Rabu, 11 Mei 2011

MEMBANGUN KAPASITAS PPP ERA POLITIK KARTEL

Catatan: Tulisan ini berasal dari sebuah Makalah disusun oleh Muchtar Effendi Harahap sebagai Panelis pada Diskusi Panel “ Pembangunan Kapasitas Parpol”, diselenggarakan Steering Committe (SC) Muktamar PPP (PArtai Persatuan Pembangunan) di Kantor DPP PPP,Jl. Diponogoro, Jakarta Pusat, pada 9 Mei 2011. Selain Muchtar Effendi Harahap, terdapat Panelis lain yakni KH. Hasyim Muzadi (Mantan Ketua Umum NU).



I. KEMAJUAN KEPARTAIAN

Kemajuan kepartaian di Indonesia ditandai peningkatan drastis jumlah Parpol (Partai Politik):
Pada era Presiden Habibie (Pemilu 1999), jumlah Parpol terdaftar di Dep.Kehakiman & HAM 141 Parpol, terdaftar di KPU 106 parpol dan sebagai peserta Pemilu 48 Parpol.
Pada era Megawati (Pemilu 2004), jumlah Parpol terdaftar di Dep. Kehakiman & HAM 112 Parpol, terdaftar di KPU 50 Parpol dan sebagai peserta Pemilu 24 Parpol.
Pada era SBY (Pemilu 2009), jumlah Parpol terdaftar di Dep. Hukum dan HAM 79 Parpol, terdaftar di KPU 64 Parpol dan 6 Parpol lokal/Aceh dan sebagai peserta Pemilu 38 Parpol. Dibandingkan era Orde Baru (Rezim Soeharto) hanya tiga Parpol, maka jumlah Parpol jauh lebih banyak. BAik dalam pengertian kuantitas maupun kualitas, jelas kepartaian di Indonesia semakin meningkat.

Mengacu pada UU No. 2 tahun 2008 tentang Parpol, fungsi Parpol sebagai sarana:

a.Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas.
b.Penciptaan iklim kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
c.Penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat.
d.Partisipasi politik warga negara Indonesia.
e.Rekruitmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.

Satu pertanyaan mendasar: apakah kiprah kepartaian di Indonesia era reformasi benar-benar menjalankan fungsi sebagaimana seharusnya?


II. TEORI TENTANG PARPOL: AGENSI, OLIGARKI DAN POLITIK KARTEL

1. Teori Agensi

Teori agensi menilai, kiprah Parpol era reformasi menunjukkan kemajuan positif, memberi kontribusi terhadap meningkatnya kehidupan demokrasi, dan karena itu “dinobatkan” sebagai kekuatan politik “pro demokrasi”. Teori agensi acapkali digunakan untuk menjustifikasi pandangan elite Parpol bahwa mereka telah bertindak atas kepentingan konstituen, karena itu diasumsikan menerima kepuasan berupa kompensasi suara dan syarat-syarat menyertai dalam hubungan elite Parpol dan konstituen.

Prinsip utama teori agensi:
a. Adanya hubungan kerjasama yang saling menguntungkan antara elite
Parpol (the agent), dan pemilih/konstituen (the principal).
b. Pemilih/konstituen akan memberikan suara terhadap elite Parpol dalam
pemilihan, dengan harapan dapat melaksanakan preferensi atau
kepentingan pemilih/konstituen
c. Parpol telah berjanji dan menawarkan program kepada
pemilih/konstituen akan merealisasikan sehingga Parpol dimaksud
dalam Pemilu selanjutnya akan dipilih kembali.
d. Jika Parpol tidak merealisasikan janji dan program tersebut, maka
akan mendapatkan ”hukuman”, yakni tidak dipilih kembali.
e. Parpol akan berusaha sebaik mungkin menjalankan fungsi
perwakilannya di parlemen pro demokrasi dan turut mempercepat
proses demokratisasi politik dan pada gilirannya peningkatan
kesejahteraan ekonomi rakyat.


2. Teori Oligarki

Teori oligarki menunjukkan kiprah Parpol anti demokrasi karena kedaulatan berada pada elite, bukan massa anggota/konstituen. Kecenderungan oligarki Parpol ini bisa jadi karena antara lain pemilih masih belum sepenuhnya rasional. Dalam menentukan pilihan, pemilih tidak mempertanyakan apakah Parpol telah berusaha menepati janji atau program yang dikampanyekan atau tidak. Pemilih masih melihat figur/tokoh Parpol, bukan konsistensi ideologis Parpol tersebut. Realitas obyektif ini kemudian dianggap membuat Parpol nekat untuk menjauh dari preferensi dan kepentingan pemilih/konstituen. Elite Parpol yakin, pada Pemilu mendatang, pemilih masih tetap memilih mereka.

