Selasa, 28 Agustus 2018

EMPAT TAHUN INI JOKOWI GAGAL MENCAPAI TARGET RASIO GINI



Oleh
MUCHTAR  EFFENDI HARAHAP
(KETUA TIM STUDI NSEAS)


Pada 16 Agustus 2018, acara kenegaraan menjelang Peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke 73, di depan Sidang Tahunan MPR (DPR-DPD), Presiden Jokowi  menyampaikan Pidato Kenegaraan. Jokowi  menyampaikan  pencapaian Pemerintah dan  kinerja lembaga tinggi negara lain. Untuk pencapaian Pemerintah, Jokowi mengajukan 2 (dua) butir yakni (1) Fokus kepada UMKM dan 40 % lapisan masyarakat terbawah; (2) Rasio Gini yang membaik.

Jokowi berkata, keadilan ekonomi sangat menjadi perhatian serius kita, terutama keadilan bagi 40 persen lapisan masyarakat di bawah. Kita bersyukur bisa mencapai tingkat ketimpangan terendah dalam 6 tahun terakhir, yaitu Rasio Gini sudah turun menjadi 0,389. Tapi, upaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tidak pernah berhenti. Pemerintah merancang banyak program untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat agar pemerataan pendapatan bisa segera diwujudkan.

Terkait pencapaian angka Rasio Gini, Jokowi mengklaim, Rasio Gini sudah turun menjadi 0,389.

Pertanyaan pokok, apakah angka 0,389 itu sudah mencapai target baik berdasarkan janji kampanye atau RPJMN 2015-2019?

 Rasio Gini adalah salah satu alat untuk mengukur derajat ketidakmerataan distribusi pendapatan penduduk. Nilai rasio gini berkisar antara 0 dan 1. Koefisien Gini bernilai 0 menunjukkan adanya pemerataan pendapatan sempurna.

Sebaliknya, Rasio Gini  bernilai 1 mengindikasikan adanya pemerataan pendapatan yang tidak sempurna, atau dengan kata lain terjadi ketimpangan sempurna.

Secara nasional, nilai rasio gini Indonesia selama periode 2010-September 2014 mengalami fluktuasi, dengan rasio gini mencapai angka tertingginya di angka 0,414 pada September 2014. Namun, mulai bulan Maret 2015 hingga Maret 2018, nilainya secara konsisten mulai menurun. Bahkan rasio gini bulan Maret 2018 menjadi terendah sejak 7 tahun terakhir, atau sejak September 2011.

Apakah berhasil atau gagal penurunan Gini Rasio itu?

Jokowi dlm kampanye Pilpres 2014 berjanji  akan mengurangi kesenjangan sosial,  diukur dengan “gini ratio” 0,30.  Tetapi, di dalam   RPJMN 2015-2019 target gini ratio dirubah menjadi lebih tinggi yakni 0,36. Jokowi telah ingkar janji sejak dari perencanaan pembangunan.

Salah satu  masalah sosial  di Indonesia belum juga terpecahkan adalah ketimpangan/kesenjangan sosial diukur dari “Gini Rasio”. Gini Rasio atau koefisien adalah alat mengukur derajat ketidakmerataan distribusi penduduk. Ini didasarkan pada kurva Lorenz, yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variable tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk. Manfaat, digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh.

Jokowi saat kampanye Pilpres 2014 berjanji akan menciptakan kesenjangan sosial pada angka Gini Rasio 0,30 dan di dalam RPJMN 2015-2019 menaikkan menjadi 0,36. Setelah 4 (empat)  tahun berkuasa,  Jokowi hanya mampu menciptakan Gini Rasio masih jauh dari target,  sekitar  0,40 rata2. Versi BPS, September 2017, Gini Rasio sebesar 0,391. Pada Pidato Kenegaraan 2018, Jokowi mengklaim telah berhasil mencapai Gini Ratio 0,389.

Beragam lembaga dan hasil studi telah mengajukan penilaian kondisi ketimpangan sosial ekonomi di Indonesia. Salah satunya hasil  studi Credit Suisse (2016) menilai,  Indonesia adalah negara terburuk ke empat dalam hal ketimpangan ekonomi. Selanjutnya,  Lembaga internasional OXFAM juga memperingatkan, ketimpangan ekonomi di Indonesia sangat darurat. Dalam laporannya, OXFAM (2016)  menyebutkan total harta 4 (empat) orang terkaya di Indonesia, tercatat sebesar US$ 25 miliar setara dengan gabungan kekayaan sekitar 100 juta orang atau 40% dari total penghasilan masyarakat terbawah. Menurut laporan yang sama, pada tahun 2016, 1 % orang terkaya ini memiliki 49% atau hampir setengahnya dari total kekayaan populasi di tanah air. Hanya dalam sehari saja seorang konglomerat terkaya bisa mendapatkan bunga deposito 1.000 kali lebih besar dari pengeluaran 10% penduduk miskin Indonesia untuk setahun.  Bahkan, jumlah uang diperolehnya setiap tahun dari kekayaan itu cukup untuk mengentaskan lebih dari 20 juta warga keluar dari jurang kemiskinan.(Siaran Pers,  Farouk Abdullah Alwyni
Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development, CISFED)

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) ternyata berupaya merubah target lebih tinggi, yakni pada 2018 Gini Rasio 0,38, sedangkan pada  2019 Gini Rasio 0,37. Angka ini menyimpang dari janji kampanye hanya 0,30 dan juga RPJMN 2015-2018 hanya 0,36. Rezim Jokowi ini tidak jujur dan sepihak merubah target lebih mudah. Rezim sudah paham, takkan nampu mencapai target 0,30 sesuai janji kampanye Pilpres 2014, dan juga setelah dinaikan ke angka 0,36 di dlm RPJMN 2015-2019.

Angka versi Rezim Jokowi ini dinapikkan oleh Prabowo. BAGI Pesaing Jokowi dlm Pilpres 2019 ini,
kesenjangan terjadi di Indonesia dengan  angka Rasio Gini  0,45.
"Menurut lembaga-lembaga internasional, sekarang ini, Rasio Gini kita kurang lebih 0,45. Jadi 1 persen rakyat kita menguasai 45 persen kekayaan Indonesia. Ini dari Bank Internasional yang menilai itu," katanya (25 Juni 2018).

Kesimpulan, pernyataan Jokowi di dlm pidato kenegaraan 16 Agustus 2019 lalu terkait pencapaian Pemerintah Rasio Gini yang membaik, tidaklah betul. Rezim Jokowi justru gagal mencapai target Rasio Gini 0,30 sesuai kampanye Pilpres 2014, juga target Gini Rasio 0,36 di dlm RPJMN 2015-2019.  Rezim Jokowi sesuai data mereka, baru mampu mencapai 0,389. Masih jauh, padahal tinggal setahun lagi Rezim ini  berkuasa.

Sabtu, 25 Agustus 2018

EMPAT TAHUN INI, JOKOWI MASIH GAGAL MEMBANGUN INFRASTRUKTUR




Oleh
MUCHTAR   EFFENDI HARAHAP
(KETUA TIM STUDI NSEAS)


Pada 16 Agustus 2018, acara kenegaraan menjelang Peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke 73, di depan Sidang Tahunan MPR (DPR-DPD), Presiden Jokowi  menyampaikan Pidato Kenegaraan. Jokowi  menyampaikan  pencapaian Pemerintah dan  kinerja lembaga tinggi negara lain.

Di dlm pidato kenegaraan itu, Presiden Jokowi berkata, mulai tahun pertama pemerintahan, kita membangun fondasi yang kokoh untuk menuju Indonesia yang lebih maju. Karena itu, Pemerintah fokus pada percepatan pembangunan infrastruktur serta peningkatan produktivitas dan daya saing bangsa. Percepatan pembangunan infrastruktur bukan hanya dimaksud untuk mengejar ketertinggalan kita dalam pembangunan infrastruktur dibanding dengan negara lain, melainkan juga menumbuhkan sentra-sentra ekonomi baru yang mampu memberikan nilai tambah bagi daerah-daerah di seluruh penjuru tanah air. Itulah sebabnya infrastruktur tidak hanya dibangun di Jawa, tapi di Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara, sampai Tanah Papua karena, sebagai bangsa yang majemuk, kita ingin tumbuh bersama, sejahtera bersama, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.

Ada dua pertanyaan pokok dari pidato Jokowi terkait pembangunan infrastruktur ini.

Pertama, apakah Rezim Jokowi ini berhasil atau gagal membangun infrastruktur sejak tahun pertama berkuasa Jawabannya: MASIH GAGAL !

Kedua, apakah pembangunan infrastruktur tidak hanya dibangun di Jawa, tapi di Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara, sampai Tanah Papua? Jawabannya: lebih banyak membangun infrastruktur di Pulau Jawa ! Masih Jawa Sentris.

Pembangunan infrastruktur masih gagal:

1.  Pembangunan infrastruktur "Tol Laut  "  bidang kemaritiman masih buruk dan gagal mencapai target 24 lokasi pelabuhan laut sesuai RPJMN. Sangat tidak mungkin bisa mengejar target hanya 1 tahun lagi. Juga target pengurangan atau penurunan  harga barang2  kebutuhan pokok di daerah2  terpencil Timur Indonesia dan  Indonesia Barat belum dapat dibuktikan Pemerintah. Tahun kedua, ketiga dan keempat, issu Tol Laut sudah menghilang, diganti issu Tol Darat !

