Kamis, 03 September 2015

KASUS TANAH TAMAN BMW DAN SUMBER WARAS DALAM PERSPEKTIF KORUPSI SANDERA NEGARA (STATE CAPTURE CORRUPTION)

I. PENGANTAR IEPSH (Institut Ekonomi Politik Soekarno-Hatta), 29 Agustus 2015, menyelenggarakan acara “Mahkamah Intelektual” (MI) dengan Topik: “Mengupas Dugaan Korupsi di Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta: Kasus Tanah Taman BMW dan Kasus Tanah Sumber Waras”. Tujuan acara Mahkamah Intelektual ini antara lain: menambah akurasi informasi kasus tersebut melalui masukan data dan informasi dari Peserta. Saya diminta IEPSH untuk menjadi Penanggap Ahli dalam acara ini. Sebagai Penanggap Ahli, perkenankanlah saya memberikan kontribusi Makalah untuk menambah akurasi informasi kasus tanah Taman BMW dan Sumber Waras ini dalam perspektif “Korupsi Sandera Negara” atau “State Capture Corupption” II. PERSPEKTIF KORUPSI SANDERA NEGARA (STATE CAPTURE CORRUPTION) Cita-cita bangsa yang merdeka berupa terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera, menjadi “soul dan spirit” Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, tetap diperjuangkan oleh segenap komponen bangsa Indonesia. Namun, hasilnya masih jauh dari harapan. Satu aspek mendesak wajib hadir dalam kehidupan bangsa dewasa ini adalah “integritas” Negara—bangsa berdaulat, mandiri dan bermartabat. Hal ini menjadi tanggungjawab konstitusional pengelola kekuasaan Negara. Tantangan paling serius dan berat bagi pengelola kekuasaan. Negara untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan itu adalah “memberantas korupsi telah menjadi “penyakit kronis” bangsa Indonesia. Korupsi telah mengakibatkan kegagalan Negara menjalankan politik yang seharusnya “ a noble quest fo a good justice”, menguntungkan rakyat. Praktek korupsi menghisap hasil pembangunan untuk dinikmati segelincir orang, sebaliknya menyengsarakan rakyat banyak. Saking kronisnya, Indonesia pernah tercatat sebagai “juara dunia” di antara Negara-negara yang tingkat korupsi tinggi di dunia. Kondisi inilah membuat kinerja pemerintahan baik di era Orde Baru maupun Era Reformasi cenderung semakin parah dan sangat buruk, khususnya dalam menjalankan tugas dan fungsi Negara dalam melayani dan pro kepentingan rakyat. Namun, walaupun telah menggrogoti kemampuan Negara dalam menjalan tugas dan fungsi, korupsi jenis “konvensional” masih dikategorikan sebagai korupsi “korupsi biasa”, yang dominan modus operandi dalam pengadaan barang dan jasa Pemerintah baik sumebr dana APBN maupun APBD. III. PERSPEKTIF KORUPSI SANDERA NEGARA Perspektif Korupsi Sandera Negara (State Capture Corruption) menunjukkan jenis korupsi melalui konspirasi berbegai kekuatan ekonomi politik nasional dan internasional, disebut sebagai “korporatokrasi internasional”. Mereka menguasai ekonomi, politik dan sampai batas tertentu pertahanan keamanan Republik Indonesia. Kekuasaan Negara seperti Pemerintah (Eksekutif), DPR (Legislatif) dan Mahkamah Agung (Yudikatif) secara sadar atau tidak telah membuat keputusan-keputusan dalam rangka “menghamba” pada kepentingan korporasi (perusahaan) asing dan melakukan korupsi paling berbahaya. Jenis Korupsi Sandera Negara menyebabkan krisis dan kemerosotan kedaulatan ekonomi, kedaulatan politik, bahkan kedaulatan pertahanan keamanan bangsa Indonesia. Perspektif Korupsi Sandera Negara melihat adanya perwujudan dalam “pembelian” atau “transaksi” berbagai keputusan politik, penerbitan Undang-undang (UU) dan kebijakan-kebijakan Pemerintah oleh sector corpora (pengusaha) dan penyalahgunaan wewenang dalam mendatangkan keuntungan-keuntungan ekonomi. Dengan perkataan lain, sebuah korporasi (perusahaan) atau gabungan korporasi asing (korporatokrasi internasional) lewat Pemerintah sedang berkuasa mampu membeli keputusan politik, penerbitan UU dan kebijakan Pemerintah; mendiktekan kontrak harga atau perpanjangan kontrak misalnya di bidang pertambangan atau Minyak dan Gas Bumi (Migas), perbankan, pertanian, kehutanan, kelautan, pendidikan dan lain sebagainya. Konsekuensi negatifnya, Pemerintah sendiri hanya sekedar sebagai kepanjangan tangan korporasi-korporasi besar dan asing. Dalam perspektif Korupsi Sandera Negara, para pihak terlibat langsung maupun tidak juga bisa dari dunia usaha/profesi dan masyarakat madani. Sebagai contoh, Notaris, Advokat, media massa/jurnalis, lembaga penelitian dan survey opini publik, pimpinan Parpol, pimpinan Ormas, NGO’s/LSM, Ilmuwan Kampus/Pengamat, Peneliti, dll. Para pihak terlibat langsung atau tidak ini bagaikan “gerombolan” saling membantu dan menjustifikasi/merasionalisasi keputusan politik, penerbitan UU dan kebijakan Pemerintah syarat Korupsi Sandera Negara. Mereka pada prinsipnya mendapatkan “keuntungan” dari korporasi-korporasi nasional atau internasional yang melakukan pembelian. Bagi media massa, sebagai missal, bisa jadi mendapatkan keuntungan melalui pemasangan iklan komersial oleh korporasi-korporasi pelaku jenis korupsi ini di media massa bersangkutan. Jenis Korupsi Sandera Negara ini “paling berbahaya” dan dapat melumpuhkan kemampuan bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Jenis korupsi ini telah menjerumuskan rakyat Indonesia ke dalam lembah kemiskinan, penangguran dan keterbelakangan. Para pelaku korupsi ini biasanya saling melindungi sehingga sangat tidak mudah memberantas model korupsi sandera Negara ini. Melihat proses hukum yang kini berkembang dalam pemberantasan korupsi, kita pantas “pesimistis’ pisau hukum dapat diarahkan ke para pejabat pelaku korupsi sandera Negara. Jenis Korupsi Sandera Negara ini bisa juga berlaku pada tingkat Provinsi dan Kabupaten. Pada tingkat Provinsi bisa terwujud dalam “pembelian” berbagai keputusan politik Provinsi, Peraturan dan keputusan Gubernur, Peraturan Daerah (Perda), dan kebijakan-kebijakan Pemerintah Provinsi oleh sector korporat (perusahaan) dan penyalahgunaan wewenang Pemerintah Provinsi dalam mendatangkan keuntungan-keuntungan ekonomi bagi korporasi (perusahaan), dan bisa jadi keuntungan politik kekuasaan bagi Gubernur atau pejabat pembuat keputusan Pemerintahan Provinsi bersangkutan. Dengan perkataan lain, sebuah korporasi atau gabungan korporasi nasional dan bisa jadi bergabung dengan korporasi asing (korporatokrasi internasional) lewat Pemerintah Provinsi sedang berkuasa mampu membeli keputusan politik, Pergub atau SKGub, Perda dan kebijakan Pemerintah Provinsi baik di bidang pertanahan, permukiman dan perumahan, infrastruktur, pendidikan, dll. Akibatnya, Pemerintah Provinsi sendiri hanya sekedar kepanjangan tangan korporasi-korporasi nasional atau asing. IV. KASUS TANAH TAMAN BMW DAN SUMBER WARAS Perspektif Korupsi Sandera Negara dapat juga digunakan untuk menilai dugaan korupsi dalam kasus tanah Taman BMW dan Sumber Waras.Kasus tanah Taman BMW dan Sumber Waras ini juga terkait dengan kebijakan Gubernur DKI Jakarta yang dapat diduga telah dibeli oleh korporasi (perusahaan) dan juga pengusaha besar. Dugaan korupsi dimaksud dapat melibatkan berbagai pihak baik langsung maupun tidak dan memperoleh keuntungan-keuntungan baik ekonomi maupun politik kekuasaan. 4.1. Kasus Tanah Taman BMW Kasus tanah Taman BMW diduga ada tindak pidana korupsi dalam proses tukar guling. Meskipun Mantan Wagub DKI Jakarta, Prijanto telah melaporkan kasus ini ke KPK, namun Ahok selaku Gubernur DKI tetap ngootot membela Pengembang Agung Podomoro Land bahwa tidak ada korupsi dalam kasus tukar guling Taman BMW. Secara rinkas Kasus Tanah BMW ini sebagai berikut.Mengacu pada sumber informasi dari SNAK MARKUS (Solidaritas Nasional Anti Korupsi dan Anti makelar Kasus), secara ringkas kronologis kasus Taman BMW sebagai berikut: 1. Pada 1990/1991, terjadi sengketa tanah dengan penyelesaian konsignasi. Tanah disengketakan bukan Taman BMW. 2. Pada Maret 2003, Pemprov DKI Jakarta mendapat SK Hak Pakai Taman BMW dari Kanwil BPN DKI Jakarta. Karena Pemprov DKI Jakarta tidak mempunyai alas hak atas tanah BMW, maka permohonan sertifikasi tidak pernah dikabulkan. SK Hak Pakai “sudah gugur demi hukum”. 3. Pada 8 Juni 2007, terbit BAST ( Berita Acara Serah Terima Tanah) antara PT. Agung Podomoro dengan Pemrov DKI,. Taman BMW dimasukkan menjadi asset atas dasar BAST. 4. Pada Agustus 2008, Pemprov DKI mengeksekusi taman BMW atas dasar BAST. 5. Pada Awal September 2012, Dr. Eggi Sudjana lapor kepada Wagub Prijanto. 6. Pada 14 September 2012, Wagub Prijanto gelar perkara Taman BMW. Hasil gelar perkara, ada dugaan kolusi dan korupsi di atas Taman BMW. 7. Pada akhir 2002, dugaan korupsi Taman BMW dilaporkan oleh SNAK MARKUS ke KPK. 8. Pada awal 2013 sampai dengan Agustus 2013, Prijanto memberi info kepada Para Staf s/d Gubernur/Wagub DKI atas kasus Taman BMW. 9. Pada 7 November 2014, Prijanjto memberi data tambahan ke KPK. 10. Pada 28 Mei 2014, Gubernur Jokowi meresmikan dimulainya pembangunan Stadion di atas Taman BMW, dengan dasar sertifikat seluas 12 Ha yang diperoleh dari pemberian Hak Pakai (bukan dari BAST). Pembangunan Stadion Olahraga ini sebagai pengganti akibat pembebasan tanah Stadion Olahraga Lebak Bulus, Jakarta Selatan untuk pembangunan Kereta Api MRT. SNAK MARKUS menduga terdapat kolusi dan korupsi kasus tanah BMW (Pemrove DKI dengan PT. Agung Podomoro) Tanah Seluas: 265.395,99 m2 senilai Rp. 737.395.249.808. Tanah BMW bukan milik Pemrov DKI Jakarta. Tidak ada dasar hukumnya, klaim Pemrove DKI Jakarta bahwa Tanah BMW sudah menjadi miliknya sejak tahun 1990 (sebagai hasil konsignasi). Sebab, taman BMW ada di Kelurahan Papanggo, bukan di Kelurahan Sunter ataupun di Kelurahan Sunter Agung. SNAK MARKUS bahkan mempertanyakan kepada Gubernur Jokowi, mengapa membiarkan kasus dugaan kolusi & korupsi Taman BMW masala lalu? Apa Jokowi takut dengan pengembang PT.Agung Podomoro? Juga mempertanyakan, mengapa Jokowi kok berani mensertifikasi sebagian tanah BMW, padahal tanah maih status sengketa, dan mengapa alas hak untuk sertifikasi kok berbeda dengan BAST. Bagi SNAK MARKUS, sertifikasi tersebut melanggar PP. No.24 Tahun 1997 dan PMNA Nomor 3 Tahun 1997. SK Hak Pakai tahun 2003 sudah mati dan tidak bisa untuk dasar sertifikasi. SNAK MARKUS dalam menilai dugaan kolusi dan korupsi kasus Tanah BMW berdasarkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Jumlah luas tanah dalam 5 SPH 122.228 m2, tidak sama dengan luas yang tertulis dalam BAST 265.395,99 m2. 2. Para pelepas hak “menyanggah” & tanda tangan diduga dipalsukan=SPH fiktif. 3. Letak tanah-tanah dalam SPH bukan Taman BMW. 4. Taman BMW sebagai asset Pemprov DKI Jakarta adalah “fiktif” sehingga telah menimbulkan kerugian Negara sebesar Rp. 737.395.249.809,- 5. Memasukkan taman BMS sebagai Asset Pemprov DKI didasarkan BAST adalah “perbuatan melawan hukum”. Berdasarkan uraian di atas, para pihak yang terkait langsung atau tidak langsung dengan kasus tanah Taman BMW dalam perspektif korupsi sanadera Negara ini antara lain: 1. Gubernur DKI Jokowi dan Wakil Gubernur Ahok. 2. Korporasi, PT. Agung Podomoro dll. 3. Kanwil BPN DKI Jakarta. 4. BPN Jakarta Utara. 5. DPRD DKI Jakarta 6. Lurah Papango 7. Kementerian Perhubungan. 8. Pimpinan Manajemen Proyek MRT (Pendana, Konsultan dan Kontraktor Jasa Konstruksi MRT). 4.2. Kasus Tanah Sumber Waras Bermula dari temuan BPK bahwa pembelian 3,64 Ha Tanah milik yayasan Kesehatan Kesehatan Sumber Waras terindikasi merugikan uang Negara. Lokasi tanah dimaksud berada di Jalan Tomang Utara, suatu kampong sempit yang selalu macet pada jam kerja. Berdasarkan sumber http://www.pkspiyungan.org (2015/07/12), Garuda Institute menemukan 12 fakta hasil kajian soal BPK versus Korupsi Ahok. Garuda Institute mengecam keras provokasi yang disampaikan Ahok melalui media terhadap pejabat BPK terkait audit laporan keuangan Pemprove DKI 2014, terutama menyangkut pembelian tanah 3,64 Ha milik Yayasan Kesehatan Smber Waras. 12 Fakta hasil studi Garuda Institute dimaksud sebagai berikut: 1. Pemprove DKI membeli sebidang tanah di bagian belakang areal Rumah Sakit Sumber Waras, Grogol, seluas 3,64 Ha. Tanah ini tidak siap bangun karena di atasnya terdapat sejumlah bangunan milik RS Sumber Waras yang hingga kini masih difungsikan. Tanah tersebut juag dikenal sebagai langganan banjir. 2. Tanah 3,64 Ha itu berbatasan dengan rumah penduduk (Utara) Jalan Tomang Utara IV (Timur), Jalan Tomang Utara (Barat), dan RS Sumber Waras (Selatan). Jalan Tomang Utara adalah jalan kampung sempit yang selalu macet pada jam kerja. Saat ini tanah tersebut tiadk mempunyai akses jalan kecuali melalui tanah RS Sumber Waras. 3. Pemprove DKI membeli tanah tersebut sehanrga Rp. 20,75 juta per meter atau Rp. 744,69 miliar cash. Harga Rp. 20,75 juta per meter adalah NJOP tanah bagian depas areal RS Sumber Waras berbatasan dengan Jalan Kyai Tapa. Sementara NJOP tanah bagian belakang areal RS Sumber Waras berbatasan dengan Jalan Tomang Utara hanya Rp. 7,44 juta. 4. Pemilik tanah 3,64 Ha itu adalah Yayasan Kesehatan Sumber Waras yang yang pengurusnya dipimpin oleh Kartini Muljadi, perempuan terkaya di Indonesia. Yayasan itu didirikan orang-orang Cina bergabung dalam Perhimpunan Sosial Candra Naya yang sebelumnya bernama Perkumpulan Sin Ming Hui. 5. Tanah 3,64 Ha yang dibeli Pemprov DKI memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 2878 per 27 Mei 1998 dengan masa berlaku 20 tahun, alias habis 27 Mei 2018. Berdasarkan Pasal 36 Ayat (12) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, tanah dengan sertifikat HGB yang habis jangka waktunya otomatis menjadi tanah milik Negara. 6. Tanah 3,64 ha yang dibeli Pemprove DKI memiliki tunggakan utang pajak bumi dan bangunan (PBB) senilai total Rp. 6,62 miliar. Tunggakan pajak itu tiadk menjadi pengurangan harga beli sebabagaimana lazimnya praktik transasksi tanah. Posisi terakhir, Yayasan Kesehatan Sumber Waras baru membayar 50 % dari tunggakan tersebut. 7. Transaksi pembelian tanah antara Yayasan Kesehatan Sumber Waras dan Pemprove DKI dilakukan saat yayasan masih terikat dengan Akta Perjanjian Perikatan Jual Beli (APPJB) tanah yang sama dengan PT.Ciputra Karya Unggul. Yayasan seperti si ataur dalam APPJB itu, juga telah menerima uang muka Rp. 50 miliar dari PT Ciputra Karya Unggul. 8. Harga tanah dalam APPJB tersebut disepakati Rp. 15,50 juta per meter, ditambah syarat Yayasan Kesehatan Sumber Waras mengurus perubahan peruntukan tanah tersebut dari umum menjadi komersial. Sementara itu, Pemprov DKI membeli tanah tersebut seharga Rp. 20,75 juta per meter, tanpa syarat perubahan peruntukan. 9. Pengurus Yayasan Kesehatan Sumber Waras menawarkan tanah 3,64 Ha itu kepada Pemprov DKI dengan alamat Jalan Kyai Tapa, dengan harga NJOP pada 2014 sebesar Rp. 20,75 juta per meter (Rp. 755,69 miliar). Padahal, lokasi fisik tanahnya berada di Jalan Tomang Utara, dengan NJOP pada 2014 hanya Rp. 7,44 juta (Rp. 564,35 miliar). 10. Pemprov DKI membeli 3,64 Ha tanah itu Rp. 755,69 miliar tanpa menawar dan mengecek, sama dengan penawaran Yayasan Kesehatan Sumber Waras. Penawaran disampaikan 7 Juli 2014, dan direspons langsung oleh Gubernur DKI Jakarta pada 8 Juli2014 dengan mendisposisikannya ke Kepala Bappeda DKI untuk dianggarkan dalam APBD-P DKI 2014. 11. Pemprov DKI membeli tanah itu untuk dijadikan Rumah Sakit. Padahal, selain lokasinya tidak strategis, belum siap bangun, langganan banjir, dan tidak mudah diakses karena berada pada jalan kampong, Pemprove DKI juga amsih mempunyai banyak tanah yang strategis. Apalagi, kebutuhan minimal tanah untuk rumah sakit hanya 0,25 Ha (2.500 M2). 12. Sekalipun Gubernur DKI Ahok telah mengklaim akan membatalkan transaksi pembelian tanah itu, pada praktiknya pembatalan tersebut nyata bukan sepenuhnya berada dalam kekuasaan Pemprov DKI. Selama yayasan Sumber Waras tidak mau membatalkannya, maka transaksi itu pun tidak bisa dibatalkan. Berdasarkan uraian di atas, para pihak yang terkait dengan kasus tanah Sumber Waras ini antara lain: 1. Gubernur DKI Ahok 2. Kepala Bappeda DKI 3. DPRD DKI 4. Kartini Muljadi (Pimpinan Yayasan Kesehatan Sumber Waras) 5. Notaris V. INDIKASI KORUPSI SANDERA NEGARA Kebijakan Pemprov DKI Jakarta dengan PT.Agung Podomoro tentang Tanah seluas 265.395,99 M2 senilai Rp. 737.395.249.809, diklaim sebagai tanah diserahkan terima dari PT.Agung Podomoro kepada Pemprove DKI diduga mengandung unsur “korupsi sandera negara” dengan melibatkan para pihak sesuai kepentingan langsung maupun tidak langsung atas tanah Taman BMW tersebut, yakni Gubernur DKI Jokowi dan Wakil Gubernur Ahok; Korporasi, PT. Agung Podomoro dll; Kanwil BPN DKI Jakarta; BPN Jakarta Utara; DPRD DKI Jakarta; Lurah Papango; Kementerian Perhubungan; dan, Pimpinan Manajemen Proyek MRT (Pendana, Konsultan dan Kontraktor Jasa Konstruksi MRT). Kebijakan Pemprov DKI menerbitkan Sertifikat Tanah Taman BMW untuk pembangunan Stadion Olahraga lebih mengutamakan kepentingan korporasi pengembang. Sementara kepentingan rakyat pemilik tanah Taman BMW itu sendiri diabaikan hingga kini. Hingga kini, mereka terus berjuang namun Pemprov DKI belum juga memenuhi tuntutan mereka ini. Hubungan kepentingan politik antara Jokowi dan Ahok dengan korporasi PT. Agung Pdodmoro, dll perlu diteliti lebih mendalam untuk mengetahui motip Jokowi dan Ahok mengambil kebijakan menerbitkan dua Sertifikat dan berencana menjadikan tanah Taman Pemda DKI untuk pembangunan Stadion Olahraga sebagai pengganti pembebasan tanah Stadion Olahraga Lebak Bulus, Jakarta Selatan untuk pembangunan Kereta Api MRT. Model korupsi sandera Negara kasus tanah Sumber Waras ini bisa jadi telah melibatkan para penegak hukum dan media massa sehingga para pihak terlibat dapat terbebas dari hukuman tindak pidana korupsi. Kebijakan Pemprov DKI tentang pembelian tanah Yayasan Kesehatan Sumber Waras diduga mengandung unsure “korupsi sandera Negara” dengan melibatkan Ahok sebagai Guberbur; Kepala Bappeda DKI; DPRD DKI; Kartini Muljadi (Pimpinan Yayasan Kesehatan Sumber Waras) mengaku sebagai pemilik tanah dimaksud; dan, Notaris sebagai Saksi transaksi jual beli tanah tersebut. Hubungan kepentingan politik antara Ahok dan Kartini Muljadi perlu diteliti lebih mendalam untuk mengetahui motip Ahok mengambil kebijakan agar Pemda DKI membeli tanah milik Yayasan Kesehatan Sumber Waras tersebut sehingga diperkirakan . Model korupsi sandera Negara kasus tanah Taman BMW ini ini bisa jadi telah melibatkan para penegak hukum dan media massa sehingga para pihak terlibat dapat terbebas dari hukuman tindak pidana korupsi (MEH).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda