleh masyarakat jasa konstruksi; 5. LSP melakukan registrasi Sertifikat Kompetensi Kerja yang diterbitkan kepada BSRJK; 6. LSP wajib mengikuti ketentuan pelaksanaan pemberian Sertifikat Kompetensi Kerja ; 7. Registrasi Sertifikat Kopetensi Kerja harus dilakukan melalui asosiasi profesi yang terakreditasi diberikan oleh Menteri kepada asosiasi profesi memenuhi persyaratan. Adapun persyaratan dimaksud adalah 1. Jumlah dan sebaran anggota; 2. Pemberdayaan kepada anggota; 3. Pemilihan pengurus secara demokratis; 4. Sarana dan prasarana di tingkat pusat dan daerah; dan, 5. Melakukan kewajiban. II. REGISTRASI PENGALAMAN PROFESIONAL: Untuk registrasi pengalaman professional ini, ditetapkan: 1. Untuk mendapatkan pengakuan pengalaman professional, setiap tenaga kerja konstruksi pada kualifikasi jenjang jabatan ahli harus melakukan registrasi kepada BSRJK; 2. Registrasi dibuktikan dengan tanda daftar pengalaman profesional; 3. Tanda daftar pengalaman profesional (paling sedikit memuat: a. Jenis layanan profesional yang diberikan; b. Nilai pekerjaan konstruksi terkait dengan hasil layanan profesional; c. Tahun pelaksanaan pekerjaan; dan, d. Nama pengguna jasa). III. BSRJK SEBAGAI PENGGANTI LPJKN: RUU ini telah menghilangkan LPJKN selama ada, diganti dengan Badan Sertifikasi dan Registrasi Jasa Konstruksi (BSRJK). Badan ini bertugas dan berfungsi terlepas dari kekuasaan dan kepentingan golongan atau kelompok, dibentuk oleh dan bertanggungjawab kepada Menteri, berkedudukan di Ibukota Negara, dan dapat membentuk perwakilan di tingkat provinsi yang berkedudukan di ibukota Provinsi. BSRJK terdiri dari seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota dengan jumlah 5 (lima) anggota. Anggota Badan ini diangkat oleh Menteri melalui Panitia Seleksi dibentuk oleh Menteri bersangkutan. Masa keanggotaan BSRJK adalah 5 (lima) Tahun. Adapun tugas dan wewenang BSRJK meliputi:1. Menyelenggarakan Sertifikasi dan registrasi badan usaha; 2. Menyelenggarakan registrasi pengalaman usaha; 3. Menyelenggakan registrasi penilaian ahli; 5. Menetapkan penilai ahli yang terdaftar dalam hal terjadi kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan; 6. Membentuk lembaga sertifikasi profesi (LSP) bidang jasa konstruksi; 7. Menyelenggarakan registrasi pengalaman profesional; dan 8. Memberikan masukan kepada Pemerintah dalam merumuskan kebijakan Jasa Konstruksi nasional. BSRJK berkordinasi dengan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. Pembiayaan BSRJK bersumber APBN dan/atau sumber lain yang sah sesuai peraturan perundang-undangan. Biaya diperoleh dari masyarakat atas jasa lainnya diberikan oleh BSRJK merupakan penerimaan Negara bukan pajak. Untuk mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang BSRJK dibentuk Sekretariat. IV. POSISI PEMERINTAH: Saat tulisan ini dibuat, posisi Pemerintah dalam menindaklanjuti inisiatif DPR ini telah melaksanakan berbagai kegiatan, antara lain: 1. Mendiskusikan dengan stakeholders jasa konstruksi (asosiasi, pakar/perguruan tinggi), sehingga menghasilkan usulan hasil konsolidasi; 2. Mengikuti FGD di 3 Provinsi (Bali, Jatim dan Sumut) dan mendampingi kunjungan kerja Komisi V DPR ke Korea dan Kanada; 3. Mengikuti RDP bersama LPJK, Gapensi, Gapeksindo, Gapenri, AKI, Inkindo dan Perkindo; 4. Melaksanakan FGD dengan Tenaga Ahli, Peneliti, Legal Drafting Sekretariat Komisi V DPR; 5. Diskusi dengan Tenaga Ahli Lingkungan DPR yang dinisiasi oleh Partai Gerindra; 6. FGD dengan pemangku kepentingan tertentu (3 kali dan terus berlanjut); 7. Konsinyering isu-isu strategis dalam RUU Jasa Konstruksi dengan kelompok unsur Asosiasi Perusahaan dan Asosiasi Profesi. Bagi Pemerintah, terdapat sejumlah issue strategis, sehubungan dengan : 1. Pembinaan; 2. Perlindungan terhadap Pelaku Lokal; 3. Pengaturan remunerasi terhadap tenaga kerja konstruksi; 4. Kegagalan pekerjaan konstruksi dan kegagalan bangunan; Sertifikasi Tenaga kerja Konstruksi; 6. Sertifikasi Badan Usaha; 8. Konsepsi keberadaan unit penyelengaraan pengembangan jasa konstruksi; 9. Konsepsi keberadaan kesekretariatan unit penyelenggara pengembangan jasa konstruksi; 10. Pengawasan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi; 112. Pengendalian badan usaha asing; dan, 12. Mendorong tumbuhnya Badan Usaha Spesialis. Bagi Pemerintah, hal-hal lain perlu mendapatkan perhatian: 1. Pengaturan proses penyelenggaraan jasa konstruksi dituangkan dalam Peraturan Presiden tersendiri; 2. Penilaian kelayakan hasil pekerjaan konstruksi dilaksanakan oleh instansi penanggung jawabnya; 3,. Mendorong terbentuknya Lembaga Pembiayaan Konstruksi yang mampu menyediakan pinjaman modal lebih murah; 4. Pengaturan mendorong terwujudnya ketahanan konstruksi; 5. Mendorong BUJK kualifikasi besar untuk berinvestasi dalam bentuk peralatan konstruksi; 6. Perlu mengakomodasi substansi diatur dalam Perpres Percepatan Pembangunan Pekerjaan Infrastruktur Strategis; 7. Pengaturan jumlah asosiasi yang memiliki tugas public; dan, 8. Dimungkinkannnya pembentukan BUJK langsung berkualifikasi besar. V. PERSPEKTIF ASOSIASI PROFESI: Sesungguhnya RUU ini merupakan upaya untuk mengurangi atau menarik kembali wenanang yang didelagasikan kepada masyarakat jasa konstruksi dalam bentuk LPJKN dan LPJKP untuk pembinaan dan pengembangan jasa konstruksi. Kewenangan itu kembali diambil Negara melalui Kementerian PUPR, yakni menetapkan personil BSRJK. Secara umum RUU ini memenuhi kepentingan asosiasi profesi, yakni asosiasi diberi wewenang untuk melakukan sertifikasi kompetensi tenaga ahli profesional melalui Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP). Ada beberapa issue strategis dalam perspektif asosiasi profesi. Pertama, asosiasi profesi diberi wewenang untuk mendirikan LSP dan sekaligus melakukan sertifikasi kompetensi. Namun, dalam hal ini RUU juga memberi hak kepada BSRJK dan masyarakat jasa konstruksi untuk membuat LSP. Bagi, asosiasi profesi, BSRJK membentuk LSP hanya untuk sertifikasi kompetensi tenaga kerja asing. Juga masyarakat jasa konstruksi tidak perlu membuat LSP karena akan dapat menimbulkan persaingan tidak sehat dengan LSP-LSP asosiasi profesi. Kedua, Pemerintah Pusat bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelatihan tenaga kerja konstruksi. Prakarsa ini sangat baik, namun secara nasional Pemerintah Pusat pasti tidak bisa memenuhi kebutuhan pelatihan tenaga ahli tersebar di seantero nusantara ini. Karena itu, RUU juga menetapkan bahwa Pemerintah Propinsi, Kota dan Kabupaten bertanggungjawab melaksanakan pelatihan tenaga kerja konstruksi. Ketiga, Pelatihan tenaga kerja konstruksi diselenggarakan oleh Lembaga Pelatihan Kerja. Hal ini terkesan bahwa asosiasi tidak boleh melaksanakan pelatihan atas wewenang Pemerintah dengan APBN . Perlu ada penegasan bahwa asosiasi diperkenankan untuk membuat pelatihan atas pendelegasian wewenang Pemerintah sebagai fihak bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelatihan tenaga kerja konstruksi. Keempat, standar renumerasi minimal bagi tenaga kerja konstruksi yang jenjang jabatan ahli, ditetapkan oleh Menteri. Selama ini ketentuan renumerasi minimal dari Menteri PUPR sesungguhnya tidak berlaku di kementerian-kementerian non kementerian PUPR. Padahal pekerjaan konstruksi juga terdapat di kementerian-kementerian tersebut, misalnya Kementerian perhubungan. Agar ketentuan renumerasi minimal ini berlaku di seluruh kementerian, maka perlu ditentapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP).

Rabu, 16 September 2015

COMMUNITY DEVELOPMENT (PENGEMBANGAN MASYARAKAT)

I.PENGANTAR: Pembangunan Dunia Ketiga atau negara-negara terbelakang telah berlangsung setidak-tidaknya setelah Perang Dunia II. Dalam perjalannya, terjadi perubahan radikal di kalangan pemikir atau ilmuwan social tentang pelaksanaan pembangunan. Tulisan ini mencoba mengajukan satu perubahan dimaksud yakni perspektif “community development” (pengembangan/pembangunan masyarakat), yakni melihat realitas obyektif masyarakat sebagai masalah yang harus dipecahkan berdasarkan kebutuhan dan kepentingan masyarakat itu sendiri. Hakikat community development pada dasarnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan manusia atau masyarakat, dan juga apa yang dirasakan oleh masyarakat itu sendiri, bukan apa yang dituliskan dalam angka atau teori. Disajikan di dalam suatu sumber, sejarah perkembangan community development tidak bisa dilepaskan dari pengalaman bangsa Inggris mengembangkan daerah koloni mereka. Istilah community community didefinisikan dan diadopsi pada tahun 1948 untuk menggantikan istilah pendidikan (mass education). Model intervensi development community mempunyai sejarah yang panjang dan terkait dengan disiplin Ilmu Pendidikan dan Ilmu Kesejahteraan sosial. Di Amerika Serikat, akar dari community development bersumber dari disiplin pendidikan, terutama program perluasan pendidikan di tingkat pedesaan (rural extension program), yang diperkanalkan pada akhir abad ke-18. Sejarah perkembangan community development tidak bisa dilepaskan dari pengalaman bangsa Inggris mengembangkan daerah koloni mereka. Istilah community development didefinisikan dan diadopsi pada tahun 1948 untuk menggantikan istilah pendidikan (mass education). Model intervensi commun ity development mempunyai sejarah yang panjang dan terkait dengan disiplin Ilmu Pendidikan dan Ilmu Kesejahteraan sosial. Di Amerika Serikat, akar dari community development bersumber dari disiplin pendidikan, terutama program perluasan pendidikan di tingkat pedesaan (rural extension program), yang diperkanalkan pada akhir abad ke-18.[2] Tulisan ini mencoba memperkenalkan perspektif community development dimaksud. Tulisan ini setidak-tidaknya bermanfaat bagi para mahasiswa, peneliti social muda, dan juga konsultan yang bergerak di bidang penghentasan kemiskinan. II. PENGERTIAN COMMUNITY DEVELOPMENT Beragam makna dan pengertian konsep community development telah diajukan di dalam dunia akademis. Keberagaman pengertian ini kadangkala membuat pengertian dimaksud justru semakin jauh dari asal muasalnya. Namun, dari sejumlah pengertian community development, kita dapat mengambil semacam benar merah atau insti kesamaan kandungan pengertian tersebut. Beberapa pengertian community development dari berbagai sumber sebagai berikut: 1. Kemampuan suatu negara atau suatu bangsa untuk terus berkembang baik secara kualitatif atau kuantitatif yang mencakup seluruh segi kehidupan bernegara dan bermasyarakat dan karena tidak berkembang hanya dalam arti peningkatan taraf hidup saja akan tetapi dalam segi kehidupan lainnya, manusia bukan hanya makhluk ekonomi, akan tetapi juga makhluk sosial dan makhluk politik. Oleh karena itu perlu diadakan perubahan struktur ekonomi dan non ekonomi. 2. Suatu proses dimana anggota masyarakat pertama-tama mendiskusikan dan menentukan keinginan mereka kemudian merencanakannya dan mengerjakan bersama-sama untuk memenuhi keinginan mereka tersebut. Community development juga merupakan suatu gerakan untuk menciptakan sesuatu kehidupan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat dengan berpartisipasi aktif dan inisiatif masyarakat itu. 3. Usaha pembangunan masyarakat yang dilakukan sendiri oleh masyarakat, masyarakat berkumpul memusyawarahkan tentang kebutuhan tersebut, menginvestasikan sesuai dengan tingkat atau derajat kebutuhan itu baik dari segi kepentingan umum maupun dari segi lainya. Setelah memusyawarahkan identifikasi kebutuhan serta menginventarisasikannya, maka dilanjutkan untuk membuat perencanaan tentang langkah-langkah yang akan dilaksanakan. Setelah perencanaan dan program selesai disusun maka barulah kemudian sampai kepada pelaksanaan, mengerjakan bersama dengan menggunakan teknis gotong royong. 4. Bertujuan untuk meningkatkan potensi masyarakat agar mampu meningkatkan kuwalitas hidup yang lebih baik bagi seluruh warga masyarakat melalui kegiatankegiatan swadaya; mendidik masyarakat agar mampu mendidik diri mereka sendiri atau"membantu masyarakat agar mampu membantu diri mereka sendiri". 5. Suatu “ proses“ dimana usaha-usaha atau potensi-potensi yang dimilki masyarakat diintegrasikan dengan sumber daya yang dimiliki pemerintah, untuk memperbaiki kondisi ekonomi, sosial, dan kebudayaan, dan mengintegrasikan masyarakat didalam konteks kehidupan berbangsa, serta memberdayakan mereka agar mampu memberikan kontribusi secara penuh untuk mencapai kemajuan pada level nasional. 6. Suatu proses “aksi sosial“ dimana masyarakat mengorganiser diri mereka dalam merencanakan yang akan dikerjakan; merumuskan masalah dan kebutuhan-kebutuhan baik yang sifatnya untuk kepentingan individu maupun yang sifatnya untuk kepentingan bersama; membuat rencana-rencana tersebut didasarkan atas kepercayaan yang tinggi terhadap sumber-sunber yang dimiliki masyarakat, dan bila mana perlu dapat melengkapi dengan bantuan teknis dan material dari pemerintah dan badan-badan non-pemerintah di luar masyarakat. 7. Konsep yang berkembang sebagai tandingan (opponent) terhadap konsep negarakesejahteraan (welfare state). 8. Proses membangun atau memperkuat struktur masyarakat (komunitas) agar menjadi suatu entitas yang otonom dan bisa menyelenggarakan kehidupannya serta melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan manusia (human needs). 9. Tujuan untuk mencapai kondisi masyarakat dimana transformasi sosial-budaya, politik, ekonomi, teknologi, dapat dilaksanakan oleh masyarakat secara berkelanjutan. Ada 3 karakter umum program. 10. Berbasis masyarakat (community-base) atau masyarakat sebagai pelaku utama (subyek) dalam perencanaan dan pelaksanaan program; sumberdaya setempat (local resources-base), yaitu penciptaan kegiatan dengan melihat potensi sumberdaya (alam, manusia) yang ada; dan berkelanjutan (sustainable) yaitu program berfungsi sebagai penggerak awal pembangunan yang berkelanjutan. 11. Pembangunan yang ditujukan kepada komunitas lokal yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun LSM. Komunitas lokal dalam buku ini digambarkan sebagai komunitas di wilayah terpencil, marjinal dan „terbelakang‟. Sedangkan pembangunan diartikan sebagai pengembangan ekonomi (kesejahteraan) atau pengentasan kemiskinan. 12. Pengembangan manusia yang bertujuan untuk mengembangkan potensi dan kemampuan manusia untuk mengontrol lingkungannya. Community development merupakan usaha membantu manusia mengubah sikapnya terhadap masyarakat, membantu menumbuhkan kemampuan untuk berorganisasi, berkomunikasi dan menguasai lingkungan fisiknya. Manusia didorong untuk mampu membuat keputusan, mengambil inisiatif dan mampu berdiri sendiri. 13. Bertujuan mempengaruhi perikehidupan rakyat jelata dimana keberhasilannya tergantung sekali pada kemauan masyarakat untuk aktif bekerjasama. 14. Usaha-usaha yang menyadarkan dan menanamkan pengertian kepada masyarakat agar dapat menggunakan dengan lebih baik semua kemampuan yang dimiliki, baik alam maupun tenaga, serta menggali inisiatif setempat untuk lebih banyak melakukan kegiatan investasi dalam mencapai kesejahteraan yang lebih baik. 15. Evolusi terencana dari aspek ekonomi, sosial, lingkungan dan budaya yang ada dalam masyarakat. Dia adalah sebuah proses dimana anggota masyarakat melakukan aksi bersama dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi bersama. 16. Sebagai upaya yang terencana dan sistematis yang dilakukan oleh, untuk dan dalam masyarakat guna meningkatkan kualitas hidup penduduk dalam semua aspek kehidupannya dalam suatu kesatuan wilayah. 17. Upaya untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan dalam suatu kesatuan wilayah ini mengandung makna bahwa community development dilaksanakan dengan berwawasan lingkungan, sumberdaya manusia, sosial maupun budaya, sehingga terwujudnya community development yang berkelanjutan. 18. Sebuah proses peningkatan kualitas hidup melalui individu, keluarga dan masyarakat untuk mendapatkan kekuasaan diri dalam pengembangan potensi dan skil, wawasan dan sumber daya yang ada untuk membuat keputusan dan mengambil tindakan mengenai kesejahteraan mereka sendiri. 19. Pengembangan manusia yg tujuannya adalah untuk mengembangkan potensi dan kemampuan manusia untuk mengontrol lingkungannya. Community development adalah usaha untuk membantu manusia mengubah sikapnya terhadap masyarakat, membantu menumbuhkan kemampuan berorganisasi, berkomunikasi, dan menguasai lingkungan fisiknya. Manusia didorong untuk mampu membuat keputusan, mengambil inisiatif dan mampu berdiri sendiri. 20. Usaha-usaha yang menyadarkan dan menanamkan pengertian kepada masyarakat agar dapat menggunakan dengan lebih baik semua kemampuan yang dimiliki, baik alam maupun tenaga, serta menggali inisiatif setempat untuk lebih banyak melakukan kegiatan investasi dalam mencapai kesejahteraan yang lebih baik. 21. Metoda yang memungkinkan orang dapat meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu memperbesar pengaruhnya terhadap proses-proses yang mempengaruhi kehidupannya. 22. Proses membantu masyarakat menganalisa masalah mereka, untuk melaksanakan sebagai ukuran besar otonomi yang mungkin dan layak, dan untuk mempromosikan identifikasi yang lebih besar dari warga negara individu dan individu organisasi dengan masyarakat secara keseluruhan. 23. Sebagai suatu proses bergerak dari satu tahap ke tahap yang lain, sebuah metode untuk mencapai tujuan, sebuah prosedur program dan sebagai sebuah gerakan menyapu orang dalam emosi dan keyakinan. Tujuannya adalah a. Menimbulkan percaya kepada diri sendiri; b. Menimbulkan rasa bangga, semangat, dan gairah kerja; dan, c. Meningkatkan dinamika untuk membangun Meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 24. Suatu progam / proyek yang bertujuan untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan berdasarkan pengembangan kemandirian masyarakat melalui peningkatan kapasitas masyarakat, Partisipasi masyarakat dan kelembagaan dalam penyelenggaraan pembangunan. 25. Suatu "proses" dimana usaha-usaha atau potensi-potensi yang dimiliki masyarakat diintegrasikan dengan sumber daya yang dimiliki pemerintah, untuk memperbaiki kondisi ekonomi, sosial, dan kebudayaan, dan mengintegrasikan masyarakat di dalam konteks kehidupan berbangsa, serta memberdayakan mereka agar mampu memberikan kontribusi secara penuh untuk mencapai kemajuan pada level nasional. 26. Suatu proses "aksi sosial" dimana masyarakat mengorganiser diri mereka dalam merencanakan yang akan dikerjakan; merumuskan masalah dan kebutuhan-kebutuhan baik yang sifatnya untuk kepentingan individu maupun yang sifatnya untuk kepentingan bersama; membuat rencana-rencana tersebut didasarkan atas kepercayaan yang tinggi terhadap sumber-sumber yang dimiliki masyarakat, dan bilamana perlu dapat melengkapi dengan bantuan teknis dan material dari pemerintah dan badan-badan nonpemerintah di luar masyarakat. 27. Usaha-usaha yang terorganisasi yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat, dan memberdayakan masyarakat untuk mampu bersatu dan mengarahkan diri sendiri. Pembangunan masyarakat bekerja terutama melalui peningkatan dari organisasi-organisasi swadaya dan usaha-usaha bersama dari individu-individu di dalam masyarakat, akan tetapi biasanya dengan bantuan teknis baik dari pemerintah maupun organisasi-organisasi sukarela. 28. Lebih berkonotasi dengan pembangunan masyarakat desa sedangkan community organization identik dengan pembangunan masyarakat kota. 29. Suatu proses pembangunan yang berkesinambungan. Artinya kegiatan itu dilaksanakan secara terorganisir dan dilaksanakan tahap demi tahap dimulai dari tahap permulaan sampai pada tahap kegiatan tindak lanjut dan evaluasi - follow-up activity and evaluation. 30. bertujuan memperbaiki - to improve - kondisi ekonomi, sosial, dan kebudayaan masyarakat untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik. 31. Memfokuskan kegiatannya melalui pemberdayaan potensi- potensi yang dimiliki masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, sehingga prinsip to help the community to help themselve dapat menjadi kenyataan. 32. Memberikan penekanan pada prinsip kemandirian. Artinya partisipasi aktif dalam bentuk aksi bersama - group action - di dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dilakukan berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki masyarakat. 33. Proses penguatan masyarakat secara aktif dan berkelanjutan berdasarkan prinsip keadilan sosial, partisipasi dan kerja sasma yang setara.[1] Community development mengekspresikan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, akuntabilitas, kesempatan, pilihan , partisipasi, kerjasama, dan proses belajar keberlanjutan. 34. Suatu proses yang merupakan usaha masyarakat sendiri yang diintegrasikan dengan otoritas pemerintah guna memperbaiki kondisi sosial ekonomi dan kultural komunitas, mengintegrasikan komunitas ke dalam kehidupan nasional dan mendorong kontribusi komunitas yang lebih optimakl bagi kemajuan nasional. 35. Suatu proses dimana masyarakat yang tinggal pada lokasi tertentu mengembangkan prakarsa untuk melaksanakan suatu tindakana sosial (dengan atau tanpa intervensi) untuk mengubah situasi ekonomi, sosial, kultural dan lingkungan mereka. 36. Sebagai pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan masyarakat lingkungan dalam aspek material dan spiritual tanpa merombak keutuhan komunitas dalam proses perubahannya. Keutuhan komunitas dipandang sebagai persekutuan hidup atas sekelompok manusia dengan karakteristik: terikat pada interaksi sosial, mempunyai rasa kebersaman berdasarkan genealogis dan kepentingan bersama, bergabung dalam satu identitas tertentu, taat pada norma-norma kebersamaan, menghormati hak dan tanggung jawab berdasarkan kepentingan bersama, memiliki kohesi sosial yang kuat, dan menempati lingkungan hidup yang terbatas. 37. Salah satu model pendekatan pembangunan (bottoming up approach) merupakan upaya melibatkan peran aktif masyarakat beserta sumber daya lokal yang ada. 38. Proses dinamis yang berkelanjutan dari masyarakat untuk mewujudkan keinginan dan harapan hidup yang lebih sejahtera dengan strategi menghindari kemungkinan tersudutnya masyarakat desa sebagai penanggung ekses dari pembangunan regional atau nasional. 39. Menitikberatkan pada komunitas sebagai suatu kesatuan, mengutamakan prakarsa dan sumber daya setempat, sinergi antara sumber daya internal dan eksternal serta terintegrasinya masyarakat local dan nasional. 40. Sebagai peletakan sebuah tatanan sosial di mana manusia secara adil dan terbuka dapat melakukan usahanya sebagai perwujudan atas kemampuan dan potensi yang dimilikinya sehingga kebutuhannya (material dan spiritual) dapat terpenuhi. Community development, oleh karena itu, tidak berwujud tawaran sebuah proyek usaha kepada masyarakat, tetapi sebuah pembenahan struktur sosial yang mengedepankan keadilan. Community development pada dasarnya merencanakan dan menyiapkan suatu perubahan sosial yang berarti bagi peningkatan kualitas kehidupan manusia. 41. Suatu proses pemberian dari pihak yang memiliki sesuatu kepada pihak yang tidak memiliki. Kerangka pemahaman ini akan menjerumuskan kepada usaha-usaha yang sekadar memberikan kesenangan sesaat dan bersifat tambal sulam. Misalnya, pemberian bantuan dana segar (fresh money) kepda masyarakat hanya akan mengakibatkan hilangnya kemandirian dalam masyarakat tersebut atau timbulnya ketergantungan. Akibat yang lebih buruk adalah tumbuhnya mental “meminta”. 42. Sebuah proses pembelajaran kepada masyarakat agar mereka dapat secara mandiri melakukan upaya-upaya perbaikan kualitas kehidupannya. Menurut Soedjatmoko, ada suatu proses yang sering kali dilupakan bahwa pembangunan adalah social learning. Oleh karena itu, community development sesungguhnya merupakan sebuah proses kolektif di mana kehidupan berkeluarga, bertetangga, dan bernegara tidak sekadar menyiapkan penyesuaian-penyesuaian terhadap perubahan sosial yang mereka lalui, tetapi secara aktif mengarahkan peubahan tersebut pada terpenuhinya kebutuhan bersama. II. PENDEKATAN COMMUNITY DEVELOPMENT Kita juga menemukan beragam teori community development sesuai pendekatan atau perspektif yang dianut. Secara umum ada beberapa pendekatan dalam community development, diantaranya adalah: 1. Pendekatan potensi lingkungan, hal ini berkaitan dengan daya dukung lingkungan yang ada pada masyarakat setempat. 2. Pendekatan Kewilayahan, hal ini berkaitan dengan pengembangan terhadap wilayah dalam arti kesesuaian dengan wilayahnya (desa/kota) terhadap hal yang akan dikembangkan. 3. Pendekatan kondisi fisik, lebih pada kondisi fisik manusianya. 4. Pendekatan ekonomi, hal ini berkaitan dengan peningkatan pendapatan masyarakat. 5. Pendekatan politik. 6. Pendekatan Manajemen, Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan pndataan terhadap potensi, kekuatan dan kelemahan yang ada dalam masyarakat kemudian dilakukan dengan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, bugeting dan controlling. Model pendekatan ini sebenarnya dapat dilakukan dalam masyarakat yang bermacam-macam (pedesaan,perkotaan, marjinal, dan lain-lain). 7. Pendekatan sistem, Pendekatan ini melibatkan semua unsur dalam masyarakat. Namun beberapa pendekatan lain yang akan diuraikan di bawah ini sebaga9i berikut: 1. Pendekatan Lingkungan Yakni membentuk pendekatan yang lebih holistik pada konsep Community development (Community Development) karena menyumbangkan pemahaman sistemik (ekosistem) terhadap fenomena alam dan fenomena sosial. Selain itu, perpektif lingkungan juga mengkritik pendekatan ekonomi (growth economic approach) terhadap sumberdaya alam sebagai salahsatu sumber pemenuhan kebutuhan manusia. Persoalan lingkungan dianggap sebagai konsekuensi dari tatanan sosial-ekonomi-politik yang tidak menggunakan prinsip keberlanjutan sehingga untuk mengatasi krisis lingkungan, sistem social ekonomi-politik itulah yang harus dirubah. 2. Pendekatan Berbasis Aset Yakni memasukkan cara pandang baru yang lebih holistik dan kreatif dalam melihat realitas, seperti melihat gelas setengah penuh; mengapresiasi apa yang bekerja dengan baik di masa lampau, dan menggunakan apa yang kita miliki untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Pendekatan ini lebih memilih cara pandang bahwa suatu masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dapat diberdayakan. Asset adalah segala sesuatu yang berharga, bernilai sebagai kekayaan atau perbendaharaan. Segala yang bernilai tersebut memiliki guna untuk memenuhi kebutuhan. Pendekatan berbasis aset membantu komunitas melihat kenyataan mereka dan kemungkinan perubahan secara berbeda. Mempromosikan perubahan fokus pada apa yang ingin mereka capai dan membantu mereka menemukan cara baru dan kreatif untuk mewujudkan visi mereka. Terdapat lima dimensi dalam pendekatanini, yakni: a. Aset fisik Yaitu sumberdaya yang bersifat fisik biasanya lebih dikenal dengan sumberdaya alam.. Potensi ini tentu saja masih bisa dikembangkan jika masyarakat secara sadar tahu akan pentingnya pengembangan wilayah . b. Aset ekonomi (financial asset) Yaitu segala apa saja yang berupa kepemilikan masyarakat terkait dengan keuangan dan pembiayaan, atau apa saja yang menjadi milik masyarakat terkait dengan kelangsungan hidup dan penghidupanya. c. Aset Lingkungan Yaitu segala sesuatu yang mengelilingi atau melingkupi masyarakat yang bersifat fisik maupun nonfisik. d. Aset manusia Yaitu potensi yang terkandung dalam diri manusia untuk mewujudkan perananya sebagai makhluk sosial. Dalam hal ini ketrampilan mereka bisa menjadi asset penting sebagai upaya peningkatan kesejahteraan . Potensi jumlah penduduk yang besar juga menjadi asset tersendiri dalam. pengembangan . e. Aset sosial Yaitu segala hal yang berkenan dengan kehidupan bersama masyarakat, baik potensi-potensi yang terkait dengan proses sosial maupun realitas yang sudah ada. Pendekatan berbasis aset mencari cara bagi individu dan seluruh komunitas berkontribusi pada pengembangan mereka sendiri dengan : a. Menggali dan memobilisasi kapasitas dan aset mereka sendiri. b. Menguatkan kemampuan sendiri untuk mengelola proses perubahan dengan memodifikasi dan memperbaiki struktur organisasi yang ada. c. Mendorong mereka yang menginginkan perubahan untuk secara jelas mengartikulasi mimpi atau memvisualisasikan perubahan yang ingin mereka lihat dan memahami bagaimana mereka bisa mencapainya. 3. Pendekatan Sustainable Livelihood Pendekatan Sustainable Livelihood (PSL) adalah cara berpikir dan bekerja untuk pembangunan yang berkembang secara evolusi dan dalam tujuan untuk mengefektifkan segala usaha-usaha mengakhiri kemiskinan. Livelihood akan berkelanjutan (sustainable) jika penghidupan yang ada memampukan orang untuk menghadapi dan pulih dari tekanan dan guncangan, memampukan orang untuk mengelola dan menguatkan kemampuan (capabilities) dan kepemilikan sumber daya (assets) untuk kesejahteraannya saat ini (sekarang) maupun kehidupan dimasa mendatang, serta tidak menurunkan kualitas sumber daya alam yang ada. a. People-centred Pendekatan Sustainable Livelihood menempatkan masyarakat sebagai pusat pembangunan. Fokus pada masyarakat ini sama pentingnya baik pada tingkat yang lebih tinggi (ketika membahas pencapaian tujuan-tujuan seperti pengentasan kemiskinan, pembaruan ekonomi atau pembangunan yang berkelanjutan) maupun pada tingkat mikro atau masyarakat (di mana dalam beberapa kasus pendekatan ini sudah jamak digunakan). b. Holistik Pendekatan Sustainable Livelihood berusaha mengidentifikasi hambatan-hambatan paling besar yang dihadapi oleh, dan peluang-peluang yang paling menjanjikan dan terbuka bagi, masyarakat, terlepas dari mana asalnya (misalnya di sektor mana, pada wilayah mana atau tingkat apa, dari lokal sampai internasional). Pendekatan ini dibangun di atas pengertian atau definisi masyarakat sendiri mengenai hambatan dan peluang tersebut dan, bila memungkinkan, pendekatan ini selanjutnya bisa membantu masyarakat membicarakan/menyadari hambatan dan peluang tersebut. c. Dinamis Sebagaimana livelihoods masyarakat dan faktor kelembagaan dan struktur yang membentuk atau mengkondisikannya adalah sangat dinamis, demikian pula halnya dengan pendekatan ini. Pendekatan ini berusaha memahami dan belajar dari perubahan sehingga bisa mendukung pola-pola perubahan yang positif dan membantu menghilangkan pola-pola yang negatif. d. Membangun kekuatan dan kapasitas lokal Prinsip penting dari pendekatan ini adalah mulai dengan analisis kekuatan dan kapasitas lokal, bukannya kebutuhan yang perlu disuplai dari luar. Ini tidak berarti bahwa pendekatan ini meletakkan fokus yang tidak semestinya pada anggota masyarakat yang bernasib lebih baik. Sebaliknya, pendekatan ini menyiratkan pengakuan akan potensi yang melekat pada semua orang, apakah potensi itu berasal dari jaringan kerja sosial mereka yang kuat, akses mereka pada sumberdaya dan prasarana fisik, kemampuan mereka untuk mempengaruhi lembaga-lembaga kunci maupun faktor lain yang berpotensi mengurangi kemiskinan. e. Hubungan makro-mikro Kegiatan pembangunan cenderung menfokuskan pada tingkat makro atau mikro saja. Pendekatan Sustainable Livelihood berusaha menjembatani kesenjangan ini, menekankan pentingnya kebijakan dan institusi tingkat makro bagi pilihan hidup dan penghidupan masyarakat dan perorangan. Pendekatan ini juga menekankan perlunya pengembangan dan perencanaan kebijakan tingkat tinggi yang berasal dari pelajaran-pelajaran dan pemahaman yang diperoleh pada tingkat lokal. f. Keberlanjutan Meskipun kita sering mendengar dan menggunakan istilah “pendekatan livelihoods” (yaitu menghapuskan kata “sustainable”), ide keberlanjutan adalah kunci bagi pendekatan ini. Ide ini tidak boleh diabaikan atau dikesampingkan. 4. Pendekatan Appreciative Inquiry Appreciative Inquiry adalah sebuah filosofi perubahan positif dengan pendekatan siklus 5-D, yang telah sukses digunakan dalam proyek-proyek perubahan skala kecil dan besar, oleh ribuan organisasi di seluruh dunia. Dasar pendekatan Appreciative Inquiry adalah sebuah gagasan sederhana, yaitu bahwa organisasi akan bergerak menuju apa yang mereka pertanyakan. Appreciative Inquiry merupakan pencarian evolusioner bersama dan kooperatif untuk menemukan yang terbaik dari diri seseorang, organisasinya, dan dunia di sekelilingnya. Appreciative Inquiry meliputi penemuan tentang apa yang membentuk „kehidupan‟ dalam sebuah sistem yang hidup, yaitu saat sistem itu paling efektif, secara konstruktif berkemampuan secara ekonomi, ekologi dan sebagai manusia. 5. Pendekatan Kelembagaan Setiap usaha yang dilakukan diatas baik itu pendekatan berbasis aset, suistainable livelihood, dan pendekatan apresiatif inquiry, kesemuanya membutuhkan perencanaan dan pengorganisasian yang cermat. walaupun pendekatan ini membutuhkan waktu guna menghasilkan pendekatan yang lebih efektif. Dalam rangka mempermudah proses pendekatan yang dilakukan, pendekatan kelembagaan menjadi hal yang perlu dilakukan. 5. Pendekatan Program Pendekatan program ini menunjukkan 3 (tiga ) jenis program dalam usaha community development, yaitu: a. Program integratif. Memerlukan pengembangan melalui koordinasi dinas-dinas teknis, menyediakan bantuan teknis dan finansial secara besar-besaran dan melibatkan pejabat-pejabat tiap tingkatan pemerintah (pusat-desa). Misalnya adalah program ABAT (Aku Bangga Aku Tahu) yang dibuat oleh kementerian kesehatan untuk mengatasi permasalahan HIV/AIDS yang makin banyak terjadi pada remaja. b. Program adaptif. Fungsi community development cukup ditugaskan pada salah satu kementerian. c. Program proyek. Dalam bentuk usaha-usaha terbatas pada wilayah tertentu dan program disesuaikan khusus pada daerah yang bersangkutan. Misalnya: kabupaten Banjarnegara merupakan salah satu daerah endemis malaria, maka dalam rangka mencegah semakin meluasnya endemis dan mengurangi penderita malaria pemerintah atau dinas kesehatan setempat membuat sebuah program pemberantasan malaria khusus untuk wilayah endemis malaria di Banjarnegara. III. TAHAPAN PENYELENGGARAAN COMMUNITY DEVELOPMENT: Penyelenggaraan Community Development dapat dilakukan dengan mengikuti tahapan. Pertama, Perumusan Deskripsi Potensi/Kekuatan dan Kendala/Tantangan. Kedua, Penetapan Sasaran Jangka Pendek, Menengah dan Panjang Strategis. Ketiga, setelah dapat diidentifikasi dan disepakati sebagai prioritas yang perlu segera ditangani, maka dirumuskanlah program penanganan masalah sesuai sasaran. Agar program dapat dilaksanakan dengan baik dan keberhasilannya dapat diukur perlu dirumuskan apa sasaran dari program yang telah ditetapkan. Tujuan yang baik memiliki karakteristik jelas dan spesifik sehingga tercermin bagaimana cara mencapai sasaran tersebut sesuai dengan dana, waktu dan tenaga yang tersedia. Keempat. penentuan komponen strategis terutama kelompok sasaran, yakni sejumlah orang akan ditingkatkan kualitas hidup melalui program telah ditetapkan. Juga Identifikasi sumber dan tenaga pelaksana sebagai komponen strategis. Sumber adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menunjang program kegiatan, termasuk didalamnya adalah sarana, sumber dana, dan sumber daya manusia. Kelima, Monitoring dan Evaluasi (Monev), dilakukan untuk memantau proses dan hasil pelaksanaan program. Apakah program dapat dilaksanakan sesuai dengan strategi dan jadwal kegiatan? Apakah program sudah mencapai hasil sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan? suatu kegiatanindikator keberhasilan.

Senin, 14 September 2015

KEBUTUHAN PERUMAHAN, BACKLOG, SEJUTA RUMAH DAN SOLUSI PENYEDIAAN TANAH

I. KEBUTUHAN PERUMAHAN: Mengacu pada UUD 1945, setiap warga Negara Indonesia harus mendapatkan tempat tinggal atau rumah layak huni. Hal ini sebagai manifestasi penegakan prinsip Hak-Hak Azasi Manusia (HAM). Negara wajib dan harus bertanggungjawab menyediakan rumah layak huni bagi rakyat Indonesia. Tidak boleh ada satupun keluarga warga Negara Indonesia yang tidak memiliki rumah layak huni. Ini suatu prinsip HAM. Namun dalam kenyataannya, Negara masih belum mampu dan jauh dapat memenuhi dan melaksanakan kewajiban untuk menyediakan rumah layak huni bagi rakyat Indonesia. Kebutuhan rumah yang terus meningkat di setiap tahun simultan dengan kebutuhan tanah di mana rumah berdiri. Di sisi lain, keterbatasan lahan dalam memenuhi kebutuhan tanah untuk perumahan terus menjadi masalah yang memerlukan penanganan secara konprehensif. Kebutuhan akan perumahan hingga tahun 2025 diperkirakan mencapai lebih dari 30 juta unit, sehingga kebutuhan rumah baru diperkirakan mencapai 1.2 juta unit per tahun. Akibat ketimpangan pertumbuhan penduduk berdampak pada kebutuhan akan hunian dibandingkan dengan ketersediaan rumah layak, diperkirakan backlog di bidang perumahan mengalami peningkatan dari 5.8 juta unit (pada tahun 2004) menjadi 7.4 juta unit (pada tahun 2009), sementara itu pertumbuhan keluarga baru setiap tahun sekitar 700.000 keluarga. Disamping itu, terindikasi pada tahun 2009 terdapat 4.8 juta unit rumah dalam kondisi rusak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 mengenai angka backlog perumahan sebanyak 13,6 juta terus menjadi acuan. Angka ini bertambah 800 ribu unit per tahun, dan akan terus bertambah apabila Pemerintah tidak segera menemukan solusi. Hasil proyeksi menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia selama dua puluh lima tahun mendatang terus meningkat yaitu dari 205,1 juta pada tahun 2000 menjadi 273,2 juta pada tahun 2025. Walaupun demikian, pertumbuhan rata-rata per tahun penduduk Indonesia selama periode 2000-2025 menunjukkan kecenderungan terus menurun. Dalam dekade 1990-2000, penduduk Indonesia bertambah dengan kecepatan 1,49 persen per tahun, kemudian antara periode 2000-2005 dan 2020-2025 turun menjadi 1,34 persen dan 0,92 persen per tahun. Turun laju pertumbuhan ini ditentukan oleh turun tingkat kelahiran dan kematian, namun penurunan karena kelahiran lebih cepat daripada penurunan karena kematian. Crude Birth Rate (CBR) turun dari sekitar 21 per 1000 penduduk pada awal proyeksi menjadi 15 per 1000 penduduk pada akhir periode proyeksi, sedangkan Crude Death Rate (CDR) tetap sebesar 7 per 1000 penduduk dalam kurun waktu sama. Salah satu ciri penduduk Indonesia adalah persebaran antar pulau dan Propinsi tidak merata. Sejak 1930, sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa, padahal luas pulau itu kurang dari tujuh persen dari luas total wilayah daratan Indonesia. Namun secara perlahan persentase penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa terus menurun dari sekitar 59,1% pada 2000 menjadi 55,4% pada 2025. Sebaliknya persentase penduduk tinggal di pulau pulau lain meningkat seperti, Pulau Sumatera naik dari 20,7% menjadi 22,7%, Kalimantan naik dari 5,5 persen menjadi 6,5% pada periode sama. Selain pertumbuhan alami di pulau-pulau tersebut memang lebih tinggi dari pertumbuhan alami di Jawa, faktor arus perpindahan mulai menyebar ke pulau-pulau tersebut juga menentukan distribusi penduduk. II. BACKLOG PERUMAHAN: Data mengenai backlog Perumahan pada tahun 2011 telah mencapai 13,6 juta, pertumbuhan dari tahun 2004 sampai 2011 rata-rata 14,19% artinya Jumlah rumah harus disediakan pertahun antara 225.000 unit sampai lebih dari 1 juta unit. Sumber BPS menunjukkan backlog sebagai berikut: 5.800.000 (2004); 6.150.00 (2005); 6.500.000 (2006); 6.725.000 (2007); 6.950.000 (2008); 7.400.000 (2009); 8.600.000 (2010); dan, 13.600.000 (2011). Sementara itu, mengacu pada Kemenpupr, kekurangan rumah (backlog) pada 2014 berdasarkan konsep kepemilikan mencapai 13, 5 juta unit. Adapun kekurangan rumah berdasarkan konsep penghunian 2014 sebanyak 7,6 juta unit. Kebutuhan hunian setiap tahun diperkirakan bertambah sekitar 800.000 unit. Kebutuhan hunian terus tumbuh seiring pertambahan dan pertumbuhan penduduk. Dalam kenyataannya, Pemerintah mengalami kesulitan untuk menyediakan hunian atau rumah terjangkau bagi MBR. Masalah utama penyediaan rumah adalah persoalan ketersediaan dan pemanfaatan tanah. Salah satu alasannya adalah harga tanah semakin mahal. Di pihak lain, Pemerintah tidak bisa mengendalikan peningkatan harga tanah tersebut. Bahkan, Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki kendala dan hambatan dalam pengadaan tanah. Pemda mengalami kesulitan dalam mengontrol harga tanah, sekalipun telah mengeluarkan patokan harga tanah melalui nilai jual obyek tanah (NJOP) di setiap daerah. Namun, langkah itu belum bisa mengikuti harga pasar jauh lebih cepat. Peraturan yang ada belum cukup mengendalikan kenaikan harga tanah saat ini kian tidak terkendali. Intervensi Pemerintah melalui regulasi belumlah maksimal. Perlu ada lembaga untuk melakukan hal itu karena harga tanah tidak pernah turun, sedangkan harga material bangunan masih naik-turun. III.PROGRAM SATU JUTA RUMAH UNTUK RAKYAT: Untuk memenuhi visi pembangunan dalam rangka penyelenggaran perumahan rakyat yaitu “setiap keluarga menempati rumah yang layak huni”. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015 – 2019 telah menetapkan arah kebijakan dan strategi untuk mengatasi kesulitan Masyarakat Berpengahsilan Rendah (MBR) dalam penyediaan hunian layak, aman, dan terjangkau serta didukung oleh penyediaan prasarana, sarana dan utilitas (PSU) yang memadai. Arah kebijakan dan strategi dimaksud antara lain: peningkatan peran fasilitasi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam menyediakan hunian baru (sewa/milik) dan peningkatan kualitas hunian. Penyediaan hunian baru (sewa/milik) dilakukan melalui pengembangan system pembiayaan perumahan nasional yang efektif dan efisien termasuk pengembangan subsidi uang muka, kredit mikro perumahan swadaya, bantuan stimulan, memperluas program Fasilitas Lukuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), serta integrasi tabungan perumahan dalam system jaminan sosial nasional. Sementara peningkatan kualitas hunian dilakukan melalui penyediaan PSU, pembangunan kampung deret, serta bantuan stimulan dan/atau kredit mikro perbaikan rumah termasuk penanganan permukiman kumuh yang berbasis komunitas. Menurut Menteri PUPR, Basuki Hadimoeljono, pada tahap pertama ini dibangunan 103.135 rumah dari total 331.693 rumah yang akan menggunakan anggaran Pemerintah. Salah satu masalah utama dihadapi untuk perumahan MBR Dalam upaya memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR, Pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan baru supaya MBR bisa mudah mendapatkan rumah. Salah satu kebijakan Pemerintah dimaksud yakni program pembangunan 1 (satu) juta rumah untuk rakyat. Salah satu kendala dan tantangan untuk pelaksanaan program Satu Juta Rumah Untuk Rakyat ini adalah penyediaan dan pemanfaatan tanah. Tanah tidak berada di bawah penguasaan/control Kemenpupr, tapi berada di bawah Pemda. Namu, Pemda memiliki kendala dan hambatan dalam pengadaan tanah. Tanggung jawab menyediakan tanah dalam perspektif UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman berada di tangan Pemda. Kalau pemecahan atas permasalahan pengadaan tanah ini diserahkan kepada Pemda, memang sangat terbatas kemampuan Pemda Kabupaten/Kota untuk menyediakan tanah. Pemda tidak mempunyai anggaran untuk melakukan penyediaan tanah karena habis untuk pembiayaan rutin seperti gaji pegawai. Tidak ada anggaran untuk belanja modal dan APBD sangat rendah untuk penyediaan tanah. Harus ada bantuan dari Pemerintah terhadap Pemda untuk memecahkan permasalahan penyediaan tanah ini. Pemda harus dibantu supaya memiliki kemampuan dalam penyediaan tanah. IV. SOLUSI PENYEDIAAN TANAH: Beberapa solusi dapat diambil untuk solusi penyediaan tanah yakni: 1. Pembentukan Badan Layanan Umum Daerah bidang Perumahan (BLUD). BLUD ini diharapkan dapat mengelola dana dari APBD dan obligasi daerah untuk keperluan penyelenggaraan rumah MBR. Karena Daerah-daerah bertanggungjawab atas penyelenggaraan tanah untuk rumah MBR, harus didorong Daerah-daerah untuk mendirikan BLUD untuk pembangunan perumahan dan permukiman bagi MBR. BLUD ini akan mengelola asset-aset untuk pemberdayaan dan perkuatan pembangunan perumahan bagi MBR. Pemerintah membantu dan mendorong Pemda untuk membentuk BLUD bidang perumahan. Di Pusat telah terbentuk Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Perumahan (BLU PPP) Kemenpupr. BLU PPP ini bahkan telah mengadakan penandatangan Perjanjian Kerjasama Operasional (PKO) tentang Penyaluran Dana FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) dalam rangka Pengadaan Perumahan melalui Kredit/Pembiayaan pemilikan rumah sejahtera (Tapak dan Susun) dengan Bank Bukopin dan Bank BTN Konvensional dan Bank BTN Syariah. BLU PPP ini juga mengelola dana FLPP dari APBN untuk program rumah MBR. 2. Pemerintah tengah menyiapkan Perum Perumnas untuk berfungsi sebagai perpanjangan tangan Pemerintah untuk menyediakan rumah MBR melalui penguasaan tanah. Hal ini sesungguhnya pernah dilakukan pada masa lalu. Menurut Sumber Pemerintah, saat ini revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2004 tentang Perum Perumnas diusulkan mendapat penugasan khusus, tetapi juga sebagai pengelola perumahan. Berdasarkan revisi ini, kemungkinan, tanah-tanah yang “idle” milik Pemerintah akan diserahkan kepada Perum Perumnas. Perum Perumnas nampaknya kembali diberbadayakan dan mendapat dukungan penuh oleh Pemerintah. 3. Melibatkan sektor swasta dalam perspektif Public-Private Partnership (PPP). Diharapkan, sektor swasta bersedia menyediakan tanah bagi penydiaan rumah MBR. Juga membangun kemitraan dengan badan secara hukum dan keberadaan di masyarakat diakui (kelembagaan dapat yayasan, wakaf, perkumpulan berbadan hukum dan lain). Tanah dimiliki oleh masyarakat dicari model kemitraan, termasuk tanah selama ini terlantar/HGU bisa diajukan untuk pembangunan perumahan MBR. 4. Memfasilitasi Pemda agar bisa membiayai pengadaan tanah melalui bantuan likuiditas seperti FLPP dan juga BLUD memiliki dana dan berfungsi memfasilitasi Pemda agar bisa membiayai penyediaan tanah. 5. Melembagakan Obligasi di Daerah-daerah untuk membantu Pemda sehingga setiap Daerah mempunyai penambahan pembiayaan tanah dan untuk pembiayaan suku bunga. Obligasi adalah Surat Berharga Daerah dijual ke masyarakat (WNI) berdasarkan jaminan tanah dimiliki. Pemerintah perlu memberi bantuan teknis pendampingan Pemda membuat obligasi. Dana obligasi bisa digunakan untuk bangunan, PSU, atau subsidi. Potensi obligasi daerah harus digali sehinga Pemda bersangkutan mempunyai penambahan pembiayaan untuk pengadaan tanah dan pembiayaan fasilitas suku bunga bisa dijangkau. Pemerintah dalam hal ini Kemenpera harus segera membuat kebijakan matang tentang obligasi Daerah dalam perspektif UU No. 1 tahun 2011 bahwa Daerah wajib menangani urusan perumahan bagi Warga Negara Indonesia. Dana obligasi sebaliknya dikelola oleh BLUD. 6. Mempercepat pelaksanan land banking. Mengacu UU No. 1 tahun 2011, khusus Bab IX, “land banking” merupakan suatu keharusan, terutama diawali dengan tanah tidak termanfaatkan secara baik oleh Negara atau lembaga-lembaga lain melalui suatu proses konslidasi. Pemerintah dapat menugasi Perum Perumnas atau membentuk Badan Konsolidasi Tanah untuk pengadaan tanah termasuk untuk penyelenggaraan rumah murah. 7. Pemerintah membuat politik anggaran untuk konsolidasi tanah di dalam APBN, di samping tetap meningkatkan APBN, baik melalui mekanisme FLPP atau tidak, untuk subsidi bunga dan subsidi uang muka. 8. Pemerintah membantu Daerah untuk penyiapan tanah matang dengan mengalokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK). Tanah matang adalah tanah mentah disediakan Pemda bisa dimatangkan dalam arti dilengkapi dengan prasarana dan sarana. Perlu ada kewajiban dari sekian Ha tanah dimatangkan dari alokasi DAK, untuk peruntukan rumah murah. 9. Kemepupr berupaya memastikan telah tersedia lahan dalam penyelenggaraan rumah MBR sebelum dilaksanakan alokasi program dan fasilitas ke Daerah bersangkutan. Selama ini pendekatan digunakan adalah Pemerintah mempunyai banyak program dan fasilitas tetapi tidak menguasai lahan dan menyerahkan pengadaan lahan kepada Pemda. Pendekatan ini harus dibalik, yakni justru kepastian penyediaan lahan menjadi prasyarat, baru kemudian bisa mengalokasikan program-program ke Daerah. 10. Fasilitasi kerjasama pemanfaatan tanah untuk pembangunan perumahan bagi MBR, termasuk perumahan umum. Lebih detailnya, akan diuraikan di bagian di bawah ini. V. PENUTUP: 1. Kekurangan rumah (backlog) pada 2014 berdasarkan konsep kepemilikan mencapai 13, 5 juta unit. Adapun kekurangan rumah berdasarkan konsep penghunian 2014 sebanyak 7,6 juta unit. Kebutuhan hunian terus tumbuh seiring pertambahan dan pertumbuhan penduduk. 2. Dalam upaya memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR, Pemerintah yang dimotori Kemenpupr mengeluarkan suatu kebijakan tentang “program pembangunan 1 (satu) juta untuk rakyat”. 3. Pemerintah mengalami persoalan ketersediaan dan pemanfaatan tanah. Salah satu alasannya adalah harga tanah semakin mahal. Di pihak lain, Pemerintah tidak bisa mengendalikan peningkatan harga tanah tersebut. 4. Berbagai solusi telah diambil oleh Pemerintah untuk memecahkan persoalan ketersediaan dan pemanfaatan tanah dimaksud.Salah satunya adalah program fasilitasi kerjasama pemanfaatan tanah untuk pembangunan perumahan umum.

Jumat, 11 September 2015

REFLEKSI DAN PROSPEK POLITIK INDONESIA PASCA SETAHUN REZIM JOKOWI-JK

I. PENGANTAR: Tim Pelaksana menyelenggarakan Forum Diskusi berthema “ Memotret Krisis Indonesia”, di Hotel Gren Alia Cikin, Jakarta, 10 September 2015. Tim Pelaksana meminta saya untuk menjadi “Peserta Aktif” dalam forum diskusi ini. Atas pertimbangan kelancaran komunikasi pemikiran saya terkait dengan thema di atas, maka saya berupaya untuk menyusun Makalah bertopik ”Refleksi dan Prosek Politik Indonesia Pasca Setahun Rezim Jokowi-JK”. Sebagai suatu refleksi, terdapat sejumlah issue politik aktual di Indonesia, setahun terakhir ini. Beberapa issue politik dimaksud, yakni: 1. Penguasaan Asing (asingnisasi) atas Investasi dan Kapital di dalam negeri. 2. Semakin meningkatnya baik kualitas maupun kuantitas tindak pidana korupsi pejabat pemerintahan/Negara. 3. Semakin terjadinya kesenjangan antara kelompok masyarakat kaya dan miskin. 4. Persepsi dan sikap anti ras Cina di kalangan masyarakat klas menengah dan atas pribumi. 5. Negara telah gagal menjalankan tugas dan fungsi (Failed State). 6. Amandemen Kembali UUD 1945 dan Kembali ke UUD 1945 Asli. 7. Kecenderungan parpolisasi bidang pemerintahan, dunia usaha dan masyarakat madani (civil society). Makalah ini mencoba merefleksikan kecenderungan (issue) aktual setahun Rezim Jokowi-JK, yakni “kecenderungan Parpolisasi bidang pemerintahan, masyarakat madani dan dunia usaha”. Salah satu karakteristik Parpolisasi adalah kultur “transaksionalisme” dan “korupsi” di kalangan kader Parpol baik di tingkat Pemerintah, Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten dan Kota), DPR RI dan DPRD (Provinsi, Kabupaten dan Kota). Setelah merfleksikan kecenderungan aktual dimaksud, makalah ini memperkirakan kecenderungan ini semakin “membesar” dan “menguat” sehingga semakin membawa permasalahan politik ekonomi ke dalam “kegelapan” dan rakyat kebanyakan kian terperosok ke dalam lembah kemiskinan, penangguran dan keterbelakangan. II. BIDANG PEMERINTAHAN, DUNIA USAHA DAN MASYARAKAT MADANI: Sejak perjuangan “kekuatan reformasi” berhasil meruntuhkan “kekuataan Rezim Orde Baru”, rakyat Indonesia memilih untuk mengembangkan kehidupan demokrasi sesuai dengan pengalaman Negara-negara industri maju Barat. Secara akademis, demokrasi menurut pengalaman Barat tersebut membagi kehidupan rakyat dalam suatu Negara terdiri dari tiga komponen/bidang: 1. Pemerintahan/Negara 2. Dunia usaha/pelaku usaha 3. Masyarakat madani ( civil society) Terdapat diferensiasi dan spesialisasi fungsi. Pemerintahan/Negara bermakna lembaga-lembaga Negara seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif. Untuk Indonesia, lembaga eksekutif seperti Pemerintah (Pusat), Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Lembaga legislatif seperti MPR, DPD, DPR-RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Lembaga Yudikatif seperti MA, Pengadailan Negeri dan Tinggi. Terdapat juga lembaga-lembaga Negara khusus seperti BPK, KPK, KY, KPU, dll. Kondisi kehidupan rakyat Indonesia setahun Rezim Jokowi-JK dapat direfleksikan, tidak terdapat diferensiasi dan spesialisasi fungsi masing-masing komponen/bidang. Masalahnya, rakyat Indonesia telah memilih jalan ke demokrasi berdasarkan pengalaman masyarakat industri maju Barat, bukan Islam, bukan sosialis komunis, bukan fasis, bukan totaliter diktator, bukan juga militeristik. Dapat direfleksikan, negara diperlemah, kekuatan/pelaku usaha telah masuk ke bidang pemerintahan; manusia politisi pemerintahan masuk ke dunia usaha; aktor masyarakat madani misalnya Mantan Ketua organisasi masyarakat (Ormas) Islam, masuk ke bidang pemerintahan, dan manusia pemerintahan dan juga pelaku usaha masuk ke ormas madani. 'Ideologi' yg diberlakukan 'ideologi sinkretisme'. Hal ini diperkuat lagi oleh budaya politik Jawa, yang dibawa oleh politisi Jawa ke dalam pemerintahan/negara. Sebelum menjadi politisi dan penguasa negara, gaya hidup mereka sederhana, jujur dan mengesankan dekat dengan rakyat atau umat. Tetapi, setelah menjadi penguasa Negara, mereka mengutamakan sanak famili untuk berkuasa (Nepotisme) walau melanggar ketentuan2 yang dibuat sendiri. Bersamaan itu, mereka yang tadinya sederhana, membeli tanah dan property sebanyak mungkin sebagai 'simbol' dan 'status' keberhasilan di mata masyarakat madani. Di lain fihak, pelaku usaha dan aktor masyarakat madani memasuki bidang pemerintahan dengan kendaraan Parpol yang membutuhkan dana sangat besar untuk bisa terbentuk, berlanjut dan bertarung dalam Pemilu, Pilpres dan Pilkada. Jelas fenomena negatif ini semakin menguat di era reformasi, dan akan terus menyingkirkan, menjerumuskan, membawa rakyat kebanyakan terperosok dalam lembah kemiskinan, pengangguran dan keterbelakangan. Cita-cita pembentukan negara RI, menjadi tidak relevan, dan hanya utopia atau ilusi belaka dan sebagai 'bunga-bunga' waktu acara peringatan 17 Agustus. Bahkan, belakangan ini sejumlah pengamat menggugat keberadaan dan kiprah saudagar atau pelaku usaha/bisnis dalam bidang pemerintahan. Ada asumsi bahwa pelaku usaha dalam bidng pemerintahan hanya mementingkan usaha dan ekonomi dirinya, bukan rakyat, dan membawa kultur transaksionalisme. Kondisi rakyat semacam ini tidak terlepas dari terdapatnya kecenderungan Parpolisasi bidang pemerintahan/Negara, dunia usaha dan masyarakat madani. III. KECENDERUNGAN PARPOLISASI: Setelah Amandemen UUD 1945 dan perubahan tugas dan fungsi Parpol (Partai Politik) serta dihapusnya Dwi Fungsi ABRI di era reformasi, terdapat kecenderungan semakin meingkatnya peran Parpol dan para Kader Parpol dalam berbagai bidang kehidupan rakyat, yakni pemerintahan/Negara, masyarakat madani dan dunia usaha. Kecenderungan Parpolisasi dimaksud ditandai antara lain: 1. Semakin Meningkatnya Peran Parpol Semangkin meningkatnya peran Parpol dalam berbagai bidang kehidupan, baik dalam pemerintahan/negara, dunia usaha/perekonomian dan kehidupan masyarakat madani. 2. Penentu Kebijakan Negara di Luar Struktur Negara: Penentu kebijakan negara berada di pimpinan Parpol di luar struktur Negara/pemerintahan, bukan di dalam struktur Negara itu sendiri. Ada struktur di luar struktur menentukan struktur bersangkutan. 3. Pemilihan Langsung Biaya Tinggi: Pemilihan Presiden, Gubernur,Walikota/Bupati dikembalikan model pemilihan oleh legislatif, bukan pemilihan langsung oleh rakyat membutuhkan biaya tinggi sehingga tidak memberi kesempatan SDM memiliki “kompetensi” dalam urusan Negara dan rakyat. Kompetensi dalam pengertian kreteria pengetahuan akademis; pengalaman atau unjuk kerja; dan, “integritas” dan kepemimpinan peribadi. Pada umumnya SDM memiliki kompetensi tidak memiliki dana untuk melaksanakan mempromosikan dan mengkampanyekan dirinya. Diberlakukannya Pilkada langsung merupakan distorsi pelaksanaan otonomi daerah. Padahal Pilkada Langsung tidak termasuk dalam konsep awal otonomi daerah. Pilkada langsung muncul setelah revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Tanpa kajian yang cukup, tanpa sosialisasi, tiba-tiba diberlakukan Pilkada langsung. Rujukannya hanya Pilpres yang baru beberapa bulan terjadi. Keputusan Pilkada langsung ini menyebabkan ratusan Kepala Daerah korupsi. Untuk menjadi Kepala Daerah, mesti bayar ke parol, kampanye dan segala macam. Pilkada langsung membuat rakyat bisa dibeli Rp. 5.000, Rp. 100.000 juga Rp. 200.000. Akhirnya kita dapat gubernur, bupati dan waliota masuk penjara. Harus kembali ke DPRD dulu yang memilih, sampai rakyat benar-benar siap. 4. Bantuan Korporasi (Dunia Usaha) dalam Pemilihan Langsung: Sesuai UUD 1945, mekanisme penetapan calon presiden dan wakil oleh Parpol. Hal ini menyebabkan Parpol memiliki peranan utama untuk menjadikan sesorang sebagai Calon Presiden atau Wakil Presiden. Dengan model pemilihan secara langsung, maka dibutuhkan biaya sangat besar (high cost) untuk mempromosikan dan mengkampanyekan Calon tersebut kepada segmen pemilih. Karena Parpol dan sang Calon tidak memiliki dana cukup dan memadani untuk kegiatan promosi dan kampanye, maka Parpol atau kumpulan Parpol mencari bantuan dana dari korporasi lokal, nasional bahkan internasional dunia usaha) dan pada gilirannya terjadi hubungan transaksional antara Calon Presiden dan Wakil, kumpulan Parpol pengusung dan para Korporet. Hubungan semacam ini membuka ruang bagi para Korporet membeli keputusan politik atau kebijakan Pemerintah di kemudian hari. Ada semacam “balas budi” terhadap para Korporet tersebut. Pada gilirannya penguasa Negara menghamba kepada Korporet. 5. Fraksi sebagai Komponen Kendali Parpol: Parpol mengendalikan keputusan-keputusan politik di DPR dan DPRD melalui keberadaan Fraksi di lembaga legislatif itu. Fraksi secara struktural berada di bawah Parpol dan sewaktu-waktu Parpol berhak untuk mengganti kepengurusan Fraksi. Fraksi dapat dijadikan sebagai komponen kendali Parpol dalam proses keputusan politik legislatif, misalnya penerbitan Undang-Undang atau Peraturan Daerah (Perda). Karena itu, anggota DPR tidak terbebas dari kepentingan Parpol. 6. Parpol Tidak Mematuhi Hukum: Kecenderungan parpol tidak mematuhi hukum. Fenomena Parpol tidak patuh hukum ini sesungguhnya dapat dibuktikan dengan beragam sudut pandang/perspektif, antara lain: pemenuhan persyaratan Parpol dapat sebagai Peserta Pemilu 2014 yang ditentukan oleh KPU; pemanfaatan dana pajak untuk pembiayaan yang sangat besar untuk keperluan pelaksanaan Pemilu; tingkat partisipasi pemilih (Golput); dasar konstitusional pelaksanaan Pemilu 2014. Khusus pemenuhan persyaratan Parpol dapat sebagai Peserta Pemilu 2014, fenomena Parpol tidak patuh hukum dapat ditemukan berdasarkan Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilihan Umum RI No. 28,29,30,31,37,40/DKPP-PKE-II/2013. Di dalam Putusan tersebut terdapat keterangan adanya dugaan manipulasi data Parpol peserta Pemilu untuk meloloskan Parpol yang seharusnya tidak lolos. Juga adanya manipulasi data terhadap hasil verifikasi adminisistrasi yang dengan sengaja dilakukan Teradu I selaku Ketua dan Anggota KPU. Secara massif Teradu I telah memanipulasi data Parpol peserta Pemilu, di mana bentuk manipulasi adalah meloloskan Parpol yang seharus Parpol tersebut tidak lolos dalam verfikasi factual. Hal ini bermakna, di samping Terpadu I tidak patuh hukum, Parpol-Parpol yang diloloskan berdasarkan manipulasi data tersebut juga tidak patuh hukum. Di lain fihak, kecenderungan Parpol tidak mematuhi ketentuan-ketentuan UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Menurut UU ini, Keuangan Partai Politik bersumber dari: a. iuran anggota; b.sumbangan yang sah menurut hukum; dan c. bantuan keuangan dari APBN/APBD. Sumbangan dapat berupa uang, barang, dan/atau jasa. Bantuan keuangan APBN/APBD diberikan secara proporsional kepada Parpol yang mendapatkan kursi di DPR,DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang penghitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara. Bantuan keuangan diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Partai Politik dan masyarakat. Pendidikan Politik berkaitan dengan kegiatan: a. pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI;b. pemahaman mengenai hak dan kewajiban WNI dalam membangun etika dan budaya politik; dan c. pengkaderan pengkaderan anggota Parpol secara berjenjang dan berkelanjutan. Hampir semua Parpol tidak melaksanakan kegiatan pendidikan politik bagi anggota parpol dan masyarakat ini. Parpol wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran bersumber bantuan APBN/APBD kepada BPK secara berkala 1 (satu) tahun sekali untuk diaudit paling lambat 1 (satu) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Audit laporan dilakukan 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Hasil audit atas laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran disampaikan kepada Partai Politik paling lambat 1 (satu) bulan setelah diaudit. Hampir semua parpol tidak melaksanakan ketentuan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran besumber bantuan APBN/APBD ini. 7. Penentuan Kapolri, Panglima TNI dan Duta Besar oleh DPR: DPR memiliki hak untuk terlibat dalam menentukan Kapolri, Panglima TNI dan Dutabesar. Hal ini berarti, Parpol dapat melalui Fraksi untuk memihak kepada Calon Kapolri, Panglima TNI dan Duta Besar dimaksud. Faktor politik (kepentingan Parpol) menjadi lebih dominan ketimbang faktor kompetensi SDM ketika proses penentuan para Pejabat Negara tersebut. 8. Staf Khusus Menteri dari Kader Parpol: Sejak era reformasi, diperbolehkan Staf Khusus Menteri berasal dari Non PNS. Pada umumnya Staf Khusus Menteri direkruit dari kader Parpol Menteri maupun tidak. Kehadiran Staf Khusus ini dalam kenyataanya hanya untuk “Sumber Mata Pencaharian” kader Parpol yang secara kriteria kompetensi, kebanyakan tidak kompeten untuk menjadi Staf Khusus Menteri. Bahkan, Staf Khusus ini bisa menjadi bagian dari jaringan pelaku korupsi di lingkungan Kementerian bersangkutan. 9. Pengisian Jabatan Tinggi “Utama” dan “Madya” dalam Pemerintahan: Mengacu pada UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, pengisian jabatan tinggi “utama” dan “madya” pada kementerian, kesekretariatan lembaga negara, lembaga nonstruktural Daerah dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan PNS dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan latihan, sekan jejak jabatan, dan integritas serta persayaratan lain yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundng-undangan IPasal 108, ayat 1). Sebagai keterangan: jabatan tinggi “utama” seperti “eselon 1”; “madya” sebagai “eselon 2”. Namun, jabatan pemimpin utama dan madya tertentu dapat berasal dari kalangan non-PNS dengan persetujuan Presiden yang pengisiannya dilakukan secara terbuka dan kompettetif serta dtetapkan dalam Keputusan Presiden (Pasal 109, ayat 1). Juga jabatan Pimpinan Tinggi dapat diisi oleh prajurit TNI dan Anggota Kepolisian “setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses terbuka dan kompettif (Pasal 109, ayat 2). Bahkan, parjurit TNI dan Kepolsian dapat mengisi jabatan pimpinan tinggi di lingkungan Instansi Pemerintah tertentu sesuai dengan kompetensi bherdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasasl 109, ayat 3). Diperbolehkannya SDM Non PNS untuk menjadi pimpinan tinggi “utama” (Eselon 1) dan “madya” (Eselon 2) dapat menjadi “jalan masuk” kader-kader Parpol untuk menjadi pimimpin tinggi tersebut. Bagi kader-kader Parpol akan lebih mudah karena Menteri kader Parpol akan membantu (nepotisme) kader parpol untuk jabatan tinggi itu.. Besarnya kewenangan Menteri menentukan Eselon 1 dan Eselon 2 sangat memungkinkan untuk menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) dalam hal pelelangan jabatan ini. 10. Kajagung, KaBin, MK, KY, MA dll. Dijabat dari Kader Parpol: Dalam realitas obyektif, jabatan pemerintahan/Negara seperti Kajagung, KaBin, MK, KY, MA, dll. dapat dipegang oleh kader-kader Parpol. Bahkan, untuk menentukan para pejabat Negara tersebut, Parpol melalui DPR turut menentukan. Keberadaan kader Parpol sebangai pejabat di lembaga-lembaga Negara tersebut tentu dapat mengutamakan kepentingan Parpol bersangkutan dalam proses pengambilan kebijakan. 11. Komisaris Independen BUMD dan BUMD Dijabat dari kader Parpol: Dalam pembentukan dan rekrutmen personil untuk struktur organisasi Komisaris di BUMN dan BUMD, terdapat apa yang disebut Komisaris Independen. Tetapi, dalam kenyataannya, anggota Komisaris Independen tersebut berasal dari kader Parpol. Kader-kader Parpol diperbolehkan menjadi Komisaris Independen. Pengaruh Parpol terhadap Presiden dan Wakil Presiden dan juga Menteri terkait dengan BUMN dapat membantu kader-kader Parpol untuk menduduki jabatan Komisaris Independen dengan motip ekonomis semata (sumber mata pencaharian). 12. Legislatif Tanpa Oposisi: Proses demokratisasi terjadi di DPR dan DPRD tanpa keberadaan dan kiprah suatu kekuatan atau kumpulan kekuatan kader Parpol Oposisi . Semua kader Parpol di lembaga legislatif lebh mengutamakan bergabung ke dalam pengelompokan satu “koalisi” dan mendukung Rezim Kekuasaan di Eksekutif. Dengan demokratisasi tanpa kekuatan oposisi, sudah jelas bahwa keputusan politik dan kebijakan pemerintah menjadi tidak berkualitas, efektif dan efisien. 13. Politik Kartel dan Perilaku Korupsi Kader Parpol: Politik kartel dan perilaku korupsi kader Parpol meningkat baik kuantitatif maupun kualitatif dana APBN/APBD juga "korupsi sandera negara". Salah satu indikator kader Parpol melegalkan perolehan dana APBN terkait dengan UP2DP(Usulan ProgramPembangunan Dana Pemilihan). DPR telah meloloskan peraturan soal tata cara penerapan UP2DP alias "dana aspiriasi"di DPR dalam sidang paripurna,selasa 23 Juni 2015. Melalui aturan tersebut,setiap anggota DPR mendapatkan jatah dana pembangunan dapil masing-masing dalam APBN. Kendati belum disepakati,pagu indikatif yang sempat mencuat adalah sebanyak Rp. 20 miliar per anggota pertahun.Dengan jumlah itu,total dana aspirasi pertahun bisa mencapai Rp. 11,2 triliun. Meskpun menuai kontroversi, DPR melalui rapat paripurna, 23 Juni 2015, mensahkan Peraturan DPR tentang Tata Cara Pengusulan Pembangunan Daerah Pemilihan atau dana aspirasi. Padahal sebelumnya program ini sempat mendapat tantangan dari sejumlah fraksi, diantaranya Fraksi PDIP, Fraksi Nadem dan Fraksi Hanura. Polemik mengenai dana aspirasi bermula dari ketentuan Pasal 80 huruf j UU Np. 17 tahun 2014 tentang MD3, Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2014 tentang tata Tertib sampai akhirnya dilahirkan peraturan DPR tentang Tata Cara Pengusulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan. Legalisiasi dana aspirasi melalui kedua aturan tersebut setdiaknya menjadi acuan pelaksanaan penggunaan dana aspirasi. Publik pun melihat ada bau kepentingan politik yang cenderung lebih menguntungkan Papol dibandingkan keutamaan rakyat. Dana aspirasi dipandang publik sebagai upaya Parpol melalui wakil rakyat merampok APBN. 14. Lebih Mengutamakan Kepentingan Parpol: Akhirnya, penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diharapkan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, dalam kenyataannya lebih mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan kelompok kader Parpol dan kroni-kroninya. Kesejahteraan rakyat kebanyakan sebagaimana dalam Pembukaan UUD 1945 menjadi terabaikan dan akan terus terabaikan. Parpolisasi telah melembagakan politik kartel dan kultur transaksionalisme dalam kehidupan politik kepartaian dan hilangnya peran ideologi (cita-cita) sebagai penentu perilaku politik Parpol dalam kehidupan sehari-hari baik dalam pemerintahan (khususnya legislatif dan eksekutif), masyarakat madani (civil society) maupun dunia usaha. Ideologi Parpol hanya digunakan untuk memperoleh suara pemilih melalui kegiatan kampanye dalam pemilihan seperti Pemilu anggota legislatif (nasional dan daerah), Pilpres dan Pilkada (Gubernur, Bupati dan Walikota). Ideologi Parpol menjadi tidak relevan seusai (pasca) kegiatan kampanye dalam pemilihan dimaksud atau perjuangan perebutan kekuasaan legislatif dan eksekutif. Hilangnya peran ideologi Parpol sebagai salah satu karakteristik fenomena politik kartel kepartaian di Indonesia dapat dilihat dari realitas obyektif kehidupan kepartaian dewasa ini, khususnya era reformasi. Pada level nasional, terdapat koalisi Parpol saat dan setelah Pemilu (pemerintahan) bukan berdasarkan kesamaan ideologis, bahkan terdapat perbedaan ideologis sesama anggota koalisi. Di samping itu, Kecenderungan parpolisasi ini menciptakan kultur politik “transaksionalisme”, yakni politik tukar-menukar bagaikan hubungan antara “pembeli dan penjual barang dan jasa”. IV. SOLUSI UNTUK DEMOKRASI RAKYAT Apa yg harus dilakukan agar kecenderungan parpolisasi ini dihentikan? Minimal ada 9 keputusan politik rakyat harus diambil, yakni: 1. UUD 1945 harus diamandemen kembali, khususnya ketentuan: a. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dikembalikan pada model pemilihan perwakilan. Presiden dan Wakil dipilih oleh MPR. b. Calon Presiden dan Wakil tidak harus mendapat dukungan dari Parpol atau Kumpulan Parpol. 2. Wewenang Parpol dibatasi hanya untuk rekruitmen politik anggota Legislatif (DPR dan DPRD). 3. Penegakan hukum konsekuen terhadap Parpol tidak melaksanakan tugas fungsi Parpol ; sesuai UU bagi Parpol melanggar dibekukan , dibubarkan atau dilarang ikut pemilu. 4. Hapuskan keterlibatan DPR menentukan Kapolri, Panglima TNI, KaBIN, Dutabesar. 5. Dilarang kader Parpol menjadi anggota DPD. 6. Hapuskan staf khusus Menteri non PNS. 7. Hapuskan model pelelangan eselon 1 dan 2 bagi SDM non PNS. 8. Larangan kader Parpol pegang jabatan pemerintahan/negara, seperti Kajagung, KaBin, MK, KY, MA, dll. 9. Pemilihan Gubernur,Walikota/Bupati dikembalikan model pemilihan oleh legislatif, bukan pemilihan langsung oleh rakyat. 10. Hapuskan ketentuan Calon Gubernur dan Wakil, Bupati dan Wakil, Walikota dan Wakil dalam Pilkada mendapat dukungan dari Parpol atau Kumpulan Parpol. 11. Hapuskan Komisaris independen di BUMN dan BUMD. V. PEMILIHAN PERWAKILAN (TIDAK LANGSUNG) Ada pendapat pengamat dan pakar politik di Indonesia mengatakan bahwa pemilihan perwakilan (tidak langsung) merampas hak-hak dasar rakyat dan membohongi rakyat. Makalah ini akan menolak pendapat semaca ini. Dari sisi prinsip demokrasi, harus ditegakkan prinsip antara lain: 1. Partisipasi 2. Kesetaraan 3. Transparansi (Keterbukaan) 4. Akuntabilitas public 5. Penegakan Hukum (The Rule of Law) 6. Visi strategis Khusus “visi strategis”, maknanya adalah belajar dari pengalaman sejarah rakyat bersangkutan, kemudian merumuskan apa seharusnya ke depan rakyat tersebut. Kalau sejarah membuktikan rakyat Indonesia lebih melembaga pemilihan berdasarkan perwakilan, dan pemilihan langsung lebih banyak mudharat ketimbang manfaat, maka visi strategis kedepan harusnya tanpa pemilihan langsung atau tegakkan pemlihan perwakilan kembali . JIka tetap dipertahankan pemilihan langsung , berarti rakyat itu tidak paham apa demokrasi yang diperjuangkan sebagai cita-cita bernegara dan berakyat. Jadi, mereka pejuang demokrasi kesannya, tetapi justru tidak memahami makna demokrasi sesungguhnya. Memang rakyat Indonesia pernah mengalami pemilihan Presiden oleh MPR. Tapi, penentu/aktor utama bernegara dan berakyat adalah kekuatan militer. Fenomena yg berlaku 'militerisasi'. Kekuatan reformasi menentang militerisasi dan menuntut pemilihan langsung sebagai reaksi terhadap fenomena itu. Maka, berhasil membuat ketetapan mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil secara langsung di dalam UUD 1945 hasil amandemen. Kini setelah beragam evaluasi dilakukan oleh para pengamat dan ilmuwan, muncul reaksi bahwa ternyata pemilihan langsung menyebabkan 'biaya tinggi' dan menjadi akses masuknya atau diundangnya pelaku usaha/saudagar menentukan siapa pemenang. Akibatnya? Rakyat menjadi terbiasa berpikir dan bersikap transaksional dalam berpolitik, DPRD transaksional/korup, Kepala Daerah transaksional/korup, DPR transaksional/korup, Menteri transaksional/korup, bahkan Presiden juga transaksional/korup. Khusus untuk Presiden, prilaku korup tergolong model 'korupsi sandera negara' (State Capture Corruption). Demokratisasi dibajak menjadi Parpolisasi dunia pemerintahan, usaha dan masyarakat madani dan melembagakan kultur transaksionalisme. Penguasa negara dan penguasa Parpol menghamba dan 'menjual' keputusan politik, penerbitan UU dan kebijakan pemerintah terhadap pelaku usaha/korporet lokal, nasional dan internasional. Kepentingan rakyat kebanyakan menjadi terabaikan, Dalam era demokratisasi pasca Orde Baru ini, bukan militerisasi berbasis kekerasan/militeristik, kita tidak perlu mundur ke masa lalu dan belakang. Harus memandang dan maju ke masa depan. Visi strategis rakyat kita harus meninggalkan mekanisme pemilihan penguasa eksekutif negara secara langsung, dan kembali pemilihan tidak langsung/perwakilan. Pemilihan langsung tetap dilakukan, tetapi hanya untuk pemilu anggota legislatif. Kalaupun masih tetap dipertahankan DPD, juga masih dengan pemilihan langsung. Jadi tatkala ada gagasan pemilihan perwakilan kembali digunakan, hal itu hanya untuk rekruitmen politik penguasa eksekutif negara, bukan anggota legislatif. Jadi, membandingkan pemilihan perwakilan era militerisasi Orde Baru dengen era demokratisasi/supremasi sipil pasca Orde Baru, tidak tepat dan salah secara metodologis dalam studi perbandingan politik (political comparative). MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (Ketua Dewan Pendiri NSEAS: Network for South East Asian Studies).

Senin, 07 September 2015

SOLUSI UTK DEMOKRASI RAKYAT INDONESIA

Belakangan ini sejumlah pengamat menggugat keberadaan dan kiprah saudagar atau pelaku usaha/bisnis dalam bidang pemerintahan. Ada asumsi bahwa pelaku usaha dalam bidng pemerintahan hanya mementingkan usaha dan ekonomi dirinya, bukan rakyat, dan membawa kultur transaksionalisme. Sesungguhnya dalam dunia masyarakat demokrasi sejati (cita-cita), rakyat seharusnya terdiri dari tiga komponen/bidang kehidupan: 1.pemerintahan/negara; 2. Dunia usaha/pelaku usaha; 3. Masyarakat madani ( civil society). Terdapat diferensiasi dan spesialisasi fungsi. Masalahnya, rakyat Indonesia telah memilih jalan ke demokrasi berdasarkan pengalaman masyarakat industri maju Barat, bukan Islam, bukan sosialis komunis, bukan fasis, bukan totaliter diktator, bukan juga militeristik. Realitas obyektif menunjukkan bahwa negara diperlemah, kekuatan/pelaku usaha telah masuk ke bidang pemerintahan; manusia politisi pemerintahan masuk ke dunia usaha; aktor masyarakat madani misalnya Mantan Ketua organisasi masyarakat (Ormas) Islam, masuk ke bidang pemerintahan, dan manusia pemerintahan dan juga pelaku usaha masuk ke ormas madani. 'Ideologi' yg diberlakukan 'ideologi sinkretisme'. Hal ini diperkuat lagi oleh budaya politik Jawa, yg dibawa oleh politisi Jawa dalam pemerintahan. Sebelum jadi politisi pemerintahan, gaya hidupnya sederhana, jujur dan mengesankan dekat dgn rakyat atau umat. Tetapi, setelah berkuasa dlm pemerintahan, mengutamakan sanak famili untuk berkuasa walau melanggar ketentuan2 yg dibuat sendiri. Bersamaan itu, sang aktor yg tadinya sederhana, beli tanah dan property sebanyak mungkin sebagai 'simbol' dan 'status' keberhasilan di masyarakat madani. Pelaku usaha dan masyarakat madani memasuki bidang pemerintahan degnan kendaraan parpol yang membutuhkan dana sangat besar untuk bisa terbentuk, berlanjut dan bertarung dalam Pemilu, Pilpres dan Pilkada. Jelas fenomena negatif ini semakin menguat di era reformasi, dan menurut saya, akan terus menyingkirkan, menjerumuskan, membawa rakyat kebanyakan ke dalam lembah kemiskinan, pengangguran dan keterbelakangan. Cita-cita pembentukan negara RI, menjadi tidak relevan, dan hanya utopia atau ilusi belaka dan sebagai 'bunga-bunga' waktu acara peringatan 17 Agustus. Apa yg harus dilakukan agar fenomena ini dihentikan? Minimal ada 9 keputusan politik rakyat harus diambil. 1. Pemilihan Presiden, Gubernur,Walikota/Bupati dikembalikan model pemilihan oleh legislatif, bukan pemilihan langsung oleh rakyat. 2. Hapuskan mekanisme penetapan calon presiden dan wakil oleh parpol. 3. Wewenang parpol dibatasi hanya rekruitmen politik (anggota legislatif) melalui pemilu dan dihapuskan hubungan struktural parpol dan fraksi di legislayif. 4. Penegakan hukum konsekuen terhadap parpol tidak melaksanakan tugas fungsi parpol ; sesuai UU bagi parpol melanggar dibekukan , dibubarkan atau dilarang ikut pemilu. 5.Hapuskan keterlibatan DPR menentukan Kapolri, Panglima TNI, Dutabesar. 6. Hapuskan Komisaris independen di BUMN dan BUMD. 7.Hapuskan staf khusus Menteri non PNS. 8. Larangan kader parpol pegang jabatan pemerintahan/negara, sprt Kajagung, KaBin, MK, KY, MA, dll. 9. Hapuskan model pelelangan eselon 1 dan 2 bagi non PNS.,, dll. Dari sisi prinsip demokrasi, harus ditegakkan prinsip partisipasi, kesetaraan, transparansi, akuntabilitas publik,visi strategis dll. Khusus Visi strategis , maknanya adl belajar dari pengalaman sejarah rakyat bersangkutan, kemudian merumuskan apa seharusnya ke depan rakyat tersebut. Kalau sejarah membuktikan rakyat Indonesia lebih melembaga pemilihan berdasarkan perwakilan, dan pemilihan langsung lebih banyak mudharat ketimbang manfaat, maka visi strategis kedepan harusnya tanpa pemilihan langsung atau tegakkan pemlihan perwakilan kembali . JIka tetap dipertahankan pemilihan langsung , berarti rakyat itu tak paham apa demokrasi yg diperjuangkan sebagai cita-cita bernegara dan berakyat. Jadi, mereka pejuang demokrasi kesannya, tapi justru tidak paham demokrasi.Memang rakyat Indonesia pernah pemilihan presiden oleh MPR. Tapi, penentu/aktor utama bernegara dan berakyat adalah kekuatan militer. Fenomena yg berlaku 'militerisasi'. Kekuatan reformasi menentang militerisasi dan menuntut pemilihan langsung sebagai reaksi terhadap fenomena itu. Maka, berhasil membuat ketetapan mekanisme pemilihan presidn dan wakil secara langsung di dlm UUD 1945. Kini dievaluasi, muncul reaksi bahwa ternyata pemilihan langsung menyebabkan 'biaya tinggi' dan menjadi akses masuknya atau diundangnya pelaku usaha/saudagar menentukan siapa pemenang. Akibatnya, rakyat menjadi terbiasa berpikir dan bersikap transaksional dalam berpolitik, DPRD transaksional/korup, Kepala Daerah transaksional/korup, DPR transaksional/korup, Menteri transaksional/korup, bahkan Presiden juga transaksional/korup. Khusus untuk Presiden, prilaku korup tergolong model 'korupsi sandera negara' (State Capture Corruption). Demokratisasi dibajak menjadi parpolisasi dunia pemerintahan, usaha dan masyarakat madani dan melembagakan kultur transaksionalisme. Penguasa negara dan penguasa parpol menghamba dan 'menjual' keputusan politik, penerbitan UU dan kebijakan pemerintah terhadap pelaku usaha/korporet lokal, nasional dan internasional. Kepentingan rakyat kebanyakan menjadi terabaikan, Dalam era demokratisasi pasca Orde Baru ini, bukan militerisasi berbasis kekerasan/militeristik, kita tidak perlu mundur ke masa lalu dan belakang. Harus memandang dan maju ke masa depan. Visi strategis rakyat kita harus meninggalkan mekanisme pemilihan penguasa eksekutif negara secara langsung, dan kembali pemilihan tidak langsung/perwakilan. Pemilihan langsung tetap dilakukan, tetapi hanya untuk pemilu anggota legislatif. Kalaupun masih tetap dipertahankan DPD, juga masih dengan pemilihan langsung. Jadi tatkala ada gagasan pemilihan perwakilan kembali digunakan, hal itu hanya untuk rekruitmen politik penguasa eksekutif negara, bukan anggota legislatif. Jadi, membandingkan pemilihan perwakilan era militerisasi Orde Baru dengen era demokratisasi/supremasi sipil pasca Orde Baru, tidak tepat dan salah secara metodologis dalam studi perbandingan politik (political comparative). Saya pada awal reformasi termasuk pendukung pemilihan langsung dan juga pemilihan anggota legislatif secara terbuka (bukan nomor urut). Setelah perjalanan historis politik Indonesia mutakhir, ternyata sangat melenceng dari apa yang dicita-citakan. Saya mengakui, saya salah dalam hal ini [MUHTAR EFFENDI HARAHAP/NSEAS]

Jumat, 04 September 2015

SIKAP DAN CARA PIKIR PENELITI SOSIAL

• PENGERTIAN PENELITIAN: ISTILAH LAIN PENELITIAN ADALAH RISET (RESEARCH), BERASALAH KATA RE (KEMBALI) DAN SEARCH (MENCARI). SECARA ESTIMOLOGI PENELITIAN BERARTI “MENCARI KEMBALI”, YAITU MENCARI FAKTA-FAKTA BARU YANG KEMUDIAN DIKEMBANGKAN MENJADI SEBUAH TEORI UNTUK MEMPERDALAM DAN MEMPERLUAS ILMU TERTENTU. • SETIAP ILMUWAN BAIK EKSAKTA MAUPUN SOSIAL DALAM MELAKUKAN PENELITIAN HARUS DIDASARI DENGAN ADANYA RASA KEINGINTAHUAN. RASA INGIN TAHU ITU DAPAT MENIMBULKAN KEINGINAN MEREKA DALAM MELAKUKAN PENELITIAN UNTUK MEMPERDALAM DAN MEMPERLUAS ILMU YANG DITEKUNI. • PENELITIAN ADALAH SUATU KEGIATAN ILMIAH YANG DILAKUKAN UNTUK MENEMUKAN DAN MENGEMBANGKAN SERTA MENGUJI KEBENARAN SUATU MASALAH ATAU PENGETAHUAN GUNA MENCARI SOLUSI ATAU PEMECAHAN MASALAH TERSEBUT) • BENTUK PENELITIAN: 1. PENELITIAN AKADEMIS: SKRIPSI, TESIS DAN DISERTASI; 2. PENELITIAN PROFESIONAL: PENEMUAN TEORI; DAN 3. PENELITIAN KELEMBAGAAN: PEMECAHAN MASALAH YANG DIHADAPI LEMBAGA ATAU PERIBADI BERSANGKUTAN. CIRI-CIRI PENELITIAN: 1. ILMIAH: SELALU MENGIKUTI PROSEDUR DAN MENGGUNAKAN BUKTI MEYAKINKAN DALAM BENTUK FAKTA DIPEROLEH SECARA OBYEKTIF; 2. BERKESINAMBUNGAN: PENELITIAN MERUPAKAN PROSES BERJALAN TERUS MENERUS DAN BERKESINAMBUNGAN KARENA HASIL SUATU PENELITIAN SELALU DAPAT DISEMPURNAKAN; 3. KONTRIBUTIF: PENELITIAN MEMBERI KONTRIBUSI ATAU HARUS MEMILIKI UNSUR KONTRIBUSI ATAU NILAI TAMBAH. PENELITIAN PROFESIONAL: PENEMUAN TEORI; 4. ANALISITIS: PENELITIAN HARUS DAPAT DIBUKTIKAN DAN DIURAIKAN DENGAN MENGGUNAKAN METDOE ILMIAH DAN ADA HUBUNGAN SEBAB AKIBAT ANTARA VARIABELNYA. SYARAT PENELITIAN: SISTEMATIS; 2. DILAKSANAKAN BERDASARKAN POLA TERTENTU,D ARI HAL PALING SEDERHANA HINGGA KOMPELKS DENGAN TATANAN TEPAT HINGGA TERCAPAI TUJUAN SECARA EFEKTIF DAN EFISIEN.; TERENCANA:3. DILAKSANAKAN KARENA ADANYA UNSUR KESENGAJAAN DAN SEBELUMNYA SUDAH TERKONSEP LANGKAH-LANGKAH PELAKSANAANNYA; 4. KONSEP ILMIAH; 5. MULAI AWAL HINGGA AKHIR KEGIATAN PENELITIAN MENGIKUTI LANGKAH-LANGKAH SUDAH DITENTUKAN ATAU DITETAPKAN YAITU DENGAN PRINSIP DIGUNAKAN UNTUK MEMEPROLEH ILMU PENGETAHUAN. TUJUAN PENELITIAN: 1. EKSPLORATIF (PENJAJAGAN): PENELITIAN BERTUJUAN UNTUK MENEMUKAN SUATU PENGETAHUAN BARU YANG SEBELUMNYA BELUM PERNAH ADA; 2.VERIFIKATIF (PENGUJIAN) PENELITIAN DENGAN TUJUAN MELAKUKAN PENGUJIAN TERHADAP TEORI ATAUPUN HASIL PENELITIAN SEBELUMNYA, SEHINGGA AKAN DIPEROLEH HASIL DAPAT MENGGUGURKAN ATAU MEMPERKUAT TEORI ATAU HASIL PENELITIAN YANG SEBELUMNYA; 3. DEVELOPMENT (PENGEMBANGAN):PENELITIAN DENGAN TUJUAN MENGEMBANGKAN, MENGGALI DAN MEMPERLUAS LEBIH DALAM SEBUAH MASALAH ATAU TEORI KEILMUAN MENJADI LEBIH DALAM SEBAGAI SARANA DALAM MEMECAHKAN BERBAGAI PERSOALAN DALAM MASYARAKAT. TUJUAN PENELITIAN:1. EKSPLORATIF (PENJAJAGAN): PENELITIAN BERTUJUAN UNTUK MENEMUKAN SUATU PENGETAHUAN BARU YANG SEBELUMNYA BELUM PERNAH ADA; 2. VERIFIKATIF (PENGUJIAN) PENELITIAN DENGAN TUJUAN MELAKUKAN PENGUJIAN TERHADAP TEORI ATAUPUN HASIL PENELITIAN SEBELUMNYA, SEHINGGA AKAN DIPEROLEH HASIL DAPAT MENGGUGURKAN ATAU MEMPERKUAT TEORI ATAU HASIL PENELITIAN YANG SEBELUMNYA; 3. DEVELOPMENT (PENGEMBANGAN) PENELITIAN DENGAN TUJUAN MENGEMBANGKAN, MENGGALI DAN MEMPERLUAS LEBIH DALAM SEBUAH MASALAH ATAU TEORI KEILMUAN MENJADI LEBIH DALAM SEBAGAI SARANA DALAM MEMECAHKAN BERBAGAI PERSOALAN DALAM MASYARAKAT. PENELITIAN SOSIAL: • SUATU ISTILAH DIGUNAKAN TERHADAP PENELITIAN DIRANCANG UNTUK MENAMBAH KHAZANAH ILMU PENGETAHUAN SOSIAL, GEJALA SOSIAL, ATAU PRAKTEK-PRAKTEK SOSIAL. • ISTILAH SOSIAL MENUNJUKKAN PADA HUBUNGAN-HUBUNGAN ANTARA, DAN DI ANTARA, ORANG-ORANG, KELOMPOK-KELOMPOK SEPERTI KELUARGA, INSTITUSI DAN LINGKUNGAN LEBIH BESAR. • DEFINISI: • GEJALA SOSIAL ATAU HUBUNGAN ANTARA DUA ATAU LEBIH GEJALA SOSIAL DIJADIKAN SEBAGAI TOPIK PENELITIAN SOSIAL. TOPIK YANG BERHUBUNGAN DENGAN GEJALA SOSIAL BISA MENYANGKUT INDIVIDU (MISAL, KEPUASAN KERJA), KELOMPOK (MISAL, KEPEMIMPINAN), MASYARAKAT (MISAL, STRUKTUR SOSIAL), INSTITUSI (MISAL, IKLIM ORGANISASI), DAN JUGA LINGKUNGAN YANG LEBIH LUAS SEPERTI NEGARA (MISAL, PERTUMBUHAN EKONOMI NASIONAL). PENGERTIAN PENELITI: • DALAM PENGERTIAN LUAS DAPAT MERUJUK PADA SETIAP ORANG YANG MELAKUKAN AKTIVITAS MENGGUNAKAN SISTEM TERTENTU DALAM MEMPEROLEH PENGETAHUAN ATAU INDIVIDU YANG MELAKUKAN SEJUMLAH PTAKTEK DI MANA SECARA TRADISIONAL DAPAT DIKAITKAN PADA INDIVIDU-INDIVIDU YANG MELAKUKAN PENELTIAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE ILMIAH. • SEORANG PENELITI, BISA JADI ADALAH SEORANG AHLI PADA SATU BIDANG ATAU LEBIH DALAM ILMU PENGETAHUAN. PENGERTIAN PENELITI: • DALAM PENGERTIAN LUAS DAPAT MERUJUK PADA SETIAP ORANG YANG MELAKUKAN AKTIVITAS MENGGUNAKAN SISTEM TERTENTU DALAM MEMPEROLEH PENGETAHUAN ATAU INDIVIDU YANG MELAKUKAN SEJUMLAH PTAKTEK DI MANA SECARA TRADISIONAL DAPAT DIKAITKAN PADA INDIVIDU-INDIVIDU YANG MELAKUKAN PENELTIAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE ILMIAH. • SEORANG PENELITI, BISA JADI ADALAH SEORANG AHLI PADA SATU BIDANG ATAU LEBIH DALAM ILMU PENGETAHUAN. PENGERTIAN PENELITI: • DALAM PENGERTIAN LUAS DAPAT MERUJUK PADA SETIAP ORANG YANG MELAKUKAN AKTIVITAS MENGGUNAKAN SISTEM TERTENTU DALAM MEMPEROLEH PENGETAHUAN ATAU INDIVIDU YANG MELAKUKAN SEJUMLAH PTAKTEK DI MANA SECARA TRADISIONAL DAPAT DIKAITKAN PADA INDIVIDU-INDIVIDU YANG MELAKUKAN PENELTIAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE ILMIAH. • SEORANG PENELITI, BISA JADI ADALAH SEORANG AHLI PADA SATU BIDANG ATAU LEBIH DALAM ILMU PENGETAHUAN. • SIKAP DAN CARA PIKIR SEORANG PENELITI: • 1. OBYEKTIF: • HARUS MAMPU MEMISAHKAN ANTARA PENDAPAT PERIBADI DAN KENYATAAN YANG ADA. • 2. SKEPTIS: • HARUS SELALU MENANYAKAN BUKTI ATAU FAKTA. • 3. ANALISTIS: • HARUS SELALU MENGANALISIS SETIAP PERNYATAAN ATAU PERSOALAN YANG DIHADAPI. • 4. KRITIS: • HARUS SELALU MENDASARKAN PIKIRAN DAN PENDAPATNYA PADA LOGIKA. • 5. KOMPETEN: • HARUS MEMILIKI KEMAMPUAN UNTUK MENGADAKAN PENELITIAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE DAN TEKNIK PENELITIAN TERTENTU. • 6. FAKTUAL: • HARUS MENGERJAKAN SEBUAH PENELITIAN BERDASARKAN FAKTA YANG DIPEROLEH, BUKAN BERDASARKAN HARAPAN, OBSESI, ATAU ANGAN-ANAGN YANG SIFATNYA ABSTRAK. • 7. TERBUKA: • BERSEDIA MEMBERIKAN BUKTI PENELITIAN DAN SIAP MENERIMA PENDAPAT PIHAK LAIN TENTANG HASIL PENELITIANNYA. • 8. PANDANGAN MORAL: • HARUS MEMPUNYAI KEJUJURAN INTELEKTUAL, KEJUJURAN MORAL, BERIMAN DAN DAPAT DIPERCAYA.

Kamis, 03 September 2015

KASUS TANAH TAMAN BMW DAN SUMBER WARAS DALAM PERSPEKTIF KORUPSI SANDERA NEGARA (STATE CAPTURE CORRUPTION)

I. PENGANTAR IEPSH (Institut Ekonomi Politik Soekarno-Hatta), 29 Agustus 2015, menyelenggarakan acara “Mahkamah Intelektual” (MI) dengan Topik: “Mengupas Dugaan Korupsi di Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta: Kasus Tanah Taman BMW dan Kasus Tanah Sumber Waras”. Tujuan acara Mahkamah Intelektual ini antara lain: menambah akurasi informasi kasus tersebut melalui masukan data dan informasi dari Peserta. Saya diminta IEPSH untuk menjadi Penanggap Ahli dalam acara ini. Sebagai Penanggap Ahli, perkenankanlah saya memberikan kontribusi Makalah untuk menambah akurasi informasi kasus tanah Taman BMW dan Sumber Waras ini dalam perspektif “Korupsi Sandera Negara” atau “State Capture Corupption” II. PERSPEKTIF KORUPSI SANDERA NEGARA (STATE CAPTURE CORRUPTION) Cita-cita bangsa yang merdeka berupa terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera, menjadi “soul dan spirit” Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, tetap diperjuangkan oleh segenap komponen bangsa Indonesia. Namun, hasilnya masih jauh dari harapan. Satu aspek mendesak wajib hadir dalam kehidupan bangsa dewasa ini adalah “integritas” Negara—bangsa berdaulat, mandiri dan bermartabat. Hal ini menjadi tanggungjawab konstitusional pengelola kekuasaan Negara. Tantangan paling serius dan berat bagi pengelola kekuasaan. Negara untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan itu adalah “memberantas korupsi telah menjadi “penyakit kronis” bangsa Indonesia. Korupsi telah mengakibatkan kegagalan Negara menjalankan politik yang seharusnya “ a noble quest fo a good justice”, menguntungkan rakyat. Praktek korupsi menghisap hasil pembangunan untuk dinikmati segelincir orang, sebaliknya menyengsarakan rakyat banyak. Saking kronisnya, Indonesia pernah tercatat sebagai “juara dunia” di antara Negara-negara yang tingkat korupsi tinggi di dunia. Kondisi inilah membuat kinerja pemerintahan baik di era Orde Baru maupun Era Reformasi cenderung semakin parah dan sangat buruk, khususnya dalam menjalankan tugas dan fungsi Negara dalam melayani dan pro kepentingan rakyat. Namun, walaupun telah menggrogoti kemampuan Negara dalam menjalan tugas dan fungsi, korupsi jenis “konvensional” masih dikategorikan sebagai korupsi “korupsi biasa”, yang dominan modus operandi dalam pengadaan barang dan jasa Pemerintah baik sumebr dana APBN maupun APBD. III. PERSPEKTIF KORUPSI SANDERA NEGARA Perspektif Korupsi Sandera Negara (State Capture Corruption) menunjukkan jenis korupsi melalui konspirasi berbegai kekuatan ekonomi politik nasional dan internasional, disebut sebagai “korporatokrasi internasional”. Mereka menguasai ekonomi, politik dan sampai batas tertentu pertahanan keamanan Republik Indonesia. Kekuasaan Negara seperti Pemerintah (Eksekutif), DPR (Legislatif) dan Mahkamah Agung (Yudikatif) secara sadar atau tidak telah membuat keputusan-keputusan dalam rangka “menghamba” pada kepentingan korporasi (perusahaan) asing dan melakukan korupsi paling berbahaya. Jenis Korupsi Sandera Negara menyebabkan krisis dan kemerosotan kedaulatan ekonomi, kedaulatan politik, bahkan kedaulatan pertahanan keamanan bangsa Indonesia. Perspektif Korupsi Sandera Negara melihat adanya perwujudan dalam “pembelian” atau “transaksi” berbagai keputusan politik, penerbitan Undang-undang (UU) dan kebijakan-kebijakan Pemerintah oleh sector corpora (pengusaha) dan penyalahgunaan wewenang dalam mendatangkan keuntungan-keuntungan ekonomi. Dengan perkataan lain, sebuah korporasi (perusahaan) atau gabungan korporasi asing (korporatokrasi internasional) lewat Pemerintah sedang berkuasa mampu membeli keputusan politik, penerbitan UU dan kebijakan Pemerintah; mendiktekan kontrak harga atau perpanjangan kontrak misalnya di bidang pertambangan atau Minyak dan Gas Bumi (Migas), perbankan, pertanian, kehutanan, kelautan, pendidikan dan lain sebagainya. Konsekuensi negatifnya, Pemerintah sendiri hanya sekedar sebagai kepanjangan tangan korporasi-korporasi besar dan asing. Dalam perspektif Korupsi Sandera Negara, para pihak terlibat langsung maupun tidak juga bisa dari dunia usaha/profesi dan masyarakat madani. Sebagai contoh, Notaris, Advokat, media massa/jurnalis, lembaga penelitian dan survey opini publik, pimpinan Parpol, pimpinan Ormas, NGO’s/LSM, Ilmuwan Kampus/Pengamat, Peneliti, dll. Para pihak terlibat langsung atau tidak ini bagaikan “gerombolan” saling membantu dan menjustifikasi/merasionalisasi keputusan politik, penerbitan UU dan kebijakan Pemerintah syarat Korupsi Sandera Negara. Mereka pada prinsipnya mendapatkan “keuntungan” dari korporasi-korporasi nasional atau internasional yang melakukan pembelian. Bagi media massa, sebagai missal, bisa jadi mendapatkan keuntungan melalui pemasangan iklan komersial oleh korporasi-korporasi pelaku jenis korupsi ini di media massa bersangkutan. Jenis Korupsi Sandera Negara ini “paling berbahaya” dan dapat melumpuhkan kemampuan bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Jenis korupsi ini telah menjerumuskan rakyat Indonesia ke dalam lembah kemiskinan, penangguran dan keterbelakangan. Para pelaku korupsi ini biasanya saling melindungi sehingga sangat tidak mudah memberantas model korupsi sandera Negara ini. Melihat proses hukum yang kini berkembang dalam pemberantasan korupsi, kita pantas “pesimistis’ pisau hukum dapat diarahkan ke para pejabat pelaku korupsi sandera Negara. Jenis Korupsi Sandera Negara ini bisa juga berlaku pada tingkat Provinsi dan Kabupaten. Pada tingkat Provinsi bisa terwujud dalam “pembelian” berbagai keputusan politik Provinsi, Peraturan dan keputusan Gubernur, Peraturan Daerah (Perda), dan kebijakan-kebijakan Pemerintah Provinsi oleh sector korporat (perusahaan) dan penyalahgunaan wewenang Pemerintah Provinsi dalam mendatangkan keuntungan-keuntungan ekonomi bagi korporasi (perusahaan), dan bisa jadi keuntungan politik kekuasaan bagi Gubernur atau pejabat pembuat keputusan Pemerintahan Provinsi bersangkutan. Dengan perkataan lain, sebuah korporasi atau gabungan korporasi nasional dan bisa jadi bergabung dengan korporasi asing (korporatokrasi internasional) lewat Pemerintah Provinsi sedang berkuasa mampu membeli keputusan politik, Pergub atau SKGub, Perda dan kebijakan Pemerintah Provinsi baik di bidang pertanahan, permukiman dan perumahan, infrastruktur, pendidikan, dll. Akibatnya, Pemerintah Provinsi sendiri hanya sekedar kepanjangan tangan korporasi-korporasi nasional atau asing. IV. KASUS TANAH TAMAN BMW DAN SUMBER WARAS Perspektif Korupsi Sandera Negara dapat juga digunakan untuk menilai dugaan korupsi dalam kasus tanah Taman BMW dan Sumber Waras.Kasus tanah Taman BMW dan Sumber Waras ini juga terkait dengan kebijakan Gubernur DKI Jakarta yang dapat diduga telah dibeli oleh korporasi (perusahaan) dan juga pengusaha besar. Dugaan korupsi dimaksud dapat melibatkan berbagai pihak baik langsung maupun tidak dan memperoleh keuntungan-keuntungan baik ekonomi maupun politik kekuasaan. 4.1. Kasus Tanah Taman BMW Kasus tanah Taman BMW diduga ada tindak pidana korupsi dalam proses tukar guling. Meskipun Mantan Wagub DKI Jakarta, Prijanto telah melaporkan kasus ini ke KPK, namun Ahok selaku Gubernur DKI tetap ngootot membela Pengembang Agung Podomoro Land bahwa tidak ada korupsi dalam kasus tukar guling Taman BMW. Secara rinkas Kasus Tanah BMW ini sebagai berikut.Mengacu pada sumber informasi dari SNAK MARKUS (Solidaritas Nasional Anti Korupsi dan Anti makelar Kasus), secara ringkas kronologis kasus Taman BMW sebagai berikut: 1. Pada 1990/1991, terjadi sengketa tanah dengan penyelesaian konsignasi. Tanah disengketakan bukan Taman BMW. 2. Pada Maret 2003, Pemprov DKI Jakarta mendapat SK Hak Pakai Taman BMW dari Kanwil BPN DKI Jakarta. Karena Pemprov DKI Jakarta tidak mempunyai alas hak atas tanah BMW, maka permohonan sertifikasi tidak pernah dikabulkan. SK Hak Pakai “sudah gugur demi hukum”. 3. Pada 8 Juni 2007, terbit BAST ( Berita Acara Serah Terima Tanah) antara PT. Agung Podomoro dengan Pemrov DKI,. Taman BMW dimasukkan menjadi asset atas dasar BAST. 4. Pada Agustus 2008, Pemprov DKI mengeksekusi taman BMW atas dasar BAST. 5. Pada Awal September 2012, Dr. Eggi Sudjana lapor kepada Wagub Prijanto. 6. Pada 14 September 2012, Wagub Prijanto gelar perkara Taman BMW. Hasil gelar perkara, ada dugaan kolusi dan korupsi di atas Taman BMW. 7. Pada akhir 2002, dugaan korupsi Taman BMW dilaporkan oleh SNAK MARKUS ke KPK. 8. Pada awal 2013 sampai dengan Agustus 2013, Prijanto memberi info kepada Para Staf s/d Gubernur/Wagub DKI atas kasus Taman BMW. 9. Pada 7 November 2014, Prijanjto memberi data tambahan ke KPK. 10. Pada 28 Mei 2014, Gubernur Jokowi meresmikan dimulainya pembangunan Stadion di atas Taman BMW, dengan dasar sertifikat seluas 12 Ha yang diperoleh dari pemberian Hak Pakai (bukan dari BAST). Pembangunan Stadion Olahraga ini sebagai pengganti akibat pembebasan tanah Stadion Olahraga Lebak Bulus, Jakarta Selatan untuk pembangunan Kereta Api MRT. SNAK MARKUS menduga terdapat kolusi dan korupsi kasus tanah BMW (Pemrove DKI dengan PT. Agung Podomoro) Tanah Seluas: 265.395,99 m2 senilai Rp. 737.395.249.808. Tanah BMW bukan milik Pemrov DKI Jakarta. Tidak ada dasar hukumnya, klaim Pemrove DKI Jakarta bahwa Tanah BMW sudah menjadi miliknya sejak tahun 1990 (sebagai hasil konsignasi). Sebab, taman BMW ada di Kelurahan Papanggo, bukan di Kelurahan Sunter ataupun di Kelurahan Sunter Agung. SNAK MARKUS bahkan mempertanyakan kepada Gubernur Jokowi, mengapa membiarkan kasus dugaan kolusi & korupsi Taman BMW masala lalu? Apa Jokowi takut dengan pengembang PT.Agung Podomoro? Juga mempertanyakan, mengapa Jokowi kok berani mensertifikasi sebagian tanah BMW, padahal tanah maih status sengketa, dan mengapa alas hak untuk sertifikasi kok berbeda dengan BAST. Bagi SNAK MARKUS, sertifikasi tersebut melanggar PP. No.24 Tahun 1997 dan PMNA Nomor 3 Tahun 1997. SK Hak Pakai tahun 2003 sudah mati dan tidak bisa untuk dasar sertifikasi. SNAK MARKUS dalam menilai dugaan kolusi dan korupsi kasus Tanah BMW berdasarkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Jumlah luas tanah dalam 5 SPH 122.228 m2, tidak sama dengan luas yang tertulis dalam BAST 265.395,99 m2. 2. Para pelepas hak “menyanggah” & tanda tangan diduga dipalsukan=SPH fiktif. 3. Letak tanah-tanah dalam SPH bukan Taman BMW. 4. Taman BMW sebagai asset Pemprov DKI Jakarta adalah “fiktif” sehingga telah menimbulkan kerugian Negara sebesar Rp. 737.395.249.809,- 5. Memasukkan taman BMS sebagai Asset Pemprov DKI didasarkan BAST adalah “perbuatan melawan hukum”. Berdasarkan uraian di atas, para pihak yang terkait langsung atau tidak langsung dengan kasus tanah Taman BMW dalam perspektif korupsi sanadera Negara ini antara lain: 1. Gubernur DKI Jokowi dan Wakil Gubernur Ahok. 2. Korporasi, PT. Agung Podomoro dll. 3. Kanwil BPN DKI Jakarta. 4. BPN Jakarta Utara. 5. DPRD DKI Jakarta 6. Lurah Papango 7. Kementerian Perhubungan. 8. Pimpinan Manajemen Proyek MRT (Pendana, Konsultan dan Kontraktor Jasa Konstruksi MRT). 4.2. Kasus Tanah Sumber Waras Bermula dari temuan BPK bahwa pembelian 3,64 Ha Tanah milik yayasan Kesehatan Kesehatan Sumber Waras terindikasi merugikan uang Negara. Lokasi tanah dimaksud berada di Jalan Tomang Utara, suatu kampong sempit yang selalu macet pada jam kerja. Berdasarkan sumber http://www.pkspiyungan.org (2015/07/12), Garuda Institute menemukan 12 fakta hasil kajian soal BPK versus Korupsi Ahok. Garuda Institute mengecam keras provokasi yang disampaikan Ahok melalui media terhadap pejabat BPK terkait audit laporan keuangan Pemprove DKI 2014, terutama menyangkut pembelian tanah 3,64 Ha milik Yayasan Kesehatan Smber Waras. 12 Fakta hasil studi Garuda Institute dimaksud sebagai berikut: 1. Pemprove DKI membeli sebidang tanah di bagian belakang areal Rumah Sakit Sumber Waras, Grogol, seluas 3,64 Ha. Tanah ini tidak siap bangun karena di atasnya terdapat sejumlah bangunan milik RS Sumber Waras yang hingga kini masih difungsikan. Tanah tersebut juag dikenal sebagai langganan banjir. 2. Tanah 3,64 Ha itu berbatasan dengan rumah penduduk (Utara) Jalan Tomang Utara IV (Timur), Jalan Tomang Utara (Barat), dan RS Sumber Waras (Selatan). Jalan Tomang Utara adalah jalan kampung sempit yang selalu macet pada jam kerja. Saat ini tanah tersebut tiadk mempunyai akses jalan kecuali melalui tanah RS Sumber Waras. 3. Pemprove DKI membeli tanah tersebut sehanrga Rp. 20,75 juta per meter atau Rp. 744,69 miliar cash. Harga Rp. 20,75 juta per meter adalah NJOP tanah bagian depas areal RS Sumber Waras berbatasan dengan Jalan Kyai Tapa. Sementara NJOP tanah bagian belakang areal RS Sumber Waras berbatasan dengan Jalan Tomang Utara hanya Rp. 7,44 juta. 4. Pemilik tanah 3,64 Ha itu adalah Yayasan Kesehatan Sumber Waras yang yang pengurusnya dipimpin oleh Kartini Muljadi, perempuan terkaya di Indonesia. Yayasan itu didirikan orang-orang Cina bergabung dalam Perhimpunan Sosial Candra Naya yang sebelumnya bernama Perkumpulan Sin Ming Hui. 5. Tanah 3,64 Ha yang dibeli Pemprov DKI memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 2878 per 27 Mei 1998 dengan masa berlaku 20 tahun, alias habis 27 Mei 2018. Berdasarkan Pasal 36 Ayat (12) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, tanah dengan sertifikat HGB yang habis jangka waktunya otomatis menjadi tanah milik Negara. 6. Tanah 3,64 ha yang dibeli Pemprove DKI memiliki tunggakan utang pajak bumi dan bangunan (PBB) senilai total Rp. 6,62 miliar. Tunggakan pajak itu tiadk menjadi pengurangan harga beli sebabagaimana lazimnya praktik transasksi tanah. Posisi terakhir, Yayasan Kesehatan Sumber Waras baru membayar 50 % dari tunggakan tersebut. 7. Transaksi pembelian tanah antara Yayasan Kesehatan Sumber Waras dan Pemprove DKI dilakukan saat yayasan masih terikat dengan Akta Perjanjian Perikatan Jual Beli (APPJB) tanah yang sama dengan PT.Ciputra Karya Unggul. Yayasan seperti si ataur dalam APPJB itu, juga telah menerima uang muka Rp. 50 miliar dari PT Ciputra Karya Unggul. 8. Harga tanah dalam APPJB tersebut disepakati Rp. 15,50 juta per meter, ditambah syarat Yayasan Kesehatan Sumber Waras mengurus perubahan peruntukan tanah tersebut dari umum menjadi komersial. Sementara itu, Pemprov DKI membeli tanah tersebut seharga Rp. 20,75 juta per meter, tanpa syarat perubahan peruntukan. 9. Pengurus Yayasan Kesehatan Sumber Waras menawarkan tanah 3,64 Ha itu kepada Pemprov DKI dengan alamat Jalan Kyai Tapa, dengan harga NJOP pada 2014 sebesar Rp. 20,75 juta per meter (Rp. 755,69 miliar). Padahal, lokasi fisik tanahnya berada di Jalan Tomang Utara, dengan NJOP pada 2014 hanya Rp. 7,44 juta (Rp. 564,35 miliar). 10. Pemprov DKI membeli 3,64 Ha tanah itu Rp. 755,69 miliar tanpa menawar dan mengecek, sama dengan penawaran Yayasan Kesehatan Sumber Waras. Penawaran disampaikan 7 Juli 2014, dan direspons langsung oleh Gubernur DKI Jakarta pada 8 Juli2014 dengan mendisposisikannya ke Kepala Bappeda DKI untuk dianggarkan dalam APBD-P DKI 2014. 11. Pemprov DKI membeli tanah itu untuk dijadikan Rumah Sakit. Padahal, selain lokasinya tidak strategis, belum siap bangun, langganan banjir, dan tidak mudah diakses karena berada pada jalan kampong, Pemprove DKI juga amsih mempunyai banyak tanah yang strategis. Apalagi, kebutuhan minimal tanah untuk rumah sakit hanya 0,25 Ha (2.500 M2). 12. Sekalipun Gubernur DKI Ahok telah mengklaim akan membatalkan transaksi pembelian tanah itu, pada praktiknya pembatalan tersebut nyata bukan sepenuhnya berada dalam kekuasaan Pemprov DKI. Selama yayasan Sumber Waras tidak mau membatalkannya, maka transaksi itu pun tidak bisa dibatalkan. Berdasarkan uraian di atas, para pihak yang terkait dengan kasus tanah Sumber Waras ini antara lain: 1. Gubernur DKI Ahok 2. Kepala Bappeda DKI 3. DPRD DKI 4. Kartini Muljadi (Pimpinan Yayasan Kesehatan Sumber Waras) 5. Notaris V. INDIKASI KORUPSI SANDERA NEGARA Kebijakan Pemprov DKI Jakarta dengan PT.Agung Podomoro tentang Tanah seluas 265.395,99 M2 senilai Rp. 737.395.249.809, diklaim sebagai tanah diserahkan terima dari PT.Agung Podomoro kepada Pemprove DKI diduga mengandung unsur “korupsi sandera negara” dengan melibatkan para pihak sesuai kepentingan langsung maupun tidak langsung atas tanah Taman BMW tersebut, yakni Gubernur DKI Jokowi dan Wakil Gubernur Ahok; Korporasi, PT. Agung Podomoro dll; Kanwil BPN DKI Jakarta; BPN Jakarta Utara; DPRD DKI Jakarta; Lurah Papango; Kementerian Perhubungan; dan, Pimpinan Manajemen Proyek MRT (Pendana, Konsultan dan Kontraktor Jasa Konstruksi MRT). Kebijakan Pemprov DKI menerbitkan Sertifikat Tanah Taman BMW untuk pembangunan Stadion Olahraga lebih mengutamakan kepentingan korporasi pengembang. Sementara kepentingan rakyat pemilik tanah Taman BMW itu sendiri diabaikan hingga kini. Hingga kini, mereka terus berjuang namun Pemprov DKI belum juga memenuhi tuntutan mereka ini. Hubungan kepentingan politik antara Jokowi dan Ahok dengan korporasi PT. Agung Pdodmoro, dll perlu diteliti lebih mendalam untuk mengetahui motip Jokowi dan Ahok mengambil kebijakan menerbitkan dua Sertifikat dan berencana menjadikan tanah Taman Pemda DKI untuk pembangunan Stadion Olahraga sebagai pengganti pembebasan tanah Stadion Olahraga Lebak Bulus, Jakarta Selatan untuk pembangunan Kereta Api MRT. Model korupsi sandera Negara kasus tanah Sumber Waras ini bisa jadi telah melibatkan para penegak hukum dan media massa sehingga para pihak terlibat dapat terbebas dari hukuman tindak pidana korupsi. Kebijakan Pemprov DKI tentang pembelian tanah Yayasan Kesehatan Sumber Waras diduga mengandung unsure “korupsi sandera Negara” dengan melibatkan Ahok sebagai Guberbur; Kepala Bappeda DKI; DPRD DKI; Kartini Muljadi (Pimpinan Yayasan Kesehatan Sumber Waras) mengaku sebagai pemilik tanah dimaksud; dan, Notaris sebagai Saksi transaksi jual beli tanah tersebut. Hubungan kepentingan politik antara Ahok dan Kartini Muljadi perlu diteliti lebih mendalam untuk mengetahui motip Ahok mengambil kebijakan agar Pemda DKI membeli tanah milik Yayasan Kesehatan Sumber Waras tersebut sehingga diperkirakan . Model korupsi sandera Negara kasus tanah Taman BMW ini ini bisa jadi telah melibatkan para penegak hukum dan media massa sehingga para pihak terlibat dapat terbebas dari hukuman tindak pidana korupsi (MEH).