Senin, 15 Oktober 2012

PERTANYAAN POKOK PERDEBATAN PUBLIK RUU KEAMANAN NASIONAL

Saat ini Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Pertahanan (Kemenhan) telah mengajukan Rencana Undang-undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) kepada DPR-RI. RUU Kamnas masuk Prolegnas (Program Legislasi Nasional) di DPR, dan baru mulai memasuki tahap pembahasan dan dengar pendapat publik. Menurut Ketua Pansus RUU Kamnas, Agus Gumiwang, pada 23 Oktober 2012 Pansus akan mengundang Pemerintah untuk membicarakan masalah RUU Kamnas ini. RUU Kamnas sesungguhnya mendapat relatif banyak perhatian baik kalangan akademisi ilmu politik, pengamat militer, kader Parpol, aktivis NGO’s, pimpinan organisasi kemasyarakatan, jurnalis/wartawan media massa dan bahkan mantan perwira Kepolisain RI. Telah terjadi perdebatan publik baik di DPR, forum diskusi maupun media massa. Beragam issue (persoalan pokok) terkait RUU Kamnas telah mengambil tempat, terutama dikaitkan dengan penegakan Hak-hak Azasi Manusia (HAM), demokrasi, kepentingan nasional dan kewenangan Kepolisian. Terdapat dua kelompok besar. Pertama, kelompok kontra keberadaan RUU Kamnas, yang diwakili aktivis NGO’s pro demokrasi dan mantan perwira Kepolisian RI. Kedua, kelompok pro keberadaan RUU Kamnas, yang diwakili akademisi ilmu politik, pengamat militer dan organisasi kemasyarakatan. Namun, kelompok kontra keberadaan RUU Kamnas terkesan lebih dominan diberitakan di media massa, khususnya media cetak. Sepanjang perdebatan publik dimaksud, beberapa pertanyaan pokok dapat teridentifikasi untuk didiskusikan lebih seksama dan obyektif sehingga dapat membantu terciptanya keseimbangan pro dan kontra atas RUU Kamnas ini, sekaligus memberi masukan kepada DPR dalam proses penyusunan UU Kamnas. Karena keberadaan RUU Kamnas ini adalah bagian upaya reformasi dan demokratisasi sektor keamanan di tengah-tengah gelombang globalisasi, maka perspektif yang “layak” dan “ideal” untuk menjawab beberapa pertanyaan pokok dimaksud adalah: a.Perlukah diterbitkan UU Kamnas bagi Negara Republik Indonesia mengingat perubahan politik dan ekonomi dunia pasca perang dingin lebih mengarah proses demokratisasi dan globalisasi? Jika perlu,mengapa? b.Perlukah pembentukan Dewan Keamanan Nasional (DKN) yang melibatkan masyarakat madani di Indonesia? Jika, perlu, Mengapa? c.Apakah RUU Kamnas akan “mempreteli” atau mengurangi kewenangan Kepolisian ? Jika ya, kewenangan Kepolisian yang mana akan dipreteliatau dikurangi? d.Apakah RUU Kamnas berpotensi menganggu penegakan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil? Jika ya, pasal-pasal mana berpotensi menganggu dimaksud dan apa argumentasi atau alasan-alasan rasional dan logisnya? e.Apakah RUU Kamnas berpotensi melanggar hak-hak Azasi Manusia (HAM) ? Jika, ya pasal-pasal mana berpotensi melanggar dimaksud dan apa argumentasi atau alasan-alasan rasional dan logisnya? f.Apakah Pasal 54 RUU Kamnas akan menjadikan pekerja media menjadi salah satu sasaran aparat ? Jika ya, apa argumentasinya? g.Ada penilaian sebagian aktivis NGO’s bahwa RUU Kamnas ini sama saja dengan UU Suversi yang pernah hidup pada masa pemerintahan otoriterian Orde Baru. RUU ini dapat mengembalikan format politik rezim represif seperti masa lalu. Apakah penilaian mereka dapat diterima secara rasional dan