Kamis, 27 Juli 2017

KINERJA JOKOWI URUS INFLASI

http://www.aktual.com/rizal-ramli-kebijakan-redenomisasi-tak-ada-manfaat-dan-rugikan-masyarakat/ Jakarta, Aktual.com – Tidak ada hujan tidak angin, tiba-tiba saja dengan gagah berani Bank Indonesia (BI) dan pemerintah menyatakan akan memberlakukan kebijakan rednominasi rupiah. Dengan redenominasi ini, kelak akan diterbitkan mata uang rupiah baru dengan penghapusan angka tiga nol. Dengan begitu, mata uang Rp1.000 saat ini akan diganti dengan Rp1 mata uang baru. BI dan pemerintah mengklaim kebijakan redenominasi sangat banyak manfaatnya dan tidak sama dengan “pemotongan uang” (sanering). Sayangnya, pernyataan gagah berani tersebut tidak didukung oleh argumen-argumen yang jelas dan empirik tentang manfaat dari redenominasi. Untuk rakyat biasa, redenominasi adalah istilah baru yang membingungkan. Dalam praktiknya, istilah itu nyaris sama dengan upaya pemotongan uang. Menerbitkan uang baru Rp 1 yang nilainya sama dengan Rp1.000 saat ini, pada praktiknya merupakan “paksaan inflasi” (force inflation). Karena daya beli golongan menengah ke bawah akan terpotong dengan adanya kenaikan harga-harga setelah mata uang baru diterbitkan. Misalnya, untuk sebungkus kacang goreng seharga Rp800 saat ini, kelak dengan uang baru harganya akan disesuaikan menjadi Rp 1 baru yang ini sama saja artinya menaikkan harganya sebesar Rp 200 mata uang sekarang. “Inflasi yang dipaksakan” inilah yang akan terjadi serentak setelah pemberlakuan redenominasi. Untuk golongan menengah atas, rupiah baru memang lebih nyaman. Mereka bisa membawa uang tunai Rp10 juta saat ini, menjadi hanya Rp10.000 uang baru atau hanya 10 lembar pecahan Rp1.000 baru. Pertanyaannya, berapa persen orang Indonesia yang di kantongnya ada uang tunai Rp10 juta per hari? Persentasenya sangat kecil, kurang dari 0,5% dari penduduk Indonesia. Kok bisa merancang kebijakan baru hanya untuk menyenangkan 0,5% orang paling kaya di Indonesia? Sementara pada saat yang sama, kebijakan itu justru akan menguras daya beli mayoritas rakyat Indonesia. Jangan-jangan, kebijakan ini justru semakin mempermudah penyogokan para pejabat. Jika sebelum redenominasi perlu boks bekas durian untuk menyogok pejabat miliaran rupiah, nanti cukup menggunakan amplop kecil. Biasanya, pemotongan uang atau sanering atau redenominasi dilakukan ketika inflasi di satu negara sangat tinggi (hyper inflation) dan ekonomi sedang dalam krisis. Dalam kasus seperti itu, pemotongan uang terpaksa dilakukan untuk stabilisasi ekonomi. Banyak negara di Amerika Latin melakukan pemotongan uang dengan tujuan seperti itu. Termasuk, Indonesia pada 1966 ketika inflasi mencapai di atas 1.000% sehingga pemerintah terpaksa memotong uang dari Rp1.000 uang lama menjadi Rp1.000 uang baru. Saat ini ekonomi Indonesia stabil, inflasi terkendali, lah kok ujug-ujug mau “memotong uang”? Sulit dipahami Bank Indonesia (BI) dan pemerintah ngotot mau “memotong uang” yang kalau tidak hati-hati bisa menjadi sumber ketidakstabilan baru, sementara manfaatnya tidak jelas. Padahal BI punya tugas yang jauh lebih penting, yaitu menurunkan net interest margin (selisih bunga kredit dan simpanan) yang kini paling tinggi di dunia (6-7%) sehingga mengurangi daya saing produk Indonesia. Bisa jadi rencana kebijakan redenominasi itu dilatarbelakangi keinginan penguasa untuk memberi kesan bahwa mata uang rupiah kuat. Ini dimaksudkan untuk menjadikannya sebagai indikator keberhasilan ekonomi saat ini. Keinginan untuk memiliki mata uang kuat tersebut sebetulnya salah kaprah. Karena yang penting sebenarnya adalah stabilitas mata uang. Justru negara-negara yang berhasil memacu pertumbuhan ekonomi dan industrinya, dengan sengaja memilih kebijakan mata uang lemah (weak exchange rate policy). Contohnya, Jepang pada tahun 1950an-1970 yang berhasil tumbuh di atas 10%, atau China pada akhir tahun 1980an-2010 yang juga berhasil tumbuh double digit. Kebijakan mata uang lemah secara tidak langsung melindungi ekonomi dalam negeri dan meningkatkan daya saing produk ekspor mereka. Negara-negara yang berhasil memacu ekonominya tumbuh tinggi dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, menolak tekanan internasnional untuk memperkuat mata uangnya. Contohnya China yang tetap menolak mentah-mentah menaikkan nilai tukar yuan, kendati tiga Presiden Amerika sejak Clinton, Bush, dan Obama datang ke Beijing untuk menekan negara Tirai Bambu itu. Sebaliknya, Jepang akhirnya menyerah dan setuju menaikkan nilai tukar yen sesuai dengan kesepakatan Plaza Accord di New York tahun 1986, setelah mendapat tekanan kuat dari Amerika dan Eropa yang khawatir produknya kalah bersaing. Sejak itu, ekonomi Jepang berubah dari ekonomi tumbuh tinggi (di atas 10%) menjadi ekonomi tumbuh rendah (kurang dari 2%). Jelas sekali peranan penting kebijakan mata uang lemah (weak exchange rate policy) dengan pertumbuhan ekonomi tinggi. Negara-negara dengan pertumbuhan tinggi tersebut tidak perlu menggunakan kebijakan pemotongan uang atau redenominasi. Mata uang mereka otomatis akan menguat dengan sendirinya, seiring kemajuan ekonomi mereka. Seperti terlihat pada grafik di bawah ini nilai tukar yen terhadap dolar Amerika (sekitar 350 yen/US$) pada 1950 terus menguat menjadi sekitar 70 yen/US$ tahun 2010. Proses penguatan mata uang yen tersebut berlangsung secara alamiah tanpa perlu kebijakan potong-memotong ala BI dan pemerintah Indonesia yang bersifat semu (artificial) dan hanya merugikan golongan menengah bawah. Sehubungan dengan itu, kami meminta agar Bank Indonesia dan pemerintah segera menghentikan rencana kebijakan redenominasi yang tidak ada urgensinya, tidak bermanfaat, dan merugikan daya beli mayoritas rakyat Indonesia. Kebijakan untuk memperkuat nilai tukar rupiah secara semu adalah salah kaprah dan hanya akan menimbulkan gejolak yang tidak perlu. Seandainya BI dan pemerintah ngotot memaksakan kebijakan redenominasi, akan timbul pertanyaan tentang kemungkinan adanya konflik kepentingan pejabat BI dengan pemasok kertas khusus untuk uang rupiah baru (fine papers). Kami sarankan Bank Indonesia untuk fokus pada tugas utamanya, yaitu menjaga stabilitas moneter dan menurunkan net interest margin yang tertinggi di dunia, dan selama ini gagal dilakukan oleh Bank Indonesia. Pemerintah juga sebaiknya fokus pada percepatan pembangunan infrastruktur, yang hanya menjadi dongeng selama delapan tahun terakhir, dan fokus pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Oleh: DR. Rizal Ramli

Selasa, 25 Juli 2017

DESAKAN AMIEN RAIS AGAR MENPAN-RB MUNDUR

Salah satu implikasi disharmoni hubungan politik DPP PAN dan Rezim Jokowi adalah desakan Amien Rais agar Menpan-RB yang kini kader PAN mundur. Desakan pendiri PAN ini direspon oleh pemimpin DPP PAN, termasuk Ketum, dan juga Menpan RB, yakni soal mundur atau tidak Menpan-RB tergantung Presiden Jokowi karena beliau punya hak "prerogratif " atau hak "istimewa" untuk memundurkan. Dikesankan, Menpan RB mau saja mundur sebagaimana desakan Amien Rais, tetapi tergantung kemauan dan kehendak Presiden Jokowi sendiri, bukan Amien Rais atau DPP PAN. Jawaban Pemimpin DPP PAN dan Menpan RB terbebas dari sikap politik terlebih dahulu meminta mundur baru kemudian Jokowi memenuhi permintaan mundur itu. Logika berpikir dibalik, ada dulu sikap politik Jokowi menggunakan hak istimewa meminta Menpan PAN mundur, baru kader PAN ini mundur. Intinya, secara substansial desakan Amien Rais itu tidak dikehendaki Pemimpin DPP dan Menpan RB untuk dipenuhi. Hubungan politik DPP PAN dan Rezim Jokowi sejak kader PAN menjadi Menpan-RB bukanlah hubungan politik aliansi strategis, tetapi hanya bersifat "taktis". Motip pimpinan DPP PAN mau mendukung Rezim Jokowi lalu Rezim kasih jabatan Menpan-RB, menurut saya, itu pilihan pragmatis kepentingan individual pimpinan DPP PAN semata, bukan kepentingan konstituen atau massa rakyat pendukung. Dari sikap politik pendukung Paslon Presiden Prabowo-Hatta Radjasa pd Pilpres 2014 yang kalah, berubah drastis menjadi pendukung Rezim Jokowi-JK, sungguh bertujuan untuk memenuhi kepentingan pribadi pimpinan DPP PAN. Secara demokratis prinsip kedaulatan ditangan massa kader terabaikan. Hasil dukungan politik yang kontroversial DPP PAN terhadap Rezim secara formal dan terbukti nyata di publik, yakni diberikan jabatan Kementerian PAN & RB kepada kader PAN. Hanya satu jabatan Menteri diperoleh PAN. Prilaku politik DPP PAN pasca Pilpres 2014 bukan lagi perjuangan perebutan kekuasaan, tetapi sudah transaksional dan sekedar semacam permainan untuk memenangkan sebanyak mungkin bagaikan pengusaha mencari laba sebanyak mungkin. Namun, dinamika politik belakangan dalam negeri ini ditandai konflik semakin keras antara Rezim Jokowi dan kekuatan Islam politik, mengharuskan pimpinan DPP PAN mengurangi dukungan terhadap Rezim. Indikatornya, DPP PAN tidak mau mengikuti kehendak Rezim agar PAN mendukung Paslon Ahok-Jarot pada Pilgub DKI putaran kedua 2017 lalu, juga keputusan DPR tentang presidential threshold (PT) 20-25 persen pada RUU Pemilu. Amien Rais telah tampil menjaga cita2 politik PAN dan juga menghindar dari tekanan untuk mendukung Rezim Jokowi. Amien Rais berpikir rasional, satu jabatan Menteri non teknis harus dikorbankan untuk mendapat dukungan umat Islam politik khususnya. Anjuran Amien Rais Manpan-RB mundur merupakan sinyal kepada Rezim Jokowi, PAN bukan parpol ambisius kekuasaan atau hanya karena mendapat jabatan Menteri, harus tunduk pada kepentingan Rezim. Cara berpikir Amien Rais rasional ini sesungguhnya untuk kepentingan kolektif PAN agar mendapatkan dukungan politik dan suara lebih banyak pada Pemilu legislatif tahun 2019. Jika, Menpan-RB mundur maka lebih mudah bagi PAN untuk melakukan kampanye publik bahwa PAN adalah parpol oposisi terhadap Rezim Jokowi yang selama ini terkesan anti kekuatan Islam politik. Kegagalan Rezim Jokowi urus pemerintahan dan rakyat Indonesia selama ini, PAN secara moralitas politik tidak harus bertanggungjawab. Bahkan, PAN dapat menggunakan kegagalan Rezim ini untuk mendowngrade ekektabilitas Jokowi sehingga kalah dalam Pilpres 2019. Kesan dan sikap negatif ini semakin kuat sejak Rezim Jokowi membubarkan organisasi umat Islam HTI. Sikap oposisional Amien Rais terhadap Rezim Jokowi mulai terlihat nyata tatkala Amien Rais mulai mengecam dan mengkritik prilaku politik Gubernur DKI Ahok yang sangat didukung Rezim Jokowi dan parpol2 pendukung Jokowi. Mengapa Amien Rais mengecam dan mengkritik Ahok, tentu jawabannya sangat ideologis dan strategis. Sikap oposisional ini berlanjut terhadap issue reklamasi Pulau Palsu Pantai Utara Jakarta, kriminalitas aktivis dan ulama, penerbitan Perppu Ormas, pembubaran ormas Islam HTI, dan terakhir penetapan RUU Pemilu khususnya masalah PT 20-25 persen. Ke depan diperkirakan Amien Rais terus akan bertindak oposisional terhadap Rezim, dan melakukan downgrade elaktabilitas Jokowi agar kalah pada Pilpres 2019 mendatang. Saya sangat percaya, Amien Rais menolak Jokowi lanjut sebagai Presiden pasca Pilpres 2019. Desakan agar Menpan-RB mundur adalah salah satu langkah Amien Rais untuk mendowngrade elektabilitas Jokowi. Dengan mundurnya Menpan-RB, massa konstituen PAN tidak akan dalam keraguan dan kebingunan untuk tidak memberikan dukungan dan suara kepada Jokowi pada Pilpres mendatang . Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

Sabtu, 22 Juli 2017

KINERJA JOKOWI URUS UTANG

FAKTA HUTANG PEMERINTAH Perkembangan utang pemerintah dan rasio terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sejak tahun 2000: • 2000: Rp 1.234,28 triliun (89%) • 2001: Rp 1.273,18 triliun (77%) • 2002: Rp 1.225,15 triliun (67%) • 2003: Rp 1.232,5 triliun (61%) • 2004: Rp 1.299,5 triliun (57%) • 2005: Rp 1.313,5 triliun (47%) • 2006: Rp 1.302,16 triliun (39%) • 2007: Rp 1.389,41 triliun (35%) • 2008: Rp 1.636,74 triliun (33%) • 2009: Rp 1.590,66 triliun (28%) • 2010: Rp 1.676,15 triliun (26%) • 2011: Rp 1.803,49 triliun (25%) • 2012: Rp 1.975,42 triliun (27,3%) • 2013: Rp 2.371,39 triliun (28,7%) • 2014: Rp 2.604,93 triliun (25,9%) • 2015: Rp 3.098,64 triliun (26,8%) • 2016: Rp 3.466,96 triliun (27,9%) * Data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, (Selasa 27/6/2017). UTANG PEMERINTAH 2,5 TAHUN JOKOWI SETARA 5 TAHUN SBY http://finance.detik.com/read/2017/06/14/114207/3530103/4/utang-pemerintah-dalam-25-tahun-jokowi-setara-5-tahun-sby 2,5 TAHUN JOKOWI UTANG PEMERINTAH TAMBAH RP 1.067 TRILIUN, BUAT APA? https://m.detik.com/finance/berita-ekonomi-bisnis/d-3547764/25-tahun-jokowi-utang-pemerintah-ri-tambah-rp-1067-t-buat-apa UTANG PEMERINTAH RI JADI RP 3.672 TRILIUN, BERBAHAYAKAH? • https://m.detik.com/finance/berita-ekonomi-bisnis/3542669/utang-pemerintah-ri-naik-jadi-rp-3672-t • https://m.detik.com/finance/berita-ekonomi-bisnis/3542730/utang-pemerintah-ri-capai-rp-3672-t-berbahayakah UTANG PEMERINTAH RP 3.672 TRILIUN, INI CARA SRI MULYANI MENGURANGI https://m.detik.com/finance/berita-ekonomi-bisnis/d-3546278/utang-pemerintah-ri-rp-3672-t-ini-cara-sri-mulyani-mengurangi PEMERINTAH CICIL UTANG RP 324 TRILIUN DALAM 7 BULAN http://m.detik.com/finance/berita-ekonomi-bisnis/3286614/ *Sri Mulyani Tak Bisa Jawab ke Mana Larinya Utang* http://m.metrotvnews.com/read/2017/07/25/734251/sri-mulyani-tak-bisa-jawab-ke-mana-larinya-utang ---------- _Jawaban Dari Ekonom Muda:_ *MENIMBUN HUTANG DARI CHINA UNTUK DISALURKAN KEPADA TEMAN-TEMANNYA PRESIDEN* Oleh: Salamuddin Daeng NEGARA tengah sekarat, rakyat kehidupan ekonominya semakin susah. Dalam 6 bulan terakhir daya beli masyarakat jatuh. Tapi tidak dengan oligarkhi politik di sekitar pemerintahan Jokowi. Mereka tidur di atas kasur uang. Dari mana sumbernya? Apakah pemerintah Jokowi dipercaya oleh pemberi utang? Pemerintah Jokowi bermandikan utang. Para pemberi utang menawarkan uang seperti marketing kartu kredit. Ayo buat kartu kredit, cukup menggunakan KTP. Langsung bisa cair. masalah bayar belakangan. Utang utang dan belanja belanja. Resiko urusan belakang. Negara disita deebt kolektor? Ora urus! Utang pemerintah hingga bulan Juni 2017 yang nilainya mencapai Rp. 3.8720 triliun. Selama dua setengah tahun berkuasa Jokowi Pemerintah menambah utang Rp. 1.040 triliun. Sementara utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Mei 2017 tercatat USD 333,6 miliar atau Rp 4.436 trliun. Berdasarkan kelompok peminjam, pertumbuhan tahunan utang luar negeri sektor pemerintah meningkat, sedangkan utang luar negeri sektor swasta menurun (data Bank Indonesia). Utang pemerintah kembali menyalip utang swasta. Setelah pada era SBY utang swasta konsistem melebihi utang pemerintah. Tampaknya pada era Jokowi swasta tidak perlu utang luar negeri secara langsung. Cukup menggunakan tangan pemerimtah. Swasta pada era Jokowi tidak mau tanggung resiko. Salah satu sumber utang tersebut adalah dari China. Menurut sumber resmi China, Sejak tahun 2015 China telah menyetujui memberikan 11.8 miliar dolar dan 6.8 miliar Yuan. Sehingga secara keseluruhan China menyetujui memberikan utang ke China tersebut sebesar Rp. 170 triliun (pada tingkat kurs 13.300). Dari jumlah tersebut telah terealisasi dan sekarang menjadi utang Indonesia adalah sebesar 8 miliar dolar dan 6.3 miliar yuan atau sekitar Rp. 100 triliun. (http://www.cdb.com). Konon katanya utang tersebut akan disalurkan untuk investasi sektor telekomonikasi, mineral, kehutanan dan agriculture. Namun kenyataannya utang tersebut Justru mengalir ke oligarki pemerintahan Jokowi sendiri. Sebagai contoh utang yang diberikan China sebesar $3 miliar dolar kepada tiga bank di Indonesia, konon katanya untuk membangun infrastruktur. ketiga bank tersebut adalah Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia and Bank Mandiri. Utang tersebut ternyata disalurkan oleh ketiga bank tersebut kepada Medco milik arifin Panigoro untuk mengambil alih saham Newmont senilai 2,6 miliar dolar. Ini adalah peristiwa yang aneh, mengapa bank BUMN tidak menyalurkan pinjaman ke ANTAM untuk mengambil alih saham Newmont ? Ada apa ? Bebarapa pihak lain yang kecipratan pinjaman dari China yang disalurkan melalui bank BUMN Indonesia mengalir ke oligarki penguasa sendiri. Bank BRI menyalurkan kepada PT. Poso Energy Satu Pamona, PT. Bosowa Energi, PT Semen Bosowa, PT. Kertanegara Energi Perkasa, PT. Indah Kiat. Sementara bank mandiri juga menyalurkan pinjaman tersebut kepada perusahaan lain yakni yaitu PT. Saka Energy Indonesia, PT Medco E&P Tomori Sulawesi, dan PT Medco Energy International Tbk. Perusahaan swasta lainnya yakni Sinarmas ikut menikmati pinjaman dalam jumlah besar dari sindikat bank BUMN tersebut. Padahal dalam kasus divestasi newmont Medco Energi Internasional bukan perusahaan yang cukup sehat. Dalam sektornya adalah yang cukup buruk kondisi keuangannya. Perusahaan ini memilik konsisten Equity mencapai 197.24 %, sangat besar dibandingkan dengan rata rata dalam sektor energi sebesar 46.34%(sumber reuters.com). Pertanyaannya mengapa 3 bank BUMN memberikan pinjaman kepada Medco, mengapa bukan kepada Antam yang lebih berpengalaman menambang emas dan keuangnya lebih sehat? Kabarnya Medco akan segera menjual Newmont kepada pihak lain. Perusahaan dari China kah ? Tampaknya demikian. http://m.jpnn.com/news/yusril-presiden-sudah-bisa-kena-impeachment *Yusril: Presiden sudah bisa kena Impeachment* jpnn.com, JAKARTA - Yusril Ihza Mahendra mengatakan masyarakat bisa melakukan penggulingan terhadap Presiden Joko Widodo, menyusul masalah utang negara. Menurut pakar hukum tata negara itu, Jokowi telah melanggar UU Keuangan, karena total utang pemerintah secara keseluruhan tidak boleh melebihi 30 persen dari APBN. Pria yang juga mantan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) ini mengungkap, utang yang dimiliki Indonesia sudah di atas 50 persen dari APBN. Sehinga Jokowi telah melanggar UU Keuangan. ‎"Utang Indonesia sudah di atas 50 persen, presiden sudah bisa (kena) impeachment‎," ujar Yusril saat ditemui JawaPos.com di Gedung Bank Bukopin, Cawang, Jakarta, Selasa (25/7). Oleh sebab itu, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) ini mengaku, seharusnya Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu tentang utang, ketimbang mengeluarkan Perppu Ormas. Karena dianggap lebih genting. Pasalnya utang negara telah melewati batas 30 persen dari UU Keuangan. "Jadi Jokowi baiknya mengeluarkan perppu supaya utang ‎negara bisa melebihi 50 persen," katanya. (cr2/jpc) https://www.google.co.id/amp/s/m.liputan6.com/amp/2057851/jokowi-jk-pastikan-tolak-utang-luar-negeri-jika-pimpin-ri ======== *Jokowi-JK Pastikan Tolak Utang Luar Negeri Jika Pimpin RI* Oleh Fiki Ariyanti pada *03 Jun 2014, 11:10 WIB* Liputan6.com, Jakarta - Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan, Tjahjo Kumolo menyatakan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) secara tegas akan menolak penambahan utang luar negeri baru apabila terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) di periode 2014-2019. Hal ini tertuang dalam visi misi Jokowi-JK. Menurutnya, Jokowi-JK mempunyai visi misi untuk menjalankan sejumlah program di bidang ekonomi dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Program tersebut, berharap dapat direalisasikan secepatnya jika resmi memimpin negara ini. "Kita mau mandiri, sehingga segala bentuk proses pembangunan pendidikan, infrastruktur harus menggunakan dana sendiri. Menolak bentuk utang baru supaya bisa mengurangi beban utang setiap tahun," jelasnya saat ditemui di Gedung DPR, Selasa (3/6/2014). Lebih jauh kata Tjahjo, Jokowi-JK akan menggenjot pembiayaan untuk program-program ekonomi, seperti pembangunan jalan, infrastruktur laut, bandara dan sebagainya dengan cara memaksimalkan penerimaan negara. "Penerimaan dari pajak kita tingkatkan, mengoptimalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang mencapai Rp 1.800 triliun, di samping terus membuka pintu investasi lokal maupun asing masuk ke sini," tutur dia. Pernyataan Tjahjo ini sekaligus menjawab kekhawatiran pengamat dan analis yang mempertanyakan pendanaan Jokowi-JK guna merealisasikan sejumlah program di bidang ekonomi. Seperti diketahui duet pasangan tersebut telah mengumumkan visi misinya. Yang paling disoroti adalah peningkatan akses penduduk miskin pada pendidikan formal dan pelatihan ketrampilan yang gratis melalui upaya penurunan tingkat kemiskinan menjadi 5%-6% pada 2019. Jokowi dan JK bakal membangun infrastruktur jalan baru sepanjang 2.000 kilometer (km) dan memperbaiki jalan di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, membangun 10 pelabuhan baru, mendirikan 10 bandara baru serta membangun 10 kawasan industri baru berikut pengembangan untuk hunian buruh. Sayangnya, Ekonom Senior CSIS, Pande Raja Silalahi menyatakan, Jokowi-JK harus berpikir keras mencari dana untuk merealisasikan visi misi tersebut. Pande sendiri mengapresiasi visi misi pasangan itu karena menekankan sisi kerakyatan. Namun terpenting bagaimana cara mengimplementasikan program-program ekonomi itu. "Bagaimana mencapainya? Dari mana uangnya? Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kan terbatas, dan paling banyak tersedot untuk membiayai subsidi. Jadi perlu cari pendanaan yang lain," ujarnya. Salah satu cara, tambah Pande, berasal dari investasi swasta, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bahkan utang luar negeri. (Fik/Nrm) ======== *INI JANJI WAKTU KAMPANYE CAPRES - CAWAPRES 3 JUNI 2014.* *MEMANG LUDAH TAK BERTULANG.*  Beranda  Nasional  Ekonomi NasionalEkonomi Awas, Indonesia Bisa Terjebak Utang Seperti Negara-Negara PIGS Penulis  Djony Edward  - 4 Agustus 2017 0 69 Portugal, Irlandia, Greece (Yunani) dan Spanyol adalah negara-negara yang hingga kini terjerat utang dan mengalami gagal bayar (default). Indonesia walaupun dinyatakan aman, namun setiap saat bisa saja terjerembab dalam big trap utang yang makin melilit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Nusantara.news, Jakarta – Masih segar dalam ingatan Indonesia pernah terjerembab dalam krisis pada 1997-1998 sebagai dampak dari krisis moneter Asia. Belakangan ekonomi global melambat kembali, akankah Indonesia kembali terperangkap dalam kubangan krisis tersebut? Kalau kita perhatikan, karakter krisis dari waktu ke waktu memiliki perbedaan yang menonjol. Pertama, pada 1997 terjadi krisis nilai tukar yang menghantam baht Thailand, won Korea, yen Jepang, peso Filipina, ringgit Malaysia, dolar Singapura dan rupiah Indonesia. Indonesia terkena krisis paling lama dan paling dalam, sehingga rupiah terperosok dari Rp2.300 menjadi Rp17.000. Tapi karena krisis hanya melanda Asia, Indonesia masih bisa minta pertolongan ke Prancis, Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), dan Dana Moneter Internasioal (IMF). Krisis nilai tukar 1998 diperparah dengan krisis politik, sehingga terjadi pergantian kekuasaan. Sejak saat itu hingga kini Indonesia belum terkena krisis lagi. Namun beban utang karena krisis moneter itu masih harus ditanggung hingga 2032 nanti. Kedua, krisis KPR subprime mortgage di Amerika. Karakternya adalah krisis lokal Amerika lantaran Pemerintah George Walker Bush menerbitkan surat utang untuk membiayai KPR tanpa bunga bahkan tanpa down payment (DP). Alasannya pertumbuhan nilai harga KPR saat itu 20% per tahun, sehingga pengembang tidak perlu lagi mengejar marjin dari bunga maupun DP. Akhirnya Amerika merasakan beban berat krisis itu hingga 2012, di mana lewat kebijakan mengguyur dolar AS ke pasar, kemudian diikuti kebijakan moneter Quantitative Easing (QE) atau menarik secara perlahan dolar AS yang sudah diguyur untuk menyudahi program membanjiri dolar AS ke pasar. Selanjutnya diikuti kebijakan menaikkan suku bunga Fed Fund Rate, yang kemudian dikenal kebijakan currency war. Sambil membenahi krisis, Amerika juga menghantam mata uang yuan. Ketiga, krisis Eropa 2013 sampai sekarang. Di mana hampir seluruh negara Eropa terperangkap utang, kecuali Jerman, Turki, dan Prancis. Tapi yang paling parah adalah Portugal, Irlandia, Greece (Yunani) dan Spanyol, yang kemudian lebih dikenal sebagai negara PIGS (mirip pig, babi). Krisis ekonomi di Eropa sebenarnya sangat parah, tetapi karena tidak terjadi krisis politik, maka tidak begitu terlihat dari permukaan. Jika dilihat dari dekat segi angka-angka dasar ekonomi negara-negara besar di Eropa akan terungkap betapa besar lubang yang harus ditutupi melalui dana talangan. Inti dari krisis zona euro ini tak lain adalah ketidakmampuan negara membayar utang-utangnya. Pengalaman Yunani Guncangan pertama prahara ekonomi terbongkar ketika pemerintahan baru Yunani tahun 2009 mengetahui bahwa defisit anggarannya bukan 3,7% seperti diumumkan, tetapi sudah menyentuh angka 14% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Bisa saja hal ini terjadi di Indonesia ketika terjadi pergantian rezim. Dengan kata lain, sistem perbankannya hampir gulung tikar. Dari sinilah diketahui bahwa utang pemerintah sudah menggunung sehingga negara seperti Yunani sudah di ambang kebangkrutan. Kemudian obat baru disuntikkan berupa dana talangan dari IMF dan Eropa sebesar 110 miliar euro pada Mei 2010. Dana untuk membuat Yunani segar kembali sekaligus menghindari Eropa dari krisis parah ini luar biasa besarnya. Namun, setahun setelah itu Yunani tampaknya benar-benar terjerembab, sulit bangun lagi. Gelombang kedua dana talangan disuntikkan lagi, bahkan melibatkan swasta untuk ikut menanggung beban krisis. Demikian juga Irlandia dan Portugal mendapatkan dana talangan untuk membantu agar pulih lagi. Tampaknya utang yang melanda negara-negara yang tergabung dalam PIGS sudah mengarah pada gagal bayar (default). Khusus Yunani sudah dua kali mengalami default, sementara yang lainnya tinggal menunggu waktu. Bagimana dengan Indonesia? Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan utang negara masih dalam kondisi aman dengan rasio di bawah 30% terhadap PDB. Sri mengatakan utang pemerintah saat ini masih lebih rendah dari rata-rata yang dimiliki G20 atau negara yang memiliki perekonomian besar. Rasio utang Indonesia saat ini mencapai 28% terhadap PDB dengan nilai nominal sebesar Rp3.672,34 triliun, sementara defisit ditargetkan sebesar 2,92%. Sehingga tiap warga negara Indonesia harus menanggung beban sekitar Rp14,24 juta. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu pernah menyebutkan tiap warga negara Amerika Serikat kini menanggung utang pemerintah sekitar US$62 ribu (Rp824,6 juta) sementara di Jepang masyarakatnya memiliki utang sebesar US$82 ribu (1,09 miliar) per orang. Menkeu mengatakan dengan defisit anggaran sekitar 2,92%, pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat di atas 5%. “Stimulus fiskal mampu meningkatkan perekonomian sehingga utang tersebut menghasilkan kegiatan produktif,” kata dia. Pemerintah merencanakan menambah utang sebesar Rp76,6 triliun menjadi Rp461,3 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2017. Pada APBN 2017 pemerintah mematok total pembiayaan utang Rp 384,7 triliun. Utang yang bertambah untuk membiayai defisit anggaran yang di antaranya akibat subsidi energi yang membengkak  hingga Rp25,8 triliun. Pemerintah memperkirakan defisit naik menjadi 2,92% terhadap PDB atau naik Rp67 triliun menjadi Rp397,2 triliun. Baik jumlah utang maupun defisit terhadap PDB sudah seleher dari batas yang ditolerir UU Keuangan Negara. Utang tidak boleh melewati 30%, sementara defisit tidak boleh melewati 3% dari PDB. Akankah Indonesia aman tenteram dengan jumlah utang yang dikatakan masih aman? Atau justru setelah ganti rezim baru ketahuan bahwa sebenarnya utang luar negeri kita sudah tembus 50%, sebagaimana fakta yang mengejutkan terjadi di Yunani pasca pergantian kepemimpinan. Siapa yang bakal menanggungnya?[ Defisit 2,92% Tertinggi Sepanjang Sejarah, INDEF: Inilah Rezim Utang Terbesar! SHARE: 15.3K Minggu, 30 Juli 2017 35 Komentar Defisit 2,92% Tertinggi Sepanjang Sejarah, INDEF: Inilah Rezim Utang Terbesar! www.posmetro.info - Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut, kebijakan pemerintah untuk memasang defisit anggaran di APBN Perubahan 2017 di angka 2,92 persen menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah keuangan Indonesia. Atau tepatnya setelah ada UU Keuangan Negara tahun 2003 lalu. “Ini bisa disebut risiko dari pengelolaan fiskal kian membesar. Apalagi penyebab utamanya itu adanya tambahan belanja yang cukup besar dengan penerimaan negara yang terus shortfall, padahal sudah dilakukan tax amnesty,” ujar Bhima kepada Aktual.com, Minggu (30/7). Selain itu, kata dia, karena mulai masuk tahun politik, pemerintah juga menambah subsidi energi. Realisasi belanja subsidi energi sampai Mei 2017 kmarin sudah 41,8%. Untuk BBM bersubsidi 51,9%. Sementara, kata dia, realisasi total penerimaan baru mencapai 33,8% dari target Rp1.748.9 triliun brdasar APBN 2017. “Sehingga, dengan risiko shortfall penerimaan pajak cukup besar di tahun ini makanya defisitnya sampai 2,92 persen. Maka opsi Pemerintah untuk tekan defisit itu yaitu dengan menambah utang secara agresif termasuk lewat SBN rupiah atau valas,” cetus dia. Opsi penambahan utang yang agresif itu, kata dia, justru jadi persoalan baru. Apalagi, realisasi pembiayaan utang juga sudah mencapai 58,9% per Mei 2017. “Tentu saja, agresivitas utang ada risikonya bagi perekonomian, selain beban cicilan kedepannya juga ada resiko crowding out alias perebutan dana di pasar. Dampaknya, perbankan yang paling terkena, bunga kredit sulit turun dan likuiditas mengetat,” jelas dia. Sepertinya, kata dia, agresivitas utang juga akan terjadi hingga 2019 nanti. Makanya outlook pemerintah juga di 2019 itu rasio utangnya akan tembus di atas 32%. “Jadi, kalau pemerintah klaim itu (rasio utang) masih aman di bawah 30% ya cuma tahun ini aja,” ucap Bhima. Bahkan, sebetulnya itu bukan cuma rasio utang saja yang dipersoalkan tapi penggunaan utangnya pun bermasalah. Klaim bahwa utang untuk kegiatan produktif sangat lemah, termasuk untuk infrastruktur. “Faktanya realisasi belanja modal selama dua tahun terakhir hanya mencapai 78-80%. Apalagi penggunaan utang juga terbukti kurang efisien, karena Silpa (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) belanja pemerintah juga masih di atas Rp24 triliun,” cetus dia. Dia menyebut, sikap rezim Joko Widodo (Jokowi) yang menumpuk utang itu sangat aneh. “Karena, kebijakan utangnya sendiri bisa disebut utang mubazir dilihat dari penyerapnnya itu. Terutama untuk dana perimbangan masih belum optimal,” jelas Bhima. Rezim utang Jokowi ini terlihat dari selama kurang dari tiga tahun sudah menumpuk utang lebih dari Rp1.000 triliun atau per Juni 2017 mencapai Rp3.706,52 triliun. Angka itu naik Rp34,19 triliun dari bulan Mei 2017 yang di posisi Rp3.673,33 triliun. [akt] Defisit 2,92% Tertinggi Sepanjang Sejarah, INDEF: Inilah Rezim Utang Terbesar! SHARE: 15.3K Minggu, 30 Juli 2017 35 Komentar Defisit 2,92% Tertinggi Sepanjang Sejarah, INDEF: Inilah Rezim Utang Terbesar! www.posmetro.info - Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut, kebijakan pemerintah untuk memasang defisit anggaran di APBN Perubahan 2017 di angka 2,92 persen menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah keuangan Indonesia. Atau tepatnya setelah ada UU Keuangan Negara tahun 2003 lalu. “Ini bisa disebut risiko dari pengelolaan fiskal kian membesar. Apalagi penyebab utamanya itu adanya tambahan belanja yang cukup besar dengan penerimaan negara yang terus shortfall, padahal sudah dilakukan tax amnesty,” ujar Bhima kepada Aktual.com, Minggu (30/7). Selain itu, kata dia, karena mulai masuk tahun politik, pemerintah juga menambah subsidi energi. Realisasi belanja subsidi energi sampai Mei 2017 kmarin sudah 41,8%. Untuk BBM bersubsidi 51,9%. Sementara, kata dia, realisasi total penerimaan baru mencapai 33,8% dari target Rp1.748.9 triliun brdasar APBN 2017. “Sehingga, dengan risiko shortfall penerimaan pajak cukup besar di tahun ini makanya defisitnya sampai 2,92 persen. Maka opsi Pemerintah untuk tekan defisit itu yaitu dengan menambah utang secara agresif termasuk lewat SBN rupiah atau valas,” cetus dia. Opsi penambahan utang yang agresif itu, kata dia, justru jadi persoalan baru. Apalagi, realisasi pembiayaan utang juga sudah mencapai 58,9% per Mei 2017. “Tentu saja, agresivitas utang ada risikonya bagi perekonomian, selain beban cicilan kedepannya juga ada resiko crowding out alias perebutan dana di pasar. Dampaknya, perbankan yang paling terkena, bunga kredit sulit turun dan likuiditas mengetat,” jelas dia. Sepertinya, kata dia, agresivitas utang juga akan terjadi hingga 2019 nanti. Makanya outlook pemerintah juga di 2019 itu rasio utangnya akan tembus di atas 32%. “Jadi, kalau pemerintah klaim itu (rasio utang) masih aman di bawah 30% ya cuma tahun ini aja,” ucap Bhima. Bahkan, sebetulnya itu bukan cuma rasio utang saja yang dipersoalkan tapi penggunaan utangnya pun bermasalah. Klaim bahwa utang untuk kegiatan produktif sangat lemah, termasuk untuk infrastruktur. “Faktanya realisasi belanja modal selama dua tahun terakhir hanya mencapai 78-80%. Apalagi penggunaan utang juga terbukti kurang efisien, karena Silpa (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) belanja pemerintah juga masih di atas Rp24 triliun,” cetus dia. Dia menyebut, sikap rezim Joko Widodo (Jokowi) yang menumpuk utang itu sangat aneh. “Karena, kebijakan utangnya sendiri bisa disebut utang mubazir dilihat dari penyerapnnya itu. Terutama untuk dana perimbangan masih belum optimal,” jelas Bhima. Rezim utang Jokowi ini terlihat dari selama kurang dari tiga tahun sudah menumpuk utang lebih dari Rp1.000 triliun atau per Juni 2017 mencapai Rp3.706,52 triliun. Angka itu naik Rp34,19 triliun dari bulan Mei 2017 yang di posisi Rp3.673,33 triliun. [akt] http://www.posmetro.info/2017/07/defisit-292-tertinggi-sepanjang-sejarah.html?m=1 *MENGAPA JOKOWI MENUDING HUTANG MASA LALU?* _Oleh : Ferdinand Hutahaean_ _Rumah Amanah Rakyat_ *Adalah sebuah kegelisahan bagi bangsa ini jika Hutang terus menggunung tanpa jelas hutang tersebut nanti akan dibayar pakai apa dan bersumber dari mana pos pemasukan negara untuk membayar hutang tersebut.* Adalah juga sebuah keniscayaan bagi semua negara untuk berhutang demi kepentingan negaranya. Dan adalah juga sebuah realita setiap bangsa tidak akan lepas dari hutang karena hutang adalah salah satu instrumen untuk mempercepat pembangunan, atau sebuah upaya untuk mengentaskan kemiskinan. *Negara tentu boleh berhutang, yang tidak boleh itu adalah negara berhutang ugal-ugalan tanpa jelas sumber pos pembayarannya dan juga tidak boleh berhutang untuk gagah-gagahan seperti membangun infrastruktur tanpa perencanaan matang dan akurat urgensinya bagi kehidupan masyarakat hingga melupakan membangun Sumber Daya Manusianya sendiri. Melupakan dan mengabaikan pembangunan manusia dan kehidupan manusianya, itu yang tidak boleh.* Fakta bahwa Indonesia telah berhutang sejak negara ini baru terbentuk dari jamam Hindia Belanda hingga menjadi sebuah negara merdeka yang pertama sekali dipimpin oleh Presiden Soekarno. *Hutang perlu untuk menjaga kelangsungan kehidupan manusia dan mebangun bangsa secara perlahan, berpijak kepada kebijakan yang menghitung daya mampu bangsa.* Dari era Soekarno hingga era SBY, hutang diambil oleh negara masih layak kita kategorikan dalam kata wajar, urgen dan peruntukannya jelas. Dan hasilnyapun terlihat, Indonesia saat inilah yang kita nikmati dari hasil semua itu. Hasil kemampuan negara dan hasil dari berhutang. Namun demikian, ada kondisi yang saat ini sungguh menggelitik dan membuat kening berkerut. *Adalah seorang Presiden Republik Indonesia, yang saat ini sedang berkuasa yaitu Presiden Joko Widodo, yang seolah menyalahkan hutang masa lalu menjadi bebannya, dan seolah semua hutang yang ada sekarang adalah akibat hutang masa lalu yang tidak seharusnya dibebankan tanggung jawabnya kepada Jokowi.* Setidaknya itulah kesimpulan pemikiran yang Saya dapatkan dari pernyataan Jokowi dihadapan pengurus Persatuan gereja-Gereja Indonesia (PGI) tanggal 31 Juli 2017 lalu. *Pernyataan yang tidak elok dari seorang Presiden karena terkesan menyalahkan para pemimpin pendahulunya yang sesungguhnya jauh lebih sukses dari kepemimpinan Jokowi saat ini.* Marilah kita sedikit bicara fakta tentang hutang negara kita. Kita tidak akan melihat fakta hutang jauh kebelakang, tapi kita akan mencoba melihat fakta hutang kita sejak kepemimpinan Megawati, SBY hingga Jokowi 3 tahun memerintah. *Megawati mewarsikan hutang negara kepada SBY senilai USD 139,7 Miliar atau sekitar Rp. 1.298 T dengan ratio hutang 56,5%.* Kemudian dalam pemerintahan SBY standing hutang kita adalah sebagai berikut : Tahun 2005 hutang negara USD 133,4 Miliar atau sekitar Rp. 1.311,7 T dengan Ratio hutang 47,% Tahun 2006 hutang negara USD 144,5 Miliar atau sekitar Rp. 1.302,2 T dengan Ratio hutang 39% Tahun 2007 hutang negara USD 147,5 Miliar atau sekitar Rp. 1.389,4 T dengan Ratio hutang 35,% Tahun 2008 hutang negara USD 149,5 Miliar atau sekitar Rp. 1.636,7 T dengan Ratio hutang 33% Tahun 2009 hutang negara USD 169,2 Miliar atau sekitar Rp. 1.590,7 T dengan Ratio hutang 28% Tahun 2010 hutang negara USD 187 Miliar atau sekitar Rp. 1.681,7 T dengan Ratio hutang 24% Tahun 2011 hutang negara USD 199,5 Miliar atau sekitar Rp. 1.809 T dengan Ratio hutang 23% Tahun 2012 hutang negara USD 204,5 Miliar atau sekitar Rp. 1.977,7 T dengan Ratio hutang 23% Tahun 2013 hutang negara USD 204,9 Miliar atau sekitar Rp. 2.375,5 T dengan Ratio hutang 24% Tahun 2014 hutang negara USD 209,7 Miliar atau sekitar Rp. 2.608,8 T dengan Ratio hutang 24% *Dengan fakta diatas, ada penambahan hutang sebesar USD 70 Miliar selama 10 tahun atau rata-rata USD 7 Miliar setiap tahunnya. Dengan penambahan hutang tersebut, Indonesia mampu membangun Infrastruktur Jalan, Bandara, Pelabuhan, Jalan Tol, Alat Utama Sistem Persenjataan TNI, Gaji TNI, POLRI dan PNS naik, membangun sumber daya manusia, membangun kemanusiaan dan memberikan subsidi kepada rakyat baik dalam bentuk BLT, Subsidi BBM, Subsidi Listrik, Sekolah Gratis, Kesehatan dan Beasiswa. Indonesia bahkan tercatat melunasi hutang kepada IMF yang dibuat oleh Presiden Soeharto kala Indonesia krisis ekonomi 1997 dan bahkan hebatnya Indonesia menjadi Investor di IMF sebesar USD 2 Miliar.* Fakta kehidupan ini tentu dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia ditengah kekurangan dan kelebihan serta prestasi pemerintahan SBY selama 10 tahun. Dan tentu, SBY juga setiap tahun dalam APBN pasti menganggarkan membayar Bunga dan Cicilan Pokok Pinjaman hutang negara. Semua beban terukur dan terlaksana tanpa menjadi beban tambahan bagi rakyat. Kemudia pasca presiden SBY menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan kepada Presiden Jokowi, Indonesia pun tetap membutuhkan hutang. *Namun sayangnya, pemerintahan Jokowi berhutang ugal-ugalan hingga dalam 2,5 tahun kepemimpinannya, Jokowi telah menyamai besaran hutang era 10 tahun pemerintahan SBY. Fantastis, luar biasa, padahal Subsisdi dicabut, Listrik, BBM, Gas naik, Bantuan Operasional Sekolah kabarnya berkurang, iuran BPJS naik, rakyat dipajaki sesuak hati oleh pemerintah, infrastruktur belum ada yang selesai karena infrastruktur yang diresmikan oleh Jokowi dalam 2,5 tahun pemerintahannya adalah infrastruktur peninggalan pemeritahan SBY yang memang jadwal penyelesaiannya sedemikian rupa hingga menyeberang ke pemeritahan selanjutnya.* Jadi itu bukan karena mangkrak seperti yang sering di opinikan oleh kelompok tertentu yang tidak suka dengan SBY dan ingin menyenangkan atau minimal membentuk opini bahwa seolah-olah Jokowi sudah sukses dengan infrastruktur. *Logika singkatnya, tidak mungkin infrastruktur besar yang bernilai trilliunan diselesaikan dalam satu tahun. Minimal 2 atau 3 tahun dan jika nilai proyeknya puluhan trilliun dapat dipastikan akan butuh waktu lebih lama mulai dari perencanaan hingga selesai 100% minimal 5 tahun keatas.* Jadi bukan karena mangkrak, tapi emamng jadwal waktunya sudah sedemikian rupa. Sehingga jika ada klaim infrastruktur besar selesai dalm 6 bulan itu hanya ilusi saja dan sebuah kebohongan. *Fakta hutang kita saat ini, di era kepemimpinan Jokowi hingga tahun 2016 menjadi sebesar USD 258,04 Miliar atau setara dengan Rp.3.466,9 T dengan ratio hutang 27,4% naik sekitar 3% dari peminggalan era SBY. Dan pada tahun berjalan 2017 bulan Mei hutang kita berada diangka Rp.3.672,33 T dengan ratio hutang sekitar 28%. Artinya dalam 2,5 pemerintahan Jokowi sudah berhutang lebih dari Rp.1.000 T atau sekitar USD 24 Miliar pertahun, menyamai rekor hutang era SBY 10 Tahun.* *Pertanyaannya, dengan hutang tersebut, apa yang didapat rakyat? Sepertinya rakyat hanya dapat berita ilutif semata tentang infrastruktur. Lantas menaga Jokowi terkesan menyalahkan masa lalu? Bukankah estafet kepemimpinan itu mewarisi segala kebaikan dan kekurangan?* Tidaklah elok menyalahkan masa lalu karena ketidak cakapan masa sekarang. Janganlah karena buruk rupa lantas cermin di yang dibelah. Jakarta, 14 Agustus 2017 http://www.teropongsenayan.com/66409-bank-dunia-tempatkan-utang-indonesia-di-level-bahaya JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Pengamat ekonomi-politik Ichsanuddin Noorsy mengatakan, Bank Dunia telah menempatkan utang luar negeri Indonesia di level bahaya. Sebab, fluktuasinya sudah di atas 30 persen. Ichsanuddin mengatakan hal itu dalam dialektika demokrasi ‘Utang Luar Negeri untuk Siapa?” di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (13/7/2017). Hadir juga sebagai pembicara dalam diskusi ini adalah Anggota Komisi XI DPR RI FPDIP Maruarar Sirait dan Ketua Banggar DPR RI Azis Syamsuddin. Menurut Ichsanuddin, jika beban utang luar negeri suatu negara itu fluktuasinya mencapai 30 %, maka dalam level bahaya. Bank dunia menempatkan Indonesia pada level tersebut, dengan fluktuasi beban utang luar negeri sebesar 34,08%. “Dan, selama negara didekte oleh asing, maka Indonesia sampai 2040 tak akan mampu menghadapi kekuatan asing,” katanya. Negara-negara yang memberi pinjaman kepada Indonesia adalah: Singapura (58 M dollar AS), Jepang (31 M dollar AS), Belanda (11 M dollar AS), Amerika Serikat dan lain-lain. Sementara itu, Maruarat Sirait mengatakan, pemerintah harus lebih realistis dalam menargetkan pertumbuhan ekonomi maupun pajak. Hal ini untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, dan utang luar negeri tidak membebani negara. Pada 2017, target pertumbuhan 5,2 % dan realisasinya 5,1 %, sedangkan penerimaan pajak tidak memenuhi target di level Rp 1.307,6 triliun. “Harus ada keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan target pajak. Memang ekonomi sedang melambat di seluruh dunia, tapi sektor riil ekonomi kecil dan menengah di Indonesia tetap tumbuh dengan baik,” tegas Maruarar. Menurut dia, seharusnya kenaikan pertumbuhan ekonomi diikuti kenaikan pajak. “Kondisi setiap negara memang berbeda-beda. Namun, Jokowi telah membangun pondasi perekonomian jangka panjang yang kuat dengan membangun berbagai insfrastruktur di seluruh Indonesia,” ujarnya. Azis Syamsuddin berpandangan, meski utang luar negeri terus naik, namun rasio utang negara masih aman. (plt) *HARTA CUMA RP2.188 TRILIUN, UTANG RP3.780 TRILIUN* Pemerintah Hitung Ulang Nilai Aset Negara untuk Jaminan Utang. Begitu judul satu media daring pekan silam. Berita yang mengutip Dirjen Kekayaan Negara Issa Rachmatarwata itu antara lain menyebutkan, penghitungan ulang (revaluasi aset) akan dilakukan atas 934.409 barang milik negara (BMN). Jumlah tersebut  terdiri atas 108.000 bidang tanah, 391.000 jalan, irigasi dan jaringan, serta 434.000 gedung. Pemerintah terakhir kali menghitung (BMN) 10 tahun lalu. Hasilnya, total nilai aset negara yang ada sebesar Rp229 triliun. Kemenkeu mencatat BMN yang telah diaudit sampai 2016 mencapai Rp2.188 triliun. Artinya, dalam 10 tahun terakhir terjadi kenaikan nilai BMN hampir 10 kali lipat. Harta itu tersebar di 87 Kementerian dan Lembaga (K/L).  Menyimak angka-angka ini, saya jadi teringat beberapa waktu silam Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) mengatakan kenapa takut utang? Harta kita banyak. Lewat pernyataan yang diajukan dalam bentuk kalimat tanya tadi, dia ingin menepis kekhawatiran banyak kalangan, bahwa Indonesia telah memasuki tahap darurat utang. Maklum, sampai akhir Juli 2017 saja, total utang kita mencapai US$283,72 miliar atau Rp3.780 triliun. *Masih tekor* Numpang tanya bu Menteri, harta kita yang mana yang sampeyan maksud? Yang nilainya Rp2.188 triliun itu? Lha, kalau begitu kita masih tekor, dong. Matematika sederhana menemukan, kalau berutang Rp3.780 triliun dengan mengandalkan harta yang cuma Rp2.188 triliun, artinya masih kurang Rp1.592 triliun. Mosok doktor ekonomi jebolan universitas bergengsi luar negeri seperti anda tidak paham hitung-hitungan amat sederhana ini? Lagi pula, apa Ani, begitu Menkeu biasa disapa, benar-benar yakin bakal menjadikan BMN sebagai agunan berutang? Terus, bagaimana jika ratusan ribu aset negara tadi disita karena kita tidak becus membayar bunga, cicilan, dan pokok utang yang terus menjulang? Pada 2017 saja, APBN kita mengalokasikan anggaran Rp486 triliun hanya untuk membayar utang. Ini adalah porsi terbesar anggaran kita dalam APBN, jauh mengalahkan anggaran pendidikan yang Rp416 triliun dan infrastruktur yang ‘cuma’ Rp387 triliun. Jumlah kewajiban kita terhadap utang tahun depan makin mengerikan saja. Bayangkan, di APBN 2018 dialokasikan Rp399,2 triliun untuk membayar pokok dan cicilan utang. Jumlah tiu diluar Rp247,6 triliun untuk membayar bunga utang. Total jenderal, untuk urusan utang ini Indonesia harus merogoh dalam-dalam hingga Rp646,8 triliun! Bisakah bu Menteri membayangkan, bagaimana nasib birokrasi kita saat gedung-gedung tempat mereka bekerja tiba-tiba menjadi milik para kreditor? Haruskah mereka keluar dari gedung-gedung itu? Lalu, dimana mereka harus bekerja? Di pematang sawah dan di pinggir jalan yang juga sudah menjadi milik kreditor? Atau, mereka tetap bekerja di gedung yang sama tapi tiap bulan harus membayar sewa, membayar service fee, dan berbagai biaya lain? Jangan lupa, Ditjen Kekayaan Negara menyebut, berbagai aset itu juga meliputi satusan ribu ruas jalan, saluran irigasi dan jaringan. Lalu, ketika semua itu pada akhirnya menjadi milik kreditor, bagaimana nasib para petani kita? Apakah mereka harus membayar tiap liter air yang mengairi sawah mereka hanya karena air itu melewati saluran irigasi milik kreditor? Lalu, haruskah rakyat membayar biaya untuk tiap ruas jalan yang mereka lalu, walau jalan itu adalah bukan tol? Na’udzu billahi mindzalik (kami berlindung kepada Allah dari hal demikian)! http://www.kompasiana.com/edymulyadilagi/59ad0cbd9f63cd04cb45c503/harta-cuma-rp2-188-triliun-utang-rp3-780-triliun 📌 *INFO DUNIA ISLAM*📌 *KWIK KIAN GIE KRITIK KEBIJAKAN UTANG JOKOWI* Mediaumat.news – Pakar ekonomi Kwik Kian Gie menilai keadaan utang yang ditanggung negara hingga 2017 ini berbahaya, pasalnya jumlah utang yang ditanggung pun fantastis, dalam 2 tahun rezim Jokowi utang indonesia bertambah hampir 1000 triliun rupiah. “Utang negara sekarang sudah mencapai jumlah yang sangat besar, yaitu sekitar Rp. 3.600 triyun (dibulatkan). Ketika Jokowi disumpah sebagai Presiden, utang negara sebesar sekitar Rp. 2.600 triliun. Dalam waktu 2 tahun dia menambah utang sebesar Rp. 1.000 trilyun atau sebesar 38,46 %. Ini peningkatan yang luar biasa dalam waktu 2 tahun saja,” ungkap Kwik kepada  Mediaumat.news. Keadaan negara sangatlah berbahaya, Kwik menilai bahwa ini akibat dari Negara yang dipaksa melakukan liberalisasi sejauh mungkin. “Ini dilakukan yang tercermin dari perkembangan perundang-undangan kita dalam bidang ekonomi sejak terbitnya UU no. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Baca buku karangan saya yang berjudul “Nasib Rakyat Indonesia dalam era Kemerdekaan,” ujarnya. Pada akhirnya dalam keadaan negara terlilit utang, Kwik mengatakan rakyat Indonesia akan menjadi korban, rakyat akan semakin dipersulit dengan pajak dan sebagainya. “Sangat benar bahwa rakyat diperas oleh pemerintah sekarang, sebagai contoh melalui pajak. Pembiayaannya utang. Utang ini dibayar dari APBN yang 90 % dari pajak, di sinilah letak pemerasan kepada rakyat dalam memungut pajak yang lebih besar dengan berbagai macam cara dan ancaman-ancaman,” jelas Kwik. Kwik juga berpendapat bahwa utang negara saat ini akibat dari ambisi Jokowi dalam bidang infrastruktur yang kebablasan. “Menurut saya agak ngawur. Intinya, infrastruktur dibangun tanpa perhitungan apakah ada yang akan menggunakannya? Di mana-mana dibangun jalan tol yang mahal tanpa perhitungan. Apakah kalau sudah jadi akan ada yang memakai? Ada ruas di Papua yang kalau jadi, jumlah mobil di wilayah itu hanya 500 buah. Jangan lupa bahwa kalau infrastruktur terbangun, harus keluar banyak uang untuk pemeliharaan (maintenance),” tegas Kwik. Kwik menyarankan agar Rezim Jokowi bisa memperhitungkan segala sesuatunya dengan baik. Bukan hanya pencitraan semata. ‘Pembangunan dilakukan dengan perhitungan yang matang tentang biaya dan manfaatnya (cost benefit ratio). Jangan asal pencitraan saja,” pungkasnya. []Fatihsholahuddin https://mediaumat.news/kwik-kian-gie-kritik-kebijakan-utang-jokowi/

KEMISKINAN ERA REZIM JOKOWI

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/07/17/195907926/kemiskinan-makin-dalam-dan-kian-parah- JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pusat Statistik (BPS) membeberkan, indeks kemiskinan di Indonesia semakin dalam dan semakin parah selama periode September 2016 -  Maret 2017. Kepala BPS Suharyanto mengatakan, indeks kedalaman kemiskinan pada Maret 2017 mencapai 1,83, naik dari September tahun lalu yang hanya 1,74. "Kalau indeks kedalaman (kemiskinan) naik, maka tingkat kemiskinan semakin dalam," ujarnya di Jakarta, Senin (17/7/2017). Selain itu tuturnya, indeks itu juga menggambarkan jarak antara pengeluaran penduduk miskin dan garis kemiskinan akan semakin jauh sehingga kemiskinan akan semakin sulit untuk dientaskan. Sementara itu, indeks keparahan kemiskinan juga mengalami kenaikkan dari 0,44 pada September 2016 menjadi 0,48 pada Maret 2017. Dibandingkan dengan Maret 2016, indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan mengalami kenaikan di perkotaan, dan menurun di pedesaan. Pada Maret 2017, indeks kedalaman kemiskinan di perkotaan mencapai 1,25, naik dari Maret 2016 yang sebesar 1,19. Adapun indeks keparahan kemiskinan di perkotaan Maret 2017 0,31, naik dari Maret 2016 yang sebesar 0,27. Sejumlah faktor menjadi penyebab tingkat kemiskinan semakin dalam dan parah. Tingkat inflasi September 2016 - Maret 2017 mencapai 2,24 persen. Sementara inflasi Maret 2016 ke Maret 2017 sebesar 3,61 persen. Di sisi lain, upah riil petani dan buruh bangunan per hari yang tumbuh tidak tinggi tergerus oleh inflasi yang tinggi. Faktor lainnya yaitu terjadi keterlambatan dalam distribusi beras sejahtera pada Januari, Februari, dan Maret 2017. Total jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 27,77 juta orang pada Maret 2017. Angka ini naik sekitar 6.900 orang dibandingkan September 2016.

Prabowo: Orang Miskin Ada 26 Juta, Bakal Miskin 69 Juta

Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto
Prabowo: Orang Miskin Ada 26 Juta, Bakal Miskin 69 Juta
  Jumat, 29 Juni 2018 09:09 WIB
Jakarta, HanTer — Kritik yang disampaikan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto terhadap pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut saat ini jumlah orang miskin mencapai 27 juta, bakal miskin 60 juta. Prabowo  juga menyebut harta 4 orang kaya sama dengan 100 juta orang miskin.

Terkait kritik ini, Ketua Perhimpunan Masyarakat Madani (Prima) Sya'roni mengatakan kritik yang disampaikan Prabowo hal wajar. “Kelemahan pemerintahan Jokowi adalah  kemiskinan dan lebarnya angka kesenjangan antara orang miskin dan orang super kaya," kata Syaroni kepada Harian Terbit, Rabu (27/6/2018).

Syaroni menegaskan, kritik Prabowo itu menunjukan bahwa pembangunan infrastruktur tidak mampu mengangkat pertumbuhan ekonomi. Buktinya selama kepimpinan Jokowi pertumbuhan ekonomi tidak beranjak dari 5 persen. Maka dengan pertumbuhan ekonomi yang hanya 5 persen maka akan sulit mengurangi angka kemiskinan yang ada di Indonesia.

Dia juga menegaskan, tidak mungkin juga Prabowo yang sekelas ketua umum parpol berbicara dengan menggunakan data tidak valid dalam mengkritik Jokowi. Contoh terkait kemiskinan bahwa data yang disajikan oleh Prabowo sudah tepat. Angka orang miskin yang mencapai 27 juta orang itu merujuk data BPS tahun 2017. Sementara angka kemiskinan yang mencapai 60 juta itu merujuk pada perhitungan kemiskinan bila menggunakan standar Bank Dunia.

Sementara itu, Kepala Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum DPP Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean, berpendapat pemerintah tak perlu reaktif atas Prabowo. Kritik-kritik Gerindra disebut wajar sebagai pihak oposisi (non-pendukung pemerintah).

"Kritik yang disampaikan oleh Prabowo kepada pemerintah adalah sah dalam posisinya sebagai warga negara. Apa yang disampaikan oleh Prabowo ya wajar saja sebagai partai yang berada di luar pemerintahan atau yang sering disebut sebagai oposisi," ujar Ferdinand.

Dia meyakini Prabowo tak asal bicara soal kritik yang disampaikan dengan video pidato di Facebook itu. Ferdinand berharap Prabowo dan pemerintah bisa adu data.

Prabowo mengkritisi ketimpangan pendapatan yang terjadi di Indonesia. Menurut Prabowo, berdasarkan data rasio Gini yang merupakan indikator ketidakmerataan pendapatan penduduk, angka rasio Gini Indonesia ada di angka 45.

"Menurut lembaga-lembaga internasional, sekarang ini Gini ratio kita kurang lebih 45. Jadi, satu persen rakyat kita menguasai 45 persen kekayaan bangsa Indonesia. Ini dari bank internasional yang menilai itu," ujar Prabowo saat memberi pidato di rumah dinas Ketua MPR Zulkifli Hasan di Kompleks Widya Chandra, Jakarta Selatan, Senin (25/6).

Selain itu, Prabowo mengatakan indikator ketimpangan penduduk yang kaya dan miskin di Indonesia. Berdasarkan data bahwa ada empat individu yang kekayaannya jika ditotal lebih dari 100 juta rakyat Indonesia. Itu, kata Prabowo, menunjukkan ketimpangan yang tidak sehat di negara Indonesia.

Ia melanjutkan, dari Badan Pusat Statistik (BPS) juga terungkap, selain 26 juta orang tergolong miskin, masih ada 69 juta orang lagi terancam miskin dengan garis kemiskinannya Rp 387 ribu per bulan. "Bayangkan, saudara-saudara, ada rakyat kita yang hidup dengan 387 ribu. Kalau yang hampir miskin adalah 580 ribu rupiah," ujarnya.

(Safari

STRATEGI REZIM JOKOWI: PENGGUNAAN KEKUASAAN DAN KEKERASAN ADMINISTRATIF

Masalah Rezim Jokowi kini adalah terus mengalami penggerusan atau penurunan elektabilitas menjelang Pilpres 2019. Survei Kompas April 2017 menunjukkan elektabilitas Jokowi 41,6 persen. Sebelumnya Menko Maritim melaporkan, elektabilitas Jokowi di atas 50 persen. Padahal pesaing nyata belum muncul mempengaruhi rakyat untuk memilih. Jokowi satu2nya dipercaya publik akan tampil lagi sebagai Capres Pilpres 2019 mendatang. Waktu pemungutan suara masih dua tahun lagi. Relatif masih panjang waktu bagi Jokowi mempertahankan elektabilitas jika mampu dan berhasil. Kini fakta jelas menunjukkan, kekalahan Ahok dlm Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu pada hal didukung Rezim Jokowi dan Parpol2 pendukung Jokowi seperti PDIP, Golkar, Hanura, Nasdem, PKB bahkan PPP. Pada Pasca Pilgub DKI, baik melalui hasil survei maupun sosmed dan media massa kecenderungan penggerusan itu atau penurunan elektabilitas Jokowi semakin terlihat dan menjadi realitas obyektif. Diperkirakan telah di bawah 40 persen menuju 30 persen, suatu kondisi "lampu merah" atau kekalahan Jokowi pada Pilpres 2019. Sebagai pemegang kekuasaan negara, Rezim Jokowi pasti berusaha mempertahankan kekuasaan melalui Pilpres 2019 mendatang. Sementara mereka menyadari menurunnya elektabilitas terus menerus. Di lain pihak, tak mampu meningkatkan kondisi kinerja urusan sosial ekonomi atau perekonomian nasional. Indikatornya, beragam subsidi buat rakyat dicabut dan tingkat pertumbuhan tetap sekitar 5 persen, padahal janji kampanye Jminimal 8 persen. Utang pemerintah terus meningkat dan mendapat kecaman dari kelas menengah perkotaan. Bank Dunia menyatakan, Indonesia hadapi masalah serius dan sulit: 1. Inflasi tinggi 2. Daya beli masyatakat turun.. Pertumbuhan ekonomi hanya sekitar 5 persen. Itupun ditopang tambahan utang pemerintah lebih 1.000 triliun dalam 2,5 tahun terakhir . BPS menekankan, tingkat kemiskinan semakin dalam. Kemiskinan semakin sulit untuk dientaskan. Total jumlah penduduk miskin mencapai 27,77 juta orang pada Maret 2017. Angka ini naik sekitar 6.900 orang dibandingkan September 2016. Juga dibeberkan, indeks kemiskinan semakin dalam dan semakin parah selama periode September 2016 -  Maret 2017. Menaik 1,83, dari September tahun lalu (hanya 1,74). Indeks keparahan kemiskinan juga mengalami kenaikan dari 0,44 pada September 2016 menjadi 0,48 pada Maret 2017. Bahkan, Rezim tak mampu merealisasikan lebih 100 janji kampanye Pilpres 2014 lalu. Alias, "Inkar Janji". Untuk memecahkan permasalahan terus menurunnya elektabilitas Jokowi ini, Rezim membuat kebijakan dan strategi penggunaan kekuasaan negara dan kekerasan "administratif", bukan kekerasan "fisik". Langkah pertama melakukan kriminalisasi terhadap aktivis dan Ulama oposisi atau anti Rezim. Kriminalisasi dimaknakan dengan menggunakan lembaga penegak hukum, Aktivis dan Ulama ditangkap dan dijadikan Tersangka. Ada tidak ditangkap dan dijadikan Tersangka. Bahkan, ada ditangkap dan ditahan hingga tiga bulan, dijadikan Tersangka tanpa pengadilan. Ada juga ditangkap, diarahkan dan dipenjarakan serta diadili, divonis atas semula tuduhan Makar berubah menjadi melanggar UU ITE. Kriminalisasi juga berlaku terhadap kaum Nasionalis seperti Rachmawati Sukarnoputri, Ratna Sarumpaet, Sri Bintang Pamungkas, Kivlan Zein, Adityawarman, Eko, Rizal Ijal, Jamran, Ki Gendeng Pamungkas, Buni Yani, Ahmad Dhani, Muhammad al Khaththath, Zainudin Arsyad, Bambang, Diko Nugraha, Ustadz Alfian Tanjung, Ropi Yasmant, Faisal M Tonong, Sri Rahayu Ningsih, Hatta Taliwang, Prof. Tamim Pardede, Bambang Tri, dll. Kriminalisasi berlaku terhadap Mereka dalam dalam beragam tuduhan termasuk "makar" dan melanggar UU ITE. Sementara Amien Rais disebutkan di pengadilan Tipikor secara terbuka telah menerima aliran dana korupsi. Langkah kedua, mengakomodir atau memfasilitasi kelompok Islam politik baik dengan iming2 rekonsiliasi maupun bantuan atau kerjasama ekonomi. NU telah mendapatkan pengakuan dan kebijakan Rezim untuk menyalurkan Rp. 1,5 triliun antara lain untuk permodalan usaha ultra mikro ekonomi. Bagaimanapun, pemberian bantuan Rezim ini diharapkan sikap NU mau mendukung Rezim dan juga warga NU diharapkan memberi suara kepada Jokowi pada Pilpres 2019. Melalui bantuan ini diharapkan dapat mendongkrak elektabilitas Jokowi. Langkah ketiga, penerbitan Perppu No. 2 Tahun 2017 ttg Ormas agar Rezim mudah membubarkan Ormas yang oposisi terhadap Rezim sembari menggiring supaya tidak oposisi secara terbuka. Perppu ini merupakan keputusan politik untuk mengendalikan perilaku politik Ormas. Nantinya, Ormas mendukung Rezim atau minimal tidak menjadi kekuatan oposisi. Perppu itu merupakan instrumen kekerasan administratif terhadap Ormas sehingga, tidak menjadi oposisi terhadap eksistensi dan kebijakan Politik saat ini. Dengan Perppu ini, Rezim tidak perlu menunggu atau bergantung pada proses peradilan untuk membubarkan Ormas. Rezim memberi izin sekaligus Rezim pula mencabut izin tsb. Alasan pembubaran Ormas semata-mata dibuat Rezim, bukan para hakim di pengadilan. Akibatnya, Ormas takut mengecam dan mengkritisi Rezim sehingga bisa hentikan kekuatan oposisi menggerus elektabilitas Jokowi. Hanya beberapa hari Perppu diterbitkan, Rezim langsung membubarkan Ormas Islam HTI. Secara sepihak 19 Juli 2017 Kemenhumkan resmi tanpa proses peradilan mencabut status badan hukum HTI disertai pembubaran ormas berstatus badan hukum perkumpulan itu. Kewenangan Rezim membubarkan HTI ini diberikan Perppu No. 2 Tahun 2017 tsb. Langkah keempat, pemblokiran aplikasi sosmed Telegram supaya tidak bisa digunakan untuk kampanye publik oposisi terhadap Rezim. Tidak hanya Telegram, Rezim juga menyatakan, jika terpaksa harus ditutup, akan memblokir media sosial lain seperti Youtube, Facebook dsb. Diduga Rezim akan memblokir juga WA, Twiter, dan Facebook jika aplikasi2 ini digunakan oleh kekuatan oposisi atau anti Rezim untuk mempengaruhi rakyat pemilih agar elektabilitas Jokowi tergerus dan kalah pada Pilpres 2019. Langkah Rezim memblokir Telegram sebagai langkah kemunduran teknologi di tengah kemajuan zaman.Seyogyanya jika Rezim memang miliki keluhan soal konten, tentu bisa langsung disurati ke Telegram. Tapi, faktanya menurut CEO Telegram, belum menerima permintaan resmi dari Indonesia. Banyak kerugian dialami masyarakat jika Telegram dan aplikasi media sosial ditutup dari segi pertumbuhan ekonomi. Al. UMKM banyak merugi, dan omset pedagang online menurun signifikan. Rezim tak peduli dampak negatif terhadap pendekatan masyarakat dari pemblokiran Telegram ini. Langkah kelima, bertahan agar ketentuan Presidential Threshold (PT) berlaku pada RUU di DPR. Rezim berjuang agar PT 20-25 persen. Hal ini dimaksudkan agar tidak muncul pesaing banyak (Capres) dan dinilai memiliki kompetensi jauh lebih bagus ketimbang Jokowi. Ada dugaan, jika berhasil hanya 20-25 persen, maka Rezim percaya, pesaing Jokowi paling berat pada Pilpres 2019 hanya Prabowo. Jokowi pernah kalahkan pada Pilpres 2014 lalu. Seorang pakar hukum mengkritik, penerapan PT ini sebagai permainan politik partai besar dan konspirasi jahat untuk menghalangi peluang bagi munculnya Capres lain di luar dirinya. Bahkan, ada tudingan terbuka di publik bahwa Rezim mempertahankan angka 20-25 persen ini untuk menggagalkan Prabowo sebagai Capres dan Calon Tunggal, hanya Jokowi semata. Tudingan ini mendapat bantahan dari Rezim, yakni Menko Polhukam dan Mendagri. Akhirnya, Rezim berhasil. Rapat paripurna DPR secara aklamasi memutuskan pengesahan RUU Pemilu, (21/7) dini hari, menetapkan ambang batas pemilihan presiden sebesar 20% dari kursi DPR atau 25% suara sah nasional pemilu legislatif. Parpol dapat mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden jika menduduki setidaknya 20% kursi DPR. Pengesahan ini diwarnai Walk Out Fraksi Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN. Total anggota hadir 538 orang, pendukung keputusan ini 322. Di masa mendatang, khususnya menjelang Pilpres 2019, Kita akan terus menghadapi dan menemukan langka2 Rezim sebagai strategi penggunaan kekuasaan negara dan kekerasan administratif dalam rangka meningkatkan elektabilitas Jokowi dan kemenangan pada Pilpres 2019. Pertanyaan pokok kini: apakah Rezim akan berhasil melaksanakan strategi dimaksud ? Saya memperkirakan, strategi ini justru kontraproduktif terhadap upaya peningkatan elektabilitas Jokowi. Semula paling intens kelompok Islam poIitik bersikap oposisi, kini kekuatan kelas menengah perkotaan bukan Islam politik juga kian bersikap oposisi. Mengapa? Pertama, Rezim Jokowi belum mampu dan berhasil membuktikan prestasi urusan pemerintahan/negara, terutama bidang sosial ekonomi atau perekonomian. Pada hal waktu kekuasaan Rezim tinggal dua tahun lagi. Kedua, penerbitan Perpu Ormas telah mengancam eksistensi ormas kelas menengah perkotaan juga, baik dalam bentuk Yayasan maupun Perhimpunan. Mereka sudah menyadari, penerbitan Perppu itu bukan semata untuk HTI, tetapi semua Ormas suka mengkritik penyelenggara negara. Berbagai perguruan tinggi, Yayasan, NGO's dan pakar hukum telah mengecam dan menuntut Perppu tsb dicabut dan ditolak DPR. Mereka ini tergolong dari kelas menengah perkotaan. Bagaimanapun, penerbitan Perppu bisa merubah sikap Ormas non Islam politik pendukung Jokowi menjadi meragukan dan mempertimbangkan tak lagi mendukung Jokowi pada Pilpres 2019. Salah satunya, Ormas buruh KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia). Melalui akun resmi di twiiter @FSPMI_KSPI, KSPI mengadakan polling ttg Perppu Ormas. Hasilnya, 92% pengguna twitter menolak Perppu Ormas, dan hanya 6% menerima, dan 2 persen menjawab tidak tahu. Polling ini diikuti 12.977 responden. Rata2 berkomentar, Perppu Ormas berpotensi membahayakan demokrasi dan kebebasan berserikat di kalangan buruh. Dapat diperkirakan, terus menurunnya elektabilitas Jokowi ini diperkuat bertambahnya aktor dan kelompok aksi kelas menengah perkotaan mengkritik dan mengecam Rezim karena kebijakan dan strategi penggunaan kekuasaan negara berdasarkan kekerasan administratif ini, antara lain penerbitan Perppu Ormas dan pemblokiran aplikasi Telegram yang merugikan kepentingan pelaku UMKM dan pengguna aplikasi Telegram (pedagang online). Dilaporkan di beberapa portal sosmed, reaksi publik cukup negatif terhadap Jokowi segera setelah penerbitan Perppu Ormas dan pemblokiran Telegram. Pertama, hestek #BlokirJokowi jadi Trending Topik. Baru kali ini rakyat memblokir Presiden. Ternyata warganet bahkan beramai-ramai melaporkan akun resmi Jokowi ke pihak twitter. Kebijakan Rezim Jokowi tidak dibeli atau bahkan ditolak masyarakat. Rezim merugi karena barangnya tidak laku dijual. Rezim seperti ini dalam alam demokrasi tentu tidak akan dipilih lagi pada pemilihan berikutnya. Rezim ini tidak inovatif, menjual kebijakan tak laku dan tak enak dinikmati rakyat. Kedua, hasil Polling Twitter terbaru menunjukkan, 85% responden menyatakan "tidak akan" memilih Jokowi jika maju kembali dalam Pilpres. Jika Pilpres dilakukan hari ini dan nama Jokowi ada di surat suara, akankah anda memilihnya? Demikian pertanyaan dalam Polling Twitter digelar 15-16 Juli 2017. Hasilnya? Dari 11.924 responden, 85% menjawab " tidak", hanya 15% menjawab "ya". Karena itu, adalah masuk akal pendapat, realitas obyektif menunjukkan, semakin menurunnya elektabilitas dan sangat mungkin Jokowi gagal meraih kembali kekuasaan negara pada Pilpres 2019. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

Minggu, 16 Juli 2017

MENGAPA PERPPU ORMAS DITOLAK?

I. Muchtar Effendi Harahap: Perppu-Ormas-Bertentangan-dengan-Prinsip-Demokrasi: REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2/2017 tentang organisasi kemasyarakatan (Ormas) dianggap sebagai keputusan politik untuk mengendalikan perilaku politik Ormas. Nantinya, Ormas-Ormas mendukung pemerintahan atau minimal tidak menjadi kekuatan oposisi. "Dengan perkataan lain, Perppu itu merupakan instrumen kekerasan administratif terhadap Ormas sehingga, tidak menjadi oposisi terhadap eksistensi dan kebijakan Politik saat ini," ujar Pengamat Politik Muchtar Effendi dari Network for South East Asian Studies (NSEAS) kepada Republika.co.id, Kamis (13/7). Menurutnya, dengan Perppu ini, pemerintah tidak perlu menunggu atau bergantung pada proses peradilan untuk membubarkan Ormas. Pemerintah yang memberi izin atau legalitas sekaligus yang mencabutnya. "Alasan pembubaran Ormas semata-mata dibuat pemerintah, bukan para hakim di pengadilan. Dari perspektif demokratisasi, keputusan politik Perppu ini bertentangan dengan prinsip partisipatif dan penegakkan hukum," ujar dia. Dengan begitu, kata Muchtar, kebenaran dan obyektivitas hanya ada pada Pemerintah yang berkuasa. Pemerintahlah penentu baik-buruk serta melanggar atau tidak Ormas dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan. "Intinya, Perppu ini sangat bertentangan dengan prinsip demokrasi," kata Muchtar. Soal ancaman hukuman seumur hidup yang ada pada Perppu tersebut, Muchtar menyebutkan, ancaman hukuman tersebut tidak rasional, tidak realistik, dan tidak relevan.  II. PERNYATAAN SIKAP PUSAT STUDI KEBIJAKAN NEGARA (PSKN) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN ATAS DITERBITKANNYA PERPPU ORMAS Pemerintah telah menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) dengan alasan bahwa UU Ormas tidak memberikan kewenangan yang cukup untuk dapat mengenakan sanksi yang efektif kepada Ormas yang dianggap bertentangan dengan pancasila dan undang-undang dasar 1945. Berkenaan dengan alasan tersebut, Pusat Studi Kebijakan Negara (PSKN) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran menyatakan bahwa Perppu Ormas Tidak Memenuhi Syarat Konstitusional dan Mengancam Demokrasi! Pernyataan ini didasarkan atas tiga hal sebagai berikut: 1. Penerbitan Perppu Ormas tidak memenuhi unsur hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-VII/2009. Dalam hal ini PSKN berpendapat bahwa Pemerintah tidak memiliki hambatan-hambatan yang nyata untuk mengubah UU Ormas melalui prosedur yang normal. 2. Perppu ormas secara substansial melakukan pembatasan-pembatasan terhadap hak berserikat, dan hak berpendapat warga negara dan menghilangkan kewenangan pengadilan untuk menilai tindakan Ormas dan tindakan represif pemerintah. Oleh karena itu, Perppu ormas berpotensi melanggar prinsip due process of law yang menjadi prinsip dasar dari konsep negara hukum. 3. Perppu merupakan produk hukum yang memiliki unsur kediktatoran karena dapat langsung berlaku tanpa melalui persetujuan DPR. Oleh karena itu, PSKN berpendapat bahwa materi muatan perppu hanya dapat mengatur hal-hal yang bersifat urusan pemerintahan dan tidak dapat mengatur hal-hal yang bersifat ketatanegaraan, termasuk mengatur atau membatasi hak asasi manusia. Atas pertimbangan di atas, kami mendorong DPR untuk secara tegas menolak Perpu tersebut pada masa sidang berikutnya. PSKN juga turut mengingatkan kepada Pemerintah untuk kembali menaati UUD 1945 dan asas-asas hukum yang berlaku umum demi menjaga demokrasi dan hak asasi manusia. Pengabaian asas-asas hukum sebagaimana telah dinyatakan di atas dapat menjadikan Pemerintah sebagai rezim yang represif yang telah ditolak oleh bangsa Indonesia melalui gerakan reformasi. Ketua Pusat Studi Kebijakan Negara (PSKN) FH Unpad Dr. Indra Perwira, S.H., M.H. Contact: 08112285840 III.Prof. DR. H. Syaiful Bakhri, SH, MH – Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta: Perppu Ormas, Jalan Pintas yang Tidak Pantas | 14 Juli 2017 Empat tahun lalu, ketika kami mengajukan permohonan pengujian UU Ormas atas kuasa Persyarikatan Muhammadiyah menegaskan pertama, adanya pengkerdilan makna kebebasan berserikat melalui pembentukan UU Ormas. Kedua,adanya pembatasan kemerdekaan berserikat yang berlebih-lebihan melalui UU Ormas. Ketiga, banyak pengaturan yang tidak memberikan kepastian hukum, dan keempat, nampak turut campur pemerintah dalam penjabaran kemerdekaan berserikat. Putusan bernomor 82/PUU-XI/2013 ini, menetapkan soal hasil permohonan uji materi Pasal 1 Angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30 ayat (2), Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 58, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 58, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3). ‎Hasilnya, MK mengabulkan sebagian permohonan yang dikabulkan yakni Pasal 5, Pasal 8, Pasal 16 ayat (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 34, Pasal 40 ayat (1), dan Pasal 59 ayat (1) huruf a. Dari ketentuan ini MK jelas telah melakukan purifikasi secara menyeluruh berkenaan dengan UU Ormas. Dalam proses persidangan ketika itu Pemohon jelas memohon kepada Mahkamah untuk meninjau seluruh norma dalam UU Ormas yang juga terdampak apabila norma hasil pengujian mengakibatkan tidak berjalannya segala ketentuan dalam UU Ormas. Selang empat tahun kemudian, dibawah pemerintahan Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu No 2 Tahun 2017 tentang perubahan UU Ormas. Perubahan yang pada pokoknya hendak menerapkan asas contrarius actus dalam hal pembubaran ormas menunjukan bahwa ketidakpahaman Pemerintah terhadap kontsruksi UU Ormas dan masalah yang mendasar didalamnya menjadikan pembentukan Perppu ini tidak relevan. Kami menganggapnya ini sebagai sebuah jalan pintas semata, kehendak untuk memudahkan kekuasaan dalam intervensi kebebasan berserikat menjadi satu-satunya yang tampak dalam penerbitan perppu ini. Perihal prosedur pembuatannya yang dianggap tidak memenuhi syarat, kami merasa tidak perlu membahasnya, karena telah banyak uraian yang menjelaskan mengenai itu. Kami lebih tertarik dengan penghapusan segala macam mekanisme due process of law dalam pembubaran ormas karena memang itu yang menjadi pokok dalam perppu ini. Penghilangan mekanisme peradilan dalam pembubaran ormas menunjukan bahwa UU ini tidak menjamin dilindunginya kebebasan berserikat melainkan mengancamnya. Disatu sisi, penghapusan ketentuan perlunya Peringatan terhadap ormas yang dianggap melakukan hal-hal yang dilarang menunjukan bahwa pemerintah menghilangkan tujuan pembinaan yang sebelumnya justru menjadi ruh dalam Pembentukan UU Ormas 2013, terlepas isu “Pembinaan” dianggap sebagai kepentingan terselubung, Perppu Ormas meletakkan ormas sebagai musuh yang setiap waktu dapat dibasmi. Selain itu, munculnya ketentuan Pidana pasal 82A dalam Perppu ini yang menentukan bahwa seseorang dapat dipidana dikarenakan sengaja secara langsung atau tidak langsung menjadi anggota ormas yang terlarang maka diancam pidana paling lama 1 tahun merupakan ketentuan delik yang menurut hemat kami aneh bin ajaib. Sejatinya rumusan norma pidana perlu merumuskan perbuatan yang dilarang sedangkan ketentuan yang termaktud didalamnya tidak menyangkut perbuatan apa yang dilarang. Sedangkan ketentuan tersebut memberikan ancaman pidana bagi seseorang yang menjadi anggota ormas yang dianggap terlarang. Terlepas berbagai kekonyolan pengaturan yang diatur yang diharapkan sebagai jalan pintas, bagi saya Perppu tersebut merupakan solusi yang tidak pantas. Seharusnya pemerintah fokus dalam merealisasikan pengesahan KUHP dan KUHAP yang baru dan modern. Fokus bernegara yang menisbikan penegakkan hukum yang adil jelas akan membawa malapetaka, apabila tidak segera direnungkan | red-03 | IV. TEMPO.CO Potensi Bahaya Perpu Ormas JUM'AT, 14 JULI 2017 | 00:13 WIB PEMERINTAH telah melakukan langkah keliru dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat. Alasan kegentingan yang melatari penerbitan perpu tersebut patut dipertanyakan, selain kehadirannya yang berpotensi mengekang demokrasi dan hak asasi warga negara. Perpu yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 10 Juli lalu itu memuat perubahan signifikan atas Undang-Undang Ormas. Secara hukum, penerbitan perpu ini tak salah karena diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Namun, dari segi obyektivitas dan substansi, banyak persoalan di dalamnya. Faktor "kegentingan yang memaksa", yang menjadi prasyarat penerbitan perpu tersebut, bisa dipersoalkan. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menilai kegentingan itu sudah terpenuhi. Sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 139/PUU-VII/2009, perpu bisa diterbitkan bila undang-undang yang ada tak lagi memadai dan pembuatan aturan baru memakan waktu lama. Namun klaim itu lemah. Pemerintah bahkan bisa dianggap hanya mencari jalan pintas. Situasi saat ini tak mencerminkan kegentingan. Tidak ada ormas di Indonesia yang secara nyata dan jelas melakukan gerakan yang mengancam kedaulatan negara. Kekosongan hukum juga tak tecermin di masyarakat. UU Ormas sudah memberi ruang bagi pemerintah untuk melakukan penertiban, termasuk pembubaran organisasi masyarakat lewat pengadilan. Karena itu, sepantasnya Dewan Perwakilan Rakyat mencabut perpu ini saat membahasnya dalam masa persidangan berikutnya, sekitar September mendatang. Salah satu pasal krusial dalam perpu ini mengatur penyederhanaan mekanisme proses pembubaran ormas. Peringatan tertulis untuk organisasi melanggar, yang semula ditetapkan tiga kali, dalam perpu dipangkas jadi sekali. Aturan baru ini juga memberi kewenangan kepada pemerintah untuk langsung membubarkan ormas tanpa meminta pertimbangan Mahkamah Agung dan menunggu putusan pengadilan, seperti diatur dalam undang-undang lama. Prosedur baru ini memberi kewenangan tanpa batas kepada pemerintah. Hal itu rawan disalahgunakan untuk membungkam dan membubarkan ormas yang kritis terhadap pemerintah. Pemerintah tak secara spesifik menyebutkan ormas yang jadi sasaran perpu ini. Tapi hal itu tak sulit ditebak. Pada Mei lalu pemerintah menyatakan akan membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang dianggap mengancam ideologi negara lantaran mengumandangkan tegaknya kepemimpinan Islam sejagat (khilafah), yang bertentangan dengan Pancasila. Tak mengherankan bila begitu perpu terbit, kuasa hukum HTI, Yusril Ihza Mahendra, langsung menyatakan akan mengajukan judicial review. Langkah menempuh jalur hukum itu pantas didukung. Hal tersebut bisa menjadi solusi terbaik sebelum DPR mencabut perpu itu. https://m.tempo.co/read/opiniKT/2017/07/14/14078/potensi-bahaya-perpu-ormas V.Menguji Ketepatan Asas Contrarius Actus dalam Perppu Ormas: Tanpa harus menegaskan asas contrarius actus, setiap pejabat yang menerbitkan keputusan dapat secara langsung membatalkan keputusan yang telah dikeluarkan. Rofiq Hidayat Polemik terhadap penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2017  tentang Perubahan UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) terus menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Menariknya, ada penggunaan asas contrarius actus yang dijadikan dasar pijakan pemerintah dalam menerbitkan Perppu Ormas ini.   Dalam hukum administrasi negara asas contrarius actus adalah ketika suatu badan atau pejabat tata usaha Negara menerbitkan keputusan tata usaha negara dengan sendirinya juga (otomatis), badan/pejabat tata usaha yang bersangkutan yang berwenang membatalkannya. Hal ini sebagaimana termuat dalam Pasal 61 Perppu Ormas. Baca Juga: Perppu Ormas Dinilai Tidak Penuhi Syarat Kegentingan yang Memaksa   Anggota Koalisi Kebebasan Berserikat (KBB) Ronald Rofiandri mengatakan ketiadaan asas contrarius actus dalam UU Ormas menjadikan landasan pemerintah menerbitkan Perppu. Sebab, ketidaan asas contrarius actus dalam UU Ormas dipandang pemerintah menjadi tidak efektif dalam menerapkan sanksi terhadap Ormas yang menganut, mengembangkan, dan mengajarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.   Dengan adanya asas contrarius actus dalam Perppu Ormas ini, pihak Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) memiliki kewenangan tak terbatas dalam memberi izin dan mencabut status badan hukum ormas. “Kewenangan tersebut justru berbahaya dan tidak dibenarkan secara hukum. Sebab, pemberian status badan hukum tidak sekedar berhubungan dengan keabsahan administratif, tetapi juga membentuk subyek hukum baru,” ujar Ronald melalui keterangan tertulis di Jakarta.   Sejatinya, kata dia, mekanisme pencabutan hak dan kewajiban melekat pada subjek hukum mesti dilakukan melalui putusan pengadilan. Dia mencontohkan pencabutan hak dan kewajiban badan hukum lain yang melibatkan lembaga peradilan, seperti pernyataan pailit suatu perseroan terbatas (PT) mesti diajukan ke pengadilan niaga atau pembubaran partai politik melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK).   Menurut Ronald, konsekuensi perubahan status badan hukum tersebut berimplikasi ormas tidak diizinkan melakukan kegiatan apapun secara sepihak. Sebab, pengambilan keputusan penghentian segala aktivitas kegiatan ormas dilakukan tidak secara objektif dan diimbangin dengan otoritas lembaga yudikatif. Hal tersebut berdampak potensi diskresi yang sewenang-wenang dalam melakukan penghentian kegiatan ormas.   Ronald yang juga menjabat Direktur Monitoring, Evaluasi dan Penguatan Jaringan Pusat Studi Kebijakan Hukum Indonesia (PSHK) itu melanjutkan Pasal 62 ayat (3) Perppu Ormas meniadakan prosedur hukum pencabutan status badan hukum suatu ormas melalui pengadilan. Hal tersebut sebagai konsekuensi penggunaan asas contrarius actus.   “Hal ini juga akan memunculkan konflik norma dengan UU Yayasan, yang mengatur pencabutan status badan hukum yayasan melalui putusan pengadilan,” ujarnya.   Mantan anggota Pansus RUU Ormas, Indra berpandangan alasan pemerintah yang menilai ketiadaan asas contrarius actus dalam UU Ormas tidaklah tepat, bahkan tidak berdasar. Menurutnya tidak ada keharusan secara hukum lembaga yang memberikan pengesahan secara otomatis memiliki kewenangan mencabut atau membatalkan status badan hukum Ormas yang bersangkutan.   Baginya, sudah sedemikian banyak lembaga, institusi dan badan hukum yang tidak dapat dibubarkan oleh lembaga atau institusi yang mengesahkannya. Justru mekanisme pembubaran atau pencabutan status badan hukum umumnya mesti melalui mekanisme pengadilan. “Kesemuanya itu sangat tergantung pada regulasi mengaturnya dan sekali lagi bukan sebuah keharusan,” ujarnya.   Terpisah, peneliti Asosiasi Sarjana Hukum Tata Negara (ASHTN) Indonesia, Sudiyatmiko Aribowo menerangkan asas contrarius actus merupakan asas yang memiliki arti formalitas atau prosedur yang diikuti dalam proses pembentukan suatu keputusan dan diikuti proses pencabutan atau pembatalan. Namun, dia mengingatkan suatu asas sejatinya bukanlah peraturan perundangan yang sifatnya mengikat secara mutlak.   “Dan tentunya dapat disimpangi,” ujarnya, Jumat (14/7). Baca Juga: Perppu Ormas Ancam Hak Kebebasan Berserikat   Ia berpendapat pencabutan maupun pembatalan suatu keputusan Menteri (beschikking)  pun masih dapat diuji melalui jalur pengadilan di tata usaha negara (PTUN). Tanpa penegasan asas contrarius actus pun setiap pejabat tata usaha negara -menteri- ketika mengetahui keputusan yang diterbitkan bermasalah pun dapat diperbaiki atau dibatalkan secara langsung tanpa harus menunggu pihak lain keberatan atau mengajukan gugatan.   Menurutnya, langkah perbaikan atau pembatalan tersebut dalam hukum administratif disebut sebagai pembatalan spontan (spontane vernietiging). Dengan begitu, tanpa harus menegaskan asas contrarius actus, setiap pejabat yang menerbitkan keputusan dapat secara langsung membatalkan keputusan yang telah dikeluarkan. VI. *KOMNAS HAM TEGAS MENOLAK PERPU NO.2/2017: Di hadapan massa alumni 212 dan umat Islam, Komnas HAM dengan tegas menyatakan sikapnya terkait Perppu Ormas No 2 Tahun 2017. “Sikap Komnas HAM itu jelas, kami sangat menolak. Mengapa kami sangat menolak Perppu? Ada beberapa perinsip yang ditabrak oleh negara,” tegas Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai, Jum’at (14/7/2017) di Kantor Komnas HAM, Jakarta. Mendengar pernyataan tersebut, spontan massa pun berteriak Allahu Akbar berkali-kali. Perppu itu boleh hadir pada saat negara dalam keadaan darurat, lanjut Pigai, yang langsung diteriaki “Betuuul!” oleh massa. Dan “keadaan darurat” itu harus melalui state in emergency, sebuah pernyataan oleh pemimpin negara. “Jadi Presiden yang berpidato bahwa kita dalam keadaan darurat. Setelah pidato selesai, pernyataan politik resmi selesai, baru berikutnya mengeluarkan Perppu,” beber Natalius. Ini tanpa pernyataan state in emergency oleh kepala negara, mengeluarkan Perppu. “Sekarang pertanyaannya adalah apakah eksistensi Ormas di Indonesia itu sangat mengancam integrasi sosial?” tanya Natalius. “Tidaak…” jawab massa serentak. “Kan saya Katolik ini, saudara-saudara Muslim. Kita musuhan enggak?” “Tidaaak…” Itu satu sisi ya. Yang kedua integrasi relasi secara vertikal, hubungan antara negara dengan rakyat. “Hubungan antara negara dengan rakyat sekarang itu goncang tidak?” Natalius bertanya lagi. Massa kembali menjawab tidak, yang lain menjawab, “ada sedikit.” “Perbedaan pandangan ada, tapi kan tidak goncang. Goncang itu bila ada gerakan sosial yang bergerak di lapangan mobilisasi sosial misalnya: orang tutup jalan raya, akses publik (ditutup, red). Nah itu (baru disebut goncang, red),” Natalius memberikan batasan indikasi goncang. Jadi menurut Komnas HAM, pemerintah saat ini tidak memiliki alasan yang mendasar dan kuat untuk mengeluarkan Perppu. “Yang berbahaya bagi Komnas HAM adalah dengan adanya Perppu itu dijadikan sebagai alat pemukul pemerintah, membungkam kebebasan organisasi, kebebasan berpendapat, fikiran, maupun juga perasaan. Itu berbahaya dan bertentangan dengan berbagai konfensi HAM,” pungkas Natalius. Massa yang longmarch dari Masjid Sunda Kelapa usai shalat Jum’at itu pun membubarkan diri.[] (Joko Prasetyo/Media Umat 14/7/2017) VII. PERPU NO. 2 TAHUN 2017 LEBIH LEBIH KEJAM DARI PENJAJAH BELANDA, ORLA DAN ORBA: Oleh Yusril Ihza Mahendra Masih banyak warga masyarakat dan bahkan pimpinan Ormas Islam yang gembira dengan terbitnya Perpu No 2 Tahun 2017. Mereka mengira Perpu ini adalah Perpu tentang Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia. Padahal Perpu No. 2 Tahun 2017 ini adalah Perpu tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang isinya norma atau aturan tentang berbagai hal tentang organisasi kemasyarakatan. Perpu ini berlaku umum terhadap ormas apun juga di negara kita ini. Perpu No. 2 Tahun 2017 ini memberikan peluang seluas-luasnya kepada Pemerintah, khususnya Mendagri dan Menkumham untuk menilai apakah suatu ormas itu antara lain "menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila" sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (4) huruf c Perpu ini. Terhadap ormas yang melanggar pasal di atas dijatuhi sanksi administratif dan/atau sanksi pidana. Jadi bisa dikenakan salah satu atau kedua-duanya. Sanksi administratif bagi ormas berbadan hukum yang terdaftar di Kemenhumkam sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (1) Perpu ini adalah "pencabutan status badan hukum" oleh Menkumham. Pencabutan status badan hukum tersebut, menurut Pasal 80A Perpu ini sekaligus disertai dengan pernyataan pembubaran ormas tersebut. Semua proses di atas berlangsung cukup dilakukan oleh Menkumham, baik sendiri ataupun meninta pendapat pihak lain. Tetapi proses pembubaran ormas tersebut dilakukan Menkumham tanpa proses pengadilan. Inilah esensi perbedaan isi Perpu ini dengan UU No. 17 Tahun 2013, yang mewajibkan Menkumham untuk lebih dulu meminta persetujuan pengadilan jika ingin membubarkan ormas. Ormas yang akan dibubarkan itu berhak untuk membela diri di pengadilan. Dengan Perpu yang baru ini, Menhumkam dapat membubarkan ormas semaunya sendiri. Ini adalah ciri pemerintahan otoriter. Dalam praktiknya nanti, Presiden bisa secara diam-diam memerintahkan Menkumham untuk membubarkan ormas, tanpa Menkumham bisa menolak kemauan Presiden. Selain sanksi administratif seperti di atas, diberi sanksi pidana dapat dikenakan kepada "setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung menganut faham yang bertentangan dengan Pancasila dan melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (4) tadi dapat "dipidana seumur hidup atau pidana penjara penjara paling singkat 5 (lima tahun) dan paling lama 20 (dua puluh) tahun" dan dapat pula dikenai dengan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini diatur dalam Pasal 82A ayat (2) dan ayat (3). Ketentuan seperti ini sebelumnya tidak ada dalam UU No. 17 Tahun 2014 tentang Ormas. Jadi kalau ormas itu punya anggota 1 juta orang, maka karena organisasinya dianggap bertentangan dengan Pancasila dan melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (4) Perpu ini, maka 1 juta orang itu semuanya bisa dipenjara seumur hidup atau paling minimal penjara 5 tahun dan maksimal 20 tahun. Ketentuan seperti ini sepanjang sejarah hukum di negeri kita sejak zaman penjajahan Belanda sampai zaman Orla, Orba dan Reformasi belum pernah ada, kecuali di zaman Presiden Jokowi ini. Terhadap parpol yang dibubarkan di zaman Orla seperti Masyumi dan PSI, atau PKI yang dibubarkan di awal zaman Orba, ketentuan untuk memenjarakan semua anggota parpol yang bertentangan dengan dasar negara Pancasila itu, tidak pernah ada. Kalau kepada partai yang dibubarkan saja, anggota-anggotanya tidak otomatis dipidana, apalagi terhadap anggota ormas yang dibubarkan di zaman Orla dan Orba. Karena itulah saya mengingatkan ormas-ormas Islam yang sangat antusias dengan lahirnya Perpu ini, karena mengira Perpu ini adalah Perpu pembubaran HTI atau ormas-ormas Islam "radikal" agar hati-hati dalam mengambil sikap. Sebab, dengan Perpu ini, ormas manapun yang dibidik, bisa saja diciptakan opini negatif, lantas kemudian diberi stigma sebagai ormas "anti Pancasila" untuk kemudian secara sepihak dibubarkan oleh Pemerintah. Ormas-ormas Islam dan juga ormas-ormas lain, termasuk yayasan dan LSM, justru harus bersatu melawan kehadiran Perpu yang bersifat otoriter ini, tentu dengan tetap menggunakan cara-cara yang sah dan konstitusional. Kepada partai-partai politik yang punya wakil di DPR, saya berharap mereka akan bersikap kritis terhadap Perpu ini. Telaah dengan mendalam isi beserta implikasi-implikasinya jika Perpu ini disahkan DPR menjadi undang-undang. Belitung, 14 Juli 2017. VIII.PERNYATAAN SIKAP YLBHI, BERSAMA 15 KANTOR LBH SE INDONESIA: *Terkait “Penerbitan PERPPU No 2/2017 Tentang Perubahan Atas UU No 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan”* Pada tanggal 10 Juli 2017, Pemerintah telah mengundangkan PERPPU No 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan atas UU No 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Kami YLBHI dan 15 LBH Kantor se Indonesia telah mengikuti secara seksama dinamika penerbitan PERPPU sebagaimana dimaksud. Sepintas penerbitan PERPPU tersebut didasarkan pada suatu niat yang baik dimana Pemerintah akan memberikan perlindungan Hak Asasi Manusia bagi warga negara. Hal tersebut dapat dilihat dari uraian beberapa pasal yang termaktub dalam perpu tersebut. 1. Seolah akan melindungi warga negara dari tindakan-tindakan diskriminasi atas dasar Suku, Agama dan Ras sehingga Pemerintah dinilai telah memberikan perlindungan terhadap hak warga negara. 2. Negara seolah-olah hendak memberikan perlindungan terhadap hak warga negara dengan cara menjamin Rasa Aman, karena akan menindak Ormas-Ormas yangmelakukan tindakan-tindakan kekerasan dan dipandang mengganggu ketertiban umum. 3. Negara seolah-olah hendak memberikan perlindungan terhadap hak warga negara dengan cera menindak ormas-ormas yang mengambil alih tugas dan wewenang penegak hukum, seperti melakukan sweeping, pembubaran acara atau tindakan-tindakan main hakim sendiri (eigenrechting), bahkan persekusi. 4. Negara seolah-olah hendak memberikan perlindungan terhadap hak warga negara untuk beragama dengan menindak ormas yang dianggap melakukan penyalahgunaan, penistaan atau penodaan terahadap agama yang dianut di Indonesia. 5. Negara seolah-olah akan melindungi kedaulatan bangsa ini dengan cara menindak ormas-ormas yang melakukan kegiatan separatis. 6. Negara seolah-olah melindungi Dasar Negara Pancasila dengan menindak ormas-ormas yang menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan pancasila. Namun mengamati pasal-pasal yang terdapat didalamnya kami menemukan setidaknya 6 kesalahan PERPPU 2/2017: 1. Secara Prosedural penerbitan PERPPU tersebut tidak memenuhi 3 syarat sebagaimana dinyatakan dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam putusan No 38/PUU-VII/2009 yaitu adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang, Adanya kekosongan hukum karena UU yang dibutuhkan belum ada atau tidak memadai, dan kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan prosedur normal pembutan UU. Terakhir syarat tersebut tidak terpenuhi karena tidak ada situasi kekosongan hukum terkait prosedur penjatuhan sanksi terhadap ormas. 2. Kebebasan berserikat merupakan hak yang ada dalam Konstitusi dan berbagai UU yang harus dijamin dan dilindungi oleh Pemerintah. Perpu tersebut mengandung muatan pembatasan kebebasan untuk berserikat yang tidak legitimate. Pembatasan kebebasan berserikat hanya bisa dibatasi apabila diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan kesehatan dan moral umum, atau perlindungan atas hak dan kebebasan dari orang lain. “Keamanan nasional” misalnya untuk melindungi keberadaan suatu bangsa atau keutuhan teritorialnya atau kemerdekaan politik melawan kekerasan atau ancaman kekerasan. Keamanan nasional misalnya tidak bisa diberlakukan dalam hal : • Sebagai alasan untuk memberlakukan pembatasan untuk mencegah ancaman yang bersifat lokal atau relatif terisolasi kepada hukum dan ketertiban. • Sebagai dalih untuk memberlakukan pembatasan yang kabur atau sewenang-wenang dan hanya bisa diberlakukan ketika terdapat perlindungan yang memadai dan pemulihan efektif untuk pelanggaran. 3. PERPPU sebagai mana dimaksud juga menegaskan arogansi negara karena mengabaikan serta meniadakan proses hukum dalam pembekuan kegiatan ormas. 4. PERPPU ini menambah ketentuan pidana yaitu “penistaan agama”. Istilah yang sebelumnya tidak dikenal baik dalam pasal 156a KUHP maupun UU 1/PNPS/1965 yang menjadi asal usul penodaan agama dalam pasal 156a KUHP 5. PERPPU ini melanggengkan pasal karet warisan zaman revolusi yaitu penyalahgunaan, penodaan terhadap agama yang telah memakan banyak sekali korban dengan tindakan yang berbeda-beda karena memang ketentuan ini tidak jelas definisinya. Padahal pasal penyalahgunaan dan penodaan agama selama ini sering digunakan oleh orang/kelompok intoleran atau radikal untuk menyeragamkan praktek keagamaan atau keyakinan. 6. PERPPU ini menambah berat pemidanaan penyalahgunaan dan penodaan agama dari maksimal 5 tahun menjadi seumur hidup atau paling sedikit 5 tahun dan paling lama 20 tahun. Bahwa upaya negara menjaga kedaulatan Bangsa dan Falsafah Negara ini, harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan prinsip negara hukum sebagaimana mandat Konstitusi. Cara-cara represif dalam sejarahnya telah menunjukkan tidak pernah berhasil mengubah keyakinan seseorang malah sebaliknya dapat membuat seseorang semakin keras meyakini sesuatu. Kami juga meyakini pelanggaran suatu hak akan menimbulkan pelanggaran hak lainnya karena Hak Asasi Manusia memiliki keterkaitan antara hak yang satu dengan hak yang lain. Atas Dasar itu, YLBHI dan 15 LBH Kantor se Indonesia *menyatakan protes yang sangat keras* atas diundangkannya Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang No 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Jakarta 12 Juli 2017 CP : *Asfinawati* (Ketua Umum Badan Pengurus YBHI) – 0812 821 8930 *Arip Yogiawan* (Ketua YLBHI Bidang Jaringan dan Kampanye) – 0812 1419 4445 Mustiqal Putra (Direktur LBH Banda Aceh) Surya Adinata (Direktur LBH Medan) Era Purnamasari (Direktur LBH Padang) Aditya B Santoso (Direktur LBH Pekanbaru) April Firdaus (Direktur LBH Palembang) Alian (Direktur LBH Bandar Lampung) Alghifari Aqsa (Direktur LBH Jakarta) Willy Hanafi (Direktur LBH Bandung) Hamzal Wahyudin (Direktur LBH Yogyakarta) Zainal Arifin (Direktur LBH Semarang) M Faiq Assiddiqi (Direktur LBH Surabaya) Dewa Adnyana (Direktur LBH Bali) Haswandi Andi Mas (Direktur LBH Makassar) Hendra Baramuli (Direktur LBH Manado) Simon Pattiradjawane (Direktur LBH Papua) IX.

Rabu, 12 Juli 2017

SEKITAR EKSISTENSI KPK

Setelah Pansus Hak Angket KPK di DPR bekerja beberapa hari, muncul suara kritis menuntut KPK dibubarkan. Dengan beragam alasan, eksistensi KPK tidak fungsional dan bermanfaat bagi negara. Suara kritis ini kemudian mendapat reaksi keras dari pihak penolak Pansus Angket dan pendukung KPK. Saya termasuk menuntut agar KPK dibubarkan. Berbagai kritik dan kecaman terhadap saya tentu bermunculan. Dari para mengkritik saya, beberapa diantaranya saya tanggapi. Tulisan ini merupakan sebagian kandungan tanggapan saya. Bagi saya, mengkritik dan membincangkan eksistensi KPK dibubarkan atau dilanjutkan, haruslah terhindar dari berpikir terlalu menyederhanakan persoalan. Tidak muncul hanya karena ada Pansus Angket atau kasus KPK beberapa bulan ini. Saya sudah lebih lima tahun ini menkritik KPK. Saya mendapat banyak data sesungguhnya KPK itu tidaklah bersih-bersih amat. Saya menilai KPK itu diskriminatif dan rasialis. Kita boleh berbeda sikap terhadap KPK. Saya tuntut bubarkan KPK dengan beberapa alasan baik dari alasan kinerja maupun outcome atau fungsi KPK. Telah saya bagi ke sejumlah WAG beberapa pemikiran saya: mengapa KPK harus dibubarkan? Nah, jika ada pihak bersikap pertahankan KPK, seyogyanya bagi tulisan ke WAG atau publik minimal ada jawaban: mengapa eksistensi KPK harus dipertahankan? Siapa tahu, saya bisa berubah pikir karena tulisan tersebut. Kita sudah saatnya tidak lagi suka melabeling dan menilai sikap politik orang dengan kacamata seakan orang itu karena pengaruh pihak lain. Sudah saatnya kita menilai suatu fakta dengan argumentasi rasional, kalau bisa syarat kausalitas. Jadi, kita akan bisa mencari solusinya. Nah, kasus KPK juga demikian. Bagi penolak KPK silakan beri alasannya. Bagi pendukung juga demikian. Yang penting konsisten dan konsekuen dengan argumentasinya. Jangan, rubah2 seperti cerita kancil, mutar2. Obyek kritisi saya adalah KPK, bukan soal E-KTP atau lainnya sebagaimana pengkritik saya menuntut agar juga saya kritisi. Kalau soal E-KTP, mau kita kritisi, ya obyek kritisi adalah kasus korupsi E-KTP. Jangan dikaitkan dengan Pansus Angket KPK. Mari kita mulai dari pengakuan Mantan Menteri Dalam Negeri tentang keterlibatan Agus Ketua KPK. Kan, mustahil KPK berani tangkapi elite politik kalau Ketua KPK sendiri terlibat. Data keterlibatan Agus ini sudah ada di tangan Pansus Angket dan Pimpinan DPR. Paling KPK beraninya cuma tangkap level eselon dari dan "pimpro" . Kalau mau serius, tuntut Agus mundur dari Ketua KPK karena diduga terlibat korupsi E-KTP. Jika Agus merasa bersih dan benar tak terlibat, sebagai penegak hukum, Agus harus gugat Mantan Mendagri itu ke lembaga penegakan hukum. Agar benar2 publik percaya. Tapi, mengapa Agus tidak menuntut padahal yang bilang dia terlibat seorang level mantan Menteri? Saya juga dengan beberapa teman akan jumpai lagi Pansus Angket. Salah satu upaya akan saya lakukan, yakni meminta Pansus mempertanyakan atau menyoal dugaan Agus koruptor E-KTP. Bagaimana mungkin bisa bersih, kalau Sapu kotor mau bersihkan lantai kotor. Belum lagi kita bicara, tidak maunya KPK menuntaskan kasus Cino2 perampok BLBI. Cuma pribumi koruptor kelas ikan tri saja mereka berani. KPK itu masih takut tuntaskan kasus korupsi E-KTP. Hingga kini baru seorang anggota DPR, Miryam, menjadi Tersangka. Yang lain2 baru dugaan. Kalau mau fair KPK, Mantan Mendagri tsb saja langsung dijadikan tersangka dan diadili. Biar terang menderang siapa saja terlibat korupsi. Nanti juga akan ketahuan keterlibatan Agus saat dia jadi Pemimpin LKPP. Apakah faktual dan betul Agus mengatur siapa penyedia jasa yang menang dalam tendering? Dalam soal kasus korupsi pembelian tanah Rumah Sakit Sumber Waras di DKI Jakarta, Juru bicara KPK malah bilang, silakan penegak hukum lain ambil alih kasus ini. Intinya, hingga detik ini tidak ada penetapan tersangka dalam kasus korupsi ini. Somad waktu wawancara di DPR mau nenjadi Komisioner janji mau selesaikan kasus Bank Century? Faktanya? Malah pengen jadi Wacapres! Janji tinggal janji. Kembali soal KPK, memang ada issue dan penilaian di masyarakat tentang Pansus Angket. Yakni PDI getol bentuk Pansus Angket karena KPK mulai kutak katik Kasus BLBI nyangkut Megawati . Saya terima penilaian itu. Ada lagi penilaian, Golkar getol bentuk Pansus Angket karena bos mereka terlibat kasus E-KTP. Ada lagi penilaian, PAN ikut kirim kadernya jadi anggota Pansus karena JPU KPK telah menyinggung nama Amien Rais terima dana korupsi. Semua penilaian itu, sy tidak bantah. Tetapi, bagi saya, sekarang ini ada "momentum" untuk menuntut agar KPK dibubarkan. Bagi pihak lain bisa jadi bertujuan memperlemah KPK atau juga memperkuat. Itu hak mereka. Ada dugaan Pansus Angket mau pangkas kekuasaan KPK. Hal itu masih mending. Kalau saya, menuntut agar KPK dibubarkan. Sebagai anggota masyarakat madani dalam atmosfer demokrasi, boleh kan? Bagi mau memperkuat kekuasaan KPK, silakan saja tampil. Biar publik menentukan siapa mempunyai pemikiran yang akan diikuti. Disinilah substansi kehidupan demokrasi dalam proses pengambilan keputusan politik. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP

Selasa, 11 Juli 2017

APA ITU RPJMD ?

I. PENGANTAR Sesuai dengan KAK (Kerangka Acuan Kerja), Thema Diskusi Publik ini adalah “Menggagas RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daeah) Prov. DKI Jakarta 2018-2022. Disebutkan, penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 telah usai. KPU DKI Jakarta menerbitkan Surat Keputusan (SK) KPU DKI nomor 87/KPTS/KPU Prov/10/2017 tentang hasil Penghitungan suara Pilgub DKI. SK KPUD DKI ini menetapkan, tampil sebagai Pasangan Calon (Paslon) pemenang “putaran kedua” adalah Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Paslon Anies- Sandi akan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih untuk periode tahun 2017-2022. Dari hasil penghitungan suara, KPU DKI menetapkan perolehan suara pasangan calon nomor urut 2 Basuki Tjahaja Purnama-Syaiful Djarot 2.350.366 atau 42,04 persen. Selanjutnya pasangan calon nomor urut 3 Anies Baswedan-Sandiaga Uno meraup suara 3.240.987 atau 57,96 persen. Dalam kenyataanya, sekalipun Paslon Anies-Sandi telah ditetapkan sebagai pemenang, tetapi harus menunggu 6 (enam) agar bisa langsung bekerja urusan pemerintahan DKI. Sebabnya, Paslon Anies-Sandi dapat dilantik setelah berakhirnya masa bhakti Gubernur dan Wakil Gubernur Periode 2012-2017, yakni pada Oktober 2017. Anies dan Sandi baru akan bisa menjabat setelah dilakukan pelantikan pada Oktober mendatang. Sebelum dilantik, mereka bisa bekerja untuk kegiatan persiapan penyusunan berbagai regulasi sebagai persyaratan wajib untuk melaksanakan urusan pemerintahan DKI periode 2017-2022. Salah satu kegiatan persiapan dimaksud terkait penyusunan Peraturan Daerah tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi DKI Jakarta Tahun 2018-2022. Makalah ini ditujukan sebagai pengantar dan masukan awal bagi Peserta Diskusi Publik mengenai RPJMD yang menjadi Topik Bahasan. II. ASPEK REGULASI RPJMD Membincangkan RPJMD kita harus berpedoman dengan peraturan perundang-undangan, setidaknya: 1. Peraturan Pemerintah RI Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. PP ini mengacu pada: a. Pasal 5 ayat (2) UUD 1945. b. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penganti UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang. 2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Permendagri ini mengacu pada al. Peraturan Pemerintah RI Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. III. PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH Perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur pemangku kepentingan di dalamnya, guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu tertentu. Prinsip Perencanaan Pembangunan Daerah: 1. Satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. 2. Dilakukan Pemerintah Daerah. 3. Mengintegrasaikan rencana tata ruang dengan rencana pembangunan daerah. 4. Dilaksanakan berdasarkan kondisi dan potensi yang dimiliki masing2 daerah, sesuai dinamika perkembangan daerah dan nasional. 5. Dirumuskan secara transparan, responsif, efisien, efektif, akuntabel, partisipatif, terukur, berkedailan, dan bekelanjutan. Tahapan Rencana Pembangunan Daerah, mencakup: 1. RPJPD (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah). 2. RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah). 3. RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah). IV. RPJMD RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) dimaksudkan adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 5 (lima) tahun. RPJMD ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) paling lama 6 (enam) bulan setelah Kepala Daerah dilantik. RPJMD memuat: a. Visi, Misi, dan Program Kepala Daerah. b. Arah kebijakan keuangan daerah. c. Strategi Pembangunan Daerah. d. Kebijakan Umum. e. Program SKPD. f. Program Lintas SKPD. g. Program Kewilayahan. h. Rencana Kerja dalam kerangka regulasi yang bersifat indikatif. i. Rencana kerja dalam kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. Sesuai Pasal 51 Permendagri Nomor 54 Tahun 2010, Visi, Misi dan Program Kepala Daerah merupakan keadaan masa depan yang diharapkan dan berbagai upaya yang akan dilakukan melalui program-program pembangunan yang ditawarkan oleh Kepala Daerah terpilih (Ayat (1)). Inilah aspek regulasi tentang janji-janji kampanye Paslon dalam Pilkada (Program dan Kegiatan) dapat dimasukkan ke dalam RPJMD. PENYUSUNAN RENCANA AWAL: 1. Bappeda melakukan kegiatan persiapan penyusunan RPJMD, mencakup: a. Penyusunan Rancangan Keputusan Kepala Daerah tentang Pembentukan Tim Penyusun RPJMD. b. Orientasi mengenai RPJMD. c. Penyusunan Agenda Kerja Tim Penyusun RPJMD. d. Penyiapan Data dan Informasi Perencanaan Pembangunan Daerah. 2. Bappeda menyusun Rancangan Awal RPJMD, memuat Visi, Misi dan Program Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih. 3. Rancangan awal RPJMD berpedoman pada RPJPD dan RTRW Provinsi, juga memperhatikan: a. RPJM Nasional. b. Kondisi lingkungan strategis di daerah. c. Hasil evaluasi terhadap pelaksanaan RPJMD periode sebelumnya. d. RPJMD dan RTRW Provinsi lainnya. 4. Kepala SKPD menyusun Rancangan Renstra-SKPD sesuai dengan Rancang an Awal RPJMD. 5. Rancangan Renstra-SKPD disampaikan oleh Kepala SKPD kepada Bappeda. 6. Bappeda menyempurnakan Rancangan Awal RPJMD menjadi Rancangan RPJMD dengan menggunakan Rancangan Renstra-SKPD sebagai masukan dan dikonsultasikan dengan publik. Konsultasi publik untuk memperoleh masukan penyempurnaan rancangan awal. 7. Bappeda melaksanakan Musrenbang dengan mengikutsertakan pemangku kepentingan untuk membahas Rancangan RPJMD. Musrenbang adalah upaya penjaringan aspirasi masyarakat antara lain ditujukan untuk mengakomodasi aspirasi kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses dalam pengambilan kebijakan melalui jalur khusus komunikasi. Musrenbang dilaksanakan dengan rangkaian kegiatan penyampaian, pembahasan dan penyepakatan Rancangan RPJMD. Pelaksanaan Musrenbang ditetapkan oleh Kepala Daerah. 8. Berdasarkan hasil Musrenbang, Bappeda merumuskan Rancangan Akhir RPJMD. Pembahasan Rumusan Rancangan Akhir RPJMD dipimpin oleh Kepala Daerah. 9. Penetapan RPJMD dengan Peraturan Daerah (Perda) melalui DPRD setelah berkonsultasi dengan Mendagri. Perda ini kemudian disampaikan kepada Mendagri. V. RPJMD Prov. DKI Jakarta 2018-2022 RPJMD Prov.DKI Jakarta 2018-2022 harus disusun oleh Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Terpilih Tahun 2017-2022. Masalahnya adalah: a. Apakah kini sudah dilakukan kegiatan persiapan atau pra-persiapan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur Terpilih? b. Jika sudah dilakukan kegiatan persiapan dan pra-persiapan, sejauh mana sudah dilakukan? c. Jika sudah ada kegiatan persiapan atau pra-persiapan, seberapa banyak janji kampanye Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih telah tertuang di dalam pra-rancangan awal RPJMD Prov. DKI Jakarta 2018-2022 ? d. Jika sudah ada kegiatan persiapan atau pra-persiapan, sudah seberapa jauh keterlibatan rakyat DKI Jakarta dalam kegiatan persiapan atau pra-persiapan dimaksud? Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (Peneliti Politik/Pemerintahan, NSEAS) --------meh-----