Selasa, 29 September 2015

RUU TENTANG JASA KONSTRUKSI: BEBERAPA ISSUE STRATEGIS DALAM PERSPEKTIF ASOSIASI PROFESI

I. INISIATIF DPR Paroh akhir tahun 2015 ini di kalangan masyarakat jasa konstruksi membicarakan issue-issue strategis Rencana Undang-Undang (RUU) tentang Jasa Konstruksi. RUU ini adalah inisiatif DPR, bukan Pemerintah. Sebagai inisiatif DPR, RUU ini membutuhkan tanggapan Pemerintah, terutama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dalam bentuk daftar permasalahan dan usulan perbaikan atau penyempurnaan kandungan RUU dimaksud. RUU ini semula terdapat 111 pasal, kemudian berubah menjadi 113 pasal. Tujuan RUU ini adalah: 1. Memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil jasa konstruksi yang berkualitas; 2. Mewujudkan tertib penyelenggaraan jasa konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 3. Mewujudkan peningkatan partisipasi masyarakat di bidang jasa konstruksi; 4. Menata system jasa konstruksi yang mampu mewujudkan keselamatan public dan menciptakan kenyamaan lingkungan terbangun; 5. Menjamin tata kelola penyelenggaraan jasa konstruksi yang baik; dan 6. Menciptakan integrasi nilai seluruh layanan dari tahapan penyelenggaraan jasa konstruksi. Khusus untuk tenaga kerja konstruksi, terdapat satu Bab tersendiri (BAB VII), mencakup klasifikasi dan kualifikasi; pelatihan tenaga kerja konstruksi; sertifikasi kompetensi kerja; registrasi pengalaman professional; standar remunerasi; tenaga kerja konstruksi asing; tanggungjawab profesi. Tenaga kerja konstruksi terdiri atas klasifikasi di bidang arsitektur, sipil, mekanikal, elektrikal, tata lingkungan, dan manajemen pelaksanaan. Tenaga kerja konstruksi terdiri atas kualifiksai dalam jenjang: 1. Jabatan operator; 2. Jabatan teknisi atau analis; dan 3. jabatan ahli. II.SERTIFIKASI KOMPETENSI KERJA: Terkait sertifikasi kompetensi kerja, ditentukan: 1. Setiap tenaga kerja yang bekerja di bidang konstruksi wajib memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja; 2. Sertifikat Kompetensi Kerja diberikan kepada tenaga kerja konstruksi telah memenuhi standar kompetensi kerja; 3. Sertifikat kompetensi kerja diberikan oleh Lembaga Sertifikat Profesi (LSP) bidang jasa konstruksi; 4. LSP dapat dibentuk oleh BSRJK atau oleh masyarakat jasa konstruksi; 5. LSP melakukan registrasi Sertifikat Kompetensi Kerja yang diterbitkan kepada BSRJK; 6. LSP wajib mengikuti ketentuan pelaksanaan pemberian Sertifikat Kompetensi Kerja ; 7. Registrasi Sertifikat Kopetensi Kerja harus dilakukan melalui asosiasi profesi yang terakreditasi diberikan oleh Menteri kepada asosiasi profesi memenuhi persyaratan. Adapun persyaratan dimaksud adalah 1. Jumlah dan sebaran anggota; 2. Pemberdayaan kepada anggota; 3. Pemilihan pengurus secara demokratis; 4. Sarana dan prasarana di tingkat pusat dan daerah; dan, 5. Melakukan kewajiban. II. REGISTRASI PENGALAMAN PROFESIONAL: Untuk registrasi pengalaman professional ini, ditetapkan: 1. Untuk mendapatkan pengakuan pengalaman professional, setiap tenaga kerja konstruksi pada kualifikasi jenjang jabatan ahli harus melakukan registrasi kepada BSRJK; 2. Registrasi dibuktikan dengan tanda daftar pengalaman profesional; 3. Tanda daftar pengalaman profesional (paling sedikit memuat: a. Jenis layanan profesional yang diberikan; b. Nilai pekerjaan konstruksi terkait dengan hasil layanan profesional; c. Tahun pelaksanaan pekerjaan; dan, d. Nama pengguna jasa). III. BSRJK SEBAGAI PENGGANTI LPJKN: RUU ini telah menghilangkan LPJKN selama ada, diganti dengan Badan Sertifikasi dan Registrasi Jasa Konstruksi (BSRJK). Badan ini bertugas dan berfungsi terlepas dari kekuasaan dan kepentingan golongan atau kelompok, dibentuk oleh dan bertanggungjawab kepada Menteri, berkedudukan di Ibukota Negara, dan dapat membentuk perwakilan di tingkat provinsi yang berkedudukan di ibukota Provinsi. BSRJK terdiri dari seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota dengan jumlah 5 (lima) anggota. Anggota Badan ini diangkat oleh Menteri melalui Panitia Seleksi dibentuk oleh Menteri bersangkutan. Masa keanggotaan BSRJK adalah 5 (lima) Tahun. Adapun tugas dan wewenang BSRJK meliputi:1. Menyelenggarakan Sertifikasi dan registrasi badan usaha; 2. Menyelenggarakan registrasi pengalaman usaha; 3. Menyelenggakan registrasi penilaian ahli; 5. Menetapkan penilai ahli yang terdaftar dalam hal terjadi kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan; 6. Membentuk lembaga sertifikasi profesi (LSP) bidang jasa konstruksi; 7. Menyelenggarakan registrasi pengalaman profesional; dan 8. Memberikan masukan kepada Pemerintah dalam merumuskan kebijakan Jasa Konstruksi nasional. BSRJK berkordinasi dengan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. Pembiayaan BSRJK bersumber APBN dan/atau sumber lain yang sah sesuai peraturan perundang-undangan. Biaya diperoleh dari masyarakat atas jasa lainnya diberikan oleh BSRJK merupakan penerimaan Negara bukan pajak. Untuk mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang BSRJK dibentuk Sekretariat. IV. POSISI PEMERINTAH: Saat tulisan ini dibuat, posisi Pemerintah dalam menindaklanjuti inisiatif DPR ini telah melaksanakan berbagai kegiatan, antara lain: 1. Mendiskusikan dengan stakeholders jasa konstruksi (asosiasi, pakar/perguruan tinggi), sehingga menghasilkan usulan hasil konsolidasi; 2. Mengikuti FGD di 3 Provinsi (Bali, Jatim dan Sumut) dan mendampingi kunjungan kerja Komisi V DPR ke Korea dan Kanada; 3. Mengikuti RDP bersama LPJK, Gapensi, Gapeksindo, Gapenri, AKI, Inkindo dan Perkindo; 4. Melaksanakan FGD dengan Tenaga Ahli, Peneliti, Legal Drafting Sekretariat Komisi V DPR; 5. Diskusi dengan Tenaga Ahli Lingkungan DPR yang dinisiasi oleh Partai Gerindra; 6. FGD dengan pemangku kepentingan tertentu (3 kali dan terus berlanjut); 7. Konsinyering isu-isu strategis dalam RUU Jasa Konstruksi dengan kelompok unsur Asosiasi Perusahaan dan Asosiasi Profesi. Bagi Pemerintah, terdapat sejumlah issue strategis, sehubungan dengan : 1. Pembinaan; 2. Perlindungan terhadap Pelaku Lokal; 3. Pengaturan remunerasi terhadap tenaga kerja konstruksi; 4. Kegagalan pekerjaan konstruksi dan kegagalan bangunan; Sertifikasi Tenaga kerja Konstruksi; 6. Sertifikasi Badan Usaha; 8. Konsepsi keberadaan unit penyelengaraan pengembangan jasa konstruksi; 9. Konsepsi keberadaan kesekretariatan unit penyelenggara pengembangan jasa konstruksi; 10. Pengawasan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi; 112. Pengendalian badan usaha asing; dan, 12. Mendorong tumbuhnya Badan Usaha Spesialis. Bagi Pemerintah, hal-hal lain perlu mendapatkan perhatian: 1. Pengaturan proses penyelenggaraan jasa konstruksi dituangkan dalam Peraturan Presiden tersendiri; 2. Penilaian kelayakan hasil pekerjaan konstruksi dilaksanakan oleh instansi penanggung jawabnya; 3,. Mendorong terbentuknya Lembaga Pembiayaan Konstruksi yang mampu menyediakan pinjaman modal lebih murah; 4. Pengaturan mendorong terwujudnya ketahanan konstruksi; 5. Mendorong BUJK kualifikasi besar untuk berinvestasi dalam bentuk peralatan konstruksi; 6. Perlu mengakomodasi substansi diatur dalam Perpres Percepatan Pembangunan Pekerjaan Infrastruktur Strategis; 7. Pengaturan jumlah asosiasi yang memiliki tugas public; dan, 8. Dimungkinkannnya pembentukan BUJK langsung berkualifikasi besar. V. PERSPEKTIF ASOSIASI PROFESI: Sesungguhnya RUU ini merupakan upaya untuk mengurangi atau menarik kembali wenanang yang didelagasikan kepada masyarakat jasa konstruksi dalam bentuk LPJKN dan LPJKP untuk pembinaan dan pengembangan jasa konstruksi. Kewenangan itu kembali diambil Negara melalui Kementerian PUPR, yakni menetapkan personil BSRJK. Secara umum RUU ini memenuhi kepentingan asosiasi profesi, yakni asosiasi diberi wewenang untuk melakukan sertifikasi kompetensi tenaga ahli profesional melalui Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP). Ada beberapa issue strategis dalam perspektif asosiasi profesi. Pertama, asosiasi profesi diberi wewenang untuk mendirikan LSP dan sekaligus melakukan sertifikasi kompetensi. Namun, dalam hal ini RUU juga memberi hak kepada BSRJK dan masyarakat jasa konstruksi untuk membuat LSP. Bagi, asosiasi profesi, BSRJK membentuk LSP hanya untuk sertifikasi kompetensi tenaga kerja asing. Juga masyarakat jasa konstruksi tidak perlu membuat LSP karena akan dapat menimbulkan persaingan tidak sehat dengan LSP-LSP asosiasi profesi. Kedua, Pemerintah Pusat bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelatihan tenaga kerja konstruksi. Prakarsa ini sangat baik, namun secara nasional Pemerintah Pusat pasti tidak bisa memenuhi kebutuhan pelatihan tenaga ahli tersebar di seantero nusantara ini. Karena itu, RUU juga menetapkan bahwa Pemerintah Propinsi, Kota dan Kabupaten bertanggungjawab melaksanakan pelatihan tenaga kerja konstruksi. Ketiga, Pelatihan tenaga kerja konstruksi diselenggarakan oleh Lembaga Pelatihan Kerja. Hal ini terkesan bahwa asosiasi tidak boleh melaksanakan pelatihan atas wewenang Pemerintah dengan APBN . Perlu ada penegasan bahwa asosiasi diperkenankan untuk membuat pelatihan atas pendelegasian wewenang Pemerintah sebagai fihak bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelatihan tenaga kerja konstruksi. Keempat, standar renumerasi minimal bagi tenaga kerja konstruksi yang jenjang jabatan ahli, ditetapkan oleh Menteri. Selama ini ketentuan renumerasi minimal dari Menteri PUPR sesungguhnya tidak berlaku di kementerian-kementerian non kementerian PUPR. Padahal pekerjaan konstruksi juga terdapat di kementerian-kementerian tersebut, misalnya Kementerian perhubungan. Agar ketentuan renumerasi minimal ini berlaku di seluruh kementerian, maka perlu ditentapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda