Kamis, 31 Agustus 2017

KEBIJAKAN LEGALISASI PENYEDOTAN UANG RAKYAT UNTUK PARPOL

Minggu ini Menteri Keuangan (Menku) telah menyampaikan berita penting dan kontroversial. Diberitakan, Pemerintah dan DPR sudah sepakat menaikkan dana untuk parpol hingga Rp.1.000 per suara sah. Naik 10 kali lipat dari dana sebelumnya hanya Rp.108 per suara. Bagi Parpol tak punya anggota DPR juga dapat bantuan uang rakyat ini. Yakni untuk DPRD Provinsi Rp.1.200 per suara; dan DPRD Kabupaten/Kota Rp.1.500 per suara. Berita ini tentu menyenangkan bagi pimpinan Parpol. Pimpinan Parpol umumnya menyambut gembira dan mendukung kebijakan kenaikan bantuan dana Parpol ini. Hanya seorang pimpinan PAN menolak, dan mengusulkan agar kenaikan dana Parpol itu dibatalkan. Apa pertimbangan kebijakan ini? Alasan utamanya adalah untuk pencegahan korupsi dengan upaya independen Parpol. Hal ini diperkuat argumentasi, dasarnya adalah Surat KPK kepada Pemerintah bahwa Parpol memang mendapatkan dana berdasarkan suara sah dengan jumlah Rp.1 071 persuara, lebih besar ketimbang kebijakan diambil hanya Rp.1.000. Beragam alasan pembenar telah diajukan sejumlah pimpinan Parpol. Antara lain: 1. Kenaikan bantuan dana ini memungkinkan untuk kemandirian Parpol; dan, 2. Parpol lebih fokus dlm menjalankan peran demi percepatan demokratisasi, termasuk pendidikan politik masyarakat dan perkaderan. Saya pada posisi tidak setuju atas kebijakan ini. Kebijakan ini hanya "legalisasi penyedotan", jika tidak boleh dibilang "perampokan", uang rakyat untuk Parpol. Sungguh tidak ada relevansinya kenaikan penyedotan uang rakyat untuk Parpol ini dengan kemandirian Parpol. Justru sebaliknya, semakin banyak uang rakyat disedot untuk Parpol, semakin bergantung, tidak mandiri, pada negara. Sebagai komponen masyarakat madani, Parpol akan kehilangan eksistensi, menjadi bagian negara. Akibatnya, Parpol tidak lagi berperan sebagai komponen strategis masyarakat madani mengawasi dan menekan atau menjadi oposisi terhadap kekuasaan negara. Akibat lanjut, prilaku kekuasaan negara kembali mundur ke arah otoriterianisme dan oligarki menguat tanpa kendali rakyat. Demokrasi menjadi semata-mata prosedural, bukan substansial. Kenaikan dana parpol justru akan semakin memperbesar peran negara dalam proses politik di Indonesia. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi yakni meminimalkan peran negara dan memaksimalkan peran masyarakat madani dalam proses politik sebagai perwujudan kedaulatan rakyat. Berdasarkan pengalaman era reformasi ini, Parpol tidak melakukan fungsi pendidikan politik masyarakat dan perkaderan secara efektif dan terprogram meski sudah menerima bantuan dana rakyat Alasan berikut saya menolak kebijakan legalisasi penyedotan uang rakyat untuk Parpol ini terkait kondisi memprihatinkan defisit APBN tahun 2018 mendatang, diperkirakan di atas Rp.326 triliun. Dalam kondisi anggaran defisit dan krisis anggaran, elite politik justru buat kebijakan tidak tepat, bukannya berupaya kurangi defisit. Ketimbang dana rakyat banyak disedot Parpol, lebih baik dana tsb. digunakan untuk mengurangi defisit APBN atau subsidi rakyat kini daya beli merosot tajam. Bagaimanapun, kebijakan ini akan membebani APBN. Hal ini diakui Wapres JK dan Menku. Meski mengakui kebijakan ini membebani APBN, tetapi JK menilai ini masih lebih baik dilakukan. Daripada Parpol itu mengejar proyek dan merugikan keuangan negara. "Tapi lebih berbahaya kalau partai-partai itu ingin kerja proyek dan lebih menyulitkan kan," tandas JK Senada JK, Menku juga mengakui, kenaikan dana Parpol ini bisa membebani APBN yang tengah defisit. Sebaliknya, Menko Perekonomian menyatakan tidak memberatkan APBN, hanya sekitar Rp 250 miliar. "Itu kan kenaikannya besar. Tapi sebenarnya absolutnya enggak besar-besar banget", kilahnya. Perlu dipahami, sebuah Sumber memperkirakan, dana dihabiskan untuk 12 Parpol peserta pemilu 2014 lalu sebelum kenaikan sebesar Rp 13,42 Miliar. Setelah kenaikan, akan melonjak hingga Rp 124,92 Miliar. Selisih dana parpol sebelum kenaikan dan sudah kenaikan mencapai Rp 111,5 Miliar. Diperkirakan, total dana akan diterima setiap Parpol Parlemen (punya anggota DPR) setelah kenaikan setiap tahun sbb: 1. PDI-P, semula menerima Rp 2,5 miliar setiap tahun, akan menerima Rp 23,7 miliar;2. Nasdem dengan perolehan suara 8.402.812, akan menerima Rp 8,4 miliar;3. PKB dengan perolehan suara 11.298.957, akan memeroleh Rp 11,2 miliar; 4. PKS dengan perolehan 8.480.204 suara, akan menerima Rp 8,4 miliar; 5. Golkar dengan perolehan18.432.312 suara, akan menerima Rp 18,4 miliar; 6. Gerindra dengan perolehan 14.760.371 suara, akan menerima Rp 14,7 miliar; 7. Demokrat dengan perolehan 12.728.913 suara, akan mendapat Rp 12,7 miliar; 8. PAN dengan perolehan 9.481.621 suara, akan menerima Rp 9,4 miliar 9. PPP dengan perolehan 8.157.488 suara, akan mendapat Rp 8,1 miliar; dan, 10. Hanura dengan perolehan 6.579.498 suara, akan mendapat Rp 6,5 miliar. Disamping 10 Parpol di atas, jika PKPI dan PBB juga dianggap Parpol parlemen: 1. PKPI semula hanya menerima Rp 123,4 Juta, menjadi Rp 1,1 miliar; 2. PBB dengan perolehan 1.825.750 suara, akan memperoleh Rp 1,8 miliar. Kebijakan Rezim Jokowi ini kontroversial dengan komitmen ttg penghematan anggaran sedang digalakkan termasuk memangkas berbagai subsidi terkait kesejahteraan masyarakat dalam APBN. Terjadi ironi, saat bantuan langsung ke rakyat dikurangi, namun bantuan uang rakyat untuk Parpol justru ditingkatkan Jelaslah, kebijakan kenaikan sangat tinggi (10 kali lipat) dana Parpol ini justru menambah beban defisit APBN. Sangat tidak layak dari perspektif keuangan negara RI yang sangat memprihatinkan saat ini. Dari perspektif keuangan negara, tentu saja kebijakan legalisasi penyedotan uang rakyat untuk Parpol ini tidak layak atau tidak pas. Hanya membebani APBN sudah defisit. Lalu, mengapa kebijakan ini tetap diambil? Sudah tentu, jawaban paling tepat diperoleh dari perspektif politik kekuasaan. Pertimbangan dukungan politik Parpol terhadap kelanjutan kekuasaan Rezim, salah satu jawaban atas pertanyaan dimaksud. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

Selasa, 29 Agustus 2017

.KPK SUDAH SAATNYA HARUS DIBUBARKAN

Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS) Kerja Pansus Angket KPK berakhir 28 September 2017. Banyak temuan dianggap pelanggaran di internal KPK. Pansus menemukan adanya dugaan pelanggaran hukum maupun pelanggaran HAM dilakukan oknum KPK. Kerberadaan KPK sebagai produk gerakan reformasi anti KKN kini dalam perdebatan dan polemik publik. Salah satu kelompok wacana dan pendapat yakni bubarkan KPK. Wacana ini bermula oleh Marzukie Alie Politikus Partai Demokrat dan Fahri Hamzah politikus dari Partai Keadilan Sejahtera PKS. Wacana bubarkan KPK oleh Marzuki Alie (Ketua DPR) muncul pada medio 2011, saat KPK sedang melakukan seleksi pimpinan KPK baru. Menurutnya, lembaga ad hoc tak perlu dipertahankan lagi jika memang tak lagi dapat menjalankan tugas dan kewenangannya dengan baik. Pasalnya, selama ini KPK diharapkan memberikan hasil signifikan dalam memimpin upaya pemberantasan korupsi di tingkat legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Namun, sampai saat ini, KPK dinilai tidak bisa memenuhi harapan tersebut. "KPK adalah lembaga ad hoc. Kalau lembaga ad hoc ini sudah tidak dipercaya, apa gunanya dirikan lembaga ini? Nyatanya, tidak membawa perubahan juga. Jadi, lebih banyak manuver politik daripada memberantas korupsi," katanya di Gedung DPR, Jakarta, (29/7/2011). Selanjutnya, Fahri Hamzah menegaskan KPK dibubarkan saja karena tidak kompak KPK, Polri dan Kejaksaan termasuk kasus Bibit-Chandra. Kemudian pada Juli 2017, Fahri Hamzah selaku Wakil Ketua DPR kembali berewacana bubarkan KPK. Ia mendesak Jokowi segera mengevaluasi keberadaan KPK dan Komnas HAM. Fahri menilai, kedua lembaga ini merupakan bagian dari "auxiliary state's organ", bekerja menunjang kerja pemerintah. Namun, pada praktiknya kedua lembaga tersebut bekerja di luar batas kewenangan. Bagi Fahri, sudah tidak diperlukan lagi keberadaan kedua lembaga ini. Di lain pihak, Pansus Hak Angket KPK di DPR telah menyampaikan 11 temuan sementara berdasarkan hasil kerja pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK. Beberapa temuan dimaksud: KPK dengan argumen independennya mengarah kepada kebebasan atau lepas dari pemegang cabang-cabang kekuasaan negara. Hal ini sangat mengganggu dan berpotensi terjadinya "Abuse of Power" dalam sebuah negara hukum dan Negara demokrasi. Kemudian ditemukan juga, KPK dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangan belum bersesuaian atau patuh atas asas-asas yang meliputi asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum dan proporsionalitas. Siapakah berwenang membubarkan KPK? Pertanyaan ini dijawab Yusril Ihza Mahendra, pakar hukum tata negara, (10/7/2017) DPR dan Pemerintah. Sebab keberadaan KPK berdasarkan UU.
kondisi kinerja KPK semakin menunjukkan jelek dari hasil kerja akhir Pansus Angket KPK.   Media Indonesia, 27 September 2017 melaporkan tentang empat aspek fokus Pansus Hak Angket KPK:
I.      Kelembagaan
a.       KPK dinilai gagal mengedepankan tugas utama dalam mengkoordinasikan dan menyupervisi.
b.      KPK tidak mengikuti MOU yang mereka buat sendiri dengan Kepolisian dan Kejaksanaan dalam hanl penanganan korupsi.
c.       Peran KPK sebagai triger mechanism dinilai tidak berjalan.
KPK bergerak tanpa mekanisme pengawasan dan kontrol yang mengedepankan prinsip ketatnegaraan yang baik.
Tidak terbangun sinerji yang harmoni di anatar sesama lembaga negara dan lembaga pemerintah.

II.Kewenangan
a.       KPK diduga sering kali menyalahgunakan kewenangan (abuse of power) dalam hal terjadi pertentangan kepentingan (conflict of interest) dalam penanganan kasus sepetti dalam penanganan pperkara kasus Bupati Sabu Rai Jua, NTT, Kementerian PUPR dan Kasus Probosutedjo.

III.Anggaran
Pada tahun anggaran 2015 terdapat beberapa temuan yang signifikan, antara lain:
a.       Kelebihan gaji pegawai KPK, yakni pembayaran terhadap pegawai yang melaksaakan tugas belajar berupa living cost tetapi gaji masih dibayarkan sebesar Rp. 748,46 juta.
b.      Realisasi belanja perjanalan dinas biasa tidak sesuai dengan ketentuan minimal sebesar Rp. 1,29 miliyar.
c.       Perencanaan pembangunan gedung KPK terdapat keleihan pembayaran Rp. 655,30 juta.
Pada tahun anggaran 2016:
a.       Besarya anggaran tidak sebanding dengan penanganan kasus-kasus.
b.      Penye;amatan uang negara masih jauh berada di bawah Kejaksanaan dan Kepolisian (Data dari LPIKP).

IV.Tata Kelola Sumber Daya Mansuia:
a.       Terjadi dualiems konflik internaal yang cukup fatal baik bersifat struktural (antara pimpinan, penyidik dan pegawai) maupun kultural.
b.      KPK melanggar ketentuan sebagaimana Putusan MK Nomor 109/PUU-XII/2015 dan Ketentuan PP Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK.
c.       Pembentukan wadah pegawai KPK dipertanyakan karena sebagai lembaga negara telah ada wadah sendiri untuk apartur da wadah pegawai KPK,

d.      Sejumlah temuan menunjukkan buruknya integritas dan moralitas SDM KPK baik yang terjadi pada unsur pimpinan maipin petugas penyidik dan/atau pegawai KPK yang terindikasi tindak pidana.  

Fakta terakhir muncul prakarsa Polri untuk membangun lembaga baru Sensus Tipikor. Jika terwujud, KPK tidak diperlukan lagi. Agung Laksono melalui http://www.tribunnews.com, 2w okt.2017 mendukung pembentukan Densus Tipikor.
Dengan membentuk Densus Tipikor, maka kepolisian dan kejaksaan mendapatkan kepercayaan publik untuk memberantas korupsi di Indonesia.
“Kepolisian dan kejaksaan harus segera membenahi diri sehingga membangun sebuah kepercayaan bahwa program pemberantasan korupsi sudah bisa dilakukan kedua instansi itu,” ujarnya, Kamis (19/10/2017).
Jika Densus Tipikor dibentuk, lanjut dia, maka KPK sebagai lembaga anti rasuah tak diperlukan lagi.
Menurutnya, KPK didirikan karena kepolisian dan kejaksaan pada saat itu belum mampu menjalankan fungsi pemberantasan korupsi.
Agung berharap Densus Tipikor terbentuk agar pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara optimal.
Tak hanya tindakan OTT, namun diharapkan tindakan pencegahan juga dapat dimaksimalkan.

Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian meyakini keberadaan Densus Tipikor akan secara masif mengungkap berbagai kasus di Indonesia.
Tito menyebut, kelebihan utama Polri dibandingkan KPK adalah jaringan yang luas di seluruh Indonesia dan jumlah personel yang banyak.
Menurut dia, jika hanya mengungkap kasus-kasus besar, maka efeknya di masyarakat tak akan masif.
Sebelumnya, Pembentukan Densus Tipikor oleh Polri kini masih menjadi polemik di masyarakat.
Pemerintah dan DPR tak satu suara mengenai pembentukan Densus Tipikor.(*)


 Sesungguhnya beragam alasan muncul mengapa KPK harus dibubarkan. Tim Studi NSEAS mengidentifikasi setidaknya ada empat sebab. Pertama, prilaku KPK dalam melaksanakan peran sebagai penegak hukum pemberantasan korupsi bukan saja "tebang pilih" tetapi sudah "diskriminatif" dan "rasialis". KPK acapkali digunakan untuk membunuh karakter dan karir politik tokoh2 Islam, al: BC (Menteri), SDA (Menteri), AU (Ketum Parpol) , AM (Menteri), PA (Hakim MK), Ketum PKS, IG (Ketua DPD), Kader PKD (Gubernur Sumut), Kader PAN (Gubernur Sultra), dll. KPK secara tak langsung turut membangun opini négatif publik bahwa Tokoh Islam jika jadi Pejabat Negara berprilaku korupsi.Prilaku KPK ini dibantu média mainstream. Berbagai opini dibentuk dengan menyandarkan berbagai fakta menguatkan, sehingga tercitra di mata publik, Tokoh Islam itu benar-benar melakukan tindakan kejahatan. Saat Pilkada DKI kelompok anti Islam politik dan pendukung buta Ahok menggunakan issu ini untuk menunjukkan Ahok krn bukan orang Islam berprilaku jujur, bersih dan tidak korupsi. Perlu diketahui, meski anggota KPK itu seorang tokoh Islam, dialah membunuh karakter dan karir politik SDA. Di lain pihak, para okigark dan pengusaha Cino hitam terlibat kasus BLBI tetap saja terbebas dari jerat hukum KPK hingga kini. Satu contoh memalukan, kasus dugaan korupsi Ahok selaku Gubernur DKI dalam pembelian tanah RS Sumber Waras. Bahkan dengan seenaknya petugas KPK tegaskan ke publik, " silakan lembaga penegak hukum lain ambilalih kasus Sumber Waras ini. KPK juga acapkali mempergunakan kewenangan untuk menyelidiki pejabat negara tidak bersalah sehingga dapat menimbulkan kezoliman. Ada kritikan tajam sbb: "KPK hebat kalau membidik dan menghancurkan karir politik dan citra tokoh Islam. KPK itu hanya hebat mentersangkakan tokoh Islam. Vonis Hakim pun mantap: 18 tahun penjara dan pencabutan hak politik.Hukuman terberat untuk korupsi tidak merugikan negara. Sikap KPK tidak sama terhadap korupsi BLBI, dll." Terakhir nama tokoh Islam Amien Rais dibawa-bawa ke Forum Pengadilan. Tanpa konfirmasi dgn Amien, KPK dengan gampangnya memfitnah Amien terima aliran dana korupsi fihak lain. Tatkala Amien bermaksud menjumpai anggota Komisioner KPK utk klarifikasi, tak satupun Komisioner mau terima. Tetapi, Ahok tatkala kasus korupsi RS Sumber Waras, para Komisioner mau mènerima Ahok. Ini bukti KPK diskriminatif dan rasialis terhadap tokoh Islam. Satu contoh lain KPK diskriminatif, kasus Setnov Ketum Golkar dan Ketua DPR. Fakta KPK telah menetapkan dia sebagai Tersangka dalam kasus e-KTP. Keputusan KPK tsb diambil setelah mencermati fakta persidangan Irman dan Sugiharto terhadap kasus e-KTP pada 2011-2012 di Kemendagri. Ia diduga mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,9 triliun. Tapi, fakta juga hingga kini KPK tidak memasukkan Setnov ke rumah tahanan. Publik pun bingung ! Sekelompok masyarakat atas nama "Masyarakat Pecinta Keadilan", 23 Agustus lalu adakan aksi demo ke Kantor KPK, Kuningan, menuntut KPK segera menahan Ketua DPR RI, Setnov. Juga Segera limpahkan berkas perkara tersangka korupsi E-KTP Setya Novanto ke penuntut umum agar segera di sidangkan. Kedua, KPK itu sudah 15 tahun berdiri tetapi prilaku korupsi bahkan semakin meningkat dan meluas baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Secara qualitatif korupsi bukan saja rampok dana APBN atau APBD, tetapi sudah pada korupsi kebijakan politik negara seperti UU, PP, Kepres, Perpres, Permen, Perda, Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota,dll. Dalam ilmu politik kontemporer, korupsi kebijakan ini disebut "Korupsi Sandera Negara". Para pelaku modus Korupsi Sandera Negara ini antara lain penguasa negara, anggota législatif, korporasi (asing, national, dan lokal), lawyer, journalis, LSM, Pengamat, dll. Mereka saling kerjasama terlibat di dalam tindak korupsi kebijakan ini. Keterlibatan para pihak ini bisa langsung bisa tidak langsung. Contoh modus korupsi ini adalah korupsi pembangunan Pulau Palsu/reklamasi utara pantai Jakarta. Para developer asing dan national kasih uang ke sejumlah pejabat agar menerbitkan kebijakan pembangunan Pulau Paksu/reklamasi. Selama 15 tahun bekerja KPK, tetapi korupsi terus neningkat. Ini artinya, outcome KPK gagal dan KPK disfungsional. Bandingkan di negara2 lain, hanya 5 tahun lembaga semacam KPK ini dibentuk, korupsi berkurang signifikan. Bahkan berdasarkan laporan tahunan Transparency Internasional awal 2017. dari hasil upaya pemberantasan korupsi dilakukan 176 negaraIndeks Persepsi Korupsi menempatkan Indonesia di peringkat ke 90 dengan skor 37. Dari sisi skor ada kenaikan satu poin, tetapi dari sisi peringkat Indonesia menurun dua tingkat. Tidak ada perubahan berarti. Indeks itu menggunakan skala 0 – 100, dimana 0 adalah skor untuk negara dengan tingkat korupsi terburuk dan 100 untuk negara yang paling bersih dari korupsi. Marzuki Alie (Ketua DPR) berada posisi ini. KPK sebagai lembaga ad hoc tak perlu dipertahankan lagi jika memang tak dapat menjalankan tugas dan kewenangan dengan baik.KPK diharapkan memberikan hasil signifikan dalam memimpin upaya pemberantasan korupsi di tingkat legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Namun, ternyata tidak bisa memenuhi harapan tersebut. Kalau sudah tidak dipercaya, dan tak membawa perubahan, lembaga ini tak ada gunanya dirikan. Lebih banyak manuver politik daripada memberantas korupsi. Dalam bahasa Fahri Hamzah, KPK bekerja sudah di luar batas kewenangan. Sudah tidak diperlukan lagi lembaga ini. Bahkan, belakangan ini melalui kerja Pansus Angket KPK mulai terkuak data dan fakta, KPK dalam proses penegakan hukum banyak melakukan kesalahan dan ada proses tidak benar. Hal ini diperkuat Putusan Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan gugatan Syarifuddin Umar, Mantan Hakim Pengadilan Jakarta Pusat. Putusan menyatakan, penyitaan dilakukan KPK dalam penangkapan Syarifuddin tidak sah karena tanpa surat penggeledahan. Pada 2014 Mahkamah Agung menolak pengajuan kasasi KPK. Akibatnya, KPK harus dan telah menyerahkan Rp.100 juta kepada Syarifudin sebagai biaya ganti rugi. Ketiga, dari segi management keuangan KPK tidak efektif. Setiap tahun uang APBN digunakan sekitar Rp 1 triliun, tetapi uang peroleh dari koruptor jauh lebih sedikit hanya sekitar Rp 500 miliar. Bisa dinilai, KPK tidak efektif dan efisien atau rugi melulu. Sebagai contoh, dari 542 kasus korupsi (2001-2009), kerugian diderita negara Rp 73,1 triliun. Uang korupsi dikembalikan hanya Rp 5,32 triliun. Sangat rendah ! Pada 2011 jumlah uang negara telah dikorupsi berhasil dikembalikan mencapai Rp 138,06 miliar. Namun, pada 2012 berkurang hanya Rp 113,83 miliar. Rendahnya pengembalian uang korupsi ini juga berlaku hingga tahun 2016. Pada 2016 KPK mengajukan pagu anggaran Rp 1,1 triliun ke DPR. Rp 750 juta untuk penanganan setiap perkara. KPK klaim, besarnya anggaran ini karena tidak punya cabang di daerah. Maknanya, berbeda dgn Kejaksaan dan Polri, punya cabang di daerah. Di samping itu, KPK berkilah, anggaran itu digunakan juga untuk pencegahan. Keempat, lebih 15 tahun pendukung berat dan buta (data dan fakta) KPK mengklaim, lembaga Polri dan Kejaksaan tidak efektif dan tidak mampu urus pemberantasan korupsi. Lalu secara sepihak tetap mempertahankan eksistensi KPK. Maka ada pertanyaan pokok: sampai kapan lembaga pemerintahan Kejaksaan dan Polri tetap tidak efektif dan tidak mampu berantas korupsi? Masih harus menunggu 15 tahun lagi? Padahal sudah 15 tahun keberadaan KPK dianggap lembaga alternatif utk pemberantasan korupsi ternyata juga tidak efektif, tidak mampu dan gagal mengurangi kuantitas dan kualitas korupsi di kalangan penyelenggara negara. Solusi harus diambil, yakni harus bubarkan KPK terlebih dahulu, lalu Pemerintah dan rakyat memperkuat kelembagaan Kejaksaan dan Polri urusan pemberantasan korupsi. Beri waktu 5 tahun ke depan kedua lembaga negara ini bekerja. Seorang Komisioner KPK berkilah, seharusnya pegawai KPK 8.000 orang. Hal ini menjawab keinginan Pemerintah memperkuat KPK yang kini diisi sekitar 1.500 pegawai ini.Jika alasan ngeles ini mau diterima, tentu kembalikan saja fungsi KPK terhadap Kepolisian. Lembaga penegak hukum sudah punya pegawai bahkan di atas jumlah pegawai KPK tsb. Jika 5 tahun ke depan masih tidak efektif, tidak mampu dan gagal melaksanakan fungsi pemberantasan korupsi dan outcome tidak tercapai, baru Kita mengakui: masyarakat, bangsa dan rakyat Indonesia berbudaya korupsi ! Solusinya, antara lain gunakan hukuman mati bagi setiap pelaku korupsi dalam batas2 tertentu. Peduli amat terhadap kelompok anti hukuman mati !

DI BAWAH DUKUNGAN EMPAT PARPOL, JUSTRU ELEKTABILITAS JOKOWI MEROSOT DRASTIS

Empat Parpol secara resmi mendukung Jokowi sebagai Capres Pilpres 2019 mendatang. Yakni Golkar, Hanura, Nasdem dan PPP. Dua Parpol lain belum secara resmi mendukung yakni PDIP (Partai Jokowi) dan PKB. Golkar sesumbar mempromosikan diri, kehadiran Golkar sbg pendukung akan membuat elektabilitas (keterpilihan) Jokowi di atas 65 % pd Pilpres 2019. Promosi ini secara tak langsung meyakinkan Rezim Jokowi bahwa kontribusi Golkar adalah membuat elektabilitas Jokowi di atas 65 %. Tetapi, realitas obyektif berkata, setelah ada dukungan empat Parpol tsb, bukannya menaik elektabilitas Jokowi, justru merosot drastis. Sebelum Golkar dukung Jokowi Capres Pilpres 2019, elektabilitas Jokowi di atas 50 %. Di acara Rapimnas Partai Golkar, Mei 2017, Balikpapan, Kalitim, Menko Maritim menyatakan tanpa Sumber bahwa elektabilitas Jokowi saat ini masih di atas 50 persen. Lebih tinggi dibandingkan dengan elektabilitas SBY, Megawati dan Prabowo. Padahal sebelumnya, April 2017, hasil survei Litbang Kompas menunjukkan, elektabilitas Jokowi hanya 41,6%. Sebuah sumber lain, satu Lembaga Survei, Juni 2017, menunjukkan elektabilitas Jokowi 34%. Kemudian, hasil survei Lembaga Survei berikutnya tidak dipublikasi menunjukkan angka elektabilltas Jokowi kian rendah, jauh di bawah 40 persen. Bahkan, ada sumber lain menyebutkan, angka elektabilitas Jokowi hanya 5 persen selisih dgn elektabilitas Prabowo, seorang Calon Pesaing potential bagi Petahana Jokowi. Padahal kalau mau menang pada Pilpres 2019, Jokowi sbg Petahana (Incumbent) harus memiliki tingkat elektabilitas di atas 60%. Dalam hal ini, angka di atas 65 % diklaim Golkar akan dicapai Jokowi sungguh rasional dan masuk akal utk menang. Bisa disimpulkan sementara bahwa di bawah dukungan empat Parpol, justru elektabilitas Jokowi merosot drastis. Mengapa? Inilah jawabannya. Pertama, dukungan politik Golkar dan Parpol2 lain tidak mampu mengurangi persepsi negatif massa konstituen tentang Jokowi urus pemerintahan dan rakyat. Hal ini diperkuat lagi mesin Parpol pendukung tidak bekerja efektif mempromosikan atau mengkampanyekan Jokowi di publik. Sudah ada indikasi segmen pemilih Golkar, Hanura, Nasdem dan PPP tidak taat pada instruksi atau himbauan Parpol mereka. Konstituen Parpol tidak taat pada instruksi Parpol pendukung Jokowi ini sudah terlihat pada Pilkada DKI 2017. Parpol pendukung Paslon Ahok-Djarot tidak solid. Sebuah Lembaga Survei menemukan, hanya 54 persen pemilih Nasdem memilih Ahok-Djarot. Hanya pemilih PDIP disiplin, 90%. Sisanya memilih Anies-Sandi tanpa terkecuali Ketika PPP dan PKB memutuskan di putaran dua mendukung Ahok-Djarot, ternyata vonis terberat datang dari segmen pemilih kedua Parpol Islam itu sendiri. Segmen pemilih PPP dan PKB tidak memilih sesuai instruksi Parpol, yakni Ahok-Djarot. Lebih 70% pemilih PPP dan PKB tidak memilih Ahok-Djarot, tetapi Anies-Sandi. Intinya, konstituen Parpol pendukung Ahok-Djarot, sebagian mengambil pilihan berbeda dengan garis Parpol mereka. Diperkirakan, kasus tidak taat konstituen pada intruksi atau himbauan Parpol agar mempromosikan atau mengkampanyekan Jokowi juga berlaku. Akibatnya, dukungan resmi Parpol tidak membantu elektabilitas Jokowi, jika tidak boleh dinilai justru kontraproduktif bagi peningkatan elektabilitas Jokowi. Informasi di publik sejumlah kader Parpol pendukung Jokowi terlibat korupsi e-KTP, bagaimanapun, tidak bisa dihindari munculnya penilaian negatif ttg Parpol2 pendukung Jokowi. Bahwa Jokowi didukung kader2 Parpol korupsi. Hal ini tentu membawa dampak negatif terhadap persepsi publik tentang Jokowi sebagai Capres Pilpres 2019 dan elektabilitas Jokowi. Kedua, sesungguhnya bersamaan muncul dukungan empat Parpol, elektabilitas Jokowi terus menurun. Hal ini karena Jokowi ingkar janji kampanye, tak mampu dan gagal urus pemerintahan sesuai RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) Pemerintah RI Tahun 2014-2019. Semakin banyak rakyat menyadari kondisi kehidupan sosial ekonomi kian merosot; kemiskinan dan pengangguran meningkat; daya beli menurun; harga kebutuhan pokok mening kat; kesenjangan sosial kian melebar; pertumbuhan masih rendah dan jauh dari target; dll. Ketiga, Jokowi terbitkan kebijakan2 politik menekan dan membubarkan ormas Islam dan kriminalisasi aktivis/ulama Islam. Penerbitan Perppu Ormas telah digunakan utk membubarkan ormas Islam HTI tanpa pengadilan. Kalangan aktivis umat Islam politik dan pro demokrasi kelas menengah perkotaan menentang penerbitan Perppu ini. Mereka menilai, Perppu itu anti demokrasi dan instrumen Rezim Jokowi menekan kekuatan oposisi. Hingga tulisan ini dibuat, gelombang aksi tolak Perppu Ormas terus berlangsung baik di DPR-RI (Jakarta) maupun di sejumlah Ibukota Propinsi. Keempat, rakyat semakin banyak memiliki persepsi dan sikap negatif serta resistensi terhadap Jokowi, terutama umat Islam politik dan kelas menengah perkotaan. Persepsi dan sikap negatif ini meningkat sejalan dengan semakin meluas dan membanyak issu dan informasi beredar massif di tengah2 publik ttg inkar janji kampanye, ketidakmampuan dan kegagalan Jokowi urus pemerintahan dan rakyat Indonesia. BAWAH DUKUNGAN EMPAT PARPOL, JUSTRU ELEKTABILITAS JOKOWI MEROSOT DRASTIS Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS) Empat Parpol secara resmi mendukung Jokowi sebagai Capres Pilpres 2019 mendatang. Yakni Golkar, Hanura, Nasdem dan PPP. Dua Parpol lain belum secara resmi mendukung yakni PDIP (Partai Jokowi) dan PKB. Golkar sesumbar mempromosikan diri, kehadiran Golkar sbg pendukung akan membuat elektabilitas (keterpilihan) Jokowi di atas 65 % pd Pilpres 2019. Promosi ini secara tak langsung meyakinkan Rezim Jokowi bahwa kontribusi Golkar adalah membuat elektabilitas Jokowi di atas 65 %. Tetapi, realitas obyektif berkata, setelah ada dukungan empat Parpol tsb, bukannya menaik elektabilitas Jokowi, justru merosot drastis. Sebelum Golkar dukung Jokowi Capres Pilpres 2019, elektabilitas Jokowi di atas 50 %. Di acara Rapimnas Partai Golkar, Mei 2017, Balikpapan, Kalitim, Menko Maritim menyatakan tanpa Sumber bahwa elektabilitas Jokowi saat ini masih di atas 50 persen. Lebih tinggi dibandingkan dengan elektabilitas SBY, Megawati dan Prabowo. Padahal sebelumnya, April 2017, hasil survei Litbang Kompas menunjukkan, elektabilitas Jokowi hanya 41,6%. Sebuah sumber lain, satu Lembaga Survei, Juni 2017, menunjukkan elektabilitas Jokowi 34%. Kemudian, hasil survei Lembaga Survei berikutnya tidak dipublikasi menunjukkan angka elektabilltas Jokowi kian rendah, jauh di bawah 40 persen. Bahkan, ada sumber lain menyebutkan, angka elektabilitas Jokowi hanya 5 persen selisih dgn elektabilitas Prabowo, seorang Calon Pesaing potential bagi Petahana Jokowi. Padahal kalau mau menang pada Pilpres 2019, Jokowi sbg Petahana (Incumbent) harus memiliki tingkat elektabilitas di atas 60%. Dalam hal ini, angka di atas 65 % diklaim Golkar akan dicapai Jokowi sungguh rasional dan masuk akal utk menang. Bisa disimpulkan sementara bahwa di bawah dukungan empat Parpol, justru elektabilitas Jokowi merosot drastis. Mengapa? Inilah jawabannya. Pertama, dukungan politik Golkar dan Parpol2 lain tidak mampu mengurangi persepsi negatif massa konstituen tentang Jokowi urus pemerintahan dan rakyat. Hal ini diperkuat lagi mesin Parpol pendukung tidak bekerja efektif mempromosikan atau mengkampanyekan Jokowi di publik. Sudah ada indikasi segmen pemilih Golkar, Hanura, Nasdem dan PPP tidak taat pada instruksi atau himbauan Parpol mereka. Konstituen Parpol tidak taat pada instruksi Parpol pendukung Jokowi ini sudah terlihat pada Pilkada DKI 2017. Parpol pendukung Paslon Ahok-Djarot tidak solid. Sebuah Lembaga Survei menemukan, hanya 54 persen pemilih Nasdem memilih Ahok-Djarot. Hanya pemilih PDIP disiplin, 90%. Sisanya memilih Anies-Sandi tanpa terkecuali Ketika PPP dan PKB memutuskan di putaran dua mendukung Ahok-Djarot, ternyata vonis terberat datang dari segmen pemilih kedua Parpol Islam itu sendiri. Segmen pemilih PPP dan PKB tidak memilih sesuai instruksi Parpol, yakni Ahok-Djarot. Lebih 70% pemilih PPP dan PKB tidak memilih Ahok-Djarot, tetapi Anies-Sandi. Intinya, konstituen Parpol pendukung Ahok-Djarot, sebagian mengambil pilihan berbeda dengan garis Parpol mereka. Diperkirakan, kasus tidak taat konstituen pada intruksi atau himbauan Parpol agar mempromosikan atau mengkampanyekan Jokowi juga berlaku. Akibatnya, dukungan resmi Parpol tidak membantu elektabilitas Jokowi, jika tidak boleh dinilai justru kontraproduktif bagi peningkatan elektabilitas Jokowi. Informasi di publik sejumlah kader Parpol pendukung Jokowi terlibat korupsi e-KTP, bagaimanapun, tidak bisa dihindari munculnya penilaian negatif ttg Parpol2 pendukung Jokowi. Bahwa Jokowi didukung kader2 Parpol korupsi. Hal ini tentu membawa dampak negatif terhadap persepsi publik tentang Jokowi sebagai Capres Pilpres 2019 dan elektabilitas Jokowi. Kedua, sesungguhnya bersamaan muncul dukungan empat Parpol, elektabilitas Jokowi terus menurun. Hal ini karena Jokowi ingkar janji kampanye, tak mampu dan gagal urus pemerintahan sesuai RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) Pemerintah RI Tahun 2014-2019. Semakin banyak rakyat menyadari kondisi kehidupan sosial ekonomi kian merosot; kemiskinan dan pengangguran meningkat; daya beli menurun; harga kebutuhan pokok mening kat; kesenjangan sosial kian melebar; pertumbuhan masih rendah dan jauh dari target; dll. Ketiga, Jokowi terbitkan kebijakan2 politik menekan dan membubarkan ormas Islam dan kriminalisasi aktivis/ulama Islam. Penerbitan Perppu Ormas telah digunakan utk membubarkan ormas Islam HTI tanpa pengadilan. Kalangan aktivis umat Islam politik dan pro demokrasi kelas menengah perkotaan menentang penerbitan Perppu ini. Mereka menilai, Perppu itu anti demokrasi dan instrumen Rezim Jokowi menekan kekuatan oposisi. Hingga tulisan ini dibuat, gelombang aksi tolak Perppu Ormas terus berlangsung baik di DPR-RI (Jakarta) maupun di sejumlah Ibukota Propinsi. Keempat, rakyat semakin banyak memiliki persepsi dan sikap negatif serta resistensi terhadap Jokowi, terutama umat Islam politik dan kelas menengah perkotaan. Persepsi dan sikap negatif ini meningkat sejalan dengan semakin meluas dan membanyak issu dan informasi beredar massif di tengah2 publik ttg inkar janji kampanye, ketidakmampuan dan kegagalan Jokowi urus pemerintahan dan rakyat Indonesia. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

Rabu, 23 Agustus 2017

KINERJA JOKOWI URUS POLITIK DEMOKRASI

HENTIKAN KRIMINALISASI RAKYAT ! Rezim Jokowi semakin otoriter saja, semakin panjang daftar nama aktifis dan pegiat medsos yang di tangkapi karena melontarkan kritik keras kepada pemerintah. Pasal2 karet digunakan untuk mengekang kebebasan berpendapat. "KOALISI PENJAGA HAM" akan segera membawa permasalahan ini ke Court of Justice atau ICJ (Mahkamah Internasional PBB) Mohon dibantu di list nama-nama korban Kriminalisasi/penangkapan selama masa rezim jokowi baik yang masih di dalam tahanan maupun yang sudah di luar tahanan. LAWAN ! 1. Rachmawati Sukarnoputri 2. Ratna Sarumpaet 3. Sri Bintang Pamungkas 4. Kivlan Zein 5. Adityawarman 6. Eko 7. Rizal 8. Jamran 9. Ki gendeng pamungkas 10. Buni Yani 11. Ahmad Dhani 12. Muhammad al Khaththath 13. Zainudin Arsyad 14. Bambang 15. Diko Nugraha 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. dst http://jateng.tribunnews.com/2016/12/02/inilah-10-tokoh-yang-ditangkap-dimana-tempatnya-dan-pasal-yang-disangkakan-pada-mereka http://regional.kompas.com/read/2017/06/09/16265591/buat.meme.menghina.presiden.di.facebook.seorang.pemuda.ditangkap http://regional.kompas.com/read/2017/08/20/08064231/hina-presiden-jokowi-di-facebook-pelajar-smk-ditangkap-polisi https://m.cnnindonesia.com/nasional/20170806145608-12-232786/sri-rahayu-penghina-jokowi-ditangkap-4-ponsel-disita-polisi/ http://www.tribunnews.com/nasional/2017/03/31/selain-al-khaththath-inilah-tiga-tokoh-aksi-313-lainnya-yang-ditangkap-polisi

Sabtu, 19 Agustus 2017

Pendapat Jokowi ttg keadaan Indonesia kini

[17/8 12.16] Muchtar Effendi Harahap:   Home Politik Inilah Pidato Lengkap Presiden Jokowi dalam Sidang Tahunan MPR-DPR RI NASIONALPOLITIK Inilah Pidato Lengkap Presiden Jokowi dalam Sidang Tahunan MPR-DPR RI Facebook  Bismillahirrahmanirrahim, Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Selamat Pagi, Salam Damai Sejahtera untuk kita semua, Om Swastiastu, Namo Buddhaya, Salam Kebajikan.  Yang saya hormati, seluruh rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote; Yang saya hormati Ketua, para Wakil Ketua, dan para Anggota Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; Yang saya hormati Ketua, para Wakil Ketua, dan para Anggota Lembaga-Lembaga Negara; Yang saya hormati para Menteri Kabinet Kerja dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Kementerian; Yang saya hormati Bapak BJ Habibie, Presiden Republik Indonesia Ketiga; Yang saya hormati Ibu Hj Megawati Soekarnoputri, Presiden Republik Indonesia Kelima; Yang saya hormati Bapak Try Sutrisno Wakil Presiden Keenam; Yang saya hormati Bapak Boediono Wakil Presiden Kesebelas Republik Indonesia; Yang saya hormati Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid; Yang saya hormati Ibu Karlina Umar Wirahadikusumah; Yang saya hormati yang mulia Duta Besar negara-negara sahabat Bapak Ibu, Hadirin yang berbahagia, Hadirin sekalian yang berbahagia Saudara-saudara se-Bangsa dan se-Tanah Air, Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya atas rahmat-Nya, kita dapat menghadiri Sidang Tahunan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 2017. Di depan sidang yang terhormat ini, saya ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada seluruh lembaga negara, atas kekompakan, atas sinergi dan atas kerja sama yang baik selama ini. Saya yakin dengan kekompakan, dengan sinergi, dengan kerja bersama, itu tidak akan memperlemah tugas dan tanggung jawab konstitusional yang dijalanankan oleh setiap lembaga negara, tetapi justru memperkuat semua dalam memenuhi amanah rakyat. Dalam semangat Persatuan Indonesia itu, lembaga-lembaga negara justru bisa bekerja dengan lebih baik, bila saling mengingatkan, bila saling kontrol, bila saling mengimbangi dan saling melengkapi. Tidak ada satu lembaga negarapun yang memiliki kekuasaan absolut, memiliki kekuasaan yang lebih besar dari lembaga negara yang lain. Inilah jati diri bangsa Indonesia dalam bernegara. Inilah kekuatan bangsa kita dalam menghadapi setiap tantangan. Inilah keunggulan bangsa kita dalam menghadapi masa depan. Kekuatan yang juga terefleksi dalam 72 tahun perjalanan bangsa dan negara kita. Kita harus menjadikan sejarah sebagai fondasi untuk menatap masa depan. Pelajaran yang sangat penting dari sejarah bangsa kita adalah kemerdekaan bisa kita rebut, bisa kita raih, bisa kita proklamasikan karena semua anak-anak bangsa mampu untuk bersatu, mampu untuk bekerjasama, mampu untuk kerja bersama. Modal persatuan Indonesia yang kokoh itu harus terus kita jaga, terus kita rawat, kita perkuat. Dan harus jadi pijakan kita bersama dalam menghadapi ujian sejarah berikutnya yaitu memenuhi janji-janji kemerdekaan. Janji kemerdekaan untuk mewujudkan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Saya percaya, tugas yang maha berat itu akan bisa kita tunaikan apabila kita semua mau bersatu, mau bekerja sama, mau kerja bersama. Ke depan, bangsa kita menghadapi tantangan yang tidak ringan. Kita akan mengarungi samudera globalisasi. Kita akan berhadapan dengan dinamika perubahan yang sangat cepat. Kita akan menghadapi kemajuan inovasi teknologi yang destruktif. Tapi, saya yakin dengan bersatu, kita akan bisa menghadapi semua itu. Karena bangsa kita adalah bangsa besar. Bangsa kita adalah bangsa yang teruji. Bangsa kita adalah bangsa petarung. Saudara-saudara se-Bangsa dan se-Tanah Air, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, Tujuh puluh dua tahun kita merdeka, kita bersyukur atas seluruh capaian yang kita raih. Ini semua atas kerja keras dari seluruh rakyat Indonesia, kerja bersama dari lembaga-lembag a negara. Namun, kita menyadari bahwa belum semua rakyat Indonesia merasakan buah kemerdekaan. Kita menyadari bahwa manfaat pembangunan belum sepenuhnya merata di seluruh pelosok tanah air. Kita menyadari bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia belum sepenuhnya bisa kita wujudkan. Untuk itu, di tahun ketiga masa kabinet bakti Kabinet Kerja, Pemerintah lebih fokus untuk melakukan pemerataan ekonomi yang berkeadilan. Kita ingin rakyat Indonesia yang berada di pinggiran, di kawasan perbatasan, di pulau-pulau terdepan, di kawasan terisolir merasakan hadirnya negara, merasakan buah pembangunan, dan merasa bangga menjadi Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keadilan sosial harus mampu diwujudkan secara nyata dalam kehidupan segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Rakyat di Aceh harus bisa merasakan pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan sanitasi dan air bersih maupun pelayanan transportasi, sama baiknya dengan apa yang dirasakan oleh saudara-saudara yang lain di seluruh pelosok negeri. Kita ingin rakyat di perbatasan Papua, bisa memiliki rasa bangga pada tanah airnya, karena kawasan perbatasan telah dibangun menjadi beranda terdepan dari Republik kita. Kita ingin rakyat Papua di pegunungan juga bisa menikmati harga BBM dan harga bahan pokok yang sama dengan saudara-saudaranya di wilayah lain Indonesia. Kita ingin rakyat Pulau Miangas bisa merasakan kehadiran Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Program Kartu Indonesia Sehat, Program Kartu Indonesia Pintar, dan Program Pemberian Makanan Tambahan untuk balita dan ibu hamil. Kita ingin rakyat di Pulau Rote juga bisa merasakan manfaat pembangunan infrastruktur, lancarnya konektivitas dan turunnya biaya logistik. Kita ingin kualitas hidup rakyat Indonesia semakin meningkat. Walaupun IPM kita naik dari 68,90 di tahun 2014 menjadi 70,18 di tahun 2016 kita tidak boleh cepat berpuas diri. Kita juga harus terus berupaya menekan ketimpangan pendapatan, yang saat ini Indeks, Indeks Gini Rasio bisa kita turunkan dari 0,414 pada September 2014 menjadi 0,393 pada Maret 2017. Saya yakin hanya dengan pemerataan ekonomi yang berkeadilan, kita akan semakin bersatu. Pembangunan yang merata akan mempersatukan Indonesia. Pembangunan yang berkeadilan akan membuat kita semakin kuat dalam menghadapi persaingan global. Tidak ada yang merasa menjadi warga negara kelas dua, warga negara kelas tiga. Karena semuanya adalah warga negara Republik Indonesia. Semuanya, setara mendapatkan manfaat dari pembangunan. Semuanya ikut terlibat mengambil tanggung jawab dalam kerja bersama membangun bangsa. Kita ingin negara, kita ingin kerja bersama tidak hanya dalam pemerataan ekonomi yang berkeadilan tapi juga dalam pembangunan ideologi, politik, sosial dan budaya. Dalam bidang ideologi, kita harus terus memperkuat konsensus kebangsaan untuk menjaga Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Pemerintah telah menginisiasi pembentukan UKP-PIP untuk melakukan pembinaan ideologi Pancasila kepada seluruh lapisan masyarakat, terutama generasi muda, dan penerus masa depan kita. Dalam bidang politik, kita harus menuntaskan agenda konsolidasi demokrasi sehingga semakin terlembaga. Kita bersyukur telah mampu menyelenggarakan proses demokrasi di level lokal, pilkada serentak di 101 daerah pada tahun 2017, dengan aman dan damai. Selain pembangunan ideologi dan politik, kita tidak boleh melupakan pembangunan sosial dan kebudayaan. Kita harus mendidik anak-anak kita menjadi generasi pelanjut sejarah yang cinta pada tanah airnya, memiliki etika, budi pekerti dan sopan santun, mempunyai karakter yang kuat dan tangguh. Kita juga terus membangun kebudayaan bangsa yang ber-bhinneka, ekspresi seni dan budaya dari berbagai daerah di Nusantara harus terus dibangkitkan untuk memperkaya Indonesia, ke-Indonesia-an kita. Saudara-saudara se-Bangsa dan se-Tanah Air, Saya percaya tugas sejarah untuk Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, tidak lepas dari dukungan dan partisipasi aktif Lembaga-Lembaga Negara. Selama setahun terakhir, MPR terus berusaha untuk menjembatani berbagai arus perubahan, pemikiran, aspirasi masyarakat dan daerah, dan berbagai etika politik kebangsaan yang bertumpu pada nilai permusyawaratan dan perwakilan, kekeluargaan, gotong royong dalam bingkai NKRI. Sebagai pengawal ideologi, MPR teguh menjaga Pancasila sebagai pemandu kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Saya menyambut baik, sikap MPR yang berketetapan untuk bersinergi dengan Unit Kerja Presiden untuk Pembinaan Ideologi Pancasila yang saya tetapkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017 untuk sosialisasi dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terhadap tugas pengkajian sistem ketatanegaraan UUD 1945 serta pelaksanaannya, MPR telah berhasil memformulasikan Penataan Sistem Perekonomian Nasional, yang kita harapkan dapat mendukung suksesnya pemerataan pembangunan secara berkeadilan. Adapun terhadap tugas penyerapan aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan UUD 1945, MPR telah memfasilitasi sejumlah kegiatan kebangsaan guna memperluas penerapan etika kehidupan berbangsa dan bernegara di segenap kalangan masyarakat. Sementara itu, DPR juga terus melanjutkan reformasi internalnya dan menjadi lembaga representasi rakyat yang makin modern dan dipercaya. Terhadap fungsi legislasi, DPR antara lain telah menyelesaikan 14 RUU pada Prioritas Program Legislasi Nasional Tahun 2017. Beberapa diantaranya berkaitan langsung dengan dukungan kelancaran program Pemerintah selama tahun 2017 seperti peningkatan ekspor non-migas barang dan jasa yang bernilai tambah tinggi, penyederhanaan perizinan serta penyediaan layanan dan fasilitas untuk investasi. Adapun terhadap fungsi pengawasan jalannya pemerintahan, DPR telah membentuk 46 panitia kerja di berbagai ranah pembangunan, serta menyelenggarakan uji kepatutan dan kelayakan atas usulan pengangkatan sejumlah pejabat publik. Uji kepatutan dan kelayakan itu antara lain terhadap Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan; Anggota Badan Pemeriksa Keuangan; Anggota Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu; serta Kepala Badan Intelijen Negara Republik Indonesia. DPR juga memberi pertimbangan dan persetujuan terhadap 23 Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk negara-negara sahabat. Yang tidak kalah penting adalah DPR juga melanjutkan diplomasi parlemen untuk memperkuat kerjasama Indonesia dengan negara-negara sahabat guna memperjuangkan kepentingan nasional dan pencarian solusi atas berbagai permasalahan internasional. Diplomasi itu dilakukan melalui Grup Kerja Sama Bilateral DPR dengan Parlemen Negara-negara Sahabat. DPR saat ini telah membentuk 49 Grup Kerja Sama Bilateral serta berperan aktif dalam forum kerja sama antar-parlemen internasional. Saudara-saudara se-Bangsa dan se-tanah Air Di sisi lain, DPD terus memantapkan peran konstitusionalnya sebagai penampung dan penyalur aspirasi masyarakat dan daerah. Sungguh kita berbesar hati karena DPD telah menunjukkan kinerja dan kematangannya dalam melewati masa-masa sulit konsolidasi internalnya. Di tengah tantangan itu, kerja keras DPD hingga semester pertama tahun 2017 ini telah menghasilkan 10 pertimbangan terhadap RUU dan 5 pertimbangan berkaitan dengan anggaran serta 13 hasil pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang tertentu. Beberapa diantara pertimbangan itu ada yang sangat kita perlukan untuk mempercepat pemerataan pembangunan di daerah-daerah, seperti pertimbangan atas RUU tentang Pengelolaan Kawasan Perbatasan Negara dan RUU tentang Kewirausahaan Nasional serta pengawasan atas pelaksanaan UU tentang Desa. Saudara-saudara se-Bangsa dan se-Tanah Air, Dalam pengawalan pengelolaan keuangan negara, BPK terus berupaya menempuh langkah terobosan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara di pusat maupun daerah. Kita bersyukur pada tahun 2016, untuk pertama kalinya dalam pembangunan nasional, BPK merilis opini Wajar Tanpa Pengecualian terhadap pengelolaan keuangan pemerintah.Terhadap pelaksanaan tugas itu, BPK antara lain telah bersinergi dengan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah. Melalui sinergi itu, dapat diatasi kondisi pemeriksaan yang tumpang tindih yang terjadi beberapa tahun terakhir. BPK juga telah menerapkan Sistem Informasi Pemantauan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan. Melalui penerapan sistem itu, BPK dapat memantau tindak lanjut hasil pemeriksaan di setiap Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non-Kementerian, secara lebih akurat, efisien dan tepat waktu. Kita juga mengapresiasi BPK yang sejak tahun lalu, terpilih menjadi auditor eksternal bagi Badan Energi Atom Internasional periode 2016-2020. Keterpilihan BPK itu bukan saja menjadi wujud pengakuan internasional atas kinerjanya, namun juga mengangkat nama baik dan reputasi bangsa Indonesia. Pada pembangunan bidang hukum, Mahkamah Agung terus berupaya mempermudah masyarakat dalam perolehan keadilan dan layanan publik. Hingga semester pertama tahun 2017, MA telah berhasil menerapkan beberapa inovasi antara lain Sistem Audio Text Recording dan Mekanisme Penghitungan Biaya Perkara Sendiri secara elektronik guna makin memudahkan layanan peradilan. MA juga terus memperluas pelayanan masyarakat di wilayah terpencil, melalui program sidang keliling dan sidang di luar gedung pengadilan. Selain inovasi peningkatan layanan publik, MA juga melanjutkan Akreditasi Penjaminan Mutu Badan Peradilan. Hingga bulan Juni 2017, telah berhasil mengakreditasi 186 pengadilan. Sementara itu, Mahkamah Konstitusi terus bekerja dan mengukuhkan perannya sebagai penjaga konstitusi. Sampai pertengahan tahun 2017, dari 55 perkara yang diterima, seluruhnya telah diputuskan oleh MK. Beberapa diantaranya termasuk perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Keberhasilan MK dalam memutus perkara itu, telah mengantarkan MK meraih penghargaan Bawaslu Award Tahun 2017. Dalam melaksanakan perannya sebagai pengawal nilai-nilai demokrasi, pada tahun 2017 ini, MK berhasil mempertahankan kepercayaan komunitas internasional sebagai Sekretariat Tetap dari Mahkamah Konstitusi se-Asia. Kita juga apresiasi upaya Komisi Yudisial dalam memajukan akuntabilitas peradilan di Tanah Air. KY telah menyelesaikan 8 kasus advokasi hakim serta melakukan pemantauan 89 persidangan atas laporan masyarakat. KY juga telah memfasilitasi penyelenggaraan pelatihan Kode Etik dan Pedoman Perilaku bagi 277 hakim. Dalam pemeliharaan martabat peradilan, KY telah merekomendasikan penjatuhan sanksi kepada 33 hakim, mulai dari sanksi ringan hingga sanksi berat. Saudara-saudara se-Bangsa dan se-Tanah Air, Hadirin yang saya muliakan Sekali lagi, semua capaian itu seharusnya tidak membuat kita cepat berpuas diri. Karena tantangan yang kita hadapi sekarang ini dan ke depan tidaklah ringan. Kita masih dihadapkan dengan kemiskinan dan kesenjangan; kita masih dihadapkan dengan ketidakpastian ekonomi global, dan kita juga masih dihadapkan dengan gerakan ekstrimisme, radikalisme, dan terorisme. Namun, dari sekian banyak tantangan itu, tantangan yang paling penting dan seharusnya menjadi prioritas bersama dari semua lembaga negara adalah mendapatkan kepercayaan yang tinggi dari rakyat. Kepercayaan rakyat adalah jiwa dan sekaligus energi bagi lembaga-lembaga negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing, Saya mengajak kita semua, seluruh lembaga Negara untuk menjadikan rakyat sebagai poros jiwa kita. Saya mengajak kita semua untuk selalu mendengar amanat penderitaan rakyat. Saya mengajak kita semua untuk bergandengan tangan, bekerjasama, kerja bersama untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Akhirnya dengan semangat persatuan Indonesia, saya yakin kita akan mampu menjalankan tugas konstitusional kita, menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang mandiri, berdaulat, dan berkepribadian. Dirgahayu Republik Indonesia! Dirgahayu Negeri Pancasila! Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Om Shanti Shanti Shanti Om, Namo Buddhaya.

Jumat, 18 Agustus 2017

KINERJA JOKOWI URUS KEMISKINAN

Bantah Klaim Jokowi, BPS Sebut Kemiskinan di Indonesia Justru Makin Parah dan Meleba Pidato Jokowi sidang tahunan di MPR/DPR RI soal kemiskinan menurun dikritik tak sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS). Mengacu data BPS justru menunjukkan kemiskinan di Indonesia makin parah dan melebar. Hal ini tercatat masing-masing 1,83 di Maret 2017 dibanding realisasi September 2016 yang sebesar 1, 74 dan 0, 44, jumlah penduduk miskin sebanyak 27, 77 juta dengan persentase 10, 64 persen. "Artinya yang keberhasilan yang disampaikan J okowi jelas dibantah oleh BPS dan publik berharap Jokowi tidak melakukan pembenaran dari fakta yang ada," tegas Direktur Eksekutif Bimata Politica Indonesia (BPI) Panji Nugraha dalam rilis tertulis yang diterima redaksi, Jumat (18/8). Panji menekankan, seharusnya Jokowi lebih terbuka kepada rakyat dan jangan hanya soal angka-angka semata, akan tetapi realitas di lapangan. Banyak masyarakat di desa dan kota mengaku kesulitan faktor ekonomi yang mengakibatkan daya beli masyarakat turun. Hal itu dinilainya jelas berbanding lurus dengan keadaan realitas publik yang disebabkan kebijakan Jokowi tak pro rakyat seperti mencabut subsidi BBM, listrik dan menaikjan pajak berimbas pada perekonomian rakyat. "Justru momentum pidato Jokowi tersebut haruslah dimanfaatkan dengan baik, mengenai persoalan-persoalan yang belum bisa diatasi pemerintahan dan juga momentum Jokowi untuk meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia karena belum mampu mengentaskan kemiskinan sesuai janji-janji kampanye terdahulu," tutup Panji Read more: http://www.tribunislam.com/2017/08/bantah-klaim-jokowi-bps-sebut-kemiskinan-di-indonesia-justru-makin-parah-dan-melebar.html#ixzz4q7FWUfCW  Follow us: @TribunIslam on Twitter | TribunIslam on Facebook Miris, Angka Kemiskinan Makin Meningkat Dok - detikFinance Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data kemiskinan dan ketimpangan teranyar. Angka kemiskinan bertambah, dan tingkat ketimpangan (gini ratio) bergerak stagnan Berita Ekonomi Nasional Opini Pakar Politik INDEF: Di Masa Jokowi, Lapangan Kerja bagi Rakyat Makin Minim Media Kebangkitan Agustus 18, 2017 A+ A- INDEF: Di Masa Jokowi, Lapangan Kerja bagi Rakyat Makin Minim Tweet Share Share  Direktur INDEF Enny Sri Hartati BANGKITPOS.COM, JAKARTA - Sejumlah pencapaian negatif terjadi di masa pemerintahan Presiden Jokowi. Salah satu diantaranya adalah minimnya lapangan pekerjaan bagi masyarakat terutama bagi masyarakat menengah ke bawah. Direktur INDEF Enny Sri Hartati mengatakan, selain soal lapangan pekerjaan, juga tingginya dampak dari tekanan biaya kebutuhan pokok membuat masyarakat miskin makin kesulitan beranjak dari garis kemiskinannya. Menurut Enny, program jaring pengaman dari pemerintah seperti kartu sehat, kartu Indonesia pintar, dan kartu sejahtera belum cukup mengatasi kemiskinan di Indonesia. Data pemerintah menunjukkan, masih ada 27,7 juta masyarakat yang berada di garis kemiskinan. Jumlah tersebut dengan standar minimal pendapatan kurang dari Rp 400 ribu per bulan. “Misalnya mengikuti standar internasional yang USD 2 per orang, mungkin bisa mencapai 70 juta orang yang miskin,” ujarnya, Rabu (16/8) kemarin. Dikatakan Enny, pemerintah telah berjanji untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun hingga kini belum juga terealisasi. Sekalipun dengan indikator yang sangat minimal, kata Enny, pengurangan orang miskin dalam setahun tidak sampai 1 juta orang. Lebih lanjut Enny menjelaskan, tahun 2016 lalu ada 28 juta orang miskin. Sedangkan tahun ini 27,7 juta. Jumlah penurunan orang miskin ini terlampau kecil jika dihitung dalam kurun waktu setahun. “Itu pun diukur dengan standar minimal, (pendapatan) di bawah Rp400 ribu per bulan. Hari gini emang ada orang bisa hidup Rp 400 ribu per bulan?,” tanya Enny. Terakhir dia mengingatkan, kalau masyarakat miskin yang hidup di pedesaan dan pesisir dengan mata pencaharian petani dan nelayan ataupun buruh juga belum tersentuh kebijakan pemerintah. “Padahal, pemerintah telah mengalokasikan subsidi dalam jumlah yang besar,” pungkas Enny. [bp 72 TAHUN INDONESIA MERDEKA BARU KALI INI RAKYAT BISA HIDUP DGN MAKMUR 😁 MERDEKA!!! ✊✊ Badan Pusat Statistik mengklaim seseorang yang berpenghasilan Rp 11.000 perhari atau setara Rp 332.119 perbulan adalah orang yang dikategorikan tidak miskin. Baru dikatakan miskin apabila pendapatan masyarakat kurang dari Rp 11.000, misalnya Rp 10. 500. Oleh karena itu, Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan mempertanyakan parameter dari pemerintah, dalam hali ini BPS, dalam penentuan angka kemiskinan “Apa parameternya kalau penduduk yang pendapatannya Rp 11.000 dikatakan tidak miskin,” kata Heri Gunawan di Jakarta, Jumat (03/03/2017). Ia menyindir pemerintah yang dengan mudah menyatakan angka kemiskinan menurun. “Pantasan pemerintah bilang kemiskinan berkurang ternyata parameternya tidak terukur. Pemerintah bisa bilang kemiskinan menurun kalau pemerintah naikkan parameternya, sementara parameternya tidak jelas dan tidak terukur,” kata Heri. Ditambahkan Heri, dengan pendapatan Rp 11.000 perhari, masyarakat tidak bisa berbuat apa pun. “Beras 1 liter berapa? taruhlah makan nasi dengan garam, harga garam berapa, terus beli gas untuk masak berapa? Apa cukup dengan pendapatan Rp 11.000 itu? Belum untuk kebutuhan yang lain-lainnya,” kata Heri. Data BPS menyebut jumlah penduduk miskin (penduduk yang pengeluarannya dibawah Garis Kemiskinan (setara Rp 332.119/kapita/bulan atau setara Rp 11.000 perhari) di Jawa Barat pada September 2016 sebesar 4,17 juta jiwa atau 8,77 persen. Sedikit mengalami penurunan jika dibanding dengan kondisi Maret 2016 yang tercatat 4,22 juta jiwa atau 8,95 persen. Penurunan angka kemiskinan juga terjadi apabila dibandingkan terhadap kondisi September 2015 (4,49 juta jiwa atau 9,57 persen) dimana ada pengurangan penduduk miskin sekitar 320 ribu. https://ekbis.sindonews.com/read/1221394/33/gawat-kemiskinan-di-indonesia-makin-parah-1500285300 ======== JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan Indonesia pada periode September 2016 hingag Maret 2017 mengalami kenaikan. Hal tersebut menandakan, usaha pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan akan semakin sulit. Kepala BPS Suhariyanto mengungkapkan, indeks kedalaman kemiskinan pada September 2016 adalah 1,74 dan pada Maret 2017 mengalami kenaikan menjadi 1,83. Demikian juga indeks keparahan kemiskinan yang mengalami kenaikan dari 0,44 menjadi 0,48 pada periode sama. Menurutnya, persoalan kemiskinan bukan hanya dilihat dari jumlah dan persentase penduduk miskin semata, melainkan juga tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Sebab, semakin parah tingkat kemiskinan di sebuah negara maka semakin sulit mengentaskan kemiskinan tersebut. "Kalau indeks kedalaman naik, maka tingkat kemiskinan semakin dalam, jarak antara pengeluaran penduduk miskin dan garis kemiskinan akan semakin jauh dan semakin sulit entaskan kemiskinan," terang dia di Gedung BPS, Jakarta, Senin (17/7/2017). Jika dilihat antara daerah perkotaan dan pedesaan, nilai indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan di daerah pedesaan lebih tinggi dari perkotaan. Pada Maret 2017, nilai indeks kedalaman kemiskinan untuk daerah perkotaan sebesar 1,24 dan di pedesaan jauh lebih tinggi mencapai 2,49. "Sementara nilai indeks keparahan kemiskinan untuk perkotaan adalah 0,31, sedangkan di pedesaan mencapai 0,67," tutur dia. (Baca: Enam Bulan, Jumlah Orang Miskin di Indonesia Naik Jadi 27,77 Juta) Sebelumnya, BPS merilis jumlah masyarakat miskin di Indonesia mencapai 27,77 juta orang pada Maret 2017. Jumlah tersebut bertambah sekitar 10.000 orang dibanding kondisi September 2016 yang mencapai 27,76 juta orang. 27,77 juta orang tersebut merupakan penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

Kamis, 17 Agustus 2017

KINERJA JOKOWI URUS PERENCANAAN NASIONAL

cita dan Problem Perencanaan Anggaran Sabtu 10 Juni 2017 11:30:00 Laporan: Jamal SY  Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla Oleh: Divisi Riset Pusat Kajian Keuangan Negara Selama dua tahun memimpin Indonesia, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla terlihat masih mencari formula yang tepat untuk menjejakkan Nawacita ke dalam politik anggaran serta kebijakan pembangunan. Sejarah mencatat, setiap presiden membawa ideologi (belief on goodness) ekonominya masing-masing. Presiden Sukarno mengusung Ekonomi Gotong Royong. Presiden pertama Indonesia tersebut juga mencetuskan ajaran Trisakti. Kemudian saat Presiden Suharto memimpin, pemerintah mempopulerkan jargon Ekonomi Pembangunan yang bertumpu pada trilogi pembangunan, yaitu stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan. Selanjutnya di era reformasi, ideologi ekonomi Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati nampak masih samar, karena konsentrasi era pemerintahan ini lebih condong pada konsolidasi kebangsaan. Kemudian, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi orang nomor satu di negeri ini, dia memperkenalkan apa yang disebut SBYnomics yang terdiri atas 3 (tiga) pilar yaitu pro growth, pro job, dan pro poor. Sementara itu, Presiden Jokowi tampil di panggung kekuasaan hasil Pemilu Presiden tahun 2014 dan mengusung ideologi Jokowinomics. Adapun, Jokowinomics tersebut dapat dibaca melalui Nawacita atau sembilan program yang menjadi agenda prioritas pemerintah periode 2014-2019. Bagaimana strategi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dalam menerjemahkan Nawacita ke dalam kebijakan pembangunan? Problem Perencanaan Nasional Sebelum menilai pencapaian Nawacita selama dua tahun ini, ada baiknya kita mendiskusikan kembali perencanaan nasional sebagai legitimasi formal kenegaraan. Secara teoritis, menurut Conyers dan Hills (1984), perencanaan adalah proses yang kontinyu, terdiri dari keputusan atau pilihan dari berbagai cara untuk menggunakan sumber daya yang ada, dengan sasaran untuk mencapai tujuan tertentu di masa mendatang. Dari definisi tersebut, diketahui perencanaan nasional sangat penting sebagai indikator pencapaian tujuan dalam rentang waktu tertentu. Dalam konteks pembangunan nasional, Indonesia memiliki jejak sejarah pola perencanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh. Sebagai contoh, di era Presiden Soekarno pemerintah menerapkan Pola Pembangunan Nasional Semesta dan Berencana (PNSB). Kemudian di era Orde Baru, Presiden Soeharto menggunakan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai dasar perencanaan nasional. Pada aspek Pola PNSB tahap pertama (1961-1969) sebagaimana diatur dalam TAP MPRS No II/MPRS/1960, aspek pembangunan yang diatur juga berkaitan dengan aspek-aspek fundamental. Pembangunan tidak hanya dititikberatkan pada pembangunan fisik, tetapi juga termasuk pembangunan revolusi mental dalam membangun karakter kebangsaan manusia Indonesia seutuhnya. Sementara, GBHN era Presiden Soeharto—meskipun sama-sama ditetapkan oleh MPR seperti PNSB—ruang lingkupnya hanya berisi haluan pembangunan pemerintahan pusat yang dilaksanakan oleh eksekutif saja. Sedangkan orientasi aspek pembangunan GBHN terlalu menitikberatkan kepada aspek pembangunan fisik. Sementara itu, aspek pembangunan karakter nasional bangsa banyak diabaikan. Selanjutnya pada era reformasi, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Pola perencanaan ini terbagi dibreakdown ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Bila dibandingkan dengan kedua sistem perencanaan di era sebelumnya, SPPN dibuat oleh masing-masing Presiden terpilih, dan cenderung lebih eksklusif. Selain hanya mengatur haluan pemerintahan selama lima tahun—yang merupakan visi dan misi capres/cawapres—SPNN juga disusun dan diputuskan sendiri oleh pemerintah. Berpangkal pada hal tersebut, banyak kalangan memberikan kritik terhadap SPNN yang terasa parsial dan belum mencerminkan pola pembangunan yang berkelanjutan. Saat dikukuhkan menjadi Guru Besar Ilmu[17/8 10.10] Muchtar Effendi Harahap: Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (2015), Bahrullah Akbar menyinggung beberapa permasalahan terkait perencanaan nasional. Pertama, jargon perencanaan pembangunan masih bersifat seremonial, business as usual tanpa arah yang komprehensif. Artinya, perencanaan masih mengedepankan pekerjaan administratif dan seremonial, dibandingkan bagaimana membahas kualitas perencanaan dan hubungan perencanaan pusat dan daerah, yang terkorelasi dengan tujuan berbangsa bernegara. Menyedihkan untuk mengatakan 71 Tahun Indonesia belum ada blue print jangka panjang sebagai acuan tujuan berbangsa dan bernegara. Kedua, kita tidak mempunyai dashboard Keuangan Negara berupa perhitungan sumber potensi keuangan negara atau penggalian revenue centre yang komprehensif dan integratif bagi negara. Sebagai contoh antara lain berupa potensi pajak dan cukai yang belum tergali, timpangnya kemampuan pendapatan asli daerah (retribusi) dengan dana transfer, optimalisasi sumber daya alam, seperti antara lain; leverage asset perhitungan cadangan minyak , gas bumi, minerba serta potensi kemaritiman dan hasil laut. Ketiga, tidak adanya koordinasi dan arah yang jelas dalam penyusunan perencanaan strategis pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mencapai tujuan bernegara, antara lain tidak meet and match kepentingan pusat dan daerah dalam belanja tugas pembantuan dan dekonsentrasi. Keempat, bahwa kekayaan negara yang dipisahkan yang berada di BUMN, BUMD dan BLU masih belum terjangkau dalam penyusunan perencanaan pembangunan komprehensif dan integratif. Kelima, perencanaan strategis yang disusun selama ini masih belum mempola secara khusus pembangunan manusia Indonesia secara utuh (nation and character building). Permasalahan di atas menandakan bahwa sumber daya manusia kita belum mendapat perhatian secara khusus. Sasaran pembangunan hanya terfokus kepada pencapaian indikator pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, kita belum sepenuhnya membangun jiwa dan raga secara utuh dan fundamental. Lalu, bagaimana upaya pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam memperbaiki perencanaan nasional, dan sekaligus menerjemahkan visi, misi dan janjinya ke dalam kebijakan pembangunan? Nawacita dan RPJMN Sekalipun perencanaan nasional kita dewasa ini dihadapkan pada problema seperti diutarakan di atas, kita melihat upaya pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla untuk melakukan perubahan-perubahan pada RPJMN 2015-2019. Sekadar mengingat, proses penyusunan RPJMN 2015-2019 telah dimulai pada Januari 2014, seiring diterbitkannya Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 yang ditandatangani Armida S. Alijahbana pada 3 Januari 2014. Di sinilah letak tantangannya. Pemerintahan baru di bawah Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dikejar “deadline” untuk merumuskan kembali RPJMN dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) sesuai dengan visi, misi, dan program prioritas presiden dan wakil presiden terpilih. Walhasil, dalam waktu kurang dari 3 (tiga) bulan, yaitu tertanggal 15 Januari 2015 secara resmi pemerintah menerbitkan RPJMN 2015-2019 melalui Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015. Begitupula dengan RKP 2015, yang disusun pada tahun 2014 oleh Pemerintahan SBY-Boediono, kemudian direvisi seiring dengan penyusunan RAPBN Perubahan 2015 yang disahkan pada tanggal 14 Februari 2015. Banyak kritik dialamatkan pada dokumen resmi perencanaan nasional jangka menengah tersebut. Setidaknya terdapat empat model masalah yang dapat kita telisik, antara lain; pertama, indikator Nawacita dan RPJMN tidak sama. Kedua, Nawacita memiliki indikator, sedangkan RPJMN tidak punya. Ketiga, RPJMN punya indikator, sedangkan Nawa Nawacita tidak punya. Keempat, Nawacita memiliki indikator global, sedangkan RPJMN penuh dengan indikator detail tanpa ada yang global. Sebagai contoh, misalnya, indikator indeks pembangunan manusia (IPM) di Nawacita ditetapkan 76.60, tetapi sasaran RPJMN menetapkan 76.30. Sedangkan realitas tahun 2015 sebesar 69.55. Selain itu, indeks gini ratio di Nawacita memproyeksikan 0.30, tetapi di dalam RPJMN dipatok 0.36. Dan, realitas tahun 2016 indeks gini ratio sebesar 69.55. Kesenjangan yang juga mencolok misalnya sasaran pertumbuhan ekonomi, yang disasar Nawacita sebesar 6.0%-7.5%, namun di RPJMN malah dipatok lebih tinggi yaitu sebesar 8%. Sementara itu, penurunan tingkat kemiskinan dipatok realtif moderat, Nawacita mencanangkan kurang dari 8%, sedangkan RPJMN mematok kisaran 7-8%. Begitupula dengan tingkat pengangguran terbuka, Nawacita menargetkan 4% dan RPJMN mematok 4-5%. Bersandar pada acuan indikator Nawacita dan RPJMN tersebut, dapat disimpulkan bahwa Nawacita belum sepenuhnya diterjemahkan ke dalam perencanaan nasional. Padahal, indikator-indikator tersebut menjadi basis acuan penilai masyarakat terhadap pencapaian, serta janji dan visi misi Presiden Jokowi. Karena itu, untuk mewujudkan sasaran pembangunan nasional, pemerintah perlu bekerja keras mengejar target-target yang ambisius tersebut, dan sekaligus mewaspadai realitas yang terjadi saat ini. Ambil contoh misalnya untuk mewujudkan IPM sebesar 76.30 tahun 2019. Berbekal pencapaian IPM tahun 2015 sebesar 69.55, maka pemerintah perlu bekerja keras menambah sekitar 1.69 point setiap tahunnya. Adapun, pembentuk IPM terdiri atas 3 (tiga) dimensi yaitu umur panjang dan hidup sehat (kesehatan), pengetahuan (kualitas pendidikan), dan standar hidup layak (perekonomian). Dari ketiga dimensi tersebut, kita masih dihadapkan pada sejumlah kekhawatiran. Dari dimensi kesehatan, kita menghadapi kekhawatiran sebagai berikut; pertama infrastruktur kesehatan belum merata dan kurang memadai. Dari sekitar 9.599 Puskesmas dan 2.184 rumah sakit yang ada di Indonesia, sebagian besar masih berpusat di kota-kota besar. Hal ini juga berkelindan dengan tingkat ketersediaan kamar, khususnya rawat inap di rumah sakit untuk memberikan pelayanan terhadap peserta BPJS Kesehatan yang kini jumlahnya telah mencapai 142 juta. Kedua, distribusi tenaga kesehatan yang belum merata. Data terakhir Kementerian Kesehatan RI memang mencatat, sebanyak 52,8 persen dokter spesialis berada di Jakarta, sementara di NTT dan provinsi di bagian Timur Indonesia lainnya hanya sekitar 1%-3%. Kemudian dimensi pendidikan, kita juga dibayangi oleh berbagai permasalahan. Menurut data dari UNESCO (2015) pendidikan di Indonesia menempati peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang. Hal tersebut disebabkan karena kualitas pendidikan di Indonesia yang masih kurang baik, yang ditandai dengan rendahnya sarana dan prasarana pendidikan, kualitas guru, prestasi siswa, serta pemerataan kesempatan pendidikan. Sementara itu dari dimensi standar hidup layak, fenomena ketimpangan pendapatan masih menjadi momok yang mewarnai 71 kemerdekaan Indonesia. Berdasarkan data BPS (2016), tingkat ketimpangan pendapatan Indonesia yang diukur dengan menggunakan gini ratio pada Maret 2016 mengalami perbaikan menjadi sebesar 0,397. Pencapaian tersebut mendekati batas berbahaya level ketimpangan sebesar 0,40. Diketahui, belakangan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) akan mengkaji kemungkinan adanya revisi atas RPJMN 2015-2019 yang dinilai sudah tidak realistis. Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, berkilah rencana tersebut dilakukan karena perencanannya waktu itu kurang menggambarkan kondisi yang sebenarnya. “Rencana itu kan selalu awal di depan, begitu sudah berjalan kita harus review apakah yang dilakukan selama ini sudah sesuai sasaran atau belum, atau mungkin perencanannya waktu itu kurang menggambarkan kondisi yang sebenarnya,” kata Bambang di Jakarta, Kamis (28/7/2016). (*)

KEMERDEKAAN BELUM KE DALAM KEHIDUPAN RAKYAT DAN NEGARA

Sudah 72 tahun rakyat Indonesia selalu gegap gempita merayakan hari kemerdekaan 17 Agustus 1945. Tentu saja sekarang ini kondisi ekonomi politik rakyat Indonesia harus jauh lebih baik dan maju ketimbang saat hari kemerdekaan tsb. Cita2 kemerdekaan harus teraktualisasi ke dalam kehidupan ekonomi politik rakyat dan negara Indonesia. Pertanyaan kini: sudahkah teraktualisasi cita2 kemerdekaan kini ? Jawabannya, masih belum ! Makna kemerdekaan untuk rakyat Indonesia bukan semata pernyataan kemerdekaan dan pergantian penyelenggara negara dari ras Eropa menjadi ras Pribumi. Tujuan kemerdekaan secara tertulis antara lain: "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia". Terkandung makna keinginan untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali. Melindungi dari apa? Tentu dari penguasaan dan struktur ekonomi politik eksploitatif negara lain. Kemerdekaan menjadi bermakna secara substansial jika tingkat ketergantungan struktural rakyat pribumi serendah mungkin. Struktur ekonomi politik di Indonesia harus terbebas dari ketergantungan pada kapitalisme internasional yang selalu mengeksploitasi atau memeras rakyat dan sumberdaya Indonesia. Rakyat Indonesia tidak akan menikmati kemerdekaan jika kondisi masih dalam ketergantungan struktural dan selalu dalam kondisi keterbelakangan dibandingan rakyat negara2 pusat atau center kapitalisme internasional. Hampir seluruh sumberdaya alam dikuasai oleh modal atau korporasi asing. Salah satu fakta yakni kini 95 persen sumber minyak bumi Indonesia sudah dikuasai asing. Masalahnya adalah bukan saja pihak asing getol menguasai sumber daya alam kita, tetapi Rezim-Rezim Kekuasaan kita memang berkehendak dan membantu pihak asing melalui kelompok oligarki dalam negeri. Acapkali disebut belakangan ini, ada kerjasama dan hubungan kepentingan harmonis kelompok Asing, Aseng dan Asong. Di Indonesia sejak Orde Baru kelompok oligarki dikuasai ras Cina, bukan pribumi, disebut sebagai Aseng. Asong bermakna kelompok rezim kekuasaan atau penguasa negara dari ras pribumi yang kerjasama dengan kepentingan Asing dan Aseng ini. Terbentuknya kelompok oligarki aseng yang sangat kaya raya karena kebijakan khususnya Rezim Militer Soeharto awal era Orde Baru dan dilanjutkan oleh Rezim2 era Reformasi dan semakin diperkuat oleh Rezim Jokowi kini. Kecenderungan pihak asing menguasai sumber daya alam kita semakin meningkat di era Rezim Jokowi. Bahkan, ketergantungan pada utang luar negeri dan impor bahan material infrastruktur dan pangan semakin besar. Padahal Rezim Jokowi dalam kampanye Pilpres 2014 mencitrakan diri pro rakyat dan nasionalisme sejati, takkan berhutang, takkan impor pangan, dll. Bahkan, dengan slogan Nawacita mau ciptakan Indonesia bermartabat dan berdikari. Faktanya? Rezim Jokowi justru lebih terbuka dan intens membuka diri untuk dimasuki modal dan investasi asing, bukan saja dari negara2 Barat tetapi juga negara Cina Komunis yang menimbulkan resistensi rakyat Indonesia, terutama umat Islam politik. Di bawah Rezim Jokowi, justru impor pangan semakin meningkat, al.: beras, gula, garam, bawang putih, singkong, cabai, dan sapi. Bahkan cangkul pun impor. Ini salah satu bukti ingkar janji kampanye Pilpres 2014. Ketergantungan rakyat dan negara kian besar pada pihak asing sungguh bertentangan dengan cita2 kemerdekaan. Sangat tragis, ketergantungan bukan saja pada investasi dan modal, tetapi impor pangan. Dua setengah tahun RezimJokowi Pemerintah menambah utang Rp. 1.040 triliun. Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia Mei 2017 tercatat USD 333,6 miliar atau Rp 4.436 trIliun. Pertumbuhan tahunan utang luar negeri sektor pemerintah meningkat, sektor swasta menurun. Lebih banyak utang pemerintah. Satu sumber menunjukkan, hanya 2,5 tahun Rezim Jokowi sudah berhutang lebih dari Rp.1.000 Triliun atau sekitar USD 24 Miliar pertahun, menyamai rekor hutang Rezim SBY 10 Tahun. Kalangan ekonom memprediksi, Indonesia dalam kondisi "default", tidak baik, dan tidak mampu membayar hutang tanpa utang baru. Rezim membuat beragam kebijakan mempercepat ketergantungan pada investasi dan modal asing. Di bawah Rezim Jokowi, tiga kali mencuat issue masuknya pekerja Cina. Mereka menggunakan aturank bebas visa bagi turis asal China. Jumlah pekerja Cina tidak berketerampilan atau unskill workers masuk mencapai ratusan ribu orang. Mereka bekerja sektor manufaktur, pembangkit listrik, perdagangan, jasa, dll. tersebar di Bali, Kalimantan, Sulawesi Tenggara, Banten, Papua, Jakarta, dll. Mereka ini menghilangkan kesempatan kerja bagi pekerja pribumi. Kebijakan lain Rezim Jokowi mempercepat ketergantungan pada asing adalah bebas-visa bagi warga negara dari sejumlah negara asing; asing boleh miliki properti; asing boleh kuasai 85% saham modal ventura. Bahkan, ada 35 bidang usaha dalam negeri asing boleh menguasai. Usaha boleh 100 % asing al. Jalan tol, pengelolaan sampah, cold stroage, pialang berjangka, restoran, bar, dan kafe, gelanggang olahraga, produksi dan pengedaran film, warung telekomunikasi, jual beli online, bahan baku obat, praktek dokter, dan dana pensiun. Dari sisi masuknya uang asing ke dalam negeri,sekitar Rp.2.145 triliun atau 51 % ke sektor keuangan. BeritaSatu.com (Februari 2016) menyajikan data Asosiasi Emiten Indonesia (AEI). Saham BUMN dimiliki perusahaan asing antara lain: 1. Bank BRI 38,59 %. 2. Semen Indonesia 38,22 %. 3. Telkom 38,35 %. 4. PGN 35,26 %. 5. Bank Mandiri 31,88 %. 6. Bank BNI 29,15 %. 7. Bank BTN 25,49 %. 8. Jasa Marga 14,51 %. 9. Bukit Asam 13,76 %. 10. Wijaya Karya 11,14 %. 11. Adhi Karya 10,40 %. Data asing menguasai saham BUMN ini tentu akan terus berubah semakin banyak. Bahkan satu sumber menegaskan, penguasaan asing atas saham BUMN kepemilikan publik telah mencapai 85 %. Akibatnya, keuntungan BUMN lebih banyak dinikmati investor asing ketimbang rakyat Indonesia. Lebih mengecewakan lagi, ada 0,2% warga non pribumi menguasai 75% luas tanah di Indonesia, atau 5% non pribumi kini menguasai 85% kue ekonomi Indonesia. Struktur ekonomi politik tidak memproteksi dan memerdekan pribumi dari penguasaan non pribumi. Realitas obyektif lain dapat ditemukan dari mengalirnya kekayaan ke luar negeri.Total uang luar negeri swasta dan pemerintah tahun 2016 sudah lebih dari US $ 323 miliar atau Rp. 4.000 triliun. Jika dibagi jumlah penduduk, Rp.16 juta per orang. Kekayaan Indonesia mengalir ke luar negeri. Hal ini tidak beda dgn kondisi puluhan tahun terakhir era penjajahan Belanda. Banyak hasil keuntungan kita tidak tinggal di dalam negeri. Kekayaan kita mengalir ke luar negeri dalam jumlah keterlaluan. Pd 2016, Kemenku beberkan, lebih Rp.11.000 triliun uang milik pengusaha Indonesia disimpan di luar negeri. Jumlah ini lima kali lebih besar dari APBN 2016. Kondisi ini sungguh tidak adil. Akibatnya, terlalu banyak rakyat masih hidup dalam kemiskinan. Bahkan, diperkirakan, hanya 1 % rakyat menikmati kemerdekaan. Lihatlah kini ratio versi BPS, tahun 2014 sudah 0,41. Hasil riset lembaga keuangan Crédit Suisse menunjukkan, pd 2016 angka gini ratio sudah mencapai 0,49. Maknanya, 1 % orang terkaya menguasai 49 % kekayaan Indonesia. Ini sungguh ketimpangan luar biasa. Lalu, apa makna membedakan bagi rakyat kebanyakan setelah 72 tahun proklamasi 17-8-45 ? Tentu secara umum ada perbedaan kondisi ekonomi politik rakyat Indonesia antara sekarang dan saat tahun 1945. Sekarang kaum terpelajar dan kelas nenengah lebih banyak. Kebebasan bersuara, berserikat, memilih telah lebih baik. Secara format dan kasat mata jelas ada kondisi lebih baik. Itu harus kita akui. Tetapi, kondisi structural ekonomi politik sungguh tidak ada perubahan berarti. Pada era penjajahan negara asing melindungi ketergantungan struktural eksploitatif dan memeras rakyat dan sumberdaya Indonesia. Pada era kini negara asing digantikan negara pribumi, tetapi peran melindungi tetap berlangsung. Cita2 kemerdekaan untuk terbebas dari ketergantungan struktural atau impérialisme ekonomi politik belum teraktualisasi secara berarti ke dalam realitas obyektif rakyat dan negara Indonesia. Bisa jadi, cita2 kemerdekaan 17 Agustus 1945 masih "utopia". Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS: Network for South East Asian Studies)

Jumat, 11 Agustus 2017

RUMAH SEKAP KPK: INDIKATOR KEBUSUKAN

Penyebutan nama Rumah Sekap diungkap oleh Niko Panji T. saat memberikan keterangan di bawah sumpah di depan Pansus Angket KPK. Setidaknya ada tiga tempat digunakan KPK. Yaitu Boulevard Raya-Kelapa Gading, Depok-Jawa Barat, dan salah satu hotel di DKI Jakarta. Setelah kesaksian Niko di DPR, Rumah Sekap atau Safe House menjadi satu issue polemik khususnya antara KPK dan Pansus. Issue ini membuat KPK sangat bereaksi dan mengecam Pansus tidak bisa membedakan antara Rumah Sekap dan Safe House. Tetapi, Pansus tidak menggubris klaim KPK itu, malah berencana mau kunjungi Rumah Sekap dimaksud. Menurut salah seorang anggota Pansus Angket KPK, ada tiga kelompok informasi mereka terima terkait kelakuan KPK. Pertama, Pansus mendapatkan informasi, KPK memiliki dua rumah sekap. Rumah sekap itu digunakan untuk mengondisikan saksi palsu untuk suatu perkara. KPK menyekap orang dijadikan sebagai saksi palsu. Dalam proses penyekapan sekaligus pengkondisian saksi palsu itu, KPK juga menyertainya dengan tindakan kekerasan di dalamnya. Kedua, KPK melakukan praktik tukar guling kasus. Ketiga, KPK "membina" koruptor. Hal itu berkaitan dengan dugaan keberadaan mafia penyitaan aset di lembaga antirasuah tersebut. Ada aset sudah disita, tapi dikelola oleh tangan lain. Ada mafia sita aset. Masalah Safe House atau Rumah Sekap KPK ini sesungguhnya menunjukkan salah satu indikator kebusukan lembaga KPK. Rumah sekap ini jelas ilegal dan bagaikan tempat Rezim Fasis menyiksa rakyat tak patuh. Saya sependapat dengan penilaian Pansus Angket KPK bahwa KPK melanggar hukum karena Safe House harus dikelola Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), bukan penegak hukum seperti KPK. Bagi saya, kegiatan KPK di Safe House atau Rumah Sekap baik untuk Saksi maupun Tersangka harus didampingi Pembela atau Lawyer. Ini prinsip HAM universal. Apakah masalah Rumah Sekap ini ilegal atau tidak, perlu dijawab melalui forum pengadilan, biar para Hakim memutuskan. Secara politik polemik masalah Rumah Sekap ini tergantung persepsi dan sikap publik. Obyektivitas penilaian Rumah Sekap ini ilegal, publiklah menentukan. Tergantung seberapa banyak rakyat mendukung pendapat DPR. Kita harus melihat masalah ini dari kasus kesaksian Niko yang telah menggugat KPK ke Mabes Polri atas perlakuan terhadap dirinya. Semoga gugatan Niko ditindaklanjuti ke Pengadilan hingga jelas ttg status hukum Rumah Sekap tsb. Memang ada kesepakatan antara KPK dan LPSK soal Safe House, namun kesepakatan itu tidak ada hubungan dengan Rumah Sekap dimaksud Niko. Saya sangat mendukung, Pansus Angket KPK bisa nembuktikan KPK sudah menyalahgunakan kekuasaan atau "abuse of power" dengan menggunakan Rumah Sekap. Pembuktian fakta ini sangat dibutuhkan untuk obyektivitas dan kebenaran. Bisa jadi, Pansus sudah punya data dan fakta sejumlah Rumah Sekap KPK di luar kasus Niko. Bagi pendukung atau pembela KPK, pembuktian fakta ini jelas bisa membuat mereka di mata publik sebagai buta data dan fakta. Kebusukan KPK menjadi semakin jelas selama menjalankan pemberantasan korupsi. Di lain pihak, bagi kelompok penentang dan penuntut bubarkan KPK, pembuktian fakta ini dapat digunakan sebagai dasar rasionalisasi dan justifikasi. Kini KPK sebagai penegak hukum sudah tidak independen, cenderung memihak terhadap penguasa negara. Sejumlah kasus KPK tidak lanjuti karena tidak mau konflik dengan kekuatan oligarki dan penguasa negara. Sebagai contoh kasus hukum dimaksud, yakni BLBI, Cost Recovery migas, Bank Century, Pembelian Tanah RSSW terakhir Pelindo 2, pulau palsu/reklamasi pantai utara Jakarta, dll. Semula pembentukan KPK untuk memberantas korupsi besar, kini sudah masuk ke kasus2 kecil seperti dana bantuan desa level Kabupaten. Kita memang membutuhkan penegak hukum yang independen tetapi sudah tidak ada pada diri KPK. KPK acapkali mempergunakan kewenangan untuk menyediliki pejabat negara tidak bersalah sehingga dapat menimbulkan kezoliman. Para Tokoh Islam juga tak luput dijadikan tersangka bukan saja bersikap tebang pilih, tetapi sudah diskriminatif. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

Selasa, 08 Agustus 2017

KINERJA JOKOWI URUS KETENAGAKERJAAN

Home / EKOBIS / Aksi serentak KSPI: Pemerintahan Jokowi-JK dinilai gagal sejahterahkan buruh  Prexiden KSPI, Said Iqbal (int) Aksi serentak KSPI: Pemerintahan Jokowi-JK dinilai gagal sejahterahkan buruh 8 Agustus 2017 EKOBIS, Indotimnews Indotimnews– Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Selasa (8/8/17), menggelar aksi protes sebagai bentuk refleksi atas kondisi perekonomian dan Perburuhan nasional . Selain di Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabodotabek), di beberapa P Jawa, Kalimantan dan Sulawesi, aksi ini digelar serentak dengan aksi unjuk rasa. Menurut Presiden KSPI, Said Iqbal dalam siaran persnya yang diterima indotimnews.com, buruh menilai, Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK) yang diberi kuasa mengelolah perekonomian negara dan rakyat, gagal meningkatkan pertumbuhan ekonomi. “Kegagalan itu dibuktikan dengan berbagai indikator. Buruhpun saat ini tidak bisa disejahterahkan,” ucap Said Iqbal. Ini indikator yang dimaksudkan Presiden KSPI ini: 1. Pertumbuhan ekonomi stagnan di angka 5% per triwulan II 2017, sementara daya beli masyarakat terjun bebas ditunjukan oleh konsumsi rumah tangga yang tumbuh dibawah 5%, akibat Jokowi menerbitkan PP No 78/ 2015 yang membatasi kenaikan upah minimum. 2. Penyerapan tenaga kerja per semester I anjlok 141 ribu orang dibandingkan tahun 2016. Sementara investasi yang masuk lebih padat modal bukan padat karya. Kalau terus dibiarkan pengangguran akan meledak karena lapangan kerjanya makin sempit. 3. Pembangunan infrastruktur yang dijanjikan selesai tahun 2019 faktanya hanya terealisasi 9%. Dampak dari pembangunan infrastruktur juga tidak dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Buktinya industri besi dan baja justru tumbuh negatif di 2016 dan penyerapan tenaga kerja sektor konstruksi anjlok. Infrastruktur adalah proyek titipan China. Wajar tenaga kerja dan materialnya impor dari China. 4. Paket kebijakan ekonomi yang jumlahnya mencapai 15 terbukti tidak mampu menahan laju penurunan industri manufaktur. Pertumbuhan industri manufaktur turun tajam di triwulan ke II 2017 dari 4.24% ke 3.54%. Dampaknya PHK besar besaran gelombang III sudah mulai terjadi sejak awal tahun 2017. 5. Utang pemerintahan Jokowi naik dari 1000 triliun hanya dalam waktu 2.5 tahun. Total utang pemerintah per Juni 2017 sebesar Rp. 3.706 triliun. Sementara jerat utang membuat negara harus membayar bunga pertahunnya sebesar 219 Triliun. Lanjut Presiden KSPI, gambaran makro perekonomian diatas mengindikasikan bahwa pemerintahan Jokowi gagal memperbaiki kondisi perekonomian nasional. Padahal, berbagai upaya telah dilakukan oleh Jokowi guna mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, dari 15 jilid paket kebijakan hingga tax amnesty sebagai taktik memperbesar penerimaan pajak. “Tax Amnesty yang diklaim sebagai tersukses di dunia nampaknya belum juga mencukupi target pendapatan negara,” papanya. Belakangan ini, kata Said Iqbal, Menteri Keuangan RI, berencana menaikkan batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari 4,5 juta per bulan menjadi setara Upah Minimum Provinsi. “Presiden Jokowi yang sedari awal menapaki jenjang karir politik melalui tangga pencitraan, rupa-rupanya sangat pandai menjaga citranya,” tambanya. Sementara itu, Ketua Departemen Infokom dan Media KSPI, Kahar S. Cahyono menambahkan, Perppu Ormas yang diterbitkan oleh Jokowi dapat diibaratkan tameng kekuasaan. Dengan adanya Perppu ini, pemerintah dengan mudah dapat menjustifikasi organisasi masyarakat sipil yang tidak dia senangi sebagai organisasi ‘anti pancasila’ yang musti dibubarkan. “Persoalan ekonomi yang menimpa buruh juga berasal dari Jusuf Kalla. Posisinya sebagai Wakil Presiden dapat mengintervensi Gubernur Jawa Barat untuk memutuskan Upah Padat Karya yang nilainya lebih rendah dari UMK di Kota Bekasi, Kota Depok, Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Bogor,” terangnya. Dittuturkan, hal ini menunjukan keberpihakan pemerintah sungguh berat ke kalangan pengusaha. Persoalan lain yang berdampak pada kesejahteraan buruh adalah buruh yang sedang proses PHK dan 6 bulan pasca PHK tidak mendapatkan manfaat BPJS Kesehatan. Hal tersebut sangat memberatkan buruh dan atau anggota keluarganya ketika jatuh sakit ditengah situasi PHK yang notabenenya kehilangan pendapatan. “Bukan hanya hal-hal ekonomi, demokrasi pun tercederai belakangan ini melalui disahkannya UU Pemilu. UU Pemilu sarat dengan hasrat partai politik tertentu yang ingin memantapkan kekuaasaannya. UU pemilu adalah cermin dari menguatnya oligarki politik di level negara,” ucap Kahar. Persoalan-persoalan diatas adalah segelintir contoh dari sekian yang dirasakan oleh buruh. Oleh karenanya, berdasarkan refleksi situasi dan kondisi ekonomi nasional dan perburuhan yang carut marut tersebut, KSPI mengadakaan aksi serentak di Jakarta dan beberapa kota besar, seperti: Batam, Medan, Bandung, Makassar, Serang, dan lain-lain. Di wilayah Jabodetabek, aksi akan dipusatkan di Istana Negara dengan titik kumpul di Patung Kuda Indosat, silang Monas Barat Daya jam 10.00 wib sampai dengan jam 18.00 wib dengan jumlah massa kurang lebih 5.000 orang buruh. Dalam aksi serentak 8 Agustus 2017 ini, KSPI mengusung 7 tuntutan, yakni: 1. Menolak penurunan batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP). Seperti diketahui, selama ini PTKP yang berlaku adalah 4,5 juta per bulan. Dengan kata lain, pekerja yang upahnya di bawah 4,5 juta tidak terkena pajak. Jika Menteri Keuangan menurunkan PTKP menjadi sesuai dengan Upah Minimum Provinsi, maka pekerja yang upahnya di bawah 4.5 juta akan terkena pajak. Kebijakan ini lebih parah dari sebelumnya. Sebab sebelum naik menjadi 4.5 juta, nilai PTKP adalah 3 juta. Sebagai contoh, UMP Jawa Tengah tahun 2017 ini sebesar 1.3 juta. Dengan demikian, pekerja yang upahnya sebesar 1.35 juta sudah terkena pajak. Kebijakan ini seperti rentenir. Dimana pemerintah memajaki dan memalaki rakyat kecil. Oleh karena itu, KSPI tegas menolak kebijakan ini. Adapun alasan penolakannya adalah sebagai berikut: Pertama, daya beli buruh masih rendah. Jika PTKP diturunkan, maka daya beli akan semakin memburuk. Upah buruh yang masih rendah itu akan diperparah dengan akan adanya pengeluaran yang harus dibayar, yaitu pajak. Hal itu akan membebani buruh. Indikator menurunnya daya beli, salah satunya adalah penjualan motor turun 7 persen, dan penjualan mobil turun 5.7 persen. Rumah murah yang targetnya 1 juta rumah tidak tercapai. Ibu rumah tangga paling merasakan dampaknya, ketika hampir semua kebutuhan naik. Apa yang dilakukan pemerintah ini mirip dengan VOC, yang menarik upeti dari rakyat. Kedua, kebijakan ini terkesan akal-akalan. Dulu ketika membuat kebijakan UU Tax Amnesty, dalihnya adalah untuk menarik repatriasi dan deklarasi. Setelah tahun pertama dibebaskan, mustinya tahun kedua mereka sudah harus membayar pajaknya. Kemana pajak hasil deklarasi dan repatriasi yang katanya 4000 T lebih itu? Ini yang kita tidak setuju. Rasa ketidakadilan kita tercederai. Ini orang kaya diampuni, orang miskin dikejar-kejar pajaknya. Ketiga, ketika KSPI mengajukan judicial review terhadap UU Tax Amnesty, salah satu argumentasi pemerintah adalah buruh tidak bayar pajak. Argumentasi pemerintah tersebut didahului dengan menaikkan PTKP dari 3 juta menjadi 4.5 juta. Keempat, kita tidak bisa membandingkan antar negara tanpa melihat faktor-faktor ekonomi yang lain. Perbandingan negara apple to apple. Malaysia dan Thailand itu pendapatan perkapitanya sudah bagus. Sementara Indonesia daya belinya rendah. Lanjut Ketua Departemen Infokom dan Media KSPI, Data ILO menunjukkan, upah rata-rata Indonesia masih rendah. Upah rata-rata Thailand adalah 357 dollar, Malaysia 506 dollat, Filipina 206 dollar, dan Indonesia hanya 174 dollar. Upahnya paling rendah di negara ASEAN, tetapi PTKP nya mau diturunkan sehingga buruh yang upahnya sudah rendah harus dipajaki pula. Cara berfikir seperti inilah yang akan kita lawan. “Jokowi harusnya mencabut PP 78/2015 dan juga menurunkan harga Tarif Dasar Listril ( TDL) agar daya beli buruh dan masyarakat kembali naik,” pintanya. Dijelaskan, Darurat PHK lebih nyata dibandingkan PERPPU Ormas. Buruh menolak PERPPU Ormas karena menciderai demokrasi. Kegentingan sebenarnya adalah Darurat PHK! “Buruh dan rakyat kecil tidak butuh Perppu Ormas, yang dibutuhkan adalah jangan menaikan tarif listrik 900 Va, jangan menaikkan harga gas industri, jangan menaikkan harga BBM, cabut PP 78/2015 dan naikkan daya beli agar industri ritel tidak kolaps, dan lakukan tindakan konkret untuk mencegah PHK,” titah Kahar. Lahirnya Perppu berkaitan dengan pembubaran ormas ini, lanjut aktivis buruh ini, menjadi bukti jika pemerintahan Jokowi gagal mewujudkan kesejahteraan rakyat dan kemudian menjadi panik dan paranoid, takut dikritik oleh rakyatnya sendiri. Keberadaan Perppu ini akan menghambat gerakan sipil—termasuk gerakan buruh—dalam meperjuangan hak-haknya. Hal ini karena, dengan adanya Perppu Ormas, Pemerintah akan dengan mudah bisa membubarkan Ormas yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan dan kemauan pemerintah. “Wewenang pemerintah untuk membubarkan ormas secara sepihak bertentangan dengan prinsip negara hukum. Tidak menutup kemungkinan Pemerintah juga membubarkan serikat buruh tanpa melalui proses pengadilan,” cetusnya. “Arogansi kekuasaan tercium sangat kuat dalam Perppu Ormas ini. KSPI mendukung upaya pemerintah memberantas paham radikalisme, terorisme, dan segala hal yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Tetapi tidak dengan menerbitkan Perppu Ormas. Karena tuduhan seperti itu harus dibuktikan terlebih dahulu di pengadilan,” tambah Kahar. ia menuding, Pemerintah seperti kurang kerjaan dengan menerbitkan Perppu Ormas. Padahal yang dibutuhkan adalah darurat PHK, di tengah kelesuan ekonomi dan menurunnya daya beli masyarakat akibat upah murah dikarenakan terbitnya PP 78/2015, yang mengancam PHK besar-besaran perusahaan yang sudah melakukan PHK adalah PT Smelting (Gresik), PT Freeport (Papua), PT Indoferro, PT Indocoke, PT Jaya Karya Perdana (Cirebon), PT Nyonya Meneer (Semarang), 7-Eleven (Jakarta), dan Hypermart (Jabodetabek). “Alih-alih mencari solusi penyelesaian terkait dengan maraknya PHK dan turunnya daya beli, Pemerintah malah mengeluarkan Perppu Ormas yang tidak bermanfaat bagi masyarakat untuk saat ini,” tambahnya. Di tengah menumpuknya hutang pemerintah yang semakin menggunung dan kelesuan ekonomi, seharusnya pemerintah fokus pada masalah ini. Bukan malah melakukan pengalihan isu, dengan mengeluarkan Perppu Ormas. KSPI juga Menolak Upah Padat Karya di Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan Kota Bekasi. Cabut SK gubernur Jawa Barat yang melegitimasi pemberlakuan Upah Padat Karya! Upah minimum adalah upah terendah yang diterima buruh yang memiliki masa kerja kurang dari 1 tahun dan berfungsi sebagai jaring pengaman agar buruh tidak jatuh menjadi absolut miskin. Padahal pemerintah sudah menetapkan UMK yang berlaku untuk seluruh pekerja. Jika upah padat karya diberlakukan, dengan kata lain pemerintah telah melanggar keputusannya sendiri. Ibarat peribahasa, menjilat ludahnya sendiri. Oleh karena itu, KSPI menyesalkan sikap Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengintervensi kebijakan upah minimum dengan memimpin rapat yang dihadiri Menteri Ketenagakerjaan, Gubernur Jawa Barat, dan lembaga lainnya untuk membahas UMK padat karya yang nilainya di bawah upah minimum. “Ini menunjukkan pemerintah sangat pro pasar dan kapitalis, serta hanya melindungi kepentingan pengusaha tanpa memperhatikan kepentingan buruh dan peningkatan kesejahteraan,” ombunnya. Padahal kata Kahar, kondisi buruh sekarang ini sangat terpuruk daya belinya. Ini dibuktikan dengan tutupnya perusahaan di industri ritel, keramik, pertambangan, dan garmen. Penutupan perusahaan tersebut bukan karena persoalan upah minimum, tetapi lebih karena lesunya perekonomian nasional dan menurunnya daya beli. Kalau upah minimum padat karya makin murah, maka daya beli makin menurun lagi. Konsumsi juga akan ikut menurun. Tercium sekali “bau sangit” kepentingan pengusaha industri padat karya. Pemeritah tunduk pada pemilik modal tanpa memperhatikan kesejahteraan buruh, bahkan ikut menakuti-nakuti buruh dengan akan adanya PHK besar-besaran jika upah minimum padat karya tidak diberlalkukan. Hal itu hanya alasan klisse yang sudah usang, dan seperti kaset rusak yang diputar berulang-ulang. Oleh karena itu, KSPI akan mengajukan gugatan terhadap Gubernur Jawa Barat yang sudah menerbitkan SK upah padat karya. Selain itu, KSPI akan berkampanye di dunia internasional, bahwa pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan upah murah yang bertentangan dengan konstitusi d dan Konvensi ILO yang sudah diratifikasi pemeritah Indonesia. KSPI pun akan berkampanye serikat buruh se Asia Pasifik tentang kenaikan upah minimum +50 USD. Naikkan upah minimum tahun 2018 sebesar 50 dolar se Asia Pasifik! :Dalam rangka mewujudkan pemerataan dan Keadilan Sosial serta peningkatan daya beli dan kesejahteraan kaum buruh dan rakyat, KSPI akan mengkampanyekan kenaikan upah tahun 2018 di Asia Pacific sebesar 50 dollar. Kampanye kaum buruh se-Asia Pacific terkait upah ini bertajuk +50. Artinya, upah minimum tahun 2018 adalah lebih besar 50 dollar jika dibandingkan upah minimum tahun ini,” harapnya. Kampanye kenaikan upah di Asia Pacific ini dikomandai oleh International Trade Union Confederation (ITUC). Terkait dengan hal ini, KSPI mengingatkan, bahwa Gubernur DKI Jakarta terpilih, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sudah menandatangani kontrak politik dengan Koalisi Buruh Jakarta (KBJ), untuk tidak memakai PP 78/2015. Dengan demikian, Anies-Sandi harus mengejar ketertinggalan upah minimun DKI Jakarta sebesar 300 ribu jika dibandingkan dengan Karawang. Tahun depan, KSPI memperkirakan inflansi dan pertumbuhan ekonomi sekitar 9 persen. Jika mengikuti rumus ini, maka kenaikan upah kira-kira 320 ribu. Maka kenaikan sesuai inflansi dan pertumbuhan ekonomi ini harus ditambah selisih dari Karawang sebesar 300 ribu. Dengan demikian, Jakarta upahnya akan naik 620 ribu. KSPI juga memjnta Pidanakan Direksi BPJS Kesehatan yang melanggar penerapan UU BPJS Kesehatan seperti 6 bulan setelah ter PHK buruh tidak dilayani BPJS Kesehatannya! KSPI menyampaikan protes keras terkait dengan tidak dijalankannya ketentuan mengenai pekerja/buruh yang tidak dilayani lagi begitu di PHK. Padahal, menurut Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), 6 bulan pasca PHK, buruh seharusnya masih berhak mendapat manfaat jaminan kesehatan. “Kami ingin, sepanjang PHK belum inkrah, buruh harus tetap mendapat pelayanan BPJS Kesehatan. Jika karena buruh mau membayar 1% iuran BPJS dalam proses PHK, buruh mau bayar kemana? Kan bukan peserta mandiri. Pengusaha juga tidak mau membayarkan iuran BPJS buruh selama proses PHK. Malahan, kalau merujuk pada peraturan, 6 bulan pasca PHK pun buruh masih menerima manfaat BPJS Kesehatan,” tegasnya Oleh karena itu, KSPI meminta BPJS Kesehatan menekan pengusaha untuk tetap membayarkan iuran BPJS Kesehatan buruh selama proses PHK yang belum inkrah. “Karena 5% iuran itu melekat kepada buruh, dan menjadi tanggungjawab perusahaan untuk mengiur BPJS buruhnya,” lanjutnya. Lebih lanjut Said Iqbal meminta BPJS Kesehatan jangan sampai mengabaikan tugasnya untuk menagih iuran perusahaan. Tidak diterimanya buruh oleh pelayanan kesehatan semasa mereka ter-PHK sangat memberatkan, disamping kehilangan penghasilan, ketika mereka sakit, mereka tidak punya uang,” tuturnya. KSPI juga menyerukan untuk Gugat UU Pemilu pasal mengenai presidential threshold 20% yang menciderai demokrasi, kedaulatan buruh dan rakyat! “KSPI menolak Presidential Threshold dengan alasan bahwa Indonesia membutuhkan presiden baru. Untuk itu pihaknya akan melakukan judicial review dalam waktu dekat. Jika dibandingkan dengan sistem politik di Amerika Serikat, semua partai politik bisa mengusung calon presiden meskipun dari partai yang kecil,” tegasanya. Sedagkan Presidential threshold dalam UU Pemilu dfi pandangan KSPI, merupakan cara pemerintah untuk mematikan demokrasi. Untuk itu KSPI bersama serikat pekerja lain akan melakukan judicial review dalam waktu dekat. KSPI menegaskan sikapnya terhadap presidential threshold bukan merupakan langkah politis, melainkan tuntutan kepada pemerintah demi kesejahteraan pekerja. “Kita nggak ada urusan politik, yang penting adalah kesejahteraan”. “Kaitan buruh dengan pemerintahan menjadi penting, di berbagai negara di dunia saja serikat buruh berkaitan dengan pilpres. Kita ingin presiden yang baru,” sambung Kahar D Cahyo. (*Beranda Nasional Nasional PHK Dimana-mana, Pemerintahan Jokowi Darurat PHK Sabtu, 7 Oktober 2017 2:23 PM telusur.co.id l Jakarta l Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyatakan Indonesia saat ini berada dalam kondisi darurat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena banyaknya terjadi PHK di berbagai sektor. “PHK besar-besaran dimana-mana, sekarang adalah darurat PHK. Jadi tidak benar kalau dikatakan pertumbuhan industri mendekati angka 17 persen, faktanya PHK terjadi dimana-mana dalam tiga bulan terakhir hampir 50 ribu buruh di seluruh Indonesia telah di PHK,” kata Said Iqbal di Jakarta, Sabtu. Hal itu disampaikan dalam aksi Hari Layak Kerja Internasional yang diikuti ratusan pekerja yang tergabung dalam berbagai serikat pekerja dari wilayah Jakarta dan sekitarnya di kawasan Monas. Dia menjelaskan, dalam beberapa bulan terakhir terjadi PHK di berbagai sektor termasuk sektor pertambangan dan keramik, dengan dirumahkannya 8.100 orang pekerja Freeport dan 300-an pekerja di Gresik. Begitu juga dengan industri keramik di Bogor, Karawang dan Bekasi yang terpaksa tutup karena mahalnya harga gas industri. Selain itu, sekitar 5.000 lebih buruh di sektor garmen mengalami PHK dan 10 ribu lainnya terancam PHK. Di sektor industri telekomunikasi, lanjut dia, ratusan orang sudah mengalami PHK dan bahkan 1.000 orang pekerja tengah terancam PHK. Termasuk juga industri transportasi, retail serta kesehatan. “Upah murah, daya beli buruh dan masyarakat yang menurun, PHK dimana-mana adalah suatu cerminan pada hari ini bahwa pemerintah belum mampu menyejahterakan kaum buruh,” tambah Said Iqbal. Sebelumnya sejak pagi ratusan pengunjuk rasa telah berkumpul di bundaran patung kuda Silang Monas Jakarta dan mereka melakukan aksi jalan kaki (longmarch) ke istana presiden untuk menyuarakan tuntutannya. l antBeranda Nasional Nasional PHK Dimana-mana, Pemerintahan Jokowi Darurat PHK Sabtu, 7 Oktober 2017 2:23 PM telusur.co.id l Jakarta l Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyatakan Indonesia saat ini berada dalam kondisi darurat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena banyaknya terjadi PHK di berbagai sektor. “PHK besar-besaran dimana-mana, sekarang adalah darurat PHK. Jadi tidak benar kalau dikatakan pertumbuhan industri mendekati angka 17 persen, faktanya PHK terjadi dimana-mana dalam tiga bulan terakhir hampir 50 ribu buruh di seluruh Indonesia telah di PHK,” kata Said Iqbal di Jakarta, Sabtu. Hal itu disampaikan dalam aksi Hari Layak Kerja Internasional yang diikuti ratusan pekerja yang tergabung dalam berbagai serikat pekerja dari wilayah Jakarta dan sekitarnya di kawasan Monas. Dia menjelaskan, dalam beberapa bulan terakhir terjadi PHK di berbagai sektor termasuk sektor pertambangan dan keramik, dengan dirumahkannya 8.100 orang pekerja Freeport dan 300-an pekerja di Gresik. Begitu juga dengan industri keramik di Bogor, Karawang dan Bekasi yang terpaksa tutup karena mahalnya harga gas industri. Selain itu, sekitar 5.000 lebih buruh di sektor garmen mengalami PHK dan 10 ribu lainnya terancam PHK. Di sektor industri telekomunikasi, lanjut dia, ratusan orang sudah mengalami PHK dan bahkan 1.000 orang pekerja tengah terancam PHK. Termasuk juga industri transportasi, retail serta kesehatan. “Upah murah, daya beli buruh dan masyarakat yang menurun, PHK dimana-mana adalah suatu cerminan pada hari ini bahwa pemerintah belum mampu menyejahterakan kaum buruh,” tambah Said Iqbal. Sebelumnya sejak pagi ratusan pengunjuk rasa telah berkumpul di bundaran patung kuda Silang Monas Jakarta dan mereka melakukan aksi jalan kaki (longmarch) ke istana presiden untuk menyuarakan tuntutannya. l ant Beranda Nasional Nasional PHK Dimana-mana, Pemerintahan Jokowi Darurat PHK Sabtu, 7 Oktober 2017 2:23 PM telusur.co.id l Jakarta l Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyatakan Indonesia saat ini berada dalam kondisi darurat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena banyaknya terjadi PHK di berbagai sektor. “PHK besar-besaran dimana-mana, sekarang adalah darurat PHK. Jadi tidak benar kalau dikatakan pertumbuhan industri mendekati angka 17 persen, faktanya PHK terjadi dimana-mana dalam tiga bulan terakhir hampir 50 ribu buruh di seluruh Indonesia telah di PHK,” kata Said Iqbal di Jakarta, Sabtu. Hal itu disampaikan dalam aksi Hari Layak Kerja Internasional yang diikuti ratusan pekerja yang tergabung dalam berbagai serikat pekerja dari wilayah Jakarta dan sekitarnya di kawasan Monas. Dia menjelaskan, dalam beberapa bulan terakhir terjadi PHK di berbagai sektor termasuk sektor pertambangan dan keramik, dengan dirumahkannya 8.100 orang pekerja Freeport dan 300-an pekerja di Gresik. Begitu juga dengan industri keramik di Bogor, Karawang dan Bekasi yang terpaksa tutup karena mahalnya harga gas industri. Selain itu, sekitar 5.000 lebih buruh di sektor garmen mengalami PHK dan 10 ribu lainnya terancam PHK. Di sektor industri telekomunikasi, lanjut dia, ratusan orang sudah mengalami PHK dan bahkan 1.000 orang pekerja tengah terancam PHK. Termasuk juga industri transportasi, retail serta kesehatan. “Upah murah, daya beli buruh dan masyarakat yang menurun, PHK dimana-mana adalah suatu cerminan pada hari ini bahwa pemerintah belum mampu menyejahterakan kaum buruh,” tambah Said Iqbal. Sebelumnya sejak pagi ratusan pengunjuk rasa telah berkumpul di bundaran patung kuda Silang Monas Jakarta dan mereka melakukan aksi jalan kaki (longmarch) ke istana presiden untuk menyuarakan tuntutannya. l ant