Rabu, 30 Mei 2012

KORUPSI POLITISI PARPOL DI DAERAH (BAGIAN KEDUA)

Fenomena korupsi anggota legislatif bukan saja di pusat tetapi juga di daerah. Berdasarkan data ICW (Seri-Korupsi, WWW.antikorupsi.org) pelaku korupsi legislatif pada tahun 2005 mencapai 45 orang (mantan, anggota DPR, DPRD dan MPR), tahun 2006 sebanyak 35 orang ((mantan, anggota DPR, DPRD dan MPR), tahun 2007 sebanyak 162 anggota DPRD, dan tahun 2008 mencapai 178 anggota DPRD. Di lain fihak, khusus Kepala Daerah, selama peridoe 2014-2012 sudah 173 Kepala Daerah diperiksa dengan status saksi, tersangka, dan terdakwa. Sebanyak 70 persen sudah divinis berkekuatan hukum tetap dan menjadi terpidana (Kompas, 25 April 2012). Menurut ICW, Fenomena korupsi di daerah sudah demikian rumit mulai dari pola dilakukan. Salah satu sebab adalah para pemain di daerah mempunyai kekuasaan penuh dan praktis tanpa ada pengawasan berarti. Pejabat benar-benar berkuasa di daerah adalah Bupati dan Walikota, Bahkan Gubernur sekalipun tidak sangup “mengatur”Kepala Daerah Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi tersebut. Penyimpangan telah merambah secara merata di pemerintahan daerah, acapkali dinilai telah memasuki era korupsi di daerah. Kerugian negara tidak hanya berumber dari APBN digegrogoti, termasuk juga APBD. Jenis penyimpangan sebagian besar mengindikasikan praktik KKN. Pada umumnya berujung pada timbulnya kerugian negara atau daerah (Harian Pelita, 16 Agustus 2010). Otonomisasi dan desentralisasi daerah terlalu memberikan keleluasaan kepada daerah. Ada indikasi justru terjadi beberapa gejala negatif di daerah, bertentangan dengan upaya pemberantasan KKN. Adanya DAU merupakan transfer dari Pemerintahan Pusat ke Pemerintahan Daerah, menyebabkan daerah berhak mengalokasikan DAU sesuai pertimbangan dan kebutuhan daerah. Hal ini merupakan salah satu pendorong korupsi di daerah. Adanya kecenderungan kebebasan kurang terkendali baik ekekutif maupun legislatif. Juga, adanya ketidakjelasan pengawasan penggunaan DAU sepenuhnya diserahkan kepada eksekutif dan legislatif. Kekuasaan Kepala Daerah baik Gubernur maupun Bupati/Walikota dalam penyelenggaraan pemerintaah daerah relatif begitu besar, kadangkala terdapat julukan munculnya “raja-raja kecil” di daerah. Proses demokratisasi, otonomisasi, dekonsentrasi dan desentralisasi daerah telah dipertegas dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini sesungguhnya tidak mengenal istilah “penguasa tunggal”, namun secara sosiologis dan psikologis posisi Kepala Daerah tetap sebagai orang nomor satu di daerah baik dalam kewenangan maupun protokoler. Secara yuridis, Kepala Daerah memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan kebijakan ditetapkan bersama DPRD, namun di pihak lain, Kepala Daerah bertugas mengkoordinasikan penyelenggaraan urusan Pemerintahan Pusat di daerah. Hal ini sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004, penggunaan otonomi seluas-luasnya di mana daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan Pemerintahan kecuali urusan Pemerintah Pusat, yakni politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, moneter/fiskal, peradilan (yuridis) dan agama. UU No. 32 Tahun 2004 ditindaklanjuti dengan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota. Sebagian pengamat politik mengusulkan, sebaiknya hubungan Kepala Daerah dengan DPRD tetap diposisikan sebagai “checks and balances” dan kedudukan Kepala Daerah sebagai kordinator dalam penyelenggaraan Pemerintahan di daerah perlu dibuat aturan jelas dan rinci. Perlu ketidakbergantungan instansi vertikal pada Pemda. Instansi Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan harus tidak memperoleh fasilitas anggaran dan APBD, tetapi secara global ditampung oleh APBN. Namun dalam kenyataannya, Kepala Daerah masih merupakan kordinator terhadap lembaga vertikal lain. Kendatipun tidak ada peraturan jelas, namun masih dihidupkan lembaga “Muspida” di Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Kepala Daerah adalah pemimpin ”Muspida” tersebut. Kepala Daerah melaksanakan koordinasi untuk menjalankan tugas-tugas tertentu dengan Unsur Muspida lain seperti Pangdam, Kajati, Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua DPRD Propinsi dan instansi lain untuk Propinsi. Sedangkan Dandim, Kapolres, Ketua Pengadilan Negeri, Ketua DPRD adalah untuk Kabupaten/Kota. Lebih dari mengkordinasikan, para Kepala Daerah juga “memfasilitasi” unsur Muspida lain baik melalui APBD (boleh resmi tetapi ilegal) dan ada juga bersifat pribadi. Untuk dukungan pelaksanaan tugas instansi vertikal atau unsur Muspida, sering dialokasikan anggaran dalam APBD, walaupun sebenarnya instansi vertikal lain itu memiliki anggaran tersediri dari instansi induk di pusat. Tidak jarang karena “kedekatan hubungan” antar Kepala Daerah dengan pejabat Muspida, diciptakan pos anggaran sedemikian rupa dengan alasan koordinasi, kendati dasar hukum tidak ada, tetapi mungkin terjadi persengkongkolan dan juga korupsi. Dalam hal ini berlakulah konsep bahwa hukum dipergunakan sebagai alat kejahatan (law as tool of crime). Korupsi adalah solusi cepat bagi Kepala Daerah untuk melarikan diri dari pembayaran utang akumulasi akibat pembiayaan kampanye politik biaya tinggi dan mahal. Mochammad Jasin (Anggota KPK) mengakui bahwa kasus korupsi banyak terjadi di tingkat daerah didorong oleh utang untuk mendanai kampanye politik selama Pilkada. Masalah utama dalam sistem politik Daerah kita adalah bahwa Pilkada secara langsung rawan terhadap praktik-praktik politik uang. Calon Kepala Daerah dilaporkan ekstra dalam menggali ke dalam kantong mereka dalam rangka memenangkan pemilihan. Pendapatan/penghasilan Kepala Daerah ini adalah sekitar Rp. 6 juta sebulan. Bagaimana mereka bisa membayar utang mereka untuk kampanye politik? Kampanye utang terbukti menjadi beban besar pada politisi. Sebagai contoh kasus korban Pilkada, pada 4 Juni Sutoto Agus Pratomo, suami Dasih Ardianti kalah pada Pilkada 2010 Wakil Walikota di Semarang, Jawa Tengah, menggantungkan diri (bunuh diri) di kantornya. Fakta dan data korupsi di daerah dapat diperoleh dari KPK . Antara kurun waktu 2004 dan 2010, KPK telah menyelesaikan 193 kasus korupsi, termasuk di tingkat Daerah. Kebanyakan pelanggaran telah diungkapkan terkait dengan pegadaan barang/jasa Pemerintah dan prosedur pelayanan dengan 86 kasus dan suap pada 56 kasus. Terdapat 40,93 % dari total jumlah kasus, terjadi di daerah 79 kasus. Dari angka ini, pelanggaran paling banyak terjadi di Provinsi Jawa Barat 17 kasus, diikuti oleh Kalimantan Timur 11 kasus, Jakarta 10 kasus dan Riau dan Kepulauan Riau kombinasi 10 kasus. KPK melalui Pengadilan Tipikor telah berhasil menjatuhi hukuman delapan Gubernur dan 20 Walikota atau Bupati antara 2004 dan awal 2010, dari jumlah total 242 para pejabat korup. Menurut Jasin, metode paling berulang korupsi di tingkat Daerah adalah mark up dari pengadaan barang/jasa Pemerintah, menambahkan bahwa banyak pejabat Pemda membuat pengeluaran fiktif dan proyek-proyek untuk keuntungan diri mereka sendiri. Ini dilakukan oleh Gubernur, Bupati, Walikota dan wakil-wakil mereka, termasuk pejabat