logis? Jika ya, mengapa? Jika tidak, mengapa? h.Mengapa sebagian aktivis NGO’s dan purnawirawan polisi begitu getol menolak RUU Kamnas? Apa alasan filosifis, sosiologis dan legalitas mereka menolak RUU Kamnas? Atau, satu pertanyaan khusus: apa “motip” mereka menolak? Beberapa pertanyaan pokok ini dicoba disajikan dalam suatu Round Table Discussion (RTD) “Mengkaji RUU Keamanan Nasional dalam Perspektif Demokratisasi dan Globalisasi”. RTD ini diselenggarakan INSTITUT EKONOMI DAN POLITIK SOEKARNO-HATTA (IEPSH) bekerjasama dengan NETWORK FOR SOUTH EAST ASIAN STUDIES (NSEAS) di Jakarta, 16 Oktober 2012. Sekitar 15 orang menjadi peserta aktif yang memberikan pemikiran, penilaian dan opini tentang RUU Keamanan Nasional baik dari unsur Pemerintahan, Dunia Usaha dan Masyarakat Madani. Tujuan utama FGD ini adalah untuk menggeser pendulum jam yang terlalu sangat ke kiri kea rah tengah sehingga tercapai obyektivitas dalam perdebatan publik, dan benar-benar UU Keamanan Nasional untuk penguatan masyarakat madani sebagai komponen sasaran demokratisasi yang menghadapi berbagai macam rintangan, kendala dan ancaman keamanan dari gelombang globalisasi (Muchtar Effendi Harahap).

Minggu, 07 Oktober 2012

PERINGKAT ATAS KORUPSI KADER PARPOL VERSI DIPO ALAM DAN ICW: GOLKAR, PDIP DAN DEMOKRAT

Fakta dan data perilaku kader Parpol dalam tindak pidana korupsi dapat disajikan dari berbagai cara. Salah satunya, cara perhitungan “Izin dari Presiden untuk pemeriksaan hukum atas kepala daerah” sebagaimana pernah dipublikasikan Sekretaris Kabinet Dipo Alam akhir September 2012. Juga, menyusul hasil publikasi ICW beberapa hari setelah publikasi Dipo Alam. Izin dari Presiden untuk pemeriksaan hukum atas kepala daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terutama Pasal 36 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3). Pasal 36 Ayat (1) berbunyi, “Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik”. Pasal36 Ayat (2) berbunyi, “Dalam hal persetujuan tertulis tidak diberikan Presiden dalam waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak diterimannya permohonan, proses penyelidikan, dan penyidikan dapat dilakukan”. Selanjutnya, Pasal 36 Ayat (3) berbunyi, “Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan terhadap kepala daerah memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden dan apabila persetujuan tertulis dimaksud tidak diberikan Presiden dalam waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak diterimannya surat permohonan maka proses penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan dapat langsung dilakukan”. Namun demikian, Pasal 36 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3) di atas sekarang ini tidak berlaku lagi karena pada 26 September 2012, MK (Mahkamah Konstitusi) telah memutuskan untuk membatalkannya. Keputusan MK tersebut final dan mengikat. Karena itu, ke depan tidak perlu lagi mengajukan izin dari Presiden untuk pemeriksaan hukum pejabat kepala daerah terkait termasuk kasus korupsi. Berdasarkan UU Nomor 36 tahun 2004 sebelum adanya keputusan MK, terutama sepanjang Oktober 2004 sampai September 2012, Sekretaris Kabinet Dipo Alam, dalam jumpa pers Jumat 28 September 2012membeberkan, ada 176 permohonan izin pemeriksanaan kepada daerah yang diajukan penegak hukum kepada Presiden. Dari pejabat yang dimintakan izin pemeriksanaan itu terbanyak kader Partai Golkar. Dari 176 pejabat tersebut, sejumlah 131 permohonan (74,43%) terkait kasus korupsi. Proses pemberian izin presiden itu melalui mekanisme pemeriksanaan tim yang dikoordinasi Sekretaris Kabinet. Jumlah penjabat yang kader Partai Golkar sebanyak 64 orang (36,36 %); kader PDIP sebanyak 32 orang (18,18 %); Partai Demokrat sebanyak 20 orang (11,36 %); PPP sebanyak 17 orang(9,65%); PKB sebanyak 9 orang (3,97 %); PAN sebanyak 7 orang (2,27 %); serta sejumlah Partai lain masing-maing 1 orang. Proses pemberian izin presiden itu melalui mekanismepemeriksanaan tim yang dikoordinasi Sekretaris Kabinet. Peringkat korupsi pertama kader Parpol pejabat kepala daerah yang terkena kasus korupsi berasal dari Partai Golkar, diikuti PDIP (peringkat kedua), Partai Demokrat (peringkat ketiga), PPP (peringkat keempat), PKB (peringkat kelima), PAN (peringkat keenam. Dengan demikian, peringkat atas korupsi kader Parpol adalah Golkar, PDIP dan Demokrat. Dipo sendiri saat menyampaikan data itu menegaskan, itu bukan untuk membuka aib Partai politik atau orang lain. Data disampaikan berkaitan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi tentang tidak diperlukannya lagi izin Presiden untuk pemeriksaan hukum atas kepala daerah.Ia menyampaikan data itu sebagai pertanggungjawaban kepada publik atas tugas menangani permohonan izin pemeriksaan, sebelum izin itu ditandatangani Presiden. Tingkat Anggota DPRD Sesungguhnya fakta dan data kader Partai Golkar sebagai pejabat kepala daerah sebagai pelaku korupsi peringkat pertama juga tidak berbeda dengan fakta dan data anggota DPRD tingkat propinsi yang izin pemeriksaannya dikeluarkan Mendagri (Menteri Dalam Negeri). Mendagri sudah mengeluarkan izin pemeriksaan untuk anggota DPRD propinsi sebanyak 431 izin. Peringkat pertama kader Parpol yang mendapatkan izin Mendagri, yakni kader Partai Golkar sebanyak 149 izin (32,57 %), diikuti kader PDIP 106 izin (24,6 %) sebagai peringkat kedua, kader PPP sebanyak 40 izin (9.28 %) selaku peringkat ketiga, kader PAN sebanyak 23 izin (5,34 %) sebagai peringkat keempat, kader Partai Demokrat 17 izin (3,94 %) sebagai peringkat kelima; dan, Parpol lain seperti PKB,PKS,PDS dan PBR sisanya. Untuk pejabat DPRD tingkat kabupaten/kota dikeluarkan 994 izin pemeriksaan 2.553 orang. Dari keseluruhan izin tersebut, peringkat pertama tetap diraih kader Partai Golkar sebanyak 146 (27,5%); peringkat kedua diraih PDIP sebanyak 74 (14,43 %), peringkat ketiga diraih Partai Demokrat 63 (11,56 %), peringkat keempat diraih PPP 39 (7,08 %), peringkat kelima diraih PKB 30 (5,59 %), peringkat keenam diraih PAN 28 (5,2 %), peringkat ketujuh diraih Hanura 28 (5,2 %), peringkat kedelapan diraih PKS sebanyak 27 (5,03 %), peringkat kesembilan diraih PDS sebanyak 26 orang (4,85 %), dan peringkat kesepuluh diraih Gerindra sebanyak 15 (3,54 %). Khusus fakta dan data Dipo Alam tentang kader Parpol terkait kasus korupsi berdasarkan izin pemeriksaan hukum dari Presiden SBY, seperti memperkuat pernyataan SBY dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat saat berbicara dalam Forum Komunikasi Pendiri dan Deklarator Partai Demokrat pada Rabu, 13 Juli 2011 tahun lalu. Saat itu, di hadapan kader Partai Demokrat menegaskan bahwa pemberitaan media, kata SBY , memunculkan pandangan bahwa Demokrat adalah Parpol korup sedangkan Parpol lain bersih. Hal ini menyebabkan popularitas Demokrat menurun signifikan, terutama setelah selama satu tahun terakhir media memberitakan kader Demokrat yang korupsi.Ia juga menegaskan, banyak Parpol yang lebih korup dari Partai Demokrat. "Saya ingin menunjukkan data yang sah, masih banyak parpol yang korupsinya jauh di atas Demokrat," kilahnya. Dalam kesempatan itu SBY menyebutkan Partai Demokrat menempati urutan kelima dari seluruh Parpol yakni hanya 3,9 %. "Saya beri contoh kasus korupsi di tingkat DPRD provinsi, dalam kurun 2004 sampai 2012. Korupsi yang dilakukan oknum Demokrat 3,9 %, peringkat 5 dari seluruh Parpol. Di atas Partai Demokrat ada 34,6 %, 24,6 %, 9,2 % dan 5,2 %. Sedangkan untuk korupsi di tingkat DPRD Kabupaten/Kota pada periode yang sama, SBY memaparkan kader Partai Demokrat menempati peringkat tiga dengan 11,5 %, yakni di atas Partai Demokrat, masing-masing 27 %, dan 14,4 %. Sedangkan untuk korupsi di tingkat DPR, Kementerian, Gubernur, dan Wali Kota/Bupati, kader Partai Demokrat juga menempati posisi tiga. Di bawah dua parpol lain. Di atasnya masih ada dua parpol dengan angka 33,7 % dan 16,6 %. Dalam kesempatan tersebut, SBY mengaku heran bila Partai Demokrat masih terus disebut sebagai Parpol korup. "Itu faktanya, kenyataannya, adilkah jika kita divonis sebagai Parpol korup sedangkan Parpol lain dianggap Parpol bersih," kilahnya. Tanggapan Kader Parpol Atas penyingkapan fakta dan data Dipo Alam terkait kasus korupsi kader Parpol, para elite Parpol cenderung menunjukkan karakteristik perilaku “ penghindaran penyingkapan kasus korupsi kader Parpol”. Hal ini sangat terlihat dari tanggapan atau reaksi para elite Parpol yang terkena di dalam peringkat atas pejabat kepala daerah yang dimintakan izin pemeriksanaan penegak hukum kepada Presiden sepanjang Oktober 2004 sampai September 2012. Sebagai misal, tanggapan atau reaksi keras kader Partai Golkar dan PDIP masing-masing peringkat pertama dan kedua. Tribunnews.com - Senin, 1 Oktober 2012 melaporkan, Bambang Soesatyo (Kader Partai Golkar) mencurigai bahwa Dipo telah menukangi data. Menurutnya, Golkar sedang mencari detail jumlah kasus yang dirilis Dipo berdasarkan dua periode 2004-2009 dan 2009-sekarang. Ia menduga, jika Dipo jujur dan tidak menggabungkan dua periode tersebut. Artinya memisahkan penjumlahan dalam dua periode, saya yakin, periode 2009-sekarang juaranya pasti Partai Demokrat. Bahkan, Anggota Komisi III DPR ini menilai, Dipo tengah berupaya mencari muka pada Presiden dengan menjustifikasi bahwa Parpol Presiden bukanlah juara korupsi. Langkah Dipo, tegasnya, tidak akan mempengaruhi persepsi publik bahwa Istana adalah episentrum korupsi. Apalagi, ada kesandi publik, beberapa kasus besar seperti Bank Century, Hambalang, dan Wisam Atlet melibatkan orang-orangpenting yang dekat dengan Istana (Kompas, 29 September 2012). Intinya, tanggapan atau reaksi keras kader Partai Golkar ini justru diarahkan pada Partai Demokrat, seakan-akan Dipo Alam yang birokrat itu sebagai pembela kepentingan Partai Demokrat. Adapun fakta dan data pejabat kepala daerah kader Golkar terkait kasus korupsi selama ini sebagaimana dimaksudkan Dipo tidak menjadi fokus perhatian atau perdebatan. Dengan perkataan lain, seakan Dipo bicara “tikus”, sementara Bambang bicara “kucing”. Tidak relevan! Senada dengan Bambang, kader Golkar lain, mantan artis Nurul Arifin, menyatakan, pernyataan Dipo Alam tentang permohonan izin pemeriksanaan kepala daerah menyerang Partainya (Kompas, 1 Oktober 2012). Pasalnya, menurut Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar ini, banyak orang kini gerah melihat hasil sejumlah survei Golkar memimpin. Ia pun berkilah, terlepas dari benartidaknya perkara yang disebutmenyangkut kader Golkar, mereka terus berbenah untuk melahirkan kader andal yang berkontribusi positifdalam mewujudkan pemerintahan bersih dan berwibawa. Kader Golkar lain memiliki tanggapan atau reaksi keras terhadap fakta dan data Dipo dimaksud adalah Lalu Mara Satria Wangs. Ia adalah Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar. Menurutnya, pernyataan Dipo Alam itu sebagai tindak lanjut pernyataan SBY saat membuka Silaturahim Pendiri dan Deklarator Partai Demokrat pada 13 Juni lalu (Kompas, 1 Oktober 2012). Saat itu,lanjutnya,meski tidak menyebut nama Parpol lain, SBYmenyatakan,pelaku korupsi terbanyak bukan dari Partai Demokrat. Selain itu, sambung Lalu Mara, membunuh karakter Parpol lain. Di sisi lain,pernyataan Dipo dinilai juga menunjukkan ketidakmampuan pemerintah mengontrol lembaga pemerintahan di bawahnya sepertri gubernur dan bupati/walikota. “Sebagai pimpinan tertinggi pemerintahan,SBYseharusnya cukup memerintahkan proses hukum bagi kepala daerah yang diduga terlibat perkara. Langsung saja ditindak. Tidak perlu dikomentari atau diumumkan Partainya”. Kemudian, ia pun berkilah, Golkar punya sikap jelas dalam pemberantasan korupsi dan selalu minta kadernya menjalankan amanah dengan baik. Di lain fihak, sekalipun Zainal Bintang kader Golkar,tapimempunyai tanggapan sangat berbeda dibandingkan dengan Bambang, Nurul dan Lalu (TEMPO.CO, Jakarta. 1 Oktober 2012). Menurut Bintang, pimpinan Parpol seharusnya berterima kasih kepada Sekretaris Kabinet Dipo Alam atas pemetaan Parpol terhadap kader Parpol yang terlibat kasus korupsi. Alasannya, Dipo Alam secara sukarela membeberkan data perilaku tercela pejabat publik kader Parpol.“Faktanya, kader Parpol banyak korupsi, bahkan banyak yang dijatuhi hukuman.Apa yang salah?” kata Bintang. Menurut Bintang, penilaian soal kebobrokan perilaku kader Parpol sangat perlu diberitakan kepada rakyat. Sebab, rakyatlah yang berkepentingan atas keberadaan Parpolmaupun kadernya sebagai pengelola negara di legislatif atau di eksekutif. Dia sangat menyesalkan sikap elite Parpol yang reaktif dan menyerang balik Dipo Alam dengan argumentasi soal etika.Bintang mengingatkan Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Partai Golkar agar konsisten mengontrol perilaku kader Golkar. Ia juga berharap para kader tidak melenceng dari prinsip etika dan moral. “Kader Golkar harus menganut prestasi, dedikasi, loyalitas, dan tidak tercela”, tegas Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Ormas Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong ini. Reaksi dan tanggapan keras lain datang dari kader PDIP, antara lainSekretaris Jenderal DPP PDIP Tjahjo Kumolo (inilah.com, 1 Oktober 2012) meminta agar Presiden SBY memberikan klarifikasi terkait diumumkannya pejabat Negara dari Parpol tertentu yang paling korup tersebut. Bagi PDIP, apa yang dilakukan Seskab ini tidak lazim, terkesan tidak etis. “Menurut saya, apakah lazim seorang Seskab menyampaikan opini terkait pejabat daerah yang juga merupakan bagian dari aparatur pemerintahannya. Sebaiknya sebut saja nama kepala daerah dari kebupaten atau kota/propinsi mana yang diindikasikan terlibat masalah hukum. Tidak eloklah, disebut nama Partainya,” keluh Tjahjo Sembari menekankan, justru yang dilakukan Seskab terkesan pesanan.Sebab Presiden sendiri menghimbau agar terciptanya iklim kerja yang kondusif.“Apakah ini pesaanan Presiden atau inisiatif sendiri?Bukannya Presiden selalu membangun iklim sejuk di pemerintahannya dengan mitra-mitra politiknya?,” tanyanya. Namun, lanjutnya, bagi PDIP paham dengan apa yang dilakukan Seskab. PDIP tahun maksud di balik diumumkannnya pejabat Negara dari parpol yang terkorup tersebut. Tidak perlu Seskab yang mengklarifikasi karena ia sudah paham pernyataan tersebut arah politiknya untuk apa dan ke mana. Di lain kesempatan, Tjahjo Kumolo juga memberikan pesan etika dalam hal fakta dan data yang dipublikasikan Dipo. Baginya, Sekretaris Kabinet dan Kepala Daerahsama-sama bagian dari aparatur pemerintah (Kompas, 1 Oktober 2012). Namun, Dipo tidak perlu mengklarifikasi pernyataannya karena kepentingan dan arah politiknya sudah jelas. Jika ada pun, klarifikasi sebaiknya disampaikan langsung Presiden SBY. “Sekretaris Kabinet memang lebih pandai memanfaatkan momentum untuk menjalankan agenda politik Presiden dibandingkan menteri lainnya. Namun,pernyataan Seskab itu justru merugikan Presiden”, ujar Tjahjo. Senada dengan Tjahjo, Ketua DPP PDIP Bidang Hukum Trimedya Panjaitan juga member tanggapan dan reaksi keras. Menurut Trimedya, bukan tugas pokok dan fungsi Dipo membeberkan kasus hukum yang seharusnya menjadi kewenangan kepolisian dan kejaksaan. Jika memang mau membeberkan kasus korupsi yang merugikan negara, sampaikan juga kerugian negara paling besar yang ditimbulkan Parpol dalam kasus hukum itu. Ia juga mengungkapkan, praktik tebang pilih penanganan kasus hukum itu dirasakan PDIP (Kompas, 29 September 2012). Sementara itu, Dipo Alam memuji Ketua Umum PDIPMegawati Soekarnoputri yang melakukan otokritik terhadap kadernya di eksekutif dan legeslatif daerah dan pusat yang menjadi borjuis baru."Baru itu seorang negarawan, yaitu menggunakan data yang saya sampaikan sebagai bahan otokritik," katanya di Jakarta, Senin petang, mengomentari pernyataan Megawati saat Pemantapan Tiga Pilar Partai di GOR Jatidiri Semarang, Jawa Tengah.Ketika itu Megawati mengkritik kader yang terjerat kasus korupsi. Di lain fihak, sekalipun kader Partai Demokrat dinilai sebagai peringkat ketiga, tetapi pada umumnya tanggapan dan reaksi kader Demokrat tidak keras namun relatif lunak. Sebagai misal, Ketua Departemen Penegakan Hukum Partai Demokrat,Benny K. Harmanmenanggapi, yang disampaikan Dipo merupakan fakta politik hingga tidak perlu dikomentari macam-macam. Parpol seharusnya menjadikan data itu untuk refleksi dan koreksi. Benny juga menolak penilaian, banyaknya kepala daerah yang telibat korupsi adalah bagian kegagalan pemerintah. Pengumuman itu justru bagian dari komitmenpemerintah, khususnya Presiden SBY, dalam pemberantasan korupsi (Kompas, 1 Oktober 2012). Untuk tanggapan kader PPP, dapat diwakili Ketua Umum DPP PPP, Suryadharma Ali. Ia mengakui hal tersebut cukup mengganggu. Apalagi Partainya juga ikut disebut (RepublikaOn Line,Senin, 01 Oktober 2012). "Ya terganggu juga ada, positifnya juga ada," ujarnya.Meski terganggu, ia memilih untuk menjadikan pernyataan tersebut sebagai instrospeksi bagi seluruh Partai. Caranya dengan komitmen dan integritas di dalam Partai."Itu sebagai introspeksi kami supaya lebih baik lagi ke depan," kilah Suryadharma.PPP sendiri, lanjutnya, pernah meminta KPK untuk memberikan pemahaman tentang UU Korupsi sehingga bisa diterapkan secara internal.Ia juga tak menginginkan pernyataan dan pemaparan data yang dilakukan Dipo Alam diperbesar di hadapan publik karena akan berpengaruh pada persepsi publik terhadap Parpol. Di lain fihak, tanggapan kader PAN dapat diwakili Hatta Radjasa. Senada dengan Ketua Umum DPP PPP, Ketua Umum DPP PAN ini tidak menyalahkan Dipo Alam, yang mempublikasi catatan pemberian izin penyelidikan dan penyidikan kepada pejabat negara atau anggota dewan yang terlibat kasus hukum. “Saya melihat itu sebagai satu fakta yang diungkapkan dan disampaikan saja,” tandas Hatta di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin 1 Oktober 2012. “Jadi saya tidak melihat (ucapan Dipo) dari sisi lain. Kami setuju semua korupsi harus diberantas tanpa pandang bulu,” lanjutnya. Sementara itu, tanggapan kader PKS dapat diwakili Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq. Menurutnya, rilis Dipo Alam biasa-biasa saja (ANTARA News, 30 September 2012). Dan itu bukan yang pertama, sebelumnya telah dilakukan Mendagri (Menteri Dalam Negeri). Bedanya Mendagri merilis lebih lengkap dan terkesan objektif karena menyebutkan secara utuh tersangka koruptor dari Partai-Partai di legislatif, eksekutif hasil Pilkada maupun dari kalangan birokrat," katanya. Luthfi menambahkan, karena Dipo hanya menyebut tersangka koruptor asal Partai dengan rangking besarannya, maka memunculkan reaksi yang menuduh rilis beliau konspiratif, terutama pada Partpol-parpol urutan teratas. "Bagi Partai Demokrat itu dianggap support moral, karena dia menjadi tidak sendirian seperti opini yang terbentuk akhir-akhir ini," ungkapnya. Menurut Luthfi, kalau dianalisa lebih cermat, rilis itu bisa jadi bumerang bagi pemerintah dan para penegak hukum.Karena banyaknya jumlah tersangka menunjukkan rendahnya wibawa dan kinerja pencegahan pemerintah dan penegak hukum dalam melaksanakan mandat reformasi, apalagi rangking Partai pemenang juga tinggi, maknanya di internal Partainya sendiri semangat pemberantasan korupsi itu diabaikan kader-kader terbaiknya. Peringkat Atas Korupsi Parpol versi ICW Fakta dan data lain muncul di media massa beberapa hari setelah publikasi fakta dan data Dipo Alam, yakni hasil penelitian ICW (Indonesia Corruption Watch)yang diekspose Tama S. Langkun di Jakarta, 4 Oktober 2012. Penelitian ICW dilakukan selama periode 1 Januari-31 Juni2012 (Semester Pertama) berdasarkan data yang bersumber dari media massa (Republika, 5 Oktober 2012). Kasus yang dipantau merupakan seluruh kasus yang statusnyadalam tahappenyidikan. Menurut ICW, ada 285 kasus korupsi, baik di pusat maupun daerah sepanjang waktu itu. Dengan Aktor Korupsi yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat penegak hukum sebanyak 597 orang dengan potensi kerugian negara Rp. 1,22 triliun. Dari keseluruhan tersangka tersebut, terdapat 44 kader Parpol. Sebanyak 21 orang berasal dari kalangan atau mantan anggota dewan, baik pusat maupun daerah. Selanjutnya, 21 orang berasal dari kepala daerah atau mantan serta dua orang pengurus Parpol. Dari keseluruhan kader Parpol terjerat kasus korupsi, menurut ICW, kader Partai Golkar meraih peringkat pertama (13 orang), disusul kader Partai Demokrat (8 orang) sebagai peringkat kedua, dan PDIP (7 orang) sebagai peringkat ketiga. Di peringkat berikutnya diraih berturut-turut kader PAN sebanyak 6 orang, PKB sebanyak 3 orang, PKS, Partai Gerindra dan PPP masing-masing 2 orang. Dengan demikian, peringkat atas korupsi kader Parpol masih diraih Golkar, PDI dan Demokrat. Menanggapi temuan tersebut, Ketua DPP Partai Golkar Hajriyanto Y. Thohari mengatakan prihaton.”Mau ngomong apalagi saya? Saya hanya bisa prihatin. Saya tidak mau membantah konstatasi ICW dan Seskab Dipo Alam tersebut. Saya juag todak mau berapologi Korupsi adalah korupsi.”, ujar Hajriyanto (Republika, 5 Oktober 2012). Kader Parpol sebagai Aktor Korupsi. Sudah menjadi fenomena kepartaian era reformasi, salah satu karakteristik adalah kader Parpol mencari atau memperoleh dana ilegalbaik dana APBN maupun APBD. Motipnya, bisa untuk pembiayaan Parpol, bisa juga untuk kepentingan diri sendiri kader Parpol bersangkutan dalam perubahan pola hidup lebih tinggi. Realitas obyektif era reformasi menunjukkan bahwa kader Parpol telah tampil sebagai pelaku korupsi di Republik. Realitas obyektif ini bisa juga dijustifikasi berdasarkan cara penggunaan fakta dan data Aktor Korupsi dari KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sebagaimana dibeberkan di dalam Kompas,1 Oktober 2012. Menurut KPK, AktorKorupsiberdasarkan jabatan dalam kurun waktu tahun2004-Juni 2012 sebagai berikut: 1.Eselon I,II dan III sebanyak 98 orang. 2.Swasta sebanyak 70 orang. 3.Anggota DPRdan DPRD (kader Parpol) sebanyak 65 orang. 4.Walikota/Bupati dan Wakil (kader Parpol) sebanyak 32 orang. 5.Gubernur (kader Parpol) sebanyak 8 orang. 6.Komisioner sebanyak 7 orang. 7.Kepala Lembaga/Kementerian sebanyak 6 orang. 8.Duta Besar sebanyak 4 orang. 9.Hakim sebanyak 6 orang 10.Lain-lain sebanyak 33 orang. Dalam era reformasi, anggota DPR dan DPRD pasti kader Parpol, Walikota, Bupati, Wakil Walikota, Wakil Bupati, Gubernur dan Wakil Gubernur pada umumnya kader Parpol. Sekalipun terdapat pejabat eksekutif bukan kader Parpol, hal itu sangat sedikit mengingat sangat sedikit Pasangan Calon bukan dari Parpol tetapi persorangan berhasil meraih kemenangan dalam Pilkada. Dapat disimpulkan, pejabat-pejabat kepala daerah yang terkena kasus kosupsi menurut KPK di atas adalah kader parpol. Data di atas menunjukkan keseluruhan jumlah Aktor Korupsi sebanyak 329 orang. Dari 329 Aktor Korupsi tersebut terdapat 105 kader Parpol (32 %). Pertanyaan berikutnya adalah: 1.Apakah dari 105 kader Parpol terkait kasus korupsi ini, peringkat pertama masih tetap diraih kader Golkar?Jawabannya, kemungkinan besar, ya ! 2.Apakah dari 105 kader Parpol terkait kasus korupsi ini, peringkat kedua masih tetap diraih kader PDIP? Jawabannya, kemungkinan besar, ya ! 3.Apakah dari 105 kader Parpol terkait kasus korupsi ini, peringkat ketiga masih tetap diraih kader Partai Demokrat? Jawabannya, kemungkinan besar, ya ! (MUCHTAR EFFENDI HARAHAP)