Teori oligarki menilai kiprah Parpol secara substansial:

1. Tidak demokratis dan tidak berperanan sebagai pilar demokrasi tetapi
justru anti demokrasi.
2. Yang berlaku hanyalah sistem demokrasi “prosedural” di mana faktor
kelembagaan (organisasi) menempati kedudukan yang sentral.
3. Lebih mengutamakan kepentingan elite Parpol, bukan rakyat.
4. Tidak merealisasikan janji dan program yang dikampanyekan dalam
Pemilu.
5 Kiprah Parpol tidak melakukan institusionalisasi politik sebagai kata
kunci dalam demokratisasi.
6. Pengurus Parpol dominan menganut pragmatisme, dan menjadikan
politik transaksional menjadi norma baku.
7. Telah gagal membawa bangsa ini ke arah kehidupan lebih baik.

Salah satu contoh kiprah Parpol oligarki yakni proses nominasi dan pencalonan legislatif, yang fenomena oligarki begitu kental.

Para politisi terperangkap ke dalam kecenderungan oligarki baru, struktur dan kepemimpinan Parpol merupakan duplikasi dari struktur tradisi sosio-kultural lokal. Kesempatan rakyat menjadi faktor determinan dalam proses politik acapkali terbelenggu oleh struktur dan paham masyarakat masih patrimonial dan feodalistik.

Parpol tergantung pada para oligarch maupun financiers (pendana) untuk menjamin berjalannya roda atau mesin kegiatan Parpol. Pada akhirnya, Parpol tersebut menjadi pelindung kepentingan bisnis atau bahkan sekadar alat politik dari klas pemilik modal/atas (oligarch dan financiers). .

3. Teori Politik Kartel

Teori politik kartel menggunakan konsep kartel untuk menggambarkan suatu kelompok elite Parpol, bekerja sama sebagai suatu entitas untuk menjaga kepentingan bersama, ditandai minimnya tautan elektoral antara perilaku Parpol dalam Pemilu dan Pemerintahan. Teori ini menjelaskan model Parpol “kartel” sebagai kelanjutan dari model Parpol “kader”, Parpol “massa”, Parpol “oligarki”. Karakteristik Parpol menurut Teori Kartel antara lain:

- Hilangnya peran ideologi.
- Mengutamakan Koalisi, Bukan Oposisi.
- Janji-Janji Tidak Direalisasikan.
- Memperoleh Dana Ilegal.


A. Hilangnya Peran Ideologi sebagai Penentu Prilaku Politik
Parpol.

Ideologi Parpol hanya digunakan untuk memperoleh suara pemilih melalui kegiatan kampanye Pemilu, Pilpres atau Pilkada. Ideologi Parpol menjadi tidak relevan seusai (pasca) kegiatan kampanye. Fenomena koalisi Parpol bukan berdasarkan kesamaan ideologis menunjukkan karakteristik fenomena politik kartel ini.

Lazimnya ideologi Parpol tercantum dalam AD/ART, platform, visi dan misi, juga kode etik Parpol bersangkutan, terjelma ke dalam kehidupan sehari-hari Parpol dan menjadi penuntun bagi perjuangan Parpol, termasuk dalam hubungan antar Parpol. Parpol sangat memerlukan ideologi agar mampu menjembatani persepsi masing-masing individu, sehingga memunculkan persepsi tunggal merupakan basis perjuangan. Melalui komunikasi ideologi, Parpol akan membantu masyarakat pemilih untuk menentukan pilihan di antara banyak pilihan. Parpol harus mampu menanamkan ideologi ke dalam alam pikiran dan ingatan pemilih dan sekaligus mungkin mengurangi situasi ketidakpastian di dalam pikiran pemilih.

Dalam perspektif kelembagaan, Ideologi harus mewarnai struktur organisasi, mekanisme kerja, perilaku personil, manajemen keuangan, perangkat keras dan lunak Parpol, sistem informasi manajemen dan program kerja/rencana kegiatan Parpol. Ideologi juga harus mewarnai pola pikir dan perilaku politik personil dan kader dalam pengelolaan Parpol, terutama kelangan pengurus Parpol.

Dalam era politik kartel, kalangan pengurus dan politisi Parpol di pemerintahan, berperilaku lebih berorientasi pada “pertahanan kekuasaan (status quo)”, ketimbang “perubahan kehidupan lebih baik”. Ideologi tercantum di dalam dokumen tertulis AD/ART cenderung sekedar “penghias” administrasi kelembagaan.

Menghilangnya dan degradasi ideologi Parpol menggiring politik kepartaian ke depan lebih didasarkan pada “kebendaan dan uang”, bukan hal-hal seperti keyakinan atau sistem nilai/norma perjuangan. Kondisi ini membuat tidak ditemukan perbedaan berarti antara satu Parpol dengan Parpol lain. Pentingnya uang dalam politik antara lain didorong mahalnya biaya politik yang diperkuat oleh politik lebih mementingkan « pencitraan » dan bukan rekam jejak sang tokoh. Besarnya biaya politik ini telah membuat “persaingan” antar Parpol hanya terjadi saat penyelenggaraan Pemilu. Seusai Pemilu, “persaingan” juga berakhir dan muncul koalisi melebihi ukuran merangkum hampir semua Parpol dan mengabaikan seleksi berdasarkan ideologi. Kelompok Parpol bergerak bersamaan dan mengabaikan posisi ideologis, ditambah ketidakhadiran kekuatan oposisi. Hilangnya “persaingan” antar Parpol seusai Pemilu telah menghilangkan sejumlah kebajikan dalam “persaingan” seperti adanya kontrol Parpol-parpol kalah terhadap perilaku politik kekuasaan Parpol-parpol pemenang dalam Pemilu, Pilpres dan Pilkada.

Hilangnya peran ideologi Parpol juga diakui masyarakat. Pada 17-19 Maret 2010, Litbang Kompas telah mengadakan Jajak pendapat tentang ideologi 9 (sembilan) Parpol di DPR, mencakup 1.097 responden dari 33 Ibukota provinsi se Indonesia (Lihat Tabel di bawah). Kepada masyarakat diajukan pertanyaan untuk memperoleh pengetahuan tentang persepsi masyarakat terkait konsistensi ideologi Parpol. Hasil Jajak Pendapat menunjukkan, Parpol telah kehilangan ideologi. Parpol lebih mengedepankan kepentingan pragmatisme, tidak konsisten dalam mempertahankan ideologi.

Hasil Jajak Pendapat masyarakat tentang konsistensi ideologi Parpol dimaksud menunjukkan jumah (prosentase) masyarakat yang menilai tingkat konsistensi ideologi Parpol yakni:
01.Demokrat 35 % responden
02.PDIP 25 % responden
03.PKS 17 % responden
04.Golkar 12 % responden
05.Gerindra 2,0 % responden
06.PAN 1,5 % responden
07.PPP 1,0 % responden
08.HANURA 0,6 % responden
09.PKB 0,4 % responden


B. Mengutamakan Koalisi, Bukan Oposisi

Karakteristik kedua yakni lebih mengutamakan politik “koalisi” dengan Parpol pemegang kekuasaan, kurang kompetitif dan tidak mengambil peran “oposisi” dalam hubungan dengan kekuasaan eksekutif. Parpol-parpol peserta Pemilu jika tidak berhasil memperoleh mayoritas anggota legislatif atau kekuasaan eksekutif, lebih mengutamakan koalisi, bukan oposisi. Prilaku oposisi menjadi tidak populer dan acapkali dianggap “merugikan” karena tidak memperoleh kesempatan atau kekuasaan sebagai sumber dana bagi kepentingan Parpol.

Sebagai contoh, kepartaian pasca Pamilu 2009, sebagian besar dari sembilan Parpol yang mempunyai kursi di DPR, sekalipun berbeda ideologi dengan Partai Demokrat (Parpol SBY), berkoalisi dengan motip perolehan kekuasaan di Kabinet (jabatan Menteri). Mereka yang berkoalisi dengan SBY (Partai Demokrat) adalah Golkar, PPP, PAN, PKB, dan PKS. Padahal, ideologi PPP, PAN, PKB dan PKS (Islam) sesungguhnya berbeda dengan ideologi Partai Demokrat (sekuler).

Golkar semula tidak mendukung Pasangan SBY-Boediono dalam Pilpres 2009. Golkar mendukung Pasangan Jusuf Kalla-Wiranto, saat Jusuf Kala sebagai Ketua Umum Golkar. Namun, kekalahan Pasangan Jusuf Kalla-Wiranto dalam Pilpres tidak menyebabkan Golkar juga kehilangan kekuasaan di eksekutif. Golkar berubah sikap menjadi mendukung kekuasaan SBY-Boediono sehingga mendapatkan beberapa jabatan Menteri dalam Kabinet hasil Pilpres 2009. Maksudnya, sekalipun mengalami kekalahan dan lawan politik meraih kemenangan, namun Golkar tetap saja berupaya memproleh kekuasaan melalui keanggotaan Koalisi pendukung SBY-Boediono. Posisi Golkar tidak menjadi kekuatan oposisional, melainkan kekuatan koalisi.

C. Janji-Janji Tidak Direalisasikan

Karakteristik ketiga politik kartel yang melanda kepartaian era reformasi adalah janji-janji kampanye Parpol tidak direalisasikan secara konsisten dan konsekuen di legislatif atau eksekutif. Acapkali terjadi “pengkhianatan” Parpol terhadap konstituen. Kepentingan konstituen dan elite Parpol terputus. Elite Parpol cenderung melayani diri sendiri.

Setiap Parpol didirikan pasti memiliki cita-cita dan tujuan pendirian, dan berupaya menjamin terlaksananya cita-cita dan tujuan pendirian tersebut. Namun, tatkala cita-cita dan tunjuan pendirian sudah dicapai sebagaimana diakui sudah menjadi Parpol, sudah diakui negara, sudah menjadi peserta Pemilu, mendapatkan kursi di legislatif bahkan jabatan Menteri, maka setiap Parpol cenderungan menjadi tujuan dalam dirinya sendiri dilengkapi dengan sasaran-sasaran dan kepentingan sendiri. Pada gilirannya, Parpol melepaskan diri dari massa anggota/konstituen yang diwakili. Kepentingan massa anggota/konstituen menjadi sesuatu yang menghilang dan sirna !

Terjadi keterputusan antara kehendak konstituen dan elite Parpol. Saat akan mendulang suara konstituen, Parpol berupaya mendengung-dengungkan apa yang bisa membangkitkan sentimen konstituen atau calon pemilih, misalnya sentimen keagamaan, kelas atau cita-cita politik demokrasi, dll. Namun, usai memperoleh suara konstituen, elite Parpol pun cenderung mengejar kepentingan diri sendiri, dan kemudian bersama-sama elite Parpol lain bernegosiasi untuk memenuhi kepentingan sesama elite Parpol yang berbeda-beda. Sebagai contoh, setiap usai Pemilu legislatif era politik kartel, elite Parpol yang menang maupun kalah, melakukan negoisasi tentang siapa akan menjadi Ketua dan Wakil Ketua DPR, Ketua dan Wakil Ketua Komisi di DPR, bahkan Ketua dan Wakil Ketua MPR. Lebih jauh lagi, tingkat penyusunan kabinet di eksekutif, elite Parpol ini bernegosiasi tentang siapa menduduki posisi Menteri. Semuanya hasil “tawar-menawar” antar elite Parpol.

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap janji-janji Parpol dapat ditunjukkan dari hasil Jajak Pendapat Litbang Kompas lain ( 17-19 Maret 2010) dengan 1.097 responden di 33 ibukota Provinsi seluruh Indonesia. Hasilnya, sebagian besar responden (sebanyak 54.9 %) tidak percaya terhadap Parpol sebagai penyalur aspirasi politik dan sosial mereka. Hanya 39.9 % yang percaya, dan 5.2 % tidak tahu/tidak menjawab. Responden lebih memilih media massa sebagai penyalur aspirasi, yakni 42,4%.

D. Memperoleh Dana Ilegal

Karakteristik keempat yakni agar dapat mempertahankan kesinambungan eksistensi Parpol, para elite berusaha mendapatkan dana/uang bersumber dari negara/pemerintahan melalui “perburuan rente” dengan cara bersaing merebut jabatan politik di parlemen dan eksekutif/kabinet. Parpol dalam realitas obyektif tidak mampu menggalang dana untuk Parpol secara mandiri dari iuran/sumbangan anggota. Parpol juga tidak memiliki badan hukum (korporasi/perusahaan) bergerak di dunia usaha yang dapat mendanai Parpol dari hasil usaha badan hukum dimaksud. Kecenderungan anggota Parpol melakukan tindakan ilegal memperoleh dana/uang negara (tindak pidana korupsi) menjadi berlaku baik untuk keperluan Parpol maupun perubahan pola hidup yang semakin “mewah” anggota Parpol itu sendiri. Akibatnya, Parpol yang diharapkan anti korupsi menjadi “pro” korupsi.

III. GAMBARAN UMUM PPP

Partai Persatuan Pembagunan (PPP) didirikan tanggal 5 Januari 1973, sebagai hasil fusi politik empat partai Islam, Partai Nadhlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Perti. PPP berasaskan Islam dan berlambangkan Ka'bah. Akan tetapi dalam perjalanannya, akibat tekanan politik kekuasaan Orde Baru, PPP pernah menanggalkan asas Islam dan menggunakan asas Negara Pancasila sesuai dengan sistem politik dan peratururan perundangan yang berlaku sejak tahun 1984.

Pada Muktamar I PPP tahun 1984 PPP secara resmi menggunakan asas Pancasila dan lambang partai berupa bintang dalam segi lima. Setelah lengsernya Presiden Soeharto 21 Mei 1998, PPP kembali menggunakan asas Islam dan lambang Ka'bah. Secara resmi hal itu dilakukan melalui Muktamar IV akhir tahun 1998. Sesuai Anggaran Dasar PPP yang Muktamar V tahun 2003, pada pasal 3 disebutkan bahwa tujuan Partai Persatuan Pembangunan adalah terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, sejahtera lahir bathin dan demokratis dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila di bawah ridho Allah Subhanahu Wata'ala.

PPP sudah mengikuti sebanyak tujuh (7) kali Pemilu sejak tahun 1977 sampai pemilu dipercepat tahun 1999 dengan hasil yang fluktuatif, turun naik. Namun, sepanjang berlakunya fenomena kepartaian politik kartel, sejak Pemilu 2004 sampai Pemilu 2009, perolehan suara pemilih PPP terus menurun sebagaimana terlihat di bawah ini.

Gambaran umum PPP tentang perolehan suara pemilih dan kursi di DPR dapat ditunjukkan sebagai berikut:


01. Pemilu 1977: perolehan 18.745.565 suara (29,29 %) dan 99 kursi (27,12%),
jumlah kursi diperebutkan sebanyak 360 kursi.
02. Pemilu 1982: perolehan 20.871.800 suara (27.78 %) dan 94 kursi (26.11%), jumlah kursi diperebutkan sebanyak 364 kursi.
03. Pemilu 1987: perolehan 13.701.428 suara (15.97 %) dan 61 kursi (15.25%, jumlah kursi diperebutkan sebanyak 400 kursi.
04. Pemilu 1992: perolehan 16.624.647 suara (14.59%) dan 62 kursi (15.50%), jumlah kursi diperebutkan sebanyak 400 kursi.
05. Pemilu 1997: perolehan 25.340.018 suara ( - %) dan 89 kursi (20.94%), jumlah kursi diperebutkan sebanyak 425 kursi)
06. Pemilu 1999: perolehan 11.329.905 suara (10.71%) dan 58 kursi (12.55%), jumlah kursi diperebutkan sebanyak 462 kursi.
07. Pemilu 2004: perolehan 9.248.764 suara (8.14 %) dan 58 kursi (10.54%), jumlah kursi diperebutkan sebanyak 550 kursi.
08. Pemilu 2009: perolehan 5.544.322 suara (5.33%) dan 38 kuris (6.79%), jumlah kursi diperebutkan 560 kursi.

Sejak era reformasi dalam 13 tahun terakhir telah terjadi perubahan politik di Indonesia secara mendasar. Dari aspek perubahan kepartaian, salah satu teori digunakan untuk memahami adalah teori politik kartel dengan beberapa karakteristiknya. Telah terjadi politik kartel (kartelisme) dalam tubuh Parpol maupun hubungan antara Parpol di Indonesia.

Sesungguhnya dalam tubuh PPP maupun hubungan PPP dan Parpol lain tidak luput dari perubahan dimaksud. Sementara itu, pencapaian perolehan suara pemilih PPP dalam era politik kartel ini semakin menurun, yakni pada Pemilu 1999 mencapai 10.71 %, Pemilu 2009 menurun 8.14 %, Pemilu 2009 menurun drastis hanya 5.33 %. Level pencapaian PPP ini tergolong « sangat rawan » jika diberlakukan ketentuan apakah « Electoral Threshold » atau « Parliamentary Threshold » Pemilu 2014 mendatang pada level 5 %.

IV. MEMBANGUN KAPASITAS PPP : SUATU ARAHAN

Prospek PPP diperkirakan akan mengalami kapasitas semakin menurun dalam konteks perolehan suara pemilih pada Pemilu 2014 (sekitar 3,5 tahun lagi) jika tidak disusun dan diimplementasikan suatu « Strategi Pembangunan Kapasitas PPP » berdasarkan penegakan konsistensi ideologi antara apa yang dijanjikan kepada konstituen dalam Pemilu dan perilaku politik kader PPP yang telah duduk di dalam jabatan pemerintahan (legislatif dan eksekutif). Sebuah pertanyaan dasar yakni bagaimana membangun kapasitas PPP agar mampu mewujudkan ideologi, platform, visi dan misi ke dalam kehidupan konkrit dan menghasilkan manfaat bagi rakyat, khususnya masyarakat pemilih PPP.

Di dalam Strategi Pembangunan Kapasitas PPP dimaksud harus terdapat identifikasi permasalahan dan potensi PPP yang mencerminkan realitas obyektif kepartaian di Indonesia, yakni berlakunya fenomena politik kartel dengan karakteristik: menghilangnya peran ideologi; mengutamakan koalisi, bukan oposisi; janji-janji tidak direalisasikan; dan, memperoleh dana ilegal. Kiprah PPP dalam dinamika politik kartel ini ternyata mengalami perolehan suara pemilih terus menurun. Konsistensi ideologi PPP harus betul-betul ditegakkan oleh kader-kader PPP khususnya pejabat penyelenggara pemerintahaan (legislatif & eksekutif).

Strategi dimaksud harus mencakup:

1. Deskripsi PPP (permasalahan dan potensi yang dihadapi PPP).
2. Sasaran strategis jangka pendek, menengah dan panjang berdasarkan permasalahan
dan potensi yang dihadapi.
3. Alternatif strategis (rencana kegiatan/program kerja) untuk pencapaian
Sasaran jangka pendek,menengah dan panjang yang telah dirumuskan..
4. Komponen/kendali strategis untuk melaksanakan alternatif strategis.
5. Manajemen informasi sistem (monitoring dan evaluasi strategis).

DR. RIZAL RAMLI: MENGAPA HARUS DILAKUKAN PERUBAHAN SEKARANG JUGA ?

Rabu, 4 Mei 2011, di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Dr. Rizal Ramli telah menyampaikan Pidato Kebudayaan dengan Judul: „Perubahan adalah Jawaban Perubahan Sekarang Juga!“

Acara Pidato Kebudayaan ini dimulai jam 11.00 hingga jam 13.30 WIB. Acara pembacaan puisi, „nyanyi’nyanyi“ mengantarkan acara ini ke tahap pembacaan pidato kebudayaan Rizal Ramli. Sekitar 300 orang menghadiri acara ini dari berbagai kelompok masyarakat madani, termasuk mantan aktivis mahasiswa 77/78 dan 97/98 yang dominan pro demokrasi dan oposisi terhadap Presiden SBY-Boediono dan juga kalangan pers/media massa. Rizal Ramli adalah Mantan Aktivis Mahasiswa 77/78 (ITB) dan juga Mantan Menko Ekuin semasa pemerintahan Gus Dur-Mega (Orde Reformasi).
Rizal Ramli bermula dari asumsi dasar bahwa perubahan politik harus segera dilakukan untuk menghentikan demokrasi kriminal dan membuat demokrasi betul-betul bekerja untuk kepentingan rakyat. Sendi-sendi kehidupan bernegara di bawah pemerintahan SBY-Boediono semakin lama semakin lemah dan keropos. Mafia hukum semakin merajalela. Tokoh-tokoh mafia hukum ternyata adalah para pejabat di kejaksanaan, kepolisian dan lembaga peradilan. Akibatnya, pisau hukum hanya tajam terhadap rakyat biasa, menjadi sangat tumpul terhadap kalangan elit memiliki kekuasaan dan uang. Dari sisi ekonomi, Rizal menunjukkan, sekitar kurang dari 20% penduduk paling atas memang hidup lumayan, bisa menikmati arti kemerdekaan. Namun, sambung Rizal, 80 % sisanya belum pernah menikmati kemerdekaan.

Rizal kemudian mencatat, standar kemiskinan menurut pemerintah SBY-Boedino adalah Rp. 211.726,00/bulan atau Rp. 7057,00/hari (US$ 0,78/hari), atau hanya cukup untuk satu bungkus nasi dengan lauk sederhana. Tidak cukup untuk kehidupan manusiawi, apalagi jika diperhitungkan biaya perumahan, kesehatan dan pendidikan. Dengan standar sangat tidak manusiawi tersebut, jumlah orang miskin mencapai 31 juta orang (2010). Jika, lanjut Rizal, digunakan standar kemiskinan internasional, yang US$2/hari (Rp. 18.000,00/hari), maka jumlah penduduk miskin di negara Indonesia akan naik tiga kali lipat angka kemiskinan versi pemerintah SBY-Boediono.

Perubahan juga diperlukan untuk mengubah kepemimpinan nasional yang lemah dan bermasalah (maksudnya SBY-Boediono, red.) dengan kepemimpinan nasional yang efektif dan sungguh-sungguh menegakkan konstitusi, baik dalam bidang politik, hukum, ekonomi maupun sosial. Bagi Rizal, kepemimpinan efektif dan transformatif dalam konteks negara demokratis bukanlah kepemimpinan kuat dalam konteks otoriter. Kepemimpinan efektif dan transformatif mencakup kepemimpinan visi dan operasional.

Mengapa harus dilakukan „perubahan“ sekarang juga? Menurut Rizal, saat ini menunjukkan bahwa secara obyektif, kondisi Indonesia sudah matang untuk perubahan. Kondisi dimaksud adalah:

Pertama, mayoritas kalangan intelektual tidak lagi bersedia membela pemerintahan SBY-Boediono secara terbuka, kecuali intelektual yang sudah dikontrak Istana. Rizal tidak menunjukkan secara belak-blakan siapa-siapa intelektual dikontrak Istana, namun maknanya adalah kalangan akademisi yang menjadi staf ahli, penasehat atau staf khusus Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono. Mereka sebelumnya ikut menjadi aktor-aktor pro reformasi dan demokrasi menuntut Soeharto turun dari jabatan Presiden sekitar tahun 1997/98. Padahal, bagi Rizal, di negara demokratis, kalangan intelektual sangat menentukan legitimasi kekuasaan. KKN harus diberantas sesuai amanat utama reformasi 1998, justru semakin menggurita pada masa pemerintahan SBY-Boedino ini. Bahkan, dalam soal nepotisme, pemerintahan sekarang dengan cepat menggalahkan „prestasi“ yang pernah dilakukan rezim Soeharto.

Kedua, media, terutama media berjaring internet dan media elektronik (TV dan Radio) sangat kritis dan juga skeptis terhadap ketulusan dan kinerja pemerintahan SBY-Boediono. Partisipasi publik dalam bidang sosial dan politik semakin tinggi seiring dengan meluasnya penggunaan jejaring sosial (facebook, twitter) radio dan RV, yang bisa dikendalikan dari perangkat komunikasi genggam yang mobil dan makin canggih.

Ketiga, para aktivis pro-demokrasi, pemuda dan mahasiswa di seluruh Indonesia telah sepakat menilai bahwa pemerintahan SBY-Boedino „gagal“ karena tidak berpihak kepada kepentingan mayoritas rakyat, dan hanya patuh pada kepentingan global dan pemodal besar/asing. Selama satu tahun terakhir setiap kunjungan SBY-Boediono ke seluruh wilayah Indonesia selalu diikuti dengan demonstrasi mahasiswa dan pemuda dengan yang mentang kehadiran mereka.

Keempat, banyak tokoh politik senior Indonesia, juga para pejuang kemerdekaan dan jenderal purnawirawan TNI mengangap penggantian SBY-Boediono harus segera. Lebih cepat lebih baik, demi kepentingan nasional terutama karena alasan kepemimpinan dan karakter yang sangat lemah.

Kelima, para tokoh agama terkemuka menyatakan bahwa pemerintahan SBY-Boediono telah melakukan banyak kebohongan dan mengingkari konstitusi. Ketika rakyat membutuhkan terutama dalam hal kenyamanan beragama dan kesejahteraan, pemerintahan SBY-Boediono sering absen, tidak hadir. Rakyat dibiarkan mengatasi berbagai persoalannya sendiri.

Para tokoh terkemuka dimaksud adalah A. Syafi’i Ma’arif (Muhammadiyah), KH Salahudin Wahid (NU), Djohan Effendi (Intelektual Muslim), Pendeta Andreas A Yewangoe (Ketua Persatuan Gereja Indonesia-Protestan), Din Syamsudin (Ketum PP Muhammadyah), Mgr Martinus D Situmorang, Romo Magnis Suseno, Romo Benny Susetyo (Konfederasi Wali Gereja Indonesia-Katolik) dan Bhikkhu Sri Pannyavaro Mahathera serta sejumlah tokoh agama lainnya. Rizal Ramli kemudian mengajak kita untuk membaca tulisan A.Syafi‘i Ma’arif. „Main Api Terbakar“, Kompas, 7 Februari 2011, hal. 6, yang mempertanyakan siapa dalang berada di belakang kriminalisasi pimpinan KPK (Antasari, Bibit dan Chandra), Susno Duadji dan mafia pajak ala Gayus Tambunan. Jika dilihat secara kronologis, dari berbagai kasus tersebut, pemerintahan SBY-Boediono telah „cacat“ sejak lahir. Berbagai kebohongan itulah yang harus ditutup dengan gunungan kebohongan lainnya. Dari skala kebohongan dan kesalahan, skandal Watergate yang memaksa Presiden AS Richard Nixon mengundurkan diri, sangat kecil artinya dibandingkan dengan air bah skandal dan kebohongan yang terjadi di negara kita, bagaikan air bah gunung Merapi („Super gate of Flood of Scandals Lies). Untuk memperkuat fakta dan data, Rizal Ramli mengajak kita pula membaca „Kasus Manipulasi DPT Pemilihan Gubernur Jawa Timur (http://www.suara pembaharuan.co.cc/ News/200/03/24/ Nusantara/nus01.htm.http://politik.vivanews.com/news/ read/36634_lima_indikasi_manipulasi_dpt_di jawa-timur). Juga Rizal mengajak kita membaca pers release:“Pemilu 2009: Terpuruk dengan Biaya termahal“ . Melalui Menlu Hasan Wirayuda, Pemerintahan SBY menolak menerima Pengawas Pemilu Internasional dari European Union dan Carter Centre. (Dialog Rizal Ramli dengan pejabat European Union, 12 Mei 2009). Padahal, bagi Rizal, Pemilu 1999 dan 2004 dihadiri oleh ratusan Pengawas Pemilu Internasional dari Negara-negara Eropa dan Carter Centre.

Keenam, kehidupan mayoritas rakyat Indonesia berpendapatan sangat rendah dan banyak menganggur, semakin sulit karena kenaikan harga pangan dan kebutuhan pokok tidak terkendali. Selain karena sifat rezim otoriter, perubahan politik di Indonesia (1966 dan 1998), Tunisia dan Mesir (2011) terjadi terutama karena pengangguran sangat tinggi dan kesulitan pangan dihadapi mayoritas rakyat. Soal pengangguran ini, Rizal Ramli menekankan, sejak pemerintahan SBY, survei pengangguran selalu dilakukan pada saat puncak masa panen sehingga mayoritas penduduk di pedesaan bisa bekerja minimum satu jam per minggu pada saat survei. Patut dicatat, dengan bekerja satu jam per minggu pendapatan rakyat di pedesaan sama sekali tidak memadai. Di luar musim panen, kebanyakan penduduk di pedesaan kembali menganggur. Seperti halnya standar kemiskinan yang rendah, standar jam kerja (satu jam) digunakan BPS termasuk terendah di dunia. Telah terjadi rekayasa metodologi dalam survei-survei kemiskinan di Indonesia.

Ketujuh, selain gangguan terhadap kenyamanan kehidupan beragama, ada juga gangguan terhadap hak-hak historis sebagaimana dirasakan masyarakat di Yogyakarta sehingga memicu ketidakpuasan, dan menunjukkan ketidakmampuan pemerintahan SBY-Boediono meneruskan cita-cita para „founding fathers „dan melaksanakan amanat konstitusi. Menjadi pertanyaan besar, ujar Rizal, mengapa pemerintah SBY-Boediono mau mengambil resiko mempersoalkan hak-hak historis Yogyakarta? Ada pendapat yang menyatakan karena SBY ingin membangun dinasti, maka monarki dan „kekuatan spiritual“ Jogjakarta harus terlebih dahulu dilumpuhkan. „Orang bisa menafsirkan Cikeas ingin mengambil sumber spritual-kultural DIJ demi kepentingan Cikeas. Padahal langkah Cikeas itu sangat tidak pantas sebab kesultanan DIJ berkontribusi besar dalam sejarah lahirnya NKRI dan proses perjuangan bangsa ini,“ungkap Suparwan Zahary Gabat, seorang seniman, pengamat kebudayaan, sekaligus advokat dan mantan aktivis UGM yang dipenjara Orba. Untuk itu, Rizal mengajak membaca http://rimanews.com/read/20110214/16626.

Kedelapan, liberalisasi di bidang pendidikan nyaris identik dengan kenaikan biaya pendidikan yang resmi maupun tidak resmi, baik di lembaga pendidikan swasta maupun milik negara. Akses terhadap pendidikan untuk rakyat miskin semakin terbatas, dan tingkat putus sekolah di berbagai jenjang pendidikan semakin tinggi. Walaupun ada wajib belajar 6 tahun, tingkat putus sekolah Dasar mencapai 1,7 % terutama karena kesulitan ekonomi. Walaupun ada wajib belajar 9 tahun dan alokasi anggaran pendidikan dinaikkan, ternyata dari 26 juta anak usia sekolah 7-12 tahun, 4,49 juta anak atau 18,4 % terbukti tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang Menengah.
Kesembilan, pemerintahan SBY-Boediono sekarang telah mengalami krisis kepercayaan (distrust) publik, sama ketika menjelang kejatuhan Presiden Soeharto. Krisis kepercayaan timbul karena rakyat menyaksikan perbedaan sangat besar antara perkataan (janji) dan tindakan (kenyataan) pemerintah SBY-Boediono. Atau, lanjut Rizal, mengutip seloroh Buya Syafi’i Ma’arif,“pecah kongsi antara perkataan dengan realitas!“ Paling mencolok tentu saja maraknya praktek rekayasa (metodologi) statistik dan kinerja. Sehingga secara umum, publik menilai pemerintah SBY-Boediono telah menjadi bagian dari masalah, bukan solusi.

Untuk itu, Rizal menunjukkan beberapa kasus sebagai bagian dari masalah pemerintah SBY-Boediono, yakni :
1. Pembobolan 6,7 triliyun rupiah Bank Century.
2. Teknologi Informasi (IT) KPU terkait dengan Pemilu dan Pilpres 2009.
3. Penghapusan (Restitusi) Pajak Bank Mandiri.
4. Rekayasa /Kriminalisasi Ketua KPK Antasari .

Boediono dinilai telah terlibat dalam merancang kebijakan keriminal rekayasa bailout Bank Century yang merugikan keuangan negara hingga Rp. 6,7 triliyun dan skandal pajak Bank Mandiri senilai Rp. 2,2 triliyun. Modus oparandi kejahatan kerah putih yang nyaris sama, Boediono menurunkan kriteria bailout untuk Bank Century dari sebelumnya CAR 8 persen menjadi CAR asal positif, dan menghapuskan kewajiban pajak khusus untuk Bank Mandiri. Untuk ini Rizal mengajak kita membaca keterangan Mantan Sekneg Yusril Mahendra“Yusril: SBY Pernah Konsultasi bila Boediono Ditangkap“. (http://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2010/07/11/98196/CENTURYGATE-Yusril:-SBY-Pernah-Konsultasi-bila-Boediono-Ditangkap). Baca juga tulisan „Boediono Memercik Muka Sendiri“, (http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=10544); dan, „Membaca Kembali Hubungan Boediono dan Skandal Bank Century“ (http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=10692).

Menurut Rizal, krisis kepercayaan semakin meluas, kesulitan hidup rakyat semakin berat dan pembiaran berkembangnya demokrasi kriminal merupakan faktor-faktor pendukung percepatan perubahan. SBY-Boediono sebagai pemimpin dinilai telah mengingkari konstitusi karena:

1. Ketidakmampuan dalam menegakkan prinsip negara hukum.
2. Tidak mengambil tindakan terhadap berbagai kejahatan kerah putih seperti skandal rekayasa bailout Bank Century, mafia hukum dan skandal restitusi pajak.
3. Menjalankan kebijakan ekonomi neoliberal bertentangan dengan konstitusi.
4. Tidak mampu menjamin hak-hak dasar warga negara dalam bidang kesejahteraan dan kenyamanan beragama.

Akhiirnya, menurut Rizal, pemerintah SBY-Boediono saat ini bagaikan “Rumah Pasir” yang direkat oleh lem pencitraan. Sekarang lem pencitraan itu telah meleleh setelah diberi “cap kebohongan” oleh para pemuka agama, kalangan intelektual, tokoh pergerakan, kaum buruh/pekerja, pemuda/mahasiswa. Akhir dari “Orde Citra” (2004-2011) tinggal menunggu waktu. Rumah Pasir itu akan roboh dengan sendirinya. “Tidak akan meninggalkan persoalan krusial, apalagi ideologis,” kilah Rizal. (Muchtar Effendi Harahap/NSEAS).