Selasa, 09 April 2013

KEGAGAGALAN REZIM SBY-BOEDIONO: POLITIK LUAR NEGERI

Rezim SBY-Boediono berjanji dalam kampanye Pilpres 2009 akan membuat peran Indonesia semakin ditingkatkan di dunia internasional. Berperan aktif dalam menciptakan perdamaian dunia. Namun, realitas obyketif selama berkuasa, Rezim SBY-Boediono ini telah mengalami kegagalan dalam memenuhi salah satu janji politik tersebut. Pada pembukaan UUD 1945 alinea I dan alinea IV telah dijelaskan dasar hukum pelaksanaan politik luar negeri di Indonesia. Negara Indonesia sebagai Negara merdeka dan berdaulat berhak menentukan nasibnya sendiri serta berhak mengatur hubungan kerjasama dengan Negara lain. Pengertian politik luar negeri Indonesia terdapat di dalam UU Nomor 37 Tahun 1999 pasal 1 ayat (2), yakni kebijakan, sikap dan langkah Rezim SBY-Boediono RI diambil dalam melakukan hubungan dengan Negara lain, organisasi internasional dan subyek hukum internasional lain dalam rangka menghadapi masalah internasional guna mencapai tujuan nasional. Berdasarkan konstitusi, Rezim SBY-Boediono harus menerapkan kebijakan luar negeri disebut politik bebas-aktif. Maknanya, Indonesia bebas menentukan sikap berkaitan dengan dunia internasional, tidak memihak kepada salah satu blok. Aktif, makanya ikut memberikan sumbangan baik dalam bentuk pemikiran maupun menyelesaikan berbagai konflik dan permasalahan dunia. Aktif menunjukan adanya kewajiban Rezim SBY-Boediono menunaikan amanat UUD 1945 untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Namun, Rezim SBY-Boediono memiliki gagasan "a Million Friends, Zero Enemies", menjadi visi politik luar negeri. Dalam mottonya “thousand friends, zero enemy” ditekankan bahwa Negara Indonesia adalah Negara cinta damai, dengan tegas menentang keras segala macam bentuk penjajahan di dunia. Banyak kritik muncul terhadap motto ini. Bebagai kasus dijadikan dasar penilaian terhadap Rezim SBY-Boediono dengan “moto” dipandang kurang tegas terhadap ancaman timbul dari luar, yakni: 1. Pencaplokan Wilayah Perbatasan RI. SBY telah membiarkan pencaplokan wilayah perbatasan RI oleh Malaysia demi menciptakan "zero enemies". Indonesia menjadi kehilangan wilayah tanah air seharusnya dibela dengan sekuat tenaga. Membela seluruh tumpah darah Indonesia adalah kewajiban sakral sebagai bangsa berdaulat. 2. Rencana AS menempatkan 2500 marinir di Darwin, Australia. Demi menciptakan "zero enemies", Rezim SBY-Boediono dinilai hanya mengamini saja apa disampaikan oleh Presiden AS Obama dan Perdana Menteri Australia Julia Gillard. Mereka mengatakan bahwa penempatan marinir AS di Darwin, Australia, hanya untuk keperluan pelatihan militer serta untuk menghadapi ancaman non tradisional seperti bencana. Bahwa tidak ada niatan apapun untuk mengganggu negara-negara di luar Australia. Tidak ada niat untuk mengganggu siapapun. Rezim SBY-Boediono membela kebijakan AS tersebut dengan mengatakan, baik Amerika maupun Australia juga memiliki peran untuk menjaga stabilitas kawasan. Baik doktrin luar negeri SBY, "a million friends, zero enemies", maupun dokrin luar negeri Marty "dynamic equilibrium" berpusat kepada penciptaan suatu kondisi lingkungan ekternal Indonesia. Dinilai para pengkritik, doktrin ini tidak menggambarkan menjadi tujuan perjuangan bangsa Indonesia. Sebaliknya dokrin politik luar negeri "bebas aktif" yaitu tujuan perjuangan bangsa serta menjaga kebebasan dalam setiap usaha mencapai tujuan tersebut, telah diabaikan. Dokrin luar negeri "a million friends, zero enemies" telah membuat Indonesia menjadi "the good boy" penurut bagi kebijakan AS. 3. Agresi Jalur Udara Libya AS bersama sekutu Inggris dan Perancis melakukan agresi lewat jalur udara membombardir beberapa kota di negeri Libya, suatu negara merdeka dan berdaulat. Libya dibombardir dengan dalih melindungi penduduk sipil. Tetapi, korban tewas justru penduduk sipil. Posisi Indonesia di bawah Rezim SBY-Boediono boleh dibilang tidak jelas, dan sangat lunak untuk tidak mengatakan “banci” terhadap kasus agresi AS. Padahal jelas, agresi AS dan