mereka. Bentuk korupsi lain termasuk manipulasi prosedur pengadaan dan menggelapkan dana daerah dengan praktik paling umum menggunakan dana negara untuk urusan peribadi seperti liburan keluarga. Modus korupsi lain Kepala Daerah di Indonesia adalah manipulasi perizinan konsesi kehutanan, pertambangan, atau sumberdaya alam lain. Modus ini dapat ditemukan terutama di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Menyangkut manipulasi perizinan konsesi pertambangan, acap kali juga terkait dengan politik lokal, yakni suksesi dan akhir masa jabatan Kepala Daerah atau pelaksanaan Pilkada. Sebagaimana dilaporkan Kompas (22 Februari), di Propinsi Jambi misalnya, lebih dari 600 izin dengan skala keluasan 198 hektar ke bawah terbit dalam empat tahun terakhir. Praktek pemberian izin tersebut bersamaan dengan momentum akhir masa jabatan dan suksesi Kepala Daerah ( dari 2009 s/d 2011). Yakni selama rentang waktu Pilkada lima Kabupaten terkait: Kabupaten Sarolangun, Tebo, Bungo, Batanghari dan Muaro Jambi. Proses pemberian izin tambang batubara pada skala keluasan di bawah 198 hektar bahkan lebih mudah. Pemohon tidak perlu menyertakan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), cukup dokumen UKL (Upaya Pengelolaan Lingkungan) dan UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan). Proses perizinan juga nyaris tidak terpantau Pemerintah Provinsi karena tidak mendapatkan laporan sama sekali mengenai izin yang diberikan di daerah. Kemudahan proses inilah yang mendorong Bupati-Bupati lama dan para calon petahana menerbitkan iizin memperkuat dukungan dan pendanaan. Gubernur Jambi Hasan Basri Agus, Mantan Bupati Sarolangun, mengakui, banyak izin tambang batubara di Kabupaten Sarolangon selama dirinya menjabat Bupati setempat. Namun, izin tersebut tidak terkait suksesi pemilihan Gubernur Jambi tahun 2010. Penerbitan izin itu semata bertujuan menarik investor. Namun, berdasarkan catatan Kompas, lebih dari 70 izin tambang di Sasrolangun terbit dua tahun menjelang pemilihan Gubernur Jambi. Selain di Sorolanun, Kompas juga menunjukkan pemberian izin juga marak di Kabupaten Tebo, beberapa bulan menjelang pemilihan Gubernur Jambi tahun 2010. Pada saat itu, Bupati Tebo Madjid Muaz juag mencalonkan diri sebagai Gubernur. Mengutip pernyataan Pariyanto, aktivis Community Alliance for Pulp and Paper Advocacy”, dalam rentang dua bulan, Maret dan April 2010, Bupati menerbitkan hingga 40 izin tambang. Penerbitan ini marak menjelang Pemilihan Gubernur. Padahal, setahun sebelumnya, Bupati sama sekali tidak mengeluarkan izin (Kompas, Kecuali kasus di Propinsi Jambi, Kompas (22 Februari 2012) juga melaporkan kasus di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Di Kalimantan Timur, pada 2011 luas izin usaha pertambangan meningkat 18 % dibandingkan tahun 2009. Masifnya aktivitas pertambangan, banyak dikeluarkan setelah Pilkada atau menjelang Pilkada karena uang tunai paling cepat didapat dengan mengobral izin usaha. Di Kalimantan Selatan, iizin 13 perusahaan tambang batubara akhirinay dicabut. Izin tersebut dikeluarkan Bupati yang maju paad Pemilihan Gubernur Kalimantan Selatan sebelum ada dokumen Amdal. Di Kalimantan Tengah, banyak Bupati yang mengeluarkan izin pertambangan demi mempertahankan jabatan. Ada indikasi izin tersebut dipakai untuk mencari dana kampanye. Terakhir, Propinsi NTB, izin Bupati Bima untuk pertambangan emas di sekitar sumber mata air menimbulkan penolakan publik. Diduga, izin tersebut dikeluarkan sebagai balas jasa terakit dukungan dalam Pilkada. Kaitan Pilkada dengan lingkungan juga ditegaskan oleh Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Pemuad Katolik, Natalis Situmorang, di dalam Pembukaan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) di Jakarta, 14 Maret 2012. Situmorang menegaskan, akibat kepala daerah berutang budi kepada pihak lain saat mengikuti Pilkada, lingkungan dikorbankan. Kerusakan lingkungan di daerah pin kini semakin parah terjadi. Pembiayaan mengikuti Pilkada dari seorang Kepala Daerah, yang ditanggung pihak lain, dibalas jasa dengan pemberian konsesi pertambangan secaar luas. Kekayaan alam di daerah digadaikan elite dalam Pilkada kepada pihak pemilik modal. Tidak menutup mata atas maraknya politik uang yang diterima seperti kewajaran oleh masyarakat kecil (Kompas, 15 Maret 2012). Fakta dan data lain dapat diperoleh dari hasil penelitian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) tentang Bengkulu pada 2009-2010, saat Pemilu dan Pilkada Propinsi Bengkulu digelar. Yakni diterbitkan izin usaha pertambanagn dan perkebunan bagi 42 perusahaan. Izin-izin itu mengakibatkan perusahaan menguasai lahan 75.703 hektar. Pilkada dan Pemilu berkontribusi terhadap kerusakan hutan di Bengkulu. Ruang kelola pemodal melalui kuasa pertambanagn dan perkebunan di Bengkulu mencapai 463.964 hektar atau 25 persen dari luas wilayah Bengkulu. Itu terbagi dalam pertambangan pasir (O156.112 hektar), batubara (99.305 hektar), dan perkebunan (208.546 hektar). Saat itu, “Kepala daerah cenderung memberikan izin tambang dan perkebunan kepada investor guna mendapatkan dana segar untuk biaya politik selama Pilkada dan Pemilu,” kata Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Walhi Bengkulu (Kompas, 18 April 2012). Kasus serupa juga terjadi di Propinsi Riau. Menjelang Pilkada, surat-menyurat, terutama bukti diri berupa kartu tanda penduduk (KTP), surat keterangan tanah (SKT) akan lebih mudah diterbitkan. Namun, imbalannya, perambah diminta memilih calon tertentu. Dengan memiliki KTP dan SKT, keberadaan perambah semakin kuat. Dari ribuan keluarag perambah di 14 desa yang menduduki 28.500 hektar di Taman Nasional Tesso Nilo, Kabupaten Palalawan, Riau, hampir semua memiliki KTP. Mereka terdapatar sebagai penduduk yang memiliki hak pilih saat pilkada beberapa waktu lalu. Saat kampanye calon kepala daerah berjanji, jika terpilih, dia akan memperjuangkan lahan yang disengketakan dilepas dari kawasan hutan negara (Kompas, 18 April 2012). Fakta dan data lain menunjukkan, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, Indonesia sudah melahirkan 205 daerah baru, terdiri dari 7 provinsi, 164 Kabupaten dan 34 kota. Sejak itu pula, perilaku korupsi di daerah semakin meluas dan meningkat. Berdasarkan catatan ICW hingga satu semester 2010, setidaknya ada 1.800 kasus korupsi terungkap dan sudah masuk pengadilan. Dari data ini, sepanjang 2004-2009 tercatat setidaknya 1.243 anggota DPRD terlibat korupsi. Di lain fihak, catatan ICW menunjukkan, sampai 2004 sudah ada seratus perkara korupsi melibatkan anggota DPRD di seluruh Indonesia. Sebanyak 1.500-an orang telah diproses secara hukum. Sebagian dalam tahap penyelidikan, sebagian sudah disidik dan sisanya menjalani hukuman. Mereka umumnya didakwa telah melanggar PP No. 110 tahun 2000, sebuah peraturan agar dalam menyusun APBD, para anggota DPRD dan pejabat Pemerintah daerah memperhatikan asas kepatutan antara anggaran publik dan anggaran kesejahteraan anggota. Asas kepatutan itu antara lain termasuk kejelasan penggunaan dari setiap rupiah dana APBD. PP No. 110 tahun 2000 ini dimaksudkan sebagai pagar dari pelaksanaan otonomi daerah. Sementara itu, baik tahun 2009 maupun tahun 2010, keuangan daerah, terutama dalam APBD, tetap sebagai sektor paling rawan dan rentan dikorupsi. Keuangan daerah juga menyumbang potensi kerugian negara terbesar, yaitu sekitar Rp. 596,232 mliyar dengan 38 kasus. Catatan ICW berikutnya (4 Agustus 2010) menunjukkan, kecenderungan korupsi Semester I, dari Januari hingga 30 Juni 2010, berdasarkan tahap penyidikan oleh penegak hukum (Kejaksaaan, Kepolisian dan KPK), sebanyak 176 kasus. Terdapat 441 orang ditetapkan sebagai tersangka dan kerugian negara akibat korupsi sekitar Rp. 2,1 triliyun. Pada periode sama tahun 2009, hanya ada 86 kasus korupsi disidik, 217 tersangka, dan kerugian negara sekitar Rp. 1,17 triliyun. Peningkatan jumlah kasus korupsi ini terungkap karena jumlah korupsi diindikasikan meningkat, terutama terjadi di daerah. Fakta dan data korupsi ICW ini hampir sama dengan data Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM). Pukat UGM melaporkan kepada KPK, terdapat 1.891 kasus korupsi di daerah hasil pemekaran. Korupsi terbanyak terjadi di Provinsi Banten 593 kasus, Kepulauan Riau 463 kasus, Maluku Utara 184 kasus, Kepulauan Bangka Belitung 173 kasus, Sulawesi Barat 168 kasus, Gorontalo 155 kasus, dan Papua Barat 147 kasus. Sisanya di daerah lain. Bagi Pukat, melonjaknya kasus korupsi di daerah lantaran dipicu oleh tingginya anggaran negara digelontorkan ke daerah. Hal tersebut menyebabkan gagalnya proses pembangunan di daerah baru hasil pemekaran. 80 % daerah baru hasil pemekaran gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat (LiraNews, Jakarta, 30 Oktober 2010). Dalam kurun waktu 2004-2010, ICW mencatat ada 1.243 anggota DPRD terjaring kasus korupsi. Tetapi saat divonis, hampir separuhnya dibebaskan oleh pengadilan. Kejaksanaan telah berupaya keras membawa banyak kasus korupsi melibatkan anggota legislatif daerah, namun dalam kenyataan obyektif setelah diajukan ke pengadilan terbebas dari hukuman. Fakta dan data berikutnya adalah hasil hasil investigasi ICW, yakni APBD menjadi sektor paling diminati para koruptor. Terbukti, kini keuangan daerah menyumbang potensi kerugian negara terbesar yakni Rp. 596, 232 miliyar. Temuan ICW baik tahun 2009 maupun tahun 2010, keuangan daerah tetap sebagai pintu masuk utama terjadinya korupsi. Keuangan daerah penyumbang potensi kerugian negara terbesar yakni Rp. 596.232 mliyar dengan 38 kasus. Tiga sektor lain menyumbangkan potensi kerugian negara yakni perizinan Rp. 420 miliyar (1 kasus), pertambangan Rp. 365,2 miliyar (2 kasus), dan energy/listrik Rp. 140,8 miliyar (5 kasus). Sebagai perbandingan, pada semester I tahun 2009, kasus korupsi meraup keuangan daerah sebesar Rp. 410.857 miliyar dengan 23 kasus. Adapun modus paling banyak digunakan para pelaku korupsi untuk mengeruk uang negara yakni penggelapan (62 kasus), diikuti modus mark up (52 kasus), proyek fiktif (20 kasus), penyelahgunaan anggaran (18 kasus) dan suap (7 kasus). Sementara modus tertinggi semester I tahun 2009, yakni modus penyelahgunaan anggaran dengan 32 kasus. Ini terkait dengan kondisi politik terjadi, yakni tahun 2008-2009, tahun persiapan menjelang Pilkada secara langsung. Modus penggelapan umumnya terkait dengan penyimpangan dana langsung berhubungan dengan kepentingan masyarakat seperti dana bantuan sosial (Banson) marak terjadi pada tahun 2008-2009 (Potret Indonesia, 17 Oktober 2010). Dalam laporan yang diserahkan kepada DPR awal Oktober 2009 dan DPD 22 November 2009, BPK memaparkan berbagai penyimpangan uang negara. Tidak saja di Pemerintah pusat, penyimpangan juga merambah secara merata di Pemda. Hasil pemeriksaan atas 237 Pemda meliputi Propinsi dan Kabupaten/Kota, BPK menemukan penyimpangan sebesar Rp. 91,03 miliyar. BPK membagi penyimpangan tersebut dalam lima jenis temuan, yaitu : 1.Penggunaan anggaran tidak sesuai dengan ketentuan sebesar Rp. 45,8 miliyar (37%). 2.Tidak didukung bukti yang lengkap Rp. 32,05 miliyar (38%). 3.Terlambat menyampaikan laporan Rp. 8, 2 miliyar (6%). 4.Penggunaan anggaran tidak tepat sasaran Rp. 4,4 milyar (9%). 5.Belum dipungut pajak/denda Rp. 466 juta. Dalam buku Ikhtiar hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2007 tersebut, BPK melaporkan banyak praktik pengadaan barang dan jasa dengan nilai ratusan juta hingga miliyaran rupiah tidak menaati aturan. Selain itu, dijumpai pemberian berbagai fasilitas kepada Kepala Daerah dan anggota DPRD menyimpang dari aturan. Nilainya juga bervariasi dari puluhan juta hingga miliyaran rupiah, Kedua temuan tersebut merupakan contoh dari penggunaan anggaran tidak sesuai dengan ketentuan. Di lihat dari frekuensi, jenis penyimpangan banyak terjadi adalah penggunaan uang tidak didukung bukti pertanggunjawaban lengkap dan sah. Hampir seluruh Pemda terdapat temuan seperti ini. Sebagai contoh, di Pemerintah Provinsi Riau, BPK menemukan belanja administrasi umum aparatur sebesar Rp. 2 miliyar. Tanpa bukti pertanggungjawaban lengkap dan sah. BPK tidak yakin atas kewajaran hal itu. Demikian pula, di Kota Prabumulih Provinsi Sumatera Selatan, BPK menemukan belanja tenaga kerja non pegawai sebenar Rp. 300 juta belum didukung dengan bukti lengkap dan sah. Di kabupaten Kediri ditemukan pemberian bantuan dan kepada sejumlah instansi vertikal, seperti Polres, Polsek, Kejaksaan, Kodim, Koramil, Pengadilan Negeri, dll senilai Rp. 950 juta. Temuan seperti ini dijumpai hampir di setiap Pemda. Selain pemberian bantuan tersebut tidak dibenarkan oleh aturan, ternyata bukti pertanggungjawaban sering tidak jelas. Melihat fakta seperti itu, perlu diwaspadai Pemda akan menyelenggarakan Pilkada. Bukan tidak mungkin pengeluaran dana APBD tidak jelas pertanggungjawaban, sesungguhnya dipakai untuk membiayai kepentingan politik pimpinan daerah dalam Pilkada. Dana tersebut untuk membayai lobby-lobby politik. Biasanya kepada kalangan DPRD, LSM dan kelompok-kelompok masyarakat diharapkan memberikan dukungan pencalonan. Penyimpangan lain ditemukan BPK adalah penggunaan anggaran tidak tepat sasaran. Bukan cerita baru, banyak Pemda saat mengajukan rancangan APBD tidak didahului dengan perencanaan baik. Sering dijumpai rencana proyek pembangnan dan pelayanan publik diajukan hanya sekedar formalitas anggaran. Akibatnya, pada saat proyek selesai dilaksanakan, ternyata tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat karena tidak sesuai dengan kebutuhan. Contoh menarik dapat dibaca pada temuan pengadaan kapal keruk senilai Rp. 4 miliyar di Kabupaten Cirebon. Pada waktu diperiksa oleh BPK, kondisi kapal tersebut menganggur karena tidak ada biaya untuk mengoperasikan. Hal ini merupakan kecerobohan pejabat terkait dalam membuat rencana pengadaan tidak sesuai dengan kebutuhan. (Majalah Pemeriksa, Edisi 114, 27 Januari 2009). Fakta dan data selanjutnya berasal dari Hadi Poernomo, Ketua BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Pada 12 Oktober 2010, BPK melapor kepada DPR dari ikhtiar pemeriksaan semester I tahun 2010, total temuan mencapai 10.113 kasus dengan potensi kerugian negara Rp. 26,12 triliyun secara nasional. Khusus untuk potensi kerugian daerah mencapai Rp. 2 triliyun. Dari sekian