Senin, 22 Desember 2014

MENYINGKAP KEPENTINGAN ASING PADA PROYEK TOL LAUT REZIM JOK-JK

Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta (IEPSH) telah menyelenggarakan diskusi publik dengan topik: “Menyingkap Kepentingan Asing pada Proyek Tol Laut”. Diskusi ini diseleggarakan pada 17 Desember 2014 di Lantai 2 REST/Rumah Makan ”Bakmi Jawa”, Pejompongan, Jakarta Pusat. Diskusi dimoderatori oleh M. Hatta Taliwang (Direktur IEPSH) dengan menampilkan Pembicara Utama: (1). Laksamana Muda (Purn.) Suleman B.Ponto (Mantan Kepala BAIS) dengan judul makalah “Pembangunan Kemaritiman Indonesia Hanya Janji-Janji Saja”; (2) Dr. Chandra Motik (Founder Chandra Motik Maritime Centre) dengan judul makalah “Menyingkap Kepentingan Asing Pada Proyek Tol Laut”; dan, (3) Dipl-Oek. Engelina Pattiasina (Direktur Archipelago Solidarity Foundation) dengan judul makalah “Revolusi Mental dari Kontinental ke Maritim”. Diskusi publik ini bermula mempermasalahkan “jualan” atau “janji” kampanye Rezim Jok-JK (Jokowi-Yusuf Kalla) saat pelaksanaan kampanye Pilpres 2014. Pada masa kampanye, Pasangan Jok-JK mencetuskan gagasan “Tol Laut”. Menurut Suleman B. Pontoh, gagasan ini berupa sebuah konsep pengangkutan pakai kapal dari pelabuhan ke pelabuhan. “Jadi harus ada penyediaan kapal besar, dari Sumatera langsung ke Papua, Papua ke Sumatera. Kalau ada kapal besar, ongkos angkutnya akan menjadi kecil dan murah, karena ngangkutnya langsung banyak. Jadi tidak aka ada lagi harga semen di Jawa Rp. 50 ribu, di Papua Rp. 1 juta,” ujar Jokowi sebagimana dikutip kompas.com. Setelah pelantikan para Menteri, rencana pembangunan Tol Laut kembali didengungkan. Sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Kemaritiman Indrotono Susilo saat berkunjung ke Cilacap, 1 November 2014, Rezim Jok-Jk berencana membangun jalur Tol Laut dari barat hingga timur Indonesia (Harian Kompas, 4 November 2014). Tol Laut adalah perumpamaan untuk jalur laut bagi kapal besar yang menyangkut kebutuhan pokok warga. Jalur dimaksud melintasi dari Pulau Sumatera ke Papua semua lewat pulau-pulau besar. Itu Tol Laut bukan jalan tol di atas laut. Yang akan dibangun adalah jalur angkutan laut atau jalur pelayaran. Di lain fihak, Dr. Chandra Motik lebih detail menunjukkan konsep Tol Laut dalam perencanaan pembangunan nasional. Ia juga menegaskan, konsep Tol Laut Rezim Jok-Jk bukanlah membangun jalan tol di atas laut, melainkan penyediaan system distribusi logistik menggunakan kapal besar yang menghubungkan pelabuhan di jalur utama Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Jakarta, Surabaya, Nusa Tenggara, Maluku, sampai Papua. Sebagai tindak lanjut janji kampanye ini, Bappenas telah merancang konsep Tol Laut tersebut, yakni akan dibangun 24 pelabuhan strategis, short sea shipping, fasilitas kargo dan boat, serta pengembangan pelabuhan transportasi multimoda serta infrastruktur penunjang Tol Laut. Menurut catatan Bappenas, anggaran dibutuhkan untuk membangun 24 pelabuhan tersebut mencapai Rp. 39,5 triliun dengan perincian di Pulau Sumatera: Banda Aceh Rp. 1,5 triliun; Kuala Tanjung Rp. 3 triliun; Belawan Rp. 3 triliun; Dumai Rp. 1,5 triliun; Batam Rp. 3 triliun; Padang Rp. 1,5 triliun; Pangkal Pinang Rp. 1,5 triliun; serta Panjang Rp. 1,5 trilun. Di Pulau Jawa: Tanjung Priok, Cilacap, Tanjung Perak masing-masing Rp. 1,5 triliun. Di Pulau Kalimantan: Pontianak Rp. 1,5 trilun; Palangkaraya Rp. 1 triliun; Banjarmasin Rp. 1,5 triliun; serta Maloy Rp. 1 triliun. Selanjutnya: Lombok, Kupang, Makassar masing-masing Rp. 1,5 triliun serta Bitung Rp. 3 triliun; Halmahera Rp. 1,5 triliun; Ambon Rp. 1 triliun; Sorong Rp. 1,5 triliun, Jayapura Rp. 1 triliun; dan Merauke Rp. 1,5 triliun. Menurut Chandra Motik, data di atas semua baru draft rencana, sedangkan finalnya adalah antara tanggal 15-20 Januari 2015 dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres). Tol Laut (saja) tadi yang dibutuhkan Rp. 700 triliun. Namun, (rencana anggaran) untuk perhubungan laut Rp. 900 triliun karena yang Rp. 200 triliun adalah anggaran rutin di Perhubungan Laut sebagaimana dikutip Chandra Motik dari pernyataan Deputi Bidang Sasata dan Prasarana Bappenas Dedy S.Priatna. Pembicara Utama lain, Dipl-Oek. Engelina Pattiasina menunjukkan Rezim Jok-JK dalam masa kampanye Pilpres lalu, melontarkan gagasan untuk menjadikan Indonesia sebagai “Poros Maritim Dunia”. Mengacu pada “National Institute for Defense Studies”, menurut Engelina, AS dan Tiongkok memiliki misi yang sama, perlindungan kawasan laut Negara, kepentingan hak maritime, keamanan industry berbasis laut, transportasi maritime dan rute strategis ke sumber atau pasokan energy dunia. Program maritime AS dan Tiongkok sudah sangat jelas dan aplikatif. Selanjutnya, Engelina menunjukkan pernyataan Rezim Jok-JK dalam KTT Asia Timur di Nay Pyi Taw, Myanmar, 13 November 2014. Jokowi mengungkapkan agenda untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, yakni; (1). Membangunan kembali budaya maritime dunia; (2). Menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan focus membangun kedaulatan pangan laut; (3). Memberi prioritas pada pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritime dengan membangun Tol Laut; deep seaport, logistic dan indutri perkapalan, dan pariwisata maritime; (4). Melalui diplomasi maritime, mengajak semua mitra Indonesia untuk bekerjasama di bidang kelautan ini; (5). Menjadi titik tumpu dua Samudra, Indonesia memiliki kewajiban untuk membangun kekuatan pertahanan maritime. PENILAIAN KRITIS PEMBICARA UTAMA: Menurut Engelina, dari lima agenda di atas, santer terdengar saat ini hanya soal Tol Laut dan penenggelaman kapal pencuri ikan (kemanan laut). Sejauh ini, kita juga belum banyak mendengar seperti apa realisasi Tol Laut, apakah hanya pembangunan pelabuhan laut semata atau sepetti apa yang diinginkan?. Bagi Engelina, sesungguhnya sedikit keliru kalau hendak mewujudkan Indonesia sebagai poros maritime. Mengapa? “Sebab lahiriah secara geografis Indonesia memang sudah berada di tengah, karena terletak di antara dua Benua dan dua Samudera”, kilahnya. Sembari menekankan, Indonesia juga berbatasan langsung dengan 10 Negara (Malaysia, Singapura, Filipina, India, Thailand, Vietnam, Republik Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini) merupakan bukti kalau Indonesia berada di tengah dari Negara lain. Untuk itu, sambungnya, yang paling penting bukan bagaimana mewujudkan Indonesia sebagai poros maritime, tetapi bagaimana Indonesia mengambil manfaat sebesar-besarnya dengan letaknya yang strategis ini. Selanjutnya, Engelina mengingatkan ada satu pertanyaan sering muncul dalam berbagai diskusi. Ketika Tol Laut sudah terealisasi dengan pelabuhannya: bagaimana dengan pelayaran kapal? Sebab, ketika kapal dari kawasan barat mengangkut barang ke kawasan timur, tentu akan melahirkan kalkulasi ekonomi, ketika kapal dari timur kembali ke barat dalam keadaan kosong karena tidak ada produk yang akan diangkut. Sebagai penutup, Engelina menegaskan, pengembangan Tol Laut atau memperlancar koneksi antar wilayah di nusantara harus diikuti dengan pengembangan potensi lokal sehingga tidak terjadi satu daerah mendominasi daerah lain atau satu daerah menjadikan daerah lain sebagai pasar semata karena hal ini berpotensi melahirkan ketidakadilan baru. Sementara itu, Soleman B. Pontoh, menunjukkan dua hal dilakukan Rezim mJok-Jk Yakni, pertama, pembentukan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan kedua, pembentukan Bakamla. Pembentukan Kementerian Koordinator Kemaritiman bertugas untuk mengkoordinasikan empat Kementerian yakni Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pariwisata dan Kementerian ESDM. Dikoordinasikannya keempat Kementerian dibawa satu Koordinator tentunya dengan harapan agar pembangunan keempat Kementerian ini dapat disinergikan untuk membangun kemaritiam Indonesia. Mengingat setiap pembangunan yang akan dilakukan oleh seuatu Kementerian mutlak harus berpedoman pada Undang-undang mengatur Kementerian tersebut, maka perlu diketahui arah pembangunan keempat Kementerian melalui Undang-undang kemudian dibandingkan dengan unsur kemaritiman harus dibangun. Berdasarkan kerangka berpikir tersebut, Soleman kemudian menyajikan fakta bahwa dalam Kementerian Koordinator Kemaritiman, hanya Dirjen Perhubungan Laut (Kementerian Perhubungan) memiliki hubungan kemaritiman. Ketiga Kementerian lain yakni Kementerian dan Perikanan, Kementerian Pariwisata dan Kementerian ESDM, saling berhubungan dengan pembangunan kelautan. Sehingga Soleman menyimpulkan, Kementerian ada saat ini sebenarnya adalah Kementerian Koordinator Kelautan dikemas dengan nama Kementerian Koordinator Kemaritiman. Sebagian besar menjadi urusan Koordinator Kemaritiman ini berhubungan dengan laut. Bila dihitung secara matematis, unsur maritime diurus oleh kementerian ini hanya 1/16 (seperenambelas) bagian saja dari total seluruh pekerjaan, merupakan 0,28 % dari seluruh unsur kemaritiman. Hal ini sangatlah kecil bila dibandingkan dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki seperampat bagian atau 25 % dari seluruh total pekerjaan Kementerian Koordinator Kemaritiman seperti juga Kementerian Keparisiwataan dan Kementerian ESDM. Dengan komposisi semacam ini, lanjut Soleman, sebenarnya Kementerian ini lebih banyak mengurus pembangunan kelautan ketimbang pembangunan kemaritiman. Selanjutnya, Soleman menyajikan fakta bahwa pembentukan Bakamla berdasarkan Perpres 178 Tahun 2014 melalui UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, sama sekali tidak berhubungan dengan kemaritiman. Pemerintah lebih mengutamakan kelautan ketimbang kemaritiman. Karena itu, Soleman menegaskan bahwa sangatlah jelas Rezim Jok-JK tidak mengarah pada pembangunan kemaritiman. Belum ada langkah-langkah jelas mengarah pada pembangunan kemaritiman. Padahal, pembangunan kemaritiman adalah harapan masyarakat kawasan timur Indonesia. Sementara itu, Pembicara Utama lain, Chandra Motik mengingatkan bahwa pembangunan pelabuhan laut dalam atau deep sea port bukan jawaban dari kelancaran arus barang atau turunnya ongkos pengiriman. Saat ini, ujar Chandra, 70 % pengeluaran perusahaan pelayaran ada di bagian darat seperti di tariff pelabuhan, pergudangan dan truk pengangkut. Sisanya ada di perjalanan laut seperti untuk operasional kapal, membayar kru, dan ongkos bahan bakar. Kondisi pelayaran kargo saat ini semakin ketat. Jumlah pemain pun semakin banyak. Karena itu, sekalipun belum ada pembenahan untuk tariff pelabuhan, para pelaku sudah menurunkan tariff untuk berebut konsumen. Namun, sambung Chandra, kalau ditambah dengan pembangunan infrastruktur pelabuhan, maka akan lebih baik lagi. Tarif yang bisa dikontrol oleh pemerintah, bisa diturunkan, dan produktivitas di pelabuhan juga harus tinggi, “Yang penting bukan pembangunan pelabuhannya, melainkan penurunan tarifnya,” tandas Chandra. Sembari menkankan, sebagai Negara maritime, tariff transportasi laut di Indonesia seharusnya bisa lebih murah baik untuk memindahkan orang maupun barang. Saat ini tariff di pelabuhan masih sangat tinggi. IMPOR KAPAL ASING: Telah mencuat di publik melalui media massa bahwa Rezim Jok-JK akan mengimpor kapal dari Cina untuk memenuhi kebutuhan Tol Laut. Di dalam diskusi publik ini, rencana Rezim Jok-JK mengimpor kapal asing juga menjadi perhatian serius dan mengundang kecaman dan kritik dari audiens. Rencana pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) mengimpor 500-2500 kapal dari Cina untuk memenuhi kebutuhan Tol Laut yang menjadi salah satu program unggulannya mendapat kecaman dari berbagai pihak. Di media massa, rencana ini dinilai sebagai bentuk menganak tirikan industri perkapalan dalam negeri. Salah satu kecaman berasal dari Direktur Utama PT. Industri Kapal Indonesia (IKI), Saiful A Bandung Bismono. Menurutnya, Sikap tersebut dinilai akan mengancam produksi kapal nasional yang saat ini tengah bergairah bahkan bisa saja mematikan produksi kapal utamanya yang menjadi kewajiban dari PT IKI selaku perusahaan BUMN yang dipercaya pemerintah selama ini. “Rencana impor tersebut sangat merugikan dan sebaiknya tidak dilakukan. Mestinya yang perlu dilakukan pemeritah terus mendukung perkembangan industri kapal dalam negeri,” ujarnya. Lanjut Saiful, produksi kapal nasional tidak kalah dari luar negeri, apalagi sejumlah tenaga Sumber Daya Manusia (SDM) sudah terlatih dan professional. Malah, menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) seluruh tenaga ahli telah disertifikasi untuk dapat bersaing dengan tenaga ahli lainnya di ASEAN. Di lain fihak, kecaman senada juga dilontarkan oleh Ketua Umum Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Sarana Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) Eddy Kurniawan Logam yang mengatakan bahwa rencana impor kapal tersebut sangat memprihatinkan dan meresahkan pelaku usaha galangan kapal nasional. Pasalnya, hal itu akan mendorong pelaku usaha angkutan laut enggan membangun kapal baru di dalam negeri. Pernyataan tersebut dinilai mencitrakan bahwa industri galangan kapal nasional tidak mampu. Bahkan Eddy memberikan tantangan kepada pihak yang meragukan perusahaan Galangan kapal untuk memproduksi kapal. “Siapa bilang galangan kapal nasional tidak mampu membangun kapal? Silakan pesan, dan kalau jelas syarat pembayarannya, kami akan laksanakan pembangunan kapal-kapal tersebut,” ujar Eddy. Menurut Eddy, kemampuan galangan nasional saat ini terus tumbuh, sejalan dengan program pemberdayaan angkutan laut nasional. Tetapi, pertumbuhan tersebut belum optimal akibat hambatan kebijakan fiskal dan moneter yang memberatkan. Di forum diskusi publik, Chandra Motik, rencana impor kapal asing ini sebagai bentuk menganak tiirikan industry perkapalan dalam negeri dan mengancam produksi kapal nasional yang saat ini tengah bergairah bahkan bias saja mematikan produksi kapal utamanya yang menjadi kewajiban dari PT IKI (Industri Kapal Indonesia) selaku perusahaan BUMN yang dipercata selama ini. IKI mempunyai kapal Double Skin Bulk Carrier (DSBC) Erlyne 50.000 Dead Weight Tonnage (DWT) produksi PT PAL Indonesia termasuk salah satu kapal terbaik di dunia untuk kelas kapal berbobot mati 50.000 ton. Kapal yang juga dikenal dengan nama “Star 50” sepanjang 189,840 meter dan lelbar 30,50 meter ini sepenuhnya hasil rancang bangun putra putrid Indonesia. Kapal jenis niaga ini adalah pesanan Azurite Invest Ltd, British Virgin Land, Singapura. Kapal DSBC Erlyne 50.000 DWT adalah kapal kesembilan dari kapal kelas DSBC yang berhasil diekspor ke sejumlah Negara. Beberapa Negara yang pernah mengimpor kapal jenis ini adalah Hongkong (empat unit), jelrman (dua unit), Turki (dua unit) dan Singapura (satu unit). Chandra Motik kemudian menyimpulkan bahwa kekuatan asing sangat berkepentingan dalam program Tol Laut ini karena: (1). Biaya yang sangat besar (Profit); (2). Posisi sangat strategis; (3). Kepentingan asing tidak mau sampai terganggu dengan adanya program ini; (4). Potensi kekayaan alam RI besar; (5). Peluang mendapatkan project pembangunan kapalk dan infrastruktur pelabuhan; (6) Jika Indonesia berhasil membangkitkan kejayaan maritimnya, banyak Negara asing akan terkena dampaknya (MUCHTAR EFFENDI HARAHAP).