para sekutu jelas mengintervensi negara berdaulat Libya. Hal ini sangat bertentangan dengan maksud melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945. Berbagai kritik telah muncul terhadap politik luar negeri Rezim Rezim SBY-Boediono. Salah satu kritik menegaskan bahwa sejak SBY jadi Presiden, tidak ada lagi politik bebas aktif, mengekor dan jadi bebek AS. Rezim SBY-Boediono senang jadi antek AS karena tidak menghayati diri sebagai pemimpin suatu bangsa besar. Rezim SBY-Boediono juga harus membayar jasa AS, karena SBY dulu tidak akan bisa menjadi Presiden tanpa campur tangan AS. Bahkan dinilai, Rezim SBY-Boediono telah melanggar konstitusi UUD 1945. Suara kritis terhadap politik luar negeri Rezim SBY-Boediono juga menilai, AS selalu berusaha menekan Indonesia dan selalu cari kesempatan dengan cara apapun agar Indonesia tidak jadi negara kuat. Pangkalan AS di Singapura dan Darwin (Australia) mengancam dan manakut-nakuti Indonesia. Sikap Rezim SBY-Boediono jauh sekali dibandingkan dengan keberanian dan nasionalis Presiden Iran Ahmadinejad. Beliau berani menentang negara Barat. Semua keputusan politik dikeluarkan Rezim SBY-Boediono, cocok dan sejalan dengan politik luar negeri AS. Argumentasi suara kritis acap kali dengan kasus kebijakan senjata nuklir Iran. Pada tanggal 24 Maret 2007, Indonesia mendukung Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB No 1747 diusung oleh negara AS. Resolusi merupakan sanksi terhadap Republik Islam Iran mengenai senjata nuklir. Mendukung resolusi Iran dengan begitu percaya pada Amerika merupakan tindakan melanggar asas pra-duga tidak bersalah kepada Iran. Indonesia sebagai negara sejak awal menyatakan sebagai negara ketiga bebas dari blok AS ataupun Uni Soviet (Rusia), semestinya abstain dalam resolusi tersebut. Hal ini mengingatkan para pengkritik tentang pernyataan SBY ketika menjadi Menko Polkam bahwa Amerika adalah negara keduanya. Salah satu agenda SBY ketika maju sebagai Capres 2004 adalah menuntas masalah perbatasan baik country border mapun border crossing. SBY dalam mengatakan bahwa masalah ini perlu diselesaikan melalui suatu diplomasi perbatasan dalam mengatasi berbagai masalah perbatasan dan ancaman terhadap keutuhan wilayah dan kedaulatan. Ambalat merupakan salah satu masalah belum terselesaikan meskipun sudah berunding lebih dari 20 kali. Begitu juga, masih segar ingatan bagaimana Indonesia mengemis kepada Singapura untuk mengekstradisi para pengemblang BLBI dan uang negara. Indonesia bahkan menawarkan wilayah laut dan udara untuk angkatan bersenjata Singapura untuk berlatih “bersama”. Di lain fihak, Center for Strategic and International Studies (CSIS) telah melakukan survei 6-19 Juli 2012 tentang preferensi sosial-politik masyarakat. Hasilnya, Rezim SBY-Boediono dinilai telah gagal melindungi negeri ini dari penjarahan tangan asing. Hal tersebut tampak terlihat ketika rakyat Indonesia jadi korban akibat ulah perusahaan asing seperti di Lampung (Mesuji) dan Papua (Freeport). Rezim SBY-Boediono tidak berbuat apa-apa, bahkan terindikasi jadi jongos asing. Dari sisi opini publik, hasil survei JSI (jaringan Suara Indonesia) pada 10-15 Oktober 2011 dengan 1.200 responden menunjukkan hanya 37,9 % responden menilai, di bawah Rezim SBY-Boediono telah semakin meningkatkan peran Indonesia di dunia internasional dan berperan aktif dalam menciptakan perdamaian dunia. Penilaian atas kegagalan Rezim SBY-Boediono dalam hal ikhwal politik luar negeri juga datang dari hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Ke-III PDIP (6 Sptember 2013). PDIP menilai, Pemerintah Indonesia di era Presiden SBY_Boediono mengalami 5 (lima) kegagalan. Salah satunya adalah melunturnya kedaulatan politik. Ini ditandai merosotnya kepemimpinan Indonesia dalam konstelasi politik internasional, ketidakmampuan negara melindungi segenap bangsa dan tumpah darah. Menurut Ketua DPP PDIP Puan Maharani, lunturnya kedaulatan itu ditandai dengan manajemen pemerintahan yang bisa didikte oleh mekanisme pasar (MUCHTAR EFFENDI HARAHAP).