Senin, 22 Agustus 2016

Elektabilitas Ahok, Kekalahan dan Kerusuhan Sosial

Dlm kondisi pilkada maupun pilpres acapkali kita temukan bermunculan lembaga survei opini publik. Beberapa lembaga pemain lama, beberapa muncul kontekstual pilpres atau pilkada tsb. Ada lembaga hasilnya dipublisir, ada tidak. Ada sudah punya sponsor, ada sedang memasarkan diri belum punya sponsor. Biasanya yg punya sponsor, membesar besarkan sang sponsor sehingga posisi sebagai pengiklan politik figur. Yg belum punya sponsor, meninggikan angka yg dinilai punya dana besar, tapi untuk lawannya diberi harapan dan peluang untuk kalahkan yg angkanya dibesarkan itu. Adalah sukar ditemukan lembaga survei sungguh2 tanpa sponsor di Indonesia krn biaya total survei yg benar tatap muka di atas Rp. 100 juta, kecuali metode via telepon. Publikasi hasil survei acapkali berfungsi sbg iklan atau promosi calon yg membiayai lembaga itu. Untuk politik uang, lembaga2 survei dibayar membangun persepsi dan pandangan bahwa Calon tertentu sangat kuat dan tak terkalahkan dgn angka elektabulitas misalnya 57 persen. Peran lembaga2 ini menjustifikasi angka perolehan suara resmi dari KPU yg dgn curang memenangkan Calon dimaksud. Namun, angka itu hasil kecurangan kerjasama dgn oknum2 KPUD dan PPK. Disamping itu, pemilih terima duit untuk memberikan suara ke Calon pihak pembayar. Cara memberi duit ke pemilih bisa melalui relawan, bisa kader parpol pengusung dan pendukung. Sy mencoba mencermati kini dinamika lembaga survei yg semua mengklaim terbuka, elektabilitas Ahok paling tinggi sejak Januari hingga Agustus 2016. Tetapi, ternyata angka2 disajikan menunjukkan Ahok sangat mungkin kalah dlm pendekatan sosiologis. Kita lupakan dulu lembaga survei ini sudah punya sponsor atau masih memasarkan diri. Lembaga sudah mempubilisir hasil survei, lepas jujur atau bohong, yakni 1. Kedai Kopi, 2. Sinerji Data Indonesia, 3. Charta Politika, 4. Populi Center, 5. Cyrus Networks, 6. LSPI, 7. Lingkaran Survei Ibdonesia, SMRC, 8. Manilka Consulting, dan 9. Lembaga Psikologi Politik UI. Rata2 elektabilitas Ahok 43,25 persen (Januari), 43,50 (Februari), 45,15 (Maret), 48,15 (April), 57 (Mei), 42,16 (Juni), 37,40 (Agustus). Utk Juli, tak ada kegiatan survei. Data per bulan di atas menunjukkan, Feb. naik 0,25 persen, Maret naik 1,62, April naik 3, 00, Mei naik 9,15, Juni turun 5,16, Agustus turun 5,24 persen. Gelombang dahsyat anti Ahok dan Abah (asal bukan Ahok) dari beragam aliran politik dan strata sosial, menyebabkan lembaga survei tak bisa mempertahankan angka di atas 50 persen. Bagaimanapun, gelombang anti Ahok akan kian membesar dan meluas menyentuh hingga ke strata MBR dan grassroats. Elektabilitas juga akan terus nenurun, rata2 minimal 5 persen. Diperkirakan, September elektabilitas Ahok turun menjadi 32 persen, Oktober 27 persen, November 22 persen, dan Desember di bawah 20 persen. Secara sosiologis perilaku pemilih atas dasar ikatan primordialisme kepada Ahok dari gabungan ras dan agama, ya...jumlah pemilih Ahom ada pada angka di bawah 20 persen. Karena itu, kalau ada hanya dua pasang Cagub, Ahok sangat mungkin kalah lawan Abah. Sekalipun terdapat lima pasang, akan ada putaran kedua yg juga Ahok akan kalah lawan gabungan rakyat Abah. Dgn gunakan hasil survei bayaran maupun tidak yg dipublikasi sejak Januari hingga Agustus 2016 ini, dapat diperkirakan, Ahok KALAH ! KEKALAHAN AHOK ini rasional sesuai hasil survey yg dipublisir yg selama ini membuat pendukung buta Ahok gembira ria dan riak. MASALAH muncul, Jika KPUD Jakarta memutuskan, Ahok menang dlm Pilkada 2017 , jelas tak rasional. Rakyat Abah pasti mengklaim, Tim Sukses dan Relawan Ahok gunakan politik uang dan tindak kecurangan. Hal ini bisa timbulkan "goro-goro" atau kerusuhan sosial (social unrest) anti Cina....sebagaimana terjadi pada jelang keruntuhan kekuasaan rezim Suharto (1998). Jika terjadi goro-goro, bisa buat kekuasaan rezim Jokowi-JK juga runtuh.....Oleh Muchtar Effendi Harahap/NSEAS.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda