Senin, 01 Agustus 2016

PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TERHENTI

DI BAWAH Gubernur Ahok, pembangunan infrastruktur (sarana dan prasarana fisik) DKI Jakarta terhenti. Kondisi infrastruktur masih berantakan. Hampir semua pembangunan infrastruktur strategis di DKI seperti MRT dan pengendalian banjir hasil kerjaan Pemerintah Pusat, bukan Pemprov (Pemerintah Provinsi) DKI Jakarta. Hal ini sebagai konsekuensi rendahnya penyerapan anggaran belanja. Kalaupun terdapat kemajuan, hanya berkisar “taman terbuka”, sebagian besar dibiayai korporasi/swasta atas nama CSR (Coorporate Social Responsibility). Selama kepemimpinan Ahok, belum ada pembangunan infrastruktur strategis benar-benar terealisir, kecuali sekedar program di atas kertas. Infrastruktur memegang peranan penting sebagai salah satu roda penggerak pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Keberadaan infrastruktur merupakan bagian sangat penting dalam sistem pelayanan masyarakat. Berbagai fasilitas fisik merupakan hal vital guna mendukung berbagai kegiatan pemerintahan, perekonomian, industri dan kegiatan sosial di masyarakat dan pemerintahan. Mulai dari perumahan dan permukiman, sistem energi, transportasi jalan raya, irigasi, pelabuhan udara dan laut, bangunan perkantoran, sekolah, rumah peribadatan, jaringan layanan air bersih hingga telekomunikasi, kesemua itu memerlukan dukungan infrastruktur handal. Perumahan dan permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Pemerintah DKI harus bertanggungjawab menyediakan perumahan dan permukiman, termasuk kepada rakyat miskin. Kini Jakarta masih menghadapi masalah masih rendahnya aksesibilitas MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) dan rakyat miskin terhadap hunian sehat dan tertata. Juga masih memiliki masalah kawasan kumuh. Mengacu Perda No.2 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi DKI Jakarta 2013-2017, Pemerintah DKI harus menjamin ketersediaan hunian dan ruang publik layak serta terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. RPJMD ini menargetkan pada akhir 2017 tercapai penataan kawasan permukiman kumuh 100 lokasi. Ada dua sasaran penting. Pertama, tersedianya rumah layak dan terjangkau untuk semua kelompok masyarakat. Kedua, tertatanya kawasan kumuh. Satu strategi harus diambil adalah penyediaan rumah layak huni bagi masyarakat dan peningkatan kualitas permukiman kota. Strategi operasional dilakukan melalui antara lain: kerjasama dalam penyediaan Rusun (Rumah Susun). Arah kebijakan pada dasarnya melaksanakan pembangunan Rusun murah. Target Rusun terbangun diharapkan (APBD). 700 unit 2014, 543 unit 2015, 400 unit 2016, 800 unit 2017. Total target terbangun 2017 mencapai 2.443 unit hunian. Berhasilkan Ahok mencapai target pembangunan Rusun dan penataan kawasan kumuh? Jawabannya, TIDAK ! Lihatlah data, fakta dan angka di bawah ini. Pada 2014 dan 2015, pembangunan Rusun memang tercapai 6 tower dan 18 blok dengan total voilume 2.478 unit. Yakni Rusun KS Tubun 3 tower (524 unit), Rusun Semper 1 tower (270 unit), Rusun Cakung Barat 4 blok (300 unit), Rusun Rawa Bebek 4 blok (400 unit), Rusun Jatinegara Kaum 3 blok (300 unit), rusun Jl. Bekasi Km2 sebanyak 2 blok (200 unit), Rusun Pinus Elok 1 blok (100 unit) dan Rusun Lokbi (Lokasi Binaan) Rawa Buaya 2 toqer (384 unit). Bagaimana realisasi 2016 ? Mengacu Suatu Sumber Media Ibukota (28 Juli 2016), pembangunan Rusun di DKI dipastikan batal karena masalah tanah di Cengkareng Barat, Jakbar, dan Penjaringan, Jakut. Pemprov DKI membeli lahan seluas 4,6 hektar di Cengkareng Barat diketahui bermasalah setelah menjadi temuan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) pada audit anggaran 2015, dibuka awal Juni 2016. Pemprov DKI membeli lahan itu seharga Rp.668 miliar pada November 2015. Padahal lahan itu sudah tercatat sebagai asset Pemprov DKI sejak 1967. Ahok telah diperiksa Bareskrim (Polri) terkait adanya dugaan gratifikasi (tindak pidana korupsi) dalam pembelian tanah ini. Pada 2016 diperkirakan terealisir hanya 2.359 unit dari rencana 8.094 unit. Kepala Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah (DPGP) DKI, Arifin, menyebutkan, dari total 21 lokasi direncanakan dibangunan 2016, baru 18 lokasi sudah beres pembebasan lahan. Dari 18 lokasi itu, pekerjaan fisik sudah mulai di 8 lokasi, yakni Rusun KS Tubun, Rusun Cakung Barat, Rusun Rawa Bebek, Rusun Jatinegara Kaum, dan Pinus Blok C serta Rusun Marunbda dan Lokbin Semper. Total 17 blok, 4 tower, dan 2.359 unit di 8 lokasi tersebut. Kegagalan ini menurut Ketua Komisi D DPRD DKI, Rois Hadayana Syaugie, karena perencanaan DPGP sangat lemah. Padahal, lanjutnya, tambahan Rusun diharapkan untuk mendukung normalisasi dan revitalisasi kawasan. “Jika perencanaan dan perhitungan cermat, dana Rp. 1,8 triliun untuk membangun Rusun tak akan sia-sia karena tak terserap hingga akhir tahun”, kilahnya. Dari jumlah itu, realisasi penyerapan hanya Rp. 600 miliar. Di lain fihak, Anggota DPRD DKI Komisi D, Bestari Barus menambahkan, Ahok menargetkan pembangunan 45.000 unit hingga akhir massa jabatannya pada 2017. Namun, realisasi jauh dari target. Maksudnya, GAGAL! Selanjutnya, arah kebijakan “penataan kawasan kumuh” skala kota yakni: (1). Menata kampung sepanjang daerah aliran sungai; (2). Menata kampung tematik; (3). Menata RW kumuh. Khusus penataan RW kumuh, target diharapkan tercapai 126 RW (2013), 78 RW (2014), 63 RW (2015),63 RW (2016) dan 57 RW (2017). Total target akhir 2017 mencapai 392 RW kumuh, Pada 2013, menurut Laporan Pertanggungjawaban Gubernur, mencapai 142 RW antara lain di Cipulir, Gandaria Utara, Pela Mampang dan Tegal Parang. Hal ini melewati target diharapkan. Namun, pada 2014, tidak terdapat laporan realisasi program penataan kawasan kumuh. Karena itu, dapat disimpulkan, kegiatan penataan kawasan kumuh tidak dapat terlaksana. Pada 2015, Laporan Pertanggungjawaban Gubernur juga tidak menyajikan realisasi pelaksanaan program dan kegiatan penataan kawasan kumuh. Ahok justru melakukan penggusuran paksa rakyat dari kawasan perumahan dan permukiman kumuh. Pada 2014 Ahok mengalokasikan anggaran hingga Rp. 6 triliun untuk penggusuran paksa pada 127 titik di Jakarta. Penggusuran paksa ini dalam banyak kasus tidak hanya melanggar hak atas tempat tinggal warga, namun juga hak atas pekerjaan layak melalui pemusnahan sumber mata pencaharian warga terkena penggusuran. Di lain fihak, sebagaimana ditegaskan Direktur Utama PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII), Sinthya Roesly, sejumlah pembangunan infrastruktur di Jakarta mengalami perlambatan, bahkan banyak mangkrak (Koran Sindo, 4 Desember 2015). Kondisi ini ditengarai dari perhitungan alokasi resiko tidak matang. Menurut Sinthya, pembangunan infrastruktur di Jakarta lebih banyak dilakukan oleh Pemerintah melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Padahal, pembangunan infrastruktur lebih efisien dengan adanya kerjasama antara pemerintah dan perusahaan swasta. Kesimpulan, Ahok tidak bertanggungjawab terhadap penyediaan perumahan dan permukiman MBR dan rakyat miskin DKI. Bukannya menyediakan tempat tinggal layak, malahan menggusur paksa MBR dan rakyat miskin. Ahok juga gagal urus pembangunan Rusun dan penataan kawasan perumahan dan permukiman kumuh di Ibukota Kota. Karena itu, dari indikator infrastruktur, Ahok tidaklah layak lanjut sebagai Gubernur DKI. Sangat rendah, kalau tak boleh dinilai sama sekali tidak ada, keberpihakan Ahok pada MBR dan rakyat miskin. Jika Ahok terus lanjut sebagai Gubernur, maka penggusuran paksa MBR dan rakyat miskin juga terus lanjut. Inilah salah satu alasan mengapa semakin banyak dan meluas rakyat DKI menolak dan menentang Ahok. Sebagai contoh, kasus-kasus penolakan rakyat atas “kehadiran” atau “kunjungan” Ahok di Jakarta Utara dan Condet (Jakarta Timur). Bagi pendukung buta Ahok, amat penting memahami realitas obyektif ini.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda