Sabtu, 13 Agustus 2016

SEBAGAI GUBERNUR DKI, SESUNGGUHNYA AHOK TAK LAYAK

Pada 2017 rakyat DKI Jakarta akan menyelenggarakan Pilgub. Berbagai tokoh politik mulai memunculkan diri dan menyatakan berminat sebagai peserta Pilgub. Ahok sesumbar akan maju dari “jalur perseorangan” atau bukan jalur Parpol. Ia juga sesumbar akan mengumpulkan sejuta KTP warga DKI. Ahok berkilah, lebih memilih jalur perseorangan ketimbang jalur Parpol. Namun, kemudian Ahok menyatakan bersedia diusung Parpol sebagai Calon Gubernur DKI. Publik dan pendukung buta Ahok tertipu ! Berbeda dengan Pilgub DKI tahun 2012, Jokowi – Ahok diusung PDIP dan Partai Gerindra. Pada Pilgub DKI 2017 mendatang, Ahok belum mendapat kepastian dari kedua partai itu untuk mengusungnya kembali sebagai Calon Gubernur. PDIP mengajukan alasan sendiri belum memberi dukungan kepada Ahok. Megawati selaku Ketua Umum PDIP mensyaratkan Ahok harus terlebih dahulu meninggalkan ‘teman Ahok’ sebelum PDIP mempertimbangkan kemungkinan mengusung Ahok sebagai cagub. Syarat dari PDIP ini dibalas Ahok secara emosional dengan mengatakan pihaknya tidak memerlukan dukungan partai untuk bertarung di Pilgub DKI 2017. Pernyataan Ahok ini dimuat berbagai media dan ditindaklanjuti Ahok dengan membentuk Tim Sukses “Teman Ahok” untuk mengumpulkan KTP dan surat dukungan rakyat pemilih Jakarta. Berbagai Posko pengumpulan KTP didirikan. Sikap emosional Ahok terhadap PDIP kemudian dikembangkan dengan mengerahkan media massa untuk membentuk opini publik negatif terhadap Parpol. Opini ini dimaksudkan untuk menekan partai-partai agar mau mendukung Ahok. Karena meski di depan publik Ahok selalu mengatakan tidak butuh Parpol, namun di belakang dan tanpa sepengetahuan publik, Ahok dan Timnya gerilya mati-matian untuk meraih dukungan Parpol. Bahkan berani mengklaim, PKB dan PAN telah bersedia memberikan dukungan dalam pencalonan dirinya. Ahok meradang dengan syarat diajukan PDIP agar ia meninggalkan Teman Ahok. Bagi Ahok, mustahil karena ‘Teman Ahok’ inilah sebenarnya merupakan sponsor utama, pelindung dan donatur Ahok selama ini. Sulit bagi Ahok memenuhi permintaan Megawati agar Ahok meninggalkan ‘teman-temannya’ sebagai syarat agar PDIP dapat mempertimbangkan mengusung Ahok sebagai Calon Gubernur. Informasi berkembang di kalangan elit politik Jakarta, Ahok sudah menyiapkan strategi jitu untuk meraih dukungan Parpol sesuai syarat pencalonan pada Pilkada 2017. Pertama Ahok menaikan tawaran ‘mahar’ kepada PDIP. Disebut-sebut jumlahnya fantastis yaitu Rp. 250 miliar atau lebih dua kali lipat dibanding mahar Jokowi-Ahok pada Pilkada 2012 sebesar Rp100 miliar. Jumlah mahar itu tidak berarti bagi Ahok didukung puluhan konglomerat Cina. Di samping menawarkan mahar ratusan miliar rupiah, Ahok melobi Parpol lain untuk mendukungnya. Tetapi, hingga tulisan ini dibuat, Ahok mendapatkan dukungan baru Golkar, Nasden dan Hanura. Pertarungan Pilgub DKI 2017 dipastikan semakin keras dan seru karena Ahok pasti mati-matian dan habis-habisan berusaha memenangkan pertarungan dengan segala cara. Kegagalan memenangkan peraturan dapat membawa bencana bagi Ahok yang sedang diincar berbagai kasus korupsi. Kemenangan Ahok di Pilkada 2017 akan membuka jalan baginya untuk terus memberi konsesi luar biasa kepada para pengusaha dan konglomerat Cina telah setia membantu selama ini. Bahkan, kemenangan Pilkada 2017 membuka jalan “ambisius” Ahok maju Cawapres atau Caprres Pilpres 2019. Sesungguhnya peluang Ahok untuk memenangkan pertarungan dalam Pilgub DKI 2017 masih menghadapi jalan terjal. Secara sosiologi dukungan Ahok tergolong minoritas, baik berdasarkan primordial agama, etnis maupun strata sosial. Jika dalam pelaksanaan Pilgub 2017 Ahok tetap meraih suara terbanyak, hal itu sangat penting untuk dipertanyakan: mengapa pendukung minoritas bisa mencapai suara mayoritas di masyarakat pemilih DKI? Tentu saja, jawabannya negatif, telah terjadi “politik uang”. Para korporet Cina telah menggunakan dana mereka melakukan politik uang demi perolehan suara Ahok. Hal ini berakibat, proses demokratisasi di rakyat DKI menjadi menyimpang dan “dikotori” oleh koorporet Cina. Demokrasi semakin menghamba pada kepentingan koorporet Cina, bukan kepada rakyat. Kedaulatan rakyat dikhianati menjadi kedaulatan korporet Cina. Ahok memang memiliki kekuatan dan potensi karena posisinya masih sebagai Gubernur DKI Jakarta dan “inkamben”. Ia memiliki akses dan kewenangan mengelola sekitar Rp. 70 triliun APBD dan kewenangan mengeluarkan perizinan dan konsesi bisnis kepada korporet. Namun, secara sosiologis sesungguhnya posisi Ahok tergolong minoritas, dan irasional untuk memenangkan pertarungan dalam Pilgub DKI 2017. Peluang Ahok sangat kecil. Berdasarkan komposisi agama, penduduk DKI terdiri dari Islam (85,36%); Protestan (7,54%); Katolik (3,15%); Buddha (3,13%); Hindu (0,21%); dan, Konghucu (0.06%). Ahok sendiri beragama Protestan, sangat kecil, sementara pemilih terbesar beragama Islam (85 %). Sejak Pemilu tahun 55 hingga tahun 2014, perilaku pemilih ummat “Islam Politik” tidak memilik tokoh atau partai non Islam. Jumlahnya sekitar 35-40 persen. Hasil survei terakhir 40-45 % rakyat DKI akan memilih Calon Muslim. Primordialisme agama masih berlaku di DKI. Di lain pihak, dari segi komposisi etnis/ras, penduduk terbesar adalah Jawa (35,16%), menyusul Betawi (27,65%), Sunda (15,27%), Cina (5,53%), Batak (3,61%), Minang(3,18%), Melayu (1,62%), Bugis, Aceh, Madura dan lain-lain. Jumlah pribumi mencapai 94 persen. Ahok beras Cina, minoritas. Dalam perspektif primordialisme, tak rasional mayoritas pribumi memilih Ahok. Meski komposisi penduduk DKI mayoritas bukan ras Cina dan agama non Islam, tetapi Ahok dengan berbagai cara melalui kelompok pendukung, Teman Ahok, lembaga survey bayaran dan media massa khusus milik korporet Cina membangun opini: Ahok kuat, elektabilitas tinggi, mayoritas publik mendukung. Kesimpulan irasional ini akan terus menerus dibangun sehingga pada saat pelaksanaan pemilihan, Ahok menang telah “terjustifikasi” dengan pencitraan dan opini ini. Padahal mustahil Ahok memperoleh suara terbanyak sepanjang pelaksanaan pemungutan suara jujur dan adil tanpa politik uang. Sungguh masih ada cahaya terang untuk proses demokratisasi. Ahok bukan Jokowi dan rakyat pemilih Jakarta sudah mengetahui karakter dan kinerja Ahok selama menjabat Wagub dan Gubernur DKI. Berdasarkan pengalaman kerja sebagai Gubernur, Ahok sesungguhnya tak layak. Mengapa? Setidaknya 8 alasan dan argumentasi: 1. Suka konflik. 2. Integritas Ahok rendah. 3. Suka melanggar hokum. 4. Suka menggusur paksa rakyat. 5. Kinerja buruk dan rapor merah. 6. Tutur kata kotor dan kasar. 7. Suka kambinghitamkan fihak lain. 8. Kondisi rakyat DKI terus merosot. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (Ketua Dewan Pendiri NSEAS, Network for South East Asian Studies). Edisi 13 Agustus 2016. Jika sepakat kandungan tulisan ini, silakan sebarluaskan. Trims.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda