Selasa, 30 Agustus 2016

MUCHTAR EFFENDI HARAHAP: GUSUR PAKSA RAKYAT DAN LANGGAR HAM

MUCHTAR EFFENDI HARAHAP: GUSUR PAKSA RAKYAT DAN LANGGAR HAM

Jumat, 26 Agustus 2016

PEMBEBASAN BAYAR PBB, PENCITRAAN AHOK ?

Para pendulung buta Ahok membanggakan kebijakan Ahok ttg pembebasan bayar PBB. Bahkan, klaim bahwa "seumur umur, warga DKI bisa tidak membayar PBB yg NJOP nya di bawah Rp. 1 milyar dan itu tidak perlu ngurus ngurus ini itu. .. Saat datang ke kantor lurah. Langsung di IYA kan bahwa warga tsb tidak perlu membayar PBB. Ini baru kali pertamanya lho? MANTAB bukan?," tandas seorang Alumnus UI, pendukung buta Ahok di WAG 77/78. Hal pembebasan bayar PBB tidaklah seperti diklaim pendukung buta Ahok ini. Tidak semua rakyat DKI punya rumah harganya di bawah 1 miliar rupiah, bebas bayar PBB. Sebagaimana beliau, medsos dan media massa pendukung buta Ahok acapkali gunakan issue kebijakan Ahok bebas bayar PBB untuk bangun citra positif Ahok, seakan Ahok bekerja utk rakyat. Memang benar kebijakan bebas PBB ini terbit era Ahok. Tapi, bukan berarti kebijakan ini sungguh2 utk rakyat semata. Ini hanya pencitraan agar mendapat dukungan politik rakyat. Realitas obyektifnya tidaklah sesuai dgn apa yg dicitrakan. Ini data dan fakta, tidak semua rakyat punya rumah harga di bawah 1 miliar rp lalu bebas bayar PBB. Pemprov DKI bebaskan bayar PBB-P2 bagi wajib pajak menempati rumah seharga Rp 1 miliar ke bawah.  Hal itu telah tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 259 Tahun 2015 tentang pembebasan PBB-P2 atas rumah, rusunawa, rusunami dengan NJOP sampai dengan Rp 1 miliar.  Bahwa untuk NJOP dimaksud diberi pembebasan sebesar 100 persen dari PBB-P2 tahun berjalan secara otomatis. Bila masih ada tunggakan maka dilakukan penagihan.  Pembebasan PBB-P2 sudah diterapkan untuk punya rumah di bawah Rp 1 miliar. Tak bayar sama sekali. Bahkan, Ahok klaim, kebijakan pembebasan PBB-P2 dilakukan agar tak bebani warga berpenghasilan pas-pasan. Sementara untuk ruko, apartemen dan tempat usaha yang NJOP PBB-P2 nya di bawah Rp 1 miliar, tetap dikenakan kewajiban penyetoran pajak. Namun, peraturan ini tidak berlaku menyeluruh. Hanya lahan dan bangunan dalam kategori tertentu yang dapat menikmati pajak Rp 0 itu. Pembebasan PBB hanya berlaku untuk tanah dan bangunan yang nilai jual objek pajaknya (NJOP)-nya di bawah Rp 1 miliar, atau luas tanah dan bangunannya di bawah 100 meter persegi. Dengan catatan, lokasi tanah dan bangunan tersebut tidak berada di dalam area perumahan ataupun cluster. Bahkan, pemilik rumah Rusunami (Rumah Susun Milik) tetap harus bayar PBB padahal harga masih di bawah bahkan 500 jt rp. Jadi, yang bebas pajak hanya rumah-rumah yang di permukiman biasa, yang bukan perumahan. Kalau perumahan, cluster, ruko, dan apartemen tetap bayar pajak. Meski, ada tanah luas 100 M2 dan berada di area non-perumahan, dapat terkena pajak. Hal itu terjadi apabila luas bangunannnya lebih dari 100 meter persegi. Sebagai contoh, rumah terdiri lebih dari satu lantai. Kalau tanahnya 100 M2, tapi rumahnya tiga lantai, itu akan tetap kena pajak. Karena luas bangunannya dipastikan lebih dari 100 M2" Kebijakan ini bertujuan untuk membantu warga DKI Jakarta dari kalangan menengah ke bawah, terutama bagi mereka yang menempati rumah yang diwariskan oleh orang tuanya. Perkembangan mpesat di suatu kawasan terkadang menyebabkan warga menempati rumah warisan orang tua harus menanggung PBB tinggi akibat peningkatan harga tanah. Mereka hanya terkena dampak dari pesatnya pembangunan di sekitar tempat tinggalnya. Kejadian sama hampir dapat dipastikan tak terjadi bagi pemilik tanah dann bangunan untuk kategori perumahan, cluster, ruko, dan apartemen. Tetapi, dilain pihak pemilik rumah di kawasan perumahan, harus bayar PBB jauh lebih tinggi ketimbang belum diberlakukan kebijakan Ahok ini. Pemilik rumah dimaksud, tak peduli mampu atau tidak, harus bayar PBB lebih tinggi. Tetangga saya, yg biasa bayar kisar 3 juta rp, menjadi 6 juta rp. Bayangkan ! Bahkan, Ahok juga menaikkan pajak kenderaan bermotor hingga 35 persen hanya dgn sebuah Pergub, bukan Perda. Sebelumnya, Ahok telah naikan tarif PBB-P2 thn 2014 dan 2015. Tarif PBB-P2 tahun 2014 naik signifikan dibanding tarif PBB-P2 thn2 sebelumnya. Kenaikan tarif PBB-P2 thn 2014 berkisar antara 200-800%, nilai fenomenal belum pernah terjadi sebelumnya. Contoh kasus. pada 2013 PBBn sebesar Rp. 452.820, pada 2014 sebesar RP. 1.743.925 dan tahun 2015 sebesar Rp. 1.780.265. Naik 4 x lipat). Ini data dan fakta kebijakan Ahok. Pendukung buta Ahok harus paham itu... Berhentilah gunakan kebijakan PBB utk pencitraan Ahok. 👎🏿👎🏿👎🏿😂 Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (Ketua Dewan Pendiri NSEAS, Network for South East Asian Studies)

Kamis, 25 Agustus 2016

LIMA KRITERIA MENILAI GUBERNUR DKI JAKARTA

Rabu 24-8-2016 dilaksanakan Deklarasi RAR (Rumah Amanah Rakyat). Lokasi RAR Jl. Cut Nyak Dien No.5, Gondangdia Menteng Jakpus. RAR sebagai kelompok aksi menggunakan 5 (lima) kriteria bagi Gubernur DKI Jakarta. Yakni: 1. Jujur, 2. Bersih, 3. Tegas, 4. Cerdas, dan, 5. Beradab. Jika digunakan lima kriteria RAR ini Ahok sangat tak layak. Kriteria pertama, “jujur”, bermakna: a. Orang berkarakteristik benar dan membenarkan hal benar, bukan pembohong, sesuai perkataan dan perbuatan, komunikatif, persuasif, terampil meyakinkan orang, dan bermusyawarah/ bernegoisasi. b. Orang bersikap  selalu berupaya sesuaikan atau cocokkan  Informasi (ucapan dan aturan) dengan fenomena/realitas obyektif”. Ahok tergolong tak jujur, suka kambinghitamkan fihak lain dan anak buah. Sebagai contoh: 1. Banjir karena PLN mematikan aliran listrik; 2. Banjir karena ada sabotase kulit kabel; 3. Permainan oknum kalau banjir datang; 4. Kemenpora penghambat pembangunan MRT; 5. Kambinghitamkan kelemahan BPK atas Opini Wajar dengan Pengecualian (WDP); 6. Penerbitan Pergub karena tak mampu pecahkan masalah; 7. Larangan Pengajian di Monas alasan Pedagang Kaki Lima (PKL); 8. Gagal mengembangkan Transjakarta, Direktur dipecat; 8. Kalau gagal sebagai calon perorangan Pilkada 2017 karena KPU tak professional; 9. Tuntut Gubernur Foke cuti waktu Pilkada DKI lalu, saat dia Gubernur nuntut tidak harus cuti Pilkada 2017 bahkan ajukan gugatan judicial review UU terkait ke MK;10. Gembor2 mau Cagub Perorangan dgn 1 juta KTP dan jelekan parpol korup, ternyata mau jalur parpol malah minta2 PDIP dukung dirinya sbg Cagub; dsb. Kriteria kedua, “bersih”, bermakna  al: tak tercemar terkena kasus KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan penyalahgunaan kekuasaan. Ahok tak memenuhi kriteria ini. Sebagai contoh, DPRD nilai Ahok melanggar: 1). UU No. 11/2013 Psl 34 ayat 1; 2). UU No. 23/ 2014 ttg Pemda; 3). Satu PP terbit 2008; 4). Menerbitkan Pergub No. 138 ttg Honorarium Anggota TNI/POLRI, melegalkan pemberian dana honorarium kepada personil TNI dan Polri sebesar Rp.288.000,-/ orang (uang saku Rp.250.000 dan makan Rp. 38.000); 5. Pemberian Izin Reklamasi langgar UU No. 27/ 2007 jo UU No. 1/ 2014, Perpres No. 122/ 2012, dan Permen KP No. 17/ 2013 jo. Permen KP No. 28/ 2014 ttg Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Sikap langgar hukum terkhir, yakni Penetapan Walkot Jakut Wahyu Hariyadi tanpa pertimbangan DPRD, diduga melanggar UU No. 29/ 2007 ttg Pprovinsi DKI Jakarta. Kasus lain adalah pembelian lahan RS Sumber Waras, diduga merugikan negara dan Ahok tak laksanakan atau tak tindaklanjuti Rekomendasi BPK. Selanjutnya, pembelian tanah negara di Cengkareng untuk Rusunawa. Kriteria ketiga, “tegas”, bermakna al: orang berprilaku jelas dan terang menderang, konsisten dgn misi, visi, sasaran, target dan amanah rakyat melalui regulasi, Perda dan bertanggungjawab kuat laksanakan amanah rakyat. Ahok juga tak penuhi kriteria ketiga ini. Alasan: Ahok laksanakan kebijakan tak mengacu Perda No. 2/2012 ttg RPJMD 2013-2017. Contoh program penataan kawasan kumuh, dilakukan penggusuran paksa rakyat dan langgar HAM. Ahok seakan tegas ke rakyat miskin, tapi menghamba Konglomerat pengembang Cino. Ahok sampe konflik terbuka dgn Menko Maritim Rizal Ramli krn Menko membatalkan reklamasi utk para pengembang Podomoro. Ia menolak terbuka keputusan Menko. Kriteria keempat, “cerdas”, bermakna al: berkapasitas dan mampu atasi permasalahan dan tantangan/kendala, punya keahlian (kompetensi) dan dapat buktikan keberhasilan urus pemerintahan. Ahok historis tak mampu urus pemerintahan DKI, indikator al: 1. Rakyat nganggur kian meningkat; 2. Rakyat miskin meningkat terus menerus; 3. Ketimpangan sosial makin melebar; 4. Pertumbuhan ekonomi terus merosot dan gagal; 5. Realisasi Belanja Daerah sangat rendah; 6. Gagal capai IPM dan penghargaan Adipura; 7. Kemacetan terus berlangsung bahkan Kota paling macet se dunia; 8. Banjir jalan terus, belum berkurang signifikan; 9. Pembangunan infrastruktur terhenti; 10. Kualitas manajemen dan perlindungan asset Pemerintah rendah; dan, 11. Kinerja sangat buruk dan rapor merah. Kriteria kelima, “beradab”, bermakna al.: 1. Mempunyai adab, budi bahasa baik; berlaku sopan; 2. Pribadi berpotensi   berlaku sopan, berakhlak, berbudi pekerti luhur, termasuk dalam gagasan; dan, 3. Orang bisa menyelaraskan antara cipta, rasa ,dan karsa. Ahok sangat jauh dari kriteria kelima ini. Alasan, Ahok sering ngeluarkan kata-kata atau tutur kata kotor dan kasar seperti: ‘lu bajingan’, ‘dasar maling lu’, ‘brengsek’, ‘bego’, ‘kalau miskin tahu dirilah’, dan ‘taik’, dll. Tutur kata kotor, kasar dan tak santun sesungguhnya bertentangan dengan konsep politik demokrasi krn tak bikin ketenangan dan kejelasan publik. Penyelenggara negara harus tetap menjaga kesantunan . Kesimpulan, atas lima kriteria RAR (Jujur, Bersih, Tegas, Cerdas, Beradab), kualitas Ahok "sangat tak layak" lanjut sebagai Gubernur DKI. Bahkan, satu kreteria pun Ahok tak bisa penuhi. Para pendukung buta dan pimpinan parpol calon pengusung Ahok Pilkada DKI 2017 harus tahu itu !!! Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (Ketua Dewan Pendiri NSEAS, Network for South East Asian Studies)

Senin, 22 Agustus 2016

Elektabilitas Ahok, Kekalahan dan Kerusuhan Sosial

Dlm kondisi pilkada maupun pilpres acapkali kita temukan bermunculan lembaga survei opini publik. Beberapa lembaga pemain lama, beberapa muncul kontekstual pilpres atau pilkada tsb. Ada lembaga hasilnya dipublisir, ada tidak. Ada sudah punya sponsor, ada sedang memasarkan diri belum punya sponsor. Biasanya yg punya sponsor, membesar besarkan sang sponsor sehingga posisi sebagai pengiklan politik figur. Yg belum punya sponsor, meninggikan angka yg dinilai punya dana besar, tapi untuk lawannya diberi harapan dan peluang untuk kalahkan yg angkanya dibesarkan itu. Adalah sukar ditemukan lembaga survei sungguh2 tanpa sponsor di Indonesia krn biaya total survei yg benar tatap muka di atas Rp. 100 juta, kecuali metode via telepon. Publikasi hasil survei acapkali berfungsi sbg iklan atau promosi calon yg membiayai lembaga itu. Untuk politik uang, lembaga2 survei dibayar membangun persepsi dan pandangan bahwa Calon tertentu sangat kuat dan tak terkalahkan dgn angka elektabulitas misalnya 57 persen. Peran lembaga2 ini menjustifikasi angka perolehan suara resmi dari KPU yg dgn curang memenangkan Calon dimaksud. Namun, angka itu hasil kecurangan kerjasama dgn oknum2 KPUD dan PPK. Disamping itu, pemilih terima duit untuk memberikan suara ke Calon pihak pembayar. Cara memberi duit ke pemilih bisa melalui relawan, bisa kader parpol pengusung dan pendukung. Sy mencoba mencermati kini dinamika lembaga survei yg semua mengklaim terbuka, elektabilitas Ahok paling tinggi sejak Januari hingga Agustus 2016. Tetapi, ternyata angka2 disajikan menunjukkan Ahok sangat mungkin kalah dlm pendekatan sosiologis. Kita lupakan dulu lembaga survei ini sudah punya sponsor atau masih memasarkan diri. Lembaga sudah mempubilisir hasil survei, lepas jujur atau bohong, yakni 1. Kedai Kopi, 2. Sinerji Data Indonesia, 3. Charta Politika, 4. Populi Center, 5. Cyrus Networks, 6. LSPI, 7. Lingkaran Survei Ibdonesia, SMRC, 8. Manilka Consulting, dan 9. Lembaga Psikologi Politik UI. Rata2 elektabilitas Ahok 43,25 persen (Januari), 43,50 (Februari), 45,15 (Maret), 48,15 (April), 57 (Mei), 42,16 (Juni), 37,40 (Agustus). Utk Juli, tak ada kegiatan survei. Data per bulan di atas menunjukkan, Feb. naik 0,25 persen, Maret naik 1,62, April naik 3, 00, Mei naik 9,15, Juni turun 5,16, Agustus turun 5,24 persen. Gelombang dahsyat anti Ahok dan Abah (asal bukan Ahok) dari beragam aliran politik dan strata sosial, menyebabkan lembaga survei tak bisa mempertahankan angka di atas 50 persen. Bagaimanapun, gelombang anti Ahok akan kian membesar dan meluas menyentuh hingga ke strata MBR dan grassroats. Elektabilitas juga akan terus nenurun, rata2 minimal 5 persen. Diperkirakan, September elektabilitas Ahok turun menjadi 32 persen, Oktober 27 persen, November 22 persen, dan Desember di bawah 20 persen. Secara sosiologis perilaku pemilih atas dasar ikatan primordialisme kepada Ahok dari gabungan ras dan agama, ya...jumlah pemilih Ahom ada pada angka di bawah 20 persen. Karena itu, kalau ada hanya dua pasang Cagub, Ahok sangat mungkin kalah lawan Abah. Sekalipun terdapat lima pasang, akan ada putaran kedua yg juga Ahok akan kalah lawan gabungan rakyat Abah. Dgn gunakan hasil survei bayaran maupun tidak yg dipublikasi sejak Januari hingga Agustus 2016 ini, dapat diperkirakan, Ahok KALAH ! KEKALAHAN AHOK ini rasional sesuai hasil survey yg dipublisir yg selama ini membuat pendukung buta Ahok gembira ria dan riak. MASALAH muncul, Jika KPUD Jakarta memutuskan, Ahok menang dlm Pilkada 2017 , jelas tak rasional. Rakyat Abah pasti mengklaim, Tim Sukses dan Relawan Ahok gunakan politik uang dan tindak kecurangan. Hal ini bisa timbulkan "goro-goro" atau kerusuhan sosial (social unrest) anti Cina....sebagaimana terjadi pada jelang keruntuhan kekuasaan rezim Suharto (1998). Jika terjadi goro-goro, bisa buat kekuasaan rezim Jokowi-JK juga runtuh.....Oleh Muchtar Effendi Harahap/NSEAS.

Rabu, 17 Agustus 2016

LAGI2 KAMBINGHITAM DAN LEMPAR KESALAHAN PADA ANAK BUAH

Sudah tdk terhitung berapa kali Ahok mengkambinghitam kan dan menyalahkan anak buah untuk menutupi ketidak-mampuannya mengelola Jakarta. Kali ini dia menyampaikan keluhannya melalui "Detik", Selasa 9 Agustus 2016 dg judul "Ada yg Sengaja Gagalkan Anggaran". Ahok mengatakan bahwa "ada beberapa orang di Dinas Tata Air sengaja menghambat pekerjaan supaya penyerapan anggaran kecil, penyimpangan anggaran seperti itu adalah kesengajaan, tujuannya agar kinerja Ahok tercitra tdk baik jelang Pilgub 2017, akhirnya orang tak tertarik memilih Ahok". Selanjutnya Ahok mengatakan bahwa "kelambatan penyerapan anggaran itu terjadi di Dinas Tata Air dan Badan Pelayanan Pengadaan Barang dan Jasa (BPPBJ) DKI, akibatnya belanja anggaran tidak terealisasi, memang ini BPPBJ kami bermasalah, pengadaan barang & jasa total ngaco tapi halus mainnya". Apakah benar demikian ? Info dari salah satu Pejabat di Dinas Tata Air (tdk mau disebutkan namanya) tidak benar apa yg dikatakan oleh Ahok tsb, "tidak ada PNS apalagi pejabat di Dinas Tata Air yg sengaja menghambat penyerapan anggaran, sampai Agustus ini penyerapan anggaran Dinas Tata Air memang masih rendah, tetapi rendahnya penyerapan anggaran tsb dikarenakan bbrp proyek belum selesai lelang di BPPBJ, begitu lelang selesai segera pekerjaan proyek bisa dilaksanakan dan penyerapan anggaran pasti akan naik", demikian keterangan dari salah satu Pejabat Dinas Tata Air Provinsi DKI Jakarta. Sementara itu informasi yg didapat dari BPPBJ DKI Jakarta "bahwa lelang pengadaan barang & jasa memang masih dalam proses, krn ada bbrp pekerjaan harus dilakukan konsolidasi lelang (penggabungan bbrp paket kegiatan), konsolidasi lelang ini sebenarnya atas petunjuk Ahok sendiri dg tujuan agar pemenang lelang diharapkan rekanan besar atau dari BUMN dan bukan rekanan abal2, proses ini memerlukan waktu, tetapi bukan faktor kesengajaan utk memperlambat penyerapan anggaran, apalagi bermaksud utk mencitrakan Ahok negatif, tidak sama sekali". Apakah Ahok tidak tahu hal ini ? Ahok pasti tahu persoalan ini, tetapi Ahok sengaja melemparkan persoalan ini jauh2 hari, karena dia sdh memprediksi bhw penyerapan anggaran tahun 2016 ini juga tdk jauh berbeda dg tahun2 sebelumnya yg masih sangat rendah. Nanti di akhir tahun anggaran 2016 Ahok tinggal melemparkan kesalahan rendahnya penyerapan anggaran ini kepada anak buahnya. Ahok sengaja melakukan pra kondisi se-olah2 ada anak buahnya mau "ngerjain dia". Ini dilakukan Ahok sebagai persiapan nantinya dia melakukan pembelaan diri bhw penyerapan APBD DKI Th 2016 juga rendah adalah kesalahan anak buahnya, ini jelas Ahok sangst "culas". Tetapi Ahok lupa bahwa kinerja anak buahnya juga menjadi tanggungjawabnya sebagai pimpinan, anak buah tidak beres karena pimpinan tdk "becus" memimpin. Lagi pula sesungguhnya Ahok sangat tdk masuk akal jika dia mencurigai anak buahnya akan "mengerjai" dia, karena bukankah pejabat-pejabat DKI saat ini (termasuk Dinas Tata Air dan BPPBJ) adalah orang yg dia pilih sendiri, setelah beberapa kali dia melakukan bongkar pasang? Bahkan semua pejabat baik ess 2, 3, dan ess 4 Pemprov DKI Jakarta tidak akan dilantik jika tidak disaring terlebih dahulu oleh Tim Gub (MS dkk), yg kemudian satu per satu diteliti lagi dan ditandatangani oleh Ahok sendiri. Jelas bhw para pejabat di Pemprov DKI Jakarta saatbini adalah orang2 pilihannya sendiri; jadi tdk beralasan jika Ahok mencurigai orang pilihannya sendiri. Memang Ahok sangat pandai memutarbalikan kata, dan selalu anak buah yg dikambinghitamkan kasihan.....(Bank Data NSEAS)

Sabtu, 13 Agustus 2016

SEBAGAI GUBERNUR DKI, SESUNGGUHNYA AHOK TAK LAYAK

Pada 2017 rakyat DKI Jakarta akan menyelenggarakan Pilgub. Berbagai tokoh politik mulai memunculkan diri dan menyatakan berminat sebagai peserta Pilgub. Ahok sesumbar akan maju dari “jalur perseorangan” atau bukan jalur Parpol. Ia juga sesumbar akan mengumpulkan sejuta KTP warga DKI. Ahok berkilah, lebih memilih jalur perseorangan ketimbang jalur Parpol. Namun, kemudian Ahok menyatakan bersedia diusung Parpol sebagai Calon Gubernur DKI. Publik dan pendukung buta Ahok tertipu ! Berbeda dengan Pilgub DKI tahun 2012, Jokowi – Ahok diusung PDIP dan Partai Gerindra. Pada Pilgub DKI 2017 mendatang, Ahok belum mendapat kepastian dari kedua partai itu untuk mengusungnya kembali sebagai Calon Gubernur. PDIP mengajukan alasan sendiri belum memberi dukungan kepada Ahok. Megawati selaku Ketua Umum PDIP mensyaratkan Ahok harus terlebih dahulu meninggalkan ‘teman Ahok’ sebelum PDIP mempertimbangkan kemungkinan mengusung Ahok sebagai cagub. Syarat dari PDIP ini dibalas Ahok secara emosional dengan mengatakan pihaknya tidak memerlukan dukungan partai untuk bertarung di Pilgub DKI 2017. Pernyataan Ahok ini dimuat berbagai media dan ditindaklanjuti Ahok dengan membentuk Tim Sukses “Teman Ahok” untuk mengumpulkan KTP dan surat dukungan rakyat pemilih Jakarta. Berbagai Posko pengumpulan KTP didirikan. Sikap emosional Ahok terhadap PDIP kemudian dikembangkan dengan mengerahkan media massa untuk membentuk opini publik negatif terhadap Parpol. Opini ini dimaksudkan untuk menekan partai-partai agar mau mendukung Ahok. Karena meski di depan publik Ahok selalu mengatakan tidak butuh Parpol, namun di belakang dan tanpa sepengetahuan publik, Ahok dan Timnya gerilya mati-matian untuk meraih dukungan Parpol. Bahkan berani mengklaim, PKB dan PAN telah bersedia memberikan dukungan dalam pencalonan dirinya. Ahok meradang dengan syarat diajukan PDIP agar ia meninggalkan Teman Ahok. Bagi Ahok, mustahil karena ‘Teman Ahok’ inilah sebenarnya merupakan sponsor utama, pelindung dan donatur Ahok selama ini. Sulit bagi Ahok memenuhi permintaan Megawati agar Ahok meninggalkan ‘teman-temannya’ sebagai syarat agar PDIP dapat mempertimbangkan mengusung Ahok sebagai Calon Gubernur. Informasi berkembang di kalangan elit politik Jakarta, Ahok sudah menyiapkan strategi jitu untuk meraih dukungan Parpol sesuai syarat pencalonan pada Pilkada 2017. Pertama Ahok menaikan tawaran ‘mahar’ kepada PDIP. Disebut-sebut jumlahnya fantastis yaitu Rp. 250 miliar atau lebih dua kali lipat dibanding mahar Jokowi-Ahok pada Pilkada 2012 sebesar Rp100 miliar. Jumlah mahar itu tidak berarti bagi Ahok didukung puluhan konglomerat Cina. Di samping menawarkan mahar ratusan miliar rupiah, Ahok melobi Parpol lain untuk mendukungnya. Tetapi, hingga tulisan ini dibuat, Ahok mendapatkan dukungan baru Golkar, Nasden dan Hanura. Pertarungan Pilgub DKI 2017 dipastikan semakin keras dan seru karena Ahok pasti mati-matian dan habis-habisan berusaha memenangkan pertarungan dengan segala cara. Kegagalan memenangkan peraturan dapat membawa bencana bagi Ahok yang sedang diincar berbagai kasus korupsi. Kemenangan Ahok di Pilkada 2017 akan membuka jalan baginya untuk terus memberi konsesi luar biasa kepada para pengusaha dan konglomerat Cina telah setia membantu selama ini. Bahkan, kemenangan Pilkada 2017 membuka jalan “ambisius” Ahok maju Cawapres atau Caprres Pilpres 2019. Sesungguhnya peluang Ahok untuk memenangkan pertarungan dalam Pilgub DKI 2017 masih menghadapi jalan terjal. Secara sosiologi dukungan Ahok tergolong minoritas, baik berdasarkan primordial agama, etnis maupun strata sosial. Jika dalam pelaksanaan Pilgub 2017 Ahok tetap meraih suara terbanyak, hal itu sangat penting untuk dipertanyakan: mengapa pendukung minoritas bisa mencapai suara mayoritas di masyarakat pemilih DKI? Tentu saja, jawabannya negatif, telah terjadi “politik uang”. Para korporet Cina telah menggunakan dana mereka melakukan politik uang demi perolehan suara Ahok. Hal ini berakibat, proses demokratisasi di rakyat DKI menjadi menyimpang dan “dikotori” oleh koorporet Cina. Demokrasi semakin menghamba pada kepentingan koorporet Cina, bukan kepada rakyat. Kedaulatan rakyat dikhianati menjadi kedaulatan korporet Cina. Ahok memang memiliki kekuatan dan potensi karena posisinya masih sebagai Gubernur DKI Jakarta dan “inkamben”. Ia memiliki akses dan kewenangan mengelola sekitar Rp. 70 triliun APBD dan kewenangan mengeluarkan perizinan dan konsesi bisnis kepada korporet. Namun, secara sosiologis sesungguhnya posisi Ahok tergolong minoritas, dan irasional untuk memenangkan pertarungan dalam Pilgub DKI 2017. Peluang Ahok sangat kecil. Berdasarkan komposisi agama, penduduk DKI terdiri dari Islam (85,36%); Protestan (7,54%); Katolik (3,15%); Buddha (3,13%); Hindu (0,21%); dan, Konghucu (0.06%). Ahok sendiri beragama Protestan, sangat kecil, sementara pemilih terbesar beragama Islam (85 %). Sejak Pemilu tahun 55 hingga tahun 2014, perilaku pemilih ummat “Islam Politik” tidak memilik tokoh atau partai non Islam. Jumlahnya sekitar 35-40 persen. Hasil survei terakhir 40-45 % rakyat DKI akan memilih Calon Muslim. Primordialisme agama masih berlaku di DKI. Di lain pihak, dari segi komposisi etnis/ras, penduduk terbesar adalah Jawa (35,16%), menyusul Betawi (27,65%), Sunda (15,27%), Cina (5,53%), Batak (3,61%), Minang(3,18%), Melayu (1,62%), Bugis, Aceh, Madura dan lain-lain. Jumlah pribumi mencapai 94 persen. Ahok beras Cina, minoritas. Dalam perspektif primordialisme, tak rasional mayoritas pribumi memilih Ahok. Meski komposisi penduduk DKI mayoritas bukan ras Cina dan agama non Islam, tetapi Ahok dengan berbagai cara melalui kelompok pendukung, Teman Ahok, lembaga survey bayaran dan media massa khusus milik korporet Cina membangun opini: Ahok kuat, elektabilitas tinggi, mayoritas publik mendukung. Kesimpulan irasional ini akan terus menerus dibangun sehingga pada saat pelaksanaan pemilihan, Ahok menang telah “terjustifikasi” dengan pencitraan dan opini ini. Padahal mustahil Ahok memperoleh suara terbanyak sepanjang pelaksanaan pemungutan suara jujur dan adil tanpa politik uang. Sungguh masih ada cahaya terang untuk proses demokratisasi. Ahok bukan Jokowi dan rakyat pemilih Jakarta sudah mengetahui karakter dan kinerja Ahok selama menjabat Wagub dan Gubernur DKI. Berdasarkan pengalaman kerja sebagai Gubernur, Ahok sesungguhnya tak layak. Mengapa? Setidaknya 8 alasan dan argumentasi: 1. Suka konflik. 2. Integritas Ahok rendah. 3. Suka melanggar hokum. 4. Suka menggusur paksa rakyat. 5. Kinerja buruk dan rapor merah. 6. Tutur kata kotor dan kasar. 7. Suka kambinghitamkan fihak lain. 8. Kondisi rakyat DKI terus merosot. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (Ketua Dewan Pendiri NSEAS, Network for South East Asian Studies). Edisi 13 Agustus 2016. Jika sepakat kandungan tulisan ini, silakan sebarluaskan. Trims.

Senin, 01 Agustus 2016

PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TERHENTI

DI BAWAH Gubernur Ahok, pembangunan infrastruktur (sarana dan prasarana fisik) DKI Jakarta terhenti. Kondisi infrastruktur masih berantakan. Hampir semua pembangunan infrastruktur strategis di DKI seperti MRT dan pengendalian banjir hasil kerjaan Pemerintah Pusat, bukan Pemprov (Pemerintah Provinsi) DKI Jakarta. Hal ini sebagai konsekuensi rendahnya penyerapan anggaran belanja. Kalaupun terdapat kemajuan, hanya berkisar “taman terbuka”, sebagian besar dibiayai korporasi/swasta atas nama CSR (Coorporate Social Responsibility). Selama kepemimpinan Ahok, belum ada pembangunan infrastruktur strategis benar-benar terealisir, kecuali sekedar program di atas kertas. Infrastruktur memegang peranan penting sebagai salah satu roda penggerak pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Keberadaan infrastruktur merupakan bagian sangat penting dalam sistem pelayanan masyarakat. Berbagai fasilitas fisik merupakan hal vital guna mendukung berbagai kegiatan pemerintahan, perekonomian, industri dan kegiatan sosial di masyarakat dan pemerintahan. Mulai dari perumahan dan permukiman, sistem energi, transportasi jalan raya, irigasi, pelabuhan udara dan laut, bangunan perkantoran, sekolah, rumah peribadatan, jaringan layanan air bersih hingga telekomunikasi, kesemua itu memerlukan dukungan infrastruktur handal. Perumahan dan permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Pemerintah DKI harus bertanggungjawab menyediakan perumahan dan permukiman, termasuk kepada rakyat miskin. Kini Jakarta masih menghadapi masalah masih rendahnya aksesibilitas MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) dan rakyat miskin terhadap hunian sehat dan tertata. Juga masih memiliki masalah kawasan kumuh. Mengacu Perda No.2 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi DKI Jakarta 2013-2017, Pemerintah DKI harus menjamin ketersediaan hunian dan ruang publik layak serta terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. RPJMD ini menargetkan pada akhir 2017 tercapai penataan kawasan permukiman kumuh 100 lokasi. Ada dua sasaran penting. Pertama, tersedianya rumah layak dan terjangkau untuk semua kelompok masyarakat. Kedua, tertatanya kawasan kumuh. Satu strategi harus diambil adalah penyediaan rumah layak huni bagi masyarakat dan peningkatan kualitas permukiman kota. Strategi operasional dilakukan melalui antara lain: kerjasama dalam penyediaan Rusun (Rumah Susun). Arah kebijakan pada dasarnya melaksanakan pembangunan Rusun murah. Target Rusun terbangun diharapkan (APBD). 700 unit 2014, 543 unit 2015, 400 unit 2016, 800 unit 2017. Total target terbangun 2017 mencapai 2.443 unit hunian. Berhasilkan Ahok mencapai target pembangunan Rusun dan penataan kawasan kumuh? Jawabannya, TIDAK ! Lihatlah data, fakta dan angka di bawah ini. Pada 2014 dan 2015, pembangunan Rusun memang tercapai 6 tower dan 18 blok dengan total voilume 2.478 unit. Yakni Rusun KS Tubun 3 tower (524 unit), Rusun Semper 1 tower (270 unit), Rusun Cakung Barat 4 blok (300 unit), Rusun Rawa Bebek 4 blok (400 unit), Rusun Jatinegara Kaum 3 blok (300 unit), rusun Jl. Bekasi Km2 sebanyak 2 blok (200 unit), Rusun Pinus Elok 1 blok (100 unit) dan Rusun Lokbi (Lokasi Binaan) Rawa Buaya 2 toqer (384 unit). Bagaimana realisasi 2016 ? Mengacu Suatu Sumber Media Ibukota (28 Juli 2016), pembangunan Rusun di DKI dipastikan batal karena masalah tanah di Cengkareng Barat, Jakbar, dan Penjaringan, Jakut. Pemprov DKI membeli lahan seluas 4,6 hektar di Cengkareng Barat diketahui bermasalah setelah menjadi temuan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) pada audit anggaran 2015, dibuka awal Juni 2016. Pemprov DKI membeli lahan itu seharga Rp.668 miliar pada November 2015. Padahal lahan itu sudah tercatat sebagai asset Pemprov DKI sejak 1967. Ahok telah diperiksa Bareskrim (Polri) terkait adanya dugaan gratifikasi (tindak pidana korupsi) dalam pembelian tanah ini. Pada 2016 diperkirakan terealisir hanya 2.359 unit dari rencana 8.094 unit. Kepala Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah (DPGP) DKI, Arifin, menyebutkan, dari total 21 lokasi direncanakan dibangunan 2016, baru 18 lokasi sudah beres pembebasan lahan. Dari 18 lokasi itu, pekerjaan fisik sudah mulai di 8 lokasi, yakni Rusun KS Tubun, Rusun Cakung Barat, Rusun Rawa Bebek, Rusun Jatinegara Kaum, dan Pinus Blok C serta Rusun Marunbda dan Lokbin Semper. Total 17 blok, 4 tower, dan 2.359 unit di 8 lokasi tersebut. Kegagalan ini menurut Ketua Komisi D DPRD DKI, Rois Hadayana Syaugie, karena perencanaan DPGP sangat lemah. Padahal, lanjutnya, tambahan Rusun diharapkan untuk mendukung normalisasi dan revitalisasi kawasan. “Jika perencanaan dan perhitungan cermat, dana Rp. 1,8 triliun untuk membangun Rusun tak akan sia-sia karena tak terserap hingga akhir tahun”, kilahnya. Dari jumlah itu, realisasi penyerapan hanya Rp. 600 miliar. Di lain fihak, Anggota DPRD DKI Komisi D, Bestari Barus menambahkan, Ahok menargetkan pembangunan 45.000 unit hingga akhir massa jabatannya pada 2017. Namun, realisasi jauh dari target. Maksudnya, GAGAL! Selanjutnya, arah kebijakan “penataan kawasan kumuh” skala kota yakni: (1). Menata kampung sepanjang daerah aliran sungai; (2). Menata kampung tematik; (3). Menata RW kumuh. Khusus penataan RW kumuh, target diharapkan tercapai 126 RW (2013), 78 RW (2014), 63 RW (2015),63 RW (2016) dan 57 RW (2017). Total target akhir 2017 mencapai 392 RW kumuh, Pada 2013, menurut Laporan Pertanggungjawaban Gubernur, mencapai 142 RW antara lain di Cipulir, Gandaria Utara, Pela Mampang dan Tegal Parang. Hal ini melewati target diharapkan. Namun, pada 2014, tidak terdapat laporan realisasi program penataan kawasan kumuh. Karena itu, dapat disimpulkan, kegiatan penataan kawasan kumuh tidak dapat terlaksana. Pada 2015, Laporan Pertanggungjawaban Gubernur juga tidak menyajikan realisasi pelaksanaan program dan kegiatan penataan kawasan kumuh. Ahok justru melakukan penggusuran paksa rakyat dari kawasan perumahan dan permukiman kumuh. Pada 2014 Ahok mengalokasikan anggaran hingga Rp. 6 triliun untuk penggusuran paksa pada 127 titik di Jakarta. Penggusuran paksa ini dalam banyak kasus tidak hanya melanggar hak atas tempat tinggal warga, namun juga hak atas pekerjaan layak melalui pemusnahan sumber mata pencaharian warga terkena penggusuran. Di lain fihak, sebagaimana ditegaskan Direktur Utama PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII), Sinthya Roesly, sejumlah pembangunan infrastruktur di Jakarta mengalami perlambatan, bahkan banyak mangkrak (Koran Sindo, 4 Desember 2015). Kondisi ini ditengarai dari perhitungan alokasi resiko tidak matang. Menurut Sinthya, pembangunan infrastruktur di Jakarta lebih banyak dilakukan oleh Pemerintah melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Padahal, pembangunan infrastruktur lebih efisien dengan adanya kerjasama antara pemerintah dan perusahaan swasta. Kesimpulan, Ahok tidak bertanggungjawab terhadap penyediaan perumahan dan permukiman MBR dan rakyat miskin DKI. Bukannya menyediakan tempat tinggal layak, malahan menggusur paksa MBR dan rakyat miskin. Ahok juga gagal urus pembangunan Rusun dan penataan kawasan perumahan dan permukiman kumuh di Ibukota Kota. Karena itu, dari indikator infrastruktur, Ahok tidaklah layak lanjut sebagai Gubernur DKI. Sangat rendah, kalau tak boleh dinilai sama sekali tidak ada, keberpihakan Ahok pada MBR dan rakyat miskin. Jika Ahok terus lanjut sebagai Gubernur, maka penggusuran paksa MBR dan rakyat miskin juga terus lanjut. Inilah salah satu alasan mengapa semakin banyak dan meluas rakyat DKI menolak dan menentang Ahok. Sebagai contoh, kasus-kasus penolakan rakyat atas “kehadiran” atau “kunjungan” Ahok di Jakarta Utara dan Condet (Jakarta Timur). Bagi pendukung buta Ahok, amat penting memahami realitas obyektif ini.