Rabu, 15 April 2015

PEMAKZULAN AHOK, SOLUSI UNTUK HUBUNGAN KONFLIK GUBERNUR DAN DPRD DKI JAKARTA

I.PENGANTAR: Salah satu issue politik di DKI Jakarta belakang ini adalah konflik terbuka antara Gubernur Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) dan DPRD DKI Jakarta. Konflik ini telah memasuki tahap penggunaan Hak Angket oleh DPRD dan para anggota DPRD mendengungkan upaya “pemakzulan” Ahok. Setelah bekerja lebih sebulan, Tim Angket DPRD akhirnya berhasil menarik kesimpulan bahwa Ahok telah melanggar peraturan perundang-undangan dan juga melanggar etika dan norma. Dalam tahap memasuki penggunaan Hak Angket dan upaya pemakzulan Ahok, FORDI (Forum Dinamika Indonesia dan IESPH (Institut Ekonomi-Politik Sokarno Hatta) di Jakarta , Rabu 15 April 2015, menyelenggarakan diskusi publik bertema “ Menyoal Tindak Lanjut Hak Angket DPRD DKI terhadap Gubernur Ahok”. Maksud dan Tujuan diskusi publik ini adalah: 1. Mensosialisasikan penggunakan Hak Angket DPRD DKI Jakarta dan sekaligus kesimpulan yang ditarik dari penggunaan Hak Angket. 2. Mengidentifikasi persepsi dan sikap masyarakat madani DKI Jakarta tentang penggunakan Hak Angket dan tindak lanjutnya. 3. Meningkatkan peranserta masyarakat madani DKI Jakarta dalam proses penyelesaian konflik politik Gubernur Ahok dan DPRD. 4. Merumuskan masukan atau saran hasil diskusi publik dan akan disampaikan kepada fihak-fihak yang terlibat dalam penyelesaian konflik politik Ahok dan DPRD DKI Jakarta. Tema ini memberi ruang luas bagi para Narasumber untuk mendekati dan memberi pemikiran dan penilaian. Melalui Makalah ini Kami sebagai Narasumber mencoba mendekati tema dari perspektif kelembagaan dalam penyelenggaraan pemerintahan DKI Jakarta, terutama hubungan Gubernur Ahok dan DPRD dan pentingnya hubungan harmonis dan sinerji antara kedua institusi tersebut. Asumsi dasar makalah ini adalah telah terjadi “hubungan konflik “ antara Gubernur Ahok dan DPRD dalam penyelenggaraan pemerintahan DKI Jakarta. Hubungan Ahok dan DPRD dimaksud tidak harmonis dan tidak sinerjik. Solusi paling utama adalah adalah pemakzulan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dalam perjalanan waktu,setelah acara diskusi publik ini, hubungan konflik DPRD dan Ahok terus Kami amati dan selalu akan dimasukkan ke dalam tulisan ini, seperti data dan fakta penilaian DPRD terhadap kinerja Ahok saat paripurna tanggapan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur DKI Jakarta, 23 April 2015. II. KEDUDUKAN GUBERNUR DAN DPRD: Mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, dan prinsip Negara kesatuan. Gubernur dan DPRD sebagai perwakilan rakyat seharusnya dapat terbangun dalam pelaksana tugas dan wewenang masing-masing dengan dasar kemitraan untuk menjamin penyelenggaraan urusan pemerintahan efektif dan demokratis. Dalam kedudukan memimpin pemerintahan daerah, Gubernur mempunyai tugas dan wewenang dan berhubungan dengan DPRD, juga sebagai penyelenggaraan pemerintahan daerah, yakni: a. Memimpin penyelengaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan ditetapkan bersama DPRD. b. Mengajukan rancangan Perda. c. Menetapkan Perda telah mendapat persetujuan DPRD. d. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD untuk dibahas bersama DPRD. Susunan fungsi dan wewenang Gubernur mewajiban Gubernur untuk bekerjasama dengan DPRD, baik karena penyelenggaraan pemerintahan daerah harus didasarkan pada kebijakan yang ditetapkan bersama, maupun karena implementasi kebijakan tersebut berkonsultasi dengan DPRD. Di lain fihak, DPRD mempunyai kedudukan sebagai wakil rakyat dan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Kedudukan ini acapkali menjadi dilematis karena keharusan bagi DPRD untuk menyelaraskan kepentingan rakyat diwakili dengan kebijakan Gubernur, karena dapat terjadi kebijakan Gubernur tidak selalu sejajar dengan kehendak rakyat. Tugas dan wewenang DPRD berhubungan dengan Gubernur antara lain: a. Membentuk Perda dibahas dengan Gubernur untuk mendapatkan persetujuan bersama. b. Membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD besama dengan Gubernur. c. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, Peraturan Gubernur, APBD, kebijakan Gubernur dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah. d. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Gubernur terhadap rencana perjanjian internasional di daerah. e. Memberikan persetujuan terhadap kerjasama internasional dilakukan Gubernur. III. HUBUNGAN HARMONIS DAN SINERJIK: Hubungan Gubernur dan DPRD harus harmonis dan sinerjik. Sebagai unsur pemerintahan daerah, Gubernur dan DPRD adalah institusi bekerja atas dasar kemitraan dan bukan subordinasi. Meskipun pada tahap implementasi kebijakan, Gubernur dan DPRD menjalan peran berbeda, Gubernur melaksanakan (execution) kebijakan daerah telah ditetapkan bersama DPRD, dan DPRD melaksanakan pengawasan (control) atas pelaksanaan kebijakan daerah, seharusnya dipahami bahwa efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi tanggungjawab bersama Gubernur dan DPRD. Tujuan utama kebijakan desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dari dimensi politik sebagai proses demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan, dan dari dimensi teknis untuk tujuan kesejahteraan. Dimensi politik memposisikan pemerintahan daerah sebagai medium pendidikan atau pembelajaran politik bagi masyarakat lokal karena proses dan implementasi dari Gubernur dan DPRD akan membentuk pengetahuan, nilai-nilai dan sikap-sikap politik warga masyarakat daerah. Dimensi kesejahteraan memposisikan Gubernur dan DPRD sebagai unit pemerintah pada tingkat lokal berfungsi menyediakan pelayanan publik berkualitas, efektif, efisien dan ekonomis agar masyarakat dapat terbangun secara baik dan memberi peluang bagi pemberdayaan masyarakat. Pada dimensi demokratisasi dan kesejahteraan, ada kebutuhan untuk membangun hubungan kemitraan harmonis dan sinerjik terbangun atas kesadaran bersama bahwa pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah tanggungjawab bersama. IV. BENTUK HUBUNGAN GUBERNUR DAN DPRD: Beragam bentuk hubungan Gubernur dan DPRD, namun di dalam Makalah ini dicoba menyajikan tiga bentuk hubungan, yakni hubungan positif, hubungan negatif dan hubungan konflik. Pertama, Hubungan Positif, yakni Gubernur dan DPRD memiliki visi yang sama dan komitmen kuat menjalankan pemerintahan daerah untuk kesejahteraan masyarakat daerah dan untuk menciptakan pemerintahan yang baik (good governance) dengan berusaha mendorong pemerintahan yang transparan, akuntabel, efisien dan bertanggungjawab. Kedua, Hubungan Negatif, yakni Gubernur dan DPRD berkolaborasi dengan kecenderungan menyimpang (KKN). Praktek semacam ini terjadi jika kedua pihak secara bersama-sama menyembunyikan kepentingan mereka atas nama kepentingan publik, dan secara bersama-sama melakukan penyimpangan (a buse of power). Ketiga, Hubungan Konflik, yakni GubeRnur dan DPRD cenderung memiliki visi berbeda atau saling bertentangan. Interaksi cenderung konflik, terutama jika kepentingan-kepentingan kedua pihak berbeda dan tidak disatukan oleh nilai-nilai mengutamakan kepentingan masyarakat. Hubungan konflik berwujud pertentangan akan mengakibatkan munculnya tindakan-tindakan tidak produktif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pencapaian tugas-tugas daerah. Pembahasan rancangan Perda, misalnya, menjadi terbengkalai karena salah satu pihak tidak mau membahas karena pertentangan terjadi. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan Gubernur dan DPRD bekerja atas dasar komitmen dalam hubungan setara, tidak subordinasi satu dengan lain. Dalam menyusun dan merumuskan kebijakan daerah kedua institusi bekerja atas dasar semangat kemitraan. Agar hubungan Gubernur dan DPRD harmonis dan sinerjik, maka hubungan dimaksud harus berdasarkan prinsip check and balance; Negara hukum; kesetaraan; dan kemitraan. Prinsip chek and balance harus ditegakkan sebagai suatu kebutuhan dalam menciptakan pemerintahan efektif, efisien, transparan, partisipatif dan akuntabel. Cakupan tugas dan wewenang DPRD cukup luas dan beragam mengharuskan terbangunannya hubungan harmonis dan tetap pada prinsip “chek and balance”. Prinsip Negara hukum harus ditegakkan, dan kedudukan, hak, dan kewajiban Gubernur dan DPRD harus secara jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan dan masing-masing pihak harus bertindak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berlaku. Prinsip kesetaraan harus ditegakkan dan menempatkan kedua institusi memiliki kedudukan setara. Gubernur dan DPRD tidak dapat saling menjatuhkan satu sama lain. Prinsip kemitraan harus ditegakkan dan kedua institusi harus dapat bekerjasama dan bermitra dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, dan membangun pemerintahan daerah yang efektif. Susunan fungsi dan wewenang Gubernur mewajibkan Gubernur dengan bekerjasama dengan DPRD, baik karena penyelenggaraan pemerintahan daerah harus didasarkan pada kebijakan ditetapkan beRsama, maupun karena implementasi kebijakan tersebut berkonsultasi dengan DPRD. Realitas obyektif menunjukkan bahwa hubungan Gubernur dan DPRD ditandai dengan tidak ditegakkannya prinsip-prinsip diatas. Masing-masing pihak sering mengembangkan penapsiran tentang peraturan perundang-undangan sesuai kepentingan sendiri, sehingga ketegangan dan konflik antara Gubernur dan DPRD kerap terjadi. Arena sering menjadi sumber konflik antara lain penyusunan Perda, pembuatan APBD dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam penyusunan Perda dan penyusunan APBD, masalah muncul ketika salah satu pihak tidak bersedia membahas usulan pihak lain. Anggota DPRD sering menjadikan APBD sebagai arena Untuk memperjuangkan kepentingan pengusaha klien untuk memperoleh kontrak proyek dari pemerintah daerah. Akibatnya, daerah mengalami keterlambatan dalam pengesahan APBD sehingga menganggu kelancaran penyelenggaraan pemerintahan daerah. Beberapa daerah bahkan gagal mengesahkan APBD sehingga terpaksa menggunakan APBD tahun sebelumnya, seperti kasus penyusunan APBD 2015 DKI. Dalam bidang pengawasan, ketegangan dan konflik antara Gubernur dan DPRD acap kali terjadi karena perbedaan pemahaman antara anggota DPRD dengan pengelola SKPD (Satuan kerja Pemerintah Daerah) dalam mencermati indikator kinerja keberhasilan program dan proyek pembangunan di daerah. Rendahnya kualitas perencanaan program dan proyek membuat proses pengawasan program dan proyek menjadi semakin sulit, sebab indikator kinerja dan pencapaian kemajuan program dan proyek tidak didefinisikan dengan jelas. Akibatnya, sering terjadi perbedaan pendapat dan penilaian antara Gubernur dan DPRD dalam menilai kinerja program dan proyek di daerah. V. HUBUNGAN KONFLIK GUBERNUR DAN DPRD DKI JAKARTA: Hubungan Ahok dan DPRD belakangan ini menunjukkan konflik, tidak harmonis dan tidak sinerjik. Gubernur dan DPRD cenderung memiliki visi berbeda atau saling bertentangan. Arena menjadi sumber konflik adalah penyusunan APBD Tahun 2015. Hubungan konflik bermula pada 27 januari 2015, Rancangan APBD disahkan dalam sidang paripurna DPRD dengan nilai Rp. 73,08 triliun. Pada 2 Februari 2015, Pemerintah DKI Jakarta mengirimkan dokumen RAPBD 2015 kepada Kemendagri. Pada 7 Februari 2015 Kemendagri mengembalikan RAPBD tersebut dengan alasan rincian anggaran kurang lengkap karena tidak ada tanda tangan dari Ketua Badan Anggaran DPRD. Pada 9 Februari 2015 DPRD mengirim dokumen RAPBD 2015 ke Kemendagri. Menurut DPRD, RAPBD ini hasil pembahasan bersama Pemerintah DKI. Lalu, 26 Februari DPRD menggunakan hak angket dalam sidang paripurna. Sembilan fraksi mendukung penggunaan hak angket, yakni PDIP,PPP, Gerindra, PKS, PAN-Demokrat, Golkar, NasDem, Hanura dan PKB. Namun, setelah Ahok 28 Februari 2015 mengadukan kasus RAPBD ke KPK (Komisi Pemberanatasan Korupsi), PKB dan NasDem mencabut dukungan atas hak angket tersebut (2 Maret 2015). Dalam situasi hubungan konflik ini, Ahok acapkali mengeluarkan kata-kata kotor dan kasar ke publik. Sebagai Gubernur kata-kata dimaksud mendapat kritik dan kecaman dari berbagai fihak baik atas nama kelompok maupun pribadi seperti KPAI (Komisi Perlindungan Anak indonesia; BKMT (Badan Kontak Majelis Taklim); KPI (Komisi Penyiaran indonesia) dan Anggota DPR-RI dari Dapil DKI Jakarta, Tontowi Yahya. KPAI menilai, Ahok menyampaikan kata-kata kotor dan kasar sangat buruk dan tidak pantas disampaikan pejabat publik. KPAI meminta Mendagri sebagai penanggungjawab teknis aparatur daerah melakukan proses penegakan hukum dan etika kepada Ahok. Selanjutnya, BKMT menilai, sikap dan perkataan kasar Ahok bisa menyebarkan pengaruh negatif kepada masyarakat. Omongan pemimpin sekarang direkam oleh media, akhirnya setiap perkataan keluar mempengaruhi masayarakat. Sementara itu, seorang komisioner KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) mengecam seringnya Ahok melontarkan kata-kata kasar saat tampil di acara siaran langsung sebuah stasiun televisi nasional. Seharusnya pejabat publik tidak berbicara kata-kata kotor dan kasar di televisi yang menggunakan frekuensi milik publik. Televisi disaksikan oleh sejumlah masyarakat dari berbagai latar belakang, juga disaksikan anak-anak dan remaja. Ini bisa menjadi contoh. Sebagai seorang pejabat, seharusnya Ahok menjaga perilaku dan tutur kata agar menjadi tauladan bagi masyarakat. Akhirnya, Tontowi Yahya menilai, Ahok melanggar etika sopan santun warga indonesia yang ketimuran dan dikenal beretika. “Jangan salahkan anak-anak kita ngomong ke orang tua ‘lu bajingan’, ‘dasar maling lu’, “ ujar Tontowi. Setelah bekerja lebih satu bulan Tim Agket DPRD menyerahkan laporan hasil penyelidikan terhadap masalah RAPBD DKI 2015 dan etika norma pemerintahan daerah dalam rapat paripurna DPRD (6 April 2015). DPRD berkesimpulan bahwa Ahok telah melakukan 4 pelanggaran selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, yaitu: 1. Gubernur DKI Jakarta telah melakukan pelanggaran terhadap UU sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 tahun 2013 Pasal 34 ayat 1, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Pemerintah Tahun 2008. a. Sekretaris Daerah atas nama Gubernur telah nyata dan sengaja mengirimkan outline rancangan anggaran 2015 kepada Kemendagri yang bukan hasil persetujuan dan pembahasan bersama. b. Gubernur Provinsi DKI Jakarta mengabaikan kewenangan fungsi DPRD, dalam rangka fungsi anggaran berupa pengajuan usulan dalam rancangan APBD, sebagaimana diatur dalam pasal 20 ayat 3 dan 5 UU Nomor 11 Tahun 2003. c. Gubernur Provinsi DKI Jakarta melanggar UU dan peraturan terkaitnya yang berlaku dalam pembahasan dan pengesahan APBD. 2. Gubernur DKI Jakarta telah melakukan pelanggaran UU di dalam penyelenggaraan system informasi keuangan Negara, yang dianalisiskan dalam tingkat daerah dalam bentuk e-Budgeting. 3. Gubernur DKI Jakarta telah melanggar etika dan norma, dalam melaksanakan kebijakan, dalam melakukan tindakan menyebarkan fitnah terhadap institusi dan anggota DPRD dengan menyatakan bahwa “DPRD sama seperti dewan perampok daerah”. Tindakan tersebut merupakan penistaan, penghinaan terhadap lembaga institusi Negara yang akan menganggu pola kerja pemerintah daerah. Selain itu beberapa ucapan kata-kata yang terlontar dari Gubernur seperti “bajingan, brengsek, lo piker pake otak, gebrak meja dan marah-marah gebrak mobil”, dari akun youtube dan media online. 4. Gubernur DKI Jakarta telah melakukan pelanggaran terhadap UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 67, bahwa kewajiban Kepada Daerah dan Wakil untuk mentaati ketentuan dalam UU. Atas dasar penyelidikan di atas, maka Panitia Angket mengusulkan kepada DPRD, untuk menindaklanjuti pelanggaran yang telah dilakukan oleh Ahok. Perkembangan hubungan konflik selanjutnya, menurut Wakil Ketua DPRD, Mohammad Taufik, satu hari setelah pelaksanaan paripurna DPRD tentang Hak Angket, sebanyak 33 anggota DPRD dari Fraksi Gerindra, Golkar, PPP dan PKS menandatangani persetujuan dilakukannya “Hak Menyatakan Pendapat”. Data terakhir, menurut suatu sumber anggota DPRD lain, sudah tandatangan lebih 40 orang. Hak Menyatakan Pendapat ini sebagai tindak lanjut hasil penyelidikan Panitia Angket memaknakan Ahok telah melakukan tindakan melawan hukum. Menurut sumber DPRD, hasil Hak Menyatakan Pendapat memungkinkan untuk pemakzulan Ahok. Jika disetujui, usul penggunaan Hak Menyatakan Pendapat akan dibahas dalam rapat paripurna DPRD. Hak tersebut bisa digolkan jika mendapat dukungan dari 2/3 anggota DPRD hadir saat rapat paripurna DPRD berlangsung. Mekanisme adalah Panitia Hak Menyatakan Pendapat sudah bulat, maka langsung sidAng paripurna DPRD dan kalau sudah bersalah, langsung disampaikan kepada Mahkamah Agung. Dasar hukum “Hak Menyatakan Pendapat” adalah UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD,dan DPRD, pasal 336 berbunyi: Hak menyatakan pendapat diusulkan oleh: a. Paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPRD Provinsi dan lebh dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD Provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) orang; b. Paling sedikit 20 (dua puluh) orang anggota DPRD provinsi dan lebh dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan di atas 75 (tujuh puluh lima) orang. Hubungan konflik Ahok dan DPRD tentu menimbulkan implikasi negatif terhadap masyarakat DKI sebagai penyumbang terbesar terhadap APBD DKI melalui pendapatan asli daerah sebesar Rp. 45,32 triliyun. Implikasi negatif dimaksud sebagai berikut: Pertama, hubungan konflik ini menyebabkan terhambatnya penggunaan anggaran pendidikan dan kesehatan yang pada gilirannya meganggu pelayanan publik. Terganggunya pelayanan publik bisa menimbulkan konflik dan masalah antara masyarakat dan birokrasi. Kedua, proyek nasional di DKI terancam tertunda-tunda waktu pelaksanaan karena APBD DKI belum disahkan. Ketiga, kinerja Pemerintah DKI tidak maksimal dan penyerapan anggaran akan semakin rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini juga membawa pengaruh negatif pada pelayanan publik. Keempat, membawa pengaruh negatif pada perkembangan pendidikan, terutama dunia pendidikan anak-anak. Intinya, hubungan konflik ini tidak memberikan implikasi positif terhadap anak-anak. Pendidikan politik harus mengedepankan persatuan, namun sebaliknya dipertontonkan nilai-nilai perpecahan dan pertengkaran. VI.KINERJA AHOK SANGAT BURUK: Hubungan konflik DPRD dan Ahok setelah penggunaan hak angket, diikuti dengan penilaian DPRD terhadap kinerja Ahok saat paripurna tanggapan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur DKI Jakarta , Ahok, 23 April 2014. DPRD menilai kinerja Gubernur dan aparatnya pada 2014 sangat buruk. Paripurna menghasilkan 10 penilaian dan lima rekomendasi untuk Ahok. Penilaian DPRD ini merupakan “rapor merah” bagi Ahok. Berikut Hasil pembahasan DPRD atas LKPJ anggaran daerah DKI tahun 2014. 1. Pendapatan tercapai hanya 66,8 persen atau Rp43,4 triliun lebih kecil dari rencana Rp65 triliun. 2. Realisasi belanja 59,32 persen adalah belanja terendah Jakarta, jika belanja terealisasi 100 persen maka terdapat defisit anggaran Rp 20 triliun. 3. Di sektor pembiayaan, realisasi PMP hanya 43,62 persen yang terdiri dari kegagalan realisasi PMP pada PT KBN, PT Pam Jaya, dan PT Food Station. 4. Kenaikan NJOP yang semena-mena tanpa perhitungan matang terbukti memberatkan beban rakyat, diharapkan dike‎mbalikan seperti tahun 2013 5. Kenaikan angka kemiskinan dari 371 ribu pada tahun 2013 menjadi 412 ribu pada tahun 2014 menujukan kegagalan Pemda Jakarta dalam mensejahterakan masyarakat. 6. Pemberian izin reklamasi oleh Gubernur melanggar undang-undnag nomor 1 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir pantai, Peraturan Presiden nomor 122 tahun 2012 tentang reklamasi pantai. Izin yang sudah dikeluarkan harus dicabut. 7. Gubernur DKI Jakarta belum mampu mempertahankan aset-aset Pemda DKI Jakarta yang berpekara di pengadilan. 8. Penerimaan CSR selama ini tidak dikelola dengan transparan, DPRD minta diaudit. 9. Gubernur DKI Jakarta melanggar perundang-undangan khususnya uu nomor 29 tahun 2007 pasal 22 tentang organisasi perangkat daerah berkenaan dengan penghapusan jabatan wakil lurah. 10. DPRD menilai Kinerja Pemda dan aparatnya pada tahun 2014 buruk. Adapun lima rekomendasi DPRD terkait LKPJ penggunaan anggaran tahun 2014 sebagai berikut: 1. Gubernur harus patuh dan taat terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam menjalankan pemerintahan. 2. Gubernur tidak bisa melepaskan tanggungjawab hanya dengan alasan karena baru bertugas dua bulan. 3. Gubernur jangan banyak berwacana dan harus serius bekerja sehingga kinerja meningkat di tahun-tahun yang akan datang. 4. Gubernur DKI Jakarta harus mempersiapkan ahli hukum yang kuat untuk mepertahankan aset-aset Pemda DKI Jakarta agar tidak terjadi kekalahan beruntun di pengadilan ataupun kehilangan asset. daerah. 5. Gubernur harus bersinergi dengan berbagai pihak untuk membangun Jakarta baru yang lebih baik. VII. PEMAKZULAN AHOK: Sejumlah anggota DPRD DKI berharap “Hak Menyatakan Pendapat” akan mengarah pada pemakzulan Ahok. Mereka meminta pimpinan Dewan melanjutkan hasil penggunaan Hak Angket ke Hak Menyatakan Pendapat. Bahkan, Mohammad Taufik, Wakil Ketua DPRD DKI menyebutkan, langkah mengajukan Hak Menyatakan Pendapat sudah di depan mata. “Hak itu pasti disetujui, tinggal nanti membentuk panitianya,” tandasnya. Kecuali para anggota DPRD, kita juga menemukan harapan masyarakat madani di DKI Jakarta agar Ahok dimakzulkan. Salah satu contoh, Petisi Rakyat Jakarta Mendukung Pemakzulan Ahok. Petisi ini menilai, pantas Ahok dimakzulkan dengan alasan, adanya dugaan Ahok melakukan abuse of power, diantaranya 1. Ahok mengirimkan berkas`APBD “illegal” ke Kemendagri; (2) Skandal APBD Bodong Jakarta akhirnya di-Hak Angket oleh DPRD DKI. (3) Menurut DPRD, setidaknya ada 11 Kesalahan Ahok melanggar peraturan perundang-undangan. Pemakzulan Ahok sesungguhnya menjadi solusi untuk hubungan konflik Ahok dan DPRD selama ini. Pemakzulan Ahok akan membawa dampak positif terhadap hubungan institusi Gubernur dan DPRD DKI. Dengan dimakzulkannya Ahok, dan diganti oleh Gubernur lain, maka hubungan kelembagaan dengan DPRD akan berjalan kearah positif. Ahok sebagai sumber masalah hubungan konflik dengan DPRD akan sirna, dan upaya berikutnya adalah memperkuat hubungan kelembagaan Gubernur dan DPRD agar lebih harmonis dan sinerjik. Solusi pemakzulan Ahok ini juga akan membawa dampak positif terhadap posisi Pemerintah DKI sebagai medium pendidikan atau pembelajaran politik bagi masyarakat DKI yang benar. Proses dan implementasi dari Ahok dan DPRD yang negatif dapat terhindari atau terbebas dari pembentukan pengetahuan, nilai-nilai dan sikap-sikap politik warga DKI. Di samping itu, fungsi pelayanan publik berkualitas, efektif, efisien dan ekonomis akan terbangun kembali dan pada gilirannya memberi peluang bagi pemberdayaan masyarakat. Pelayanan publik terutama pendidikan dan kesehatan berjalan lancar dan hubungan masyarakat dan birokrasi kembali harmonis. Dampak positif lain adalah pengalaman hubungan konflik kearah pemakzulan Ahok dapat menjadi referensi atau pelajaran bagi Gubernur dan DPRD di Provinsi lain agar menghindarkan diri dari hubungan konflik. Gubernur dan DPRD harus harmonis dan bersinerjik. Gubernur dan DPRD harus selalu jalan beriringan dalam membangun daerah dan bangsa ini. MUCHTAR EFFENDI HARAHAP

Rabu, 08 April 2015

ALASAN PEMBATALAN BUDI GUNAWAN SEBAGAI KAPOLRI, TIDAK OBYEKTIF

I. PENCALONAN BG SEBAGAI KAPOLRI: Semester pertama Indonesia dibawah Rezim Kekuasaan Jokowi-JK (Jusuf Kala), salah satu issue politik nasional cukup mengundang polemik dan perdebatan publik adalah “pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kapolri”. Issue ini bermula dari keputusan Presiden Jokowi (10 Januari 2015) memilih Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri menggantikan Jenderal Sutarman yang sebelumya menjabat Kapolri. Jokowi mengajukan Calon Kapolri itu kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan melalui uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi III. Segera setelah keputusan Jokowi diumumkan (13 Januari 2015), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tiba-tiba menetapkan Budi Gunawan sebagai “Tersangka Korupsi”. Pengumuman penetapan itu disampaikan langsung oleh Ketua KPK Abraham Samad kepada wartawan di Kantor KPK, Jakarta. Budi Gunawan disangka telah melanggar pasal 12 huruf a atau b, pasal 5 ayat 2, pasal 11 atau pasal 12 B UU 31 tahun 99 tentang tipikor juncto 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Ketua KPK Abraham Samad berkilah, tidak ada nuansa politis dalam penetapan Budi Gunawan sebagai Tersangka. “Kejadian ini hanya kebetulan. Ini juga terjadi saat KPK menetapkan HP (Hadi Purnomo) sebagai tersangka persis di saat momentom akhir masa jabatannya. Jadi tidak ada yang luar biasa,” kilahnya lebih lanjut. Sementara itu, Anggota KPK Bambang Widjojanto juga menyatakan setelah mengumumkan penetapan tersangka Budi Gunawan, KPK akan mencari waktu untuk memberitahukan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) kepada Presiden Joko Widodo. “Kami kedepankan hukum dan hari ini atas nama hukum, hasil ekspos kami umumkan,” tandasnya. Walaupun KPK telah menetapkan Budi Gunawan sebagai Tersangka, Komisi III tetap mengadakan uji kelayakan dan kepatutan terhadap Budi Gunawan. Hasilnya, Budi Gunawan dinyatakan lulus uji kelayakan dan kepatutan. Jalan Budi Gunawan untuk menjadi Kapolri tinggal selangkah lagi. Setelah ini, DPR akan segera melakukan rapat konsultasi dengan Presiden RI. Semua keputusan akan berada di tangan Presiden. Selanjutnya, Rapat Paripurna DPR (15 Januari 2015) menyetujui Budi Gunawan menggantikan Sutarman. Keputusan didukung oleh delapan fraksi yaitu PDI-P, Golkar, Gerindra, PKS, PKB, Nasdem, Hanura, dan PPP. Sementara Fraksi Demokrat dan PAN meminta DPR menunda persetujuan dengan sejumlah pertimbangan, antara lain adanya penetapan tersangka Budi Gunawan oleh KPK. II. PRA PRADILAN: Budi Gunawan sesungguhnya menolak penetapan KPK tentang dirinya sebagai Tersangka Korupsi. Pada 19 Januari 2015 melalui kuasa hukumnya Budi Gunawan mendaftarkan gugatan pra peradilan terkait penetapan tersangka atas dirinya oleh KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam persidangan dipimpin oleh Hakim Tunggal Sarpin Rizaldi, permohonan pra peradilan Budi Gunawan dikabulkan sebagian oleh Hakim. Salah satu amarnya, “Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan lebih lanjut yang dikeluarkan oleh Termohon yang berkaitan dengan penetapan Tersangka oleh Termohon”. Adapun isi putusan hakim Sarpin sebagai berikut: 1. Menyatakan sprindik penetapan tersangka atas Bambang Gunawan tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hokum; 2.Menyatakan penyidikan KPK atas kasus bambang Gunawan tidak berdasar hukum dan tidak memiliki kekuatan hokum; 3.Menyatakan penetapan tersangka atas Bambang Gunawan yang dilakukan KPK tidak sah; 4.Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh KPK yang berkaitan dengan penetapan tersangka terhadap Budi Gunawan. Melalui amar putusan Hakim, maka secara hukum status Budi Gunawan yang asalnya “Tersangka” menjadi “bebas”. Hal ini telah sesuai dengan Pasal 82 ayat 3 KUHAP. III. PEMBENTUKAN TIM 9: Issue politik nasional ini kian meningkat sejak Presiden Jokowi membentuk Tim 9. Mereka adalah Pakar hukum ketatanegaraan yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqie, mantan Wakapolri Komjen (Purn) Oegroseno, mantan Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean, mantan Wakil Ketua KPK Erry Ryana Hardjapamekas, pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar, dan ahli hukum Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana, Cendekiawan Muslim Buya Syafii Maarif, Sosialog Imam Prasodjo dan mantan Kepala Kepolisian RI Jenderal (purn) Sutanto. Tim 9 ini diketuai oleh Syafii Maarif. Pada 28 Januari 2015 Tim 9 mengeluarkan sejumlah rekomendasi terbuka untuk Presiden Jokowi. Pertama, membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri. Kedua, meminta Budi Gunawan untuk mengundurkan diri pencalonan Kapolri. Ketiga, meminta Jokowi segera memproses calon baru Kapolri. Keempat, mengharapkan Jokowi turun tangan dalam menangani masalah yang tengah menimpa KPK sebab pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri dan sejumlah penyidik dan pegawainya ditersangkakan atau terancam ditersangkakan. Kelima, merasa perlu memberikan masukan kepada Presiden karena adanya persepsi negatif atas penetapan tersangka Samad dan Bambang serta penyidik KPK oleh Kepolisian. Keenam, Jokowi perlu memastikan KPK menjalankan fungsi secara efektif sesuai Undang-Undang KPK. Dari semua rekomendasi Tim 9 tersebut, yang menjadi sangat penting dalam issue politik nasional ini adalah butir pertama, yakni membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri karena Budi sudah ditetapkan KPK sebagai Tersangka dalam kasus dugaan korupsi. IV. PEMBATALAN PELANTIKAN BUDI GUNAWAN: Secara procedural sesungguhnya Jokowi harus melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri karena sudah disetujui oleh DPR melalui Rapat Paripurna. Namun, Jokowi tidak melaksanakan pelantikan, malah memutuskan untuk mengajukan Calon Kapolri baru, yakni Wakil Kapolri Badrodin Haiti. Keputusan itu diumumkan oleh Jokowi pada 19 Maret 2015. Pembatalan pelantikan Budi Gunawan ini menjadi satu masalah bagi DPR. Jokowi mengajukan nama baru sebagai calon Kapolri sekaligus membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri. Jokowi mengatakan pencalonan Budi Gunawan telah menimbulkan perbedaan di masyarakat. Karena itu dia menyatakan menunjuk Komisaris Jenderal Badrodin Haiti sebagai calon Kapolri Baru. Pada 6 April 2015 diadakan Rapat Konsultasi di Gedung DPR antara Presiden Jokowi dan pimpinan DPR. Dalam suatu meja bundar, duduk bersama Jokowi, Ketua DPR Setya Novanto, Wakil Ketua DPR Agus Hermanto, Taufik Kurniawan, Fadli Zon, Fahri Hamzah, Menko Perekonomian Sofyan Djalil, Menko PMK Puan Maharani, dan Menko Polhukam Tedjo Edhy. V. ALASAN PEMBATALAN TIDAK DAPAT DIPERTANJUNGJAWABKAN: Baik melalui media massa sebelumnya dan pada Rapat Konsultasi, Jokowi memberi alasan pembatalan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri yakni: Pertama, Budi Gunawan sempat menjadi “Tersangka” kasus rekening mencurigakan dan mendapatkan “penolakan dari publik”. Kedua, alasan yuridis dan alasan sosiologis, namun tidak menjelaskan lebih lanjut apa alasan yuridis dan sosiologis itu. Ketiga, demi menciptakan ketenangan masyarakat karena pencalonan Budi Gunawan menimbulkan perdebatan di masyarakat. Walaupun para anggota DPR RI ingin mengetahui apa sesungguhnya alasan Jokowi membatalkan pelantikan Budi Gunawan yang bertentangan dengan Keputusan rapat paripurna DPR, namun Jokowi memberi alasan sangat tidak jelas. Hanya ada dua alasan yakni alasan sosiologis dan alasan yuridis. Apa yang dimaksud alasan sosiologis dan yuridis dimaksud tidak dijelaskan lebih seksama dan terinci. Kalangan pimpinan DPR juga tidak mempertanyakan lebih seksama alasan tersebut. Apakah dimaksud alasan sosiologis adalah penolakan dari public atau perdebatan di masyarakat?. Kalaupun memang alasan penolakan dari publik, publik yang mana? Sungguh Jokowi mengajukan alasan sosiologis dimaksud tidak dapat dipertanjungjawabkan secara obyektif karena memang alasan sosiologis tersebut tidak dilengkapi dengan fakta dan data seberapa besar publik menolak pelantikan Budi Gunawan melalui penelitian atau riset. Kalaupun ada penelitian, itupun sekedar survey opini publik dilakukan oleh Indo Barometer pada 15-25 Maret 2015 untuk 1 .200 responden. Hasil survey adalah: Pertama. 50,1 % pilihan terhadap Badrodin Haiti akan membawa Polri lebih baik. Kedua, 66,4 % responden menilai, pembatalan Budi Gunawan merupakan keputusan yang tepat. Hasil survey ini masih dapat dipertanyakan keobyektivannya berdasarkan maksud dan tujuan, pembiayaan, pilihan metode penentuan responden serta metode pengumpulan data. Kecuali itu, memang ada rekomendasi Tim 9 yang mengaitkan rekomendasi untuk tidak melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri dengan kemauan publik yang sesungguhnya bukan berdasarkan penelitian dan riset juga. Menurut pengamatan Penulis, Rekomendasi Tim 9 terkait penolakan pelantikan Budi Gunawan lebih diwarnai oleh kehendak atau kemauan sejumlah aktivis pendukung KPK, yang sesungguhnya tidak dapat diklaim sebagai mewakili opini publik. Para aktivis pendukung KPK saat itu sesungguhnya hanyalah individu-individu tidak memiliki konstituen dibandingkan dengan para anggota DPR yang menginginkan Budi Gunawan dilantik. Kasus pembatalan Budi Gunawan sebagai kapolri ini menunjukkan, satu keputusan Presiden Jokowi untuk memecahkan masalah politik nasional tidak dapat dipertambungjawabkan secara obyektif, seksama dan, terinci. MUCHTAR EFFENDI HARAHAP