2.   Pembangunan  infrastruktur "perumahan rakyat" tergolong buruk,   gagal dan tidak mampu mencapai target sejuta unit rumah per tahun.
Per 22 Desember 2015, realisasi pembangunan rumah MBR   hanya 667.668 unit, terdiri dari 353.120 unit baru, 76.755 unit renovasi rumah. Rumah Non MBR tercapai 237.813 unit. Total realisasi meleset jauh dari target utk MBR 603.516 unit dan 396.484 unit utk Non MBR. Pd tahun kedua (2016), telah merealisasikan  program sejuta rumah dgn capaian   805.169 unit. Artinya, gagal mencapai target sejuta rumah. Pd tahun ketiga, hingga awal Desember 2017, realisasi program sejuta rumah 765.120 unit, didominasi 619.868 unit utk MBR (81%) dan 145.252 unit utk Non MBR (19%).
Capaian 2015 hanya 699.770 unit; 2016 sebanyak 805.169 unit; 2017 sebanyak 906.169 unit. Tetapi, semua angka capaian masih di bawah target (1 juta unit per tahun).
Terakhir Agustus 2018, baru 583.000 unit atau sekitar 60 % terbangun. Waktu tinggal 4 bulan lagi, mustahil target 2018 tercapai!

3.  Pembangunan infrastruktur Sumber Daya Air (SDA)   seperti Waduk, Jaringan Irigasi, Bendungan dll masih buruk dan belum mencapai target capaian. Sudah 4 tahun masih belum bisa membuktikan   prestasi meraih target capaian baik waduk, jaringan irigasi maupun bendungan. Sekalipun secara vokal, bisa bilang optimis, akan berhasil, tetapi 4 tahun ini membuat kita percaya, takkan sukses dengan proyek2  infrastuktur SDA hingga berakhir 2019.

4.  Pembangunan  infrastruktur "jalan dan jembatan" nasional termasuk Jalan Tol masih belum baik dan gagal mencapai target. Sementara finalisasi pembangunan Jalan Tol selama ini adalah kelanjutan dari pembangunan era SBY. Di Sumatera (rencana membangun 2.818 km) misalnya tidak ada Jalan Tol telah selesai tahap konstruksi (operasional)  hasil prakarsa era Jokowi. Hanya baru tahap kegiatan pra-konstruksi.   Kalaupun ada baru sekitar 25 km di Lampung. Sisa waktu Jokowi berkuasa hanya 1 tahun lagi takkan mungkin berhasil mencapai target.  Jika dibandingkan era SBY periode kedua, jelas kondisi kinerja Jokowi masih jauh di bawah SBY di bidang jalan dan jembatan.

5. Pembangunan infrastruktur "perkeretaapian" lebih buruk lagi. Sudah 4 tahun berkuasa, belum mampu merealisasikan target capaian. terutama di luar Pulau Jawa. Satu parameter pembanding, era Jokowi sudah lebih 4 tahun baru membangun 388 Km jalur KA, sementara era SBY untuk 5 tahun mencapai 922 KM.  Jokowi di bidang perkeretaapian lebih buruk dan masih gagal mencapai target. Kalaupun ada finalisasi pembangunan jalur KA (operasional), akhirnya bukan di luar Pulau Jawa seperti di Kalimantan, Sulawesi atau Sumatera, tetapi masih saja di Pulau Jawa seperti  LRT. Di Palembang memang telah  beroperasi LRT tetapi hal itu untuk kepentingan acara Asian Games di Kota itu.

6. Pembangunan  infrastruktur "perhubungan udara" seperti Bandara
(Bandar Udara) juga masih buruk dan gagal mencapai target.  Era SBY jauh lebih mampu membangun Bandara. Ada  28 Bandara dibangun era SBY. Target pembangunan Bandara era Jokowi selama 5 tahun    hanya 15 Bandara (sekitar  50% target era  SBY). Meskipun lebih sedikit target era Jokowi,  masih terseot-seot utk merealisasikan target tsb.  SBY jauh lebih bagus ketimbang Jokowi.

7.  Pembangunan infrastruktur "perhubungan laut" seperti pelabuhan laut internasional dan nasional belum sukses  mencapai target. Untuk rencana   pembangunan infrastruktur laut  tahun  2015-2019, Rezim Jokowi menargetkan pembangunan 306 lokasi pelabuhan. Pada 2017, Rezim Jokowi baru mampu   membangun 37 lokasi pelabuhan baru. Sementara, jangka 4 (empat) tahun ini telah membangun   105 lokasi pelabuhan. Maknanya, Pemerintah selama 4 tahun baru mampu merealisasikan target 306 lokasi pelabuhan atau  hanya   sekitar 50%.   Ke depan, waktu tinggal 1 tahun lagi, masih 50% lokasi pelabuhan  harus terbangun. Sangat mustahil dapat dipenuhi.

Selanjutnya, Jokowi dalam NAWACITA butir ke tiga menyatakan, akan membangun Indonesia dari pinggiran selama ini tertinggal dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Pembangunan tidak hanya berorientasi ke wilayah Jawa atau Jawa-sentris, tapi juga Kalimantan, Papua, Nusa Tenggara timur, dan lainnya.

Di Sumatera telah direncanakan, pembangunan Jalan Tol sepanjang total 2.818 km bakal menghubungkan kota-kota di Sumatra dari Lampung hingga Aceh. Jokowi juga mempromosikan, akan bangun Kereta Api di luar Jawa, mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Selelah 4 tahun Rezim Jokowi berkuasa, faktanya? Utk Papua, ada baiknya baca tulisan Natalius Pigai, beredar di Medsos. Pigai menilai, Jokowi hanya membangun 1 ruas jalan Wamena-Nduga, stadion batu dan jembatan Holtekam dari dana kredit Pemda, uang kringat rakyat Papua. Era SBY terbangun infrastruktur 7 ruas jalan prioritas dan 4 ruas jalan strategis tanpa pencitraan.

Utk Sulawesi, pembangunan Kereta masih di sekitar Barru-Pare2 (Sulsel). Itupun proyek era SBY. Utk Kalimantan, no realisasi pembangunan KA. Mangkrak !

Setelah 4 tahun berkuasa, ternyata Rezim Jokowi kembali ke Jawa Sentris. Infrastruktur lebih banyak dibangun di Pulau Jawa. Konsep pinggiran kepung kota, hanya ada dlm pencitraan Jokowi dlm kampanye dan awal bekuasa.  No implementasi.

Beragam penilaian kritis atas kebijakan pembangunan infrastruktur Jokowi:

1. Utang Pemerintah tembus Rp. 4.000 Triliun. Benarkah utk infrastruktur seperti klaim Rezim Jokowi?  Ekonom Faisal Basri menegaskan, pembangunan infrastruktur lebih banyak mengandalkan pembiayaan dari dana internal BUMN yg ditugaskan Rezim. Bukan berasal dari utang diambil Pemerintah langsung. Terbukti, utang Pemerintah relatif kecil hubungannya dgn pembangunan infrastruktur. Sebagai contoh, pembangunan kereta api ringan (LRT) Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi (Jabodebek), ditugaskan Bumn PT KAI dan PT. Adhi Karya. Dana dibutuhkan Rp.31 triliun, tetapi Pemerintah memberikan PMN hanya Rp.7,6 triliun.
2. KPK perlu periksa pembangunsn infrastruktur Jokowi karena ada indikasi korupsi raksasa. Ada kejanggalsn di proyek infrastruktur Jokowi. Indikasinya, ada mark up. Ada biaya standar internasional harga per Km utk biaya produksi jalan Tol, LRT dll yg jauh lebih murah dari biaya dikeluarkan Pemetintah. Sebagai misal, salah satu proyek harga produksi per Km hanya USD 8 juta atau sekitar Rp120an miliar. Namun, Pemerintah mengeluarkan Rp.300 miliar per Km.
3.  Ada 4 BUMN Karya terancam bangkrut karena terlilit utang jangka pendek untuk mengejar pembangunan infrastruktur
ditugaskan pemerintah. Diperkirakan, utang  melilit 4 BUMN Karya Rp 156 triliun. Dari jumlah itu, Rp 115 triliun adalah utang jangka pendek,  harus dilunasi dalam jangka waktu 1 tahun. Kalau sampai tidak mampu bayar, maka negara harus mengcover dengan menyuntikkan dana APBN. Tentunya sangat membebani dan mengganggu program pembangunan infrastruktur lain.

4. CNN Indonesia -- Bank Dunia menyebut keuangan BUMN tak sanggup membiayai infrastruktur jangka panjang. Menurut Bank Dunia, BUMN perlu menggandeng sektor swasta.
"Dalam rencana pembangunan jangka menengah, pemerintah mengindikasikan BUMN tidak dapat memenuhi kebutuhan pendanaan infrastruktur," tulis laporan Bank Dunia bertajuk 'Infrastructure Sector Assesment Program' edisi Juni 2018, dikutip Jumat (4/1).

Data MenPUPR Basoeki Hadimoeljono (Bisnis.Com.), dari 150 proyek PUPR masuk dalam Proyek Strategis Nasional,  hanya 14 proyek telah selesai. Pembangunan bendungan ditargetkan 65 bendungan sampai 2019. Empat tayun Pemerintahan Jokowi baru  terbangun 39 bendungan.
Basoeki juga menjelaskan, pembangunan jalan tol dibiayai APBN dan non-APBN baru mencapai 332,60 Km dari target 1.851 Km sampai 2019. Selanjutnya, Pembangunan sistem penyediaan air minum (SPAM) selama 2015—2017 baru mampu  menambah kapasitas sebesar 15.962 liter per detik dari target 36.152 liter per detik sampai 2019.Disektor perumahan, Basoeki mengatakan, pihaknya baru mampu membangun 2.490.378 unit untuk masyarakat. Padahal sampai 2019, Jokowi menargetkan 5 juta unit.

Minggu, 19 Agustus 2018

EMPAT TAHUN INI JOKOWI BURUK DAN GAGAL DI BIDANG HAM



Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP
(KETUA TIM STUDI NSEAS)


Pada 16 Agustus 2018, acara kenegaraan menjelang Peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke 73, di depan Sidang Tahunan MPR (DPR-DPD), Presiden Jokowi  menyampaikan Pidato Kenegaraan tentang pencapaian Pemerintah dan  kinerja lembaga tinggi negara. Salah satu poin pencapaian Pemerintah dalam  pidato Jokowi terkait penyelesaian kasus2 HAM berat masa lalu.

Jokowi berkata,  kita juga harus memberikan perhatian yang kuat pada upaya penghormatan, perlindungan, pemenuhan, dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Itu yang menjadi semangat Pemerintah dalam mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 33 tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Tahun 2015-2019. Pemerintah berupaya mempercepat penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu serta meningkatkan perlindungan HAM agar kejadian yang sama tidak terulang lagi di kemudian hari.

Mungkinkah Jokowi tahun 2019 ini sungguh2 menyelesaikan kasus2 HAM masa lalu? Mustahil, hanya janji kosong belaka

Selama 4 (empat) tahun menjadi Presiden RI, kondisi kinerja Jokowi buruk dan gagal di bidang HAM.

Saat kampanye lisan Pilpres 2014, Capres Jokowi berjanji, menyelesaikan pelanggaran HAM  masa lalu semisal kasus:
(1) Tragedi Pembantaian Massal 1965-1966;
(2).Tragedi Trisakti;
(3). Tragedi Semanggi I dan II;
(4) Tewasnya aktivis HAM, Munir.

Kampanye tertulis  Jokowi tertuang di dalam dokumen   Tri Sakti dan NAWACITA.  Ia berjanji, akan penghormatan HAM dan penyelesaian berkeadilan  terhadap kasus2 pelanggaran HAM masa lalu.

Apakah Jokowi menepati janji ini? Tidak akan !

Setelah berhasil menjadi Presiden, diterbitkan RPJMN 2015-2019. Di bidang HAM, Jokowi akan mencapai sasaran, antara lain: (1) Terwujudnya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM melalui penegakan HAM; (2) Penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak; dan (3) Pendidikan HAM.

Setelah 4 tahun menjadi Presiden, berhasil kah Jokowi mencapai sasaran tsb.? Tidak  juga !

UPR (Universal Periodical Review, Dewan HAM PBB) telah meninjau kondisi pelaksanaan  HAM di Indonesia pada. 2017. Beberapa issu yakni:  (1)  Memburuknya toleransi agama; (2) Pelanggaran HAM di Papua ; (3) Pelaksanaan hukuman mati; (4) Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu; dan, (5) Kekerasan terhadap perempuan, terutama kekerasan seksual.

Beberapa aktor pejuang HAM juga menilai kritis kondisi penegakan HAM di Indonesia era Jokowi. Salah satunya YBHI, menilai Jokowi cenderung fokus ke bidang ekonomi dan infrastruktur. Kurang memperhatikan soal penegakan  HAM. Hal ini terlihat dari bagaimana Pemerintah saat ini menanggapi kasus2 dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu. Juga korban2 minoritas di berbagai tempat tidak bisa mendapatkan hak. Jokowi gagal dalam menuntaskan pelanggaran HAM.

Sebagai pembanding, di era SBY, dibuka ruang diskusi dgn para korban pelanggaran HAM berat di Istana. Sementara di era Jokowi, tidak ada diskusi dan terjadi kemunduran. Jokowi belum merealisir janji kampanye Pilpres 2014 juga sudah dituangkan dalam Nawacita dan RPJMN 2015-2019. Salah satu janji Jokowi yakni pembentukan Komite adhoc, bertugas mirip Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Hingga kini, cuma janji kosong.

Selanjutnya, Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras, Feri Kusuma menilai, hingga kini belum ada pembahasan apapun upaya untuk memanggil para korban untuk mendiskusikan langkah apa yang sebaiknya ditempuh. Ia dan teman2 pegiat HAM sudah berulangkali datang ke Kantor Staf Presiden dan Sekretaris Kabinet untuk memberikan berkas2  dan menyampaikan argumentasi terkait penyelesaian kasus2 ini tetapi sampai sekarang tidak ada respon dari Presiden (Harian Terbit, 11 Des 2017).

Suciwati Munir adalah  Istri Almarhum Munir aktivis korban pelanggaran HAM. Pada 18 Agustus 2017, Ia kembali menagih janji Jokowi utk menuntaskan kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Pasalnya, bagi Suciwati, selama 3 tahun terakhir Jokowi sama sekali belum berbuat apa2 utk merealisasikan janjinya. "Saya bilang, pemerintahan ini tidak punya jiwa dalam penegakan hukum.Saya pikir dalam penindakan hukum dan HAM, Jokowi nol," tandas Suci.

Para pejuang HAM mencermati, pd 2016 dan 2017, kasus penegakan HAM  absen dalam pidato kenegaraan Jokowi. Padahal dalam pidato kenegaraan 2015, Jokowi mengatakan bahwa pemerintah berkomitmen membentuk komite rekonsiliasi untuk pelanggaran HAM berat. Baru pada pidato kenegaraan 2018 hadir kembali, berjanji akan menyelesaikan kasus2 pelanggaran HAM masa lalu.

"Saat ini pemerintah sedang berusaha mencari jalan keluar paling bijaksana dan mulia untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Air. Pemerintah menginginkan ada rekonsiliasi nasional sehingga generasi mendatang tidak terus memikul beban sejarah masa lalu,” ungkap Jokowi.

Pada  8 Juni 2018, Komnas HAM  bertemu Jokowi. Jokowi meminta masukan terkait DKN untuk menuntaskan kasus HAM.
Tetapi, prakarsa ini tinggal prakarsa, walau sudah 4 tahun Jokowi berkuasa. Tidak ada tindak lanjut sehingga  janji lisan kampanye Pilpres 2014 masih janji belaka.

Hingga tahun keempat sebagai Presiden, penyelesaian kasus HAM masa lalu masih buram. Jokowi tercatat memiliki hutang untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.  Intinya, kondisi kinerja Jokowi di bidang HAM buruk dan gagal.

Parameter persekusi dapat dijadikan kriteria penilaian kinerja Jokowi urusan penegakan HAM. Kata “Persekusi” menjadi populer di Indonesia terutama di era Jokowi ini. Persekusi bermakna perlakuan buruk atau penganiyaan secara sistematis oleh individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lain, khususnya karena suku, agama, atau pandangan politik. Persekusi adalah salah satu jenis kejahatan kemanusiaan, HAM dan juga pelanggaran hukum pidana.

Dalam suatu acara dialog di TV One, 12 Des 2017, nara sumber UHAMKA, Manager Nasution menyebutkan, ada 47 kali persekusi tanpa ada penegakan hukum melalui pengadilan. Dari sisi penegakan hukum, sepanjang terjadinya persekusi tahun 2017 dan 2018 tiada bukti,  Pemerintah melaksanakan. Negara absen saat terjadi persekusi. Kinerja buruk !

Pada 31 Mei 2018 lalu, Jokowi memerintahkan Jaksa Agung HM Prasetyo untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM seusai bertemu dengan para peserta aksi Kamisan. Kasus-kasus tersebut antara lain kasus 1965-1966, kasus Talangsari Lampung, kasus Tanjung Priok, kasus penghilangan orang secara paksa, kasus Mei 1998, kasus Trisakti-Semanggi 1 dan 2 Jakarta , kasus Jambu Keupok dan Simpang KKA di Aceh.

Perintah Jokowi ini tanpa tindak lanjut. Bahkan, Jaksa Agung berdalih, kesulitan memproses kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM masa lalu, karena saksi dan bukti yang belum mencukupi. Pihaknya masih menunggu kelengkapan bukti dari penyelidikan Komnas HAM terhadap terjadinya dugaan pelanggaran HAM berat.

Di lain pihak, Komnas HAM mengakui,  telah menyelidiki enam kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang menjadi perhatian khusus. Kasus tersebut yakni (1) Tragedi 1965-1966; (2) Peristiwa Talangsari; (3)  Penembakan misterius (Petrus); (4) Peristiwa Semanggi I dan II ; serta (6) Penghilangan paksa para aktivis. Kasus-kasus dimaksud sudah dikirim kepada Jaksa Agung. Itu juga bukan kasus-kasus kemarin sore, sudah puluhan bahkan belasan tahun. Komnas HAM sudah menyelesaikannya.

Pada kondisi kinerja buruk dan gagal menepati janji, Pemerintah melalui Menko Polhukam Wiranto memprakarsai pembentukan  Tim Terpadu dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di luar jalur hukum. Tim dimaksud
 DKN (Dewan Kerukunan Nasiobal), suatu solusi penyelesaian kasus HAM di luar hukum. Prakarsa ini bukan dari suara korban. Tetapi, DKN belum ada payung hukum. Tujuannya, kata Menko Polkam Wiranto  (7 Nopember 2017) untuk menegakkan kembali rasa musyawarah mufakat merupakan budaya Indonesia.
Rencananya lembaga tersebut akan diisi oleh para tokoh-tokoh bangsa yang diakui kredibilitas dan kebijakannya. Menurut Wiranto, hal ini karena tidak semua masalah horisontal dilarikan ke yudisial melainkan harus melalui non yudisial. Cara ini menggunakan cara-cara lama atau adat musyawarah mufakat.

Komnas HAM  menolak prakarsa Ini.
Tak hanya menolak  bergabung dengan Tim itu, Komnas HAM mengatakan berkas kasus yang sudah diajukan ke Jaksa Agung akan tetap menjadi berkas hukum meski ada lproses lain yang sedang berlangsung.

Salah satu penilaian kondisi kinerja Jokowi datang dari Human Rights Watch (HRW). Kepemimpinan Presiden Jokowi dinilai tidak mampu menggerakkan aparat negara untuk menuntaskan kasus kejahatan HAM. Kegagalan tersebut menempatkan generasi mendatang dalam risiko besar.

Awalnya Pemerintah Jokowi dipuji berkat "langkah-langkah kecil" melindungi hak sipil kaum minoritas. Langkah Kejaksaan Agung menggugurkan larangan LGBT dalam perekrutan tenaga kerja dan menyusutnya tahanan politik Papua dari 37 menjadi lima orang adalah dua kebijakan disambut hangat oleh organisasi HAM, HRW. Selebihnya Indonesia mendapat rapor merah dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM dan intoleransi.

Pemerintah dinilai gagal mewujudkan perlindungan HAM seperti yang dijanjikan Jokowi. Kaum minoritas agama tercatat masih sering menghadapi diskriminasi dan intimidasi dari otoritas pemerintahan dan ancaman kekerasan dari kelompok militan Islam. Sementara tahanan politik di Papua dibui hanya karena menyuarakan pendapat secara damai. Pemerintah Jokowi menutup mata tentang maraknya penganiayaan terhadap kelompok minoritas agama dan seksual.

Penilaian kritis terhadap kepemimpinan Jokowi terkait penegakan HAM ini  terkandung di dalam laporan setebal 643 halaman tentang kondisi pelanggaran HAM di lebih dari 90 negara yang dirilis Human Rights Watch baru baru ini. Penilaian kritis ini memperkuat kesimpulan, empat tahun Jokowi berkuasa, kondisi kinerja di bidang  HAM buruk dan gagal.

Jumat, 17 Agustus 2018

TANGGAPAN PIDATO JOKOWI 16 AGUSTUS 2018: EMPAT TAHUN INI JOKOWI BURUK DAN GAGAL DI BIDANG UMKM Oleh


TANGGAPAN PIDATO JOKOWI 16 AGUSTUS 2018:
EMPAT TAHUN INI JOKOWI BURUK DAN  GAGAL DI BIDANG UMKM


Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP
(KETUA TIM STUDI NSEAS)


Pada 16 Agustus 2018, pada acara kenegaraan menjelang Peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke 73, di depan Sidang Tahunan MPR (DPR-DPD), Presiden Jokowi  menyampaikan Pidato Kenegaraan. Jokowi  menyampaikan  pencapaian Pemerintah dan  kinerja lembaga tinggi negara lain. Untuk pencapaian Pemerintah, Jokowi mengajukan 2 (dua) butir yakni (1) Fokus kepada UMKM dan 40 % lapisan masyarakat terbawah; (2) Rasio Gini yang membaik.
Terkait pencapaian UMKM dan 40 % masyarakat bawah, Jokowi mengklaim, Pemerintah  tidak hanya memperhatikan usaha besar-besar saja, tapi juga fokus pada UMKM dan 40 % lapisan masyarakat terbawah. Untuk menyasar 40 % lapisan masyarakat terbawah, Pemerintah tengah menjalankan program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial, serta peningkatan akses permodalan bagi usaha  ultra mikro, usaha mikro, dan usaha kecil. Selanjutnya, Jokowi juga mengklaim, untuk mendorong perkembangan usaha UMKM, Pemerintah menurunkan tarif pajak final UMKM menjadi 0,5 persen serta penajaman KUR bisa dinikmati 12,3 juta UMKM.

Pidato Kenegaraan Jokowi ini sungguh mengundang tanda tanya. Pertama, mengapa setelah 4 tahun berkuasa baru kali ini mempromosikan Pemerintah urus bidang UMKM? Padahal selama ini sibuk mempromosikan pembangunan infrastruktur   Bisa jadi, diangkatnya bidang UMKM ini sekarang untuk mencari dukungan suara dari segmen pemilih berkerja untuk UMKM. Tahun ke lima Jokowi berkuasa dijadikan tahun mencari dukungan suara pemilih. Kedua, apakah betul selama ini Pemerintah Jokowi telah memperhatian bidang UMKM? Jawabannya: TIDAK !  Selama 4 (Empat) Tahun ini Jokowi gagal urus UMKM.

Salah satu urusan pemerintahan harus diselenggarakan Presiden RI Jokowi yakni bidang Koperasi dan UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah). Jokowi harus bertanggungjawab bidang Koperasi dan UMKM.

Untuk menilai kinerja dan keberhasilan Jokowi urus Koperasi dan UMKM dapat digunakan Standar  kriteria:
1. Janji lisan kampanye Jokowi saat Pilpres 2014 terkait bidang Koperasi dan UKM.
2. Janji tertulis kampanye Jokowi saat Pilpres 2014 tertuang  di dlm dokumen NAWACITA.
3. RPJMN 2015-2019 diterbitkan Presiden Jokowi.
4. Renstra Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2015-2019.

Saat kampanye lisan Pilpres 2014, Jokowi berjanji akan memberi bantuan dana Rp.10 juta per tahun untuk UMKM/Koperasi. Janji ini sama sekali tidak dipenuhi Jokowi. Ia ingkar janji.
Selanjutnya, di dalam 9 (sembilan) agenda prioritas NAWACITA, tidak terdapat rencana bidang Koperasi  dan UMKM. Relatif detail terdapat di dalam RPJMN 2015-2019, antara lain;
1. Pertumbuhan kontribusi Koperadi dan UMKM thdp pembentukan PDB rata2 6,5-7,5 % per tahun.
2. Pertumbuhan jumlah tenaga kerja UMKM rata2  4,0-5,5 % per tahun.
3. Pertumbuhan kontribusi Koperasi dan UMKM dalam ekspor non migas rata2 5,0-7,0 % per tahun.
4.Pertumbuhan kontribusi Koperasi dan UMKM dalam investasi rata2 8,5-10,5 % per tahun.
5.Pertumbuhan produktivitas UMKM rata2  5,0-7,0 % per tahun.
6.Proporsi UMKM mengakses pembiayaan formal target 2019 sebesar 25, 0 %.
7.Pertambahan jumlah wirausaha baru melalui program pusat dan daerah, selama 5 tahun lahir 1 juta unit.

Tidak jauh berbeda RPJMN 2015-2019, di dalam RENSTRA Kemenkop dan  UKM  tertuang al.:
1. Pertumbuhan kontribusi Koperadi dan UMKM terhadap PDB rata2 6,5-7,5 % per tahun.
2. Pertumbuhan jumlah tenaga kerja UMKM rata2  4,0-5,5 % per tahun.
3. Pertumbuhan kontribusi Koperasi dan UMKM dalam ekspor non migas rata2  5,0-7,0 % per tahun.
4. Pertumbuhan kontribusi UMKM dan Koperasi dlm investasi   rata2  8,5-10,5% per tahun.
5. Pertumbuhan produktivitas UMKM rata2 5,0-7,0 % per tahun.
6. Proporsi UMKM mengakses pembiayaan formal target  25,0 % pada tahun 2019.

Apakah Pemerintah Jokowi berhasil mencapai target di atas ? Kemenkop  dan UKM AA Gede acapkali mengingatkan kondisi kontribusi Koperasi terhadap PDB sudah meningkat dan "pecah telur".  Menurutnya, pada 2014 (era SBY)  kontribusi hanya 1,71%. Lalu, Menteri ini  memperkirakan pada Triwulan III/2017 mencapai 4,48%. Data Kemenkop dan UKM mencatat, jika mengacu pada data BPS tentang total PDB Nasional Triwulan III/2017 atau hingga September 2017, sebesar Rp.10.096 triliun maka kontribusi Koperasi sebagai lembaga sekitar Rp.451 triliun.

Perkembangan kontribusi ini sbb:  2014 tercatat 1,71%,  2015 naik  4,41%,  2016 turun menjadi 3,99%, 2017 kemudian diperkirakan naik 4,48 %. Rata2 kontribusi era Jokowi yakni sekitar 4,3 %. Meski demikian, capaian era Jokowi ini masih jauh dibawah target capaian pertahun (6,5-7,5 %). KOndisi Kinerja Jokowi buruk dan gagal urus Koperasi dan UMKM.

Dari sisi pertumbuhan jumlah tenaga kerja UMKM, Jokowi menargetkan rata2  4,0-5,5 % per tahun. Kondisi  koperasi  4 (empat) tahun Jokowi jadi Presiden,  tidak ada perubahan jumlah berarti baik aktif maupun tidak aktif. Pada  2015 total Koperasi  sebanyak 205.781 unit,  aktif 148.589 unit,  tidak aktif 57.192 unit. Pada 2016 total Koperasi 208.165 unit, aktif 150.789 unit, tidak aktif 75.376 unit. Pada per 20 Maret 2017 total 208.373 unit, aktif 151.456 unit, dan tidak aktif 56.917 unit (Sumber Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM, 23 Maret 2017).

Salah satu masalah Koperasi yakni masih banyak koperasi tidak aktif. Bahkan LAKIP Menkop dan UKM 2015 mengakui, masih banyak Koperasi yang belum menerapkan nilai dan prinsip koperasi secara benar. Di lain pihak, diakui juga  masalah UMKM antara lain:    kualitas SDM rendah,  peran sistem pendukung kurang optimal, dan  kebijakan dan peraturan kurang efektif.

Data BPS menunjukkan, jumlah tenaga kerja UMKM pada 2014 sebanyak  8.362.746;  pada 2015 menaik sedikit yakni 8.735.781.
Selanjutnya target capaian pertumbuhan kontribusi UMKM dan Koperasi dlm ekspor non migas rata2  5,0-7,0 % per tahun. Berhasilkah  Jokowi mencapai target? Tidak juga !

Dari sisi pertumbuhan kontribusi UMKM dan Koperasi dlm investasi, target capaian   rata2  8,5-10,5% per tahun. Berhasilkah? Tidak juga !

Selanjutnya target  capaian pertumbuhan kontribusi Koperasi dan UMKM dalam ekspor non migas rata2  5,0-7,0 % per tahun. Berhasilkah ? Tidak juga!

Dari sisi pertumbuhan kontribusi Koperasi dan UMKM dalam investasi,  target capaian   rata2  8,5-10,5% pertahun. Berhasilkah? Belum terbukti !

Selanjutnya, target  pertumbuhan produktivitas UMKM rata2 5,0-7,0 % per tahun. Menurut BPS, pertumbuhan produksi UMKM rata2 tahunan  5,71 % pada 2015. Angka ini menaik dibandingkan pd 2014 hanya 1,35 %. Tetapi, untuk tahun 2016, 2017 dan 2018: belum terbukti !.

Terakhir, target proporsi UMKM mengakses pembiayaan formal target  25,0 % pada 2019. BPS menyajikan data posisi kredit UMKM pada Bank Umum untuk modal kerja Rp, 537.186 miliar pada 2015, lebih banyak ketimbang 2014, yakni 490.262 miliar rupiah. Penggunaan utk investasi pd 2015 mencapai Rp. 202.615 miliar, melebihi tahun 2014 hanya Rp. 181.459 milyar. Bagaimana tahun 2016, 2017 dan 2018?  Belum terbukti mencapai target !

Sebagai pembanding, hasil kebijakan Bank Indonesia (BI) membantu pemberian kredit kepeda UMKM. Pada awal 2013, BI menerbitkan  Peraturan Bank Indonesia  Nomor 14/22/PBI/2012 dan revisinya  Nomor 1 7/12/PBI/2015). BI mewajibkan Bank Umum memberi  kredit kepada UMKM minimal 20% dari total portofolio kredit pd 2018. Peraturan ini berlaku untuk semua Bank Umum.
Disebut  Bank Umum bank komersial, bank syariah dan bank campuran.

Antara tahun 2013 dan 2014, Bank diperbolehkan  menyalurkan kredit kepada UMKM sebanyak mereka mampu. Rasio kredit baru diberlakukan mulai 2015 ke atas. Pada 2015, rasio kredit UMKM tehadap total kredit minimal 5%. Pada
2016  minimal 10%; 2017  minimal 15%;
2018 minimal 20%.  Target BI l ini ternyata cukup sulit dipenuhi bagi beberapa Bank. Pada  Maret 2017, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan,  sekitar seperlima Bank Umum tidak dapat memenuhi target rasio kredit UMKM sebesar 10%  diberlakukan BI untuk 2016 . Maknanya, Pemerintah gagal bantu penyaluran kredit UMKM.
Kini melalui Pidato Kenegaraan Jokowi mengangkat issu pencapaian UMKM. Padahal,  “selama  empat  tahun  ini kondisi kinerja Jokowi buruk dan gagal di bidang UMKM”.
Selanjtnya, Jokowi juga mengangkat issu pencapaian 40 % lapisan masyarakat terbawah. Jokowi mengklaim, Pemerintah  juga fokus 40 % lapisan masyarakat terbawah. Untuk menyasar 40 % lapisan masyarakat terbawah, Pemerintah tengah menjalankan program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial.
Perhutanan social adalah program nasional untuk pemerataan ekonomi dan mengurangi ketimpangan melalui tiga pilar yakni lahan, kesempatan usaha dan sumber daya manusia. Perhutnan social adalah program legal membuat masyarakat bisa turut mengelola hutan dan mendapatkan manfaat ekonomi.

Semula Pemerintah menetapkan hutan negara seluas 12,7 juta Ha disediakan untuk program perhutanan social ini.  Tetapi, kemudian dikurangi hanya 4,3 juta Ha.  Program ini relatif berhasil memenuhi target 4,3 Juta Ha.  Hingga kini (Agustus 2018)  terlah tercapai target 1,7 juta Ha. Masih harus dipenuhi  2,6 juta Ha. Menurut Menteri LHK,  target capaian per bulan dipercepat dari 120 ribu  Ha selama ini menjadi 170 ribu Ha per bulan. Jika berhasil, maka target 4,3 juta Ha 2019 akan tercapai.  Kita tunggu saja akhir 2019, tercapaikah target 4,3 juta Ha ?

Memang, untuk cari suara pemilih di strata sosial bawah, program ini sangat efektif dan efisien. Efektif karena langsung rakyat dapat memanfaatkan tanah hutan negara tanpa baYar, bahkan dapat bantuan pembinaan. Efisien karena bisa dapat suara pemilih tanpa biaya kampanye Pasangan Jokowi-Ma'ruf. Atas nama program pemerintah, bisa gunakan dana negara. Legal!!!

Kamis, 16 Agustus 2018

CAPRES CAWPRES ADU KUAT EKONOMI MEROKET



Judul di atas merupakan thema  mingguan Diskusi Sekber Indonesia, 15 Agustus 2019, di Jakarta. Bertindak sebagai Narasumber adalah Dr. Enny Sri Hartati Direktur INDEF  (Institute for Development of Economics and Finance). INDEF adalah lembaga riset  dan kajian kebijakan publik, utamanya dalam bidang ekonomi dan keuangan.

Narasumber berupaya mengidentifikasi dan mendeskripsikan permasalahan pokok kondisi ekonomi Indonesia era Jokowi berkuasa, yakni 2015-2018. Diharapkan jika Prabowo-Sandi berhasil menang dlm Pilpres 2019, bisa memecahkan permasahan pokok ini.

Berikut ini sejumlah masalah pokok ekonomi Indonesia menurut Enny Sri Hartati di forum Diskusi dimaksud (MUCHTAR EFFENDI HARAHAP/NSEAS):

1. Sekarang ini kecenderungan/trend ekonomi global membaik, tetapi ekonomi Indonesia terutama di era Pemerintahan Jokowi (2015-2019) relatif stagnan (mandek).
2. Fasilitas kredit belum ditarik naik. Pada 2017, kredit yang belum ditarik (undisbursed loan) sebesar Rp. 104 triliun atau 28 % dari penyaluran kredit selama setahun. Artinya, penyaluran kredit sangat kecil untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Trend undisbursed loan ini meningkat sejak 3 (tiga) tahun terakhir (2015 -2017). Undisbursed loan mencerminkan sejauh mana aktivitas sektor riil pada suatu periode tertentu.Semakin  tinggi undisbursed loan, maka semakin rendah aktivitas sektor rill sehingga kredit yang sudah disetujui tidak ditarik.
3. Menurunnya pertumbuhan komponen2 penyediaan barang modal di dalam PMTB mengindikasikan adanya perlambatan terjadinya pada Triwulan III hingga IV.
4. Investasi wait and see atau takut produksi? Perubahan inventor tumbuh tinggi 44.07 % (yoy) dan 18,5 % (qtq) yang menggambarkan bahwa produksi yang berlebihan ketika menghadapi lebaran tidak tercapai karena permintaan masyarakat dipenuhi oleh impor ketimbang dari produksi domestik.
5. Deindustrialisasi semakin dalam. Gejala deindustrialisasi semakin terasa menandakan kebijakan industri jangka panjang tidak hadir menyelesaikannya. Meskipun dinilai masih besar, namun trend kontribusi industri terhadap PDB semakin kecil. Pada triwulan I-2000 sebesar 23,03 %, pada triwulan II-2018 tinggal 19,83 %.
6. Perdagangan neningkat, industri sekarat. Dari lima industri prioritas pemerintah, industri tekstil dan pakaian jadi mengalami trend kenaikan, sisanya cenderung stagnan, tumbuh melambat dan menurun.  Industri farmasi dan elektronik mengalami penurunan yang dalam. Ketergantungan dua industri ini terhadap impor masih tinggi sehingga depresiasi rupiah mampu menekan pertumbuhan terhadap PDB.
7. Tekanan defisit semakin dalam. Aliran dolar melambat pada Semester I- 2018. Aliran Valas dari ekspor didominasi oleh US$ (95%), Euro dan Jepang rata-rata di bawah 1%. Karena US$ digunakan kembali untuk impor  90%, Euro 5%, Yen 3,5%, dan Dollar Singapura 1,5%.  Selama 2012 - 2016, aliran US$ lewat ekspor  rata-rata tumbuh minus 5,53%,  sementara US$ untuk impor juga turun rata-rata 2,3%. Beruntung pada 2017 US$ dari ekspor meningkat 17,8%, sedangkan US$ untuk impor tumbuh lebih rendah sekitar 16,6%. Sayang selama Januari-Mei 2018 suplus aliran US$ turun sekitar 54% dibanding Januari-Mei 2017.
8. Rata-rata upah buruh dan karyawan menurun dalam Rupiah. Lapangan Pekerjaan Utama berdasarkan perbandingan Februari 2017 dan Februari 2018, akan ditemukan perubahan penurunan. Sektor pertanian, kehutanan dan perikanan rata-rata upah buruh   Rp. 1,752,549 (Feb.2017), Rp.1,761,849 (Feb. 2018) dengan perubahan 0.59 %.  Sektor perdagangan besar dan eceran; reparasi mobil dan speda motor rata-rata Rp. 2,181,110  (Feb.2017), Rp.2,160,642 (Feb. 2018) dengan perubahan -94 %.  Sektor industri  pengolahan rata-rata Rp. 2,473,120 (Feb.2017), Rp. 2,478,868 (Feb. 2018) dengan perubahan 0.23 %.  Sektor konstruksi rata-rata Rp. 2,485,373 (Feb.2017), Rp.  2,628,165 (Feb. 2018) dengan perubahan 5.75 %.  Sektor transportasi dan pergudangan rata-rata Rp. 3,260,482 (Feb 2017) dan Rp.  3,172,077 (Feb 2018) dengan perubahan -2, 71%. Sektor pngadaan listrik dan gas rata-rata Rp.  4,431,   (Feb.2017), Rp.3,426,517 (Feb. 2018) dengan perubahan -22.9 % %.  Sektor pertambangan dan penggalian rata-rata Rp.  4,424,703  (Feb.2017), Rp.4,127,245 (Feb. 2018) dengan perubahan -6.72 %. Sektor jasa keuangan dan asuransi rata-rata Rp.  3,721,787 (Feb 2017), Rp. 4,134,866 (Feb  2018) dengan perubahan 11, 10 %.
9. Tambahan utang Pemerintah Pusat selalu lebih tinggi dari anggaran infrastruktur. Utang pemerintah yang meroket selama beberapa tahun terakhir, tidak seluruhnya dipergunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur.
10. Dana desa ternyata tidak efektif. Hal ini terlihat dari penyerapan dana desa yang tidak pernah mencapai target atau 100 %. Realisasi dana desa (Rp
Triliun) pada 2015 hanya Rp. 20,77 trilun; 2016 meningkat Rp. 46,68 triliun; 2017 menjadi Rp. 59,77 trilun dan 2018 hanya Rp. 60,00 triliun. Pettumbuhan (%, yoy) 2016 hanya 1,25 %; 2017 menurun 0,28 % dan 2018 terus menurun 0,004 %. Sementara itu, kondisi Indeks Gini Perdesaan pada 2015 sebesar 0,334% ; 2016 mencapai 0,327 %; 2017 menurun 0,32 % dan 2018 menaik 0,324 %. Pada intinya tidak ada perubahan berarti, rata-rata masih di atas 0,32 %. Penduduk miskin di perdesaan masing-masing 17.94 juta jiwa (2015); 17,67 juta jiwa (2016); 17,1 juta jiwa (2017) dan 15, 81 juta jiwa (2018).

Jumat, 10 Agustus 2018

PILIHAN MA'RUF AMIN SEBAGAI WACAPRES JOKOWI, TAKKAN NAIKKAN ELEKTABILITAS DI MATA PUBLIK.


Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP ( NSEAS)

Hari Kamis Malam, 9 Agustus 2018 ini Capres Jokowi telah putuskan Ma'ruf Amin jadi Wacapres Jokowi utk Pilpres 2019. Sebagian besar pengamat, peramal dan komentator Pilpres 2019 keliru dan salah memprediksi siapa tokoh yg akan diputuskan  Jokowi sebagai Pendampingnya. Nama keluar dari mulut Jokowi ternyata Ketua Umum MUI, Ma'ruf Amin.

Setelah putusan Jokowi ini, apakah elektabilitas (keterpilihan) Jokowi di mata publik akan meningkat atau justru menurun?

Pertanyaan ini menarik untuk dijawab agar kita dapat memahami, apakah pilihan Jokowi ini bermanfaat atau berpengaruh signifikan bagi upaya politik mempertahankan kekuasaan  negara sebagai Presiden RI.

Prediksi saya, setelah deklarasi Pasangan Capres dan Wacapres, Jokowi-Ma'ruf, 9 Agustus lalu, tingkat elektabilitas Jokowi takkan meningkat, bahkan bisa terus merosot. Selama ini elektabilitas Jokowi hasil survei beberapa lembaga opini publik baik dukung atau tidak thdp Jokowi, rata2 terus merosot. Awal Jokowi berkuasa, elektabilitas Jokowi 54 %, setahun kemudian 50 %, terus terjun bebas menjelang 4 tahun berkuasa, yakni di bawah 40 % atau sekitar 35 %. Tragis, meski 7 Parpol peserta Pemilu 2014 (PDIP, Golkar, Hanura, Nasdem, PPP, PKB dan  PKPI) resmi mendukung atau berkoalisi terhadap Rezim Jokowi dan dapat kekuasaan negara, tetapi tetap saja elektabilitas Jokowi merosot terus. Untuk bertahan saja tidak mampu dilalukan. Hanya Litbang Kompas satu2nya  klaim, elektabilitas Jokowi menaik lebih 50 %.

Kembali pd pertanyaan pokok di atas, pilihan Ma'ruf sbg Wacapres Jokowi dan didukung 9 Parpol  (bertambah 2 Parpol non peserta Pemilu 2014) beragam aliran politik, takkan mempengaruhi signifikan kenaikan elektabilitas Jokowi ke depan di mata publik. Ada beberapa alasan:

Pertama, dari level analisis "aktor individual", Ma'ruf tidak memiliki jaringan politik dan pekerja politik utk promosi dan kampanye. Secara kultural Ma'ruf adalah pimpinan ormas NU, tetapi hal itu tidak bisa menjamin aktivis  atau pimpinan NU di strata menengah bawah bekerja agar warga NU memberi suara kepada Pasangan Jokowi-Ma'ruf. Studi kasus Pilpres 2004 bisa jadi bukti. Megawati (Nasionalis) berpasangan dgn Hasyim Muzadi (Bahkan sbg Ketum PB NU) gagal meraih kemenangan.
Kalah dgn Pasangan SBY-JK yg didukung sedikit dan " Parpol gurem" saat itu. Jika loyalitas politik Umat Nahdiyin  tinggi kepada organisasi,  tentu Pasangan Mega- Hasyim menang. Mengapa gagal ?  Tentu masalahnya ada di komunitas atau segmen pemilih NU.

Kedua, Aktor Ma'ruf Amin seorang berpengetahuan banyak dan luas ttg masalah2 KeIslaman, bukan masalah2 kenegaraan atau pemerintahan. Dia bukan Aktor Politikus, terbiasa mempengaruhi masyarakat secara politik .
Sebagai Aktor Individual Ma'ruf Amin lemah keterampilan atau kompetensi untuk mempengaruhi masyarakat agar berprilaku politik sesuai kehendak Ma'ruf. Kelemahan ini juga diperkuat keterbatasan fisik dan umur  Ma'ruf utk pro aktif promosi dan kampanye di tengah2 masyarakat pemilih.

Ketiga, di kalangan umat Islam politik Ma'ruf Amin bukanlah Ulama panutan atau Patron, kecuali terbatas di kalangan NU khususnya di Pulau Jawa.  Hal ini terbukti beberapa kemauan Ma'ruf terkait issu2 politik nasional, tidak diikuti Umat dimaksud. Sebagai contoh terakhir, kasus MUI Sumbar menolak prakarsa Islam Nusantara dukungan  berat Ma'ruf.   Ia bukan Ulama atau Figur didukung pimpinan Islam politik utk menjadi Wacapres. Jokowi dlm pidato deklarasi, 9 Agustus. hanya klaim, kalangan Ulama Islam dukung Ma'ruf jadi Wacapres.

Keempat, dari "analisis aktor kelompok", mesin atau kelembagaan Parpol dapat membantu kegiatan promosi dan kampanye utk petolehan suara dari segmen masyarakat pemilih. Ma'ruf bukan kader atau pemimpin satupun dari 9 Parpol pendukung Jokowi. Karena itu, diri Ma'ruf takkan fungsional utk mempromosikan dan mengkampanyekan Pasangan Jokowi-Ma'ruf melalui mesin dan kelembagaan Parpol.

Jika prediksi saya tentang elektabilitas  Jokowi tidak menaik signifikan setelah pilihan Ma'ruf sbg Wacapres  ini ditolak, maka perlu ada argumentasi rasional dan meyakinkan ttg potensi dimiliki Ma'ruf  sehingga dapat dikatakan: Pilihan Wacapres Ma'ruf Amin akan meningkatkan elektabilitas Jokowi yg selama ini sudah terpuruk atau terjun bebas?

Sabtu, 04 Agustus 2018

M.AMIEN RAIS: TUTUP TAMBANG FREEPORT-MCMORAN, TITIK !




CATATAN:
Pada Kamis, 26 Juli 2019 lalu, Indonesian Resources Studies (IRESS) Pimpinan   Marwan Batubara bekerjasama dengan Fraksi PAN DPR-RI menyelenggarakan Diskusi Nasional   “Menggugat Kerjasama Pengelolaan Freeport”, di Komplek DPR/MPR Senayan. Diskusi Nasional ini mengangkat issu  nasional terkait dengan kerjasama pengelolaan Freeport, terutama issu  divestasi  51% saham perusahaan kepada Indonesia. Divestasi bermakna penjualan dari bisnis  dimiliki oleh PT. Freeport  Indonesia kepada Pemerintah Indonesia.  Beberapa Pengamat Enerji dan Sumber Daya Alam (SDA) tampil sebagai Pembicara Utama, termasuk Dr. Marwan Batubara dan  Dr. Fuad Bawazier,dll. Bertindak sebagai Moderator Chandra  Tirta Wijaya, Aktivis/Kader PAN tingkat Nasional. Keynote Speaker Diskusi Nasional Ini adalah Prof. Dr. M.Amien Rais, Mantan Ketua MPR-RI.  Pada intinya, M.Amien Rais secara tegas menuntut agar tambang Freeport-MCMoran ditutup saja. Berikut ini kandungan/isi  Keynote Speak M.Amien Rais dimaksud (MUCHTAR EFFENDI HARAHAP/NSEAS).

SETELAH Indonesia dibodohi oleh Frreport-McMoran Inc. sejak 1967, dengan penjarahan emas, perak, tembaga dan berbagai mineral ikutan lainnya, bulan Juli ini kita digemparkan oleh sebuah narasi versi Pemerintah bahwa Freeport “telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi”. Lewat Head of Agreement Indonesia-Freeport.  Points of HoA itu adalah :
1.     PT.Freeport Indonesia’s (PTFI) legal foundation will be in the form of Special Mining Permit (IUPK) and not Working Contract (KK).
2.     The Investment of 51 % of PTFI shares is for the Indonesian national ownership.
3.     Freeport is to build smelters in Indonesia.
4.     State revenue ini aggregates will be higher than the ongoing state revenue with KK scheme.
5.     Operational extension of 2 X 10 years will be given if PTFI fulfills its IUPK obligation. PTFI will receive an operational extension until 2041.
Kata-kata indak “Freeport telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi” menjadi buyar setelah pihak Freeport (Richard Adkerson) maupun Indonesia (Jonan) mengakui HoA itu tidak mengikat. Artinya, kapan saja bisa dibatalkan. Meminjam penrnyataan Jonan: “… tapi ini framework buat transaksi. Ini sebenarnya secara hukum HoA itu tidak pernah mengikat”.
Para pengamat ekonomi & pertambangan yang jujur, seperti Dradjad Wibowo dan Marwan Batubara telah menyebut bahwa HoA itu masih memerlukan negosiasi panjang, selain operasional tetap di tangan Freeport, juga tidak satu pun Bank Pemerintah yang bersedia mengutangi Inalum Indonesia untuk memperoleh uang sebesart US$ 3,85 miliar atau sekitar Rp. 55 triliun. Utang itu harus dari Bank Asing sepenuhnya. Di samping itu, ada berbagai masalah technicalities yang tidak mudah.
Sesuai Working atau Kontral Karya 1967, di mana Indonesia hanya mendapat royalty sekitar 1 % dan pajak yang sepenuhnya sesuai kemauan Freeport, WC/KK itu berakhir pada 2021, walapun ada pasal yang meneyebutkan dapat diperpanjang sampai 2041. Saya  berpendapat KK (Kontrak Karya)  dengan Freeport sebaiknya ditutup. Sekali untuk selamanya. Titik. No extension, full stop. Mengapa?
PT. Freeport-McMoran Indonesia telah melakukan 4 (empat) macam kejahatan. Pertama, kejahatan lingkungan. Sejak 50 tahun lalu, rata-rata llimbah atau tailing yang dibuang ke berbagai sungai (Aghawagun, Otomona, Ajkwa, Minajerwi dan Aimue) dan tanah subur di sekitar sungai mencapai jumlah 700.000 ton per hari. Diperkirakan beberapa tahun lagi jumlah limbah bakal menyundul angka 6 (enam) sampai 7 (tujuh) miliar ton.
DI tahun 2005 New York Times menulis limbah/tailing Freepport lebih besar dari tanah yang dikeruk untuk Terusan Panama. Sementara Jatam menghitung, bila limbah itu dibuang ke Jakarta yang luasnya 660 Km2, tanah permukaan DKI bertambah tinggi sekitar 5 meter. Bayangkan, begitu dahsyatnya ecocide (pembunuhan lingkungan hidup) oleh Freeport di Papua Barat.
Sebuah Dana Pension di di Norwegia menarik sahamnya di Freeport sebesar 280 juta dolar, karena tidak tega dan tidak mau ikut melakukan ecocide di Papua Barat. Anehnya, kita sendiri cenderung menganggap enteng soal kehancuran lingkungan itu. Bahwa HoA tidak menyentuh sedikit pun tentang ecocide ini, membuktikan betapa kita abai dengan kelestarian alam di Papua.
BPK menghitung kerugian yang diderita Indonesia, gara-gara destruksi ekologi oleh Freeport sebesar US$ 12,95 miliar. Temuan BPK ini dianggap angin lalu oleh sebagian pemimpin bangsa, yang telah pekok dan tuli karena sudah tertutupi dengan kepentingan ekonomi yang penuh sekandal.
Kejahatan kedua adalah pengemplangan pajak oleh Freeport. Ketika saya, akhir 1996 menginap di Tembaga Pura, kota  yang sangat mewah dan serba ada, saya berkesempatan melihat langsung lokasi pertambangan Freeport. Saya diberitahu oleh para Insinyur muda dari UI, UGM dan ITB bahwa Freeport memasukkan alat-alat berat pertambangan sampai kebutuhan Freeport yang berupa AC, washing machine dll secara bebas pajak, karena Freeport merasa seperti Negara kecil di atas Negara Indonesia.
Setelah saya menulis di kolom resonansi (Harian Republika)  pada 1997 bahwa Freeport pasti mengemplang pajak karena pajak yang diterima Indonesia dari Freeport jauh lebih kecil dari yang dibayar Djarum dan Gudang Garam, maka tahun berikutnya Freeport menjadi pembayar pajak terbesar. Kata Joseph Stiglitz, Freeport sesungguhnya sadar sedang menjarah SDA Indonesia. Karena itu, bila boroknya dituding langsung mereka akan segera memperbaiki diri. Masalahnya, untuk menuding borok-borok Freeport, dan berbagai koporasi lainnya, kita tidak pernah berani.
Kejahatan ketiga adalah kejahatan kemanusiaan terhadap masyarakat Papua yang sering berdemo minta supaya Freeport ditutup. Juga cukup banyak korban tembak mati terhadap orang-orang yang berusaha mengais satu atau dua gram emas di lembah buangan limbah Freeport. Berbagai Gereja di Papua Barat memiliki data mengenai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh otoritas Freeport, dan tidak jarang menggunakan sebagian tentara dan polisi yang sempat “didekati” dan dikooptasi oleh Freeport.
Kejahatan keempat Freeport adalah menjadikan Indonesia sebagai corporate state. Sehingga setiap korupsi berskala mega di Indonesia hakekatnya telah menjadi state capture corruption. Negara relah membiarkan aparat keamanan, pertahanan, hukum dan birokrasinya tunduk sepenuhnya di bawah keputusan korporasi internasional yang berada di luar jangkauan Negara. Negara tidak mampu mengatur dan meletakkan kepentingan korporasi di bawah kepentingan nasional bangsa Indonesia.
Inilah saat yang kita nantikan telah tiba. Saat untuk benar-benar mengembalikan tambang emas, perak, tembaga yang selama ini dikelola oleh Freeport-McMoran Inc. dan Rio Tinto ke pangkuan Ibu Pertiwi. Caranya, Kontrak Karya dengan Freeport tidak perlu diperpanjang. Tetapi sebelum ditutup, Indonesia harus menghitung berapa dollar/rupiah yang harus dibayar Freeport untuk mengganti kehancuran lingkungan yang telah ditimbulkannya selama 50 tahun terakhir. Berbagai bentuk pajak yang dikemplang harus dihitung secara cermat dan harus segera dibayar. Pelanggaran HAM yang dilakukan Freeport harus dibuka tuntas, jangan sampai saudara-saudara kita di papua Barat berkesimpulan Pemerintah Jakarta bersengkongkol dengan Freeport dalam menggarong dan melanggar HAM masyarakat Papua.
Sebelaas tahun lalu (2007), Joseph Stiglitz berceramah di Jakarta, di sebuah forum yang diselenggarakan oleh Majalah Tempo. Isi ceramahnya mengejutkan, Indonesia dianjurkan supaya melakukan negosiasi ulang pada semua kontrak pertambangan yang merugikan Indonesia. Bahkan, dia mengatakan, kalau perlu melakukan nasionalisasi korporasi asing seperti dilakukan oleh Bolivia. Penduduk Bolivia yang hanya 8,5 juta, sekarang 10 juta, sejak 2006 di bawah Presiden Evo Morales, berkat negoisasai ulang, kocek nasionalnnya belipat 300 % dari sekitar 3 miliar dolar Amerika menjadi 9 miliar dolar. Morales dipilih untuk ke empat kalinya, dan begitu Donald Trump terpilih sebagai Presiden Amerika, Morales mengirimkan pesan ke Trump: “We want respect, not submission or blackmail”. Sampai sekarang kita belum punya Presiden seberani Morales, yang hanya lulusan STM dan Mantan Ketua Serikat Buruh Bolivia.
Saya gagal memahami, ada sebagian pemimpin dan “ahli hukum” yang menyatakan bahwa Indonesia sudah kalah “janji” dan kita tidak bisa mengubah Working Contract dengan Freeport, kecuali kalau kita mau dijadikan Iraq kedua, dan segala dalih lain yang menggelikan. Dalam perjanjian perdata antar Negara, kita kenal dua doktrin. Pertama, “pacta sun servanda”, semua perjanjian harus dilaksanakan. Doktrin kedua, sama kuatnya, berbunyi “rebus sic stanibus” yang berarti sesuai perkembangan keadaan. Doktrin kedua ini, berarti bila ternyata di belakang hari terjadi situasi yang berbeda dan salah atu pihak merasa dirugikan, maka pihak itu dapat melakukan negoisasi ulang. Sesunggunnya kehancuran ekologi Papua Barat yang demikian dahsyat di sekitar lokasi penambangan Freeport, sudah lebih dari cukup untuk bukan saja tidak perlu melakukan negoisasi ulang, tetapi tidak perlu lagi memperpanjang kontrak. IUPK dan semacamnya sesungguhnya tidak kita perlukan lagi.
S&P 500, Standard and Poors dari MCGraw-Hill sudah menetapkan Freeport-McMoran sebagai the worst performer karena telah menghancurkan ekologi sekitar pertambangan secara sangat ganas. Jadi kita tunggu apa lagi? Kapan kita berhenti sebagai bangsa yang seolah-olah masih dihinggapi mental inlander, yang seakan masih menderita penyakit kompleks-inferioritas.
CATATAN:
Saya tidak tahu persis tentang ketakutan kita, bila ada perselisihan Indonesia dengan Freeport, maka dispute itu harus dibawa ke arbitrase internasional. Sementara Cina tidak pernah membawa dispute dalam bentuk apapun kecuali ke arbitrase  Cina sendiri.
III. ALTERNATIVE DSIPUTE RESOLUTION IN THE PRC
Among the various ways of setting disputes between Chineses and foreign parties, arbitration remains in the most popular. Notably, the China International Economic and Trade Arbitration Commission (“CIETAC”) has emerged in recent years as a wolrd heavyweight in terms of numbers of caes heard each year. (Chicago Journal of International Law, Vol.7/Number 1 Summer 1997).

Kamis, 02 Agustus 2018

TRILOGI PRIBUMISME


TRILOGI PRIBUMI: PRIBUMI PENDIRI, PEMILIK DAN PENGUASA NKRI
Etnis Cina Indonesia (ECI) Sama Sekali Bukan Pribumi
Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP
(NSEAS)


Dr. M.D. La Ode adalah seorang Ilmuwan Politik, Alumnus Program S3  Fisip UI (Universitas Indonesia). Ia selama ini menekuni studi prilaku politik Etnis Cina Indonesia (ECI), dan studi kasus di bebeberapa daerah, al. Kota Medan (Sumut), Pontianak dan Singkawang (Kalbar). Hasil studi dan pengembangan kerangka teoritis telah menelorkan suatu “teori” sangat mendasar tentang keberadaan ECI seharusnya dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Teori dimaksud adalah “Trilogi Pribumisme”,  dapat menjadi resolusi konflik Pribumi dengan Non Pribumi di Indonesia, juga di berbagai belahan dunia. 

Hasil studi dan pengembangan kerangka teoritis La Ode, telah  dituangkan di dalam Buku berjudul: Trilogi Pribumisme Resolusi Konflik Pribumi dengan Non Pribumi di Berbagai Belahan Dunia (Jakarta:Komunitas Ilmu Pertahanan Indonesia (KIPI): 2018, 492 Halaman).  Buku ini merujuk pada beberapa teori: (1) Asal usul mula terjadinya negara; (2)  Negara; (3)  Politik; (4)  Kedaulatan; (5)  Politik Etnisitas; (6)  Partisipasi Politik; (7)  Otonomi Demokrasi; dan, (8) Multikultural. Metode digunakan grounded theory atau grounded research (kualitatif).

Teori Trilogi Pribumisme berisikan: (1)  Pribumi Pendiri Negara; (2)  Pribumi Pemilik  Negara; (3) Pribumi Penguasa Negara. Dalam kasus NKRI, teori ini menjadi: (1)  Pribumi Pendiri NKRI; (2) Pribumi Pemilik NKRI; (3) Pribumi Peguasa NKRI.

Secara keseluruhan Buku ini terdiri dari 7 (tujuh) BAB:  Bab I Pendahuluan; Bab II Istilah Tiongkok, Tionghoa, Cina, dan Tinjauan Sejarah Ekonomi Politik ECI di Indonesia; Bab III. Darwinisme Sosial dalam Kekuatan Politik ECI; Bab IV. Tinjauan Strategi Politik ECI untuk Menganeksasi NKRI; Bab V. Dampak Kekuasaan Ekonomi dan Kekuasaan Politik  ECI terhadap Pribumi; Bab VI. Resolusi Konflik Pribumi-ECI Akibat Dominasi Ekonomi dan Politik terhadap Pribumi; BAB VII. Trilogi Pribumisme Titik Temu NKRI Harga Mati.

La Ode mendeskripsikan jumlah  ECI (Etnis Cina Indonesia) hanya 1,2 % (Juli 2016) atau  3.099.792 jiwa dari keseluruhan rakyat Indonesia 258.316.051 jiwa.  ECI ini pasti keturunan imigran di Indonesia. Mereka telah berhasil menguasai ekonomi nasional, dan bahkan mulai melakukan ekspansi menguasai politik nasional. Ada kesenjangan sangat tajam antara Pribumi dan ECI. Warga ECI tidak dapat disangkal bukanlah bangsa Indonesia.  Mereka hanya sebagai WNI dalam perspektif politik entitas. ECI telah mendominasi ekonomi nasional dan menyusul akan mendominasi politik nasional. Indikator dominasi kekuatan ECI dalam politik tampak dari kasus diangkatnya ECI dalam politik seperti Ahok menjadi Gubernur DKI dan menjadi Presiden RI

Sangat tidak adil Pribumi lemah berdagang dan miskin ekonomi dibiarkan dan bahkan diperintahkan  penguasa bersaing di bidang ekonomi dengan  ECI. Padahal,  ECI sudah kuat, mendominasi 80 % ekonomi nasional dan menguasai 78 % lahan pertanian dan kehutanan nasional. ECI kuat karena hidup berdampingan dengan Pemerintah. Pribumi lemah, tidak mendapat perhatian dari Pemerintah.

Dosen Universitas Pertahanan, Jakarta,   ini kemudian mengupas masalah kerusuhan massa dan berbagai kasus 1946, Malari 1974, Mei 1998.  Mengapa ECI (Etnis Cina Indonesia)  menjadi sasaran kekecewaan masyarakat? Pertama, wacana ECI adalah pendatang, bukan bagian etnis yang ada di Indonesia,  dan binatang ekonomi. Kedua,  wacana ECI cenderung menutup diri dan bergaya ekslusif. Sifat eksklusifisme ECI ini masih ada. Studi Kasus Kalbar menunjukkan, sangat sulit terjadi hubungan ECI-Melayu-Dayak, mulai dari permukiman sesama  ECI, di sekolah mayoritas sesama ECI, di luar pelajaran mereka menggunakan bahasa Cina. Interaksi hanya terjadi saat jual beli barang dagangan di toko atau pasar. ECI merasa diri superior, Pribumi inferior. Tidak terdapat tekanan budaya bagi ECI untuk berbaur dengan Pribumi. Mereka dapat memenuhi sendiri semua keperluan budaya

Ketiga,  wacana ECI bidang ekonomi, berada dalam lapisan atas dalam struktur ekonomi karena kedekatan dengan kekuasaan dan menguasai perdagangan di Indonesia. Berkembang citra, kekayaan negeri ini berada ditangan ECI, menyebabkan kesenjangan sosial ekonomi kian melebar.

La Ode juga membahas tujuan politik ECI,  yakni menguasai pemerintahan dalam rangka mengamankan aset ECI. Jika selama ini  ECI “mengeluarkan biaya khusus” dihitung dalam biaya produksi kemudian ditanggung konsumen melalui pembelian produk warga  ECI untuk para aparatus pemerintahan. Sejak awal reformasi “biaya khusus” itu diganti dengan  ECI menjadi aparatus pemerintahan. Penjajahan berlangsung kembali semula dijajah Belanda, Jepang, kini ECI dan Cina Komunis sebagai Penjajah Baru.

Di dalam BAB V, La Ode membahas: (1)  Hubungan ekonomi Eci-Pribumi dalam politik nasional; (2) Indikator ECI sukses bidang politik dan ekonomi; dan, (3) Motivasi ECI masuk dunia politik.  Apa motivasi ECI (Etnis Cina Indonesia) masuk dunia politik?  Menurut La Ode:  (1) Kesetaraan sesama warganagera Indonesia;  (2) Perbedaan dan Kerusuhan Mei 1998; (3) Berpolitik untuk  keadilan;  (4) Berpolitik untuk demokratisasi;  (5)  ECI ingin menghapus diskriminasi; (6) Pola Pendekatan  ECI kepada Pribumi.

Di dalam Bab VI. La Ode baru membahas “Trilogi Pribumisme”  sebagai metode resolusi konflik.  Prinsip pertama,  Pribumi Pendiri NKRI. Asumsi dasar, ECI sama sekali bukan Pribumi. ECI di Indonesia al. Tio Ciu, Khek, Hokkien, Hok Cia, Kanton, dan Hainan sebagai keturunan imigran dari Cina Daratan. Eci bukan Pribumi karena garis sejarah nenek moyang mereka di Cina Daratan. Sedang nenek moyang Pribumi semuanya di Nusantara.  Bagi La Ode, status sosial politik etnisitas  ECI di Indonesia dewasa  ini terbagi tiga bagian utama. Yakni (1) ECI total hidupnya eksklusivisme serta penampaknnya  superioritas atas  Pribumi; (2)  ECI guyub dengan lingku-ngan penghunian Pribumi; (3)  ECI peranakan Indonesia karena telah melalui proses  kawin dengan pria atau wanita Pribumi.

Prinsip kedua, Pribumi Pemilik NKRI. Prinsip ini dikokohkuatkan dgn Sumpah Palapa 1334 M dan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 M. Secara de jure mendapat pengakuan 192 negara di dunia menjadi anggota resmi PBB. Status sosial  ECI tetap sebagai WNI Keturunan  Imigran Cina Komunis. Tidak ada sama sekali kaitan sosial politik etnisitas antara Pribumi dan ECI. La Ode lalu menegaskan, ECI berniat mengambil alih kepemilikan dan kekuasaan NKRI dari Pribumi.

Prinsip ketiga, Pribumi Penguasa NKRI. Prinsip ini bagian logika kausalitas, dimulai karena “Pribumi Pendiri NKRI” mengakibatkan “Pribumi Pemilik NKRI”. Karena NKRI dididirikan Pribumi, maka NKRI milik Pribumi. Pribumi sebagai Penguasa NKRI menjadi hak dasar pribumi sebagai pemegang kedaulatan NKRI. Tidak boleh dicabut dan dibagikan kepada bangsa lain. Trilogi Pribumisme menjadi tuntutan terbaru Pribumi dan Non Pribumi.

Buku ini sungguh memuat banyak hal, hampir 500 halaman. Bagi Peneliti dan Mahasiswa berkepentingan tentu tidak masalah. Tetapi, bagi bukan Peneliti dan Mahasiswa, sudah tentu sulit untuk membaca keseluruhan. Kami mengusulkan, mengingat cita2 Penulis di balik buku ini, maka perlu dibuat dua buku tersendiri dan lebih tipis, maksimal 125 halaman per buku. Pertama, buku memuat khusus menjelaskan wacana atau persepsi negatif masyarakat pribumi terhadap ECI. Kedua, buku memuat khusus menjelaskan secara fokus Teori Triologi Pribumisme sebagai metode resolusi konflik manifes (kerusuhan sosial) terhadap ECI. Tiga prinsip dasar (Pribumi Pendiri, Pemilik dan Penguasa NKRI) diuraikan lebih sistematis, detail dan mendalam. Perlu juga dimasukkan, saran atau usulan tentang “kebijakan politik” apa harus diambil Pemerintah RI untuk menggunakan teori Trilogi Pribumisme ini.

Penulis menggunakan konsep ECI (Etnis Cina Indonesia) untuk menjelaskan  etnis Cina. Namun, di beberapa Bab bermuncul konsep “Etnis Tionghoa”. Perlu dikoreksi ulang agar ada keseragaman konsep yakni ECI untuk Etnis Tionghoa. Tidak lagi menggunakan konsep Etnis Tionghoa. Ini tentu tugas “Korektor”!!!