Minggu, 24 April 2016

AHOK TAK LAYAK GUBERNUR: INTEGRITAS RENDAH DAN DIDUGA KORUPTOR DALAM BEBERAPA KASUS

Integritas adalah suatu konsep men unjuk konsistensi antara tindakan dengan nilai dan prinsip. Dalam etika, integritas diartikan sebagai kejujuran dan kebenaran dari tindakan seseorang. Seorang dikatakan “mempunyai integritas” apabila tindakannya sesuai dengan nilai, keyakinan, dan prinsip yang dipegangnya. Integritas menjadi karakter kunci bagi seorang Gubernur DKI Jakarta. Gubernur punya integritas akan mendapatkan kepercayaan (trust) dari bahawan atau pengikutnya. Gubernur berintegritas dipercaya karena apa menjadi ucapannya juga menjadi tindakannya. Sementara itu, interitas Gubernur “rendah” jika tindakan tak sesuai dengan nilai, keyakinan dan prinsip. Bahkan apa "diucapkan" ke publik tak esuai dengan "apa dilakukan" dalam realitas obyektif. Mengapa integritas Ahok selaku Gubernur dinilai rendah? Ini jawabnya. 1. Pengakuan Seorang Muslim DKI: Seorang muslim DKI mengaku lewat WAG, ia menentukam pilihan dalam Pilkada bukan karena etnisnya dan juga bukan karena agamanya. Kalaupun seandainya orang ini berkulit hitam atau berkulit sawo matang dan beragama Islam. saya tetap TIDAK AKAN MEMILIHNYA" Mengapa? " Menurutnya, karena orang ini: arogan, bicaranya kotor, sombong, angkuh, merasa paling benar, merasa paling pintar, merasa paling bersih, mulutnya comberan, suka menantang siapa saja, suka me-maki2 orang ysng belum tentu salah, memimpin birokrat seenak udelnya, salah dalam kebijakan anak buah yg disalahkan (lempar tanggung jawab), memusuhi RT/RW yg tdk sepaham dg dia, berkelahi dg BPK, berkelahi dg DPRD dan DPR, Menko Maritin tidak sepaham dan tidak sesuai kepentingannya, berkelahi dg Bamus Betawi, ngakunya bekerja untuk rajyat tetapi terlalu membela pemilik modal, dan lebih penting janji2nya bersama pasangannya sewaktu Pilkada 2012 banyak bohongnya. Masih ingat sewaktu kampanye Pilkada 2012 pasangan ini mengatakan bhw mengatasi persoalan2 Jakarta seperti kemacetan, banjir, kemiskinan, kekumuhan, pendidikan dll adalah persoalan MUDAH TINGGAL EKSEKUSI SAJA". Buktinya ? , Apa yang diharapkan dari pemimpin seperti ini ? 2. Mulut Kotor dan inkonsistensi: Sebagai pejabat negara Ahok suka berucap kotor dan kasar di publik.Inkonsistensi atau tidak konsekuen dapat dilihat dari kasus ia nenolak cuti pilkada ke Mahkamah Konstitusi padahal waktu Pilkada DKI lalu ia menuntut agar Gubernur Foke cuti. Lain hal, ia sesumbar dan menegatifkan Parpol, terutama PDIP, dengan uang mahar dan korup,lalu pilih lajur perorangan klaim kumpulkan 1 juta KTP. Apa hasil? Akhirnya bermohon mohon tanpa malu agar parpol usung dirinya Cagub Pilkada DKI 2017. 3.Kasus Korupsi Brberapa kasus diduga Ahok tindak pidana korupsi, khusus di DKI ada 8 kasus. Bahkan sebelum menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI, telah menunjukkan adanya dugaan tindak pidana korupsi di daerah asalnya, Kabupaten Belitung Timur. Ahok dituding sekelompok orang berdemo (Forum Ketahanan NKRI) di depan Kantor Kejaksaaan Agung, Jakarta, 1 Juli 2015, melakukan dugaan tindak korupsi pembangunan dermaga Manggar Belitung Timur saat dirinya masih menjabat sebagai Bupati di sana. Akibatnya negara dirugikan sebesar Rp. 22 miliar. Kasus ini bermula pada tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Belitung Timur dan Program Strategis Departemen Perhubungan tentang Pembangunan Pelabuhan di Indonesia yakni dermaga Manggar--Ketapang. Pembangunan ini sendiri menggunakan APBN untuk dermaga dan APBD untuk lahan seluas 20.000 meter persegi terletak di Desa Baru Kecamatan Manggar, ditandatangani Ahok sewaktu menjabat Bupati Belitung Timur pada 2006. Ahok turut diduga memalsukan dokumen negara terkait proyek ini. Kasus ini tertunda penanganannya karena situasi politik tahun 2012 yang masih dalam suasaan Pilgub DKI JAkarta (Harian Terbit, 2 Juli 2015). Kini dimata publik, Ahok diduga melakukan tindak pidana korupsi sehubungan dengan kasus pemberlian Tanah RS Sumber Waras, Jakarta Barat. Jakarta. Salah satunya, dilaporkan oleh Kompas.com , Ahok dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi oleh seorang warga bernama Amir Hamzah. Ahok dianggap telah menyalahgunakan wewenang dalam pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW). Amir berharap, KPK memeriksa hasil audit BPK terhadap anggaran pendapatan dan belanja daerah DKI Jakarta tersebut. Menurut dia, hasil audit tersebut mengindikasikan adanya penggelembungan anggaran dan korupsi dalam kasus itu. Menurut Amir, ada beberapa faktor yang menimbulkan kecurigaan adanya korupsi. Salah satunya adalah penentuan harga tanah senilai Rp 755 miliar. Ia menganggap penentuan harga itu tidak melalui mekanisme penilaian wajar. Penentuan tersebut hanya berdasarkan pertemuan tertutup Ahok dengan direksi RS Sumber Waras. "Harusnya lewat proses sosialisasi dan lainnya memakan waktu tiga bulan. Tapi, ini langsung diputus sendiri sama Gubernur dan sehari jadi," kata Amir. Kasus Dugaan Korupsi pembeliaan tanah SUmber Waras ini bermula dari temuan BPK bahwa pembelian 3,64 Ha Tanah milik yayasan Kesehatan Kesehatan Sumber Waras terindikasi merugikan uang Negara. Lokasi tanah dimaksud berada di Jalan Tomang Utara, suatu kampong sempit yang selalu macet pada jam kerja. Berdasarkan sumber http://www.pkspiyungan.org (2015/07/12), Garuda Institute menemukan 12 fakta hasil kajian soal BPK versus Korupsi Ahok. Garuda Institute mengecam keras provokasi yang disampaikan Ahok melalui media terhadap pejabat BPK terkait audit laporan keuangan Pemprove DKI 2014, terutama menyangkut pembelian tanah 3,64 Ha milik Yayasan Kesehatan Smber Waras. Dua Belas Fakta hasil studi Garuda Institute: 1. Pemprov DKI membeli sebidang tanah di bagian belakang areal Rumah Sakit Sumber Waras, Grogol, seluas 3,64 Ha. Tanah ini tidak siap bangun karena di atasnya terdapat sejumlah bangunan milik RS Sumber Waras yang hingga kini masih difungsikan. Tanah tersebut juag dikenal sebagai langganan banjir. 2. Tanah 3,64 Ha itu berbatasan dengan rumah penduduk (Utara) Jalan Tomang Utara IV (Timur), Jalan Tomang Utara (Barat), dan RS Sumber Waras (Selatan). Jalan Tomang Utara adalah jalan kampung sempit yang selalu macet pada jam kerja. Saat ini tanah tersebut tiadk mempunyai akses jalan kecuali melalui tanah RS Sumber Waras. 3. Pemprove DKI membeli tanah tersebut sehanrga Rp. 20,75 juta per meter atau Rp. 744,69 miliar cash. Harga Rp. 20,75 juta per meter adalah NJOP tanah bagian depas areal RS Sumber Waras berbatasan dengan Jalan Kyai Tapa. Sementara NJOP tanah bagian belakang areal RS Sumber Waras berbatasan dengan Jalan Tomang Utara hanya Rp. 7,44 juta. 4. Pemilik tanah 3,64 Ha itu adalah Yayasan Kesehatan Sumber Waras yang yang pengurusnya dipimpin oleh Kartini Muljadi, perempuan terkaya di Indonesia. Yayasan itu didirikan orang-orang Cina bergabung dalam Perhimpunan Sosial Candra Naya yang sebelumnya bernama Perkumpulan Sin Ming Hui. 5. Tanah 3,64 Ha yang dibeli Pemprov DKI memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 2878 per 27 Mei 1998 dengan masa berlaku 20 tahun, alias habis 27 Mei 2018. Berdasarkan Pasal 36 Ayat (12) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, tanah dengan sertifikat HGB yang habis jangka waktunya otomatis menjadi tanah milik Negara. 6. Tanah 3,64 ha yang dibeli Pemprove DKI memiliki tunggakan utang pajak bumi dan bangunan (PBB) senilai total Rp. 6,62 miliar. Tunggakan pajak itu tiadk menjadi pengurangan harga beli sebabagaimana lazimnya praktik transasksi tanah. Posisi terakhir, Yayasan Kesehatan Sumber Waras baru membayar 50 % dari tunggakan tersebut. 7. Transaksi pembelian tanah antara Yayasan Kesehatan Sumber Waras dan Pemprove DKI dilakukan saat yayasan masih terikat dengan Akta Perjanjian Perikatan Jual Beli (APPJB) tanah yang sama dengan PT.Ciputra Karya Unggul. Yayasan seperti si ataur dalam APPJB itu, juga telah menerima uang muka Rp. 50 miliar dari PT Ciputra Karya Unggul. 8. Harga tanah dalam APPJB tersebut disepakati Rp. 15,50 juta per meter, ditambah syarat Yayasan Kesehatan Sumber Waras mengurus perubahan peruntukan tanah tersebut dari umum menjadi komersial. Sementara itu, Pemprov DKI membeli tanah tersebut seharga Rp. 20,75 juta per meter, tanpa syarat perubahan peruntukan. 9. Pengurus Yayasan Kesehatan Sumber Waras menawarkan tanah 3,64 Ha itu kepada Pemprov DKI dengan alamat Jalan Kyai Tapa, dengan harga NJOP pada 2014 sebesar Rp. 20,75 juta per meter (Rp. 755,69 miliar). Padahal, lokasi fisik tanahnya berada di Jalan Tomang Utara, dengan NJOP pada 2014 hanya Rp. 7,44 juta (Rp. 564,35 miliar). 10. Pemprov DKI membeli 3,64 Ha tanah itu Rp. 755,69 miliar tanpa menawar dan mengecek, sama dengan penawaran Yayasan Kesehatan Sumber Waras. Penawaran disampaikan 7 Juli 2014, dan direspons langsung oleh Gubernur DKI Jakarta pada 8 Juli2014 dengan mendisposisikannya ke Kepala Bappeda DKI untuk dianggarkan dalam APBD-P DKI 2014. 11. Pemprov DKI membeli tanah itu untuk dijadikan Rumah Sakit. Padahal, selain lokasinya tidak strategis, belum siap bangun, langganan banjir, dan tidak mudah diakses karena berada pada jalan kampong, Pemprove DKI juga amsih mempunyai banyak tanah yang strategis. Apalagi, kebutuhan minimal tanah untuk rumah sakit hanya 0,25 Ha (2.500 M2). 12. Sekalipun Gubernur DKI Ahok telah mengklaim akan membatalkan transaksi pembelian tanah itu, pada praktiknya pembatalan tersebut nyata bukan sepenuhnya berada dalam kekuasaan Pemprov DKI. Selama Yayasan Sumber Waras tidak mau membatalkannya, maka transaksi itu pun tidak bisa dibatalkan. Dugaan tindak pidana korupsi Ahok juga disuarakan pada 7 September 2015. DPD FPI DKI Jakarta bersama Tim Hukum FPI Jakarta dipimpin oleh Imam FPI DKI Jakarta, Hb.Muhsin b Zaid Alattas, didampingi oleh Ketua Syura FPI DKI Hb. Ali b Hasyim Alattas dan Ketua Tanfidzi FPI Jakarta KH Buya Abdul Majid Umar, secara resmi melaporkan Ahok ke Mapolda Metro Jaya atas dugaan KORUPSI berupa penyelewengan dana APBD / APBD-P 2014 Pemprop DKI Jakarta dengan INDIKASI KERUGIAN NEGARA mencapai Rp.1.891.310.956.699,- (Satu Trilyun Delapan Ratus Sembilan Puluh Satu Milyar Tiga Ratus Sepuluh Juta Sembilan Ratus Lima Puluh Enam Ribu Enam Ratus Sembilan Puluh Sembilan Rupiah), dengan rincian KASUS sebagai berikut : 1. Indikasi Kerugian Negara senilai Rp.1.691.393.636.322,- (Satu Trilyun Enam Ratus Sembilan Puluh Satu Milyar Tiga Ratus Sembilan Puluh Tiga Juta Enam Ratus Tiga Puluh Enam Ribu Tiga Ratus Dua Puluh Dua Rupiah) dalam proses Penetapan Nilai Penyertaan Modal dan Penyerahan Aset Pemprop DKI Jakarta kepada PT Trans Jakarta (BUMD) melalui INBRENG (Penyertaan Modal Pemerintah selain uang tunai) yang dilakukan lewat proses yang tidak sesuai ketentuan. 2. Indikasi Kerugian Negara senilai Rp.8.582.770.377,- (Delapan Milyar Lima Ratus Delapan Puluh Dua Juta Tujuh Ratus Tujuh Puluh Ribu Tiga Ratus Tujuh Puluh Tujuh Rupiah) dalam proses Penyerahan Aset INBRENG Pemprop DKI Jakarta berupa tanah seluas 234 meter persegi dan Tiga Blok Apartemen yang tidak diperhitungkan sebagai Penyertaan Modal Pemerintah pada BUMD. 3. Indikasi Kerugian Negara senilai Rp.191.334.550.000,- (Seratus Sembilan Puluh Satu Milyar Tiga Ratus Tiga Puluh Empat Juta Lima Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah) dalam proses Pengadaan Tanah Rumah Sakit Sumber Waras dalam rangka pembangunan Rumah Sakit Khusus Jantung dan Kanker Pemprop DKI Jakarta. Memperhatikan LHPK – BPK, sebenarnya masih banyak kasus penyelewengan Keuangan Negara yang melibatkan AHOK yang nilai komulatifnya sangat fantastis mencapai Trilyunan rupiah. Hanya saja, tiga kasus tersebut di atas yang dilaporkan DPD FPI DKI Jakarta lebih fokus karena melibatkan AHOK secara langsung. Laporan DPD FPI: DPD FPI Jakarta dalam laporannya merincikan peraturan dan perundang-undangan yang secara jelas dan nyata dilanggar oleh AHOK, yaitu sebagai berikut : 1. Dalam KASUS PERTAMA terbukti bahwa AHOK telah melanggar : a. Peraturan Pemerintah No 6 Th 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah pasal 39 ayat 1 dan 2. b. Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri No 17 Th 2007 tanggal 21 Maret 2007 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pengelolaan Barang Milik Daerah romawi XII.5 Penyertaan Modal Pemerintah Daerah pada huruf b dan huruf c. c. Peraturan Menteri Keuangan No 2/PMK.06/2008 tentang Penilaian Barang Milik Negara pasal 44 ayat 1. d. Peraturan Menteri Dalam Negeri no 17 Th 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah pasal 50 dan pasal 52 ayat 1 s/d 3. 2. Dalam KASUS KEDUA terbukti bahwa AHOK telah melanggar : a. Undang-Undang No 1 Th 2004 tentang Perbendaharaan Negara pasal 41 angka 5. b. Undang-Undang No 40 Th 2007 tentang Perseroan Terbatas pasal 34 ayat 2. c. Peraturan Pemerintah No 6 Th 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah pasal 39 ayat 1 dan 2. d. Peraturan Menteri Dalam Negeri no 17 Th 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah pasal 45 ayat 1 dan 2. e. Peraturan Daerah DKI Jakarta No 5 Th 2004 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perusahaan Daerah WNJ Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Yayaysan WJR menjadi PT JT dan Penyertaan Modal Pemprop DKI Jakarta pada PT JT pasal 2 ayat 2 dan pasal 11 ayat 2, serta Penjelasan pasal 11 ayat 2. f. Peraturan Daerah DKI Jakarta No 12 Th 2004 tentang Penyertaan Modal Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada PT JP pasal 14 dan Penjelasan pasal 14. g. Perjanjian Kerjasama No 1568 Th 1992 tanggal 5 Oktober 1992. 3. Dalam perkembangannya, kasus dugaaan korupsi AHOk atas pembelian tanah Sumber Waras ini, yakni BPK telah menyerahkan hasil investagi kepada KPK pada 7 Desember 2015. Audit investigatif BKP dilakukan selama 80 hari ini atas permintaan KPK. Menurut Anggota III BPK RI, Eddy Mulyadi Supardi, BPK memukan Enam Penyimpangan Pembelian Lahan RS Sumber Waras. Yakni penyimpangan dalam tahap perencanaan, penganggaran, Tim, pengadaan pembelian lahan RS Sumber Waras, penentuan harga dan penyerahan hasil. Dengan diserahkannya audit investigasi ini, artinya BPK telah menyelesaikan audit investigasi dalam waktu empat bulan. Komite Tangkap dan Penjarakan (KTP) Ahok: Berbagai aktor dan kelompok masyarakat madani terus menuntut agar KPK mempercepat penyelesaian kasus dugaan korupsi Ahok ini. Salah satunya, Komite Tangkap dan Penjarakan (KTP) Ahok mendatangi Gedung BPK RI, Jl. Gatot Subroto, Jakarta, 7 Desember 2015. Mereka menuntut penyelesaian kasus dugaan korupsi Ahok. Kordinator Lapangan KTP, Fajrul Syam, menegaskan, dugaan penyalanhgunaan wewenang pada kasus diduga meugikana Rp. 191 miliar ini belum diusut tuntas. “Kami menilai, ada sebuah diskriminasi dan perbedaan sudut pandang dalam penanganan kasus ini. Seolah-olah Ahok tidak bisa tersentuh oleh hukum, apakah karena dekatr dengan sumber kekuasaan dan didukung pemilik modal”, tandas Fajrul. KTP Ahok adalah aliansi gerakan mahasiswa dan masyarakat Jakarta anti korupsi, mendesak tigak tuntutan untuk dipenuhi, antara lain: (1) Mendukung BPK agar segera menyampaikan audir investigasi ke KPK untuk mengungkjapkan dalang di balik kerugian negara yang melibatkan AHOK; (2).Tolak segala bentuk intervensi dari siapapun yang dapat melemahkan BPK. KTP Ahok kembali mendatangi KPK, 8/1/2015. Massa menuntut agar KPK segera jadikan Ahok sebagai tersangka terkait kasus pembelian lahan RS Sumber Waras. Dalam orasinya, Koordinator Lapangan (Korlap) Aksi KTP Ahok, Raden Hidayatullah mengatakan, KPK tidak boleh menutup mata dengan adanya laporan hasil audit investigatif BPK semestinya sudah menjadi dasar dalam menindaklanjuti penyelidikan dan pemeriksaan tanpa harus beretorika yang mengulur-ulur waktu. Bila KPK semakin berlarut-larut dalam pengusutan kasus pengadaan lahan merugikan negara hingga Rp191 miliar ini, kata Raden, KTP Ahok bakal mendesak Presiden Jokowi untuk segera mengganti komisioner KPK yang belum lama menjabat. "Karena mempenjarakan koruptor saja tidak mampu," cibirnya.‎ Kelompok kritis lain adalah gerakan "Lawan Ahok". Pada 7 Desember 2015 kelompok ini melakukan aksi di gedung KPK, Jakarta. Mereka menuntut KPK menindaklanjuti hasil audit investigasi BPK tersebut. Koordinator lapangan MHR Songge menegaskan, Ahok bersalah atas pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras. "KPK berani tangkap Ahok, hebat!" katanya, Menurut Songge, pembelian lahan tersebut merugikan warga dan merupakan bentuk korupsi Ahok, sapaan akrab Basuki. Ada empat tuntutan yang diajukan gerakan “Lawan Ahok”. Pertama, hasil audit investigasi BPK tentang pembelian lahan RS Sumber Waras disampaikan ke KPK harus sesuai dengan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK telah disampaikan dan dibacakan dalam sidang paripurna DPRD DKI, 6 Juli 2015. Kedua, KPK harus profesional dan bekerja untuk rakyat dan negara. Ketiga, KPK harus segera mengungkap dan mengusut secara tuntas dalang dibalik kerugian negara yang patut diduga melibatkan Gubernur DKI Ahok dan menyeret pelaku lainnya ke meja pengadilan. Keempat, Kami bersama warga Jakarta akan mengawal KPK serta institusi penegak hukum lainnya untuk mengusut kasus korupsi yang merugikan negara. Hari ini, BPK menyerahkan hasil audit investigasi lahan sumber waras kepada KPK. Audit tersebut diminta oleh KPK karena banyak lembaga swadaya masyarakat yang melaporkan Ahok karena dianggap bertanggung jawab dalam pembelian lahan tersebut. Laporan masyarakat didasari audit BPK atas laporan keuangan 2014. Kunjungan Fahmi Idris dkk: Aksi berikutnya, kunjungan ke KPK oleh kelompok pimpinan Fahmi Idris, Mantan Menteri dan Kader Senior Golkar. Fahmi Idris mendatangani KPK untuk mempertanyakan sejumlah kasus besar yang terkesan mangkrak, termasuk kasus dugaan korupsi Ahok. Fahmi meyakini para pimpinan KPK tidak mengabaikan kasus-kasus besar itu. Namun, Fahmi meminta KPK untuk mempercepat penanganan kasus-kasus tersebut. Hal ini agar kasus itu tidak berlarut-larut dan menimbulkan polemik di masyarakat Fahmi menyatakan, kedatangannya ini mewakili kelompok yang tergabung dalam Peduli Negara. Selain dirinya, kelompok ini terdiri dari sejumlah tokoh lainnya, di antaranya Lily Wahid, adik Presiden ke-4 Gus Dur. Kunjungan Para Anggota DPRD DKI: Pada 17 Februari 2016, sejumlah pimpinan dan puluhan anggota DPRD DKI Jakarta mengunjungi KPK untuk mempertanyakan kelanjutan dari kasus pembeliaan lahan RS Sumber Waras. Agenda kunjungan para legislator DKI Jakarta ini untuk mendesak agar komisi antirasuah itu dengan segera menindaklanjuti adanya dugaan kerugian pada belanja lahan Rumah Sakit Sumber Waras yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta. Selama kurang lebih satu setengah jam mereka bertemu dengan pimpinan KPK. Wakil Ketua DPRD DKI Abraham Lunggana (PPP) menegaskan, ingin segera membongkar kebohongan Ahok. Dia mengatakan, masyarakat harus tahu kebohongan Ahok. Sehingga, dia meminta KPK agar Ahok segera ditangkap. Dia berencana mendesak KPK dengan cara mendatangi KPK setiap satu bulan satu kali. Tugas pokok fungsi kami sebagai alat kontrol oleh karenanya kami datang kemari sebagai DPRD untuk mengontrol Sumber Waras. Ini kasus rakyat DKI, wajib pajak DKI sembari menegaskan, dia memiliki bukti baru terkait kasus Sumber Waras. Dia berharap status dari Sumber Waras ditingkatkan menjadi proses penyidikan. Di lain fihak, Wakil Ketua DPRD DKI M. Taufik (Gerindra) mengingatkan, audit investigasi BPK telah menyatakan, adanya penyimpangan dalam pembelian lahan di Jalan Kiai Tapa tersebut. Audit investigatif BPK ini seharusnya ditindaklanjuti oleh KPK. Dugaan Tindak Pidana Korupsi lain: Berbagai dugaan tindak pidana korupsi Ahok lain telah muncul di permukaan antara lain: Korupsi pengadaan Bus Trans Jakarta, Taman BMW, KJS/KJP, Proyek Reklamasi Pantai Jakarta, Pengutipan/pengumpulan dana CSR dari perusahan-perusahan properti melalui Yayasan Ahok, Korupsi UPS, KKN Proyek Tanah Abang. Dugaan-dugaan ini tidak dapat diabaikan begitu saja. Walau KPK – Polri – Kejaksaan terkesan mengabaikan tindak pidana korupsi Ahok tersebut, issu korupsi itu akan menjadi ancaman serius bagi Ahok dalam Pilkada Jakarta 2017. Ketua Bidang Hukum Gerakan Pribumi Indonesia (GEPRINDO ), Ali Hakim Lubis SH, meminta kepada KPK untuk segera memeriksa dan menetapkan Ahok sebagai Tersangka karena TERINDIKASI telah melakukan penyalahgunaan wewenang sebagai pejabat Negara yang telah menimbulkan kerugian keuangan negara dalam Kasus Pembelian Lahan RS Sumber Waras. Pada waktu itu Ahok selaku Gubernur mengeluarkan SK Gubernur No. 2136 Tahun 2014 Tentang Penetapan Lokasi untuk Pembangunan Rumah Sakit Khusus Kanker. Di dalam SK Gubernur itu jelas dikatakan pada Point 1 sebagai berikut: menetapkan lokasi untuk pembangunan Rumah Sakit Khusus Kanker seluas ± 36.753 m2 (lebih kurang tiga puluh enam ribu tujuh ratus lima puluh tiga meter persegi ), terletak di Jl. Kyai Tapa, Kelurahan Tomang, Kecamatan Grogol Petamburan, Kota Administrasi Jakarta Barat, sesuai Gambar Peta No. 812/B/PPSK/DTR/XII/2014 sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Gubernur ini. Bagi Ali Hakim Lubis, dalam proses pembelian Lahan RSSW tersebut Ahok banyak sekali melanggar aturan hukum atau Undang-Undang berlaku seperti UU No 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah. Sudah sangat jelas Ahok telah melanggar aturan Pengadaan Tanah khususnya Pasal 13, 14, dan 15 yang intinya dalam hal Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum harus melalui beberapa tahapan antara lain proses perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan hasil. Semua tahapan ini sama sekali tidak dilaksanakan serta tidak ada 1 dokumen pun mengenai proses tahapan tersebut. Selanjutnya Ali Hakim Lubis menilai, Ahok juga melanggar beberapa Pasal dari Perpres No 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yaitu Pasal 5, 6, 7, 8 , 9 , 10, 11, 12, 13, 14, dan 15. Intinya, semua tahapan berada di dalam isi Pasal tersebut tidak di lakukan oleh Ahok dalam pembelian Lahan RSSW. Terutama termuat di dalam Pasal 9 ayat (1) yang berbunyi “ Tim Persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), beranggotakan Bupati/Walikota, satuan kerja perangkat daerah provinsi terkait, Instansi memerlukan tanah, dan Instansi terkait lainnya. Ahok juga melanggar Pasal 2, untuk kelancaran pelaksanaan tugas Tim Persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur membentuk sekretariat persiapan Pengadaan Tanah yang berkedudukan di sekretariat daerah provinsi. Serta melanggar Pasal 4 Permendagri No 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolahan Keuangan Negara “ Menurut Ali Hakim Lubis, kalau merujuk unsur-unsur yang terdapat didalam UU Tipikor Ahok sudah sangat jelas dan nyata telah melakukan penyalahgunaan wewenang sebagai Pejabat Negara yang menimbulkan kerugian keuangan Negara serta memperkaya orang lain atau diri sendiri. Lalu mengenai Kerugian Negara yang di timbulkan dalam Proses Pembelian Lahan RSSW sudah sangat jelas, dimana disini TERINDIKASI adanya Unsur kesengajaan dan niat yang jahat untuk menggunakan Uang Negara secara Tidak Wajar melalui mekanisme pembelian Lahan RSSW, padahal Lahan RSSW yang dibeli oleh AHOK Seharga ± Rp 755.689.550.000 dengan rincian Harga NJOP per meternya ± Rp 20.755.000 dimana sebelumnya harga NJOP tersebut sudah dinaikkan secara tidak wajar pada Tahun 2014 tanpa alasan dan Dasar Hukum yang jelas. Padahal lahan RSSW yang dibeli tersebut berada diatas Hak Guna Bangunan ( HGB ) dimana mempunyai masa pemakaian selama 25 Tahun dan berakhir pada Tahun 2018, artinya tanpa harus dibeli oleh AHOK Lahan RSSW tersebut akan secara otomatis akan menjadi milik Pemda DKI Jakarta. Gerakan aksi melawan Ahok antara lain Gerakan Tangkap Ahok (GTA), terdiri darai GPII, Himmah Alawaslyah, Solidaritas Anak Betawi, Forum Peduli Jakarta, Komando barisan Rakyat (Kobar), Brigade PII, Swara Jakarta, Kahmi Jakarta Utara, FPJ (Forum Peduli Jakarta), dll. Gerakan ini mengumpulkan koin 1000 sebagai symbol perlawanan rakyat DKI Jakarta terhadap Ahok. Gerakan berikutnya adalah Gerakan Selamatkan Jakarta dan Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ). Prijanto Tantang Taruhan Rp1 Miliar: Kejujuran Ahok dipertanyakan Prijanto, mantan Wakil Gubernur DKI. Ahok mengatakan kasus lahan Taman BMW (Jakarat Utara) tidak ada unsur korupsi. Bila tidak ada korupsi, mengapa belum juga dibangun stadion olah raga di atas Taman BMW. Itu pertanda ada masalah. Dalam kasus ini Prijanto menantang taruhan masing-masing Rp1 miliar kepada Ahok dan Trihatma, pemilik Perusahaan Podomoro. Menurut Prijanto, kasus Taman BMW sedang disidang di Pengadilan Negeri tetapi Pemerintah DKI ajukan sertifikasi. Hingga tulisan ini dibuat, Ahok tidak berani melayani tantangan Prijanto. Kesaksian di Pengadilan Tipikor: Dilaporkan TeropongSenayan, di Pengadilan Tipikor Ahok bersaksi untuk terdakwa kasus dugaan korupsi UPS, Alex Usman, (4/2/2016). Ahok semula membantah dirinya menandatangani Perda APBD Perubahan 2014 Nomor 19 Tahun 2014. ‎ Bahkan, ahok menuduh, yang membubuhkan tanda tangan pada Perda tersebut adalah pendahulunya, Jokowi saat menjabat Gubernur DKI. "Setahu saya, yang tanda tangan (Perda APBD Perubahan 2014) itu Pak Jokowi," kata Ahok Namun sesaat sebelum persidangan berakhir, Ahok mengklarifikasi pernyataannya usai 'kepergok' berbohong saat diminta maju ke depan oleh Hakim Ketua Sutardjo bersama tim kuasa hukum terdaksa Alex Usman.‎ Peristiwa memilukan itu terjadi setelah majelis hakim Tipikor meminta seluruh pihak, baik Ahok maupun jaksa penuntut umum (JPU) dan kuasa Alex, maju ke depan, melihat barang bukti yang sempat ditanyakan.‎ Melihat bukti dokumen yang disodorkan oleh kuasa hukum Alex, dimana jelas tertulis tanda tangannya sendiri, Ahok buru-buru meralatnya. "Saya koreksi, saya koreksi, sebagai Pelaksana tugas (Plt) Gubernur waktu itu, ia saya yang tanda tangan Perda APBD Perubahan 2014. Saya baru lihat catatannya," ujar Ahok. Sontak, kejadian langka tersebut sempat membuat pengunjung sidang tertawa. Setelahnya, Ahok mengakui, bahwasanya Perda tersebut ditandatanganinya. Sementara itu, berdasarkan data diperoleh ‎memang Ahok lah yang menanda tangani Perda APBD-P 2014 yang telah disahkan Kemendagri tertanggal 7 November 2014, saat itu Ahok bertindak selaku Plt gubernur DKI. Ahok baru dilantik sebagai gubernur pada 14 November. Sedangkan Jokowi, kala itu telah menjadi presiden, menyusul pelantikan pada 20 Oktober.(yn) Dalam hal ini H. Lulung (Kader PPP) juga menilai, Ahok tidak jujur. Ahok bohong kalau sama sekali tidak mengetahui soal pengadaan UPS. Sebab, Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) ditandatangani eksekutif. Ahok mengaku dirinya sebagai pimpinan eksekutif tak bisa mengontrol semua program yang mencapai 60 ribu mata anggaran (Metrotvnews.com, Jakarta). Kasus dugaan korupsi Ahok lain adalah pembelian tanah di Cengkareng untuk bangun Rusunawa. Ternyata tanah itu milik Pemprov DKI. Ahok sempat diperiksa petugas hukum. Lalu, kasud reklamadi pantai utara DKI, diduga Ahok terima uang ilegal dari pengembang. Satu lain kasus, Ahok terima dana CSR dari pengembang cino diduga telah lakukan tindak korupsi. Para pendukung buta Ahok acapkali klaim. Ahok tidak korupsi karen.a tidak diputuskan Hakim pengadilan. Sebuah kebenaran substabsial, kukah mereka, jika ada putusan pengadilan. Kilahan seperi ini boleh jadi obyektif jika berada di negara subgguh2 ditegakkan hukum. Fenomena korupsi sandera negara melanda pemerintahan menjadikan kilahan pendukung buta Ahok ini menjadi tidak obyektif. KPK tebang pilih sebuah fakta. Rakyat Indonedisi a, bahkan ada pengadilan takyat tentang Ahok di Kalijodo telah menyimpulkan Ahok koruptor. Karena itu, Ahok dapat dinilai punya integritas rendah tak layak Gubernur.

AHOK TAK LAYAK GUBERNUR: INTEGRITAS RENDAH DAN DIDUGA KORUPTOR DALAM BEBERAPA KASUS

Integritas adalah suatu konsep men unjuk konsistensi antara tindakan dengan nilai dan prinsip. Dalam etika, integritas diartikan sebagai kejujuran dan kebenaran dari tindakan seseorang. Seorang dikatakan “mempunyai integritas” apabila tindakannya sesuai dengan nilai, keyakinan, dan prinsip yang dipegangnya. Integritas menjadi karakter kunci bagi seorang Gubernur DKI Jakarta. Gubernur punya integritas akan mendapatkan kepercayaan (trust) dari bahawan atau pengikutnya. Gubernur berintegritas dipercaya karena apa menjadi ucapannya juga menjadi tindakannya. Sementara itu, interitas Gubernur “rendah” jika tindakan tak sesuai dengan nilai, keyakinan dan prinsip. Bahkan apa "diucapkan" ke publik tak esuai dengan "apa dilakukan" dalam realitas obyektif. Mengapa integritas Ahok selaku Gubernur dinilai rendah? Ini jawabnya. 1. Pengakuan Seorang Muslim DKI: Seorang muslim DKI mengaku lewat WAG, ia menentukam pilihan dalam Pilkada bukan karena etnisnya dan juga bukan karena agamanya. Kalaupun seandainya orang ini berkulit hitam atau berkulit sawo matang dan beragama Islam. saya tetap TIDAK AKAN MEMILIHNYA" Mengapa? " Menurutnya, karena orang ini: arogan, bicaranya kotor, sombong, angkuh, merasa paling benar, merasa paling pintar, merasa paling bersih, mulutnya comberan, suka menantang siapa saja, suka me-maki2 orang ysng belum tentu salah, memimpin birokrat seenak udelnya, salah dalam kebijakan anak buah yg disalahkan (lempar tanggung jawab), memusuhi RT/RW yg tdk sepaham dg dia, berkelahi dg BPK, berkelahi dg DPRD dan DPR, Menko Maritin tidak sepaham dan tidak sesuai kepentingannya, berkelahi dg Bamus Betawi, ngakunya bekerja untuk rajyat tetapi terlalu membela pemilik modal, dan lebih penting janji2nya bersama pasangannya sewaktu Pilkada 2012 banyak bohongnya. Masih ingat sewaktu kampanye Pilkada 2012 pasangan ini mengatakan bhw mengatasi persoalan2 Jakarta seperti kemacetan, banjir, kemiskinan, kekumuhan, pendidikan dll adalah persoalan MUDAH TINGGAL EKSEKUSI SAJA". Buktinya ? , Apa yang diharapkan dari pemimpin seperti ini ? 2. Mulut Kotor dan inkonsistensi: Sebagai pejabat negara Ahok suka berucap kotor dan kasar di publik.Inkonsistensi atau tidak konsekuen dapat dilihat dari kasus ia nenolak cuti pilkada ke Mahkamah Konstitusi padahal waktu Pilkada DKI lalu ia menuntut agar Gubernur Foke cuti. Lain hal, ia sesumbar dan menegatifkan Parpol, terutama PDIP, dengan uang mahar dan korup,lalu pilih lajur perorangan klaim kumpulkan 1 juta KTP. Apa hasil? Akhirnya bermohon mohon tanpa malu agar parpol usung dirinya Cagub Pilkada DKI 2017. 3.Kasus Korupsi Brberapa kasus diduga Ahok tindak pidana korupsi, khusus di DKI ada 8 kasus. Bahkan sebelum menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI, telah menunjukkan adanya dugaan tindak pidana korupsi di daerah asalnya, Kabupaten Belitung Timur. Ahok dituding sekelompok orang berdemo (Forum Ketahanan NKRI) di depan Kantor Kejaksaaan Agung, Jakarta, 1 Juli 2015, melakukan dugaan tindak korupsi pembangunan dermaga Manggar Belitung Timur saat dirinya masih menjabat sebagai Bupati di sana. Akibatnya negara dirugikan sebesar Rp. 22 miliar. Kasus ini bermula pada tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Belitung Timur dan Program Strategis Departemen Perhubungan tentang Pembangunan Pelabuhan di Indonesia yakni dermaga Manggar--Ketapang. Pembangunan ini sendiri menggunakan APBN untuk dermaga dan APBD untuk lahan seluas 20.000 meter persegi terletak di Desa Baru Kecamatan Manggar, ditandatangani Ahok sewaktu menjabat Bupati Belitung Timur pada 2006. Ahok turut diduga memalsukan dokumen negara terkait proyek ini. Kasus ini tertunda penanganannya karena situasi politik tahun 2012 yang masih dalam suasaan Pilgub DKI JAkarta (Harian Terbit, 2 Juli 2015). Kini dimata publik, Ahok diduga melakukan tindak pidana korupsi sehubungan dengan kasus pemberlian Tanah RS Sumber Waras, Jakarta Barat. Jakarta. Salah satunya, dilaporkan oleh Kompas.com , Ahok dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi oleh seorang warga bernama Amir Hamzah. Ahok dianggap telah menyalahgunakan wewenang dalam pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW). Amir berharap, KPK memeriksa hasil audit BPK terhadap anggaran pendapatan dan belanja daerah DKI Jakarta tersebut. Menurut dia, hasil audit tersebut mengindikasikan adanya penggelembungan anggaran dan korupsi dalam kasus itu. Menurut Amir, ada beberapa faktor yang menimbulkan kecurigaan adanya korupsi. Salah satunya adalah penentuan harga tanah senilai Rp 755 miliar. Ia menganggap penentuan harga itu tidak melalui mekanisme penilaian wajar. Penentuan tersebut hanya berdasarkan pertemuan tertutup Ahok dengan direksi RS Sumber Waras. "Harusnya lewat proses sosialisasi dan lainnya memakan waktu tiga bulan. Tapi, ini langsung diputus sendiri sama Gubernur dan sehari jadi," kata Amir. Kasus Dugaan Korupsi pembeliaan tanah SUmber Waras ini bermula dari temuan BPK bahwa pembelian 3,64 Ha Tanah milik yayasan Kesehatan Kesehatan Sumber Waras terindikasi merugikan uang Negara. Lokasi tanah dimaksud berada di Jalan Tomang Utara, suatu kampong sempit yang selalu macet pada jam kerja. Berdasarkan sumber http://www.pkspiyungan.org (2015/07/12), Garuda Institute menemukan 12 fakta hasil kajian soal BPK versus Korupsi Ahok. Garuda Institute mengecam keras provokasi yang disampaikan Ahok melalui media terhadap pejabat BPK terkait audit laporan keuangan Pemprove DKI 2014, terutama menyangkut pembelian tanah 3,64 Ha milik Yayasan Kesehatan Smber Waras. Dua Belas Fakta hasil studi Garuda Institute: 1. Pemprov DKI membeli sebidang tanah di bagian belakang areal Rumah Sakit Sumber Waras, Grogol, seluas 3,64 Ha. Tanah ini tidak siap bangun karena di atasnya terdapat sejumlah bangunan milik RS Sumber Waras yang hingga kini masih difungsikan. Tanah tersebut juag dikenal sebagai langganan banjir. 2. Tanah 3,64 Ha itu berbatasan dengan rumah penduduk (Utara) Jalan Tomang Utara IV (Timur), Jalan Tomang Utara (Barat), dan RS Sumber Waras (Selatan). Jalan Tomang Utara adalah jalan kampung sempit yang selalu macet pada jam kerja. Saat ini tanah tersebut tiadk mempunyai akses jalan kecuali melalui tanah RS Sumber Waras. 3. Pemprove DKI membeli tanah tersebut sehanrga Rp. 20,75 juta per meter atau Rp. 744,69 miliar cash. Harga Rp. 20,75 juta per meter adalah NJOP tanah bagian depas areal RS Sumber Waras berbatasan dengan Jalan Kyai Tapa. Sementara NJOP tanah bagian belakang areal RS Sumber Waras berbatasan dengan Jalan Tomang Utara hanya Rp. 7,44 juta. 4. Pemilik tanah 3,64 Ha itu adalah Yayasan Kesehatan Sumber Waras yang yang pengurusnya dipimpin oleh Kartini Muljadi, perempuan terkaya di Indonesia. Yayasan itu didirikan orang-orang Cina bergabung dalam Perhimpunan Sosial Candra Naya yang sebelumnya bernama Perkumpulan Sin Ming Hui. 5. Tanah 3,64 Ha yang dibeli Pemprov DKI memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 2878 per 27 Mei 1998 dengan masa berlaku 20 tahun, alias habis 27 Mei 2018. Berdasarkan Pasal 36 Ayat (12) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, tanah dengan sertifikat HGB yang habis jangka waktunya otomatis menjadi tanah milik Negara. 6. Tanah 3,64 ha yang dibeli Pemprove DKI memiliki tunggakan utang pajak bumi dan bangunan (PBB) senilai total Rp. 6,62 miliar. Tunggakan pajak itu tiadk menjadi pengurangan harga beli sebabagaimana lazimnya praktik transasksi tanah. Posisi terakhir, Yayasan Kesehatan Sumber Waras baru membayar 50 % dari tunggakan tersebut. 7. Transaksi pembelian tanah antara Yayasan Kesehatan Sumber Waras dan Pemprove DKI dilakukan saat yayasan masih terikat dengan Akta Perjanjian Perikatan Jual Beli (APPJB) tanah yang sama dengan PT.Ciputra Karya Unggul. Yayasan seperti si ataur dalam APPJB itu, juga telah menerima uang muka Rp. 50 miliar dari PT Ciputra Karya Unggul. 8. Harga tanah dalam APPJB tersebut disepakati Rp. 15,50 juta per meter, ditambah syarat Yayasan Kesehatan Sumber Waras mengurus perubahan peruntukan tanah tersebut dari umum menjadi komersial. Sementara itu, Pemprov DKI membeli tanah tersebut seharga Rp. 20,75 juta per meter, tanpa syarat perubahan peruntukan. 9. Pengurus Yayasan Kesehatan Sumber Waras menawarkan tanah 3,64 Ha itu kepada Pemprov DKI dengan alamat Jalan Kyai Tapa, dengan harga NJOP pada 2014 sebesar Rp. 20,75 juta per meter (Rp. 755,69 miliar). Padahal, lokasi fisik tanahnya berada di Jalan Tomang Utara, dengan NJOP pada 2014 hanya Rp. 7,44 juta (Rp. 564,35 miliar). 10. Pemprov DKI membeli 3,64 Ha tanah itu Rp. 755,69 miliar tanpa menawar dan mengecek, sama dengan penawaran Yayasan Kesehatan Sumber Waras. Penawaran disampaikan 7 Juli 2014, dan direspons langsung oleh Gubernur DKI Jakarta pada 8 Juli2014 dengan mendisposisikannya ke Kepala Bappeda DKI untuk dianggarkan dalam APBD-P DKI 2014. 11. Pemprov DKI membeli tanah itu untuk dijadikan Rumah Sakit. Padahal, selain lokasinya tidak strategis, belum siap bangun, langganan banjir, dan tidak mudah diakses karena berada pada jalan kampong, Pemprove DKI juga amsih mempunyai banyak tanah yang strategis. Apalagi, kebutuhan minimal tanah untuk rumah sakit hanya 0,25 Ha (2.500 M2). 12. Sekalipun Gubernur DKI Ahok telah mengklaim akan membatalkan transaksi pembelian tanah itu, pada praktiknya pembatalan tersebut nyata bukan sepenuhnya berada dalam kekuasaan Pemprov DKI. Selama Yayasan Sumber Waras tidak mau membatalkannya, maka transaksi itu pun tidak bisa dibatalkan. Dugaan tindak pidana korupsi Ahok juga disuarakan pada 7 September 2015. DPD FPI DKI Jakarta bersama Tim Hukum FPI Jakarta dipimpin oleh Imam FPI DKI Jakarta, Hb.Muhsin b Zaid Alattas, didampingi oleh Ketua Syura FPI DKI Hb. Ali b Hasyim Alattas dan Ketua Tanfidzi FPI Jakarta KH Buya Abdul Majid Umar, secara resmi melaporkan Ahok ke Mapolda Metro Jaya atas dugaan KORUPSI berupa penyelewengan dana APBD / APBD-P 2014 Pemprop DKI Jakarta dengan INDIKASI KERUGIAN NEGARA mencapai Rp.1.891.310.956.699,- (Satu Trilyun Delapan Ratus Sembilan Puluh Satu Milyar Tiga Ratus Sepuluh Juta Sembilan Ratus Lima Puluh Enam Ribu Enam Ratus Sembilan Puluh Sembilan Rupiah), dengan rincian KASUS sebagai berikut : 1. Indikasi Kerugian Negara senilai Rp.1.691.393.636.322,- (Satu Trilyun Enam Ratus Sembilan Puluh Satu Milyar Tiga Ratus Sembilan Puluh Tiga Juta Enam Ratus Tiga Puluh Enam Ribu Tiga Ratus Dua Puluh Dua Rupiah) dalam proses Penetapan Nilai Penyertaan Modal dan Penyerahan Aset Pemprop DKI Jakarta kepada PT Trans Jakarta (BUMD) melalui INBRENG (Penyertaan Modal Pemerintah selain uang tunai) yang dilakukan lewat proses yang tidak sesuai ketentuan. 2. Indikasi Kerugian Negara senilai Rp.8.582.770.377,- (Delapan Milyar Lima Ratus Delapan Puluh Dua Juta Tujuh Ratus Tujuh Puluh Ribu Tiga Ratus Tujuh Puluh Tujuh Rupiah) dalam proses Penyerahan Aset INBRENG Pemprop DKI Jakarta berupa tanah seluas 234 meter persegi dan Tiga Blok Apartemen yang tidak diperhitungkan sebagai Penyertaan Modal Pemerintah pada BUMD. 3. Indikasi Kerugian Negara senilai Rp.191.334.550.000,- (Seratus Sembilan Puluh Satu Milyar Tiga Ratus Tiga Puluh Empat Juta Lima Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah) dalam proses Pengadaan Tanah Rumah Sakit Sumber Waras dalam rangka pembangunan Rumah Sakit Khusus Jantung dan Kanker Pemprop DKI Jakarta. Memperhatikan LHPK – BPK, sebenarnya masih banyak kasus penyelewengan Keuangan Negara yang melibatkan AHOK yang nilai komulatifnya sangat fantastis mencapai Trilyunan rupiah. Hanya saja, tiga kasus tersebut di atas yang dilaporkan DPD FPI DKI Jakarta lebih fokus karena melibatkan AHOK secara langsung. Laporan DPD FPI: DPD FPI Jakarta dalam laporannya merincikan peraturan dan perundang-undangan yang secara jelas dan nyata dilanggar oleh AHOK, yaitu sebagai berikut : 1. Dalam KASUS PERTAMA terbukti bahwa AHOK telah melanggar : a. Peraturan Pemerintah No 6 Th 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah pasal 39 ayat 1 dan 2. b. Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri No 17 Th 2007 tanggal 21 Maret 2007 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pengelolaan Barang Milik Daerah romawi XII.5 Penyertaan Modal Pemerintah Daerah pada huruf b dan huruf c. c. Peraturan Menteri Keuangan No 2/PMK.06/2008 tentang Penilaian Barang Milik Negara pasal 44 ayat 1. d. Peraturan Menteri Dalam Negeri no 17 Th 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah pasal 50 dan pasal 52 ayat 1 s/d 3. 2. Dalam KASUS KEDUA terbukti bahwa AHOK telah melanggar : a. Undang-Undang No 1 Th 2004 tentang Perbendaharaan Negara pasal 41 angka 5. b. Undang-Undang No 40 Th 2007 tentang Perseroan Terbatas pasal 34 ayat 2. c. Peraturan Pemerintah No 6 Th 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah pasal 39 ayat 1 dan 2. d. Peraturan Menteri Dalam Negeri no 17 Th 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah pasal 45 ayat 1 dan 2. e. Peraturan Daerah DKI Jakarta No 5 Th 2004 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perusahaan Daerah WNJ Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Yayaysan WJR menjadi PT JT dan Penyertaan Modal Pemprop DKI Jakarta pada PT JT pasal 2 ayat 2 dan pasal 11 ayat 2, serta Penjelasan pasal 11 ayat 2. f. Peraturan Daerah DKI Jakarta No 12 Th 2004 tentang Penyertaan Modal Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada PT JP pasal 14 dan Penjelasan pasal 14. g. Perjanjian Kerjasama No 1568 Th 1992 tanggal 5 Oktober 1992. 3. Dalam perkembangannya, kasus dugaaan korupsi AHOk atas pembelian tanah Sumber Waras ini, yakni BPK telah menyerahkan hasil investagi kepada KPK pada 7 Desember 2015. Audit investigatif BKP dilakukan selama 80 hari ini atas permintaan KPK. Menurut Anggota III BPK RI, Eddy Mulyadi Supardi, BPK memukan Enam Penyimpangan Pembelian Lahan RS Sumber Waras. Yakni penyimpangan dalam tahap perencanaan, penganggaran, Tim, pengadaan pembelian lahan RS Sumber Waras, penentuan harga dan penyerahan hasil. Dengan diserahkannya audit investigasi ini, artinya BPK telah menyelesaikan audit investigasi dalam waktu empat bulan. Komite Tangkap dan Penjarakan (KTP) Ahok: Berbagai aktor dan kelompok masyarakat madani terus menuntut agar KPK mempercepat penyelesaian kasus dugaan korupsi Ahok ini. Salah satunya, Komite Tangkap dan Penjarakan (KTP) Ahok mendatangi Gedung BPK RI, Jl. Gatot Subroto, Jakarta, 7 Desember 2015. Mereka menuntut penyelesaian kasus dugaan korupsi Ahok. Kordinator Lapangan KTP, Fajrul Syam, menegaskan, dugaan penyalanhgunaan wewenang pada kasus diduga meugikana Rp. 191 miliar ini belum diusut tuntas. “Kami menilai, ada sebuah diskriminasi dan perbedaan sudut pandang dalam penanganan kasus ini. Seolah-olah Ahok tidak bisa tersentuh oleh hukum, apakah karena dekatr dengan sumber kekuasaan dan didukung pemilik modal”, tandas Fajrul. KTP Ahok adalah aliansi gerakan mahasiswa dan masyarakat Jakarta anti korupsi, mendesak tigak tuntutan untuk dipenuhi, antara lain: (1) Mendukung BPK agar segera menyampaikan audir investigasi ke KPK untuk mengungkjapkan dalang di balik kerugian negara yang melibatkan AHOK; (2).Tolak segala bentuk intervensi dari siapapun yang dapat melemahkan BPK. KTP Ahok kembali mendatangi KPK, 8/1/2015. Massa menuntut agar KPK segera jadikan Ahok sebagai tersangka terkait kasus pembelian lahan RS Sumber Waras. Dalam orasinya, Koordinator Lapangan (Korlap) Aksi KTP Ahok, Raden Hidayatullah mengatakan, KPK tidak boleh menutup mata dengan adanya laporan hasil audit investigatif BPK semestinya sudah menjadi dasar dalam menindaklanjuti penyelidikan dan pemeriksaan tanpa harus beretorika yang mengulur-ulur waktu. Bila KPK semakin berlarut-larut dalam pengusutan kasus pengadaan lahan merugikan negara hingga Rp191 miliar ini, kata Raden, KTP Ahok bakal mendesak Presiden Jokowi untuk segera mengganti komisioner KPK yang belum lama menjabat. "Karena mempenjarakan koruptor saja tidak mampu," cibirnya.‎ Kelompok kritis lain adalah gerakan "Lawan Ahok". Pada 7 Desember 2015 kelompok ini melakukan aksi di gedung KPK, Jakarta. Mereka menuntut KPK menindaklanjuti hasil audit investigasi BPK tersebut. Koordinator lapangan MHR Songge menegaskan, Ahok bersalah atas pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras. "KPK berani tangkap Ahok, hebat!" katanya, Menurut Songge, pembelian lahan tersebut merugikan warga dan merupakan bentuk korupsi Ahok, sapaan akrab Basuki. Ada empat tuntutan yang diajukan gerakan “Lawan Ahok”. Pertama, hasil audit investigasi BPK tentang pembelian lahan RS Sumber Waras disampaikan ke KPK harus sesuai dengan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK telah disampaikan dan dibacakan dalam sidang paripurna DPRD DKI, 6 Juli 2015. Kedua, KPK harus profesional dan bekerja untuk rakyat dan negara. Ketiga, KPK harus segera mengungkap dan mengusut secara tuntas dalang dibalik kerugian negara yang patut diduga melibatkan Gubernur DKI Ahok dan menyeret pelaku lainnya ke meja pengadilan. Keempat, Kami bersama warga Jakarta akan mengawal KPK serta institusi penegak hukum lainnya untuk mengusut kasus korupsi yang merugikan negara. Hari ini, BPK menyerahkan hasil audit investigasi lahan sumber waras kepada KPK. Audit tersebut diminta oleh KPK karena banyak lembaga swadaya masyarakat yang melaporkan Ahok karena dianggap bertanggung jawab dalam pembelian lahan tersebut. Laporan masyarakat didasari audit BPK atas laporan keuangan 2014. Kunjungan Fahmi Idris dkk: Aksi berikutnya, kunjungan ke KPK oleh kelompok pimpinan Fahmi Idris, Mantan Menteri dan Kader Senior Golkar. Fahmi Idris mendatangani KPK untuk mempertanyakan sejumlah kasus besar yang terkesan mangkrak, termasuk kasus dugaan korupsi Ahok. Fahmi meyakini para pimpinan KPK tidak mengabaikan kasus-kasus besar itu. Namun, Fahmi meminta KPK untuk mempercepat penanganan kasus-kasus tersebut. Hal ini agar kasus itu tidak berlarut-larut dan menimbulkan polemik di masyarakat Fahmi menyatakan, kedatangannya ini mewakili kelompok yang tergabung dalam Peduli Negara. Selain dirinya, kelompok ini terdiri dari sejumlah tokoh lainnya, di antaranya Lily Wahid, adik Presiden ke-4 Gus Dur. Kunjungan Para Anggota DPRD DKI: Pada 17 Februari 2016, sejumlah pimpinan dan puluhan anggota DPRD DKI Jakarta mengunjungi KPK untuk mempertanyakan kelanjutan dari kasus pembeliaan lahan RS Sumber Waras. Agenda kunjungan para legislator DKI Jakarta ini untuk mendesak agar komisi antirasuah itu dengan segera menindaklanjuti adanya dugaan kerugian pada belanja lahan Rumah Sakit Sumber Waras yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta. Selama kurang lebih satu setengah jam mereka bertemu dengan pimpinan KPK. Wakil Ketua DPRD DKI Abraham Lunggana (PPP) menegaskan, ingin segera membongkar kebohongan Ahok. Dia mengatakan, masyarakat harus tahu kebohongan Ahok. Sehingga, dia meminta KPK agar Ahok segera ditangkap. Dia berencana mendesak KPK dengan cara mendatangi KPK setiap satu bulan satu kali. Tugas pokok fungsi kami sebagai alat kontrol oleh karenanya kami datang kemari sebagai DPRD untuk mengontrol Sumber Waras. Ini kasus rakyat DKI, wajib pajak DKI sembari menegaskan, dia memiliki bukti baru terkait kasus Sumber Waras. Dia berharap status dari Sumber Waras ditingkatkan menjadi proses penyidikan. Di lain fihak, Wakil Ketua DPRD DKI M. Taufik (Gerindra) mengingatkan, audit investigasi BPK telah menyatakan, adanya penyimpangan dalam pembelian lahan di Jalan Kiai Tapa tersebut. Audit investigatif BPK ini seharusnya ditindaklanjuti oleh KPK. Dugaan Tindak Pidana Korupsi lain: Berbagai dugaan tindak pidana korupsi Ahok lain telah muncul di permukaan antara lain: Korupsi pengadaan Bus Trans Jakarta, Taman BMW, KJS/KJP, Proyek Reklamasi Pantai Jakarta, Pengutipan/pengumpulan dana CSR dari perusahan-perusahan properti melalui Yayasan Ahok, Korupsi UPS, KKN Proyek Tanah Abang. Dugaan-dugaan ini tidak dapat diabaikan begitu saja. Walau KPK – Polri – Kejaksaan terkesan mengabaikan tindak pidana korupsi Ahok tersebut, issu korupsi itu akan menjadi ancaman serius bagi Ahok dalam Pilkada Jakarta 2017. Ketua Bidang Hukum Gerakan Pribumi Indonesia (GEPRINDO ), Ali Hakim Lubis SH, meminta kepada KPK untuk segera memeriksa dan menetapkan Ahok sebagai Tersangka karena TERINDIKASI telah melakukan penyalahgunaan wewenang sebagai pejabat Negara yang telah menimbulkan kerugian keuangan negara dalam Kasus Pembelian Lahan RS Sumber Waras. Pada waktu itu Ahok selaku Gubernur mengeluarkan SK Gubernur No. 2136 Tahun 2014 Tentang Penetapan Lokasi untuk Pembangunan Rumah Sakit Khusus Kanker. Di dalam SK Gubernur itu jelas dikatakan pada Point 1 sebagai berikut: menetapkan lokasi untuk pembangunan Rumah Sakit Khusus Kanker seluas ± 36.753 m2 (lebih kurang tiga puluh enam ribu tujuh ratus lima puluh tiga meter persegi ), terletak di Jl. Kyai Tapa, Kelurahan Tomang, Kecamatan Grogol Petamburan, Kota Administrasi Jakarta Barat, sesuai Gambar Peta No. 812/B/PPSK/DTR/XII/2014 sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Gubernur ini. Bagi Ali Hakim Lubis, dalam proses pembelian Lahan RSSW tersebut Ahok banyak sekali melanggar aturan hukum atau Undang-Undang berlaku seperti UU No 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah. Sudah sangat jelas Ahok telah melanggar aturan Pengadaan Tanah khususnya Pasal 13, 14, dan 15 yang intinya dalam hal Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum harus melalui beberapa tahapan antara lain proses perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan hasil. Semua tahapan ini sama sekali tidak dilaksanakan serta tidak ada 1 dokumen pun mengenai proses tahapan tersebut. Selanjutnya Ali Hakim Lubis menilai, Ahok juga melanggar beberapa Pasal dari Perpres No 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yaitu Pasal 5, 6, 7, 8 , 9 , 10, 11, 12, 13, 14, dan 15. Intinya, semua tahapan berada di dalam isi Pasal tersebut tidak di lakukan oleh Ahok dalam pembelian Lahan RSSW. Terutama termuat di dalam Pasal 9 ayat (1) yang berbunyi “ Tim Persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), beranggotakan Bupati/Walikota, satuan kerja perangkat daerah provinsi terkait, Instansi memerlukan tanah, dan Instansi terkait lainnya. Ahok juga melanggar Pasal 2, untuk kelancaran pelaksanaan tugas Tim Persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur membentuk sekretariat persiapan Pengadaan Tanah yang berkedudukan di sekretariat daerah provinsi. Serta melanggar Pasal 4 Permendagri No 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolahan Keuangan Negara “ Menurut Ali Hakim Lubis, kalau merujuk unsur-unsur yang terdapat didalam UU Tipikor Ahok sudah sangat jelas dan nyata telah melakukan penyalahgunaan wewenang sebagai Pejabat Negara yang menimbulkan kerugian keuangan Negara serta memperkaya orang lain atau diri sendiri. Lalu mengenai Kerugian Negara yang di timbulkan dalam Proses Pembelian Lahan RSSW sudah sangat jelas, dimana disini TERINDIKASI adanya Unsur kesengajaan dan niat yang jahat untuk menggunakan Uang Negara secara Tidak Wajar melalui mekanisme pembelian Lahan RSSW, padahal Lahan RSSW yang dibeli oleh AHOK Seharga ± Rp 755.689.550.000 dengan rincian Harga NJOP per meternya ± Rp 20.755.000 dimana sebelumnya harga NJOP tersebut sudah dinaikkan secara tidak wajar pada Tahun 2014 tanpa alasan dan Dasar Hukum yang jelas. Padahal lahan RSSW yang dibeli tersebut berada diatas Hak Guna Bangunan ( HGB ) dimana mempunyai masa pemakaian selama 25 Tahun dan berakhir pada Tahun 2018, artinya tanpa harus dibeli oleh AHOK Lahan RSSW tersebut akan secara otomatis akan menjadi milik Pemda DKI Jakarta. Gerakan aksi melawan Ahok antara lain Gerakan Tangkap Ahok (GTA), terdiri darai GPII, Himmah Alawaslyah, Solidaritas Anak Betawi, Forum Peduli Jakarta, Komando barisan Rakyat (Kobar), Brigade PII, Swara Jakarta, Kahmi Jakarta Utara, FPJ (Forum Peduli Jakarta), dll. Gerakan ini mengumpulkan koin 1000 sebagai symbol perlawanan rakyat DKI Jakarta terhadap Ahok. Gerakan berikutnya adalah Gerakan Selamatkan Jakarta dan Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ). Prijanto Tantang Taruhan Rp1 Miliar: Kejujuran Ahok dipertanyakan Prijanto, mantan Wakil Gubernur DKI. Ahok mengatakan kasus lahan Taman BMW (Jakarat Utara) tidak ada unsur korupsi. Bila tidak ada korupsi, mengapa belum juga dibangun stadion olah raga di atas Taman BMW. Itu pertanda ada masalah. Dalam kasus ini Prijanto menantang taruhan masing-masing Rp1 miliar kepada Ahok dan Trihatma, pemilik Perusahaan Podomoro. Menurut Prijanto, kasus Taman BMW sedang disidang di Pengadilan Negeri tetapi Pemerintah DKI ajukan sertifikasi. Hingga tulisan ini dibuat, Ahok tidak berani melayani tantangan Prijanto. Kesaksian di Pengadilan Tipikor: Dilaporkan TeropongSenayan, di Pengadilan Tipikor Ahok bersaksi untuk terdakwa kasus dugaan korupsi UPS, Alex Usman, (4/2/2016). Ahok semula membantah dirinya menandatangani Perda APBD Perubahan 2014 Nomor 19 Tahun 2014. ‎ Bahkan, ahok menuduh, yang membubuhkan tanda tangan pada Perda tersebut adalah pendahulunya, Jokowi saat menjabat Gubernur DKI. "Setahu saya, yang tanda tangan (Perda APBD Perubahan 2014) itu Pak Jokowi," kata Ahok Namun sesaat sebelum persidangan berakhir, Ahok mengklarifikasi pernyataannya usai 'kepergok' berbohong saat diminta maju ke depan oleh Hakim Ketua Sutardjo bersama tim kuasa hukum terdaksa Alex Usman.‎ Peristiwa memilukan itu terjadi setelah majelis hakim Tipikor meminta seluruh pihak, baik Ahok maupun jaksa penuntut umum (JPU) dan kuasa Alex, maju ke depan, melihat barang bukti yang sempat ditanyakan.‎ Melihat bukti dokumen yang disodorkan oleh kuasa hukum Alex, dimana jelas tertulis tanda tangannya sendiri, Ahok buru-buru meralatnya. "Saya koreksi, saya koreksi, sebagai Pelaksana tugas (Plt) Gubernur waktu itu, ia saya yang tanda tangan Perda APBD Perubahan 2014. Saya baru lihat catatannya," ujar Ahok. Sontak, kejadian langka tersebut sempat membuat pengunjung sidang tertawa. Setelahnya, Ahok mengakui, bahwasanya Perda tersebut ditandatanganinya. Sementara itu, berdasarkan data diperoleh ‎memang Ahok lah yang menanda tangani Perda APBD-P 2014 yang telah disahkan Kemendagri tertanggal 7 November 2014, saat itu Ahok bertindak selaku Plt gubernur DKI. Ahok baru dilantik sebagai gubernur pada 14 November. Sedangkan Jokowi, kala itu telah menjadi presiden, menyusul pelantikan pada 20 Oktober.(yn) Dalam hal ini H. Lulung (Kader PPP) juga menilai, Ahok tidak jujur. Ahok bohong kalau sama sekali tidak mengetahui soal pengadaan UPS. Sebab, Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) ditandatangani eksekutif. Ahok mengaku dirinya sebagai pimpinan eksekutif tak bisa mengontrol semua program yang mencapai 60 ribu mata anggaran (Metrotvnews.com, Jakarta). Kasus dugaan korupsi Ahok lain adalah pembelian tanah di Cengkareng untuk bangun Rusunawa. Ternyata tanah itu milik Pemprov DKI. Ahok sempat diperiksa petugas hukum. Lalu, kasud reklamadi pantai utara DKI, diduga Ahok terima uang ilegal dari pengembang. Satu lain kasus, Ahok terima dana CSR dari pengembang cino diduga telah lakukan tindak korupsi. Para pendukung buta Ahok acapkali klaim. Ahok tidak korupsi karen.a tidak diputuskan Hakim pengadilan. Sebuah kebenaran substabsial, kukah mereka, jika ada putusan pengadilan. Kilahan seperi ini boleh jadi obyektif jika berada di negara subgguh2 ditegakkan hukum. Fenomena korupsi sandera negara melanda pemerintahan menjadikan kilahan pendukung buta Ahok ini menjadi tidak obyektif. KPK tebang pilih sebuah fakta. Rakyat Indonedisi a, bahkan ada pengadilan takyat tentang Ahok di Kalijodo telah menyimpulkan Ahok koruptor. Karena itu, Ahok dapat dinilai punya integritas rendah tak layak Gubernur.

Sabtu, 23 April 2016

AHOK TAK LAYAK GUBERNUR: SUKA LANGGAR HUKUM

Negara moderen era demokratisasi, pemerintahan/negara harus dikelola berdasarkan "tata pengelolaan yang baik" atau " good governance". Dunia usaha dikenal dengan " good corporate governance". Secara teoritis, salah satu prinsip harus ditegakkan oleh pengelola pemerintahan atau dunia usaha adalah rule of the game atau aturan main tertuang dalam peraturan perundang-undangan, regulasi atau hukum. Seorang Gubernur, misalnya, dalam mengelola pemerintahan provinsi harus patuh dan taat hukum. Bagaimana tentang Ahok dalam mengelola pemerintahan DKI? Peraturan perundang-undangan aoa saha dilanggar Ahok selaku Gubernur DKI? Inilah jawabnya: 1.UU Nomor 11 tahun 2013 Pasal 34 ayat 1, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Pemerintah Tahun 2008. a. Sekretaris Daerah atas nama Gubernur telah nyata dan sengaja mengirimkan outline rancangan anggaran 2015 kepada Kemendagri yang bukan hasil persetujuan dan pembahasan bersama. b. Gubernur Provinsi DKI Jakarta mengabaikan kewenangan fungsi DPRD, dalam rangka fungsi anggaran berupa pengajuan usulan dalam rancangan APBD, sebagaimana diatur dalam pasal 20 ayat 3 dan 5 UU Nomor 11 Tahun 2003. c. Gubernur Provinsi DKI Jakarta melanggar UU dan peraturan terkaitnya yang berlaku dalam pembahasan dan pengesahan APBD. 2. UU tentang penyelenggaraan system informasi keuangan Negara, dianalisiskan dalam tingkat daerah dalam bentuk e-Budgeting. 4. UU Nomor 23/3014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 67, bahwa kewajiban Kepada Daerah dan Wakil untuk mentaati ketentuan dalam UU. 5. UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Ahok terbitkan Pergub,bukan Perda, tentang Honorarium Personil TNI dan Polri. Prilaku Ahok melanggar hukum dapat ditunjukkan melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Provinsi DKI Jakarta Nomor 138 tentang Honorarium Anggota TNI/POLRI di lingkungan Pemprov DKI Jakarta. Pergub ini ditetapkan 3 Maret 2015. melegalkan pemberian dana honorarium kepada personil TNI dan Polri sebesar Rp288.000,-/ orang, terdiri dari uang saku Rp.250.000,- dan uang makan Rp. 38.000. 6. Pemberian Izin Reklamasi melahirkan kontroversi karena Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menilai Ahok telah melampaui kewenangannya. Menurut KKP dan KLHK, sesuai dengan UU nomor 27 tahun 2007 jo UU nomor 1 tahun 2014, Perpres nomor 122 tahun 2012 serta Permen KP nomor 17 tahun 2013 jo. Permen KP nomor 28 tahun 2014 tentang Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, izin reklamasi wilayah strategis nasional adalah wewenang pemerintah pusat, bukan wewenang Ahok. Seperti halnya kejanggalan dalam reklamasi PIK, izin reklamasi 17 pulau kepada PT Muara Wisesa Samudera, anak usaha APL yang diberikan oleh Ahok ini juga terlalu banyak kejanggalan yang dipertontonkan. Dalam berbagai kasus sengketa lahan antara warga Jakarta dengan pengembang Agung Podomoro Land, Ahok selalu membela Agung Podomoro Land. Lihat kasus Taman BMW yang diduga ada tindak pidana korupsi dalam proses tukar guling. Meskipun mantan Wagub DKI Jakarta, Prijanto telah melaporkannya ke KPK tapi Ahok tetap ngotot membela Agung Podomoro Land bahwa tidak ada korupsi dalam kasus tukar guling Taman BMW. Pertanyaannya, mengapa Ahok selalu ngotot membela Agung Podomoro Land? 7. Mengabaikan Rekomendasi BPK ttg kasus pembelian tanah RSSW.Sugiyanto, aktivis masyarakat Jakarta, mempertanyakan: adakah jalan lain untuk menjerat Ahok di kasus RS Sumber Waras?. Bila KPK terus berdalih belum menemukan niat jahat dalam kasus RS Sumber Waras. Itu artinya sulit mengharapkan KPK bertindak tegas. KPK akan terus beralasan dan berputar putar dgn argumentasinya belum menentukan unsur tindak pidana dalam kasus RSSW. Sugiyanto menduga tindak pidana Ahok tidak melaksanakan atau tidak menindaklanjuti Rekomendasi LHP BPK-RI Perwakilan DKI Jakarta meminta Ahok mengupayakan pembatalan pembelian tanah RS Sumber Waras seluas 36.410 m2 dengan pihak YK Sumber Waras. Ahok tidak pernah melakukan upaya pembatalan. Bahkan pada beberapa pernyataannya, Ahok tegas mengatakan tidak akan melaksanakan Rekomendasi BPK tersebut. Mengacu pada` UU N0. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolahan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara pada Pasal 26 ayat (2) disebutkan bahwa Pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan yang jawaban atau penjelasaan harus disampaikan ke pada BPK selambat-lambatnya 60 ( enam puluh hari ) setelah laporan hasil pemeriksaan diterima Ahok. Batas waktu telah terlewati dan Ahok tidak pernah melakukan upaya pembatalan pembelian lahan RSSW. Berdasarkan UU No 15/2004 Pasal 26 ayat (2), setiap orang tidak memenuhi kewajiban untuk menindaklanjuti tekomendasi disampaikan dalam laporan hasil pemeriksaan BPK dipidana penjara paling lama 1 ( satu ) tahun 6 (enam bulan ) dan / atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- ( lima ratus juta rupiah). Sugiyanto sendiri sudah melaporkan kasus ini kepada Mabes Polri, 29 Oktober 2015. 8. Penetapan Wali Kota Jakut Wahyu Hariyadi tanpa pertimbangan DPRD, diduga melanggar UU No. 29/ 2007 ttg Ptrovinsi DKI Jakarta.  9.Penggusuran paksa rakyat tanpa musyawarah dan mufakat sesuai Pancasila dan UUD 1945. Dalam hal ini Ahok juga nengabaikan UU HAM.Terdapat warga 30 tahun menghuni dan punya serifikat tanah, tetap saja Ahok gusur paksa tanpa ganti rugi.Di lain pihak, Ahok tetap menggusur paksa rakyat meski proses hukum gugatan "class action" masih berlangsung di Pengadilan Negeri. 10.Kepres No.49/ 2001 ttg Penataan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa atau sebutan Lain, RT memiliki tugas : 1). Membantu menjalankan tugas pelayanan kepada masyarakat yang menjadi tanggung jawab Pemerintah 2). Memelihara kerukunan hidup warga 3). Menyusun rencana dan melaksanakan pembangunan dengan mengembangkan aspirasi dan swadaya murni masyarakat Sedang fungsi RT adalah : 1). Pengkoordinasian antar warga 2). Pelaksanaan dalam menjembatani hubungan antar sesama anggota masyarakat dengan Pemerintah 3). Penanganan masalah-masalah kemasyarakatan yang dihadapi warga. Bagaimana dengan RW? Masih menurut Keppres 49/2001, RW memiliki tugas: 1). Menggerakkan swadaya gotong royong dan partisipasi masyarakat di wilayahnya 2). Membantu kelancaran tugas pokok LKMD atau sebutan lain dalam bidang pembangunan di Desa dan Kelurahan Dan memiliki fungsi sebagai : a. Pengkoordinasian pelaksanaan tugas RT atau sebutan lain di wilayahnya b. Pelaksanaan dalam menjembatani hubungan antar RT atau sebutan lain dan antar masyarakat dengan Pemerintah Jadi jelaslah, berdasarkan Keppres tersebut RT/RW tidak memiliki kewajiban untuk membuat laporan harian kepada pemerintah daerah. Sebab keberadaan RT/RW merupakan kesepakatan warga dan para pengurusnya juga dipilih oleh warga. Pihak kelurahan tinggal mengesahkan hasil kesepakatan warga tersebut. Ahok mengeluarkan Pergub No.168/2014 tentang Pedoman RT RW DKI Jakarta dan SK Gubernur Nomor 903 tahun 2016 tentang Pemberian Uang Penyelenggaraan Tugas dan Fungsi Rukun Tetangga dan Rukun Warga. Kedua peraturan tersebut kemudian digunakan sebagai dasar kewajiban ketua RT/RW melapor terkait kondisi di lingkungannya melalui aplikasi Qlue. Ketua RT/RW diwajibkan memberi laporan kondisi lingkungan masing2. Hal sangat memberatkan Ketua RT/RW. Mereka harus selalu di tempat, padahal bukan pegawai Pemda DKI. Ahok mempersilahkan Ketua RT/RW tidak setuju untuk mundur. Ahok bahjan memfitnah banyak ketua RT menyewakan lapak kepada pedagang. Akibatnya, ratusan ketua RT/RW itu meminta anggota DPRD, DKI Jakarta mendesak Ahok agar mencabut keharusan membuat laporan melalui Qlue. Mereka pun siap untuk mundur jika Ahok tetap keukeuh dengan kebijakannya. Kinivtetventi forum RT/RW se DKI konflik dgn Ahok, bahkan berjuang agar Ahok tidak lagi jadi Gubernur DKI. 11. KUHP Sri Bintang Pamungkas menulis WA berjudul: "Mempidanakan Ahok-Serta Melihat Bagaimana Polri Bereaksi". Pasal3 KUHP dapat mempidanakan Ahok al: Pasal 406; Pasal 410; Pasal 414; Pasal 423; Pasal 424; dan, Pasal 425 (3). Sri Bintang Pamungkas, Egi Sudjana, dll. adukan Ahok soal penggusuran paksa rakyat DKI ke Bareskrim/Mabes Polri. Pasal2 pidana digunakan utk adukan Ahok. 11. Kontribusi 15 Persen bagi Pengembang pada Reklamasi Kesaksian eks Presdir Agung Podomoro Land, Ariesman Wijaya, dalam sidang terdakwa Sanusi di Tipikor: "Kami sudah menyetor di awal sebesar 1,6 Trilyun rupiah. Itu diluar permintaan kontribusi yang 5% dan kami tidak tau rinciannya" Ariesman hanya tau bahwa jika dia menyetor ke Ahok maka artinya ia telah menyetor ke Pemda DKI. Persis seperti dikatakan Menko Maritim Rizal Ramli, setoran awal dari Pengembang Reklamasi tsb sama sekali tidak tercatat masuk ke dalam Kas Daerah Pemda DKI/ APBD. Di lain pihak, Ketua KPK Agus Rahardjo via medsos menyoroti Ahok terkait kontribusi tambahan 15 persen bagi pengenbang pada proyek reklamasi Teluk Jakarta. Menurut dia, seharusnya kontribusi tambahan itu tidak digunakan begitu saja, mesti masuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dulu. Kontribusi tambahan itu seharusnya tidak digunakan begitu saja, mesti masuk ke APBD dulu.Maknanya, Ahok melanggar hukum. KESIMPULAN: Data dan fakta diatas perlu diketahui rakyat DKI agar tak salah memilih penguasa DKI lima tahun kedepan. Penguasa suja langgar hukum sebagai ciri diktator atau fasis anti demokrasi. Dalam kebijakan publik, cenderung mengabaikan kepentingan rakyat kebanyakan. Olej Tim Studi NSEAS/MUCHTAR EFFENDI HARAHAP.

AHOK TAK LAYAK GEBERNUR: SUKA KONFLIK SESAMA PENYELENGGARA NEGARA

Pada 2015 dan 2016. Gubernur Ahok tercatat sudah sering berkonflik dengan sesama penyelengagar negara. Tidak cuma individu, Ahok juga beberapa berkonflik dengan sejumlah lembaga. Lembaga-lembaga dimaksud yakni DPRD DKI Jakarta, DPRD Kota Bekasi, Kemendagri, BPK, IBDN, DPR, Wapres, bahkan anak buah sendiri. 1.KONFLIK dgn DPRD DKI Jakarta: Salah satu issue politik di DKI Jakarta di bawah Gubernur Ahok adalah konflik terbuka antara Ahok dan DPRD DKI Jakarta. Ahok Secara Terbuka Bersikap Konflik dengan DPRD. Gubernur Ahok dan DPRD DKI Jakarta sebagai perwakilan rakyat seharusnya dapat terbangun dalam pelaksana tugas dan wewenang masing-masing dengan dasar kemitraan, hubungan kerjasa sama harmonis dan sinerjik untuk menjamin penyelenggaraan urusan pemerintahan efektif dan demokratis (UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah). Namun, Ahok secara terbuka bersikap konflik, memiliki visi berbeda dan bertentangan dengan DPRD. Ahok juga sering mengeluarkan kata-kata kotor dan kasar ke publik. Konflik Ahok dan DPRD DKI Jakarta terjadi pada awal 2015. Konflik berawal saat Ahok menuding para anggota Dewan telah memasukan "anggaran siluman" pada rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah (RAPBD) DKI 2015. Ahok menyebut jumlahnya mencapai Rp 12,1 triliun. Tindakan Ahok dinilai DPRD telah menyalahi peraturan perundang-undangan. Sebab, kata mereka, RAPBD 2015 yang Ahok sebut memuat anggaran siluman adalah anggaran yang telah disepakti antara eksekutif dan legislatif. DPRD kemudian mengajukan hak angket. Selain menyelidiki dugaaan pelanggaran yang dilakukan Ahok dalam penyusunan anggaran, etika Ahok selama memimpin juga menjadi sorotan DPRD. Konflik ini telah memasuki tahap penggunaan Hak Angket oleh DPRD dan para anggota DPRD mendengungkan upaya “pemakzulan” Ahok. Setelah bekerja lebih sebulan, Tim Angket DPRD akhirnya berhasil menarik kesimpulan bahwa Ahok telah melanggar peraturan perundang-undangan dan juga melanggar etika dan norma. Konflik Ahok terhadap DPRD DKI Jakarta memunculkan prakarsa penggunaan hak angket. Sembilan fraksi di DPRD sepakat untuk melakukan hak angket terkait APBD DKI 2015. Dua pihak yang berseberangan itu saling melemparkan bola panas. Konflik semakin mencuat setelah Pemprov DKI Jakarta mengajukan Rancangan (draft) APBD ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Terkait pengajuan itu, Ahok dinilai DPRD telah melanggar kesepakatan kedua belah pihak, pasalnya draf yang dikirimkan Ahok ke Menteri Tjahjo Kumolo bukanlah draf APBD yang telah disetujui bersama dalam paripurna DPRD. Ketika dikonfirmasi soal hal itu, Ahok mengakui bahwa dirinya memang tidak mengirimkan draf APBD yang telah disepakati tersebut. Pasalnya, mantan Bupati Belitung Timur itu menilai, ada dana "siluman" sebesar Rp12,1 triliun yang tiba-tiba muncul di draf tersebut. Implikasi Negatif Sikap Ahok terhadap DPRD. Sikap Ahok secara terbuka konflik dan mengabaikan prinsip hubungan kemitraan, kerjasama harmonis dan sinerjik dengan DPRD telah menimbulkan implikasi negatif terhadap rakyat DKI sebagai penyumbang terbesar terhadap APBD. Implikasi negatif dimaksud sebagai berikut: 1. Terhambatnya penggunaan anggaran pendidikan dan kesehatan yang pada gilirannya meganggu pelayanan publik. 2. Terganggunya pelayanan publik bisa menimbulkan konflik dan masalah antara rakyat dan birokrasi. 3. Proyek nasional di DKI terancam tertunda-tunda waktu pelaksanaan karena APBD DKI belum disahkan. 4. Ketiga, kinerja Pemerintah DKI tidak maksimal dan penyerapan anggaran akan semakin rendah dibandingkan tahun sebelumnya. 5. Rendahnya kualitas pelayanan publik. Hubungan kelembagan Gubernur Ahok dan DPRD sesungguhnya telah diatur di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Pemerintah Daerah (Pemda) adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemda dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, dan prinsip Negara kesatuan. Gubernur dan DPRD sebagai perwakilan rakyat seharusnya dapat terbangun dalam pelaksana tugas dan wewenang masing-masing dengan dasar “kemitraan” untuk menjamin penyelenggaraan urusan pemerintahan yang efektif dan demokratis. Dalam kedudukan memimpin pemerintahan daerah, Gubernur mempunyai tugas dan wewenang dan berhubungan dengan DPRD, juga sebagai penyelenggaraan pemerintahan daerah, yakni: a. Memimpin penyelengaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan ditetapkan bersama DPRD. b. Mengajukan rancangan Perda. c. Menetapkan Perda telah mendapat persetujuan DPRD. d. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD untuk dibahas bersama DPRD. Sessuai dengan susunan fungsi dan wewenang, Gubernur mewajiban untuk bekerjasama dengan DPRD, baik karena penyelenggaraan pemerintahan daerah harus didasarkan pada kebijakan yang ditetapkan bersama, maupun karena implementasi kebijakan tersebut berkonsultasi dengan DPRD. Di lain fihak, DPRD mempunyai kedudukan sebagai wakil rakyat dan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Kedudukan ini acapkali menjadi dilematis karena keharusan bagi DPRD untuk menyelaraskan kepentingan rakyat diwakili dengan kebijakan Gubernur, karena dapat terjadi kebijakan Gubernur tidak selalu sejajar dengan kehendak rakyat. Tugas dan wewenang DPRD berhubungan dengan Gubernur antara lain: a. Membentuk Perda dibahas dengan Gubernur untuk mendapatkan persetujuan bersama. b. Membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD besama dengan Gubernur. c. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, Peraturan Gubernur, APBD, kebijakan Gubernur dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah. d. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Gubernur terhadap rencana perjanjian internasional di daerah. e. Memberikan persetujuan terhadap kerjasama internasional dilakukan Gubernur. III. Hubungan Gubernur dan DPRD harus harmonis dan sinerjik. Sebagai unsur pemerintahan daerah, Gubernur dan DPRD adalah institusi bekerja atas dasar “kemitraan” dan “bukan subordinasi”. Meskipun pada tahap implementasi kebijakan, Gubernur dan DPRD menjalan peran berbeda, Gubernur melaksanakan (execution) kebijakan daerah yang telah ditetapkan bersama DPRD, dan DPRD melaksanakan pengawasan (control) atas pelaksanaan kebijakan daerah, seharusnya dipahami bahwa efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi tanggungjawab bersama Gubernur dan DPRD. Tujuan utama kebijakan desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dari dimensi politik sebagai proses demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan, dan dari dimensi teknis untuk tujuan kesejahteraan. Dimensi politik memposisikan pemerintahan daerah sebagai medium pendidikan atau pembelajaran politik bagi masyarakat lokal karena proses dan implementasi dari Gubernur dan DPRD akan membentuk pengetahuan, nilai-nilai dan sikap-sikap politik warga masyarakat daerah. Dimensi kesejahteraan memposisikan Gubernur dan DPRD sebagai unit pemerintah pada tingkat lokal berfungsi menyediakan pelayanan publik berkualitas, efektif, efisien dan ekonomis agar masyarakat dapat terbangun secara baik dan memberi peluang bagi pemberdayaan masyarakat. Pada dimensi demokratisasi dan kesejahteraan, ada kebutuhan untuk membangun hubungan kemitraan harmonis dan sinerjik terbangun atas kesadaran bersama bahwa pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah tanggungjawab bersama Gubernur dan DPRD. Beragam bentuk hubungan Gubernur dan DPRD, namun di dalam tulisan ini dicoba menyajikan tiga bentuk hubungan, yakni hubungan positif, hubungan negatif dan hubungan konflik. Pertama, Hubungan Positif, yakni Gubernur dan DPRD memiliki visi yang sama dan komitmen kuat menjalankan pemerintahan daerah untuk kesejahteraan masyarakat daerah dan untuk menciptakan pemerintahan yang baik (good governance) dengan berusaha mendorong pemerintahan yang transparan, akuntabel, efisien dan bertanggungjawab. Kedua, Hubungan Negatif, yakni Gubernur dan DPRD berkolaborasi dengan kecenderungan menyimpang (KKN). Praktek semacam ini terjadi jika kedua pihak secara bersama-sama menyembunyikan kepentingan mereka atas nama kepentingan publik, dan secara bersama-sama melakukan penyimpangan (a buse of power). Ketiga, Hubungan Konflik, yakni Gubernur dan DPRD cenderung memiliki visi berbeda atau saling bertentangan. Interaksi cenderung konflik, terutama jika kepentingan-kepentingan kedua pihak berbeda dan tidak disatukan oleh nilai-nilai mengutamakan kepentingan masyarakat. Hubungan konflik berwujud pertentangan akan mengakibatkan munculnya tindakan-tindakan tidak produktif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pencapaian tugas-tugas daerah. Pembahasan rancangan Perda, misalnya, menjadi terbengkalai karena salah satu pihak tidak mau membahas karena pertentangan terjadi. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan Gubernur dan DPRD bekerja atas dasar komitmen dalam hubungan setara, tidak subordinasi satu dengan lain. Dalam menyusun dan merumuskan kebijakan daerah kedua institusi bekerja atas dasar semangat kemitraan. Agar hubungan Gubernur dan DPRD harmonis dan sinerjik, maka hubungan dimaksud harus berdasarkan prinsip “check and balance”; Negara hukum; kesetaraan; dan kemitraan. Prinsip check and balance harus ditegakkan sebagai suatu kebutuhan dalam menciptakan pemerintahan efektif, efisien, transparan, partisipatif dan akuntabel. Cakupan tugas dan wewenang DPRD cukup luas dan beragam mengharuskan terbangunannya hubungan harmonis dan tetap pada prinsip “chek and balance. Prinsip Negara hukum harus ditegakkan, dan kedudukan, hak, dan kewajiban Gubernur dan DPRD harus secara jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan dan masing-masing pihak harus bertindak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berlaku. Prinsip kesetaraan harus ditegakkan dan menempatkan kedua institusi memiliki kedudukan setara. Gubernur dan DPRD tidak dapat saling menjatuhkan satu sama lain. Prinsip kemitraan harus ditegakkan dan kedua institusi harus dapat bekerjasama dan bermitra dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, dan membangun pemerintahan daerah yang efektif. Susunan fungsi dan wewenang Gubernur mewajibkan Gubernur dengan bekerjasama dengan DPRD, baik karena penyelenggaraan pemerintahan daerah harus didasarkan pada kebijakan ditetapkan bersama, maupun karena implementasi kebijakan tersebut berkonsultasi dengan DPRD. Realitas obyektif menunjukkan bahwa hubungan Gubernur dan DPRD ditandai dengan tidak ditegakkannya prinsip-prinsip diatas. Masing-masing pihak sering mengembangkan penapsiran tentang peraturan perundang-undangan sesuai kepentingan sendiri, sehingga ketegangan dan konflik antara Gubernur dan DPRD kerap terjadi. Arena sering menjadi sumber konflik antara lain penyusunan Perda, pembuatan APBD dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam penyusunan Perda dan penyusunan APBD, masalah muncul ketika salah satu pihak tidak bersedia membahas usulan pihak lain. Anggota DPRD sering menjadikan APBD sebagai arena Untuk memperjuangkan kepentingan pengusaha klien untuk memperoleh kontrak proyek dari pemerintah daerah. Akibatnya, daerah mengalami keterlambatan dalam pengesahan APBD sehingga menganggu kelancaran penyelenggaraan pemerintahan daerah. Beberapa daerah bahkan gagal mengesahkan APBD sehingga terpaksa menggunakan APBD tahun sebelumnya, seperti kasus penyusunan APBD 2015 DKI. Dalam bidang pengawasan, ketegangan dan konflik antara Gubernur dan DPRD acap kali terjadi karena perbedaan pemahaman antara anggota DPRD dengan pengelola SKPD (Satuan kerja Pemerintah Daerah) dalam mencermati indikator kinerja keberhasilan program dan proyek pembangunan di daerah. Rendahnya kualitas perencanaan program dan proyek membuat proses pengawasan program dan proyek menjadi semakin sulit, sebab indikator kinerja dan pencapaian kemajuan program dan proyek tidak didefinisikan dengan jelas. Akibatnya, sering terjadi perbedaan pendapat dan penilaian antara Gubernur dan DPRD dalam menilai kinerja program dan proyek di daerah. Hubungan Ahok dan DPRD menunjukkan konflik, tidak harmonis dan tidak sinerjik.Ahok dan DPRD DKI cenderung memiliki visi berbeda atau saling bertentangan. Arena menjadi sumber konflik adalah penyusunan APBD Tahun 2015. Hubungan konflik bermula pada 27 januari 2015, Rancangan APBD disahkan dalam sidang paripurna DPRD dengan nilai Rp. 73,08 triliun. Pada 2 Februari 2015, Pemerintah DKI Jakarta mengirimkan dokumen RAPBD 2015 kepada Kemendagri. Pada 7 Februari 2015 Kemendagri mengembalikan RAPBD tersebut dengan alasan rincian anggaran kurang lengkap karena tidak ada tanda tangan dari Ketua Badan Anggaran DPRD. Pada 9 Februari 2015 DPRD mengirim dokumen RAPBD 2015 ke Kemendagri. Menurut DPRD, RAPBD ini hasil pembahasan bersama Pemerintah DKI. Lalu, 26 Februari DPRD menggunakan hak angket dalam sidang paripurna. Sembilan fraksi mendukung penggunaan hak angket, yakni PDIP,PPP, Gerindra, PKS, PAN-Demokrat, Golkar, NasDem, Hanura dan PKB. Namun, setelah Ahok 28 Februari 2015 mengadukan kasus RAPBD ke KPK (Komisi Pemberanatasan Korupsi), PKB dan NasDem mencabut dukungan atas hak angket tersebut (2 Maret 2015). ? 2.KONFLIK dgn DPRD KOTA BEKASI: Selain DPRD DKI, Ahok juga pernah berkonflik dengan lembaga legislatif dari daerah lain, yakni DPRD Kota Bekasi. Konflik Ahok dan DPRD Bekasi terkait pengelolaan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang. Konflik berawal saat sejumlah unit truk sampah milik Dinas Kebersihan DKI tertangkap melanggar jam operasional dan rute pengangkutan sampah. Menindaklanjuti hal itu, Ketua Komisi A DPRD Kota Bekasi Ariyanto Hendrata mengatakan pihaknya berencana ingin memanggil Ahok. Mengetahui dirinya ingin dipanggil lembaga legislatif dari daerah lain, Ahok pun berang. Ia kemudian menuding ada angggota DPRD Kota Bekasi yang rutin menerima uang dari pengelola TPST Bantargebang, yakni PT Godang Tua Jaya. Di sisi lain, Ahok mengatakan Pemprov DKI berencana ingin memutus kontrak PT Godang Tua Jaya. Konflik Ahok secara terbuka juga terjadi dengan lembaga negara DPRD Kota Bekasi. Konflik Ahok dengan DPRD Kota Bekasi berawal dari pengelolaan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPSP) Bantar Gebang. Anggota DPRD Bekasi menahan truk sampah yang diketahui melanggar jalur pembuangan sampah ke Bantar Gebang. Selain itu Jakarta disebut melanggar kapasitas pembuangan sampah hingga lebih 5.000 ton. Atas dasar tersebut Ketua Komisi A DPRD Bekasi Aryanto hendak manggil mantan Bupati Belitung Timur tersebut. Ahok secara sepihak menuding ada suap dilakukan PT Godang Tua Jaya selaku pengelola TPST Bantar Gebang kepada anggota DPRD Kota Bekasi. Hal ini dianggap sebagai fitnah yang sangat menyakitkan. DPRD Kota Bekasi pun akan melaporkan Ahok ke pihak kepolisian. Ketua Komisi A DPRD Kota Bekasi Ariyanto Hendrata mengatakan, tudingan adanya suap yang dilakukan PT Godang Tua jaya kepada anggota DPRD Kota Bekasi yang dilontarkan Ahok di media massa beberapa hari lalu merupakan ucapan yang tidak mendasar dan merupakan fitnah yang sangat keji. "Tolong buktikan kalau ada anggota DPRD Kota Bekasi menerima suap dari PT Godang Tua Jaya. Kalau ucapan tanpa bukti itu sama saja memfitnah," ucap Arianto Hendrata kepada Liputan6.com di Bekasi, Jawa Barat (2/11/2015). Arianto menjelasan, ucapan dan tudingan yang dilontarkan Ahok kepada DPRD Kota Bekasi merupakan tindakan pelecehan yang sangat serius. "Karena itu pihak Komisi A sudah merekomendasikan kepada pimpinan DPRD Kota Bekasi untuk melakukan langkah-langkah hukum tentang tudingan itu," tukas Arianto. Menurut dia, yang dilakukan DPRD Kota Bekasi selama ini merupakan bentuk pengawasan perjanjian antara Pemkot Bekasi dan Pemerintah Provinsi DKI tentang pengelolaan TPST Bantar Gebang yang selama ini selalu dilanggar pemerintah Jakarta. Sudah banyak kecaman dan kritik muncul terhadap Ahok dengan tutur kata-katanya yang dinilai tidak mendidik bagi kaum muda dan pelajar. mengingat tutur kata Ahok dipublisir melalui media massa cetak, audiovisual dan media sosial. Satu contoh kritik/kecaman pernah muncul dari anggota DPRD Kota Bekasi terkait dengan tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) di Bantargebang, Bekasi. Harian Koran Tempo, 3 November 2015, memberitakan, Ketua Komisi A DPRD Kota Bekasi, Ariyanto Hendrata mengatakan lembaganya berencana mengsomasi Ahok yang menyebut anggoat Dewan menerima duit dari PT. Godang Tua Jaya, pengelola TPST Bantargebang. Menurutnya, Ahok telah mencemarkan nama dan menghina lembaga perwakilan rakyat Kota Bekasi. Ada enam bentuk penghinaan Ahok terhadap DPRD Kota Bekasi, diantaranya menyebut anggoat Dewan sombong, kekanakkanakan, melarang warga Bekasi bekerja di Jakarta, dan mengejek "mulut Dewan bau sampah". Tindakan Ahok pelanggar HAM dapat juga dibuktikan dengan penggusuran perumahan tempat tinggal warga di Kalijodoh. Di lain fihak, Ketua Dewan Pakar Wahana Lingkungan Hidup Jakarta Bagong Suyoto menilai konflik Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang Bekasi tidak perlu terjadi bila Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merealisasikan "Intermediate Treatment Facility" (ITF) (WARTA KOTA, BEKASI, 14/11/2015). "ITF itu berfungsi layaknya kantong sampah di DKI agar mereka tidak terlalu bergantung pada Bantargebang," kata Bagong Suyoto. Dalam perjanjian kerja sama antara pengelola TPST Bantargebang yakni PT Godang Tua Jaya dan Pemprov DKI pada 2007 disepakati pembuatan empat titik ITF. "Namun sampai saat ini ITF itu tidak ada yang terwujud, sehingga sampah menumpuk seluruhnya di Bantargebang," ujar Bagong Suyoto. Bagong mengatakan, sampah warga DKI yang sampai di TPST Bantargebang saat ini sudah mencapai 6 ribu ton lebih per hari.Kondisi itu, kata dia, telah melampaui volume sampah yang disepakati dalam perjanjian tersebut, yakni 3 ribu ton sampah pada 2015 dan 2 ribu ton sampah pada 2016. Pengurangan tonase sampah itu dihitung berdasarkan prediksi daya tampung ITF bilamana fasilitas itu terwujud di empat titik kawasan DKI. 3. KONFLIK DGN KEMENDAGRI: Seperti halnya DPRD DKI, konflik Ahok dengan Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) banyak berkutat pada masalah anggaran. Ahok keberatan dengan keputusan Kemendagri yang memutuskan besaran anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) 2015 yang disahkan menggunakan peraturan gubernur hanya Rp 69,28. Padahal, besaran yang diajukan Pemprov DKI pada awalnya mencapai Rp 72,9 triliun. Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Reydonnyzar Moenek menjelaskan, angka tersebut didapatkan dari pagu belanja daerah APBD Perubahan DKI 2014 sebesar Rp 63,65 triliun dan pengeluaran pembiayaan untuk penyertaan modal pemerintah (PMP) dua BUMD DKI sebesar Rp 5,63 triliun. Tidak hanya itu, konflik Ahok dengan Kemendagri terjadi saat Ahok menuding Kemendagri sengaja menghambat pengesahan APBD Perubahan DKI 2015. Ahok menganggap Provinsi DKI Jakarta telah diperlakukan tidak sama dengan provinsi lain mengenai anggaran ini. 4. KINFLIK dgn BPK: Konflik terbuka Ahok dengan lembaga negara lain yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Konflik Ahok terkait temuan BPK tentang adanya indikasi kerugian daerah sebesar Rp 191 milyar terkait pembelian lahan milik Rumah Sakit Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI pada akhir 2014. Temuan tersebut tercantum dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) DKI 2014. Adapun harga lahan yang dibayarkan Pemprov DKI ke RS Sumber Waras mencapai Rp 755 miliyar. Temuan ditindaklanjuti dengan dilakukannnya audit investigatif. Namun, Ahok menilai audit investigatif pembelian lahan RS Sumber Waras yang dilakukan oleh BPK perwakilan DKI Jakarta bersifat tendensius. Selain itu, dari hasil pemeriksaan, BPK menemukan penunjukan lokasi pengadaan tanah oleh Ahok, saat masih menjabat Plt Gubernur DKI, tidak sesuai ketentuan. Pada dugaan lain, dokumen untuk proses pengadaan tanah ditandatangani pada Juli 2014 dinilai sekadar formalitas, termasuk penentuan lokasi tanah diarahkan oleh Ahok. Ahok ditengarai melanggar Pasal 13 dan Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. "Dalam pasal disebutkan bahwa pengadaan tanah diselenggarakan melalui tahapan perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan hasil," katanya (23/11/2016). Dari hasil penelusuran, BPK menyatakan penentuan lokasi tanah untuk RS Sumber Waras tidak sesuai UU Nomor 19 Tahun 2012 dan Perpres Nomor 71 Tahun 2012. Dari hasil pemeriksaaan BPK diketahui bahwa proses penawaran dan penunjukan lokasi tanah sudah dilakukan pada Juni dan Juli 2014. Dalam proses tersebut, tidak ditemukan adanya dokumen perencanaan, hasil studi kelayakan, dan pembentukan tim persiapan pengadaan tanah, konsultasi publik, hingga berita acara kesepakatan lokasi yang ditandatangani sejumlah pihak. Penetapan lokasi tanah hanya ditetapkan Plt Gubernur DKI Jakarta (Ahok) pada 13 Desember 2014 melalui SK Gubernur Nomor 2136 Tahun 2014. Dari hasil temuan, BPK menilai penunjukan lokasi tanah dilakukan tanpa prosedur. Selain itu, dalam LHP BPK, Ahok dinyatakan memerintahkan Kepala Bappeda DKI untuk menganggarkan dana pengadaan tanah pada APBD Perubahan 2014. Penunjukan dilakukan lima bulan setelah penunjukan lokasi dan perintah penganggaran pembelian tanah pada 8 Juli 2014. Guna mengurai persoalan, BPK melakukan pemeriksaan terhadap Ahok oleh 12 investigator. Pemeriksaan Ahok hanya satu kali, sedangkan audit investigasi pembelian lahan milik RS Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta sudah selesai dan dikembalikan ke KPK karena mereka yang minta investigasi ini. 5. KONFLIK dgn IPDN: Prilaku konflik Ahok terhadap lembaga negara lain adalah Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Konflik bermula saat Ahok mengaku telah mengusulkan ke Presiden Joko Widodo agar sekolah kedinasan milik Kementerian Dalam Negeri itu dibubarkan. Menurut dia, keberadaan IPDN tidak diatur dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN). Menurut Ahok, untuk menghasilkan pegawai negeri sipil (PNS) yang baik dan potensial, pemerintah tidak harus menggembleng ala militer di IPDN. Bahkan, dia melanjutkan, perusahaan swasta dan TNI/Polri mampu menyediakan PNS yang baik. Guna mengklarifikasi pernyataan Ahok, Dewan Pengurus Nasional Ikatan Keluarga Alumni Pendidikan Tinggi Kepamongprajaan (DPNIKAPTK) kemudian mendatanginya ke Balai Kota pada 14/9/2015. 6. KONFLIK dgn DPR-RI: Ahok ajak konflik dengan DPR-RI. Penyataan Ahok berkaitan dengan panggilan Komisi III DPR RI menyangkut permasalahan pembelian rumah sakit sumber waras dan Kalijodo. DPR RI sebagai lembaga tempat mengadu Rakyat kepada wakilnya ketika berhadapan dengan permasalahan yang timbul dari penyalah gunaan kewenangan penguasa DKI Jakarta, seperti yang terjadi dalam penggusuran dibeberapa tempat dijakarta dan kalijodo. Dimana masyarakat yang menjadi korban penggusuran diposisikan sebagai pekerja pronsitusi yang harus digusur. Menanggapi panggilan Komisi III dengan pernyataan hadapan media sebagai berikut : "Mereka yang berkuasa gitu lho, yang terhormat. Lama-lama gue berantem juga nih. Komisi III mau panggil saya, saya suruh buktiin harta terbalik. Harta mereka dulu, pakai mobil apa dan bayar pajak berapa. Baru ngomong sama saya," ujar Ahok (8/3/2016). "Saya kan pernah di DPR RI. Yang baru jadi anggota DPR jangan belagulah. Gue juga mantan dari lu juga. Gue tahu kok prosedur kamu seperti apa. Jadi enggak usah menyalahgunakan kekuasaan gitulah," kata Ahok. Pernyataan seperti yang kami kutip diatas menunjukkan alangkah arogannya Ahok dalam menjalankan kewenangan sebagai Gubernur DKI Jakarta. Apalagi sampai melecehkan lembaga negara. Hal ini melanggar etika dan kepatutan sebagai kepala daerah yang menjadi barometer daerah-daerah lain di negeri ini. Berbagai penilaian kritis muncul terhadap sikap Ahok ini. Salah satunya, Pengurus Badan Relawan Nusantara Provinsi DKI Jakarta, mendesak agar Ahok menghadiri panggilan Komisi III DPR RI dan meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia, Atas pernyataannya yang melecehkan lembaga Negara yang didalamnya ada wakil rakyat Indonesia. 7. KONFLIK dgn WAPRES JUSUF KALLA: Wapres Jusuf Kalla (JK) suatu saat menyarankan agar proses reklamasi di Pantai Utara Jakarta dan pembangunannya, dihentikan untuk sementara. JK meminta, proses reklamasi di Jakarta harus mengacu pada aturan yang berlaku. Di tengah-tengah tumpang tindih aturan yang ada, yang harus diacu adalah aturan tertinggi, yakni Undang-undang. "Semua itu berdasarkaan hukum, ada Undang-Undang untuk itu," kata JK. Bagi JK, UU yang mengatur reklamasi adalah UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Ahok tetap bertahan dan masih berat untuk menghentikan reklamasi. "Kalau Pak JK minta dihentikan, saya bilang banyak juga yang minta dihentikan, (tapi) dasar hukumnya mana?" ujar Ahok . Ahok mengatakan, jika JK mengiriminya surat imbauan resmi, dia mengaku akan mempelajari isi surat itu terlebih dahulu. "Kalau Pak Jusuf Kalla minta dihentikan, dasar hukumnya apa?, tantang Ahok.o Bahkan, Ahok malah mempertanyakan dasar hukum yang tepat untuk menghentikan kebijakannya itu. 8. KONFLIK dgn MENKO MARITIM: Ahok menentang keputusan Menko Maritim Rizal Ramli tentang pembatalan reklamasi pulau G. Terjadi polemik di publik. Padahal secara struktural Ahok di bawah Rizal Ramli, dan fihak Pemprov DKI ikut bersama MenKLH dan Hut, dan MenDKP memutuskan pembatalan reklamasi tsb. Ahok tidak patuh pd keputusan Pusat, padahal dia pembantu Pusat di DKI. 9. KONFLIK dgn ANAK BUAH: Ahok suka konflik juga terhadap anak buah dan juga kambinghitamkan anak buah atas kegagalan diri sendiri. Sbg ncobtoh, kasus mundurnya Rustam Effendi dari jabatan Walikota Jakarta Utara. Akibatnya, terbentuk aksi anti Ahok oleh masyarakat Jakarta Utara dlm AMJU. KESIMPULAN: Atas data dan fakta Ahok konflik dgn penyelenggara negara di atas, dapat disimpulkan, Ahok tidak bisa bersikap sinerji sesama penyelenggara negara. Bahkan, dia tidak patuh atas keputusan Pemerintah Pusat. Disharmoni hubungan kelembagaan menjadi berlaku sehingga dia sungguh tak layak jadi Gubernur DKI.

AHOK TAK LAYAK LANJUT JADI GUBERNUR DKI JAKARTA

Pada tahun 2017 rakyat DKI Jakarta akan menyelenggarakan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) Gubernur dan Waakil Gubernur. Berbegai figure politik mulai memunculkan diri dan menyatakan berminat sebagai peserta Pilkada DKI Jakarta. Ahok sesumbar akan maju dari “jalur perseorangan” atau bukan jalur Parpol. Ahok berkilah, lebih memilih jalur perseorangan ketimbang jalur Parpol. Namun, dalam realitas obyektif, belum ada satupun Parpol menyatakan bersedia mengusung Ahok sebagai Calon Gubernur DKI. Partai Nasdem memang sudah dipastikan mendukung Ahok sejak dari awal, tetapi suara dan kursi Nasdem di DPRD DKI Jakarta hasil pemilu 2014 tidak cukup memenuhi syarat minimal untuk mengusung Ahok sebagai cagub. Nasdem hanya memilik 5 (lima) kursi dari 106 kursi DPRD DKI 2014-2019, kurang dari syarat minimal 20% kursi DPRD DKI Jakarta atau 21 kursi untuk dapat mengusung pasangan cagub-cawagub DKI Jakarta pada Pilkada 2017. Belakangan muncul dukungan dari Partai Hanura, namun masih belum dapat mencapai persyaratan minimal jumlah kursi 20 % dimaksud. Berbeda dengan Pilkada DKI Jakarta tahun 2012, Jokowi – Ahok diusung PDIP dan Partai Gerindra. Pada Pilkada 2017 mendatang, Ahok belum mendapat kepastian dari kedua partai itu untuk mengusungnya kembali sebagai Calon Gubernur. PDIP mengajukan alasan sendiri belum memberi dukungan kepada Ahok. Megawati Soekarnopoetri selaku Ketua Umum PDIP mensyaratkatkan Ahok harus terlebih dahulu meninggalkan ‘teman-teman Ahok’ sebelum PDIP mempertimbangkan kemungkinan mengusung Ahok sebagai cagub. Syarat dari PDIP ini dibalas Ahok secara emosional dengan mengatakan pihaknya tidak memerlukan dukungan partai untuk bertarung di Pilkada 2017. Pernyataan Ahok ini dimuat berbagai media dan ditindaklanjuti Ahok dengan membentuk Tim Sukses “Teman Ahok” untuk mengumpulkan KTP dan surat dukungan rakyat pemilih Jakarta. Berbagai Posko pengumpulan KTP didirikan. Sikap emosional Ahok terhadap PDIP kemudian dikembangkan dengan mengerahkan media massa untuk membentuk opini publik negatif terhadap Parpol. Opini ini dimaksudkan untuk menekan partai-partai agar mau mendukung Ahok. Karena meski di depan publik Ahok selalu mengatakan tidak butuh Parpol, namun di belakang dan tanpa sepengetahuan publik, Ahok dan Timnya gerilya mati-matian untuk meraih dukungan Parpol. Bahkan berani mengklaim, PKB dan PAN telah bersedia memberikan dukungan dalam pencalonan dirinya. Ahok meradang dengan syarat diajukan PDIP agar ia meninggalkan ‘teman-temannya’. Bagi Ahok hal itu adalah mustahil karena ‘teman-teman Ahok’ inilah sebenarnya merupakan sponsor utama, pelindung dan donatur Ahok selama ini. Sulit bagi Ahok memenuhi permintaan Megawati agar Ahok meninggalkan ‘teman-temannya’ sebagai syarat agar PDIP dapat mempertimbangkan mengusung Ahok sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta. Informasi berkembang di kalangan elit politik Jakarta, Ahok sudah menyiapkan strategi jitu untuk meraih dukungan Parpol sesuai syarat pencalonan pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Pertama Ahok menaikan tawaran ‘mahar’ kepada PDIP. Disebut-sebut jumlahnya fantastis yaitu Rp. 250 miliar atau lebih dua kali lipat dibanding mahar Jokowi-Ahok pada Pilkada 2012 sebesar Rp100 miliar. Jumlah mahar itu tidak berarti bagi Ahok yang didukung puluhan konglomerat Cina. Di samping menawarkan mahar ratusan miliar rupiah, Ahok melobi Parpol lain untuk mendukungnya. Tetapi, hingga buku ini disusun, belum Ahok masih menggunakan jalur perorangan. Belum ada Parpol atau gabungan Parpol secara resmi menyatakan akan mengusung Ahok sebagai Calon Gubernur DKI tahun 2017 ini. Pertarungan Pilkada Jakarta 2017 dipastikan semakin keras dan seru karena menjadi Ahok pasti mati-matian dan habis-habisan berusaha memenangkan pertarungan dengan segala cara. Kegagalan memenangkan peraturan dapat membawa bencana bagi Ahok yang sedang diincar berbagai kasus korupsi. Kemenangan Ahok di Pilkada 2017 akan membuka jalan baginya untuk terus memberi konsesi luar biasa kepada para pengusaha dan konglomerat Cina yang telah setia membantunya selama ini. Bahkan, kemenangan Ahok di Pilkada 2017 membuka jalan bagi Ahok untuk maju sebagai Cawapres pada Pilpres 2019 atau bahkan mungkin sebagai Capres. Sesungguhnya peluang Ahok untuk memenangkan pertarungan dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 menghadapi jalan terjal. Secara sosiologi dukungan Ahok tergolong minoritas, baik berdasarkan primordial agama, etnis maupun strata sosial. Jika dalam pelaksanan Pilkada 2017 Ahok tetap meraih suara terbanyak, hal itu sangat penting untuk dipertanyaakan: mengapa pendukung minoritas bisa mencapai suara mayoritas di masyarakat pemilih DKI Jakarta? Tentu saja, jawabannya, telah terjadi “politik uang”, yakni para konglomerat Cina atau koorporet Cina telah menggunakan dana milik mereka untuk melakukan politik uang demi perolehan suara Ahok. Hal ini berakibat, proses demokratisasi di rakyat DKI menjadi menyimpang dan “dikotori” oleh kelompok konglomerat atau koorporet Cina. Demokrasi menjadi menghamba kepada kepentingan konglomerat dan koorporet Cina, bukan kepada rakyat. Kedaulatan rakyat dikhianati menjadi kedaulatan konglomerat dan koorporet Cina. Tetapi masih cahaya terang untuk proses demokratisasi rakyat DKI Jakarta. Ahok bukan Jokowi dan rakyat pemilih Jakarta sudah mengetahui karakter dan kinerja Ahok selama menjabat Wagub dan Gubernur Jakarta. Berdasarkan pengalaman kerja sebagai Gubernur DKI Jakarta, Ahok sesungguhnya tidak layak untuk lanjut dipilih jadi Gubernur DKI lagi. Mengapa? Antara lain karena Ahok: 1) Suka konfliks sesama penyelenggara negara; 2). Suka gusur paksa rakyat dan langgar Ham; 3). Suka Langgar Hukum; 4). Integritas Rendah; 5). Tutur kata kotor dan kasar; 6). Mengkangbinghitamkan fihak lain; 7) Kinerja Buruk; dan, 8). Kondisi rakyat DKI merosot. I.