Jumat, 25 Januari 2013

KEGAGALAN REZIM SBY-BOEDIONO: PERUMAHAN RAKYAT

Perwujudan hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 H UUD 1945. Pasal 40 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan layak. Sebagai dasar fundamental dan sekaligus menjadi prasyarat bagi setiap orang untuk bertahan hidup dan menikmati kehidupan bermartabat, damai, aman dan nyaman maka penyediaan perumahan dan permukiman memenuhi prinsip-prinsip layak dan terjangkau bagi semua orang telah menjadi komitmen global sebagaimana ditunagkan dalam Agenda Habitat (The Habitat Agenda, Istanbul Declaration on Human Settlements) dan Millenium Development Goals (MDGs). Untuk itu, Rezim SBY-Boediono bertanggunjawab untuk membantu masyarakat agar dapat bertempat tingal serta melindungi dan meningkatkan kualitas permukiman dan lingkungannya. Pasangan Calon Presiden SBY-Boediono pada saat kampanye Pilpres Tahun 2009 telah berjanji kepada calon pemilih bahwa mereka akan melaksanakan peningkatan pembangunan rumah rakyat seperti proyek rusun (rumah susun) “murah” untuk buruh, TNI/Polri, dan rakyat kecil. Rumah murah kemudian dimaknakan sebagai rumah umum layak huni dan terjangkau dengan luas lantai 36 m2 diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan kepemilikannya melalui Kredit/Pembiayaan Pemilikan Rumah (KPR) didukung oleh bantuan Fasilitas Likuiditas Pembiayan adalah rumah diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) tanpa uang muka dengan tipe 36 m2. Sebagai tindak lanjut dari janji kampanye tersebut, pada Rapat Kerja Rezim SBY-Boediono di Istana Negara Bogor, 22 Februari 2011, SBY mengeluarkan arahan/direktif tentang “Program Pembangunan Rumah Murah” ditujukan bagi pelaku usaha mikro dan kecil (MBR non-bankable), dan pelaku usaha mikro dan kecil berdaya beli (MBR bankable). Target direktif/arahan SBY tersebut sebagai berikut: 1.Rumah Sangat Murah (RSM) berjumlah 1 sampai 2 juta unit dari tahun 2011 sampai tahun 2014. 2.Rumah Murah (RM) berjumlah 5 sampai 10 juta unit dari tahun 2011 sampai tahun 2014. Pada Rapat Kerja Rezim SBY-Boediono tersebut, Presiden SBY telah menegaskan, bisa dibangun sekian juta rumah dalam waktu satu tahun dan terus berlanjut. Program ini bertujuan untuk meningkatkan daya serap masyarakat terhadap fasilitas rumah, terutama bagi masyarakat menengah ke bawah dengan penghasilan antara Rp. 1,2 juta dan Rp. 2,5 juta per bulan. Rumah murah bertipe 36 m2 dengan harga berkisar Rp. 20 juta hingga Rp. 25 juta per unit tanpa uang muka dengan cicilan diperkirakan berkisar Rp. 200-250.000 per bulan. Sasaran program rumah murah ini pada dasarnya adalah masyarakat berpenghasilan sangat terbatas dan tidak bankable. Rumah murah ini harus terjangkau oleh masyarakat, tersedia dipasaran dan layak huni, yaitu handal, memenuhi kecukupan luas minimum, dan menjamin kesehatan bagi penghuni, dan berada pada lingkungan perumahan sehat dan aman, serta dibangun sesuai RTRW, ada kepastian Hak Atas Tanah dan IMB, serta dukungan infrastruktur memadai. Target direktif/arahan SBY ini kemudian didetailkan di dalam Rapat Kerja Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) Rencana Aksi Program Rumah Murah, 4 Desember 2011, di Jakarta sebagai berikut: Tahun 2011 target 60.000 unit mencakup: Rumah Sangat Murah 50.000 unit; dan, Rumah Sangat Murah 10.000 unit. Tahun 2012 target 200.000 unit mencakup: Rumah Sangat Murah 160.000 unit; rumah murah 40.000 unit. Tahun 2013 target 690.000 unit mencakup: Rumah Sangat Murah 390.000 unit; dan, Rumah Murah 300.000 unit. Tahun 2014 target 700.000 unit mencakup: Rumah Sangat Murah 400.000 unit; dan, Rumah Murah 300.000 unit. Rapat Kerja Kemenpera juga menetapkan kelompok sasaran program penyediaan rumah murah sebagai berikut: antara lain: rumah tangga miskin dan hampir miskin; pelaku usaha mikro dan kecil; pelaku usaha mikro dan kecil berdaya beli. Rezim SBY-Boediono telah mencanangkan proyek rumah murah sebanyak 600 ribu unit, tetapi dalam kenyataannya hingag Desember 2012 “belum ada satu unit pun terealisasi”. Dengan perkataan lain, Rezim SBY-Boediono gagal memenuhi janji kampanye dan kebijakan rerektif/arahan program penyelenggaraan rumah murah bagi MBR tanpa uang muka itu. Dari sisi opini pubik, hasil survei JSI (jaringan Suara Indonesia) pada 10-15 Oktober 2011 dengan 1.200 responden menunjukkan, di bawah Rezim SBY-Boediono hanya 25,5 % responden menilai telah terjadi peningkatan peningkatan pembangunan rumah rakyat seperti proyek rusun (rumah susun) murah untuk buruh, TNI/Polri, dan rakyat kecil.

Senin, 07 Januari 2013

KEGAGALAN REZIM SBY-BOEDIONO: INFRASTRUKTUR

Rezim SBY-Boediono berjanji dalam kampanye Pilpres 2009 akan membuat pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia. Mulai dari perhubungan, pekerjaan umum, air bersih, TI (Teknologi Informasi) maupun pertanian. Janji tentang infrastruktur ini sesungguhnya masih jauh dari kenyataan. Hal ini terlihat dari politik anggaran sektor infrastruktur. Rezim SBY-Boediono hanya menganggarkan Rp 20 triliun atau sebesar 4,7 persen APBN. Sebagai pembanding, Vietnam relatif negara lemah dalam perekonomian dan baru bangkit dari peperangan, politik anggaran infrastruktur jauh lebih besar ketimbang Indonesia. Rasio anggaran infrastruktur terhadap PDB Indonesia hanya 2,1 %, sementara Vietnam mencapai 10 %. Bahkan dengan Filipina saja, Indonesia masih di bawahnya sebagaimana ditunjukkan sebagai berikut: Vietnam 10 %; China 9 %; India 8 %; Filipina 3 %; dan, Indonesia 2,1 %. Direktur Utama SMI Emma Sri Martini menilai, banyaknya proyek infrastruktur macet disebabkan oleh belum jelasnya komitmen pemerintah (TEMPO.CO,12 September 2012). Ada sejumlah faktor menentukan dalam menilai peringkat daya saing dikeluarkan World Econimc Forum (WEF). Salah satunya, sering menjadi perhatian dalam peningkatan daya saing, yakni masalah ketersediaan infrastruktur memadai. Dalam daftar The Global Competitiveness Report 2012-2013, indikator infrastruktur Indonesia berada di peringkat 78 dengan skor 3,75. Menurut WEF, tidak ada perkembangan infrastruktur berarti di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Padahal, perluasan dan efisiensi infrastruktur sangat penting untuk menjamin efektivitas perekonomian. Infrastruktur diyakini dapat menentukan lokasi kegiatan ekonomi dan jenis kegiatan atau sektor dapat berkembang. Disamping itu, pengembangan infrastruktur akan mengurangi dampak jarak antar daerah dan mengintegrasikan pasar nasional. Di Indonesia, angkutan darat hanya intensif terjadi di Jawa dan Sumatera. Indonesia International Infrastructure Conference and Exhibition 2012, berlangsung di Jakarta, dihadiri oleh 1.000 peserta baik dari kalangan dunia usaha, serta 32 Gubernur di Indonesia. Kajian Yayasan Organisasi Nirlaba atau Global World Economic Forum (WEF) telah menempatkan infrastruktur sebagai permasalahan daya saing Indonesia ketiga, setelah korupsi dan inefisiensi birokrasi pemerintah. Sebagai salah satu penentu peringkat daya saing, kondisi infrastruktur Indonesia menempati peringkat 76 dari 142 negara, jauh di bawah Malaysia di peringkat 26 dan Thailand di peringkat 42. Mengingat infrastruktur telah menjadi momok bagi perekonomian Indonesia, seharusnya pemimpin Indonesia benar-benar menyadari bahwa permasalahan infrastruktur di Indonesia adalah persoalan mutlak harus segera diatasi dan tidak bisa ditunggu-tunggu lagi. Adanya perbaikan dalam infrastruktur, bukan saja memperlancar distribusi pengadaan di daerah, namun juga akan menurunkan tingkat inflasi terjadi akibat tersendatnya distribusi. Anggaran untuk infrastruktur memang harus disediakan sebesar mungkin dan begitu pula dalam pelaksanaannya juga harus direalisasikan secara komprehensif, bersama-sama, dan terperinci. Untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur dengan negara lain, anggaran untuk infrastruktur di Indonesia harus dapat sebesar 20 persen Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara itu, satu sumber lain menunjukkan, alokasi anggaran untuk infrastruktur di Indonesia masih sangat rendah bila dibandingkan dengan alokasi anggaran di sejumlah negara lain seperti Malaysia dan China. Alokasi anggaran untuk infrastruktur di Malaysia sebesar 14 persen dari PDB negara tersebut, atau tujuh kali lipat dari alokasi anggaran infrastruktur di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Keuangan dan BPS, rasio belanja infrastruktur terhadap PDB meningkat dari 1,19 persen pada 2005 menjadi 2,21 persen pada 2012. Meski periode 2005-2012 terjadi peningkatan belanja infrastruktur sebesar 28,2 persen per tahun, tetapi rasio belanja infrastruktur terhadap PDB masih jauh dari level ideal, yaitu 5%. Salah satu solusi ditawarkan adalah penerapan "captive budget" atau alokasi penetapan anggaran di dalam APBN guna mengatasi persoalan minim pendanaan infrastruktur. Contoh dari "captive budget" adalah alokasi setidaknya 20 persen yang seharusnya disediakan Rezim SBY-Boediono untuk bidang pendidikan, dan alokasi setidaknya 5 persen untuk kesehatan. Ia menuturkan, penerapan "captive budget" untuk infrastruktur dapat digunakan dengan ditetapkannya 80 persen dari seluruh anggaran infrastruktur dalam APBN agar dialokasikan untuk luar Jawa. Sebagai misal, ada dana APBN sebesar 400 triliun untuk pembangunan infrastruktur, maka 80 persen untuk luar Jawa. Alokasi sedemikian besar itu antara lain karena kondisi infrastruktur di luar Jawa masih banyak tertinggal. Sementara itu, Ketua Komisi XI DPR RI, Harry Azhar Azis menganggap, penanganan terhadap masalah infrastruktur di Indonesia memerlukan semacam kontrak politik elit akan memimpin Indonesia untuk meningkatkan atau lebih besar alokasi dana pembangunan infrastruktur dalam APBN. Hal seperti kontrak politik penting karena selama ini Rezim SBY-Boediono seakan-akan tidak memiliki keinginan untuk memperbesar alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur di APBN. Indikasinya dapat dilihat dari selalu lebih rendahnya alokasi anggaran untuk infrastruktur di APBN dibandingkan dengan anggaran belanja untuk pegawai dan barang, terlebih alokasi subsidi. Selain itu, ia juga menyayangkan penyerapan anggaran di sejumlah kementerian terkait infrastruktur seperti Kementerian PU dan Kementerian Perhubungan masih kurang optimal. Selanjutnya, Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan Kementerian PPN/Bappenas Wismana Adi Suryabrata mengatakan, pembangunan infrastruktur nasional perlu disertai harmonisasi peraturan antara Rezim SBY-Boediono dan Pemda. Rezim SBY-Boediono tentunya memiliki wewenang dengan berbagai UU untuk pembangunan infrastruktur, tetapi terkadang Pemda juga punya kewenangan dengan aturan di daerah. Kalau ada (aturan) berbenturan, perlu disinkronkan. Dalam RAPBN tahun 2013, komitmen membenahi kualitas infrastruktur direfleksikan melalui alokasi belanja modal yang mencapai Rp.193.8 triliun atau 11,76% dari anggaran belanja negara sebesar Rp.1.657,9 triliun. Angka ini meningkat 14,9% dari alokasi belanja modal dalam APBN-P tahun 2012. Alokasi belanja infrastruktur sebesar Rp. 188,4 triliun. Alokasi ini belum memperhitungkan Rp. 24 triliun dari SAL (Saldo Anggaran Lebih) tahun 2012, dan rencana target Rp.12 triliun dari pengalihan subsidi listrik untuk belanja modal. Besaran alokasi belanja negara ini ekuivalen dengan 13,8 % (Rp.229,8 triliun) dari total anggaran belanja negara 2013. Sementara itu, Bappenas memproyeksikan adanya tambahan anggaran berasal dari alokasi anggaran transfer ke daerah untuk infrastruktur sebesar Rp. 96 triliun (18% dari total transfer ke daerah sebesar Rp. 518 triliun), kontribusi BUMN sebesar Rp. 77 triliun dan peran swasta diharapkan dapat mencapai minimal Rp. 60 triliun. Dengan demikian besaran alokasi pembangunan infrastruktur secara agregat dapat mencapai Rp.457,4 triliun atau sebesar 4,9% (hampir 5%) dari target PDB 2013 sebesar Rp. 9.300 triliun (1 triliun dollar AS). Masih minimnya proyek infrastruktur yang digarap dikarenakan banyak para Kementerian/Lembaga khawatir akan diberantas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sehingga penyerapan APBN dan APBD masih rendah. Indeks daya saing global menurut Word Economic Forum (WEF) dalam laporannya yang dirilis beberapa waktu lalu, telah menempatkan persoalan ketidakefisienan birokrasi, wabah korupsi dan buruknya infrastruktur sebagai tiga masalah utama yang membuat daya saing Indonesia terpuruk. Dalam laporan daya saing global tersebut, peringkat daya saing Indonesia turun empat peringkat dari tahun lalu dari posisi 46 ke urutan 50 tahun ini. Inefisiensi birokrasi telah memberatkan kegiatan usaha dan membuat belanja negara menjadi tidak efektif atau boros. Sementara korupsi juga telah menggerogoti kualitas pembangunan karena kualitasnya yang buruk. Kualitas infrastruktur juga dikenal buruk dan minim sehingga menyebabkan kegiatan bisnis menjadi lebih mahal. Pembangunan sektor infrastruktur merupakan sektor prioritas yang harus memperoleh perhatian dalam rangka mengatasi kemiskinan. Bagi para investor atau pelaku pasar termasuk para arsitek pembangunan, core value daya saing suatu negara dalam menarik investasi diukur dari daya tarik dan kinerja infrastruktur, baik infrastruktur dasar, sains, maupun infrastruktur teknologi. Miskin dan rentannya infrastruktur suatu negara berdampak terhadap kehidupan suatu masyarakat. Hal ini dapat dipahami karena kebijakan infrastruktur memberikan dampak positif terhadap percepatan pertumbuhan. Selanjutnya strategi investasi infrastruktur dapat memacu pertumbuhan sosial ekonomi dan mengentaskan kemiskinan. Sejumlah riset ilmiah mengenai infrastruktur di negara-negara miskin menunjukkan bahwa negara-negara miskin memerlukan penggunaan sekitar 9 (Sembilan) persen dari PDB untuk dapat mengoperasikan, memelihara, atau merawat dan membangun infrastruktur jika negara miskin tersebut hendak meraih level millennium development goals (MDGs) (Antonio Estache, 2006). Indonesia meski bukan kategori negara miskin, kondisi infrastrukturnya juga masih memprihatinkan. Ketersediaan dan kualitas infrastruktur, fisik dan nonfisik kurang memadai. Padahal kondisi ekonomi yang tengah berkembang seperti Indonesia mutlak memerlukan pengembangan infrastruktur di berbagai sektor. Rezim SBY-Boediono memang gencar melakukan pembangunan infrastruktur di Indonesia seperti tertuang dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau MP3EI. Keseluruhan proyek pembangunan infrastruktur akan membutuhkan dana Rp1.923,7 triliun. Rezim SBY-Boediono hanya mampu menyediakan pembiayaan sebesar Rp559,54 triliun melalui dana alokasi khusus (DAK). Sisanya akan dibiayai oleh Pemda melalui APBD sebesar Rp355,07 triliun, BUMN Rp 340,85 triliun, dan pihak swasta melalui program Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS) sebesar Rp344,67 triliun. Realisasi pembangunan infrastruktur melalui mekanisme public private partnership (PPP) masih menghadapi permasalahan. Akibatnya, proyek-proyek PPP yang dipersiapkan tidak berjalan sebagaimana diharapkan karena adanya hambatan-hambatan belum bisa diatasi. Paling tidak, terdapat 5 (lima) masalah membuat proyek infrastruktur kerja sama pemerintah dan swasta berjalan lamban. Kendala itu terkait dengan : (1) Garansi risiko politik; (2) Dukungan pemerintah; (3) Masalah lahan; (4) Persiapan proyek; dan, (5) Minimnya kemampuan kerja sama proyek. Buruknya infrastruktur selama ini ternyata berbanding lurus dengan ketidakefisienan pemerintah menangani masalah ini. Anggaran yang dialokasikan untuk infrastruktur senilai Rp168,2 triliun tidak semata untuk pembangunan infrastruktur baru, tetapi juga untuk biaya perawatan. Di samping penyerapan anggaran untuk sektor infrastruktur juga rendah. Selama tahun 2005-2010 penyerapan anggaran untuk infrastrukur hanya sekitar 80% dan sebagian juga untuk biaya perawatan, bukan membangun infrastruktur baru. Setidaknya ada empat kendala pembangunan infrastruktur yakni minimnya belanja publik untuk pembangunan infrastruktur, rumitnya pembebasan lahan, implementasi regulasi yang masih lamban akibat daya dukung birokrasi yang lemah dan kesadaran masyarakat yang rendah dalam merawat dan menggunakan infrastruktur publik yang dinilai masih rendah. Alokasi anggaran untuk infrastruktur terbilang minim dibanding dengan sektor lainnya bahkan anggaran negara terlalu berat ke biaya pegawai dan biaya subsidi. Dalam APBN 2012, belanja pegawai mencapai Rp215,73 triliun atau 22,36% dari total belanja pemerintah pusat Rp965 triliun, dan subsidi energi Rp168,5 triliun (17,47%). Adapun belanja barang Rp142,2 triliun (14,74%) dan belanja modal Rp168,2 triliun (17,44%). Pemerintah mengalokasikan dana Rp168,2 triliun dalam belanja modal di APBN 2012 ketika sebagian besar akan digunakan untuk menunjang pembangunan infrastruktur. Alokasi tersebut, naik sekitar Rp27,2 triliun atau sebesar 19,3% dibandingkan alokasi dalam APBN-P 2011. Sedangkan dari sisi komposisi anggaran, nilai tersebut sama dengan 11.85% dari total pagu anggaran belanja negara yang nilainya mencapai Rp1.418,5 triliun. Berdasarkan prioritas belanja, anggaran itu selain akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur dasar, anggaran tersebut juga akan digunakan untuk pembangunan dan pengembangan infrastruktur lainnya seperti infrastruktur energi, ketahanan pangan, dan komunikasi. Subsidi energi yang besar membuat alokasi anggaran infrastruktur menjadi terbatas. Pemerataan pembangunan infrastruktur juga menjadi issue harus mendapatkan perhatian serius dari Rezim SBY-Boediono. Wilayah Indonesia begitu luas, tetapi anggaran pembangunan infrastruktur pemerintah terbatas, sehingga tentunya akan menjadi permasalahan besar. Selain itu, dukungan sektor perbankan untuk pembangunan infrastruktur juga masih kurang. Perbankan lebih banyak mengucurkan kreditnya untuk sektor pertambangan ketimbang infrastruktur juga memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Misalnya, kredit investasi untuk proyek air dan irigasi hanya cair 12,5%, sementara sektor pertambangan cair 100%. Berbagai penilaian tentang kondisi infrastruktur di Indonesia juga datang dari institusi. Sebagai misal, Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum), menunjukkan bahwa untuk kualitas infrastruktur jalan, Indonesia meraih peringkat 105 pada tahun 2008, peringkat 95 pada tahun 2009, peringkat 84 pada tahun 2010 dan peringkat 83 pada 2011. Selain itu, pembangunan infrastruktur masih merupakan tantangan besar harus diatasi Indonesia. Di Indonesia, JSI (jaringan Suara Indonesia) pada 10-15 Oktober 2011 melakukan survey dengan 1.200 responden. Hasilnya menunjukkan, terdapat 53 % responden menilai Rezim SBY-Boediono telah memenuhi janji mereka tentang infrastruktur, sementara 40 % lainnya tidak terpenuhi dan sisanya tidak menjawab (Muchtar Effendi Harahap).

Kamis, 03 Januari 2013

KEGAGALAN REZIM SBY-BOEDIONO: ENERGI

Rezim SBY-Boediono berjanji dalam kampanye Pilpres 2009 akan membuat penambahan energi daya listrik secara nasional. Kecukupan BBM dan pengembangan energi terbarukan. Realitas obyektif menunjukkan, masyarakat kebanyakan masih mengalami keterbatasan untuk memasuki akses terhadap energi. Acap kali terjadi kelangkaan di daerah, tidak mendapatkan pasokan energi secara cukup. Dari intensitas energi Indonesia sebanyak 470 toe per juta US$ PDB, masyarakat Indonesia hanya mendapat 0,467 toe per kapita. Jika dibandingkan dengan Jepang, intensitas energi negara itu hanya 93 toe per juta PDB namun bisa mengkonsumsi energi sebanyak 4,14 toe per kapita. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan, Indonesia merupakan negara boros di dunia. Rasio elektrifikasi Indonesia baru mencapai sekitar 73%. Artinya, masih ada sekitar 27% belum terpenuhi kebutuhan listrik. Konsumsi enerji di Indonesia sangat banyak untuk industri, diikuti transportasi, rumah tangga dan komersial; sebagaimana dperlihatkan sebagai berikut: porsi industri 5 0 %; transportasi 34 %; rumah tangga 12 %; dan, komersial 4 %. Masalah energi di Indonesia sepertinya tidak pernah usai. Selain konsumsi semakin meningkat dan tidak diimbangi dengan bahan baku semakin menipis, kondisi juga diperparah dengan minimnya pemanfaatan energi baru terbarukan sebagai solusi alternatif. Pertumbuhan konsumsi energi primer di Indonesia sangat tinggi. Sedangkan di tahun 2025 diperkirakan akan meledak hingga 4.300 juta setara barrel. Di tahun 2011 kebutuhan elektrifikasi di Indonesia mencapai 36.000 Mega watt atau 36 Giga watt. Nanti, di 2050, diperkirakan akan naik menjadi 450 Giga watt hingga 550 Giga watt. Pemikiran berkembang di masyarakat, Indonesia masih menjadi salah satu negara penghasil minyak terbesar merupakan pemikiran harus segera diganti. Realitas obyektif menunjukkan, Indonesia sudah bukan merupakan penghasil minyak terbesar. Produksi minyak semakin hari semakin sedikit. Indonesia dikatakan menghadapi situasi energi sudah berubah, dari produsen menjadi konsumen energi. Era minyak sudah berakhir. Indonesia tidak berdaulat di bidang energi. Harga energy selalu diarahkan pada harga keekonomian. Ini artinya, sama dengan mekanisme pasar. Rezim SBY-Boediono hanya sebagai kuasa pertambangan dan regulator sehingga tidak boleh melakukan usaha investasi hulu dan hilir. Di samping itu, terdapat penyerahan pada mekanisme pasar bebas, sesungguhnya bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945. Di bawah Rezim SBY-Boediono Indonesia kian tidak berdaulat dalam bidang energi. Sebagian besar sumber energi Indonesia masih dikelola oleh pihak asing. Persentase penguasaan energi oleh nasional hanya di bawah 20 persen. Ketahanan energi merupakan masalah amat bagi ketahanan nasional. Sedikit saja goncangan terjadi pada harga energi, bisa menimbulkan konflik sosial. Selama ini, Rezim SBY-Boediono terkesan tidak memiliki komitmen untuk membangun ketahanan energi. Alasannya, negara belum memiliki cukup modal untuk mengelola energi secara mandiri. Ketergantungan energi pada pihak asing ini sungguh ironis karena Indonesia memiliki cadangan energi sangat besar. Dengan kekayaan tersebut, seharusnya Indonesia mampu menjadi negara kuat dan berdaulat penuh dalam bidang energi. Ekonom Ikhsan Nurdin Nursi menunjukkan, 95 persen sektor migas Indonesia dikuasai korporasi asing. PT Chevron asal AS menjadi salah satu penguasa terbesar migas di Indonesia mengambil porsi 44 persen. Selain Chevron, terdapat perusahaan asing ikut menikmati kekayaan alam Indonesia. Antara lain, Total E&P (10 persen), Conoco Phillips (8 persen), Medco Energy (6 persen), China National Offshore Oil Corporation (5 persen), China National Petroleum Corporations (2 persen), British Petroleum, Vico Indonesia, dan Kodeco Energy masing-masing satu persen. Sedangkan Pertamina, perusahaan BUMN hanya mendapatkan porsi 16 persen. Di lain fihak, pengamat ekonomi dari Econit Advisory Group Hendri Saparini menilai, ada kesalahan paradigma pengelolaan energi di Indonesia. Energi di Indonesia dijadikan komoditas komersial semata, bukan komoditas strategis. Bila sektor energi menjadi komoditas komersial, itu berarti semua orang boleh menguasainya. Selanjutnya, pengamat energi Kurtubi menilai, pengelolaan migas di Tanah Air adalah terburuk di Asia dan Oceania. Hasil survei teknologi global menunjukkan dari 143 negara di Asia, pengelolaan migas di Indonesia ada di posisi 113 di Asia. Di Oceania, pengelolaan migas Indonesia bahkan lebih buruk di bawah Timor Leste. Sementara Dien Samsudin menilai, di bidang energi Indonesia sesungguhnya belum berdaulat. Dalam bidang perminyakan 89 persen minyak dan gas bumi Indonesia dikuasai oleh perusahaan asing. Juga, dominasi asing berada di atas 50 persen atas energi minyak gas dan batubara, Juga Dirjen Migas Evita Legowo mengakui (situs Ditjen Migas, 11 Mei 2012) mengakui, sebanyak 74% kegiatan usaha hulu atau pengeboran minyak dan gas (migas) di Indonesia masih dikuasai perusahaan asing. Perusahaan nasional cuma menguasai 22% dan sisanya konsorsium asing dan lokal. Rezim SBY-Boediono menargetkan pada 2025 mendatang, pelaksanaan kegiatan usaha hulu 50% dikuasai oleh perusahaan nasional. Padahal pada tahun 2025 Rezim SBY-Boediono tidak lagi bekuasa, bahkan mungkin telah wafat. Dominasi asing tidak terkontrol akan membuat kita kehilangan kedaulatan. Penjajahan modern tidak lagi dilakukan secara fisik, tetapi lebih berwawasan ekonomi. Di sisi opini publik, hasil survei JSI (jaringan Suara Indonesia) pada 10-15 Oktober 2011 dengan 1.200 responden menunjukkan hanya 47,5 % responden menilai Rezim SBY-Bodiono telah melakukan penambahan Energi daya listrik secara nasional. Menjelang berakhirnya kekuasaan Rezim SBY-Boediono, juga telah muncul beragam penilaian atas kegagalan Rezim ini dalam hal-ikhwal energi. Dua penilaian di antaranya datang dari Iwa Gunawan (Pengamat Energi Univesitas Indonesia) dan Direktur Eksekutif Indonesia Resources Study (IRESS) Marwan Batubara(Liputan6.com, 18 Oktober 2014). Iwa Gunawan menilai, Pemerintahan SBY tidak memiliki keberhasilan dalam sector energy. Hal tersebut dapat dilihat dengan terus membengkaknya subsidi untuk energi, khususnya untuk listrik. Secara keseluruhan subsidi listrik meningkat berkali lipat. Dalam 10 tahun ini kenaikannya dari Rp. 3 triliun menjadi Rp. 101 triliun itu baru untuk listrik. Belum lagi subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM). Di lain fihak, rencana pengurangan BBM melalui program BBM ke bahan bakan gas (BBG) dan meningkatkan kandungan bahan bakar nabati (BBN) tidak berjalan optimal, sehingga tidak ada hasil memuaskan di akhir masa jabatannya. Selanjutnya, Pengamat Energi Marwan Batubara juga menilai Rezim SBY-Boediono banyak tidak berhasil di sector energi. Ia menyebutkan, salah satu bukti kegagalan itu yakni pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, dengan target bauran energi sebesar 25 persen pada 2025. Namun, sampai saat kini bauran energy Indonesia masih diangka 6 (enam). Menurutnya, Indonesia akan kesulitas mencapai target tersebut, jika sampai 8 (delapan) tahun kebijakan tersebut ditertibkan tidak ada peningkatkan berarti.(MUCHTAR EFFENDI HARAHAP).

KEGAGALAN REZIM SBY-BOEDIONO: ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI (IPTEK)

Suatu peradaban bangsa dapat dilihat dari cara bangsa tersebut memecahkan masalah-masalah dihadapi. Semakin tinggi peradaban suatu bangsa, bermakna semakin tinggi bangsa tersebut menggunakan metode ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dalam memecahkan masalah atau tantangan baik sosial, politik, budaya, ekonomi, hukum, lingkungan dll. dihadapi bangsa bersangkutan. Adalah tepat sekali kalau di dalam konstitusi UUD 1945 bangsa Indonesia menegaskan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari Iptek,s eni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan kesejahteraan umat manusia (Pasal 28 C Ayat (1), UUD 1945). Bahkan , Pasal 31 (ayat 5) UUD 1945 mengamanatkan setiap Rezim, termasuk Rezim SBY-Boediono, memajukan Iptek dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia Pasal 31 (Ayat 5). Di bawah Rezim SBY-Boediono, Bab IV RPJMN 2010-2014 tentang Iptek, dinyatakan bahwa kebijakan Iptek diarahkan kepada: a. Meningkatkan kapasitas dan kapabilitas kelembagaan Litbang dan lembaga pendukung untuk mendukung proses transfer dari ide menjadi prototip laboratorium, kemudian menuju prototip industri sampai menghasilkan produk komersial (penguatan sistem inovasi nasional). b. Meningkatkan kapasitas dan kapabilitas sumber daya Iptek untuk menghasilkan produktivitas Litbang yang berdayaguna bagi sektor produksi dan meningkatkan budaya inovasi serta kreativitas nasional. c. Mengembangkan dan memperkuat jejaring kelembagaan baik peneliti di lingkup nasional maupun internasional untuk mendukung peningkatan produktivitas Litbang dan peningkatan pendayagunaan Litbang nasional. d. Meningkatkan kreativitas dan produktivitas Litbang untuk ketersediaan teknologi yang dibutuhkan oleh industri dan masyarakat serta menumbuhkan budaya kreativitas masyarakat. e. Meningkatkan pendayagunaan Iptek dalam sektor produksi untuk peningkatan perekonomian nasional dan penghargaan terhadap iptek dalam negeri. Pertanyaan pokok di dalam tulisan ini: apa realitas obyektif telah diciptakan oleh Rezim SBY-Boediono tentang Iptek ? Jawabannya adalah Rezim SBY-Boediono sama sekali tidak menunjukkan bukti nyata untuk benar-benar membangun Iptek di Indonesia. Beberapa indikator untuk membuktikan realitas obyektif ini sebagai berikut: 1. Anggaran Pembangunan Iptek: Salah satu indikator keberhasilan Rezim SBY-Boediono adalah anggaran dikeluarkan negara untuk pembangunan Iptek dari tahun ke tahun. Realitas obyektif menunjukkan anggaran pembangunan Iptek dari tahun ke tahun tergolong sangat rendah. Hal ini terlihat dari jumlah (persentase) anggaran dibandingkan terhadap APBN. Berdasarkan suatu sumber, anggaran Iptek hanya pada tahun 1983 dan 1985 rasio anggaran Iptek terhadap APBN tergolong tinggi, yakni masing-masing 1,32 % dan 1,10 %. Namun, sejak itu rasio anggaran Iptek dimaksud terus menurun sejak 1973 (0,59 %); 1989 (0,40 %); 1991 (0,57 %); 1993 (0,74%); 1995 (0,54 %); 1997 (0,60 %); 1999 (0,30 %); 2001 (0,37%); 2003 (0,38%); 2005 (0,35 %); 2007 (0,38 %); 2009 (0,21 %). Rasio anggaran Iptek mencapai tertinggi hanya pada era Rezim Orde Baru (1983 dan 1985 tatkala BJ Habibie menjadi Menristek). Pada era reformasi, anggaran Iptek terus menurun dari 0,60 % menurun ke 0,30 %, 0,37 %, 0,38 %, 0,35 %. 0,38 %, 0,21 %, dan terus menurun di era rezim SBY-Boediono. Sedangkan menurut rekomendasi UNESCO, rasio anggaran Iptek mamadai adalah sebesar 2 %. Dapat disimpulkan, Rezim SBY-Boediono tidak menunjukkan kemauan politik untuk membangun Iptek di Indonesia. Dari sisi nominal, menurut Menristek, anggaran pembangunan Iptek pada dikelola Kemenristek pada 2011 hanya sekitar Rp. 95 miliar dan pada 2012 masih berkisar sejumlah itu. Sebagai pembanding, di negara-negara Asia lain seperti Jepang dan Korea, anggaran dialokasikan untuk belanja Litbang mencapai 3 %, sementara China 1,5 %, Singapura 2 %, dan Malaysia 0,5% dari PDB, sehingga wajar bila kemampuan Iptek Indonesia masih lemah. Sejumlah negara industri baru seperti Korea Selatan, Taiwan, China, Thailand, Singapura, dan Malaysia secara konsisten menginvestasikan sejumlah besar dana untuk memajukan Iptek di negaranya. Di negara-negara maju, perkembangan perekonomian sangat dipengaruhi oleh tingkat penguasaan Iptek. Melalui proses inovasi Iptek suatu bangsa akan dapat meningkatkan daya saingnya. Dari rasio anggaran Iptek terhadap PDB juga menunjukkan kecenderungan sama. Anggaran Rezim SBY-Boediono untuk Riset Iptek sangat kecil dibandingkan negara-negara lain di ASEAN sekalipun. Rasio anggaran Iptek nasional terhadap PDB terus menurun dari tahun ke tahun. Nila rata-rata anggaran atau investasi Iptek dari Pemerintah saat ini (2009) hanya berkisar 0,21 % dari APBN atau hanya 0,09 % dari PDB. Pada 2004 dan 2006 total belanja Litbang sebagai persentase dari PDB Indonesia sebesar 0,05 % . Angka ini lebih rendah daripada Filipina, Vietnam, Thailand, Malaysia dan Singapura. Artinya terendah se ASEAN. Angaran Litbang Vietnam saja hampir 4 kali lipat dari anggaran Litbang Indonesia Sumber pembiayaan belanja Litbang Indonesia sebagian besar (>70%) masih berasal dari anggaran Pemerintah dan pelaksana Litbang pun hampir seluruhnya merupakan institusi Pemerintah. Ini berbeda dengan negara-negara maju pada umumnya, di mana belanja Litbang sebagian besar dari dunia usaha/industri dan pelaksana Litbang juga banyak dari dunia usaha. Aktivitas bidang Litbang di Indonesia masih didominasi oleh Pemerintah. Akibatnya, belum mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap pembangunan perekonomian nasional. Berikut rasio anggaran Litbang terhadap APBN TAHUN 2010 sebagai berikut: Singapura ranking 3 dan 37.293 terhadap GDP per Kapita (US $); Malaysia ranking 26 dan 6.897 terhadap GDP per Kapita (US $); Thailand ranking 38 dan 3.940 terhadap GDP per Kapita (US $); Indonesia ranking 44 dan 2.329 terhadap GDP per Kapita (US $); Vietnam ranking 59 dan 1.060 terhadap GDP per Kapita (US $); Filipina ranking 85 dan 1.746 terhadap GDP per Kapita (US $). Berdasarkan sangat rendahnya anggaran pembangunan Iptek ini, para pengamat Iptek di Indonesia sepakat untuk menilai bahwa kebijakan Rezim SBY-Boediono masih kurang mendukung pengembangan Iptek. Rezim SBY-Boediono telah meningkatkan dana pendidikan, tetapi pemanfaatan dana tersebut belum mencukupi, khususnya dana untuk pengembangan riset dan teknologi. Kurangnya pengembangan Iptek mengakibatkan Iptek sulit untuk mengatasi permasalahan di Indonesia seperti krisis pangan, energi, dan air yang kini semakin memburuk. Hal ini disebabkan karena peran Iptek tidak mendapatkan tempat layak sebagai cara pemecahan alternatif bagi permasalahan krisis pangan, energi, dan air misalnya. Rezim SBY-Boediono belum memikirkan strategi pengembangan Iptek dan riset terarah, meskipun sebenarnya riset dan penelitian tersebut cukup menjanjikan. Hasil-hasil riset dan penelitian sebenarnya mampu menjawab permasalahan Indonesia bahkan sampai pada tingkat global. 2. Sumber Daya Manusia (SDM) Pembangunan Iptek: Secara umum pembangunan sumber daya Iptek Indonesia saat ini masih relatif rendah. Jumlah SDM Iptek sangat sedikit dibandingkan negara-negara maju, tetapi masih lebih besar dibanding beberapa negara ASEAN seperti Thailand dan Malaysia. World Bank menunjukkan, SDM Iptek mayoritas berada di lembaga pemerintah sebesar (85%), sedangkan SDM Iptek di industri hanya 15 %. SDM Iptek di pemerintah sebagian besar berada di lembaga Litbang LPNK (Lembaga Penelitian Non Kementerian). Masih terbatasnya sumber daya Iptek menyebabkan rendahnya kualitas SDM dan kesenjangan pendidikan di bidang Iptek. Rasio tenaga peneliti Indonesia per 10.000 penduduk masih sangat kecil. Jumlah personil Litbang Indonesia baru mencapai 1 personil per 10.000 penduduk. Angka ini jauh di bawah Malaysia dan Thailand mencapai sekitar 6 personil per 10.000 penduduk, sementara Singapura sudah mencapai hampir 70 personil per 10.000 penduduk. 3. Indeks Daya Saing: Indek daya saing Indonesia masih rendah sebagaimana dibandingkan dengan sejumlah negara ASEAN. Peran Iptek atas daya saing produksi, di mana dalam The Global Competiveness Report diterbitkan oleh Wolrd Econmic Forum (WEF) menunjukkan bahwa daya saing Indonesia pada 2010 menempati peringkat 44 dari 134 negara. Namun, pada 2011 peringkat daya saing Indonesia anjlok pada urutan 47 atau turun tiga tingkat. Menurut WEF tahun 2010, daya inovasi Indonesia terkendala oleh kapasitas nasional masih rendah (menempati peringkat ke 53); kolaborasi antara universitas, Litbang dan industri masih perlu dibangun (peringkat ke 54), dan penggunaan paten sebagai alat perlindungan hak cipta penemu dan sekaligus alat untuk diseminasi teknologi perlu dibangun lebih baik (peringkat ke 84). Kendala lain penting adalah dukungan Pemerintah dalam bentuk pembelian teknologi canggih hasil litbang dalam negeri (government procurement if advanced technology product) masih rendah, yaitu hanya menempati peringkat ke 87. Pada 2012 WEF menunjukkan, terjadi penurunan peringkat daya saing Indonesia dari ke-44 tahun 2011 menjadi ke-46 tahun 2012. Indonesia tertinggal dibandingkan negara tetangga di kawasan ASEAN seperti Singapura (peringkat ke-2), Malaysia (peringkat ke-21), Thailand ( peringkat ke- 39) dan Brunei (peringkat ke-28). Rezim SBy-Boediono acapkali mendengung-dengungkan keberhasilan mencapai pertumbuhan ekonomi sekitar 6 %. Capaian pertumbuhan ekonomi tersebut sesungguhnya “semu” dan tidak faktual. Salah satu alasannya adalah realitas obyektif menunjukkan bahwa pembangunan dan perkembangan Iptek baik dari sisi anggaran, SDM maupun daya saing tidak menunjukkan kemajuan berarti, bahkan boleh dibilang terus mengalami penurunan. Karena itu, capaian pertumbuhan ekonomi sekitar 6 % tidak didukung dengan capaian perkembangan dan kemajuan Iptek. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah bangsa Indonesia dapat menjadi kekuatan ekonomi berarti bahkan di lingkungan ASEAN saja jika dari tahun ke tahun dan bahkan akan terus lima tahun ke depan, Iptek tidak menunjukkan kemajuan berarti. Apalagi kalau Iptek dilihat dari perspektif inovasi teknologi, semakin mustahil! (Muchtar Effendi Harahap).