banyak itu, ternyata ada beberapa oknum memang sengaja melakukan hal-hal berpotensi merugikan negara dan daerah. Khusus untuk daerah, BPK mencatat ada 348 laporan keuangan pemda (LKPD) menunjukkan adanya 1.246 kasus dengan nilai kerugian Rp. 306,63 miliyar. Kerugian di daerah dimaksud adalah berkurangnya kekayaan daerah berupa uang, surat berharga, dan barang, nyata dan pasti jumlah sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai. Kerugian ini timbul karena kasus-kasus meliputi belanja atau pengadaan barang dan jasa fiktif, rekanan pengadaan barang dan jasa tidak menyelesaikan pekerjaan, kekurangan volume pekerjaan, kelebihan pembayaran selain kekurangan volume pekerjaan dan termasuk proses pemahalan harga (mark up). Sementara itu, Kementerian Keuangan menyatakan hingga kini belum memiliki langkah jitu untuk mengantispasi manipulasi dan korupsi para pegawai daerah dalam proses pengadaan barang/jasa Pemerintah atau kegiatan lain. Diretur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan, Harry Purnomo, mengakui kelemahan Pemerintah dalam melacak dan menelusuri berbagai kasus tersebut (Potret Indonesia, 17 Oktober 2010). Sumber resmi Pemerintah dapat diambil melalui pernyataan Menteri Dalam Negeri Ganawan Fauzi. Menurutnya, sejak tahun 2005 Bupati menjadi tersangka sebanyak 150 orang. Jumlah tersangka dari total jumlah Kepala Daerah 524 orang itu sangat memprihatinkan (Potret Indonesia, 17 Oktober 2010). Fakta dan data ini tidak jauh berbeda dengan pernyataan Gamawan Fauzie seusai menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Quo Vadis Pemilukada” di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang (15 Juni 2011). Gamawan Fauzi menyatakan, hingga saat ini tercatat 158 Kepala Daerah di Indonesia, terdiri dari Gubernur, Bupati, dan Walikota, menjadi tersangka dugaan tindak pidana korupsi. Data Kementerian Dalam Negeri ini merupakan rangkuman catatan kasus pada 2004-2011. Hal ini, bagi Gamawan, menyusul tingginya biaya dikeluarkan seorang calon Kepala Daerah untuk berkompetisi dalam Pilkada (Kompas, 16 Juni 2011). Di lahin fihak, berdasarkan hasil investigasi ICW kecenderungan korupsi 2010 semester I, korupsi di semester awal tahun ini sudah terjadi di 27 Provinsi. Provinsi menempati jumlah kasus paling banyak adalah Sumut (Sumatera Utara) dengan 26 kasus, empat besar di bawahnya yakni Jabar (16 kasus), DKI Jakarta dan kasus terjadi pada Pemerintahan pusat 18 kasus, Nangroe Aceh Darussalam (NAD) 14 kasus, Jateng 14 kasus. Meski demikian, potensi kerugian negara dengan jumlah paling besar terjadi pada kasus-kasus di DKI Jakarta, sebesar Rp. 709,514 miliyar dengan 12 kasus, diikuti Lampung sebesar Rp. 408,382 miliyar (7 kasus), NAD sebesar Rp. 275,1 miliyar (14 kasus), Maluku sebenar Rp. 118,875 miliyar (6 kasus) dan Riau potensi kerugian negara mencapai Rp. 117, 75 miliyar (3 kasus). Beberapa kasus APBD dengan potensi kerugian negara sangat besar selama tahun 2010, di antara kasus pembobolan kas daerah Aceh Utara (Rp. 220 miliyar), kasus korupsi APBD di Indragiri Hulu (Rp. 116 miliyar), kasus korupsi kas daerah di Pasuruan Jawa Timur (Rp. 74 miliyar) dan kasus dana otonomi daerah Kabupaten Boven Digoel Rp. 49 miliyar. Presiden SBY sendiri menyatakan keprihatinann atas korupsi masih saja terjadi di daerah. (Potret Indonesia, 17 Oktober 2010). Fakta dan angka telah diungkapkan di atas sesungguhnya sejalan dengan hasil studi berbagai lembaga sudi tentang perilaku korupsi di pemerintahan daerah. Salah satu lembaga studi adalah Public Sector Integrity Survey. Lembaga ini melakukan studi tahun 2010 menunjukkan bahwa indeks integritas nasional Indonesia turun sampai 5,42 tahun ini (2010) dari 6,5 tahun lalu (2009). Lembaga ini telah mengevaluasi dan memberi skor lembaga-lembaga tingkat daerah mencakup administrasi 22 kota. Skor rata-rata hasil evaluasi 22 kota ini adalah 5,07, suatu skor masih tergolong semakin rendah (The Jakarta Post, 10/11/2010). Beberapa titik rawan korupsi Kepala Daerah adalah pengadaan barang dan jasa, penyimpangan angggaran, serta gratifikasi. Titik-tik itu menjadi sasaran empuk untuk mengembalkan ongkos olitik yang tinggi sepanjang Pilkada. Catatan Kementerian Dalam Negeri mengenai Kepala Daerah yang diperiksa sebagai saksi, tersangka atau terdakwa tidak jauh berbeda. Sekitar 36 persen Kepala Daerah bermasalah dengan hukum akibat penyimpangan pengadaan barang dan jasa, 44 persen terlibat penyalahgunaan anggaran, serat selebihnya terkait suap, pungutan dan penyalahgunaan pemberian izin. Sejumlah kasus pengadaan barang/jasa dan penyuapan yang melibatkan Kepala Daerah (Kompas, 18 April 2012) yakni: 1.Ismeth Abdullah (mantan Gubernur Kepulauan Riau): Korupsi proyek mobil pemadan kebakaran senilai Rp. 5,4 milliar. Vonis 2 tahun penjara (23/8/2010). 2.Ismet Mile (Mantan Bupati Bone Bolango, Gorontalo): Proyek pengendalian banjir tahun 2008 senilai Rp. 5,1 milliar. Vonis 3,5 tahun penjara (29/9/2011). 3.Agus Riyanto (Mantan Bupati Tegal, Jawa Tengah): Korupsi pembangunan jalan lingkar Kota Slawi senilai Rp. 3,95 milliar. Vonis 5,5 tahun penjara (24/11/2011). 4.Fahuwusa Lala (Mantan Bupati Nias Selatan, Sumatera Utara): Mencoba menyuap anggota KPU sebesar Rp. 99,9 juta: Vonis 2,5 tahun penjara (17/1/2012). 5.Soemarno HS(Walikota Semarang, Jawa Tengah): Penyuapan terhadap anggota DPRD tekait penyusunan APBD 2012 yang diperkirakan sebesar Rp. 5,2 milliar: Ditahan KPK (30/3/2012). ALIRAN DANA DARI PUSAT KE DAERAH Berbagai hal bisa kita kaitkan dengan fenomena korupsi di daerah ini. Salah satunya berkaitan dengan aliran dana dari Pusat ke Daerah. Bambang Widjojanto, misalnya, (Kompas, 20 Agustus 2009) percaya, ada kontradiksi antara peningkatan jumlah aliran dana ke daerah dan akuntabilitas penggunaan keuangan daerah dinilai terus merosot. APBN Perubahan 2009 menetapkan, jumlah dana APBN Rp. 1.0005,7 triliyun dan ada sekitar 60 % diserahkan ke daerah. Di sini lain, laporan keuangan Pemda mendapat opini dengan penilaian tidak wajar meningkat tajam dari 10 daerah (2004) menjadi 59 daerah (2007). Sementara hasil pemeriksaan BPK Semester II tahun 2008 menyebutkan, ada 93.481 rekomendasi senilai Rp. 764 triliyun yang perlu ditindaklanjuti. Dari jumlah itu, 38.010 rekomendasi senilai Rp. 205 triliyun belum ditindaklanjuti. Menteri Keuangan dengan merujuk laporan BPK mengemukan kian merosotnya akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Penjelasan Menteri dan laporan itu menyatakan, pertama, ada 21 daerah mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian tahun 2004 dan merosot menjadi hanya 8 daerah tahun 2008. Kedua, ada 249 daerah mendapatkan opini wajar dengan pengecualian tahun 2004 merosot menjadi 137 daerah (2008). Ketiga, ada 7 daerah tahun 2004 diberikan opini tidak memberikan pendapat menjadi 120 daerah (2008). Uraian tersebut menjelaskan beberapa hal. Pertama, ada kecenderungan kian merosotnya kinerja daerah dalam mengelola keuangan. Kedua, ada 157 daerah pengelolaan dinilai membahayakan dan 249 daerah potensial membahayakan karena dapat merugikan keuangan negara. Ketiga, ketidakmampuan mengelola keuangan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kewenangan dapat dikualifikasi sebagai korupsi. Keempat, potensi kerugian negara cenderung meningkat sesuai dengan kian memburuknya kualitas pengelolaan keuangan negara. Laporan BPK juga menyatakan, pada 2008 ada 31 laporan hasil pemeriksaan (LHP) meliputi 40 kasus senilai Rp. 3,67 triliyun dan 26,37 juta dolar AS mengandung unsur tindak pidana dan telah dilaporkan kepada fihak berwenang. Dari jumlah itu, ada 24 LHP terdiri 37 kasus senilai Rp. 3,59 triliyun dan 26,37 juta dolar AS diserahkan kepada KPK; sisanya diserahkan kepada Kepolisian satu LHP dan Kejaksanaan enam LHP terdiri dari tiga kasus senilai Rp. 84,42 miliyar. Laporan itu melengkapi laporan lain BPK menyatakan, tahun 2003-2008 ada 90 LHP terdiri dari 120 kasus senilai Rp. 30, 18 triliyun dan 470, 31 juta dollar AS. Ada dugaan potensi penyimpangan pengelolaan keuangan negara akan meningkat seiring diadakan Pilkada di lebih 240 daerah tahun 2010 (Kompas, 20 Agustus 2009). Asumsinya pejabat di daerah akan lebih memberikan perhatian pada Pilkada, kontrol pengelolaan keuangan daerah akan berkurang, serta sebagian pejabat potensial tergoda untuk menggunakan kewenangan dan keuangan daerah bagi kepentingan sendiri dalam Pilkada (MUCHTAR EFFENDI HARAHAP).

Jumat, 25 Mei 2012

MENCARI CALON PRESIDEN RI YANG LAYAK

NSEAS (Network for South East Asian Studies = Jaringan Studi Asia Tenggara) telah mencanangkan “Program Promosi dan Kampanye Calon Presiden RI yang Layak dalam Pilpres 2014 bagi rakyat. Pada 2012 dan 2013 program ini menargetkan pelaksanaan forum dialog terbatas kalangan aktor pro demokrasi di Ibukota RI, Jakarta, dan Ibukota-ibukota Propinsi di seantero Nusantara ini. Untuk mensukseskan program ini, semua pemangku kepentingan pada proses percepatan demokratisasi, khususnya aktor-aktor pro demokrasi dan ppro rakyat, didorong untuk berperanserta melalui kerjasama dan kemitraan yang solid dan sinerjik dengan NSEAS. Dalam rangka pelaksanaan program dimaksud, NSEAS telah menyelenggarakan forum “Dialog Terbatas Mencari Calon Presiden yang Layak”. Forum ini diselenggarakan paro hari pada 12 Mei 2012 di Jakarta. Forum dihadiri sekitar 30 peserta dari kalangan aktor pro demokrasi. Sasaran forum antara lain untuk menciptakan kondisi awal yakni adanya kesepahaman dan kesepakatan kriteria Calon Presiden yang layak dan rencan aksi yang akan dilaksanakan untuk promosi dan kampanye Calon Presiden yang layak sesuai kriteria kelayakan yang sudah disepakati. Prosiding ini adalah hasil tindak lanjut dari pelaksanaan kegiatan forum dialog terbatas dimaksud. One Man One Vote Sesungguhnya bangsa Indonesia sama sekali belum pernah mempunyai pengalaman historis & emperis Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dipilih rakyat secara langsung (one man one vote). Pengalaman historis & emperis baru diperoleh sejak adanya reformasi konstitusi yakni amandemen UUD 1945 menyusul keruntuhan kekuasaan rezim Soeharto tahun 1997/98. Pilpres semula (Era Orde Lama dan Orde Baru) berdasarkan pemilihan oleh MPR-RI menjadi berdasarkan pemilihan oleh rakyat secara langsung (one man one vote). Sejak itu, telah terjadi perubahan mendasar dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia, yakni: dari “demokrasi perwakilan” menjadi “demokrasi langsung”. Amendemen UUD 1945 sesungguhnya merupakan salah satu agenda reformasi, yang telah dikokohkan dalam Ketetapan (Tap) MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004 Bidang Politik. Tap MPR Nomor IV/MPR/1999 ini mengamanatkan untuk meyempurnakan UUD 1945 sejalan dengan perkembangan kebutuhan bangsa, dinamika dan tuntutan reformasi dengan tetap memelihara kesatuan dan persatuan bangsa serta sesuai jiwa dan semangat Pembukaan UUD 1945. Sebelumnya, naskah asli Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 berbunyi: Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak. Pasal ini kemudian dirubah menjadi Pasal 6A, menetapkan bahwa: (1) Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. (2) Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. (3) Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi presiden dan wakil presiden. Sesuai dengan Pasal 6A ayat (3), perubahan UUD 1945, pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh gabungan Parpol peserta Pemilu adalah pasangan yang mempunyai kemungkinan lebih besar mendapatkan suara lebih dari 50 % dari jumlah suara dalam Pemilu. Selain itu, jumlah suara dalam Pemilu itu sedikitnya merupakan 20 % suara di setiap Provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah Provinsi di Indonesia. Calon Pilpres Menjelang Pilpres 2014 Berdasarkan Amandemen UUD 1945, dalam era reformasi ini Bangsa Indonesia telah menyelanggarakan 2 (dua) kali Pilpres berdasarkan pemilihan oleh rakyat secara langsung (one man one vote). Pertama, penyelenggaraan Pilpres RI tahun 2004 dengan keberhasilan Pasangan SBY-Jusuf Kalla meraih suara terbanyak dan mengantarkan mereka masing-masing menjadi Presiden dan Wakil Presiden R.I periode 2004-2009. Kedua penyelenggaraan Pilpres RI tahun 2009 dengan keberhasilan Pasangan SBY-Boediono meraih suara terbanyak dan mengantar mereka masing-masing menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2009-2014. Pada tahun 2014 mendatang akan dilaksanakan Pilpres RI ketiga berdasarkan pemilihan oleh rakyat secara langsung. Walaupun penyelenggaraan Pilpres RI tahun 2014 mendatang masih memerlukan waktu sekitar 2, 5 tahun lagi, namun di publik dan media massa telah mencuatkan nama-nama yang dipromosikan atau dijagokan menjadi Calon Presiden pada Pilpres RI tahun 2014. Nama-nama dapat ditunjukkan sebagai berikut: 1.Aburizal Bakrie (Ical) 2.Akbar Tandjung 3.Ani Yudoyono 4.Dahlan Iskan 5.Djoko Suyanto 6.Hatta Radjasa 7.Jusuf Kalla 8.Mahfud MD 9.Megawati Sukarnoputri 10.Prabowo Subianto 11.Sri Mulyani Indrawati 12.Wiranto 13.Rizal Ramli Pertanyaan Pokok Terkait dengan penyelenggaraan Pilpres 2014 mendatang dan pencuatan nama-nama yang telah dipromosikan dan diajokan sebagai Calon Presiden terutama di media massa, NSEAS (Network for South East Asian Studies=Jaringan Studi Asia Tenggara) mencoba menyelenggarakan forum “Dialog Terbatas Mencari Calon Presiden RI yang Layak”. Pertanyaan pokok diajukan di dalam forum ini adalah: bagaimana menentukan seseorang layak menjadi Calon Presiden RI untuk penyelenggaraan Pilpres tahun 2014 mendatang? Dengan perkataan lain, apa kriteria kelayakan seorang Calon Presiden? Untuk menjawab pertanyaan pokok ini, NSEAS mencoba menawarkan 5 (lima) kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan kelayakan Calon Presiden, yakni: Pertama, kriteria kelayakan “peraturan perundang-undangan”; Kedua, kriteria kelayakan “pemecahan masalah” (problem solving) rakyat yang sedang dihadapi; Ketiga, kriteria kelayakan “sosiologis”, yakni dukungan politik rakyat yang memiliki hak suara dalam Pilpers 2014; Kempat, kriteria kelayakan “kompetensi” sebagai “negarawan” berdasarkan unjuk kerja (1) pengetahuan, (2) pengalaman, dan (3) moralitas/integritas; dan , Kelima, kriteria kelayakan “pendanaan” (financial) untuk pembiayaan promosi dan kampanye. Forum ini diharapkan dapat membantu para peserta forum untuk: 1.Memperoleh penjelasan-penjelasan rasional-teoritis tentang kelayakan seorang calon Presiden menjadi Calon Presiden. 2.Memiliki wawasan luas tentang penentuan Calon Presiden pada khususnya dan penyelenggaraan Pilpres pada umumnya. 3.Meningkatkan persepsi yang sama di kalangan aktivis pro demokrasi tentang pentingnya penguatan secara politik dalam menentukan arah dan pilihan publik dalam pertarungan kekuasan Pilpres 2014. 4.Memperkaya referensi akademis menyangkut kelayakan Calon Presiden. 5.Mengidentifikasi nama-nama “Calon Presiden yang layak” untuk dipromosikan dan dikampanyeken kepada rakyat yang memiliki hak suara dalam Pilpers 2014. Butir-butir utama pemikiran dan penilaian peserta dalam sesi pembahasan sesuai dengan topik forum mengarahkan ke beberapa kesimpulan yang dirumuskan oleh para Fasilitator antara lain bahwa Forum sepakat untuk menolak hasil survei Calon Presiden RI menjelang Pilpres 2014 dari semua Lembaga Survei yang ada selama ini. Dari semua kriteria Calon Presiden yang layak, Fasilitator menetapkan, yang terpenting adalah “moralitas/integritas”. Kemudian para Fasilitator menegaskan bahwa forum sepakat memilih figur Mahfud MD dan Rizal Ramli sebagai sosok yang memenuhi kriteria Calon Presiden dalam Pilpres 2014 (Muchtar Effendi Harahap).

Kamis, 24 Mei 2012

KORUPSI POLITISI PARPOL DI DAERAH (BAGIAN PERTAMA)

SEBAGAIMANA telah diungkapkan di dalam Bab terdahulu, fenomena politik kartel dalam kehidupan politik kepartaian di Indonesia era reformasi dapat ditunjukkan paling tidak 6 (enam) karakteristik/indikator, yakni: 1. Hilangnya peran ideologi; 2. Mengutamakan koalisi, bukan oposisi; 3. Janji-janji dalam Pemilihan tidak direalisasikan; 4. Memperoleh dana ilegal; 5. Menghindari penyingkapan kasus korupsi; dan, 6. Mengutamakan politik pencitraan. Fenomena lain adalah perpecahaan Pasangan Pimpinan Kepala Daerah setelah memegang jabatan. Mayoritas Pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota, mengalami perpecahan atau pecah kongsi sebelum masa jabatan mereka berakhir. Proses perekrutan Pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diyakini sebagai cikal bakal ketidakharmonisan mereka. Menurut Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Reydonnyzar Moeloek (Kompas, 28 Desember 2011), dari 244 Pasangan Kepala Daerah-Wakil Kepala Daerah yang dipilih melalui Pemilu kepala Daerah secara langsung pada tahun 2010 dan 67 Pasangan pada Pemilu Kepala Daerah tahun 2011, hanya 6, 15 % berhubungan harmonis satu sama lain, sementara 93,85 % pasangan Kepala Daerah-Wakil Kepala Daerah lain mengalami perpecahan atau pecah kongsi. Dalam pengertian, hanya 6,15 % Pasangan Kepala Daerah-Wakil Kepala Daerah berlanjut, kembali mencalonkan diri bersama-sama, sementara sebanyak 93,85% lain tidak berlanjut. Menurut analisis Kemendagri, perpecahan dimulai dari proses perekuritan. Kebanyakan pasangan Kepala Daerah-Wakil Kepala Daerah berasal dari Parpol berbeda. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah memiliki tim sukses berbeda. Tim Sukses itulah yang bisa memperuncing sehingga terjadi gesekan. Penyebab lain adalah Kepala Daerah merasa bersama-sama memiliki akses, sumber daya, sumber dana, dan pendukung. Keduanya sering kali lebih mengutamakan kepentingan pendukung, yang sudah memilih langsung. Pola komunikasi antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah juga menjadi persoalan. Perpecahan kerap dipicu pembagian peran, tugas pokok, fungsi, dan kewenangan yang berbeda antara Kepala Daerah dan Wakil Kepal Daerah, termasuk soal proporsi alokasi anggaran operasional Kepala Daerah dan Wakilnya (Kompas, 28 Desember 2011). Fenomena politik kartel di daerah dapat ditunjukkan melalui salah satu karakteristik, yakni memperoleh dana ilegal atau perilaku korupsi kalangan politisi Parpol baik selaku Kepala Daerah maupun Anggota DPRD. Sebagaimana telah berlaku di tingkat pusat, di tingkat daerah indikator politik kartel ini dimaknai antara lain sebagai politik “jual-beli” untuk kepentingan peribadi, kelompok atau Parpol. Politik kartel ini telah melahirkan banyak pejabat berkemampuan rendah sehingga perkembangan daerah menjadi lambat, bahkan kebijakan otonomi daerah tidak mampu meningkatkan kesejahteraan kebanyakan masyarakat, kecuali segelincir orang dari posisi di luar kekuasaan menjadi di dalam kekuasaan pemerintahan daerah. Politik kartel termasuk politik “jual-beli” ini dapat digambarkan dari sebagian besar perkara Pilkada masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK) selama beberapa tahun terakhir. Para pemenang Pilkada digugat karena diduga memanfaatakan uang (politik uang) demi meraih suara. Dalam praktik politik jual beli sebagai parameter fenomena politik kartel di daerah, para calon Kepala Daerah menawarkan uang kepada rakyat agar memilihnya. Satu cara dengan tawaran kelompok tertentu (terutama pengusaha pemburu rente), “kalau mau jadi Kepala Daerah, kami dukung, tetapi proyek tertentu diberikan kepada kami”. Politik jual beli, lazim juga disebut sebagai politik transaksional, sudah merajalela di seantero Indonesia. Politik jual beli ini membawa dampak negatif berupa meningkatnya baik kualitatif maupun kuantitatif kasus korupsi kaum politisi baik sebagai Kepala Daerah maupun Anggota DPRD. Dampak lanjutannya adalah penyelenggaraan negara oleh pejabat pemerintahan daerah tidak dalam rangka memenuhi tujuan bernegara yakni kesejahteraan masyarakat, melainkan kesejahteraan kaum politisi Parpol khususnya dan klas atas dan menengah umumnya. Bagian ini akan berfokus pada penyajian fenomena korupsi di daerah dalam era reformasi, demokratisasi, otonomisasi, desentralisasi dan dekonsentrasi, termasuk era pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung. Karakteristik politik kartel kepartaian di tingkat nasional juga berlaku dan jauh lebih banyak di tingkat daerah, antara lain memperoleh dana ilegal dari negara/pemerintahan untuk kepentingan pribadi dan Parpol. Para pelaku politik kartel dapat terwakilkan dengan kasus-kasus korupsi Kepala Daerah dukungan atau pemimpin Parpol setempat dan anggota DPRD, notabenenya adalah kader Parpol. Pada 9 Mei 2014, menurut Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan, sudah 325 kepala daerah yang terjerat hokum atau tersangkut korupsi. Baik masih berstatus tersangka atau sudah menjadi narapidana. Baginya, kalau tidak ada perubahan sistem, jumlah kepala daerah yang terkena kasus hukum pasti bertambah banyak. Karena faktor mahalnya biaya kampanye Pemilukada juga turut menyumbang kepala daerah untuk balik modal. Alhasil, mereka ada kecenderungan untuk berupaya mencari uang dengan cara apa pun. Hingga akhirnya harus berurusan dengan aparat hukum. Satu contoh prilaku korupsi politisi Parpol terkait dengan Pilkada adalah kasus Bupati Biak Numfor, Papua, Yesaya Sombuk. Beliau tersandung kasus korupsi ijon proyek rekonstruksi talut abrasi pantai di Kabupaten Biak Numfor. Atas perbuatannya, Bupati Yesaya terancam Pasal 12 huruf a UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi. Beliau menerima suap 100.000 dollar Singapura atau setara dengan Rp. 950 juta dari Pengusaha Teddy Renyut. Menurut kesaksian Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Biak Numfor, Yunus Saflembolo, di Pengadilan Tipikor Jakarta, 8 September 2014, Bupati Yesaya ini membutuhkan uang suap sekitar Rp. 600 juta untuk membayar utang-utangnya karena mengikuti Pilkada. Dari hasil Pilkada, Yesaya tercatat memenangi Pilkada putaran kedua Kabupaten Biak Numfor yang digelar pada 5 Desember 2013(Kompas, 9 September). Pada tahun 1997 krisis ekonomi politik di Indonesia memperkuat posisi kekuatan reformasi dengan cita-cita demokratisasi di bidang Pemerintahan, dunia usaha dan masyarakat madani. Cita-cita kekuatan reformasi akan menghasilkan sistem perumusan kebijakan lebih partisipatif dan karena itu memberi legitimasi lebih kuat terhadap kebijakan melalui proses politik panjang untuk menggunakan ketrampilan negoisasi, serta kesediaan melakukan kompromi dengan semua pemangku kepentingan. Demokratisasi mengakibatkan kecenderungan sistem interaksi terpencar (divergence) dan bukannya terpusat (convergence). Kekuatan reformasi telah menumbuhkan harapan baru akan masyarakat bebas dari Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) sebagai salah satu agenda reformasi. Satu kemajuan kekuatan reformasi dan demokratisasi di Indonesia adalah penataan hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah baik dalam pengertian otonomisasi, desentralisasi maupun dekonsentrasi. Bermula dari diterbitkannya UU No. 22 tahun 1999, kemudian direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hasil revisi UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, demokratisasi secara legalistik yuridis telah melakukan perubahan sangat mendasar dalam pelaksanaan Pemerintahan Daerah. Secara garis besar, perubahan paling tampak adalah terjadinya pergeseran kewenangan dari satu lembaga ke lembaga lain. Konsep otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab tetap dijadikan acuan dengan meletakkan pelaksanaan otonomi pada tingkat daerah paling dekat dengan masyarakat, yakni Kabupaten/Kota. Tujuan pemberian otonomi tetap seperti yang dirumuskan saat ini yakni memberdayakan daerah, termasuk masyarakat, mendorong prakarsa dan peran masyarakat dalam proses Pemerintahan dan pembangunan. Asas-asas penyelenggaraan pemerintahaan seperti desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan diselenggarakan secara proporsional sehinga saling menunjang. UU No. 32 tahun 2004 digunakan otonomi seluas-luasnya di mana daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan Pemerintahan kecuali urusan Pemerintah pusat yakni: politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, moneter/fiskal, peradilan (yuridis) dan agama. Pemerintah berwenang membuat norma, standar, prosedur, monitoring dan evaluasi, supervisi, fasilitasi dan urusan-urusan Pemerintahan dengan eksternalitas nasional. Pemerintah Provinsi berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan Pemerintahan dengan eksternal regional, dan Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan dengan eksternalitas daerah. Dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 disebutkan, NKRI dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, dan tiap-tiap Provinsi, Kabupaten dan kota mempunyai Pemerintahan Daerah diatur dengan UU. Pemerintah Provinsi sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah diakomodasikan dalam bentuk urusan Pemerintahan menyangkut peraturan terhadap regional menjadi wilayah tugasnya. Urusan menjadi kewenangan daerah meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan Pemerintahan berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar, sedangkan urusan pilihan terkait dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah. Pemda adalah fungsi-fungsi pemerintahan daerah dilakukan oleh lembaga Pemerintahan Daerah yaitu Pemerintah Daerah dan DPRD. Hubungan antar Pemerintah Daerah dan DPRD hubungan kerja kedudukan setara dan bersifat kemitraan, bermakna sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga membangun hubungan kerja saling mendukung satu sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing. Dalam UU No. 32 tahun 2004 terlihat semangat melibatkan partisipasi publik. Pelibatan publik dalam Pemerintahan atau politik di daerah mengalami peningkatan luar biasa dengan diaturnya Pilkada secara langsung. UU No. 32 tahun 2004 tersebut menciptakan good governance (tata pengaturan yang baik). UU No. 32 tahun 2004 kemudian diikuti terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. PP No. 6 tahun 2005 ini mengatur tentang pelaksanaan Pilkada secara langsung telah membuat sistem Pemerintahan di daerah semakin demokratis. Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Melalui peraturan perundang-undangan ini setidaknya secara prosedural demokrasi telah difungsikan secara baik di daerah. Mulai tahun 2005 pergantian Kepala Daerah, baik Gubernur maupun Bupati/Walikota di seluruh Indonesia telah dilakukan secara langsung. Parpol berperan dalam pencalonan pasangan Kepala Daerah, lalu rakyat setempat secara langsung memilih dengan prinsip-prinsip Pilkada sesuai Pilpres. Seiring dengan penguatan Pemerintah Daerah dan pelaksanaan Pilkada secara langsung yang menjadikan Parpol sebagai faktor penting, peran Parpol juga semakin menguat kemudian menjadi berpengaruh terhadap pemilihan Kepala Daerah dan sistem perumusan kebijakan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Demokratisasi menggiring sistem politik di daerah semakin terbuka, dapat dinilai merupakan kemajuan signifikan. Namun, dari perspektif kebijakan publik gelombang demokratisasi itu ternyata menjadi tantangan tersendiri tidak pernah berlaku sebelumnya. Dewasa ini situasi Pemerintahan Daerah lebih sulit dalam menyelesaikan perselisihan tentang kebijakan akan diambil. Lain halnya semasa Orde Baru, begitu cepat keputusan diambil karena terbiasa dengan pendekatan kekuasaan. Proses kebijakan publik kini lebih terfragmentasi dan untuk sebagian terasa kurang efektif. Konfigurasi politik di daerah kini telah dilengkapi dengan semua ciri dasar bagi sebuah demokrasi. Berbagai ciri demokrasi telah berlaku di daerah seperti Pilkada secara langsung, bebas dan adil, kebebasan berpendapat dan berserikat, hak untuk memilih, adanya sumber informasi alternatif, hak bagi semua orang untuk menduduki jabatan publik, serta kelembagaan memungkinkan rakyat bisa mengontrol Pemerintahan Daerah sebagai ciri-ciri demokrasi telah berlaku di Indonesia. Namun, sebagai daerah baru belajar berdemokrasi, banyak di antara perumus kebijakan strategis daerah sebenarnya baru belajar berdemokrasi, dan selama sudah terbiasa dengan sistem otoritarian. Salah satu tantangan berat yakni meyakinkan para perumus kebijakan daerah agar tidak frustasi dengan tatanan otoritarian masa lalu, mengungkit nostalgia semuanya serba pasti dan dapat diduga. Proses perumusan kebijakan demokratis memang memerlukan kerja keras untuk menciptakan sebuah konsensus, tetapi itu bukan berarti bahwa kembali ke cara-cara tidak demokratis menjadi cara pemecahan/solusi. Demokratisasi telah memberdayakan DPRD. Jika di masa Orde Baru lembaga ini hanya merupakan pelengkap dan menjadi ”stempel” dari kebijakan Pemerintah Daerah, kini bergerak ke arah legislatif sehingga DPRD diberi hak untuk memilih dan mengawasai Gubernur, Bupati dan Walikota tanpa mekanisme kawal dan imbang jelas. Sistem ini rawan politik uang selain akan menghambat proses perumusan kebijakan. Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) diserahkan sepenuhnya kepada DPRD, pasangan calon Kepala Daerah tinggal ”mendekati” separuh dari seluruh anggota DPRD. Untuk memencapai jabatan politis di daerah ketika itu tidak lebih dari 50 orang untuk DPRD tingkat Provinsi dan tidak lebih dari 23 orang untuk tingkat Kabupaten/Kota.Dengan modal uang, sepasang calon akan mudah untuk membeli suara para anggota DPRD. Memang ada keharusan bagi para pasangan calon untuk menyampaikan visi dan misi mereka di depan DPRD, namun pada akhirnya sangat bergantung penggunaan hak mutlak memilih para anggota DPRD. Persoalan menjadi lebih parah karena kebanyakan para anggota DPRD ketika itu tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan yang memadai dalam hal ketatanegaraan maupun hal-hal teknis terkait pemerintahan daerah. Ketika para anggota DPRD dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) kurang memadai itu memperoleh kekuasaan besar seiring kebijakan desentralisasi, maka mereka akan sangat rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan, politik uang, dan korupsi. UU No. 32 tahun 2004 menghapus kewenangan DPRD untuk memilih Kepala Daerah dan juga ketentuan mengenai LPJ (Laporan Pertanggungjawaban), sebelumnya seringkali disalahgunakan oleh para anggota DPRD untuk memecat Kepala Daerah tanpa alasan jelas. LPJ itu kini hanya dipandang sebagai laporan kemajuan bagi para anggota legislatif. Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 telah mengurangi fungsi DPRD, antara lain tidak lagi berwenang memiliki Kepala Daerah dan oleh karena itu diterapkan Pilkaad secara langsung. Ketika Kepala Daerah selanjutnya dipilih secara langsung, kedudukan eksekutif dan legislatif di daerah relatif menjadi lebih seimbang. Meskipun secara prosedural tatanan demokratis telah terwujud di daerah, tetapi tidak menjamin terpilihnya pemimpin yang baik dan masih banyak masalah yang belum terpecahkan. Namun, masalah kesenjangan antara perilaku DPRD dengan apa dikehendaki oleh para konstituen mereka tetap belum dapat diatasi sampai sekarang. Dinamika politik di daerah mengandung tendensi kuat bahwa pejabat lebih memperhatikan kepentingan Parpol ketimbang kepentingan publik. Korupsi menjangkiti para politisi dan petinggi di seluruh jenjang pemerintahan daerah mengakibakan sikap skeptis terhadap para pengambil keputusan di daerah. Salah satu issue politik nasional di bawah era reformasi belakangan ini (2011) adalah Pilkada dan korupsi di daerah. Biaya calon Kepala Daerah dalam pencalonan dan kampanye mengharuskan Kepala Daerah terpilih harus mengembalikan modalnya selama kampanye. Fenomena korupsi di daerah terkait dengan Pilkada telah menjadi “prestasi” Indonesia di bawah era reformasi. Untuk mengurangi korupsi di daerah, Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzie, menggagas bahwa Parpol harus membiayai pencalonan dan kampanye calon Kepala Daerah. Gagasan ini tentu masih harus digugat. Bisa jadi, Parpol membiayai calon justru memperkuat politik kartel daerah, terutama perilaku politisi Parpol mengambil dana negara (APBN dan APBD) secara ilegal. Sekarang saja, untuk pembiayaan kegiatan Parpol telah menyuburkan korupsi politisi di daerah. Gamawan juga mengingatkan, banyak Kepala Daerah menjadi tersangka atau terdakwa korupsi, bahkan ditahan. Hal ini pasti berdampak terhadap penyelenggaran pemerintahan di daerah. Penilaian kritis juga datang dari salah seorang penggagas desentralisasi dan otonomi daerah pada masa awal reformasi, Ryaas Rasyid, dalam orasi ilmiahnya di Sarwono Prawirohardjo Memorial Lecture XI, LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), 22 Agustus 2011. Pilkada secara langsung, ujar Rasyid, tanpa kajian dan sosialisasi yang intensif mendorong maraknya politik uang dan tidak ada jaminan pasangan calon terbaik akan menang.”Belanja kampanye yang besar mendorong perilaku korupsi Kepala Daerah”, tandas Mantan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah ini (Kompas, 24 Agustus 2011). Fenomena korupsi Kepala Daerah akan terus berlangsung karena berusaha mempertahankan kekuasaan dan akses ekonominya. Untuk mempertahankan itu semua diperlukan iongkos politik yang sangat besar. Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, biaya politik Polkada selalu tinggi. Biaya-biaya ini diperlukan untuk “membeli” atau membayar Parpol pendukung, membeli suara dan kampanye. Kepala Daerah harus mendapatkan kembali ongkos yang sudah dikeluarkan dengan korupsi. Selain itu, kenikmatan akses pada usaha dan kekuasaan membuat para Kepala Daerah enggan melepas kekuasaan. Segala cara pun ditempuh untuk memenangkan kembali Pilkada. Penilaian semacam ini telah ditunjukkan hasil Penelitian ICW di Pilkada Kota Jayapura, Kabupaten Pandeglang, dan Provinsi Banten. Hasil penelitian telah dipresentasikan di UniversitasParamadina, Jakarta, 14 Februari 2012. Menurut ICW, Pilkada menjadi instrument bagi elite lokal untuk mempertahankan kekuasaan dan asset ekonomi. Di sejumlah Kabupaten/Kota di banten dan di Jayapura, pemenang Pilkada umumnya amsih berkerabat atau memiliki hubungan dalam usaha. Sebagai contoh, di Banten, modal Pilkada umumnya dari calon kepala daerah atau keluarga, pengusaha lokal serta dari APBD dan APBN. Sebaliknya, hampir tidak ada Parpol yang mendukung secara financial ataupun dalam proses pemenangan. Karena itu, ICW menyimpulkan, peserta Pilkada umumnya menyembunyikan jumlah sesungguhnya dana. Selain itu, dilakukan juga imbauan, ancaman dan tekanan. Birokrasi juga didorong menjadi penyelenggara seperti Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara dan Panitia Pemungutan Suara. Pegawai yang tidak mendukung akan dirotasi. Di Jayapura, misalnya, pemenang Pilkada didukung Kepala Daerah sebelumnya dan pengusaha minuman keras (Kompas, 15 Februari 2012). Potret korupsi semakin mengerikan. Korupsi tidak hanya terjadi di tingkat pejabat negara dengan segala unsur seperti Bupati/Walikota, pejabat musyawarah pimpinan daerah (Muspida), atau DPRD. Namun, sebagaimana ditegaskan Hadi Supeno, seorang Mantan Wakil Bupati penulis buku Korupsi di Daerah: Kesaksian, Pengalaman, dan Pengakuan (2010), korupsi telah merembet ke berbagai elemen masyarakat, mulai dari kalangan Parpol, LSM, tokoh agama, hingga perguruan tinggi. Semua terlibat korupsi, Perguruan Tinggi seringkali melegitimasi proyek-proyek korup dengan penelitian bayaran, sedangkan tokoh agama acapkali menjadi juru doa proyek korup. Tidak ada lagi pejabat daerah memenangi pemilihan dengan jujur atau tanpa menggelontorkan uang ke calon pemilih. Akibatnya, ketika menjabat mereka berperilaku korup. Di dalam Melalui Kompas.Com, 24 Desember 2009 menyajikan penegasan HAdi Supeno bahwa dalam hitungan, kebocoran uang APBD rata-rata mencapai 20 %. Sebagian adalah untuk biaya Pilkada pada priode berikutnya. (Muchtar Effendi Harahap)