Kamis, 18 September 2008

State Capture Corruption, Tidak Demokratis

(Telah dimuat di Surat Kabar Nasional “MONITOR NUSANTARA” , edisi: 64/Tahun V/ 12-24 September 2005, hal. 1.)


STATE CAPTURE CORRUPTION, TIDAK DEMOKRATIS

“State capture corruption” (korupsi skala negara). Artinya pemerintah yang berkuasa melakukan korupsi, menggadaikan pada kekuatan korporasi asing. Sementara posisi masyarakat sipil di pusat dan di daerah relatif rendah. Akibatnya fungsi kontrol terhadap pemerintahan belum efektif.

SIAPAPUN tahu dan bukan cerita kosong, pada tahun 1998 Indonesia tergolong negara terkorup se dunia. Indikasinya KKN tetap saja merajalela. Pemerintah belum juga mampu mengurangi secara berarti praktik KKN. Padahal harus melaksanakan Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.

Hal tersebut dikatakakan Ketua NSEAS (Jaringan Studi Asia Tenggara) Jakarta, Muchtar Effendi Harahap kepada Monitor Nusantara. Menurut Muchtar, walaupun sebenarnya bila dibanding dengan era pemerintahan Soeharto (1995), sekarang ini Indonesia telah menunjukkan kemajuan, dari negara terkorup momor satu, menurun menjadi negara keenam terkorup di dunia. Tetapi Indonesia telah mengalami jenis korupsi super destruktif dan berskala negara, yaitu state capture corruption. Artinya negara sendiri melakukan korupsi atau pemerintah yang sedang berkuasa mengadaikan pada kekuatan korporasi asing.

Caranya melalui politik hukum, yakni pembuat UU dan PP (peraturan pemerintah). Bahkan di daerah melahirkan Perda untuk memayungi tindakan korupsi. Sehingga pemerintah Indonesia telah menjadi pelayan kepentingan asing, yang diberi payung hukum dengan perundang-undangan dan berbagai keputusan politik. State capture corruption (korupsi skala/sandra negara) yang cukup membahayakan masa depan bangsa dan negara semakin menjulang tinggi.

Sejauh ini pemerintah tidak menunjukkan kemauan dan komitmen politik untuk memberantas korupsi dengan sunguh-sungguh. Coba lihat hasil jajak pendapat Litbang Kompas 6-7 Mei 2008, dari 871 responden terdapat 78,2 % menilai tuntutan reformasi belum terpenhi dalam hal penegakan HAM, 21 % sudah terpenuhi dan 0,8% tidak tahu.

Belum Demokratis
Selain itu ungkap putra Medan yang dikenal sebagai pengamat sosial politik, menuju clean government belum terjadi transformasi kultural, konservatisme dan oligarkis, dan Pilkada belum demokratis. Posisi politik masyarakat sipil masih lemah dan KKN masih tetap merajalela. Belum ada ketentuan referendum dalam UUD hasil amandemen tentang kebijakan atau kelangsungan kekuasaan Presiden hasil Pemilu secara langsung oleh rakyat. Reformasi politik (pemerintahan) berjalan penuh kendala akhirnya terkesan tersendat-sendat.

Transformasi kultural demokratis (kreatif dan inovatif) sangat lambat, bahkan masih terjadi transformasi kultural birokrasi feodal. Semakin terasa adanya fenomena dan elitisme baik di tingkat legislatif maupun eksekutif dalam proses pengambilan keputusan. Misalnya pembuatan undang-undang politik (parpol dan Pemilu). Fenomena oligarkis dalam sistem kepartaian, yakni partai-partai semakin menjadi birokrasi dalam dirinya sendiri.

Sedangkan pejabat partai, kata Muchtar Effendi Harahap, di luar dan di dalam parlemen semakin menjadi birokrat, secara terencana melepaskan diri dari konstituen yang diwakili (pemberi mandat). Pilkada juga masih sulit berlangsung demokratis (penegakan prinsip partisipatif dan transparansi khususnya), karena sebagian besar penentuan calon pada`Pilkada secara substansial tidak ditentukan partai sesuai tingkat Pilkada (umpamanya DPD untk Kabupaten/Kota dan DPW untuk provinsi). Melainkan ditentukan oleh para elite pusat partai, level lebih tinggi daripada DPD dan DPW.

Proses penentuan calon secara kelembagaan tidak melalui tinkat paling bawah (Kelurahan/Desa/Kecamatan) dalam bentuk misalnya konvensi atau pemilihan bakal calon oleh anggota partai atau impinan level Desa/Kelurahan berdasarkan penegakan prinsip partisipasi dan transparansi. Hasil survei Kemitraan Mei 2008 berdasarkan responden di Aceh, Jakarta dan Yogyakarta dari 1.369 responden, 770 pengurus partai pusat hingga daerah, 420 konstituen, 179 nonpartai dan orang partai, yakni 46,2% responden menilai ditentukan pengurus pusat, 14,8% menilai Ketua Umum, dan 32,6 % menilai ditentukan oleh pengurus daerah.

Sekalipun perangkat organisasi pelaksana Pilkada (KPUD) dan penunjang sukses lainnya telah siap, namun pelaksana Pilkada tidak akan benar-benar terbebas dari politik uang dan kecurangan, sehingga masih belum demokratis.

Posisi masyarakat sipil baik di pusat maupun di daerah masih relatif rendah, akibatnya fungsi kontrol terhadap pemerintahan belum effektif. Partisipasi kelompok warganegara dalam politik dan ruang publik politik mengekspresikan politik warga juga masih rendah. Kebanyakan masyarakat merasa aspirasi mereka tidak terwakili oleh anggota DPR periode 2004-2009.

Minggu, 07 September 2008

Partai Banyak, Rakyat Muak

(Telah dimuat di Surat Kabar Nasional “MONITOR NUSANTARA” , edisi: 63/Tahun V/ 25 Agustus s/d 8 September 2005, hal. 1.)


PARTAI BANYAK, RAKYAT MUAK

Begitu syahwat kekuasaan elit politik terpenuhi, gaya hidupnya berubah total. Beli rumah mewah, tukar-tukar mobil, nongkrong di hotel dan bergumul dengan perempuan-perempuan cantik, mempertontonkan moral yang rendah.

Jakarta-MONITOR: Ketua KPU Abdul Hafiz Ansyari tidak lama setelah mengumumkan 34 parpol menjadi peserta Pemlu 2009 yang lolos verifikasi, langsung menemui Ketua KPK Antasari Azhar. Tujuan utamanya agar KPK serius mengawasi KPU yang selama ini diketahui masyarakat sangat rentan dengan jual beli suara. Paling tidak Hafiz Ansyari ingin mengembalikan kepervayaan rakyat kepada KPU. Tetapi pakar politik Muchtar Effendi Harahap mengatakan, KPU tetap saja masih bisa dibeli. Kalau sama sekali tidak bisa dibeli oleh orang-orang yang memiliki syahwat berkuasa, terhukumlah mereka karena selama ini tidak memperdulikan rakyat.

Artinya, jelas Muchtar beberapa waktu lalu di kantor Network For South East Asian Studies (NSEAS) Gedung Sarana Jaya Lt. II No. 205 Jl. Tebet Barat IV, Jakarta Selatan, negara ini dipenuhi pengumbar syahwat berkuasa. Orang-orang berduit yang mengumbar syahwat berkuasa tetap terbuka untuk dapat membeli suara. Sehingga Pemilu yang digelar 9 April 2009 akan tetap gonjang ganjing. Membuat rakyat semakin muak, benci, apatis dan akhirnya memilih golput.

Masyarakat tahu siapa pengkhianat-pengkhianat politik itu, kemudian melakukan resistensi (perlawanan). Bentuk resistensi yang dilakukan rakyat dengan diam dan tidak peduli Pemilu. Inilah sebenarnya fenomena mengapa Gubernur banyak dimenangkan oleh orang-orang sederhana di Pilkada. Sebab rakyat sudah tidak percaya pada orang-orang parpol yang jumlahnya 30 % berada di kelas menengah atas. Sementara 70% rakyat kelas bawah merasakan 10 tahun terakhir mengenal elit politik ”tukang” pembohong dan membuat gap dengan masyarakat.

Di panca indra masyarakat para figur kelas menengah atas itu memamerkan kekuasaan dan kekayaannya. Begitu syahwat kekuasaannya terpenuhi gaya hidupnya berubah total. Mereka beli rumah mewah, tukar-tukar mobil, nongkrong di hotel dan bergumul dengan perempuan-perempuan cantik, mempertontonkan moral yang rendah dengan uang yang berlimpah. Anggota DPR RI Al Amin itu salah satu contohnya, pola hidupnya menjadi konsumtif dengan gaji Rp. 40 juta setiap bulan.

Mendorong Golput
Al Amin Nasution menikah dengan artis yang pola hidupnya glamour dan mewah. Orang-orang partai yang berada dalam kelas hidup begini, pada dasarnya tidak mau jatuh ke bawah lagi. Dengan licik berusaha menjual apa saja yang bisa mendatangkan uang. Banyak partai dengan cara menjual calon presiden, menjual calon legislatif dan seterusnya. Hukum sosial pun berlaku. Ketika orang-orang partai yang berhasil berkuasa tidak lagi memikirkan kepentingan rakyat, semakin jauh dari rakyat kebanyakan, akan tetap ditinggalkan. Ketika dia ingin mendapatkan suara itu lagi dari rakyat, tidak akan mendapatkannya. Rakyat sudah sangat benci dan marah dengan elit politik yang tidak lagi memikirkan nasib rakyat.

Pendapat Direktur NSEAS itu diamini pengamat politik Andrinof Chaniago, makin banyak parpol membuat masyarakat semakin bingung. Masyarakat banyak yang apatis, dengan tingkat partisipasi rendah, tak lain dipicu oleh buruknya citra parpol. Banyak politisi yang tersangkut kasus korupsi atau suap, mendorong banyak masyarakat memilih jadi Golput. Melalui partai yang banyak, bukan atas kecerdasan seorang caleg yang direkruit, melainkan siapa yang berani setor lebih banyak akan memiliki kans nomor kecil di urutan caleg. KPU pun ikut punya andil dalam meluruskan syahwat kekuasaan para elit politik yang sesudah berhasil langsung meninggalkan kepentingan rakyat (Baca Juga Rubrik Monitor Pemilu)

Syahwat Kekuasaan VC Penderitaan Rakyat

(Telah dimuat di Surat Kabar Nasional “MONITOR NUSANTARA” , edisi: 63/Tahun V/ 25 Agustus s/d 8 September 2005, dalam Rubrik Monitor Pemilu.)


SYAHWAT KEKUASAAN VC PENDERITAAN RAKYAT


Muchtar Effendi Harahap adalah pakar politik alumni UGM, sejak mahasiswa dikenal aktivis. Sekarang aktif sebagai Ketua Network for South East Asian Studies (NSEAS) Jakarta yang banyak mengamati masalah sosial politik. Berikut ini hasil wawancara dengan Redaktur Monitor Nusantara, terkait dengan partai banyak dan apa keuntungannya bagi rakyat.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Banyak parpol apakah menguntungkan rakyat?
BERDASARKAN Undang-undang No. 10 Tahun 2008, ada pasal terkait “parlementary threshold”. Jika partai tidak mencapai dua setengah persen suara sah nasional dia tidak boleh mendapatkan kuris di DPR. Dari 44 partai yang sekarang ini untuk mencapai 2,5% paling banyak hanya 8 partai saja. Kalau kita gunakan data Pemilu tahun 2004 misalnya, PDI-P, Golkar, PPP, PKB, PAN, PKS, Demokrat dan PBB. Jadi peluang secara sosiologis yang mencapai 2,5 % hanya 2 partai saja, yaitu PDIP dan Hanura.

Kalu Hanura yang tampil dia akan mengambil suara Golkar. Artinya Golkar tidak terganggu dan Hanura masuk. Ekstrimnya yang lama ini bisa bertahan, tidak menurun. Jadi nanti partai yang masuk, yaitu Partai Demokrasi Pembangunan dan Hanura berikut 9 partai. Atau paling tinggi jumlahnya hanya 10 partai dari 44 partai yang akan mengurus negara ini. Selebihnya ”bullshit” semua.

Siapa yang syahwat berkuasanya paling tinggi
Dari 10 partai itu nanti terjadi pengelompokan anggota DPR berdasarkan ideologi aliran politik. Golkar nanti akan bersatu dengan Hanura, PDIP dengan PDP, nah... yang syahwatnya tinggi untuk berkuasa, adalah kelompok marhaen dan kelompok nasional kekaryaan. Dari partai yang banyak itu, partai yang Islam itu hanya 2 saja, PMB dan PKNU. Dan partai yang paling banyak anak pinaknya adalah partai Golkar, lebih dari 10 partai.

Perpecahan berdasarkan syahwat kekuasaan itu tinggi sekali di kalangan Golkar. Golkarlah yang paling banyak ngotot membebaskan 16 parpol, kemudian ngotot membuat “parlementary threshold”. Golkar memberi ruang orang membuat partai, tetapi nanti dia beli juga yang akhirnya toh akan mengurangi suaranya sendiri. Jadi yang rusak dan hancur suaranya nanti itu adalah Golkar. Ini bisa dilihat dari indikasi berlangsungnya Pilkada, Golkar kalah.

Konkretnya?
Wiranto, kan orang partai Golkar. Prabowo Subianto, Gerindra, orang Golkar akan merebut suara Golkar juga. Basis kekaryaan ada 16 partai, kalau diambil sedikit-sedikit tentu berkuranglah suara Golkar. Ingat, begitu tidak bisa mencapai 2,5 % semua itu akan hangus. Kalau tadinya partai-partai yang berbasis Islam itu kecewa, tetapi setelah kita hitung-hitung malah mereka yang untung. Karena partai baru Islam cuma PMB dan PKNU. Kalu Pilpres itu mengurusi figur, yang namanya legislatif bisa dibayangkan, untuk anggota DPR RI jumlahnya minimal per partai 700 orang. Jadi jumlahnya nanti ad 200.000 orang yang akan bertarung di pemilihan legislatif.

Bagaimana sebenarnya bisa mendapat kursi di parlemen
Sejumlah 44 partai yang bertarung di Pemilu 2009 direkaplah suaranya ke nasional, lalu dihitung total suara sah di luar golput. Dari 100 % suara itu diambillah suara nasional salah satu partai, lalu dibagi berapa persen total tadi. Jika suara yang sah tadi tidak mencapai 2,5 % berarti partai itu tidak punya hak mendapat kursi di DPR RI. Namun, dia tetap punya hak di DPRD Propinsi/Kabupaten/Kota. Misalnya, saya kalau mau menang di Medan, kampanyenya begini, jangan pilih partai kecil mendingan suara itu kasih saya. Sebab partai saya pasti masuk di DPR RI. Berdasarkan kajian akademik 2004, cuma 8 partai yang bisa mencapai 2,5 %.

Pandangan masyarakat terhadap Pemilu?

Begini ya...partai banyak bukan berarti menguntungkan bagi rakyat. Karena orang bikin partai sekarang ini semata-mata didorong syahwat (nafsu) kekuasaan, walaupun sebenarnya tidak rasional. Sementara rakyat sendiri tidak peduli dengan jumlah partai yang banyak. Gambarannya begini, 70 % masyarakat Indonesia yang berada di kelas bawah, penghasilannya rendah, tidak tamat SD, SMP dan SMA. Mereka itu tidak berpolitik. Sehari-harian mereka hanya memikirkan kehidupannya saja. Disebabkan pendapatannya yang rendah, otomatis sekolahnya rendah, pengetahuannya rendah, askes informasinya rendah dan semuanya rendah, persepsinya juga rendah.

Bagi mereka 44 partai yang berada di kelas menengah atas hanya merepotkan mereka saja, buat apa dipikirin, begitu...Apapun yang terjadi di kelas menengah atas 10 tahun terakhir ini tidak membawa pengaruh bagi masyarakat yang 70 % itu. Jadi yang cekcok ya cekcoklah di kelas menengah atas dan bermain di 44 partai. Saat disuruh mencoblos, ya coblos saja... Tidak ada urusan bagi masyarakat kelas bawah, karena mereka ogah berpolitik.

Kondisi yang tersirat dari kelas menengah atas?
Kelompok menengah ke atas ini juga sesungguhnyta tidak otonom, karena sebagian besar mereka sarjana persepsinya ingin jadi pegawai, ingin pekerja dan mendapat penghasilan. Berbeda dengan di Eropa, kelas menengah ke atas itu wiraswasta, sehingga sikap politiknya tidak tergantung ke atas. Di Indonesia ketergantuingan kepada partai dan figur cukup kuat. Sebab memang mereka itu bisa jadi anggota DPR dan bisa kaya setelah mendompleng aktivitas politiknya Amin Rais, Megawati, Gus Dur dan tokoh-tokoh lain.

Orang-orang seperti ini menganggap sukses kariernya karena memang dekat dengan tokoh-tokoh tertentu, sehingga senantiasa ketakutan sehingga berada di bawah bayang-bayang orang lain. Pemilu dijadikan momentum untuk mendapatkan keuntungan di partai. Tidak segan-segan pergi ke Amin Rais, Wiranto, Prabowo, Gus Dur dan siapa saja untuk minta tanda tangan. Orang-orang yang tidak otonom dari segi ekonomi, penghasilannya didapat dari bentuk-bentuk tipu sana sini setelah menjadi anggota DPR. Tiba-tiba saja hidupnya menjadi mewah dan kaya raya, menikah dengan artis dangdut yang glamour, dan senantiasa takut jatuh lagi ke bawah.

Kalau ditangkap KPK?
Sekarang rakyat bisa melihat itu, elit politik yang memperkaya diri dengan menerima gratifikasi ditangkapi. Diseret ke pengadilan, dapat dibuktikan secar hukum oleh KPK sudah selesai, kasusnya jalan terus dan dia pun langsung jatuh miskin karena dipecat dan diputus jaringan partai. Sesudah tinggal celana kolor akhirnya istri pun minta cerai. Masyarkat akan lebih awas terhadap orang-orang seperti ini dan akan melakukan resistensi.

Siapa yang paling berjasa meloloskan mereka berkuasa
Problemnya adalah, KPU itu masih bisa dibeli. Sekiranya KPU sama sekali tidak bisa dibeli, terhukumlah orang-orang yang tidak memperdulikan rakyat. Tetapi nyatanya peluang untuk orang-orang membeli suara tetap terbuka. Misalnya ada 44 saksi partai dalam dokumen pengumpulan suara di TPS, tidak semua tanda tangan no problem. Cukup beberapa orang saja yang menandatangani, lalu dibawa ke kecamatan. Mau teriak hanya diberi waktu 2 minggu saja, bagaimana mau menuntut. Esensinya tetap masih ada ruang untuk jual beli suara. Bagaimana tidak, anggota KPU cuma diberi gaji Rp. 800.000 sebulan bahkan ada yang tidak bergaji. Jadi KPU itu sebenarnya orang miskin.

Apalagi KPU itu ditentukan oleh orang DPRD yang punya kepentiungan. Jadi tidak mungkin orang yang idealis dan punya prinsip bisa menjadi Ketua KPU Kabupaten. Malah ketika KPU Kabupaten tidak setuju tidak masalah, asal ada anggota KPU lain yang setuju dokumen pemilihan dibawa ke provinsi, sampai ke tingkat nasional. Pasal yang membenarkan hal semacam itu masih ada di UU NO. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, tidak diubah. Seharusnya pasal itu berbunyi, ”Jika separuh saksi partai-partai tidak tanda tangan dokumen itu tidak bisa diteruskan.”

Berapa kira-kira dana dibutuhkan untuk membeli suara.
Dengan begini kondisinya, kalau ada dan Rp. 1 miliyar sudah bisa menjadi anggota DPR dengan membeli suara. Misalnya bayar ketua-ketua partai supaya suara partai ke saya. Orang Golkar saya suruh beli juga, PDI-P saya suruh beli dan berkolusi, yang penting saya dapat.

Modus operandinya?
Bahasa politiknya, partai-partai miskin memang disengaja Golkar untuk itu. Meraka mau beli suara dari partai-partai miskin. Misalnya saya beli suara di wilayah Medan Barat, saya tidak beli suara Golkar, tidak beli sauara partai besar. Saya beli partai-partai yang tidak bertuan. Dipindahkanlah suara tadi oleh petugas KPU kepada saya. Sekiranya kota Medan jumlahnya penduduknya 2 juta jiwa dibagi 400 orang, artinya ada 500 TPS yang masing-masing 2 saksi berarti 1.000 saksi. Siapa yang akan membayar biaya Rp. 200.000 untuk 500 TPS kalau masing-masing saksi Rp. 100.000 saja? Partailah yang bayar. Kalau partai miskin dia tidak kirim orang. Di Jakarta selama ini terjadi seperti itu. Menurut saya kalau Partai Golkar mau jujur, saya yakin 10 % suara pun tidak dapat.

Partai-partai miskin di daerah sangat rentan dengan pembelian suara, karena anggotanya memang tidak punya uang. Akan berbeda apabila anggota partai banyak yang pengusaha dan wiraswasta. Pemilu 5 tahunan akan tetap dijadikan proyek mendapatkan uang oleh orang-orang ngotot dengan syahwat kekuasan bekerjasmaa dengan petugas-petugas yang sesungguhnya miskin.

Kesimpulan anda?
Rakyat kelas bawah sekarang ini lebih membutuhkan pembangunan pabrik, pasar, perternakan, dan unit usaha kecil untuk menyerap tenaga kerja. Karena cara tersebut dapat memperbaiki ekonomi rakyat yang sedang terjepit beban ekonomi. Jadi bukan membentuk banyak partai yang tidak jelas manfaatnya. Hampir bisa dipastikan visi dan misi partai akan sama saja. Intinya mengumbar janji mau mensejahterakan rakyat. Walaupun hasil yang sebenarnya nanti semua akan jauh dari kemakmuran rakyat, damai dan sentosa. Sebaliknya akan menyengsarakan rakyat lagi.