Selasa, 19 September 2017

KEBIJAKAN PERHUTANAN SOSIAL: TANPA MELIBATKAN PEMANGKU KEPENTINGAN ?

KEBIJAKAN PERHUTANAN SOSIAL: TANPA MELIBATKAN PEMANGKU KEPENTINGAN ? Oleh TIM STUDI NSEAS (Network for South East Asian Studies) Lahirnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan P.39/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani telah menimbulkan kritik dan kecaman dari berbagai pihak. Kritik dan kecaman muncul dari tasfir atas peraturan tersebut serta analisis berbagai kemungkinan yang akan terjadi dalam implementasinya. Berikut ini beberapa kritikan dan kecaman dimaksud. Salah satu sasaran kritik adalah kebijakan ini tanpa melibatkan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH), Kelompok Tani Hutan (KTH) dan stakeholder lainya yang selama ini menjaga hutan agar tidak rusak. Bagi mereka, sejatinya perhutanan sosial di wilayah Perhutani sudah terlaksana sejak ditetapkannya SK Kadewas Perhutani No. 136 tahun 2001 tentang PHBM dan selama ini sudah berjalan cukup baik dan efektif, meskipun pasti msih memerlukan perbaikan dan penyempurnaan. Terbukti sampai saat ini sudah terbentuk setidaknya 5.327 LMDH di seluruh Jawa. Permen ini justru akan menimbulkan persoalan sosial baru diantara masyarakat daerah pinggiran hutan, yaitu antara MDH dan Masyarakat penggarap bentukan Pokja PPS sesuai P39. Kelompok Pengkritik ini akhirnya menutup gelombang kritikan dengan menekankan bahwa penerbitan Permen LHK No. P.39 Tahun 2017 tanpa melibatkan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH), Kelompok Tani Hutan (KTH) dan stakeholder lainya. Mereka memberi kesan, ada keharusan Pemerintah dalam penerbitan regulasi ini melibatkan pemangku kepentingan seperti nama-nama kelompok masyarakat di atas. Pemangku kepentingan (stakeholder) bermakna sebagai segenap pihak terkait dengan issu dan permasalahan sedang diangkat. Dalam issue perhutanan sosial di Pulau Jawa ini, pemangku kepentingan iadalah pihak-pihak terkait dengan issu perhutanan sosial di Pulau Jawa, petani lahan hutan, masyarakat perhutanan, pemilik lahan hutan, organisasi pengelola hutan, pedagang hasil perhutanan sosial, pengolah dan pembudi daya hasil perhutanan sosial, Pemerintah Daerah, pihak swasta di bidang perhutanan, Perum Perhutani, dans sebagaianya. Sedangkan Pemerintah (Kementerian LHK) disebut sebagai shareholder, yakni pemilik dari lahan hutan wilayah kerja Perum Perhutani dan juga pemilik kebijakan dan program perhutanan sosial. Dikritik dalam penerbitan Permen LHK No. P.39 tahun 2017 tidak melibatkan pemangku kepentingan, dimaksudkan mereka seperti PHBM, LMDH, PMDH, KTH. Dikesankan lembaga-lembaga ini sebagai pemangku kepentingan harus dilibatkan dalam proses penerbitkan. Tetapi, apakah betul Kementerian LHK tidak melibatkan pemangku kepentingan? Sesungguhnya Kementerian LHK telah melibatkan pemangku kepentingan, terutama paling strategis Perum Perhutani, perusahaan pemegang konsesi kehutanan milik negara. perhutanan terlibat al. dalam mengkaji skema dan alokasi lahan buat mendukung program perhutanan sosial di Jawa. Pada level wacana intelektual, para pemangku kepentingan juga sudah terlibat. Forum Nasional Untuk Hutan dan Masyarakat pertama diselenggarakan 15-16 April 2014 di Jakarta, dihadiri kalangan wakil masyarakat, Pemerintah dan Pemda, LSM, lembaga bisnis, lembaga penelitian dan akademisi, dll. Forum Nasional ini diselenggarakan RECOFTC—The Center for Pople and Forests Country Program Indonesia bekerjasama dengan Kementerian Kehutanan, Perum Perhutani, Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM), Kemitraan (Partnership for Governance Reform) dan Yayasan Perspektif Baru (YPB). Jadi tidak betul, Kementerian LHK sebagai shareholder tanpa melibatkan pemangku kepentingan! Lagi pula Permen LHK No. P.39 Tahun 2017 ini sebagai penyempurnaan Permen LHK No. P. 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Jika Permen LHK No. P.83 untuk level nasional, Permen LHK No.P.39 mengatur pola perhutanan sosial di wilayah kerja Perum Perhutani. Pada level penyusunan LHK No. P.83 tentu saja telah melibatkan lebih beragam dan meluas pemangku kepentingan.

KEBIJAKAN PERHUTANAN SOSIAL: ADA KEPENTINGAN POLITIK DAN BISNIS PEMERINTAH?

KEBIJAKAN PERHUTANAN SOSIAL: ADA KEPENTINGAN POLITIK DAN BISNIS PEMERINTAH? Oleh TIM STUDI NSEAS (Network for South East Asian Studies) Lahirnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan P.39/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani telah menimbulkan kritik dan kecaman dari berbagai pihak. Kritik dan kecaman muncul dari tasfir atas peraturan tersebut serta analisis berbagai kemungkinan yang akan terjadi dalam implementasinya. Salah satu sasaran kritik mereka adakah Permen ini memberi izin pengelolaan kawasan mereka ke pihak luar. Izin tersebut ditakutkan diselewengkan implementasinya. Ada kepentingan politik dan bisnis yang dimiliki pemerintah. Rata2 jadi program Perum Perhutani adalah daerah sangat berpotensi, baik pertanian atau bisnis. Contoh di Karawang, yang kena berdempetan dengan kawasan industri dan bandara macam-macam. Diduga ada potensi pengusaha ikut mengelola kawasan Perhutani dan mengubah peruntukan lahan. Berubahnya penggunaan lahan tertentu ditakutkan berdampak pada terjadinya bencana alam seperti erosi, banjir, atau tanah longsor. Padahal di lokasi banyak sangat rawan terhadap bencana. Seperti di Jawa barat itu di (Gunung) Rakutan Hulu Citarum, kalau ditanami sayuran ini akan berakibat pada tanah longsor, banjir, dan lain-lain. Salah satu kritik Penggugat Permen LHK NO. P.39 Tahun 2017 mengenai dugaan ada kepentingan politik dan ekonomi dimiliki Pemerintah. Permen LHK No. P.39 Tahun 2017 ini syarat kepentingan politik dan bisnis dimiliki Pemerintah. Diduga ada potensi pihak pengusaha ikut mengelola kawasan kerja Perum Perhutani dan mengubah peruntukan lahan. Mereka juga menduga, Permen LHK No. P.39 Tahun 2017 ini memberi izin pengelolaan kawasan mereka ke pihak luar. Izin tersebut ditakutkan diselewengkan implementasinya. Ada kepentingan politik dan bisnis yang dimiliki pemerintah. Rata-rata lahan hutan program Perum Perhutani adalah daerah sangat berpotensi, baik pertanian maupun bisnis. Mereka memberi contoh di Karawang, lahan hutan yang terkena berdempetan dengan kawasan industri, bandara, dan macam-macam. Pengkritik menduga, ada potensi pengusaha ikut mengelola kawasan Perum Perhutani dan mengubah peruntukan lahan. Berubahnya penggunaan lahan tertentu ditakutkan berdampak pada terjadinya bencana alam seperti erosi, banjir, atau tanah longsor. Padahal di lokasi banyak sangat rawan terhadap bencana. Seperti di Jawa barat itu di (Gunung) Rakutan Hulu Citarum, kalau ditanami sayuran ini akan berakibat pada tanah longsor, banjir, dan lain-lain. Konsep bisnis tentu saja tidak terbebas dari implementasi Permen LHK P.39 Tahun 2017. Namun, konsep bisnis dimaksud bukan bisnis pengusaha atau korporasi dunia usaja, melainkan bisnis masyarakat. Perhutanan sosial membutuhkan kawasan hutan yang jelas, dengan pemberian akses lebih besar kepada masyarakat. Bisnis menjadi salah satu unsur penting pengembangan perhutanan sosial. Intinya, salah satu unsur penting pengembangan perhutanan sosial adalah bagaimana bisnis masyarakat penerima izin pemanfaatan hutan negara itu berjalan baik. Permen LHK No. P.39 Tahun 2017 menjamin bisnis masyarakat, bukan bisnis pengusaha sebagaimana diperkirakan para Pengkritik akan terjadi. Yakni pengusaha ikut mengelola kawasan kerja Perum Perhutani dan mengubah peruntukan lahan. Pemegang izin pemanfaatan hutan perhutanan sosial (IPHPS) sekaligus merupakan kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS).Tidak ada pengusaha bisa ikut karena kehadiran negara dalam pengawasan cukup ketat, sebagai misal, lahan hutan yang diterima masyarakat tida boleh dijual, boleh dipakai dan dimanfaatkan sampai 35 tahun. Prinsip dasar dalam regulasi al. tidak boleh dipindahtangankan dalam arti dijual. Kalau ayahnya wafat, bisa diturunkan kepada anaknya. Jika dipindahtangankan, maka lahan garapan dikembalikan kepada kelompok atau koperasi/koperasi mitra BUMDes.

KEBIJAKAN PERHUTANAN SOSIAL: AKAN BERDAMPAK PADA HUTAN DI JAWA ?

KEBIJAKAN PERHUTANAN SOSIAL: AKAN BERDAMPAK PADA HUTAN DI JAWA ? Oleh YAMINUDIN (Peneliti Senior Community Development NSEAS) Kritik masyarakat penggugat Permen LHK No. P.39 Tahun 2017 menunjukkan semakin meluas dan melebar yang bisa jadi tidak ada kaitannya atau kontroversial dengan apa maksud dan tujuan penerbitan Permen ini. Ada kelompok Pengkritik menilai, Permen LHK No. P.39 Tahun 2017 dalam implementasinya akan menyebabkan kuantitas dan kualitas hutan di pulau Jawa menurun. Bagi Pengkritik, bukannya kesejahteraan masyarakat desa hutan meningkat, tetapi justru semakin menurunnya kuantitas dan kualitas hutan di Pulau Jawa. Penilaian Pengkritik ini sesungguhnya memiliki mispersepsi tentang kebijakan perhutanan sosial berupa Permen LHK No. P. 39 Tahun 2017. Kebijakan perhutanan sosial di Pulau Jawa ini justru meningkatkan kuantitas dan kualitas hutan melalui pola tanam ditentukan. Kebijakan perhutanan sosial di Pulau Jawa berangkat dari issu al. antara lain krisis ekonologi dengan luasnya lahan hutan tidak bertutupan alias gundul, diperkirakan mencapai lebih 300 ribu Hektar dengan zona adaptif 800 ribu Hektar. Pemerintah membuat kebijakan perhutanan sosial di hutan negara di Pulau Jawa, khusus di wilayah kerja Perum Perhutani. Kebijakan ini disamping memperhatikan kesejahteraan dan kebutuhan lahan produksi petani, juga memperhatikan peningkatan kuantitas dan kualitas hutan. Secara kuantitas masyarakat penerima Izin Pengelolaan akan menambah luas hutan, sementara kualitas hutan juga akan meningkat. Akan terhindar praktek jual beli lahan garapan di kawasan hutan, pungli hasil pertanian petani di hutan, konflik kawasan hutan, yang menyebabkan krisis ekologi karena tidak mampu memulihkan tutupan lahan. Perhutanan sosial ini adalah wujud negara hadir. Negara akan memberikan pendampingan dan perlindungan kepada masyarakat petani hutan. Karena itu, negara akan terlibat langsung untuk bersama masyarakat pemegang izin pengelolaan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas hutan. Bagaimanapun, usaha pengelolaan hutan oleh masyarakat akan meningkatkan kuantitas dan kualitas hutan. Jika Para Pengritik membaca sungguh-sungguh Permen LHK No. P. 39 Tahun 2017, mereka akan menemukan adanya jaminan masyarakat pemegang izin harus menggunakan pola tanam telah ditentukan sehingga kuantitas dan kualitas hutan meningkat, bukan menurun. Perhutanan sosial dapat diberikan pada wilayah kerja dengan “tutupan“ dari atau sama dengan 10 % secara terus menerus dan kurun waktu 5 tahun atau lebih. Di lahan tutupan 10 % ini IPHPS dalam Hutan Produksi dengan pola tanam budidaya tanaman pokok hutan 50 %; tanaman multi guna 30 %; dan, tanaman semusim 20 %. Untuk hutan lindung, pola tanam tanaman kayu non fast growing species untuk perlindungan tanah dan air 20 %; tanaman multi guna 80 %; tanaman di bawah tegakan berupa tanaman selain jenis umbi-umbian dan/atau tanaman lainnya yang menyebabkan kerusakan hutan. Ketentuan pola tanam dalam Permen LHK No. P.39 Tahun 2017 ini sangat tidak memungkinkan terjadi penurunan kuantitas dan kualitas hutan, justru akan terdapat kondisi peningkatan. Penilaian Pengkritik juga dapat dipatahkan dengan hasil berbagai riset pengelolaan hutan baik di Indonesia maupun di Eropa. Hal ini bukan wacana baru di kalangan Pegiat atau Pemerhati kehutanan, termasuk di Pulau Jawa. Hutan yang dikelola masyarakat jauh lebih menguntungkan secara ekonomi, ekologi dan sosial.Permen LHK No. P.39 Tahun 2017 ini bisa dinilai sebagai upaya reformasi pengelolaan hutan, mempunyai keberpihakan terhadap rakyat, dan meningkatkan kuantitas dan kualitas hutan di Pulau Jawa. Adalah salah dan tidak terbukti secara emperis penilaian bahwa masyarakat pemegang izin pengelolaan hutan di Pulau Jawa akan membuat kuantitas dan kualitas hutan menurun.

KEBIJAKAN KEHUTANAN SOSIAL DI PULAU JAWA: RAWAN KONFLIK HORIZONTAL?

KEBIJAKAN KEHUTANAN SOSIAL DI PULAU JAWA: RAWAN KONFLIK HORIZONTAL? Oleh YAMINUDIN (Peneliti Senior Community Development NSEAS) Lahirnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan P.39/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani telah menimbulkan kritik dan kecaman dari berbagai pihak. Kritik dan kecaman muncul dari tasfir atas peraturan tersebut serta analisis berbagai kemungkinan yang akan terjadi dalam implementasinya. Berikut ini beberapa kritikan dan kecaman dimaksud. Kritik dan kecaman dimaksud antara lain bahwa Permen ini akan menimbulkan kondisi rawan konflik horisontal. Hal ini disebabkan di tempat-tempat tertentu di areal Perum Perhutani sudah ada "ijin pemanfaatan hutan" kepada masyarakat. Hingga tulisan ini dibuat belum pernah terjadi konflik horisontal seperti digembor-gemborkan Pengkritik. Konflik horizontal sesama petani gurem tidak akan terjadi kecuali ada rekayasa pelaku usaha bidang kehutanan di sekitar wilayah kerja Perhutani yang menganggap akan mengalami kerugian ekonomi jika Permen LHK P.49 sungguh2 diimplementasikan. Ada tiga alasan utama. Pertama, mereka yang sudah mendapat izin pemanfaatan hutan sebelumnya tergolong petani penggarap yang tidak memiliki lahan atau petani yang memiliki lahan di bawah atau sama dengan 0,5 Ha. Sasaran pelaksanaan Permen P.39 juga petani penggarap semacam itu. Sesama kelas sosial sangat kecil terjadi konflik horizontal terkait hubungan mereka dengan negara. Mereka ini memiliki kultur nerimo dan patuh sama negara. Kedua, dalam Bab X Ketentuan Peralihan, ditetapkan bahwa pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) yang telah ada sebelum berlaku Permen LHK P.39 disesuaikan dengan Permen ini. Maknanya mereka tetap terlibat dan menjadi sasaran implementasi Permen P.39. Ketiga, PBHM yang telah ada sebelum berlaku Permen ini yang arealnya di luar ketentuan dinyatakan tetap berlaku dan selanjutnya pelaksanaan disesuaikan dengan ketentuan Permen LHK No. P.83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Jadi, petani pemegang izin pemanfaatan hutan sebelumnya tidak digusur. Berdasarkan tiga alasan utama di atas, pernyataan Pihak Pengkritik kondisi rawan konflik horizontal hanya mengada-ngada. Bisa jadi, issue ini digelembungkan agar Pemerintah tidak menggusur usaha mereka yang bukan petani penggarap dan ilegal di tanah hutan wilayah kerja Perhutani selama ini. Dengan perkataan lain, agar Pemerintah mau berdasar-menawar dengan mereka sebagai pengusaha dan pemanfaat.Secara sosiologis sesungguhnya mereka termasuk strata menengah atas di wilayah setempat.

KEBIJAKAN PERHUTANAN SOSIAL DI PULAU JAWA: RAKYAT AKAN MERUSAK ALAM DAN TIMBULKAN BENCANA ?

KEBIJAKAN PERHUTANAN SOSIAL DI PULAU JAWA: RAKYAT AKAN MERUSAK ALAM DAN TIMBULKAN BENCANA ? Oleh YAMINUDIN (Peneliti Senior Community Development NSEAS) Kebijakan perhutanan sosial dan penerbitan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan P.39/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani, mengundang kritik dan penolakan terutama dari kelompok pelaku usaha perhutanan di Pulau Jawa. Salah satu kritik dan penolakan mereka bahwa ribuan Pemegang IPHPS tidak cakap dalam mengelola hutan. Lalu mereka mengklaim, ketidacakapan Pemegang IPHKS ini akan menjadikan kondisi hutan Indonesia rusak dan menimbulkan bencana alam. Pada prinsipnya secara ahistoris pengkritik ini menilai kebijakan perhutanan sosial di Pulau Jawa ini akan merusak lingkungan alam dan pada gilirannya menyebabkan terjadinya bencana alam. Penyebab utama adakah rakyat miskin penerima Izin yang tidak cakep. Tentu saja mereka mencitrakan sir mereka adalah orang2 yang cakap dalam mengelola atau memanfaatkan lahan hutan. Kerangka berpikir feodalisme telah mewarnai kritik dan penolakan atas kebijakan perhutanan sosial di sekitar wilayah kerja Perum Perhutani. Adakah rakyat miskin tidak cakap mengelola hutan lalu otomatis mereka merusak alam dan karenanya timbulkan bencana alam?Jawabannya pasti tidak ! Perlu dipertegas bahwa dalam Permen LHK P.39 Tahun 2017, IPHPS diberikan pada areal hutan tutupan lahan terbuka atau tegakan hutan kurang atau sama dengan 10 %, secara terus menerus selama lima tahun atau lebih. Areal hutan terbuka itu akan ditanam kembali lewat kegiatan perhutanan sosial disertai monitoring dan evaluasi, melibatkan pendampingan dalam hal permohonan, pemanfaatan, penyuluhan, teknologi, akses pembiayaan dan pemasaran. Kritik bahwa pemegang IPHPS tidak cakep menjadikan hutan Indonesia rusak dan menjadikan bencana tidak logis. Lebih-lebih lagi ketentuan IPHPS dalam hutan produksi mengharuskan budidaya tanaman pokok hutan seluas 50 %, budidaya tanaman multiguna seluas 30 %, budidaya tanaman semusin seluas 20 %. Sedangkan IPHPS pada hutan lindung, pola tanamnnya: 20 % tanaman kayu untuk perlindungan tanah dan air, tanaman multi guna 80%. Apabila program ini berjalan baik, besar kemungkinan melateakkan dasar Pulau Jawa dari Pulau Padi menjadi Pulau Buah-buahan. Mungkin perlu disadari bahwa kecenderungan historis di beberapa negara dan juga di Indonesia bahwa hutan masyarakat lebih baik kondisinya ketimbang hutan negara. Jadi, dengan perhutanan sosial ini akan terjadi penghijauan kembali hutan Pulau Jawa dan sekaligus penghentasan kemiskinan masyarakat sekitar hutan.

PERMEN LHK P.39 TAHUN 2017: RAKYAT AKAN MEMBABAT KAYU DI HUTAN LINDUNG?

PERMEN LHK P.39 TAHUN 2017: RAKYAT AKAN MEMBABAT KAYU DI HUTAN LINDUNG? Oleh YAMINUDIN (Peneliti Senior Community Development NSEAS) Kebijakan perhutanan sosial di Pulau Jawa telah diperkuat dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan P.39/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani. Permen LHK No.P.39 tahun 2017 ini merupakan penyempurnaan dari Permen LHK No.83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, telah mengatur pola perhutanan sosial di wilayah kerja Perum Perhutani. Salah satu kritik dan kecaman pihak Penggugat dari kelompok pelaku usaha perhutanan di Pulau Jawa terkait issue pembabatan kayu di dalam hutan lindung. Intinya, mereka mengklaim, Permen ini memberi kesempatan kepada rakyat miskin pemegang ijin pemanfaatan hutan perhutanan sosial (IPHPS) akan membabat kayu di dalam hutan lindung. Betulkah klaim mereka ini ? Tentu saja tidak betul. Rakyat miskin dapat IPHPS justru berada di sekitar lahan hutan wilayah kerja Perum Perhutani yang telah terlantar lebih 5 tahun dan 15 tahun. Baik lahan hutan produksi mampu. Hutan lindung wilayah kerja Perum Perhutani, dapat ditemukan dalam kondisi sudah gundul atau kayu telah dibabat. Para pengkritik dan mengecam Permen LHK P.39 ini memberi kesan seakan rakyat miskin pemegang IPHPS itu bermental dan berprilaku "jahat", membabat kayu secara ilegal di hutan lindung. Seakan rakyat miskin ini tidak takut penegakan hukum dan juga begitu serakah sehingga membabat kayu di hutan lindung tanpa ada usaha lain dan tanpa pengawasan dari Pemerintah. Perlu diketahui, IPHPS ini memberi kesempatan kepada rakyat miskin untuk melakukan beragam usaha. Memang Permen P.39 mengizinkan pemanfaatan hutan lindung, tetapi hutan lindung yang sudah terlantar dan gundul untuk ditanami kembali. Jadi, di lahan hutan lindung itu sudah tak ada pepohonan kayu karena dijarah oleh fihak tak bertanggungjawab sel aja ini. Sementara Perum Perhutani tidak menanam pepohonan kayu malanan membiarkan begitu saja. Adalah mengada-ada pernyataan bahwa rakyat miskin pemegang IPHPS sesusi Permen LHK P.39 akan membabat kayu di hutan lindung. Faktanya, kayu saja sudah tak ada di lokasi tanah hutan lindung tersebut. Pernyataan penerima IPHKS akan membabat kayu di hutan lindung juga mengesankan seakan-akan bentuk usaha penerima IPHKS semata urusan penanaman dan pemanfaatan kayu. Padahal beragam bentuk usaha IPHKS, termasuk pemanfaatan air, enerji air, pariwisata, dll. Tidak hanya urusan perkayuan.

MEREKA MENGGUGAT PERMEN LHK NO. P.39 THN 2017 BERTENTANGAN PP NO. 6 THN 2007

MEREKA MENGGUGAT PERMEN LHK NO. P.39 THN 2017 BERTENTANGAN PP NO. 6 THN 2007 Oleh ANDRIS YUNUS ASSI (Peneliti Hukum NSEAS) Implementasi Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No.P.39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani mendapat gugatan dari sekelompok masyarakat pelaku usaha di bidang kehutanan. Mereka mengajukan gugatan uji materil atas Permen LHK No.P.39 Tahun 2017 kepada Mahkamah Agung (MA). Mereka berjuang supaya Permen LHK No. P.39 tahun 2017 dibatalkan atau dicabut sehingga tidak dapat diimplementasikan. Mengapa mereka menggugat Permen LHK No. P. 39 Tahun 2017 bertentangan PP No.6 tahun 2007? Beragam jawaban dapat diidentifikasi, baik secara terbuka maupun tertutup. Satu alasan legalistik mereka ajukan adalah Permen LHK ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, khususnya Pasal 48 berbunyi antara lain: Pemberi izin, dilarang mengeluarkan izin dalam wilayah kerja BUMN bidang kehutanan yang yelah mendapat pelimpahan untuk mengelenggarakan pengelolaan hutan. Inilah dasar argumentasi Pihak Penggugat untuk memohon kepada MA agar membatalkan atau mencabut Permen LHK tersebut. Bagi mereka, Permen LHK No.P.39 Tahun 2017 telah melanggar ketentuan PP No.6 Tahun 2007 karena Pemerintah mengeluarkan izin dalam wilayah kerja BUMN dalam hal ini Perum Perhutani yang telah mendapat pelimpangan untuk menyelenggarakan pengelolaan hutan. Saya menolak klaim atau penilaian Para Penggugat ini berdasarkan pemikiran sebagai berikut. Pertama, sebelumnya telah terbit Permen LHK No. P.83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, mengatur pola Perhutanan Sosial di wilayah kerja Perum Perhutani. Namun, Permen LHK No. P.83 masih memerlukan penyempurnaan dari ketatalaksanaan berdasarkan kondisi lapangan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Karena itu, penerbitan Permen LHK No. P39 Tahun 2017 merupakan upaya lanjut peyempurnaan Permen LHK No. P.83. Kedua, Permen LHK No. P.83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial diterbitkan berdasarkan pertimbangan, antara lain untuk mengurangi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan pengelolaan/pemanfaatan kawasan hutan. Untuk itu, diperlukan kegiatan Perhutanan Sosial melalui upaya pemberian akses legal kepada masyarakat setempat berupa pengelolaan Hutan Desa, Izin Usaha Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan Kehutanan atau pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat untuk kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumber daya hutan. Berdasarkan Pemen LHK No. P.83, pemberian HPHD (Hak Pengelolaan Hutan Desa), IUPHKm (Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan) dan IUPHHK-HTR (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat) , semua Izin ini diberikan oleh Menteri dalam hal ini Menteri LHK. Ketiga, Permen LHK No. P.83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial adalah berdasarkan PP No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan PP No. 3 Tahun 2008. Karena itu, Permen LHK No.P.39 sebagai penyempurnaan Permen No.P.83 adalah masih kelanjutan dan tidak bertentangan dengan PP No. 6 Tahun 2007 sebagaimana dituduhkan oleh Penggugat. Pemberi Izin Pemanfaatan Hutan terhadap masyarakat adalah Pemerintah dalam hal ini Menteri LHK. Tidak ada larangan bagi Pemerintah untuk memberi Izin karena lahan hutan yang diberikan izin dimaksud di dalam areal kerja Perum Perhutani. Keempat, Permen LHK P.39 pada prinsipnya mengatur pemberian lahan negara yang sudah lebih 5 tahun atau 15 tahun terlantar atau tidak dikelola oleh Perum Perhutani. Perum Perhutani tidak menyelenggarakan pengelolaan hutan sebagaimana diberi pelimpahaan oleh Pemerintah, sehingga terlantar lebih 5 atau 15 tahun. Hal ini berarti Perum Perhutani tidak melaksanakan kewajiban sesuai Pasal 115 PP No.6 Tahun 2007, berbunyi: Pemegang Izin Usaha Industri primer hasil hutan kayu dan bukan kayu, antara lain wajib menjalankan usaha sesuai dengan izin yang dimiliki dan melakukan kegiatan usaha insdustri sesuai dengan yang ditetapkan dalam izin. Dalam kenyataannya, Perum Perhutani telah melanggaran kerwajiban, yakni tidak menjalankan usaha dan menyelenggarakan kegiatan pengelolaan lahan hutan yang telah dilimpahkan oleh Pemerintah. Karena itu, Pemerintah mengambil kembali pelimpahan pengelolaan hutan tersebut dan kemudian memberikan IPHPS kepada masyarakat miskin di sekitar lahan tersebut. Tidak ada larangan bagi Pemerintah untuk mengambil kembali pelimpahan yang diberikan karena Perum Perhutani karena tidak menyelenggarakan pengelolaan lahan hutan tersebut. Kelima, PP No. 6 Tahun 2007 sesungguhnya diperuntukkan pada lahan hutan di wilayah kerja Perum Perhutani yang benar-benar dikelola, tidak ditelantarkan hingga lebih 5 atau 15 tahun. Untuk lahan hutan Perum Perhutani terlantar tidak berlaku ketentuan Pasal 48 PP No. 6 Tahun 2007, terutama larangan menerbitkan izin pemanfaatan hutan di area kerja BUMN bidang kehutanan pengelola hutan. Atas lima butir pertimbangan di atas, adalah tidak tepat dan layak untuk diterima penilaian atau klaim bahwa Permen LHK No. P.39 Tahun 2017 bertentangan dengan PP No. 6 Tahun 2007. Hakim MA harus menolak gugatan uji materil Permen LHK No.P.39. Permen LHK No. 39 Thn 2017 tidak betentangan dengan PP No.6 Tahun 2007 seperti dituduhkan para Penggugat di MA.

KRITIK DAN KECAMAN ATAS PERMEN LHK P.39 TAHUN 2017 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL DI WILAYAH KERJA PERUM PERHUTANI

KRITIK DAN KECAMAN ATAS PERMEN LHK P.39 TAHUN 2017 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL DI WILAYAH KERJA PERUM PERHUTANI Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS) Lahirnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan P.39/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani telah menimbulkan kritik dan kecaman dari berbagai pihak. Kritik dan kecaman muncul dari tasfir atas peraturan tersebut serta analisis berbagai kemungkinan yang akan terjadi dalam implementasinya. Berikut ini beberapa kritikan dan kecaman dimaksud, yakni Permen LHK No. P39 itu: 1. Untuk bagi-bagi lahan hutan tanpa kontrol. 2 Bertentangan dgn Pasal 48 PP No. 6/ 2007 ttg Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. menyatakan, pejabat pemerintah dilarang menerbitkan izin pemanfaatan hutan di area kerja badan usaha milik negara bidang kehutanan pengelola hutan. 3. Memberi kesempatan kepada para pemegang ijin pemanfaatan hutan perhutanan sosial (IPHPS) membabat kayu di dalam hutan lindung. 3. Ribuan pemegang IPHPS tidak cakap menjadikan kondisi hutan Indonesia rusak dan bencana alam. 5. Kondisi rawan konflik horisontal karena di areal Perum Perhutani tertentu sudah ada "ijin pemanfaatan hutan" bagi masyarakat. 6. Kuantitas dan kualitas hutan di pulau Jawa menurun. 7. Kepentingan politik dan bisnis dimiliki pemerintah.Diduga ada potensi pengusaha ikut mengelola kawasan perhutani dan mengubah peruntukan lahan. 8.Tanpa melibatkan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH), Kelompok Tani Hutan (KTH) dan stakeholder lainya. Beragam kritik dan kecaman ini kemudian bermuara ke suatu aksi bersama pd awal September 2017 ini .Yaitu mengajukan uji materil Permen LHK P.39 tsb kepada Mahkamah Agung (MA). Target para Penggugat atau Pengaju Uji Materil adalah dibatalkan atau dicabutnya Permen LHK tsb. sehingga tidak diimplementasikan. Tentu saja para Penggugat ini memiliki kepentingan termasuk ekonomi atas aksi bersama menggugat Permen LHK P.39 ini. Kritik dan kecaman terkait khusus butir 1, "bagi2 lahan tanpa kontrol", sungguh memanipulasi kandungan Permen LHK P.39. Secara normatif dan substansial tidak ada "bagi2 lahan". Lahan Perum Perhutani terlantar lebih 5 tahun hingga 15 tahun akan dimanfaatkan oleh rakyat sekitar lahan tsb pada prinsipnya rakyat hanya memiliki hak akses ke lahan dalam bentuk penerimaan Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial, disebut IPHPS. IPHPS adalah usaha dalam bentuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu dlm hutan tanaman, pemanfaatan air, enerji air, jasa wisata alam, sarana wisata alam, penyerapan dan penyimpanan karbon dan penyimpanan di hutan produksi dan lindung. IPHPS di berikan kepada masyarakat untuk memanfaatkan kawasan hutan di wilayah kerja Perum Perhutani. Tujuannya, guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. IPHPS ini diberikan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Siapakah sebagai Penerbit IPHPS? Bukan Dirut Perum Perhutani sebagai korporasi negara, bukan juga Pemda, tetapi Pemerintah (Pusat) dlm hal ini Direktur Jenderal atas nama Menteri LHK. Intinya, IPHPS ini bukan bagi2 lahan Perum Perhutani, tetapi pemanfaatan oleh rakyat sekitar lahan yang terlantar lebih 5 tahun hingga 15 tahun. Diberi jangka waktu IPHPS 35 tahun, dievaluasi paling sedikit 1 kali 5 tahun. Diperpanjang atau tidak IPHPS ini tergantung hasil evaluasi 5 tahun ini. Jadi, rakyat tidak memiliki lahan dimaksud, tetap milik negara yang bisa diambil kembali karena rakyat bersangkutan tidak melaksanakan kewajiban. Apa kewajiban pemegang IPHPS? 1. Menjaga arealnya dari perusakan dan pencemaran lingkungan; 2. Memberi tanda batas areal kerjanya; 3. Menyusun rencana pemanfaatan jangka panjang 10 thn dan pendek 1 thn; 4. Melakukan penanaman dan pemeliharaan hutan di areal kerjanya; 5. Melaksanakan tata usaha hasil hutan; dan, 6. Melaksanakan fungsi perlindungan. Kecuali ada kewajiban pemegang IPHPS, juga memiliki hak. 1. Melakukan kegiatan pd areal IPHPS;2. Mendapat perlindungan dari gangguan perusakan dan pencemaran lingkungan atau pengambilalihan sepihak oleh pihak lain; 3. Mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan sesuai fungsinya; 4. Mendapatkan pendampingan, termasuk teknologi, akses pembiayaan dan pemasaran; 5. Mendapatkan hasil usaha; 6. Bermitra dgn BUMN dan BUMS. Kritik dan kecaman butir 1 di aitas juga mengklaim " tanpa kontrol". Kritik ini apriori tanpa memahami Permen LHK P39, terutama Bab V Pendampingan, Bab VII. Monitoring dan Evaluasi, Bab VIII Pembinaan dan Fasilitasi dan Bab IX Sanksi. Bab2 ini secara detail mengatur pemegang IPHPS sebagai komponen strategis kontrol atas pemegang IPHPS. Adalah keliru dan apriori penilaian pengkritik Permen LHK P39 bahwa pemegang IPHPS tanpa kontrol. Jika ditelaah secara seksama, justru kebijakan perhutanan sosial ini sangat menekankan aspek kontrol terhadap pemegang IPHPS.

MENGGUGAT KEBIJAKAN PERHUTANAN SOSIAL PRO RAKYAT

MENGGUGAT KEBIJAKAN PERHUTANAN SOSIAL PRO RAKYAT Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS) Awal September 2017 ini muncul berita unik dan menyedihkan bagi pendukung pembangunan pro rakyat. Suatu kebijakan pembangunan pro rakyat justru digugat. Atas nama para pemangku kepentingan pengelolaan hutan dan lingkungan hidup, mendaftarkan gugatan uji materi ke Mahkamah Agung (MA) tentang Peraturan. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani. Pihak penggugat al. Perkumpulan Pensiunan Pegawai Kehutanan (P3K), Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), Lembaga Masyarakat Pengelola Sumber Daya Hutan (LMPSDH) Wana Salam, Perkumpulan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) Kosambiwojo Lestari, dan LSM Lodaya. Para penggugat sebagai pihak legal standing terlihat sebagai jaringan kelompok kepentingan bertumpu pada kepentingan Perum Perhutani sebagai pihak merasa dirugikan karena tanah mereka diambil Pemerintah untuk diberikan kepada rakyat di sekitar lokasi tanah. Klaim Penggugat Permen LHK 39 tahun 2017: 1. Permen intinya bagi-bagi lahan hutan tanpa kontrol dan karenanya bertentangan dengan UU Kehutanan dan peraturan pemerintah yang ada di atasnya. 2. Permen itu memberi kesempatan kepada para pemegang ijin pemanfaatan hutan perhutanan sosial (IPHPS) membabat kayu dalam hutan lindung. 3. Pemegang IPHPS juga berkesempatan untuk mengelola hutan. Kalau pengelolaan hutan diberikan kepada ribuan pemegang IPHPS yang tidak cakap, maka kondisi hutan Indonesia tinggal tunggu bencana alamnya saja. 4. Disamping merusak alam, bagi-bagi lahan hutan tanpa kontrol kepada pemegang IPHPS rawan konflik horisontal karena di tempat-tempat tertentu di areal Perum Perhutani sudah ada ijin pemanfaatan hutan kepada masyarakat. Tim Studi NSEAS cenderung menilai, para penggugat kurang obyektif dan faktual atas informasi diterima alias salah. Kebijakan Pemerintah dalam hal ini Kementerian LHK merupakan kebijakan dan program perhutanan sosial untuk penghentasan kemiskinan rakyat hidup di sekitar Tanah Hutan Negara. Regulasi atas kebijakan dan program ini tertuang di dalam Peraturan Menteri (Permen) LHK No. 39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani. Perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang .dilaksanakan dalam kawasan hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani yang dilaksanakan oleh masyarakat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk izin pemanfaatan hutan. Dalam perspektif kebijakan perhutanan sosial, Tanah Hutan Negara boleh dikelola oleh kelompok organisasi masyarakat untuk program "penghentasan kemiskinan" dengan tetap menjaga linkungan. Tanah Hutan Negara di Pulau jawa yang diberikan ijin pemanfaatan kepada rakyat selama 35 tahun adalah semuanya faktual sebagai tanah kosong yang sudah lebih 5 tahun hingga 15 tahun gagal diselesaikan oleh Pihak Perum Perhutani. Sementara itu, .kondisi rakyat di sekitar lokasi Tanah Hutan Negara tersebut tetap miskin. Kebijakan dan program Kementerian LHK memanfaatkan Lahan Hutan Negara yang kosong dimaksud untuk dijadikan perhutanan sosial dalam rangka penghentasan kemiskinan. Kebijakan dan program perhutanan sosial menerapkan, setiap Kepala Keluarga (KK) menerima maksimal 2 (dua) Ha dan dibantu dengan Perbankan, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), Universitas, dan "off taker" pembeli hasil. Program perhutanan sosial menjamin hutan akan tertutup baik tapi rakyat mendapat tambahan hasil. Selama 25 tahun hutan tetap hancur oleh Perhutani dan rakyat tetap miskin. Permen LHK No 39 tahun 2017 pada prinsipnya berupaya menyeimbangkan penguasaan lahan kaum petani miskin yang selama ini hanya rata rata 0,24 ha per KK. Artinya, Permen LHK ini merupakan upaya reforma agraria versi kehutanan dalam bentuk pembukaan akses rakyat ke dalam lahan hutan yang dikuasai negara. Selama 35 tahun sangat memadai untuk usaha ekonomi rakyat. Permen LHK ini bukanlah bermakna "bagi-bagi tanah" seperti yg dituduhkan para Penggugat di atas. Permen LHK ini justru membuka access rights (hak2 untuk jalan masuk) bagi kaum petani selama 35 tahun dan dievaluasi setiap 5 tahun sekali. Selanjutnya, tudingan Permen LHK dimaksud "merusak" lingkungan sangatlah berlebih-lebihan dan keliru. Justru Permen LHK ini diterbitkan dengan maksud untuk menanam lahan hutan yang sudah kosong lebih dari 5 tahun sampai 15 tahun menjadi produktif. Kalau dibiarkan lahan ini kosong terus, maka akan merugikan bagi keuangan negara. Jadi, mereka yang melakukan Gugatan uji materi Permen LHK No.39 Tahun 2017 sesungguhnya tidak mau memahami maksud dan tujuan Permen LHK tsb. Permen LHK ini sangat progressif dan berpihak pada pengentasan kemiskinan dan lingkungan. Tentu saja bagi pihak2 kelompok status quo dunia perhutanan khusus di Pulau Jawa menganggap kebijakan dan program mendukung penghentasan kemiskinan ini mengganggu dan bahkan merugikan kepentingan mereka. Sangat ironis dan tragis memang, ada kelompok " masyarakat madani" justru menolak dan menggugat kebijakan pembangunan pro rakyat.

Sabtu, 02 September 2017

SIKAP PRESIDEN JOKOWI SEHARUSNYA ATAS PEMBANTAIAN UMAT ISLAM DI MYANMAR

Sikap Presiden Jokowi sangat lunak terhadap Pemerintah Myanmar terkait aksi kekerasan atau pembantaian umat Islam Rohingya, Myanmar. Sikap Jokowi hanya akan mengutus Menteri Luar Negeri Retno Marsudi direncanakan akan datang langsung atau berkunjung ke Myanmar. Retno sudah berkomunikasi dengan National Security Advisor Myanmar dan Menteri Luar Negeri Bangladesh. Bagi Retno, kedua negara ini tidak boleh terpisah dalam penyelesaian masalah kemanusiaan warga Rohingya. Hanya itu baru sikap Pemerintahan Jokowi. Hal ini sangat berbeda dengan sikap Presiden Turki sebagai Tokoh Global. Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan mengecam keras aksi kekerasan atau pembantaian terhadap warga Muslim Rohingya tsb. Dilaporkan, Erdogan juga menyebut dunia seolah-olah “menutup mata dan telinga” mereka terhadap situasi di Rakhine, Myanmar barat. Ia juga berjanji, Turki akan membahas masalah Rohingya di forum internasional, khususnya pada Sidang Majelis Umum PBB, akan dilaksanakan pada 19 September mendatang. Sebagai negara berpenduduk mayoritas umat Islam, Presiden Jokowi seharusnya mempertimbangkan sikap dan tuntutan rakyat Indonesia. Jokowi harus mampu bersikap minimal seperti Presiden Turki. Apalagi mengingat Myanmar dan Indonesia adalah anggota organisasi regional ASEAN. Apa sikap Jokowi seharusnya? Pertama, Jokowi harus memberi pernyataan "mengutuk" aksi kekerasan yang dilakukan Pemerintah Myanmar terhadap warga Rohingya. Bukan sekedar mengutus Menlu Retno ke Myanmar tanpa agenda politik yang jelas dan tegas. Harus Jokowi langsung sebagai Aktor menekan Pemerintah Myanmar seperti sikap Presiden Turki. Kedua, Jokowi harus menggalang pertemuan tingkat tinggi ASEAN untuk memberikan tekanan politik ekonomi atau sanksi diplomatik terhadap Pemerintah Myanmar. Kalau perlu Jokowi menuntut agar Myanmar atas kepentingan ASEAN sendiri dikelurkan sebagai Anggota. Ketiga, bersama-sama kepala negara lain seperti Presiden Turki, Jokowi harus mendorong dan mengkampanyekan agar PBB menggunakan hak intervensi kemanusiaan ( human intervention) ke wilayah negara Myanmar langsung melindungi dan langsung memecahkan permasalahan dihadapi rakyat akibat aksi kekerasan terhadap warga Rohingya. Karena aksi kekerasan ini sudah berkali- kali dan dilakukan langsung atau tidak oleh negara, maka PBB pasukan perdamaian di lokasi aksi kekerasan hingga waktu ada jaminan tidak lagi terjadi aksi kekerasan tbs. Dasar intervensi kemanusiaan ini pada prinsipnya berlaku lintas negara bangsa. Hal ini berpedoman pada prinsip-prinsip kemanusiaan universal dan intervensi untuk membebaskan umat manusia dari aksi kekerasan di setiap negara. Intinya, Jokowi mendorong PBB melakukan intervensi kemanusiaan ke dalam negeri Myanmar, melindungi langsung umat Islam Rohingya dari aksi kekerasan dan pembantaian yang telah terjadi berulang-ulang. Jika sikap seperti ini diambil Jokowi, sangat mungkin umat Islam politik di Indonesia memiliki persepsi positif dan tentu dapat membantu meningkatkan ekektabilitas Jokowi untuk Pilpres 2019. Agar Jokowi mau bersikap ke arah tiga sikap ini, perlu ditingkatkan dan diperluas tekanan publik dan perwakilan rakyat dalam berbagai bentuk partisipasi politik, dari aksi demo massal hingga paling sederhana buat Petisi atau Pernyataan di Medsos.