Senin, 30 Oktober 2017

KEDAULATAN RAKYAT PASCA REFORMASI DAN PEMBANGUNAN PULAU PALSU Oleh

KEDAULATAN RAKYAT  PASCA REFORMASI DAN PEMBANGUNAN PULAU PALSU
Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)




I.      PENGANTAR

Forum Seminar Alumni & Mahasiswa UI Bangkit Untuk Kedilan, 27 Oktober 2017, di Ruang Terapung Pwerpustakaan UI Depok ini mengambil theme “Kedaulatan Bangsa Pasca Reformasi”.  Theme ini menggunakan konsep “Keddaulatan Bangsa”. Tanpa mengecilkan makna konsep Kedaulatan Bangsa,  sebagai salah satu Pembicara saya menganggap, lebih baik menggunakan konsep “Kedaulatan Rakyat”.

“Kedaulatan” berasal dari kata “ daulah” atau “kekuasaan tertinggi” atas suatu pemerintahan Negara. Pertanyaan pokok adalah “siapa pemilik kedaulatan tertinggi itu?” Berbagai teori telah muncul dalam menjawab persoalan pokok ini, antara lain (1) teori kedaulatan Tuhan (2)  Teori kedaulatan Negara; (3) Teori kedaulatan hukum ; dan (4)  teori kedaulatan rakyat.

Teori kedaulatan Tuhan menjelaskan bahwa pemilik kekuasaan tertinggi dimaksud sebenarnya adalah Tuhan.Pemerintah mendapatkan kekuasaan tertinggi dari Tuhan.Para teoritikus kedaulatan Tuhan ini antara lain: Agustinus (354-430), Thomas Aquinas dan Marselius.

Teori kedaulatan Negara menjelaskan, pemilik kekuasaan tertinggi adalah Negara.Negara merupakan perwujudan dari kekuasaan tertinggi terhadap para warga Negara dan rakyat. Hukum adalah penjelmaan kehendak/kemauan Negara. Negara dianggap satu-satunya sumber hukum dan dan memiliki kekuasaan tertinggi (kedaulatan). Para teoritikus kedaulatan Negara ini antara lain: Jean Bodin dan George Jellinek.

Teori kedaulatan hukum menjelaskan bahwa kekuasaan tertinggi adalah hukum.Baik raja, penguasa, rakyat/warga Negara, dan Negara harus tunduk pada hukum.Yang berdaulat adalah hukum.Sementara sumber hukum yakni rasa hukum terdapat di dalam masyarakat.Hukum merupakan penjelmaan dari perasaan manusia.Para teoritikus kedaulatan hukum ini antara lain: Krabbe dan Leon Duguit.  

Makalah ini akan memfokuskan dri pada teori kedaulatan rakyat, yang menjelaskan bahwa kekuasaan tertinggi di tangan rakyat.

II. KEDAULATAN RAKYAT
Teori kedaulatan rakyat juga menjelaskan, rakyat bukan merupakan penjumlahan individu, melainkan kesatuan dibentuk oleh individu dan mempunyai kehendak dibentuk melalui perjanjian masyarakat (kehendak umum). Kehendak umum akan terwujud jika rakyat mempunyai perwakilan dalam pemerintahan. Pemerintahan tidak hanya dipegang seseorang atau kelompok orang karena hal ini akan dapat menyebabkan kehendak umum tidak akan terwujud karena mereka mempunyai kepentingan sendiri dan mengabaikan kepentingan umum.

Menurut teori kedaulatan rakyat, tujuan Negara adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan warga negaranya dalam batas-batas peraturan perundang-undangan.Yang berhak membuat undang-undang adalah rakyat sehingga undang-undang merupakan penjelmaan kehendak rakyat.Rakyat memiliki kekuasaan tertinggi dalam Negara.Rakyat memiliki otoritas tertinggi dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Teori Kedaulatan Rakyat mengatakan bahwa kekuasaan suatu negara berada di tangan rakyat sebab benar-benar berdaulat dalam suatu negara adalah rakyat.

Sumber ajaran kedaulatan rakyat ialah ajaran demokrasi telah dirintis sejak jaman Yunani. Demokrasi mengandung pengertian pemerintahan rakyat, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.Rakyat merupakan suatu kesatuan yang dibentuk oleh individu-individu melalui perjanjian masyarakat.Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi memberikan haknya untuk kepentingan bersama. Penguasa dipilih dan ditentukan atas dasar kehendak rakyat Pemegang Kedaulatan Rakyat serta Perananannya. Teori kedaulatan rakyat ini merupakan reaksi terhadap teori kedaulatan Tuhan dan Teori kedaulatan Raja, kemudian menjelma dalam Revolusi Perancis sehingga menguasai seluruh dunia hingga sekarang dalam mitos membuat paham kedaulatan rakyat dan perwakilan (demokrasi).

Teori ini menjadi inspirasi banyak negara termasuk Amerika Serikat dan Indonesia, dan dapat disimpulkan bahwa trend dan simbol abad 20 adalah tentang kedaulatan rakyat. Teori kedaulatan rakyat ini kemudian mendasari teori demokrasi yang telah dirintis sejam jaman Yunani. Demokrasi mengandung pengertian pemerintahan rakyat, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.Rakyat merupakan suatu kesatuan yang dibentuk oleh individu-individu melalui perjanjian masyarakat. Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi memberikan haknya untuk kepentingan bersama. Penguasa dipilih dan ditentukan atas dasar kehendak rakyat Pemegang Kedaulatan Rakyat serta Perananannya.

Menurut ajaran ini segala kekuasaan didalam negara bersumber pada individu-individu. Kekuasaan tertinggi suatu negara berasal dari individu-individu sendiri telah menjadi rakyat negara, sebagai negara berlandaskan kedaulatan rakyat pimpinan negara adalah ”Immanent” yaitu terkandung didalam diri rakyat itu sendiri. Negara yang mendasarkan atas kedaulatan rakyat kendatipun telah terbentuk negara dengan seluruh perlengkapan kekuasaanya, namun ultimate power (kekuasaan tertinggi) tetap berada ditangan rakyat itu sendiri. Perwujudanya kekuasaan rakyat tersebut diwakilkan kepada dewan-dewan perwakilan rakyat dan melalui pemerintah yang bertangung jawab kepada rakyat. Dalam hal tersebut pemerintah hanya sebagai mandataris rakyat saja Teori Kedaulatan Rakyat (Volks aouvereiniteit), menekankan bahwa semua kekuasaan dalam suatu negara didasarkan pada kekuasaan rakyat (bersama). J.J. Rousseau (Perancis) menyatakan apa yang dikenal dengan “kontrak sosial”, suatu perjanjian antara seluruh rakyat yang menyetujui Pemerintah mempunyai kekuasaan dalam suatu negara. Kedaulatan rakyat artinya kekusaan tertinggi di tangan rakyat.Rakyat memberikan kekuasaan kepada para wakil rakyat yang menduduki lembaga legislatif maupun eksekutif untuk melaksanakan keinginan rakyat, melindungi hak-hak rakyat serta memerintah berdasarkan hati nurani rakyat. Rakyat berhak mengganti pemerintahan yang dipilih dan diangkatnya, bila pemerintah tersebut tidak melaksanakan kehendak rakyat.

Dewasa ini praktik teori kedaulatan rakyat banyak dianut dan dijalankan oleh negara-negara demokrasi modern,  termasuk Indonesia. Para teoritikus kedaulatan rakyat ini antara lain: Jean-Jaques Rousseau, Immanuel Kant, Thomas Hobbes, Johanes Althusius, John Locke (1632-1704), Rousseau, dan Montes Quieu (1688-1755). Jean-Jacques Rousseau, misalnya, berpendapat bahwa negara dibentuk oleh kemauan rakyat secara sukarela.

Kemauan rakyat untuk membentuk negara itu disebut kontrak sosial. Rousseau juga berpendapat bahwa negara terbentuk melalui perjanjian masyarakat harus menjamin kebebasan dan persamaan.Ia adalah seorang filsuf dan komposer Perancis Era Pencerahan di mana ide-ide politiknya dipengaruhi oleh Revolusi Perancis, perkembangan teori-teori liberal dan sosialis, dan tumbuh berkembangnya nasionalisme. Pelopor Kedaulatan Rakyat lainnya, John Locke, berasal dari Inggris, merupakan salah seorang teoritikus terkenal tentang kedaulatan rakyat. Konsep Trias Politika John Locke dapat ditemukan di dalam karya besarnya, Magnum Opus, dengan judul Two Treatises of Government (1690). John Locke menjelaskan pandangannya itu dengan menganalisis tahap-tahap perkembangan masyarakat.Iamembagi perkembangan masyarakat menjadi tiga, yakni keadaan alamiah (the state of nature), keadaan perang (the state of war), dan negara (commonwealth).

Keadaan alamiah adalah tahap pertama dari perkembangan masyarakat.Keadaan alamiah sebuah masyarakat manusia adalah situasi harmonis, di mana semua manusia memiliki kebebasan dan kesamaan hak yang sama.  Dalam keadaan ini, setiap manusia bebas menentukan dirinya dan menggunakan apa yang dimilikinya tanpa bergantung kepada kehendak orang lain. Walapun masing-masing orang bebas terhadap sesamanya, namun tidak terjadi kekacauan karena masing-masing orang hidup berdasarkan ketentuan hukum kodrat diberikan oleh Tuhan. Hukum Kodrat dari Tuhan menurut Locke adalah larangan untuk merusak dan memusnahkan kehidupan, kebebasan, dan harta milik orang lain. Locke menyebut ada hak-hak dasar terikat di dalam kodrat setiap manusia dan merupakan pemberian Tuhan. Selanjutnya tahap keadaan perang, John Locke menyebutkan bahwa ketika keadaan alamiah telah mengenal hubungan-hubungan sosial maka situasi harmoni mulai berubah. Penyebab utamanya adalah terciptanya uang. Dengan uang, manusia dapat mengumpulkan kekayaan secara berlebihan, sedangkan di dalam keadaan alamiah tidak ada perbedaan kekayaan mencolok karena setiap orang mengumpulkan secukupnya untuk konsumsi masing-masing. Ketidaksamaan harta kekayaan membuat manusia mengenal status tuan-budak, majikan-pembantu, dan status-status hierarkis lain.

Untuk mempertahankan harta miliknya, manusia menjadi iri, saling bermusuhan, dan bersaing. Masing-masing orang menjadi hakim dan mempertahankan miliknya sendiri.Keadaan alamiah harmonis dan penuh damai tersebut kemudian berubah menjadi keadaan perang ditandai dengan permusuhan, kedengkian, kekerasan, dan saling menghancurkan.Situasi seperti ini berpotensi memusnahkan kehidupan manusia jika tidak ada jalan keluar dari keadaan perang. Terakhir tahap terbentuknya Negara, John Locke menyatakan bahwa untuk menciptakan jalan keluar dari keadaan perang sambil menjamin milik pribadi, maka masyarakat sepakat untuk mengadakan "perjanjian asal".Inilah saat lahirnya negara persemakmuran (commonwealth).

Tujuan berdirinya negara bukan untuk menciptakan kesamarataan setiap orang, melainkan untuk menjamin dan melindungi milik pribadi setiap warga negara mengadakan perjanjian tersebut. Di dalam perjanjian tersebut, masyarakat memberikan dua kekuasaan penting yang mereka miliki di dalam keadaan alamiah kepada Negara. Kedua kuasa tersebut adalah hak untuk menentukan bagaimana setiap manusia mempertahankan diri, dan hak untuk menghukum setiap pelanggar hukum kodrat berasal dari Tuhan. John Locke kemudian menegaskan dua prinsip.

Pertama, kekuasaan negara pada dasarnya terbatas dan tidak mutlak sebab kekuasaan berasal dari warga masyarakat yang mendirikannya. Negara hanya dapat bertindak dalam batas-batas ditetapkan masyarakat terhadapnya.

Kedua, tujuan pembentukan negara adalah untuk menjamin hak-hak asasi warga, terutama hak warga atas harta miliknya.Demi tujuan ini, warga bersedia melepaskan kebebasan mereka dalam keadaan alamiah diancam bahaya perang untuk bersatu di dalam negara.Dengan demikian, John Locke menentang pandangan tentang kekuasaan negara yang absolut dan mengatasi semua warga Negara.

John Locke juga mengajukan pemikiran tentang pembatasan kekuasaan Negara. Negara dibatasi oleh warga masyarakat yang merupakan pembuatnya. Untuk itu, sistem negara perlu dibangun dengan adanya pembatasan kekuasaan negara, dan bentuk pembatasan kekuasaan tersebut dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama, membentuk konstitusi atau Undang-Undang Dasar ditentukan oleh Parlemen berdasarkan prinsip mayoritas. Cara kedua, pembagian kekuasaan dalam tiga unsur: legistlatif, eksekutif, dan federatif.  

Berbagai argumentasi telah diajukan untuk menjelaskan pemikiran John Locke tentang pentingnya Negara melindungi manusia bekerja atau hal-ikhwal kerja.Salah satu argumentasi, yakni tatkala John Locke hidup, milik setiap orang, terutama kaum bangsawan, berada dalam posisi rentan ketika diperhadapkan dengan Raja.Kerap kali Raja secara sewenang-wenang melakukan akuisisi atas milik para bangsawan dengan dalih beraneka ragam.Terkait konflik kepemilikan sebagai misal tanah, kaum bangsawan mengadakan perang terhadap Raja. Tantangan terbesar pada masa John Lokce hidup adalah persaingan dengan kekuasaan monarki atau tirani. Monarki atau Tirani adalah kekuasaan absolut berada di tangan seorang Raja.Tidak ada kekuasaan terpisah.Kekuasaan politik menjadi persengketaan antara Monarki (Raja/Ratu), pimpinan gereja, dan kaum bangsawan.Kerap kali di Eropa kala itu, dilanda perang saudara akibat sengketa kekuasaan antara tiga kekuatan politik ini.

Sebagai koreksi atas ketidakstabilan politik ini, mulai muncul semangat baru di kalangan intelektual Eropa, antara lain John Lokce, untuk mengkaji ulang filsafat politik yang berupa melakukan pemisahan kekuasaan. Menurut John Locke, fitrah dasar manusia adalah bekerja (mengubah alam dengan keringat sendiri) dan memiliki milik (property).Negara yang baik harus dapat melindungi manusia bekerja dan juga melindungi milik setiap orang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaandimaksud. Bagi John Lokce, tujuan utama Negara adalah melindungi milik pribadi dari serangan individu lain. Untuk memenuhi tujuan Negara dimaksud, perlu ada pemisahan kekuasaan. Maksudnya, kekuasaan tidak semata-mata di tangan seorang Raja atau Ratu. Kekuasaan harus dipisah terdiri dari kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan federatif.Pemikiran John Locke inilah kemudian mendasari muncul teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara. Kekuasaan legislatif dimaksudkan sebagai kekuasaan untuk membuat undang-undang.Penguasa atau magistrat mengeluarkan hukum telah dikeluarkan.Pada kekuasaan eksekutif, penguasa membuat damai atau perang, mengutus atau menerima duta, menetapkan keamanan umum dan mempersiapkan untuk melawan invasi.Pada kekuasaan yudikatif, penguasa menghukum penjahat, atau memutuskan pertikaian antar individu-individu. Undang-undang mengandung hal penting, yakni masyarakat ingin menikmati kepemilikan secara damai. Untuk situasi ‘damai’, perlu diterbitkan undang-undang untuk mengatur kepemilikan tersebut.

Namun, bagi John Locke, masyarakat dimaksudkanbukanmasyarakat umum melainkan kaum bangsawan.John Lokce tidak memperjuangkan kepemilikan rakyat jelata.Perwakilan rakyat versi Locke adalah perwakilan kaum bangsawan untuk berhadapan dengan Raja/Ratu Inggris. Di lain fihak, makna kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan amanat Undang-undang. Kekuasaan eksekutif berada di tangan Raja/Ratu Inggris.Kaum bangsawan tidak melaksanakan sendiri Undang-undang yang mereka buat, melainkan diserahkan ke tangan Raja/Ratu. Kekuasaan federatif adalah kekuasaan mengatur masalah-masalah bilateral, seperti mengadakan perjanjian damai, kesepakatan kerja sama, atau menyatakan perang. Kekuasaan federatif adalah kekuasaan menjalin hubungan dengan negara-negara atau kerajaan-kerajaan lain. Kekuasaan ini mirip dengan Kemenetrian Luar Negara di masa kini, antara lain untuk membangun liga perang, aliansi politik luar negeri, menyatakan perang dan damai, pengangkatan duta besar, dan sejenisnya. Kekuasaan ini juga diserahkan kepada Raja/Ratu Inggris.

Menurut Locke, kekuasaan federatif dapat dipegang oleh pihak eksekutif, di mana dalam keadaan darurat pihak eksekutif dapat mengambil tindakan yang melampaui wewenang hukum yang dimilikinya. Di dalam sistem kenegaraan Locke di atas, tetap ada kemungkinan penyalahgunaan wewenang oleh pihak-pihak yang berkuasa atas rakyat.Oleh karena itu, menurut Locke, rakyat memiliki hak untuk mengadakan perlawanan dan menyingkirkan pihak eksekutif dengan kekerasan bila mereka telah bertindak di luar wewenang mereka.Di sini, rakyat merebut kembali hak yang telah mereka berikan. Pengaruh pemikiran Locke dalam bidang politik amat besar di negara-negara Eropa, seperti Inggris, Perancis, Jerman, bahkan hingga Amerika Serikat.Bapak-bapak pendiri negara Amerika Serikat, seperti Jonathan Edwards, Hamilton, dan Thomas Jefferson dipengaruhi oleh ide-ide politik Locke.Kemudian para filsuf Pencerahan Perancis, seperti Voltaire dan Montesquieu, juga dipengaruhi oleh Locke. Dapat dinilai =bahwa pemikiran-pemikiran politik Locke juga memengaruhi munculnya Revolusi Perancis tanggal 14 Juli 1789.

Pemikiran John Locke belum sepenuhnya sesuai dengan pengertian “Trias Politika” sebagaimana kita temukan pada masa kini.Beragam kritik muncul terhadap pemikiran John Locke ini.Salah seorang pengkritik dimaksud adalah Simon Petrus L. Tjahjadi.Menurutnya, gagasan Locke tentang model negara terlalu mengedepankan kepentingan kaum bangsawan dan kaum pemodal dibandingkan kepentingan seluruh rakyat. Hal itu terlihat dari model pembatasan kekuasaan negara menggunakan pembagian kekuasaan antara legislatif dan eksekutif: golongan eksekutif dan federatif diduduki oleh raja dan para menteri, sedangkan golongan legislatif diisi golongan bangsawan dan orang-orang kaya. Tidak ada tempat bagi rakyat biasa di dalam model pembagian kekuasaan ini. Jikalau tidak ada tempat bagi rakyat biasa untuk mengawasi jalannya pemerintahan, maka pembuatan Undang-Undang dan pelaksanaannya dapat saja disalahgunakan bagi kepentingan pemerintah dan kaum bangsawan saja. Bila ini terjadi, rakyat tidak dapat memperjuangkan kepentingannya melalui sistem negara yang ada, dan akhirnya hanya akan membuat negara kembali ke "keadaan perang" karena terjadi ketidakadilan. Padahal situasi "keadaan perang" itulah yang ingin diatasi Locke.

Montesquieu (1689-1755) atau Baron Secondat de Montesquieu, berasal dari Perancis, menyempurnakan pemikiran John Lokce tentang pembagian kekuasaan.Pemikiran Montesquieutermuat di dalam magnum opusnya: Spirits of the Laws(1748).Montesquieu, adalah pemikir politikPerancis yang hidup pada Era Pencerahan (bahasa Inggris: Enlightenment). Ia terkenal dengan teorinya mengenai pemisahan kekuasaan yang banyak disadur pada diskusi mengenai pemerintahan dan diterapkan pada banyak konstitusi di seluruh dunia. Ia memegang peranan penting dalam memopulerkan istilah "feodalisme" dan "Kekaisaran Bizantium".

Terkait pemisahan kekuasaan, Montesquieu menekankan bahwa dalam setiap pemerintahan, terdapat tiga macam kekuasaan, yakni (1) kekuasaan legislatif; (2) kekuasaan eksekutif; dan (3) kekuasaan yudikatif. Kekuasaan legislatif mengenai hal-hal yang berkenan dengan hukum antara bangsa.Unsur legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang dan merupakan kekuasaan tertinggi.Kekuasaan ini dijalankan oleh Parlemen mewakili golongan kaya dan kaum bangsawan sebab mereka, dengan kekayaannya, paling banyak menyumbangkan sesuatu kepada Negara.

Dalam membuat undang-undang, kekuasaan legislatif terikat kepada tuntutan hukum alam yaitu keharusan menghormati hak-hak dasar manusia. Kekuasaan eksekutif mengenai pelaksanaan undang-undang.Unsur eksekutif adalah pemerintah melaksanakan undang-undang, yaitu Raja dan para bawahannya. Konsep John Locke dengan konsep Montesquieu tentang kekuasaan mengandung perbedaan. Pertama, bagi John Locke, kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan mencakup kekuasaan yudikatif karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan berdiri sendiri. Sementara bagi Montesquieu, kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan ferderatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif. Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, cara pembagian kekuasaan Montesquieu lebih diterima. Kekuasaan ferderatif diberbagai negara sekarang ini dilakukan oleh eksekutif melalui Kementerian Luar Negeri masing-masing. Pada intinya teori kedaulatan rakyat ini memfokuskan pada konsep pembagian kekuasaan (distribution of power).Pembagian kekuasaan terdiri dari dua kata, yaitu “pembagian” dan “kekuasaan”.Secara sederhana pengertian pembagian kekuasaan adalah adalah proses menceraikan wewenang dimiliki oleh Negara untuk (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) menjadi beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada beberapa lembaga Negara untuk menghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada satu pihak/ lembaga. Pembagian kekuasaan dapat juga berarti,kekuasaan itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian (legislatif, eksekutif dan yudikatif), tetapi tidak dipisahkan. Diantara bagian-bagian itu dimungkinkan ada koordinasi atau kerjasama. Terdapat satu argumentasi bahwa kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang bersifat “checks dan balances” dalam kedudukan sederajat dan saling mengimbangi serta mengendalikan satu sama lain, namun keduanya ada kesamaan, yaitu memungkinkan adanya koordinasi atau kerjasama. Selain itu pembagian kekuasaan baik dalam arti pembagian atau pemisahan diungkapkan dari keduanya juga mempunyai tujuan sama yaitu untuk membatasi kekuasaan sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan memungkinkan terjadinya kesewanang-wenangan. Pada hakekatnya pembagian kekuasaan dapat dibagi ke dalam dua cara.

Pertama, secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya, sebagai misal antara pemerintah pusat dengan dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan, atau antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam suatu suatu negara federal.

Kedua, secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya, lebih menitikberatkan pada pembedaan antara fungsi pemerintahan bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif.

III.      TEORI KEDAULATAN RAKYAT PASCA REFORMASI
Bagaimana penerapan di Indonesia, termasuk Pasca Reformasi?  Sesungguhnya negara Indonesia sejak kemerdekaan tahun 1945 hingga kini, sekalipun telah terjadi Amandemen Konstitusi (UUD 1945), tetap menerapkan dan menganut teori kedaulatan rakyat. Rakyat memiliki kekuasaan tertinggi. Pemerintah harus memberikan pelayanan terbaik untuk rakyat.

Berbagai argumentasi telah diajukan untuk menjustifikasi bahwa Negara Indonesia menerapkan dan menganut teori kedaulatan rakyat.   Salah satunya diajukan kandungan Pancasila pada Sila ke-4, yakni ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Selain itu juga ditegaskan dalam Pembukan UUD’45 “... susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat ...” Sila ke-4 Pancasila diuraikan berdasarkan minimal 4 (empat) konsep kunci (kerakyatan, hikmak kebijaksanaan, permusyawaratan dan perwakilan).

Konsep pertama, “Kerakyatan” berarti kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat, berarti Indonesia menganut demokrasi. Konsep kedua, “ Hikmat Kebijaksanaan” berarti penggunaan pikiran sehat dengan selalu mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat dan dilaksanakan dengan sadar, jujur, dan bertanggung jawab, serta didorong oleh itikad baik sesuai dengan hati nurani. Konsep ketiga, “Permusyawaratan” berarti dalam merumuskan atau memutuskan suatu hal, berdasarkan kehendak rakyat, dan melalui musyawarah untuk mufakat. Konsep keempat, “Perwakilan” berarti suatu tata cara mengusahakan turut sertanya rakyat mengambil bagian dalam kehidupan bernegara, antara lain dilakukan melalui badan perwakilan rakyat.

Mengacu pada UUD 1945, pelaksanaan kedaulatan rakyat adalah rakyat dan lembaga-lembaga pemerintahaan menjadi wadah dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan sebagai representasi dari teori kedaulatan rakyat. Argumentasi selanjutnya menunjukkan pasal-pasal UUD 1945 baik sebelum amandemen maupun setelah amandemen. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum Amandemen menetapkan: “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Menurut pasal ini, MPR adalah penjelmaan rakyat indonesia sebagai satu-satunya lembaga yang memegang kedaulatan rakyat sepenuhnya. Sedangkan Pasal 2 ayat (2) UUD 1945 Amandemenmenetapkan, “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”.

Perubahan rumusan pasal 2 ayat (2) UUD 1945 Amandemen membawa kosekuensi dan implikasi signifikan terhadap fungsi dan kewenangan lembaga negara, terutama MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat sepenuhnya.MPR tidak lagi sebagai satu-satunya lembaga melakukan kedaulatan rakyat. Kedaulatan tetap dipegang oleh rakyat, namun pelaksanaanya dilakukan oleh beberapa lembaga negara memperoleh amanat dari rakyat dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara.

IV. KEDAULATAN HUKUM
Sesungguhnya, Negara Indonesia tidak semata-mata menganut teori kedaulatan rakyat, tetapi juga teori kedaulatan hukum sebagaimana Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, menetapkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Artinya negara kita bukan negara kekuasaan.Bahwa segala sesuatu berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diatur menurut hukum berlaku. Di samping itu, Pasal 27 ayat 1 UUD 1945, menetapkan bahwa negara Indonesia menganut kedaulatan hukum. Kedudukan warga negara sama di depan hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum tanpa pengecualian.

Dengan perkataan lain, setiap warga negara di wilayah negara Indoensia memiliki kedudukan sama di depan hukum. Jika melanggar hukum, siapapun akan mendapat sanksi. Penyelenggaraan kedaulatan rakyat sebelum perubahan UUD 1945 melalui sistem MPR dengan prinsip terwakili telah menimbulkan kekuasaan bagi Presiden demikian besar dalam segala hal termasuk pembentukan MPR. Periode Orde Lama (1959-1965), seluruh anggota MPR(S) dipilih dan diangkat langsung oleh Presiden. Hal ini berlaku juga pada masa Orde Baru (1966-1998): dari 1000 anggota MPR, 600 orang dipilih dan ditentukan oleh Presiden. Hal ini menunjukan, MPR seakan-akan hanya menjadi alat untuk mempertahankan penguasa pemerintahan (Presiden). Kewenangan untuk memilih dan mengangkat Presiden dan/ atau Wakil Presiden berada di tangan MPR. Padahal MPR itu sendiri dipilih dan diangkat oleh Presiden, sehingga siapa menguasai suara di MPR maka akan dapat mempertahankan kekuasaan. Pengangkatan anggota MPR dari unsur Utusan Daerah dan unsur Utusan Golongan bagi pembentukan MPR dalam jumlah demikian besar juga dapat dilihat sebagai penyimpangan konstitusional, karena secara logika dalam hal kenyataan juga terlihat wakil diangkat akan patuh dan loyal kepada pihak mengangkatnya, sehingga wakil tersebut tidak lagi mengemban kepentingan daerah atau golongan diwakilinya. Akibatnya, para wakil diangkat itu tidak lagi memiliki hubungan dengan diwakili.Padahal, Presiden sendiri merupakan mandataris MPR harus bertanggung jawab kepada MPR. Hubungan MPR dan Presiden sangat sulit dilihat sebagai hubungan vertikal atau horizontal.Jika terlepas dari MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara dan Presiden sebagai Lembaga Negara jelas mempunyai hubungan vertikal.Karena itu, seluruh anggota MPR idealnya diplih oleh rakyat melalui Pemilu. Sementara itu, sesuai dengan ketentuan UUD 1945, keberadaan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, dianggap sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakayat. Konstruksi ini menunjukkan, MPR merupakan Majelis mewakili kedudukan rakyat sehingga menjadikan lembaga tersebut sebagai sentral kekuasaan, mengatasi cabang-cabang kekuasaan lain. Adanya satu lembaga berkedudukan paling tinggi membawa konsekuensi seluruh kekuasaan lembaga-lembaga penyelenggara negara berada di bawahnya harus bertanggung jawab kepada MPR. Akibatnya konsep keseimbangan antara elemen-elemen penyelenggara negara atau sering disebut checks and balances system antar lembaga tinggi negara tidak dapat dijalankan.

Pada sistem MPR tersebut, juga menimbulkan kekuasaan bagi Presiden demikian besar dalam pembentukan undang-undang (fungsi legislasi) seharusnya dipegang DPR. Hal ini dapat dilihat dari rumusan pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum Amandemen menetapkan: “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Berdasarkan rumusan tersebut, MPR mendistribusikan kekuasaan membentuk undang-undang kepada Presiden, atau setidaknya memberikan kewenangan lebih kepada Presiden dalam fungsi legislasi ketimbang DPR.Akibatnya, pengawasan dan keseimbangan antar lembaga tinggi negara sangat lemah sekali. Kekuasaan Negara di bawah UUD 1945 Amandemen membawa dampak besar terhadap stuktur ketatanegaraan dan sistem penyelenggaraan negara sangat besar dan mendasar. Perubahan terjadi pada penempatan MPR sebagai lembaga negara mempunyai kedudukan sederajat dengan Lembaga Negara lain, tidak lagi sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Juga terjadi pergeseran kewenangan membentuk undang-undang dari Presiden kepada DPR, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, mempetegas penerapan sistem presidensiil, pengaturan HAM, munculnya beberapa lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, dll.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Pasal 1 Ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Hal ini merupakan perubahan terhadap ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 sebelumnya menetapkan: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Dari hasil perubahan tersebut menunjukkan, konsep kedaulatan rakyat dilakukan oleh suatu Lembaga Tertinggi Negara (MPR)dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, kini telah dikembalikan kepada kepada rakyat untuk dilaksanakan sendiri. Lembaga Tertinggi Negara MPR selama ini dipandang sebagai pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat menjadi hilang.Hal ini merupakan suatu perubahan fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.Prinsip supremasi MPR telah berganti dengan prinsip keseimbangan antar lembaga negara (checks and balances). Rumusan tersebut juga membuka kemungkinan penyelenggaraan pemilihan presiden secara langsung, agar sesuai dengan kehendak untuk menerapkan sistem pemerintahan presidensial.

Pergeseran kewenangan membentuk undang-undang ini meninggalkan teori “pembagian kekuasaan” (distribution of power) dengan prinsip supremasi MPR menjadi “pemisahan kekuasaan” (seperation of power) dengan prinsip “checks and balances”.Intinya, Negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 Amandemen telah menganut teori “pemisahan kekuasaan” (seperation of power) untuk menjamin prinsip “checks and balances” demi tercapainya pemerintahan demokratis. Sebagaimana telah diungkapkan di atas, teori kedaulatan rakyat mendasari teori demokrasi. Demokrasi mengandung pengertian pemerintahan rakyat, yaitu pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi memberikan haknya untuk kepentingan bersama. Penguasa dipilih dan ditentukan atas dasar kehendak rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi tersebut.Karena itu, teori demokrasi tidak terlepas dari teori demokrasi kedaulatan rakyat. Negara seperti Indonesia penganut teori kedaulatan rakyat juga penganut teori demokrasi.

V.       PEMBANGUNAN PULAU PALSU
Di bawah Rezim Jokowi, merebak issu pembangunan sejumlah Pulau Palsu di teluk DKI Jakarta. Kini di teluk Jakarta sedang dibangun sejumlah Pulau Palsu/Reklamasi. Proyek ini dipayungi Gubernur Ahok. Pulau Palsu/reklamasi ini menjadi issu politik terkait dengan rencana permukiman orang asing dari Cina, termasuk tenaga kerja Cina. Terdapat klaim publik, pembangunan sejumlah Pulau Palsu ini sebagai upaya untuk memindahkan rakyat Cina ke Indonesia dengan memberi permukiman dan perumahan.
Gelombang rakyat Indonesia anti kebijakan pembangunan sejumlah Pulau Palsu ini semakin meningkat dan dinilai sebagai ancaman bagi kedaulatan dan kelanjutan NKRI. Pulau Palsu dibangun di Teluk Jakarta adalah pulau A-Q dengan 10 pengembang. Pulau Palsu untuk kelas atas, bukan semua kelas. Harga properti paling rendah Rp 3,77 miliar luas bangunan 128 meter persegi dan tanah 90 meter persegi. Dengan harga setinggi ini, siapa sanggup membelinya? Semua unit rumah di Proyek Reklamasi diiklankan di Singapura, Taiwan, Hongkong, Macau, Beijing, dan kota-kota lain di Cina. Infonya semua unit sudah habis terjual kepada China Asing. Issue Pulau Palsu kian hangat kembali sejak Paslon Anies-Sandi dlm kampanye Pilgub DKI berjanji akan menghentikan program tsb. Tapi, satu hari pemungutan suara dan Paslon Anies-Sandi menang, langsung Menko Maritim tegaskan akan ambilalih program itu dan ditetuskan. Bahkan, diklaim jangan karena satu orang (Anies) program itu dihentikan. Juga menantang adu data ke publik. Reaksi publik cukup kencang atas tawaran Menko Maritim ini.
Pd 16 Mei 2017 IRESS dan MPR adakan Seminar : "Stop Program Reklamasi Teluk Jakarta" dgn Keynote speech M.Amien Rais (UGM). Pembicara al. Muslim Muin (ITB), Sri Bintang Pamungkas (UI), Irvan Pulungan, M Ramli, Marwan Batubara (IREES), dan Hanafi Rais (DPR). Pada prinsipnya, seminar ini sepakat untuk menolak dan membatalkan program reklamasi/pulau palsu. Mereka bersedia melayani tantangan Menko Maritim untuk adu data pembangunan reklamasi ini. Mereka tegaskan, jika data Tim Menko Maritim benar dan menang tanpa reklamasi DKI akan banjir, mereka terima dan ikuti. Tetapi, jika data mereka benar dan dengan reklamasi justru DKI akan banjir, maka pembangunan reklamasi itu harus dihentikan.
Seminar juga mengingatkan masalah reklamasi ini harus dilihat upaya penyerahan jalan laut ke Cina. Reklamasi ini adalah rekayasa politik, bukan semata rekayasa ekonomi. Langkah berikutnya, Cina akan menggunakan jalur maritim ini menjadi jalur militer Cina. Selanjutnya, Presidium Musyawarah Rakyat Indonesia menegakan, reklamasi adalah "Makar dan penjajahan terhadap Rakyat Pribumi oleh Jokowi dan Para Konglomerat Taipan untuk Kolonisasi Cina (RRC)". Pd 17 Mei 2017 mereka rencanakan akan laporkan kasus ini Ke Komnas HAM.
Rezim Jokowi perlu mengelola dan mengendalikan issue politik Pulau Palsu/reklamasi ini merembet ke issu tindak pidana korupsi reklamasi elite kekuasaan parpol penguasa. Jika isu korupsi merebak, maka dampak negatif besar akan melanda eksistensi kekuasaan Rezim Jokowi itu sendiri. Gelombang suara kritis ttg pembangunan Pulau Palsu ini, jika Rezim Jokowi tidak cepat2 hentikan, bagaimana pun akan bergeser issue korupsi mengaitkan elite kekuasaan. Persoalannya bukan lagi masalah Pulau Palsu, tetapi pertarungan kekuasaan negara.
Di Seminar Alumni & Mahasiswa UI Bangkit Untuk Kedilan ini mengambil theme “Kedaulatan Bangsa Pasca Reformasi”.  Menurut Panitia, Forum ini juga akan membahas Kaitan Proyek Reklamasi dengan Kedaulatan Bangsa. Tentu saja maknanya adalah issue Pembangunan Pulau Palsu yang di publik mendapatkan penolakan, termasuk sejumlah kelompok Alumni Perguruan Tinggi, dinilai dalam perspektif kedaulatan rakyat. Kami mempekirakan, Panitia menilai Pembanguna  Pulau Palsu bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat.
Kami setuju penilaian semacam ini. Namun, solusi paling tepat untuk masalah apakah Pembangunan Pulau Palsu itu bertentangan atau tida dengan prinsip kedaulatan rakyat, yakni meminta pendapat atau penilaian terhadap rakyat khususnya di wilayah DKI Jakarta mealui semacam “referendrum” atau “pemungutan suara”. Jika Rezim Jokowi betul-betul ingin meyakinkan publik bahwa Pembangunan Pulau Palsu itu tidak bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat, adakan referendrum atau pemungutan suara dimaksud.  


--------------meh-----------------

Minggu, 22 Oktober 2017

PENURUNAN  ELEKTABILITAS JOKOWI DAN CARA PEMECAHAN


Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

Salah satu cara untuk meyakinkan dugaan atau hipotetis  kita tentang tingkat keterpilihan Balon (Bakal Calon) atau  Calon dalam pemilihan seperti Pilpres atau Pilkada yakni melakukan survei opini publik terkait elektabilitas para Balon atau Calon.

Untuk kasus Jokowi sebagai Balon pada Pilpres tahun 2019 mendatang, sudah mulai dibicarakan di publik berdasarkan hasil survei opini publik. Sebagai incumbent atau pertahana, Jokowi di mata lembaga survei pada umumnya  menunjukkan penurunan elektabilitas. Akibatnya. bisa disimpulkan bahwa kemungkinan Jokowi memenangkan persaingan pada Pilpres 2019 semakin sukar dan kecil.

Di acara Rapimnas Partai Golkar, Mei 2017, Balikpapan, Kalitim, Menko Maritim Luhut B.Panjaitan  menyatakan tanpa Sumber bahwa elektabilitas Jokowi saat ini masih di atas 50 persen. Lebih tinggi dibandingkan dengan elektabilitas SBY, Megawati dan Prabowo.

Sebelumnya, pada Januari hingga April 2017 Litbang Kompas adakan  survei berkala. Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan elektabilitas Jokowi mencapai 41, 6 persen.

Pada 14-20 Mei 2017, bulan sama dengan pernyataan Luhut B. Panjaitan di Acara Golkar,  SMRC adakan survei opini publik. Hasil survei ini menunjukkan elektabilitas Jokowi mencapai 34,1 persen.

Pada 23-30 Agustus  2017 CSIS lakukan survei. Hasil survei menunjukkan  elektabilitas Jokowi cukup tinggi, yakni  50,9%,

Selanjutnya, Lembaga Media Survei Nasional (Median) merilis hasil survei 14-22  September 2017,  Hasil survei menunjukkan, elektabilitas Jokowi 36,2 persen. Namun, di lain pihak SMRC mengumumkan angka lebih tinggi, yakni elektabilitas Jokowi mencapai 38,9 persen. Angka ini menaik dibandingkan hasil survei SMRC sebelumnya, elektabilitas Jokowi hanya 34,1 persen.

Terakhir, Lembaga PolMark Indonesia merilis hasil survei mengenai tokoh dipilih publik sebagai calon presiden pada saat ini.  Hasilnya, Joko Widodo tetap memperoleh elektabilitas tertinggi dibanding tokoh lainnya. Yakni . 41,2 persen memilih Jokowi
(22/10/2017)

Survei dilakukan. 9 - 20 September 2017.
Jumlah responden 2.250 orang dengan proporsi imbang (50:50) laki-laki dan perempuan. Survei menggunakan metode multistage random sampling dengan margin of error lebih kurang 2,1 persen. Selain itu, tingkat kepercayaan sebesar 95 persen.

Dari sejumlah data elektabilitas di atas, dapat disimpulkan bahwa terjadi penurunan elektabilitas Jokowi hingga mencapai di bawah 40 persen dan mendekati di bawah  35 persen dari tingkat elektabilitas sebelumnya, di atas 50 persen. Jika ditarik rata2 dari angka semua Lembaga Survei di atas,  tetap mengalami penurunan,  yakni rata2 sekitar 40 persen. Para Lembaga Survey membandingkan Jokowi sbg Pertahana dengan tokoh2 bukan Pertahana dan bahkan belum secara resmi menyatakan diri akan maju sebagai Capres pada Pilpres 2019. Sebagai Pertahana elektabilitas Jokowi kini hanya sekitar 40 persen, jauh dibawah perolehan suara Jokowi pada Pilpres 2014, di atas 50 persen. Tepat sekali kalau ada pendapat, semua Calon seperti Prabowo, Gatot N, bahkan SBY memiliki peluang yang sama dengan Jokowi untuk memenangkan kompetisi Pilpres 2019.

Intinya, tidak terdapat indikasi peningkatan elektabilitas Jokowi, bahkan dari bulan ke bulan tahun 2017 ini terus merosot. Waktu tinggal sekitar 1,5 tahun lagi bagi Jokowi utk hentikan  penurunan elektabilitas dirinya.  Kondisi Jokowi ini tanpa kegiatan promosi dan kampanye pesaing/kompetitor atau Tim Sukses, Relawan dan Partai Pendukung. Baru Jokowi seorang telah mendapatkan dukungan resmi dari Partai Golkar, Hanura, Nasdem, PPP dll. Ternyata dukungan resmi Parpol2 tersebut,  tak usahkan meningkatkan elektabilitas Jokowi, mempertahankan agar tidak menurun pun tak sanggup.

Penurunan elektabilitas Jokowi ini tentu disebabkan berbagai faktor, terutama rakyat umat Islam politik dan kelas menengah perkotaan, bukan tokoh  pesaing individual sebagai Balon. Khusus faktor kelas menengah perkotaan, diperkuat lagi adanya fakta politik oposisional baru.  Dua peristiwa mutakhir  berikut ini menjadi fakta baru dimaksud.

Pertama, Tanggal 20 Okt 2017 mahasiswa lakukan aksi demo dideoan Istana Merdeka, Jakarta. dgn agenda  Evaluasi Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi. Salah satu tuntutannya Tolak Perppu No 02 / 2017. Aksi dari jam 15.00 sampai jam 23.30 di depan Istana tidak ditemui satu orang pun Perwakilan Istana.  Aksi dibubarkan paksa oleh Polisi, sebagian dipukuli dan dipentung sampe mukanya bonyok. Ada 12 Mahasiswa ditangkap dan ditahan.


Aksi demo mahasiswa di depan Istana hingga malam hari sekitar Jam 22.30 WIB ini tergolong unik. Biasanya, aksi demo di Jakarta akan mendapat pengusiran dari aparat Kepolisian jika aksi demo itu masih berlangsung sekitar Jam 19.00 malam. Tapi, kali ini sekitar Jam 22.30  baru diusir paksa oleh Kepolisian. Cukup menarik, setelah 3 tahun aksi demo oposisionsl mahasiswa terhadap Rezim Kekuasaan, baru kali ini mengambil tempat. Diduga telah terjadi polarisasi di kalangan elite penegak hukum di Indonesia.

Kedua, aksi penolakan alumni dari berbagai perguruan tinggi negeri (seperti UGM, IPB, ITB, UI), swasta dan juga organisasi mahasiswa  ekstrauniversiter, dll. Kelas menengah perkotaan ini menuntut agar reklamasi pantai utara Jakarta dihentikan dan menolak kebijakan Pemerintah melalui Menko Maritim, Luhut B. Panjaitan, mencabut moratorium atau  penghentian pembangunan reklamasi tsb. Peristiwa ini merupakan pertama sekali di era Jokowi kalangan alumni pergurian tinggi secara massal dan meluas di Republik  menyatakan penolakan kebijakan Pemerintah.

Penurunan angka elektabilitas Jokowi ini bermakna semakin berkurang kemungkinan menangnya Jokowi pada Pilpres 2019. Kecenderungan menurunnya elektabilitas Jokowi ini akan terus mengambil tempat sepanjang kebijakan2 Jokowi tidak mengutamakan aspirasi dan kepentingan terutama Umat Islam politik dan kelas menengah perkotaan.

Ada asumsi bahwa elektabilitas Calon Incumbent atau Pertahana harus di atas  60 persen. Jokowi harus memiliki tingkat elektabilitas di atas 60%. Sebab, dalam berbagai pertarungan pemilu ketat, perolehan  suara calon petahana berada di bawah tingkat elektabilitas hasil survei. Dalam Pilpres 2009, SBY-Boediono meraup 60,8% suara. Perolehan  ini jauh di bawah hasil survei opini publik  menempatan SBY-Boediono sebagai pemenang pemilu dengan tingkat elektabilitas 71%. Hal ini juga berlaku pada  Pilkada  DKI Jakarta 2017. Pasangan Incumbent Ahok-Djarot menurut sejumlah rilis survei opini publik, tingkat elektabilitas mereka  hingga 56%,  hanya mampu meraih 42,99% suara dalam putaran pertama dan 42,04% suara pada putaran kedua.

Kecenderungan  elektabilitas Jokowi ini kemungkinan besar akan menurun dan menjauhi zona aman (60%).
Parpol pendukung Jokowi adalah PDIP. Pengaruh parpol ini kian nenurum. Sebagai bukti, parpol ini mengalami kekalahan2 dlm pilkada seperti Banten dan Dki Jakarta. Padahal incumbent dukungan parpol ini.

Kasus pilkada serentak memoerkuat hopotetis ini. Beberaps kekalahan  PDIP di Pilkada Serentak 2018, bahkan di beberapa wilayah kunci PDIP. Hal ini  akan menggerus elektabiluras berdampak Jokowi. Sementara itu, suara kritis publim dgn thema #2019GantiPresiden kian meningkat dan meluas

Merlihat beberapa fenomena keoknya PDIP di Pilkada Serentak 2018, bahkan di beberapa wilayah kunci PDIP, maka akan berdampak signifikan melorotnya Jokowi dan semakin melajunya
 #2019GantiPresiden.

Jika asumsi dasar ini diterima, adalah sangat sukar  bagi Jokowi untuk memenangkan pertarungan perebutan kekuasaan negara pada  Pilpres 2019 mendatang.

Apa cara pemecahan masalah (solusi) trend penurunan elektabilitas Jokowi ini agar bisa menaik dan mencapai batas aman untuk memenangkan Pilpres 2019?

Cara pemecahan utama, sangat menentukan, menggunakan  level analisis Parpol sebagai aktor mempengaruhi prilaku pemilih. PDIP sebagai Parpol perserta Pemilu  harus segera menyatakan secara resmi  dukungan terhadap Jokowi utk maju lagi sebagai Capres  pada Pilpres 2019. PDIP harus mengambil posisi di mata publik  sebagai "Lead Party", Parpol Pemimpin, jangan beri ke Parpol lain yang tidak memiliki akar sosiologis dengan Jokowi seperti Golkar. Setelah adakan  pernyataan resmi, lalu PDIP lakukan konsolidasi internal penguatan mesin Parpol untuk mempromosikan dan mengkampanyekan Jokowi di tengah-tengah masyarakat pemilih. Tentu saja, mesin Parpol ini akan terkendala dengan kepentingan Pemilu legislatif yang waktu  bersamaan dengan Pilpres 2019.

Untuk mendapatkan dukungan sebagian umat Islam politik, Jokowi sudah mulai memberi pertanda kepada publik, Calon Wapres dirinya dari Tokoh atau Ulama umat Islam seperti Jusuf Kalla saat Pilpres 2014. Siapa Tokoh atau Ulama dimaksud, satu kriteria Tokoh itu memiliki basis massa atau organisasi masyarakat umat Islam atau didukung berat para  Parpol Islam. Dari segi momentum memang terlambat, tapi Jokowi harus coba untuk pemenangan Pilpres 2019. Sudah saatnya Jokowi berpikir rasional untuk perolehan suara pemilih sebanyak mungkin. Semua kebijakan Pemerintah membuat umat Islam dan kelas menengah perkotaan antipati  dan penurunan elektabilitas harus diminimalkan. Jangan terus lakukan politik pembiaran yang membuat persepsi masyarakat negatif meningkat dan meluas. Waktu hanya sekitar 1,5 tahun lagi !

Jumat, 20 Oktober 2017

DAMPAK POSITIF PERMEN LHK NO. P.39 TAHUN 2017

Permen LHK Nomor P.39 akan menimbulkan dampak positif terhadap kondisi kepastian hukum bagi petani penggarap tanah hutan negara; keadilan sosial; dan, kesejahteraan masyarakat terutama petani miskin di sekitar atau wilayah kerja Perum Perhutani. Tiga dampak positif ini dapat merupakan alasan dan rasionalisasi bagi Majelis Hakim di MA untuk menolak permohonan uji materiil atas Permen LHK Nomor P.39 Tahun 2017. Berikut ini akan diuraikan secara ringkas dampak positif dari implementasi Permen lHK Nomor P.39 tersebut.
1.  KEPASTIAN HUKUM

Permen LHK Nomor P.39  ini akan menimbulkan dampak positif terhadap kondisi  kepastian hukum bagi masyarakat dan petani miskin IPHPS. Kondisi  Tidak kepastian hukum bagi petani penggarap tanah negara di wilayah kerja Perum Perhutani tergolong  buruk. Petani penggarap acapkali ditangkap, diperas atau dieksploitasi oleh aparat Kehutanan atau Perhutani. Mereka dituduh telah melakukan kegiatan usaha di tanah negara secara ilegal.

Bagi petani penggarap hutan negara terdapat memang secara legal, tetapi dibatasi hanya dua tahun. Setelah itu hubungan hukum petani penggarap dengan tanah menjadi terputus sehingga tidak lagi memiliki kepastian hukum. Jika petani penggarap tersebut terus melakukan kegiatan usaha di tanah negara itu maka akan dituduh pihak Perum Perhutani sebagsi kegiatan ilegal.

Berdasarkan Permen LHK Nomor P.39, petani penggarap areal tanah hutan negara  di wilayah kerja Perum Perhutani memberikan kepastian hukum. Jika hasil evaluasi Pemerintah per lina tahun ternyata Pemegang IPHPS telah melaksanakan kewajiban sesuai ketentuan, maka Pemegang IPHPS bisa memanfaatkan tanah hutsnbnegara itu selama   35 tahun, bahkan diwariskan kepada anak-anaknya. Hal ini dapat menciptakan kepastian hukum atas pemanfaatan tanah negara, hingga anak2 mereka.

Ketidakpastian areal kawasan hutan merupakan salah satu yang menghambat efektifitas tata kelola hutan di Indonesia. Dari seluruh kawasan hutan seluas 130 juta hektar maka areal yang telah selesai ditatabatas (istilahnya “temu gelang”) baru sekitar 12 persen (14,2 juta hektar).  Ketidakpastian ini memicu munculnya konflik tenurial (lahan) dengan berbagai pihak yang berkepentingan dengan kawasan hutan.  Padahal setidak-tidaknya terdapat 50 juta orang yang bermukim disekitar kawasan hutan dengan lebih dari 33 ribu desa yang berbatasan dengan kawasan hutan.

Persoalan ketidakpastian tata batas hutan ini tidak hanya menimpa masyarakat adat ataupun masyarakat lokal yang berdiam dan memanfaatkan lahan dan sumber daya di dalam kawasan hutan, tetapi juga institusi yang memiliki izin usaha kehutanan dan pemerintah. Di tingkat lapangan batas yang berupa patok batas hutan juga seringkali tidak jelas sehingga sulit diverifikasi dalam pembuatan berita acara.

Untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan, maka diperlukan proses pengukuhan kawasan hutan, dimana seluruh proses yang harus dilakukan adalah penunjukan, penetapan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan. Proses ini semua adalah untuk menuju suatu kawasan hutan yang “legal dan legitimate”.

Pemerintah lewat Kemenhut telah mengatur proses pengkukuhan kawasan hutan lewat berbagai aturan, diantaranya Peraturan Pemerintah nomor 44/2004 tentang Perencanaan Hutan, Permenhut nomor P.47/2010 tentang Panitia Tata Batas dan Permenhut P.50/Menhut‐II/2011 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Namun ketiga peraturan ini dinilai masih memiliki kelemahan.

Terkadang suatu kawasan hutan negara baru merupakan penunjukkan tetapi telah diterbitkan izin bagi konsesi, padahal seharusnya baru pada tahap penetapan hutan itu memiliki kekuatan hukum dan baru dikatakan sebagai hutan negara.


2. KEADILAN SOSIAL
Permen LHK Nomor P.39 Tahun 2017 ini akan menimbulkan dampak positif terhadap kondisi dan kualitas keadilan sosial bagi masyarakat atau petani miskin di sekitar darussalam wilayah kerja Perum Perhutani. Permen LHK ini akan  menciptakan keadilan sosial bagi petani miskin yang selama ini tanpa lahan atau dapat memanfaatkan lahan hanya  maksimal 0,5 Ha menjadi  dapat memanfaatkan lahan 2 Ha. Ada perubahan struktur pemanfaatan lahan untuk sumber mata pencaharian masyarakat atau petani miskin di Pulau Jawa. Petani miskin semakin banyak dapat memanfaatkan tanah negara 2 Ha.

Disamping itu, dengan diizinkan petani miskin memanfaatkan tanah negara 2 Ha,  maka terjadi peningkatan martabat dan harga diri keluarga petani miskin. Secara psikologis, mereka merasa jauh lebih aman dan bermartabat karena punya tanah 2 Ha untuk dimanfaatkan hingga level anak2.

3. Kesejahteraan Masyarakat

Permen LHK Nomor P.39 Tahun 2017 akan menimbulkan dampak terhadap kondisi dan kualitas kesejahteraan masyarakat. Implementasi Permen LHK ini menyebabkan meningkatnya pendapatan keluarga pemegang Izin Pemanfaatan. Selama ini dengan luas lahan hanya maksimal 0,5 Ha, Rata2 pendapatan mereka per bulan hanya  Ro. 500 ribu. Tentu saja dengan perhitungan kasar, jika mereka mengelola 2 Ha akan bertambah minimal menjadi Rp.2 juta per bulan.

Dari sisi sumber mata pencaharian, Permen LHK  ini akan menyerap setidak-tidaknya 4 orang per 2 Ha. Dierkirakan dampak positif terhadap penduduk Pulau Jawa sekitar 20 juta jiwa.

Kamis, 19 Oktober 2017

DISKUSI NSEAS: PEMOHON UJI MATERIIL PERMEN LHK P.39 BUKAN MASYARAKAT ATAU PETANI MISKIN

DISKUSI NSEAS:

PEMOHON UJI MATERIIL PERMEN LHK P.39 BUKAN MASYARAKAT ATAU  PETANI MISKIN



Di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini Raya, Jakarta Pusat telah diselenggarakan diskusi dgn Topik: Ada apa dengan Permen LHK No. P.39 tahun 2017 ttg Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani?

Hadir peserta diskusi al. Elfan Gomes (Advokat/Lawyer), Hamid Husein (Advokat/Lawyer), Dadang Mardesa (Seniman/Pelukis), Jacob Ereste (Budayawan), M.R.Ridho (Prodem), M.Amin (KAHMI Jaya), Willy Soeharly (Serikat Tani Nasional), Anwar Esfa (Hijau Hitam Institut), Budi Margono (JP2K),
Muchtar Effendi Harahap (NSEAS).

Diskusi dimoderatori
Ramli Kamidin (ILUNI) mengambil tempat hari Minggu, 15 Oktober 2017, di Rumah Makan Pondok Penus, diselenggarakan NSEAS (Network for South East Asian Studies).

Diskusi memahami Permen LHK No.P.39 Tahun 2017 bertujuan memberikan IPHPS (Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial) kepada masyarakat atau petani miskin utk memanfaatkan kawasan hutan di wilayah kerja Perum Perhutani. Kebijakan ini guna mengurangi ketimpangan penguasaan lahan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (pengentasan kemiskinan) dengan memperhatikan kelestarian hutan.

Penerima IPHPS ini masyarakat atau petani miskin di sekitar atau di dalam wilayah kerja Perum Perhutani. Setiap keluarga petani miskin akan memperoleh 2 Ha maksimal. Lahan hutan akan dimanfaatkan petani miskin tsb adalah hutan lindung dan hutan produksi pada wilayah kerja Perhutani dengan tutupan lahan kurang atau sama dgn 10 % terus menerus dlm  5 tahun. Maknanya, lahan negara akan dimanfaatkan petani miskin itu dlm kondisi  gundul dan terlantar.

Kebijakan Pemerintah pro petani miskin ini mendapat masalah dari sekelompok warganegara, al. Acil Bimbo, seorang Seniman Mereka mengecam  dan menolak Permen LHK P.39 tsb. Bahkan, mereka berupaya menggagalkan implementasi Permen LHK P.39 dengan memohon uji materiil di Mahkamah Agung (MA).

Diskusi menilai para Pemohon uji materiil bukan kelompok kepentingan langsung masyarakat atau petani miskin sebagai sasaran/target kebijakan perhutanan sosial. Bahkan, ada sebagian besar  pemohon justru mantan karyawan Perum Perhutani.

Lebih lanjut diskusi  menyoal:
1. Apa kepentingan Acil Bimbo selaku Seniman/Penyanyi menentang atau menolak kebijakan Pemerintah untuk mensejahterakan petani miskin ini?
2. Apakah mereka layak sebagai Pemohon uji materiil dilihat dari aspek legal standing atau pihak berkepentingan?
3. Apa sikap Majelis Hakim MA seharusnya terhadap permohonan kelompok bukan petani miskin tsb?

Tiga soal  di atas mendapat jawaban dalam diskusi. Secara garis besar jawaban diskusi sbb:

1. Acil Bimbo tidak layak mengajukan permohonan uji materiil dan terkesan sebagai Seniman, tidak pro masyarakat atau petani miskin. Kalangan Seniman TIM diharapkan dapat mengingatkan Acil Bimbo untuk keluar dari kepentingan bisnis kelompok pengusaha rente yang telah menguasai tanah negara wilayah kerja Perhutani.
2. Kelompok Pemohon uji materiil bukan petani miskin tetapi kelompok menengah atas dan tidak berkepentingan langsung dgn kebijakan perhutanan sosial. Dapat diduga, mereka akan kehilangan sumber ekonomi jika Permen LHK P.39 ini dilaksanakan secara konsekuen.
3. Sikap Majelis Hakim MA harus memperhatikan dampak positif kebijakan Pemerintah ini terhadap keadilan dan kesejahteraan rakyat. Majelis Hakim sepatutnya di posisi kepentingan masyarakat atau  petani miskin yang akan mendapatkan manfaat bagi kehidupan mereka  dari kebijakan Pemerintah ini. Intinya, Majelis Hakim seharusnya  menolak permohonan uji materiil dari  kelompok  bukan masyarakat atau petani miskin sebagai sasaran kebijakan. Prinsip kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat atau petani miskin penerima IPHPS  sungguh terpenuhi dengan implementasi Permen LHK P.39.
4. Perlu ditingkatkan kerjasama aksi untuk membangun opini publik seluas dan sebanyak mungkin  bahwa Permen LHK P.39 sungguh2 untuk mensejahterakan masyarakat dan petani miskin melalui IPHPS,  bukan membagi-bagi terhadap rakyat seperti dituduhkan termasuk oleh  para  pemohon uji materiil. Bagi kalangan  penentang dan penolak kebijakan ini layak dinilai sebagai "penghianat" terhadap  masyarakat atau petani miskin di Pulau Jawa.
5. Dihimbau agar kalangan aktivis, seniman dan profesional berada di depan untuk membela kepentingan masyarakat atau petani miskin, dan melawan setiap upaya membatalkan Permen LHK P.39.
6. Salah satu bentuk kegiatan yakni bersama masyarakat atau petani miskin sebagai  sasaran kebijakan ini melakukan upaya  intervensi dalam upaya penolakan  permohonan uji materiil oleh Majelis Hakim MA.
7. Diskusi juga sepakat akan berdialog dgn Komisi IV dan VI DPR untuk menjelaskan manfaat dan keuntungan rakyat miskin di Pulau Jawa jika Permen LHK P.39 ini benar2 diimplementasikan.
7. Menghimbau dan akan  menjumpai Presiden Jokowi agar  bertindak segera  sehingga  MA menolak permohonan uji materiil Permen LHK P.39.
(RAMLI KAMIDIN, Moderator Diskusi)

DISKUSI TERBATAS BEKASI: MA AGAR TOLAK PERMOHONAN UJI MATERIIL PERMEN LHK P.39 TAHUN 2017

DISKUSI TERBATAS   BEKASI: MA AGAR TOLAK PERMOHONAN UJI MATERIIL PERMEN LHK P.39 TAHUN 2017

Permen LHK No. P. 39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani  bertujuan al. untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau petani miskin. Dengan implementasi Permen LHK P.39 ini diharapkan masyarakat dan petani miskin tinggal di sekitar dan di dalam wilayah kerja Perhutani seperti  terdapat di Kabupaten Bekasi dan Karawang bisa hidup lebih baik tidak miskin terus sejak zaman kolonial Belanda. Namun, dalam realitas obyektif terdapat sekelompok “penikmat rente” dari luar masyarakat atau petani  miskin menolak dan berupaya menggagalkan implementasi Permen LHK P.39 ini. Mereka membangun opini publik dengan memberikan prediksi2 salah dan mengada-ada atas implementasi Permen LHK itu.

Beragam prediksi salah dan mengada-ada mereka  publisir melalui media massa dan  media sosial, al. akan berdampak buruk dan menimbulkan konflik horizontal; bagi-bagi tanah negara; kerusakan ekologi; kondisi hutan menjadi gundul; dll.Tidak ada dampak positif dimata mereka.

Semua prediksi mereka  masih dalam hayalan, ahistoris, dan apriori. Mengapa? Tahapan implementasi Permen LHK itu masih tahap perencanaan, belum implementasi konstruktif. Artinya, belum terlaksana di lapangan, baru merencanakan. Lalu, kalangan “penikmat rente” ini mencari-cari alasan dan rasionalisasi agar Permen LHK ini dibatalkan oleh MA (Mahkamah Agung). Selain mereka membangun opini publik, mereka juga mendatangi para anggota DPR-RI,  juga mengajukan permohonan  uji materiil Permen LHK itu di MA.

Di Kabupaten Bekasi, Rabu, 18 Oktober 2017,  NSEAS adakan diskusi terbatas dengan sejumlah Petani  tinggal di sekitar dan di dalam wilayah kerja Perum Perhutani, Kabupaten Bekasi dan Karawang Jawa Barat. Peserta diskusi al.: Sueb (Aktivis Muhammadiyah),  Aris Kurniawan (Ketua Pusat Peranserta Masyarakat Jabar), Parito (Jaringan Sektor Informal), Defri C.Nst (Ketua Himpunan Pedagang K5, PPM), Rahmawati (JPKP), Edy Juniarto (JPKP),  Muchtar Effendi Harahap (NSEAS), Ramli Kamidin (ILUNI), dan Yaminuddin (Peneliti Community Development).

Pada awal diskusi, dibahas butir-butir substansi Permen LHK P.39 Tahun 2017, baik dari segi konstitusional, sosiologis dan legal drafting.  Selama ini secara sosiologis kondisi sosial ekonomi masyarakat dan petani tinggal di sekitar dan di dalam wilayah kerja Perum Perhutani tidak berubah secara berarti. Tetap saja miskin, tanpa lahan atau hanya memiliki maksimal 0,5 Ha.Hasil riset menunjukkan, rata2 pendapatan keluarga miskin ini hanya sekitar Rp. 500 ribu per bulan.

Permen LHK P. 39 ini salah satu usaha Pemerintah untuk memecahkan masalah kemiskinan masyarakat dan petani miskin. Hal ini sangat sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia sebagaimana tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945. Tetapi, kebijakan pro rakyat miskin ini mendapat kritik, kecaman dan penolakan dari mereka bukan masyarakat dan petani miskin.
Para peserta diskusi terbatas kemudian memberikan tangggapan dan penilaian tentang Permen LHK dan juga prilaku penolakan kelompok penikmat rente atas Permen LHK tersebut.

Sebagian besar peserta diskusi  menyesalkan sikap penolakan penikmat rente ini karena mereka sesungguhnya bukanlah sasaran atau target Permen LHK P.39. Mereka  Cuma orang luar tidak mengalami penderitaan dan ketidakberadaan dalam struktur masyarakat di sekitar dan di dalam wilayah kerja Perhutani. Mereka telah berupaya mematikan hak-hak orang miskin untuk memperoleh manfaat bagi kehidupan mereka dari Pemerintah. Dapat memanfaatkan 2 (dua) Ha lahan negara untuk kegiatan sosial ekonomi sangat bermanfaat bagi mereka. Peluang ini harus diambil.

Beberapa butir kesimpulan diskusi terbatas dengan para Petani ini sbb:

1. Salah dan mengada-ada, penilaian kelompok penikmat bahwa Permen LHK P.39 menimbulkan konflik horizontal. Di Kabupaten Bekasi dan Karawang  tidak ada indikasi ke arah konflik tersebut.
2. Salah dan mengada-ada, penilaian bahwa Permen LHK P.39 untuk bagi-bagi tanah negara. Pemerintah hanya memberikan Izin pemanfaatan tanah negara kepada masyarakat dan petani miskin. Status tanah tetap dikuasai negara.
3. Salah dan mengada-ada, penilaian bahwa Permen LHK P.39 menimbulkan kerusakan ekologi. Sekarang ini saja sudah terjadi kerusakan lingkungan. Permen LHK P.39 justru akan memberi dampak positif terhadap pengendalian kerusakan lingkungan.
4. Salah dan mengada-ada, penilaian bahwa Permen LHK P.39 menyebabkan hutan gundul. Justru hutan gundul yang ada akan menjadi tidak gundul karena pemegang izin pemanfaatan  akan menanam tanaman kayu di lahan hutan tsb. Para penikmat rente mengabaikan prinsip2 dalam Permen LHK P.39, lokasi lahan hutan akan dimanfaatkan masyarakat atau petani miskin justru sebelumnya sudah gundul atau maksimal tegakan 10 %. Untuk hutan tidak gundul jelas tidak boleh diberikan izin pemanfaatan.
5. Mendukung dan memohon kepada Mahkamah Agung (MA) agar menolak permohonan kelompok penikmat rente tentang uji materiil Permen LHK P.39. Kepentingan rakyat harus lebih diutamakan daripada segelintir orang seperti kelompok pemohon uji materiil Permen LHK.P. 39,  bukan masyarakat dan petani miskin.
6. Memohon kepada para anggota DPR-RI Komisi IV dan VI agar obyektif menilai Permen LHK P.39 ini. Satu cara  datang dan berdialog langsung dengan masyarakat dan petani miskin di sekitar dan di dalam wilayah kerja Perhutani seperti di Kabupaten Bekasi dan Karawang.
(Fasilitator YAMINUDIN, NSEAS)

Selasa, 10 Oktober 2017

TANGGAPAN BUAT KETUM KPHLH: PERMEN LHK P.39 MENIMBULKAN KERUSAKAN HUTAN CUMA HAYALAN NEGATIF SEMATA

TANGGAPAN BUAT KETUM KPHLH:   PERMEN LHK P.39 MENIMBULKAN KERUSAKAN HUTAN CUMA HAYALAN NEGATIF SEMATAd


Oleh
YAMINUDIN
(Peneliti Senior Community Development NSEAS)



Di suatu forum diskusi Komisi VI DPR-RI, Senin 9 Oktober 2017,  secara sepihak Ketum  Komite Penyelamatan Hutan dan Lingkungan Hidup (KPHLH), Bambang Adji menilai  Permen LHK No. P.39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani (www. galamedianews.com).

Ada tiga penilaian pokok Beliau di forum diskusi itu.

Pertama,  Permen LHK  No. P.39 tahun 2017  berpotensi menimbulkan kerusakan hutan di Pulau Jawa, dan umumnya di Indonesia. Karena itu,  KPHLH berusaha untuk menyelamatkan hutan dari ancaman sebuah peraturan pemerintah, dan menolak Permen LHK tsb.

Penilaian ini sangat manipulatif. Hayalan negatif semata bahwa  lahan hutan negara yang akan dimanfaatkan rakyat miskin ini (existing)  merupakan  hutan perawan atau tegakan lebih 50 persen. Padahal, syarat lahan yang akan dimanfaatkan rakyat miskin tergolong  gundul atau tegakan hanya 10 persen, dan terbengkalai tak dimanfaatkan real oleh Perhutani minimal 5 tahun.  Diperkirakan sekitar 50 persen  lahan negara di wilayah kerja Perhutani Pulau Jawa sudah gundul dan tak termanfaatkan.  Rakyat miskin penerima Izin pemanfaatan diwajibkan menanam kayu sekian persen di lahan gundul tsb. Artinya, rakyat miskin itu akan menambah luas tegakan dan tanaman kayu.  Lalu, di mana rakyat miskin itu menimbulkan kerusakan hutan ?

Jika Ketum KPHLH ini baca lagi Permen LHK P.39, akan ditemukan bentuk pemanfaatan hutan oleh rakyat miskin bukan hanya soal perkayuan, tetapi juga soal air, enerji air, pariwisata dll. Gundulnya hutan negara di Pulau Jawa ini bukan karena kelakuan rakyat miskin, tetapi pengusaha dan penguasa rente telah berlangsung sejak zaman Orba dan juga  SBY. Pada dasarnya, penilaian rakyat miskin memanfatkan lahan hutan negara untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga akan menimbulkan kerusakan hutan, penilaian diskriminatif dan feodalis terhadap orang miskin.

Kedua, Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) pada  Permen LHK P.39 membahayakan bagi keselamatan hutan. Bagi Bambang,  dalam penyelematan hutan itu, ruhnya harus dalam bentuk "kerjasama", bukan dalam bentuk izin masuk ke kawasan hutan.

Pikiran izin masuk tidak punya ruh kerjasama sangat keliru. Rakyat miskin di sekitar dan di dalam hutan negara itu tidak bisa disamakan dengan kelompok orang menengah dan atas yang hidupnya di perkotaan, minimal Ibukota kecamatan,  seperti Ketum ormas KPHLH. Orang miskin tidak bisa setara dengan orang menengah dan atas. Pemerintah mau bantu orang miskin agar tidak miskin. Tentu saja penyikapan Pemerintah harus pembinaan, pemberdayaan, dan bantuan teknis, keuangan dan juga administratif. Pemerintah harus lebih dalam ketimbang kerjasama  versi hubungan kepentingan eksploitatif kelas menengah atas atas lahan hutan negara yang selama ini terjadi. Rakyat miskin terpinggirkan terus dengan konsep kerja dana versi Bambang ini. Sejak zaman Belanda hingga zaman ruh kerjasama versi Bambang, rakyat miskin di sekitar hutan negara di Pulau Jawa  tidak berubah, tetap miskin. Ruh kerjasama itu hanya dinikmati kelompok pengusaha dan penguasa rente. Adalah mencari-cari alasan pembenar untuk menolak Permen LHK P.39 dengan menggunakan konsep ruh  kerjasama itu. Kalau Pemerintah memihak rakyat miskin tidak punya ruh kerjasama. Pemikiran sangat keliru.

Ketiga, Permen LHK  P.39  sebagai upaya pelemahan  Perum Perhutani,  nantinya berujung pada upaya pembubaran  Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tsb.

Penilaian ini juga lebih terlihat mengada-ada. Pemerintah dituduh akan membuat Perum Perhutani bubar. Dasar berpikir dan logika berpikir Ketum KPHLH ini  sangat tanpa dasar, terlalu miskin intelektual. Pemerintah dinilai bekerja tanpa regulasi dan rasionalitas. Permen LHK P.39 justru memperkuat dan memberikan manfaat bagi Perhutani. Mengapa?

Karena 30 persen hasil usaha rakyat miskin dalam  memanfaatkan hutan itu diserahkan kepada Perhutani. Padahal, bantuan bibit, teknis, administratif dll datang dari Pemerintah, perguruan tinggi, LSM dan perbankan atau lembaga keuangan. Negara hadir membantu rakyat miskin itu, bukan saja Perhutani seperti selama ini.

Permen LHK tidak akan memperlemah Perhutani. Yang diperlemah akibat dampak negatif  sampingan  dari Permen LHK ini,  bukan terhadap  Perhutani, tetapi   kelompok rente  rakyat menengah   yang selama ini mengeksploitasi lahan hutan negara di sekitar dan di dalam areal kerja Perhutani. Mereka ini sebagai  kelas menengah, hidup di perkotaan, bukan petani apalagi rakyat miskin. Pada umumnya penolak Permen LHK P.39 bukan rakyat atau petani miskin yang menjadi sasaran dan target Permen ini. Kelompok rente mengatasnamakan  LSM,  rakyat desa hutan,  dan perlindungan hutan dan lingkungan, dll.  terus menerus menolak Permen LHK P.39. Padahal kelompok petani miskin justru mendukung berat.

Hayalan negatif semata kelompok rente ini harus dilawan dengan realitas obyektif kelakuan mereka selama ini dalam pemanfaatan lahan hutan negara. Jika perlu Pemerintah mempublikasikan lahan hutan  negara yang sudah mereka gunakan secara ilegal di Pulau Jawa. Sebagai misal seorang Bupati memanfaatkan berhektar-hektar lahan hutan negara sebagai kebun kopi milik pribadi. Lahan2 tersebut masih milik negara, tetapi dikuasai secara ilegal oleh kelompok rente ini.

Pemerintah harus lawan kelompok rente ini sekalipun mereka gunakan jalur hukum di Mahkamah Agung. Dorongan motip ekonomi mereka harus Pemerintah lawan dengan motip alturistik dan cita2.

Minggu, 08 Oktober 2017

ELEKTABILITAS JOKOWI DIMATA LEMBAGA SURVEI

Survei: Lebih dari 50 Persen Tak Pilih Jokowi jika Pemilu Digelar
Minggu, 8 Oktober 2017 | 18:51 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Hampir 50 persen dari 800 masyarakat tidak akan memilih Joko Widodo (Jokowi), jika Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden dilakukan pada bulan lalu.

Hasil ini diketahui berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) pada 8 hingga 27 September 2017. Survei dilakukan di delapan kota yakni Medan, Padang, Palembang, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar, dan Jakarta kecuali Kepulauan Seribu.

Pengambilan data dilakukan dengan cara wawancara tatap muka. Adapun margin of error (MoE) sekitar 3,5 persen.

"Kami juga menanyakan tentang pilihan Presiden bila pemilu dilakukan di hari saat pertanyaan diajukan. Responden yang memilih Jokowi 44,9 persen, sementara yang memilih opsi jawaban selain Jokowi ada 48,9 persen, dan sisanya tidak menjawab," kata Founder Lembaga Survei KedaiKOPI, Hendri Satrio, melalui keterangan tertulisnya, Minggu (8/10/2017).

Hendri melanjutkan, sejumlah nama yang muncul dari responden di antaranya Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.

Selain itu, Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini dan Direktur Eksekutif The Yudhoyono Institute, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Menurut Hendri, hasil survei tersebut juga berpengaruh terhadap pilihan partai politik di 2019.

"Hanya 41,3 persen responden yang mengaku akan memilih partai politik pengusung Jokowi pada 2019 nanti, 53,5 persen menjawab tidak akan memilih, sementara sisanya memilih untuk tidak menjawab," kata Hendri

V.INI LAGI HASIL SURVEI Indo Barometer  ELEKTABILITAS JOKOWI: ADA APA DENGAN JOKOWI KOK BISA TERJUN BEBAS DARI 54 PERSEN 3 TAHUN LALU ???

PADAHAL UNTUK MENANG PILPRES 2019, INCUMBENT HARUS PUNYA ELEKTABILITAS 60,1  PERSEN.

Sila cermati angka elektabilitas Jokowi, hanya 35,9 %.

1. Jokowi 34,9%
2. Prabowo Subianto 12,1%
3. Anies Baswedan 3,6%
4. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) 3,3%
5. Gatot Nurmantyo 3,2%
6. Ridwan Kamil 2,8%
7. Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) 2,5%
8. Megawati Soekarnoputri 2,0%
9. Tito Karnavian 1,8%
10. M Sohibul Iman 1,5%
11. Jusuf Kalla 1,0%
12. Tri Rismaharini 0,9%
13. Moeldoko 0,8%
14. UU Ruzhanul Ulum 0,6%
15. Deddy Mizwar 0,6%
16. Hary Tanoesoedibjo 0,5%
17. Ahmad Heryawan 0,5%
18. Sandiaga Uno 0,4%
19. Setya Novanto 0,3%
20. Ganjar Pranowo 0,3%
21. Ahmad Syaikhu 0,3%
22. Bima Arya Sugiarto 0,2%
23. Zainul Mutaqin 0,1%
24. Belum memutuskan 6,1%
25. Rahasia 4,6%
26. Tidak tahu atau tidak jawab 15,4%


Sumber:https://m.detik.com/news

ADA APA DENGAN JOKOWI? KOK ELEKTABILITASNYA TERJUN BEBAS. Sila baca👇🏿👇🏿👇🏿

Minggu 03 Desember 2017, 14:21 WIB
Survei Orkestra: Elektabilitas Jokowi 24,38%, Prabowo 21,9%
Parastiti Kharisma Putri - detikNews

Foto: Parastiti Kharisma Putri/detikcom
Jakarta - Organisasi Kesejahteraan Rakyat (Orkestra) melakukan survei elektabilitas terhadap nama yang muncul di radar Capres 2019. Hasilnya, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan elektabilitas 21,9% masih menjadi lawan bersaing Presiden Jokowi dengan elektabilitas 24,38%.

"Prabowo masih kuat jadi lawan bersaing Jokowi pada Pilpres 2019 yang akan datang. Kandisat ini akan mempersiapkan diri masing-masing. Kita senang kalau ada dua pasang biar demokrasi lebih hidup," kata Ketua Umum Orkestra Poempida Hidayatulloh di Gado-Gado Boplo, Gondangdia, Jakarta Pusat, Minggu (3/12/2017).

Poempida mengatakan, elektabilitas Jokowi dan Prabowo berdasarkan hasil survei yang dilakukan Orkestra berimbang. "Jokowi dan Prabowo hanya 3% dengan margin of error +- 3% berarti imbang antara Jokowi dan Prabowo. Ini warning bagi Jokowi," sebutnya.

Pada survei tersebut juga muncul nama-nama yang terprediksi pada Pilpres 2019. Bahkan nama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun muncul pada hasil survei tersebut.

"Di sini juga muncul, lumayan fresh juga ini nama-nama baru. Nama Pak Gatot Nurmantyo muncul, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) muncul, Anies Baswedan muncul. Tapi ini aneh kok SBY muncul lagi, ini nama nya top of mind kita ga bisa tahan," tuturnya.

Orkestra melakukan survei kepada 1300 responden di 34 provinsi di Indonesia. Survei diambil mulai tanggal 6 November sampai 20 November 2017 dengan menggunakan metode multi stage random sampling dengan tingkat kepercayaan 95% dan margin of error +- 3%.

Responden adalah penduduk Indonesia berusia minimal 17 tahun yang menjawab sesuai yang ada dipikirannya (top of mind). Wawancara dilakukan secara langsung tatap muka dengan panduan kuisioner oleh surveyor yang tersebar di seluruh Provinsi.

Berikut hasil survei Orkestra terkait elektabilitas Capres 2019.
1. Jokowi 24,38%
2. Prabowo 21,9%
3. Gatot Nurmantyo 2,80%
4. AHY 2,31%
5. Anies Baswedan 2,14%
6. SBY 1,81%
7. Jusuf Kalla 1,48%
8. Ridwan Kamil 1,32%
9. Risma 1,24%
10. Mahfud MD 1,07%
11. Nama lainnya 5,93%
12. Tidak Tahu atau Tidak memilih 34,43% (yas/nvl)

INES: Lapangan Kerja Sempit, Elektabilitas Jokowi Jatuh
By Repelita Online - 2017-12-12, 21:32135
 

Presiden Jokowi. ©2017 Biro Pers Istana


Survei terbaru yang digelar oleh Indonesia Network Election Survei (INES) soal elektabilitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjukan hasil yang cukup mengejutkan.

Tingkat keterpilihan Jokowi dalam survei itu ternyata melorot, hal ini karena kondisi ekonomi masyarakat yang kian buruk dan terpuruk, dan berimbas pada tingginya angka pengangguran di Indonesia.



Direktur Eksekutive INES, Widodo Edi Sektianto mengatakan, dalam surveinya tercatat sebanyak 68,3 persen responden mengaku mengalami penurunan dan kekurangan pendapatan. Tak cukup untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari.

“Sementara 27,8 persen mengatakan cukup, tidak ada sisa pendapatan yang bisa disimpan. Dan sisanya sebanyak 3,9 persen menyatakan ada peningkatan pendapatan,” ujar Widodo melalui keterangan tertulisnya pada JawaPos.com, Selasa (12/12).

Sementara itu soal lapangan kerja, tercatat 71,7 persen. responden menyatakan selama tiga tahun terakhir sangat sulit mencari pekerjaan. Dan sebanyak 1,6 persen menyatakan tersedia lapangan kerja.

Berdasar fakta tersebut, lanjutnya, INES pun membuat survei terkait tingkat elektabilitas tokoh, dengan pertanyaan siapa sosok yang akan dipilih jika Pilpres digelar hari ini?

Maka munculah 12 nama yakni Jokowi yang meraih 27, 2 persen, Prabowo mendapat nilai tertinggi yakni 41,8 persen, Gatoto Nurmantyo 7,8 persen, Anies Basweden 1,1 persen.

Ada juga, Sri Mulyani 1,1 persen, Puan Maharani 5,7 persen, Agus Yidhoyono 1,1 persen, Harry tanoe 0,7 persen, Zulkifli Hasan, 2,1 persen, Cak Imin 1,7 persen, Rizal Ramli 1,6 persen, Tito Karnavian 1,7 persen. Sementara tidak memilih nama 6,4 persen.

Sedangkan untuk pertanyaan yang sama dengan dikerucutkan menjadi 8 tokoh. Maka Prabowo meraih suara 43,2 persen disusul Jokowi 29,6 persen.

“Tokoh lainnya, yakni Gatot Nurmantyo 6,6 persen, Puan Maharani, 5,1 persen, Zulkifli Hasan, 2,1 persen, Cak Imin 1,7 persen, Sri Mulyani 6,2 persen, AHY 1,1 persen dan tidak memilih 4,4 persen,” paparnya.

Namun, ketika dikerucutkan kembali menjadi tiga nama paling tinggi dari tokoh diatas, maka Prabowo mendapat suara terbanyak 52,1 persen disusul Jokowi 31,1 persen dan Gatot Nurmantyo 16,7 persen.

“Pemilih Indonesia saat ini sudah semakin cerdas, mereka memilih berdasarkan kinerja dan track record dari si calon. Sederhananya, ketika lapang kerja senpit, maka eletabilitas jatuh” paparnya.

Diketahui, para responden pada penelitian ini tersebar secara proposional di 178 kabupaten/kota. Data berasal dari laki-laki dan perempuan yang bekerja di sektor domestik atau publik, dengan aneka profesi dengan ragam pendidikan dan ragam umur.

Sementara untuk Margin of error ± 2,1 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

(dms/JPC)


E

HOTKoalisi Gerindra-PKS-PAN Untuk Mengulang Kemenangan Pilkada DKI, 26 DESEMBER 2017 , 02:15:00

Jokowi Melorot, Prabowo Dan Gerindra Terus Melejit Disusul Gatot
 SELASA, 26 DESEMBER 2017 , 10:49:00 WIB | LAPORAN: BUNAIYA FAUZI ARUBONE



RMOL. Partai Gerindra masih menempati posisi teratas yang dipilih dalam hasil survei Lembaga Kajian Pemilu Indonesia (LKPI) jika Pemilu digelar hari ini.
BERITA TERKAIT
Jokowi Dan Perindo Terbanyak Diberitakan Media Cetak
Ternyata Berita Gatot Sebagai Capres Minim
Pelaku Pasar Tradisional Ogah Pilih Jokowi, Elektabilitas Prabowo Makin Melesat
Partai besutan Prabowo Subianto itu unggul dengan 20,7 persen, disusul Golkar 13,7 persen, PDI Perjuangan 13,4 persen, PKB 7,6 persen, Partai Demokrat 6,1 persen, PAN 5,8 persen, PPP 5,2 persen, PKS 4,5 persen. Berikutnya Perindo 4,3 persen, Nasdem 3,6 persen, Hanura 1,3 persen, dan tidak memilih sebanyak 13,8 persen.

Gerindra kembali unggul saat pertanyaan yang sama diberikan secara tertutup. Partai berlambang Garuda warna emas itu unggul dengan 23,7 persen, PDIP 14,2 persen, Golkar 14,1 persen, Partai Demokrat 6,8 persen, PAN 6,6 persen, PKB 6,4 persen, PKS 5,7 persen, Perindo 4,8 persen, PPP 3,4 persen, Nasdem 3,1 persen dan Hanura 1,1 persen. Sedangkan yang tidak menjawab atau tidak memilih sebanyak 10,1 persen.

Direktur Eksekutif LKPI, Arifin Nur Cahyono menjelaskan, meningkatnya pilihan masyarakat terhadap Partai Gerindra dalam survei ini tidak lepas dari figur Prabowo Subianto selaku nahkoda. Prabowo dianggap konsisten dengan sikap politiknya selama periode pemerintahan Joko Widodo-JK.

"Sekalipun menjadi oposisi juga bukan oposisi yang serta-merta tdak mendukung program-program pemerintah selama ini," bebernya melalui keterangan tertulis, Selasa (26/12).

Sementara, lanjut Arifin, menurunnya elektabilitas PDI Perjuangan lebih dikarenakan kegagalan pemerintahan Joko Widodo dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi  wong cilik. Pasalnya, dahulu PDI Perjuangan saat menjadi oposisi sangat gigih menolak kebijakan kenaikan harga BBM, gas serta tarif dasar listrik. Bahkan kepala daerah dari PDIP sampai turun untuk menolak kenaikan harga BBM.

"Tetapi saat Joko Widodo berkuasa justru PDI Perjuangan menjadi partai pedukung kenaikan harga BBM. Turunnya elektabilitas partai-partai pendukung Joko Widodo selain Golkar tak lepas juga dari kesulitan ekonomi yang banyak dialami oleh para pemilih partai pendukung Joko Widodo dipemerintahannya," imbuhnya.

Lebih lanjut kata Arifin, LKPI kemudian menanyakan kepada responden soal siapakah tokoh yang mereka pilih jika Pilpres digelar hari ini secara spontan. Tak beda jauh dengan partai yang dipimpinnya, Prabowo Subianto menang telak. Dia dipilih 50,7 persen sekaligus mengalahkan petahana, Jokowi yang hanya 26,4 persen.

"Gatot Nurmantyo 10,7 persen, dan sisanya tidak menjawab 12,2 persen," tandas Arifin.

Saat pertanyaan yang sama dilakukan dengan menggunakan kuisioner, elektabilitas Prabowo malah tambah naik dengan 53,6 persen, Joko Widodo 19,4 persen, Gatot Nurmantyo 4,6 persen, Sri Mulyani 3,1 persen, Anies Baswedan 2,1 persen, Puan Maharani 2,8 persen, Tri Rismaharini 5,7 persen, Muhaimin Iskandar 2,1 persen, Agus Harimurti Yudhoyono 0,8 persen dan tidak memilih sebanyak 5,8 persen.

Hal menarik menurut dia saat pertanyaan yang sama diberikan secara tertutup. Di mana Tri Rismaharini yang notabene tokoh baru punya elektabilitas di atas tokoh lain selain Jokowi dan Prabowo dengan 5,7 persen.

"Bagi Joko Widodo yang elektabilitas melorot hingga 19,4 persen atau hanya tinggal 36,5 persen dari hasil Pilpres 2014 sebanyak 53.15 persen, sementara Prabowo Subianto memiliki tingkat elektabilitas di atas 50 persen plus 1, namun ini baru potret survei jelang Pemilu 2019 yang dikaitkan dengan kinerja Joko Widodo selama memerintah dan masih ada waktu satu tahun bagi Joko Widodo untuk bisa mengangkat elektabilitasnya jika berhasil meningkatkan kesejahteraan wong cilik," pungkasnya.[wid


Survei Orkestra: Elektabilitas Partai Gerindra Salip PDIP
Reporter: Arkhelaus Wisnu Triyogo
Editor: Amirullah
3 Desember 2017 12:43 WIB
597402613

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto saat berpidato dalam acara Konferensi Nasional Partai Gerindra di Sentul Internasional Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, 18 Oktober 2017. ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya

TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi Kesejahteraan Rakyat (Orkestra) merilis survei elektabilitas partai politik menjelang pemilihan umum 2019. Ketua Umum Orkestra Poempida Hidayatulloh mengatakan elektabilitas Partai Gerindra meningkat tajam dengan menyalip pemenang pemilu 2014, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

"Hasil survei menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan peta kecenderungan pemilih dibanding pemilu 2014," kata Poempida di restoran Gado-gado Boplo, Jakarta Pusat, Ahad, 3 Desember 2017.

Berdasarkan hasil survei Orkestra, elektabilitas Gerindra menempati posisi teratas dengan tingkat keterpilihan sebesar 15,2 persen. Posisi ini diikuti PDI Perjuangan dengan elektabilitas 12,5 persen, Partai Demokrat (7,4 persen), dan Partai Golkar (7,3 persen).

Baca juga: Gerindra Tetap Usung Prabowo pada Pilpres 2019


Dominasi partai besar itu diikuti elektabilitas PKS (5,8 persen), PKB (5,4 persen), PPP (3,4 persen), PAN (3,3 persen), Partai NasDem (3,3 persen), dan Hanura (2,4 persen). Partai baru Perindo dan PSI memiliki elektabilitas masing-masing 2,9 persen dan 2,0 persen. PKPI dan PBB mengikuti dengan elektabilitas 1,8 persen dan 1,6 persen.

Poempida berpendapat meningkatnya elektabilitas Gerindra karena kemampuan partai tersebut merawat basis pendukung di tengah ketiadaan inovasi partai lain. "Gerindra berpotensi menjadi pemenang pemilu 2019," kata Poempida. Gerindra, menurut dia, memiliki basis dukungan, baik dari sisi geografis, ekonomi, pendidikan, maupun pemilih pemula.

Baca juga: Ziarah Dikaitkan Pilpres 2019, Prabowo: Kok Mikirnya Gitu?

Survei nasional Orkestra ini dilakukan pada 6-20 November 2017 dengan melibatkan 1.300 responden dari 34 provinsi. Survei ini menggunakan sampel secara acak dengan tingkat kepercayaan 95 persen dan margin of error plus-minus 3 persen.

Direktur Pollcomm Institute Heri Budianto mengatakan, dengan margin of error 3 persen, elektabilitas PDI Perjuangan dan Partai Gerindra sama-sama kuat. Menurut dia, hasil ini bisa memprediksi kemunculan calon presiden pada pemilu 2019.

"Kita bisa lihat dan memprediksi kekuatan dua partai dan siapa yang menjadi capres dan cawapresnya," ucap Heri



Survei LSI_Denny JA, Feb 2018 tentang Capres-Cawapres

AKANKAH JOKOWI TERPILIH KEMBALI?

    - 5 Isu Pilpres Terkini di Zaman Now

Denny JA

Seberapa besar peluang seorang presiden yang sedang memerintah (incumbent/pertahana) terpilih kembali, jika ia ikut bertarung dalam pilpres berikutnya?

Jika kita melihat data statistik Indonesia sejak pemilu langsung, jawabnya jelas. Baru tiga kali kita melaksanakan pilpres langsung: 2004, 2009, 2014. Namun baru dua kali, pertahana presiden bertarung kembali: Presiden Megawati di 2004. Dan presiden SBY di 2009.

Pada pemilu 2014, tak ada presiden yang bertarung. Presiden SBY sudah memangku jabatan dua periode. Konstitusi melarangnya. Pilpres 2014 terjadi tanpa kehadiran pertahana selaku peserta.

Di tahun 2004, pertahana presiden kalah. Di tahun 2009, pertahana presiden menang. Sejarah Indonesia menunjukkan angka. Sebesar 50 persen  kemungkinan pertahana presiden terpilih kembali. Sebanyak itu pula, kemungkinan 50 persen pertahana dikalahkan.

Bagaimana di Amerika Serikat? Berdasarkan data 18 kali pemilu presiden terakhir yang pertahana maju kembali untuk periode kedua, prosentase juga ketat. Sebanyak 10 kali pertahana presiden menang. Sebanyak 8 kali pertahana presiden dikalahkan. Prosentase pertahana untuk menang dalam pilpres Amerika Serikat untuk kasus di atas sebesar 55 persen.

Berdasarkan dua kasus Indonesia dan Amerika, ini gambarannya. Sebesar 50-55 persen pertahana presiden akan menang. Namun sebesar 45-50 persen pula pertahana akan dikalahkan.

Apakah data statistik ini berita baik atau berita buruk buat Jokowi  selaku pertahana, dan penantangnya?

LSI memberikan gambaran lebih detail berdasarkan survei nasional paling mutakhir. Ini lima isu paling hot untuk pilpres zaman now.

-000-

ISU PERTAMA: Jokowi Kuat Tapi Belum Aman.


Survei LSI Denny JA, Januari 2018 menunjukan  elektabilitas Jokowi saat ini  48.50 %. Elektabilitasnya masih dibawah 50 %. Dan ada dukungan sebesar 41.20 % yang menyebar kepada para kandidat capres lainnya.

Sebesar 41.20 % itu  angka total atau gabungan dari dukungan pemilih terhadap sejumlah kandidat capres diluar Jokowi. Dan sebesar 10.30 % yang belum menentukan pilihan.

Demikianlah salah satu temuan survei nasional LSI Denny JA. Survei nasional ini survei nasional reguler LSI Denny JA. Responden sebanyak 1200 dipilih berdasarkan multi stage random sampling.

Wawancara tatap muka dengan responden dilakukan serentak di 34 propinsi. Waktu survei dari tanggal 7 sampai tanggal 14 Januari 2018. Survei dibiayai sendiri sebagai bagian layanan publik LSI Denny JA. Margin of error plus minus 2.9 persen.

Survei dilengkapi dengan riset kualitatif seperti FGD, media analisis, dan depth interview narasumber.

Mengapa disimpulkan Jokowi kuat tapi belum aman?

Saat ini elektabilitas Jokowi masih tertinggi  dibanding semua capres yang disimulasikan. Bahkan total dukungan semua capres diluar Jokowi jika digabung (41.20 %) masih dibawah Jokowi (48.50%).

Kepuasan terhadap kinerja Jokowi sebagai presiden diatas 70 %. Sementara ada 21.30 % publik yang menyatakan kurang puas.

Dua variabel di atas membuat Jokowi kuat. Namun tiga variabel di bawah ini membuatnya belum aman.

Dalam jumlah besar, publik tak puas dengan kondisi ekonomi. Masalahnya, isu ekonomi adalah isu terpenting yang membuat pertahana terpilih atau dikalahkan.

Sebesar 52.6 % responden menyatakan harga-harga kebutuhan pokok makin memberatkan mereka. Sebesar 54.0 % menyatakan lapangan kerja sulit didapatkan. Dan sebesar 48.4 % responden menyatakan pengangguran semakin meningkat.

Jokowi rentan pula terhadap isu primordial. Kekuatan dan isu Islam politik diprediksikan akan mewarnai Pilpres 2019 seperti yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta, dalam kadar berbeda.

Islam politik itu terminologi untuk segmen pemilih yang percaya, yakin hakul yakin,  politik tak bisa dipisahkan dari agama.

Untuk pemilih Indonesia, jumlah segmen Islam Politik cukup besar. Sebesar 40.7 % publik menyatakan tidak setuju agama dan politik dipisahkan. Sementara 32.5 % publik menyatakan agama dan politik harus dipisahkan.

Dari mereka yang menyatakan agama dan politik harus dipisahkan, mayoritas (58.6%) mendukung kembali Jokowi sebagai presiden.

Sementara mereka yang tidak setuju agama dan politik harus dipisahkan mayoritas mendukung capres lain diluar Jokowi (52.1 %). Walaupun Jokowi juga  masih memperoleh dukungan sebesar 40.8 % di segmen ini.

Islam politik versus bukan Islam politik ternyata punya prilaku politik berbeda terhadap memilih atau melawan Jokowi.

Merebak pula isu buruh negara asing. Terutama isu tenaga kerja yang berasal dari Cina. Di tengah sulitnya lapangan kerja dan tingginya pengangguran di berbagai daerah, isu tenaga kerja asing sangat sensitif.

Isu ini secara nasional memang belum populer karena belum banyak publik tahu. Survei menunjukan baru 38.9 % pemilih mendengar isu ini.

Dari mereka yang mendengar,  58.3 % menyatakan sangat tidak suka dengan isu itu. Hanya 13.5 % yang menyatakan suka.

Tiga isu ini akan menjadi tiga isu kunci yang menentukan kemenangan Jokowi dalam pilpres nanti. Jokowi akan makin kuat dan perkasa jika tiga isu ini dikelola dengan baik. Dan sebaliknya Jokowi akan melemah jika tiga isu ini terabaikan. Apalagi jika tiga isu itu digoreng, bulak balik, oleh lawan politik.

-000-

ISU KEDUA: Siapakah penantang terkuat Jokowi? Siapakah yang bisa mengalahkannya? Mereka yang bisa mengalahkan pertahana acapkali bukan karena semata daya tarik pertahana itu. Tapi dalam jumlah yang signifikan, ia dapatkan “bola muntah,” atau “umpan lambung,” segmen pemilih yang tak suka pertahana.

        LSI Denny JA membagi penantang ke dalam 3  divisi. Pembaginya berdasarkan tingkat popularitas  (tingkat pengenalan) masing-masing capres penantang Jokowi. Popularitas penting karena sebagai modal awal para tokoh untuk bertarung.

Divisi 1 untuk tokoh/capres yang popularitasnya diatas 90 %. Dari nama-nama yang akan bertarung hanya Prabowo Subianto yang masuk ke dalam Divisi 1. Popularitas Prabowo diangka 92.5 %.

Ternyata penantang divisi  satu penghuninya hanya satu tokoh saja: Prabowo Subianto. Divisi satu  sungguh tempat yang sepi dan sunyi.

Divisi 2  untuk tokoh/capres yang popularitasnya diantara 70-90 %. Tokoh yang masuk ke dalam divisi 2 ini hanya Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Popularitas Anies Baswedan sebesar 76.7 %. Dan Popularitas AHY sebesar 71.2 %.

Hiruk pikuk pilkada DKI menjadi panggung nasional bagi dua tokoh ini.

Divisi 3 untuk tokoh/capres yang popularitasnya di antara 55-70%. Tokoh yang memenuhi kriteria ini hanyalah Gatot Nurmantyo. Popularitas Gatot sebesar 56.5 %.

Sayangnya sejak pensiun, kiprah Gatot memudar. Padahal ibarat pentas, penonton masih rindu dan bertepuk tangan menanti atraksinya.

LSI Denny JA memprediksi 4 nama ini yang kemungkinan besar menjadi penantang Jokowi di Pilpres 2019 nanti.

-000-

        ISU KETIGA: bagaimana dengan wakil presiden?

Ada 5 (lima) jenis bursa wapres di Pilpres 2019 nanti. Kelima jenis itu berasal dari panggung berbeda.

Ada wapres berlatar belakang militer. Hadir pula wapres berlatar belakang Islam. Tak tinggal wapres berlatar belakang partai politik. Ikut menyemarakkan wapres berlatar belakang gubernur provinsi strategis. Jangan lupa pula wapres berlatar belakang profesional.

Untuk wapres berlatar belakang militer, tiga nama ini paling menonjol. Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan popularitas sebesar 71.2 %. Gatot Nurmantyo dengan popularitas sebesar 56.5 %. Moeldoko dengan popularitas 18.0%.

Meskipun popularitas Moeldoko masih rendah, namun masuknya Moeldoko dalam kabinet Jokowi membuka peluang memainkan langkah gambit.

Dari bursa cawapres berlatar belakang Islam, ada 2 nama yang berpeluang dibanding tokoh yang lain. Kedua nama tersebut Muhaimin Iskandar (Cak Imin) popularitasnya sebesar 32.4 %. Cak Imin sudah pula mulai aktif melakukan sosialisasi sebagai cawapres.

Dan satu lagi, TGH M. Zainul Majdi (TGB), yang popularitasnya sebesar 13.9 %. Sungguhpun tingkat pengenalan Zainul Majdi masih rendah, namun tingkat kesukaan publik yang mengenalnya sangat tinggi, di atas 70 persen.

Jika saja cukup waktu bagi Zainul Majdi memperkenalkan diri, ia bisa menjelma darah Baru. Bagi yang mengenal, Zainul dipersepsikan sebagai gubernur muslim yang taat dan berhasil membangun daerahnya di NTB.

Dari bursa cawapres dari latar belakang partai politik, ada 2 (dua) nama yang muncul. Airlangga Hartarto, sebagai Ketua Umum partai Golkar dan Budi Gunawan. Budi Gunawan saat ini menjabat sebagai Kepala BIN. Sejarah membawanya melambung dengan simbol PDIP.

Sementara Airlangga Hartarto juga datang tak terduga. Sejarah pula yang membawanya menjadi ketum Golkar dalam “injury time,” dan momen menentukan.

Cawapres berlatar belakang partai hanya dimasukan PDIP dan Golkar, karena kedua partai ini punya kekuatan bargaining lebih besar di banding partai lain.

Dari bursa cawapres yang berasal dari provinsi strategis yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, hanya Anies Baswedan yang sementara ini muncul. Ketiga provinsi besar lain baru akan melakukan pemilihan kepala daerah Juni 2018 nanti.

Keempat daerah ini disebut strategis karena populasi pemilih  besar. Keempat daerah ini juga punya daya tarik media.

Selesai pilkada 2018 nanti, gubernur baru yang terpilih di Jabar, Jateng dan Jatim potensial pula menjadi kandidat wapres yang seksi.

Bagaimana dengan panggung cawapres dari kalangan profesional? Tersedia 4 nama di sana. Ada 2 nama berasal dari kabinet kerja Jokowi: Susi Pudjiastuti dan Sri Mulyani.

Hadir pula dua nama di luar kabinet. Mereka tokoh pungusaha mewakili wilayah barat dan timur. Chairul Tanjung pengusaha sukses pemilik CT Corp. Aksa Mahmud, pengusaha sukses berasal dari Sulawesi Selatan, pemilik Bosowa Corp. Aksa Mahmud juga adalah iparnya Jusuf Kalla.

-000-

ISU KEEMPAT, jangan lupakan kabinet.  Kurang lebih dua tahun menjelang berakhirnya Kabinet Kerja, kepuasaan terhadap kinerja kabinet cukup memuaskan.

Mereka yang puas (sangat puas dan cukup puas) terhadap kinerja kabinet sebesar 55.25 %.  Sedangkan mereka yang menyatakan kurang puas sebesar 25.66 % terhadap kinerja kabinet.

Survei juga menanyakan tentang kepuasaan publik terhadap kinerja masing-masing kementrian. Evaluasi publik terhadap kinerja masing-masing kementrian tentunya berbeda dengan evaluasi riil dan objektif yang dilakukan oleh lembaga yang kompeten.

Karena evaluasi publik terhadap kementrian lebih banyak dipengaruhi oleh opini dan informasi terkait program atau personal menterinya di media. Dari evaluasi tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti dan Sri Mulyani, Menteri Keuangan memperoleh peringkat tertinggi.

Sebesar 25.3 % menyatakan kinerja Susi Pudjiastuti paling memuaskan. Sebesar 20.5 % menyatakan kinerja Sri Mulyani paling memuaskan.

Di posisi ketiga, meskipun agak jauh dari dua nama sebelumnya, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto yang dinilai memuaskan, yaitu sebesar 11.5 %.

Kepuasan publik terhadap Airlangga terbantu dengan public expose sebagai ketua Umum Golkar.

Kementerian yang lain rata-rata kepuasaan bervariasi namun dibawah 10 %, jika ditotal dan digabung sebesar 22.5 %.

Yang populer di mata publik tentu belum tentu yang paling berprestasi jika diukur dengan KPI (Key Performance Index). Namun setidaknya tiga menteri itu berhasil dari sisi PR (Public Relations) pada opini publik.

-000-

ISU KELIMA: apa yang terjadi jika pilpres 2019 rematch pilpres 2014? Kembali Jokowi dan Prabowo berhadapan. Apa yang terjadi jika pilpres 2019 tarung ulang? The rematch of two big “titans?”

Jika ini terjadi, yang pasti Partai Gerindra akan sangat diuntungkan. Ini pertama kali pemilu nasional serentak. Dalam satu TPS dan satu momen, pemilih mencoblos capres dan partai dalam pemilu legislatif.

Besar kemungkinan mereka mencoblos capres (untuk pilpres) sejalan dengan mencoblos partai utama sang capres (untuk pileg).

Hadir menjadi kandidat terkuat penantang Jokowi, Prabowo otomatis melambungkan Partai Gerinda. Itu akan menjadi marketing strategis bagi Gerindra sendiri.

Tapi akankah pemerintahan baru kembali lambung  dan linglung di masa paska pilpres 2019, sebagaimana paska pilpres 2014?

Perlu  dipertimbangkan dalam pilpres 2019, satu inovasi yang disebut Coopetiton. Istilah ini mengacu pada competition dan cooperation: berkompetisi kemudian bekerja sama.

Agar terbentuk pemerintahan yang kuat, capres yang bertarung dalam pemilu dapat bekerjasama setelah selesai pemilu.

Dua capres utama bisa membentuk pemerintahan bersama. Yang menang mengajak yang kalah dalam pemerintahan baru. Ini akan mengurangi ketegangan pemerintahan baru seperti yang terjadi di tahun 2014.

Tapi apa iya akan terjadi Rematch of the Big Titans? Survei LSI Denny JA akan hadir berkala menjawabnya. Terus menganalisis hingga datang subuh menjelang pilpres 2019.***

Feb 2018


Link:  https://t.co/OdoZf1fdRv

Home  Berita
BeritaNasional
Survei Median: Suara Jokowi terus melorot menjadi 35 persen
By Administrator - 2018-02-22,21:24152
 

Survei suara Jokowi. ©2018 Merdeka.com/Intan Umbari Prihatin


Hasil survei Media Survei Nasional (Median) menunjukkan suara Joko Widodo mengalami penurunan untuk maju dalam laga Pilpres 2019. Hal tersebut menurut Direktur eksekutif Median, Rico Marbun suara Jokowi mengalami penurunan dari 36,9% di April 2017, 36,2% di Oktober 2017, dan terakhir merosot menjadi 35% di Februari 2018.

“Karena suara Pak Jokowi secara konsisten mengalami penurunan dari bulan ke bulan. Sehingga secara konsisten mengalami lampu kuning dan secara konsisten menurun,” kata Rico dalam acara rilis survei Nasional ‘lampu kuning untuk Jokowi dan pergerakan suara para penantang’ di Bumbu Desa, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (22/2).

Kemudian, dia juga mengatakan, terdapat 65% yang belum mau memilih Jokowi. Dan terdapat 35 persen yang memilih Jokowi. “21% memilih Prabowo dan 16,1% tidak memilih siapapun,” tambah Rico.



Hal tersebut, menurut Rico, ada beberapa faktor lantaran suara Jokowi terus merosot. Yaitu masalah kesenjangan ekonomi di Indonesia terdapat 15,6%. Kemudian harga kebutuhan pokok yang terus meningkat terdapat 13,1%, masalahkorupsi 10,1%, tarif listrik yang tinggi 9,7%. Hal tersebut kata Rico yang jadi alasan suara Jokowi terus merosot.

“Hal inilah yang jadi PR Jokowi yang menyebabkan suara Jokowi terus menurun,” kata Rico.

Tidak hanya suara Jokowi yang mengalami penurunan. Suara pesaingnya yaitu Prabowo Subianto juga terus menurun yaitu sekitar 21,2%. Rico juga mengatakan jika suara mereka berdua terus merosot hal tersebut bisa jadi menjadi lampu merah untuk mereka.

“Jika suara mereka terus menurun akan menjadi lampu merah untuk mereka berdua,” kata Rico.

Diketahui Survei ini dilakukan dalam rentang waktu 1-9 Februari 2018, terhadap 1.000 responden yang telah memiliki hak pilih. Survei menggunakan metode multistage random sampling, dengan margin of error 3,1 persen, dan tingkat kepercayaan 95 persen


Kamis 15 Februari 2018, 17:18 WIB
Survei Indo Barometer: Jokowi 32,7%, Prabowo 19,1%, Ahok 2,9%
Tsarina Maharani - detikNews

Ilustrasi rilis survei Indo Barometer. (Grandyos Zafna/detikcom)
Jakarta - Indo Barometer merilis survei Dinamika Pilpres 2019. Hasil survei itu menempatkan Presiden Joko Widodo sebagai calon presiden dengan elektabilitas tertinggi.

Dalam simulasi 2 nama Jokowi vs Prabowo, Jokowi unggul dengan angka 48,8 persen. Sedangkan Prabowo berada di angka 22,3 persen.

Sebanyak 17,2 persen responden belum memutuskan, 6,0 persen masih merahasiakan, 1,2 persen tidak akan memilih, dan 4,5 persen tidak menjawab.

"Simulasi ini mungkin akan ada rematch, Jokowi versus Prabowo jilid dua," kata Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari di Hotel Atlet Century Park, Senayan, Jakarta, Kamis (15/2/2018).

Baca juga: Bursa Cawapres 2019, Tokoh Berbasis Keumatan Lebih Diuntungkan

Di samping itu, Indo Barometer melakukan survei konstelasi umum capres 2019. Selain nama Prabowo, ada sejumlah nama yang disebut-sebut berpotensi maju sebagai capres.

Di antaranya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Gatot Nurmantyo, Anies Baswedan, dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Nama-nama itu muncul berdasarkan pertanyaan terbuka seandainya pilpres diselenggarakan hari ini.

Berikut ini hasil survei Indo Barometer tentang pilihan calon presiden:
1. Joko Widodo 32,7%
2. Prabowo Subianto 19,1%
3. Basuki Tjahaja Purnama 2,9%
4. Gatot Nurmantyo 2,7%
5. Anies Baswedan 2,5%
6. Agus Harimurti Yudhoyono 2,5%
7. Jusuf Kalla 2,1%
8. Ridwan Kamil 1,5%
9. Sohibul Iman 1,0%
10. Hary Tanoesoedibjo 0,8%
11. Tito Karnavian 0,7%
12. Susilo Bambang Yudhoyono 0,7%
13. Ganjar Pranowi 0,5%
14. Wiranto 0,3%
15. Deddy Mizwar 0,2%
16. Mahfud MD 0,2%
17. Khofifah Indar Parawansa 0,2%
18. Megawati Soekarnoputri 0,2%
19. Belum ada calon 2,0%
20. Belum memutuskan 15,3%
21. Rahasia 5,4%
22. Tidak jawab 6,5%

Survei dilaksanakan pada 23-30 Januari 2018 di 34 provinsi. Jumlah sampel sebanyak 1.200 responden dengan margin of error sebesar 2,83 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Metode penarikan sampel adalah multistage random sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara tatap muka responden menggunakan kuesioner.

Potensi Kuda Hitam

Indo Barometer juga membuat tiga skenario pilpres mendatang. Dari skenario yang ada, Anies disebut paling berpeluang jadi capres alternatif.

"Potensi kuda hitam ada di Anies," kata Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari di Hotel Atlet Century Park, Senayan, Jakarta, Kamis (15/2).

Baca juga: Survei Pilpres LSI Denny JA: Jokowi Kuat tapi Belum Aman

Dalam skenario 3 nama calon presiden, nama Anies unggul dibanding calon penantang Jokowi dan Prabowo lainnya. Dalam simulasi Jokowi-Prabowo-Anies, Anies mendapatkan persentase 2,4 persen.

Sementara itu, nama-nama lainnya yang muncul dalam simulasi 3 nama adalah sebagai berikut:
1. Jokowi-Prabowo-Agus Harimurti Yudhoyono; dengan persentase AHY sebesar 0,8 persen
2. Jokowi-Prabowo-Gatot Nurmantyo; dengan persentase Gatot sebesar 1,8 persen
3. Jokowi-Prabowo-Budi Gunawan; dengan persentase BG sebesar 0,3 persen
4. Jokowi-Prabowo-Jusuf Kalla; dengan persentase JK sebesar 0,1 persen

Menurut Qodari, salah satu faktor yang menyebabkan Anies mengungguli nama lainnya adalah saat ini ia memegang jabatan strategis di ibu kota negara. Segala kebijakan Anies di DKI Jakarta selalu mendapat sorotan.

"Karena sekarang dia megang jabatan strategis. Kemudian, media massanya banyak. PR-nya banyak. Jadi kalau Anies buat kebijakan, kemungkinan besar jadi sorotan," tuturnya. (tsa/tor)


Saat Survei Prabowo Meroket Seketika
“Ini lembaga survei (INES) setiap 6 bulan ganti pengurus. Terus mulai lagi dari awal. Ini bukan lembaga yang kredibel.”

Ilustrasi: Edi Wahyono

Sabtu, 19 Mei 2018
“Heboh, ya, hasil survei kita?” begitu kalimat pertama yang muncul dari mulut Direktur Indonesia Network Election Survey (INES) Oskar Vitriano saat bertemu dengan detikX di Cafe Hema, Menteng Huis, Jakarta, 8 Mei lalu.

Oskar meminta sesi wawancara dilakukan di luar kantor, karena markas mereka sebelumnya, yang beralamat di gedung Arva, Jalan Cikini Raya No 60, Jakarta Pusat, sudah habis masa kontraknya dan saat ini masih proses pencarian kantor baru.

Di awal perbincangan, Oskar mengaku tidak menyangka hasil surveinya membuat geger. “Selain tentang pilpres, kami kan banyak melakukan survei di daerah-daerah juga. Tapi baru kemarin yang heboh,” ucap Oskar.

Survei INES yang dirilis pada Minggu, 6 Mei lalu, di Mess Aceh Amazing Hotel, Jakarta, memang mengejutkan. Betapa tidak. Sejumlah lembaga survei menempatkan elektabilitas Presiden Joko Widodo di posisi teratas sebagai calon presiden 2019 di atas nama capres yang mengemuka, termasuk Prabowo Subianto, kompetitor utama Jokowi.

Namun, dalam survei INES, justru elektabilitas Prabowo jauh melampaui Jokowi, capres yang didukung sejumlah parpol, seperti PDI Perjuangan, Golkar, NasDem, PPP, dan Hanura.

Top of mind dengan pertanyaan 'jika pemilu dilakukan hari ini, siapa presiden yang akan dipilih?' menempatkan Prabowo unggul dengan angka 50,20 persen, Jokowi 27,70 persen, Gatot Nurmantyo 7,40 persen, dan tokoh lain 14,70 persen