Jumat, 11 September 2015

REFLEKSI DAN PROSPEK POLITIK INDONESIA PASCA SETAHUN REZIM JOKOWI-JK

I. PENGANTAR: Tim Pelaksana menyelenggarakan Forum Diskusi berthema “ Memotret Krisis Indonesia”, di Hotel Gren Alia Cikin, Jakarta, 10 September 2015. Tim Pelaksana meminta saya untuk menjadi “Peserta Aktif” dalam forum diskusi ini. Atas pertimbangan kelancaran komunikasi pemikiran saya terkait dengan thema di atas, maka saya berupaya untuk menyusun Makalah bertopik ”Refleksi dan Prosek Politik Indonesia Pasca Setahun Rezim Jokowi-JK”. Sebagai suatu refleksi, terdapat sejumlah issue politik aktual di Indonesia, setahun terakhir ini. Beberapa issue politik dimaksud, yakni: 1. Penguasaan Asing (asingnisasi) atas Investasi dan Kapital di dalam negeri. 2. Semakin meningkatnya baik kualitas maupun kuantitas tindak pidana korupsi pejabat pemerintahan/Negara. 3. Semakin terjadinya kesenjangan antara kelompok masyarakat kaya dan miskin. 4. Persepsi dan sikap anti ras Cina di kalangan masyarakat klas menengah dan atas pribumi. 5. Negara telah gagal menjalankan tugas dan fungsi (Failed State). 6. Amandemen Kembali UUD 1945 dan Kembali ke UUD 1945 Asli. 7. Kecenderungan parpolisasi bidang pemerintahan, dunia usaha dan masyarakat madani (civil society). Makalah ini mencoba merefleksikan kecenderungan (issue) aktual setahun Rezim Jokowi-JK, yakni “kecenderungan Parpolisasi bidang pemerintahan, masyarakat madani dan dunia usaha”. Salah satu karakteristik Parpolisasi adalah kultur “transaksionalisme” dan “korupsi” di kalangan kader Parpol baik di tingkat Pemerintah, Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten dan Kota), DPR RI dan DPRD (Provinsi, Kabupaten dan Kota). Setelah merfleksikan kecenderungan aktual dimaksud, makalah ini memperkirakan kecenderungan ini semakin “membesar” dan “menguat” sehingga semakin membawa permasalahan politik ekonomi ke dalam “kegelapan” dan rakyat kebanyakan kian terperosok ke dalam lembah kemiskinan, penangguran dan keterbelakangan. II. BIDANG PEMERINTAHAN, DUNIA USAHA DAN MASYARAKAT MADANI: Sejak perjuangan “kekuatan reformasi” berhasil meruntuhkan “kekuataan Rezim Orde Baru”, rakyat Indonesia memilih untuk mengembangkan kehidupan demokrasi sesuai dengan pengalaman Negara-negara industri maju Barat. Secara akademis, demokrasi menurut pengalaman Barat tersebut membagi kehidupan rakyat dalam suatu Negara terdiri dari tiga komponen/bidang: 1. Pemerintahan/Negara 2. Dunia usaha/pelaku usaha 3. Masyarakat madani ( civil society) Terdapat diferensiasi dan spesialisasi fungsi. Pemerintahan/Negara bermakna lembaga-lembaga Negara seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif. Untuk Indonesia, lembaga eksekutif seperti Pemerintah (Pusat), Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Lembaga legislatif seperti MPR, DPD, DPR-RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Lembaga Yudikatif seperti MA, Pengadailan Negeri dan Tinggi. Terdapat juga lembaga-lembaga Negara khusus seperti BPK, KPK, KY, KPU, dll. Kondisi kehidupan rakyat Indonesia setahun Rezim Jokowi-JK dapat direfleksikan, tidak terdapat diferensiasi dan spesialisasi fungsi masing-masing komponen/bidang. Masalahnya, rakyat Indonesia telah memilih jalan ke demokrasi berdasarkan pengalaman masyarakat industri maju Barat, bukan Islam, bukan sosialis komunis, bukan fasis, bukan totaliter diktator, bukan juga militeristik. Dapat direfleksikan, negara diperlemah, kekuatan/pelaku usaha telah masuk ke bidang pemerintahan; manusia politisi pemerintahan masuk ke dunia usaha; aktor masyarakat madani misalnya Mantan Ketua organisasi masyarakat (Ormas) Islam, masuk ke bidang pemerintahan, dan manusia pemerintahan dan juga pelaku usaha masuk ke ormas madani. 'Ideologi' yg diberlakukan 'ideologi sinkretisme'. Hal ini diperkuat lagi oleh budaya politik Jawa, yang dibawa oleh politisi Jawa ke dalam pemerintahan/negara. Sebelum menjadi politisi dan penguasa negara, gaya hidup mereka sederhana, jujur dan mengesankan dekat dengan rakyat atau umat. Tetapi, setelah menjadi penguasa Negara, mereka mengutamakan sanak famili untuk berkuasa (Nepotisme) walau melanggar ketentuan2 yang dibuat sendiri. Bersamaan itu, mereka yang tadinya sederhana, membeli tanah dan property sebanyak mungkin sebagai 'simbol' dan 'status' keberhasilan di mata masyarakat madani. Di lain fihak, pelaku usaha dan aktor masyarakat madani memasuki bidang pemerintahan dengan kendaraan Parpol yang membutuhkan dana sangat besar untuk bisa terbentuk, berlanjut dan bertarung dalam Pemilu, Pilpres dan Pilkada. Jelas fenomena negatif ini semakin menguat di era reformasi, dan akan terus menyingkirkan, menjerumuskan, membawa rakyat kebanyakan terperosok dalam lembah kemiskinan, pengangguran dan keterbelakangan. Cita-cita pembentukan negara RI, menjadi tidak relevan, dan hanya utopia atau ilusi belaka dan sebagai 'bunga-bunga' waktu acara peringatan 17 Agustus. Bahkan, belakangan ini sejumlah pengamat menggugat keberadaan dan kiprah saudagar atau pelaku usaha/bisnis dalam bidang pemerintahan. Ada asumsi bahwa pelaku usaha dalam bidng pemerintahan hanya mementingkan usaha dan ekonomi dirinya, bukan rakyat, dan membawa kultur transaksionalisme. Kondisi rakyat semacam ini tidak terlepas dari terdapatnya kecenderungan Parpolisasi bidang pemerintahan/Negara, dunia usaha dan masyarakat madani. III. KECENDERUNGAN PARPOLISASI: Setelah Amandemen UUD 1945 dan perubahan tugas dan fungsi Parpol (Partai Politik) serta dihapusnya Dwi Fungsi ABRI di era reformasi, terdapat kecenderungan semakin meingkatnya peran Parpol dan para Kader Parpol dalam berbagai bidang kehidupan rakyat, yakni pemerintahan/Negara, masyarakat madani dan dunia usaha. Kecenderungan Parpolisasi dimaksud ditandai antara lain: 1. Semakin Meningkatnya Peran Parpol Semangkin meningkatnya peran Parpol dalam berbagai bidang kehidupan, baik dalam pemerintahan/negara, dunia usaha/perekonomian dan kehidupan masyarakat madani. 2. Penentu Kebijakan Negara di Luar Struktur Negara: Penentu kebijakan negara berada di pimpinan Parpol di luar struktur Negara/pemerintahan, bukan di dalam struktur Negara itu sendiri. Ada struktur di luar struktur menentukan struktur bersangkutan. 3. Pemilihan Langsung Biaya Tinggi: Pemilihan Presiden, Gubernur,Walikota/Bupati dikembalikan model pemilihan oleh legislatif, bukan pemilihan langsung oleh rakyat membutuhkan biaya tinggi sehingga tidak memberi kesempatan SDM memiliki “kompetensi” dalam urusan Negara dan rakyat. Kompetensi dalam pengertian kreteria pengetahuan akademis; pengalaman atau unjuk kerja; dan, “integritas” dan kepemimpinan peribadi. Pada umumnya SDM memiliki kompetensi tidak memiliki dana untuk melaksanakan mempromosikan dan mengkampanyekan dirinya. Diberlakukannya Pilkada langsung merupakan distorsi pelaksanaan otonomi daerah. Padahal Pilkada Langsung tidak termasuk dalam konsep awal otonomi daerah. Pilkada langsung muncul setelah revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Tanpa kajian yang cukup, tanpa sosialisasi, tiba-tiba diberlakukan Pilkada langsung. Rujukannya hanya Pilpres yang baru beberapa bulan terjadi. Keputusan Pilkada langsung ini menyebabkan ratusan Kepala Daerah korupsi. Untuk menjadi Kepala Daerah, mesti bayar ke parol, kampanye dan segala macam. Pilkada langsung membuat rakyat bisa dibeli Rp. 5.000, Rp. 100.000 juga Rp. 200.000. Akhirnya kita dapat gubernur, bupati dan waliota masuk penjara. Harus kembali ke DPRD dulu yang memilih, sampai rakyat benar-benar siap. 4. Bantuan Korporasi (Dunia Usaha) dalam Pemilihan Langsung: Sesuai UUD 1945, mekanisme penetapan calon presiden dan wakil oleh Parpol. Hal ini menyebabkan Parpol memiliki peranan utama untuk menjadikan sesorang sebagai Calon Presiden atau Wakil Presiden. Dengan model pemilihan secara langsung, maka dibutuhkan biaya sangat besar (high cost) untuk mempromosikan dan mengkampanyekan Calon tersebut kepada segmen pemilih. Karena Parpol dan sang Calon tidak memiliki dana cukup dan memadani untuk kegiatan promosi dan kampanye, maka Parpol atau kumpulan Parpol mencari bantuan dana dari korporasi lokal, nasional bahkan internasional dunia usaha) dan pada gilirannya terjadi hubungan transaksional antara Calon Presiden dan Wakil, kumpulan Parpol pengusung dan para Korporet. Hubungan semacam ini membuka ruang bagi para Korporet membeli keputusan politik atau kebijakan Pemerintah di kemudian hari. Ada semacam “balas budi” terhadap para Korporet tersebut. Pada gilirannya penguasa Negara menghamba kepada Korporet. 5. Fraksi sebagai Komponen Kendali Parpol: Parpol mengendalikan keputusan-keputusan politik di DPR dan DPRD melalui keberadaan Fraksi di lembaga legislatif itu. Fraksi secara struktural berada di bawah Parpol dan sewaktu-waktu Parpol berhak untuk mengganti kepengurusan Fraksi. Fraksi dapat dijadikan sebagai komponen kendali Parpol dalam proses keputusan politik legislatif, misalnya penerbitan Undang-Undang atau Peraturan Daerah (Perda). Karena itu, anggota DPR tidak terbebas dari kepentingan Parpol. 6. Parpol Tidak Mematuhi Hukum: Kecenderungan parpol tidak mematuhi hukum. Fenomena Parpol tidak patuh hukum ini sesungguhnya dapat dibuktikan dengan beragam sudut pandang/perspektif, antara lain: pemenuhan persyaratan Parpol dapat sebagai Peserta Pemilu 2014 yang ditentukan oleh KPU; pemanfaatan dana pajak untuk pembiayaan yang sangat besar untuk keperluan pelaksanaan Pemilu; tingkat partisipasi pemilih (Golput); dasar konstitusional pelaksanaan Pemilu 2014. Khusus pemenuhan persyaratan Parpol dapat sebagai Peserta Pemilu 2014, fenomena Parpol tidak patuh hukum dapat ditemukan berdasarkan Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilihan Umum RI No. 28,29,30,31,37,40/DKPP-PKE-II/2013. Di dalam Putusan tersebut terdapat keterangan adanya dugaan manipulasi data Parpol peserta Pemilu untuk meloloskan Parpol yang seharusnya tidak lolos. Juga adanya manipulasi data terhadap hasil verifikasi adminisistrasi yang dengan sengaja dilakukan Teradu I selaku Ketua dan Anggota KPU. Secara massif Teradu I telah memanipulasi data Parpol peserta Pemilu, di mana bentuk manipulasi adalah meloloskan Parpol yang seharus Parpol tersebut tidak lolos dalam verfikasi factual. Hal ini bermakna, di samping Terpadu I tidak patuh hukum, Parpol-Parpol yang diloloskan berdasarkan manipulasi data tersebut juga tidak patuh hukum. Di lain fihak, kecenderungan Parpol tidak mematuhi ketentuan-ketentuan UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Menurut UU ini, Keuangan Partai Politik bersumber dari: a. iuran anggota; b.sumbangan yang sah menurut hukum; dan c. bantuan keuangan dari APBN/APBD. Sumbangan dapat berupa uang, barang, dan/atau jasa. Bantuan keuangan APBN/APBD diberikan secara proporsional kepada Parpol yang mendapatkan kursi di DPR,DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang penghitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara. Bantuan keuangan diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Partai Politik dan masyarakat. Pendidikan Politik berkaitan dengan kegiatan: a. pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI;b. pemahaman mengenai hak dan kewajiban WNI dalam membangun etika dan budaya politik; dan c. pengkaderan pengkaderan anggota Parpol secara berjenjang dan berkelanjutan. Hampir semua Parpol tidak melaksanakan kegiatan pendidikan politik bagi anggota parpol dan masyarakat ini. Parpol wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran bersumber bantuan APBN/APBD kepada BPK secara berkala 1 (satu) tahun sekali untuk diaudit paling lambat 1 (satu) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Audit laporan dilakukan 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Hasil audit atas laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran disampaikan kepada Partai Politik paling lambat 1 (satu) bulan setelah diaudit. Hampir semua parpol tidak melaksanakan ketentuan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran besumber bantuan APBN/APBD ini. 7. Penentuan Kapolri, Panglima TNI dan Duta Besar oleh DPR: DPR memiliki hak untuk terlibat dalam menentukan Kapolri, Panglima TNI dan Dutabesar. Hal ini berarti, Parpol dapat melalui Fraksi untuk memihak kepada Calon Kapolri, Panglima TNI dan Duta Besar dimaksud. Faktor politik (kepentingan Parpol) menjadi lebih dominan ketimbang faktor kompetensi SDM ketika proses penentuan para Pejabat Negara tersebut. 8. Staf Khusus Menteri dari Kader Parpol: Sejak era reformasi, diperbolehkan Staf Khusus Menteri berasal dari Non PNS. Pada umumnya Staf Khusus Menteri direkruit dari kader Parpol Menteri maupun tidak. Kehadiran Staf Khusus ini dalam kenyataanya hanya untuk “Sumber Mata Pencaharian” kader Parpol yang secara kriteria kompetensi, kebanyakan tidak kompeten untuk menjadi Staf Khusus Menteri. Bahkan, Staf Khusus ini bisa menjadi bagian dari jaringan pelaku korupsi di lingkungan Kementerian bersangkutan. 9. Pengisian Jabatan Tinggi “Utama” dan “Madya” dalam Pemerintahan: Mengacu pada UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, pengisian jabatan tinggi “utama” dan “madya” pada kementerian, kesekretariatan lembaga negara, lembaga nonstruktural Daerah dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan PNS dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan latihan, sekan jejak jabatan, dan integritas serta persayaratan lain yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundng-undangan IPasal 108, ayat 1). Sebagai keterangan: jabatan tinggi “utama” seperti “eselon 1”; “madya” sebagai “eselon 2”. Namun, jabatan pemimpin utama dan madya tertentu dapat berasal dari kalangan non-PNS dengan persetujuan Presiden yang pengisiannya dilakukan secara terbuka dan kompettetif serta dtetapkan dalam Keputusan Presiden (Pasal 109, ayat 1). Juga jabatan Pimpinan Tinggi dapat diisi oleh prajurit TNI dan Anggota Kepolisian “setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses terbuka dan kompettif (Pasal 109, ayat 2). Bahkan, parjurit TNI dan Kepolsian dapat mengisi jabatan pimpinan tinggi di lingkungan Instansi Pemerintah tertentu sesuai dengan kompetensi bherdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasasl 109, ayat 3). Diperbolehkannya SDM Non PNS untuk menjadi pimpinan tinggi “utama” (Eselon 1) dan “madya” (Eselon 2) dapat menjadi “jalan masuk” kader-kader Parpol untuk menjadi pimimpin tinggi tersebut. Bagi kader-kader Parpol akan lebih mudah karena Menteri kader Parpol akan membantu (nepotisme) kader parpol untuk jabatan tinggi itu.. Besarnya kewenangan Menteri menentukan Eselon 1 dan Eselon 2 sangat memungkinkan untuk menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) dalam hal pelelangan jabatan ini. 10. Kajagung, KaBin, MK, KY, MA dll. Dijabat dari Kader Parpol: Dalam realitas obyektif, jabatan pemerintahan/Negara seperti Kajagung, KaBin, MK, KY, MA, dll. dapat dipegang oleh kader-kader Parpol. Bahkan, untuk menentukan para pejabat Negara tersebut, Parpol melalui DPR turut menentukan. Keberadaan kader Parpol sebangai pejabat di lembaga-lembaga Negara tersebut tentu dapat mengutamakan kepentingan Parpol bersangkutan dalam proses pengambilan kebijakan. 11. Komisaris Independen BUMD dan BUMD Dijabat dari kader Parpol: Dalam pembentukan dan rekrutmen personil untuk struktur organisasi Komisaris di BUMN dan BUMD, terdapat apa yang disebut Komisaris Independen. Tetapi, dalam kenyataannya, anggota Komisaris Independen tersebut berasal dari kader Parpol. Kader-kader Parpol diperbolehkan menjadi Komisaris Independen. Pengaruh Parpol terhadap Presiden dan Wakil Presiden dan juga Menteri terkait dengan BUMN dapat membantu kader-kader Parpol untuk menduduki jabatan Komisaris Independen dengan motip ekonomis semata (sumber mata pencaharian). 12. Legislatif Tanpa Oposisi: Proses demokratisasi terjadi di DPR dan DPRD tanpa keberadaan dan kiprah suatu kekuatan atau kumpulan kekuatan kader Parpol Oposisi . Semua kader Parpol di lembaga legislatif lebh mengutamakan bergabung ke dalam pengelompokan satu “koalisi” dan mendukung Rezim Kekuasaan di Eksekutif. Dengan demokratisasi tanpa kekuatan oposisi, sudah jelas bahwa keputusan politik dan kebijakan pemerintah menjadi tidak berkualitas, efektif dan efisien. 13. Politik Kartel dan Perilaku Korupsi Kader Parpol: Politik kartel dan perilaku korupsi kader Parpol meningkat baik kuantitatif maupun kualitatif dana APBN/APBD juga "korupsi sandera negara". Salah satu indikator kader Parpol melegalkan perolehan dana APBN terkait dengan UP2DP(Usulan ProgramPembangunan Dana Pemilihan). DPR telah meloloskan peraturan soal tata cara penerapan UP2DP alias "dana aspiriasi"di DPR dalam sidang paripurna,selasa 23 Juni 2015. Melalui aturan tersebut,setiap anggota DPR mendapatkan jatah dana pembangunan dapil masing-masing dalam APBN. Kendati belum disepakati,pagu indikatif yang sempat mencuat adalah sebanyak Rp. 20 miliar per anggota pertahun.Dengan jumlah itu,total dana aspirasi pertahun bisa mencapai Rp. 11,2 triliun. Meskpun menuai kontroversi, DPR melalui rapat paripurna, 23 Juni 2015, mensahkan Peraturan DPR tentang Tata Cara Pengusulan Pembangunan Daerah Pemilihan atau dana aspirasi. Padahal sebelumnya program ini sempat mendapat tantangan dari sejumlah fraksi, diantaranya Fraksi PDIP, Fraksi Nadem dan Fraksi Hanura. Polemik mengenai dana aspirasi bermula dari ketentuan Pasal 80 huruf j UU Np. 17 tahun 2014 tentang MD3, Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2014 tentang tata Tertib sampai akhirnya dilahirkan peraturan DPR tentang Tata Cara Pengusulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan. Legalisiasi dana aspirasi melalui kedua aturan tersebut setdiaknya menjadi acuan pelaksanaan penggunaan dana aspirasi. Publik pun melihat ada bau kepentingan politik yang cenderung lebih menguntungkan Papol dibandingkan keutamaan rakyat. Dana aspirasi dipandang publik sebagai upaya Parpol melalui wakil rakyat merampok APBN. 14. Lebih Mengutamakan Kepentingan Parpol: Akhirnya, penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diharapkan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, dalam kenyataannya lebih mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan kelompok kader Parpol dan kroni-kroninya. Kesejahteraan rakyat kebanyakan sebagaimana dalam Pembukaan UUD 1945 menjadi terabaikan dan akan terus terabaikan. Parpolisasi telah melembagakan politik kartel dan kultur transaksionalisme dalam kehidupan politik kepartaian dan hilangnya peran ideologi (cita-cita) sebagai penentu perilaku politik Parpol dalam kehidupan sehari-hari baik dalam pemerintahan (khususnya legislatif dan eksekutif), masyarakat madani (civil society) maupun dunia usaha. Ideologi Parpol hanya digunakan untuk memperoleh suara pemilih melalui kegiatan kampanye dalam pemilihan seperti Pemilu anggota legislatif (nasional dan daerah), Pilpres dan Pilkada (Gubernur, Bupati dan Walikota). Ideologi Parpol menjadi tidak relevan seusai (pasca) kegiatan kampanye dalam pemilihan dimaksud atau perjuangan perebutan kekuasaan legislatif dan eksekutif. Hilangnya peran ideologi Parpol sebagai salah satu karakteristik fenomena politik kartel kepartaian di Indonesia dapat dilihat dari realitas obyektif kehidupan kepartaian dewasa ini, khususnya era reformasi. Pada level nasional, terdapat koalisi Parpol saat dan setelah Pemilu (pemerintahan) bukan berdasarkan kesamaan ideologis, bahkan terdapat perbedaan ideologis sesama anggota koalisi. Di samping itu, Kecenderungan parpolisasi ini menciptakan kultur politik “transaksionalisme”, yakni politik tukar-menukar bagaikan hubungan antara “pembeli dan penjual barang dan jasa”. IV. SOLUSI UNTUK DEMOKRASI RAKYAT Apa yg harus dilakukan agar kecenderungan parpolisasi ini dihentikan? Minimal ada 9 keputusan politik rakyat harus diambil, yakni: 1. UUD 1945 harus diamandemen kembali, khususnya ketentuan: a. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dikembalikan pada model pemilihan perwakilan. Presiden dan Wakil dipilih oleh MPR. b. Calon Presiden dan Wakil tidak harus mendapat dukungan dari Parpol atau Kumpulan Parpol. 2. Wewenang Parpol dibatasi hanya untuk rekruitmen politik anggota Legislatif (DPR dan DPRD). 3. Penegakan hukum konsekuen terhadap Parpol tidak melaksanakan tugas fungsi Parpol ; sesuai UU bagi Parpol melanggar dibekukan , dibubarkan atau dilarang ikut pemilu. 4. Hapuskan keterlibatan DPR menentukan Kapolri, Panglima TNI, KaBIN, Dutabesar. 5. Dilarang kader Parpol menjadi anggota DPD. 6. Hapuskan staf khusus Menteri non PNS. 7. Hapuskan model pelelangan eselon 1 dan 2 bagi SDM non PNS. 8. Larangan kader Parpol pegang jabatan pemerintahan/negara, seperti Kajagung, KaBin, MK, KY, MA, dll. 9. Pemilihan Gubernur,Walikota/Bupati dikembalikan model pemilihan oleh legislatif, bukan pemilihan langsung oleh rakyat. 10. Hapuskan ketentuan Calon Gubernur dan Wakil, Bupati dan Wakil, Walikota dan Wakil dalam Pilkada mendapat dukungan dari Parpol atau Kumpulan Parpol. 11. Hapuskan Komisaris independen di BUMN dan BUMD. V. PEMILIHAN PERWAKILAN (TIDAK LANGSUNG) Ada pendapat pengamat dan pakar politik di Indonesia mengatakan bahwa pemilihan perwakilan (tidak langsung) merampas hak-hak dasar rakyat dan membohongi rakyat. Makalah ini akan menolak pendapat semaca ini. Dari sisi prinsip demokrasi, harus ditegakkan prinsip antara lain: 1. Partisipasi 2. Kesetaraan 3. Transparansi (Keterbukaan) 4. Akuntabilitas public 5. Penegakan Hukum (The Rule of Law) 6. Visi strategis Khusus “visi strategis”, maknanya adalah belajar dari pengalaman sejarah rakyat bersangkutan, kemudian merumuskan apa seharusnya ke depan rakyat tersebut. Kalau sejarah membuktikan rakyat Indonesia lebih melembaga pemilihan berdasarkan perwakilan, dan pemilihan langsung lebih banyak mudharat ketimbang manfaat, maka visi strategis kedepan harusnya tanpa pemilihan langsung atau tegakkan pemlihan perwakilan kembali . JIka tetap dipertahankan pemilihan langsung , berarti rakyat itu tidak paham apa demokrasi yang diperjuangkan sebagai cita-cita bernegara dan berakyat. Jadi, mereka pejuang demokrasi kesannya, tetapi justru tidak memahami makna demokrasi sesungguhnya. Memang rakyat Indonesia pernah mengalami pemilihan Presiden oleh MPR. Tapi, penentu/aktor utama bernegara dan berakyat adalah kekuatan militer. Fenomena yg berlaku 'militerisasi'. Kekuatan reformasi menentang militerisasi dan menuntut pemilihan langsung sebagai reaksi terhadap fenomena itu. Maka, berhasil membuat ketetapan mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil secara langsung di dalam UUD 1945 hasil amandemen. Kini setelah beragam evaluasi dilakukan oleh para pengamat dan ilmuwan, muncul reaksi bahwa ternyata pemilihan langsung menyebabkan 'biaya tinggi' dan menjadi akses masuknya atau diundangnya pelaku usaha/saudagar menentukan siapa pemenang. Akibatnya? Rakyat menjadi terbiasa berpikir dan bersikap transaksional dalam berpolitik, DPRD transaksional/korup, Kepala Daerah transaksional/korup, DPR transaksional/korup, Menteri transaksional/korup, bahkan Presiden juga transaksional/korup. Khusus untuk Presiden, prilaku korup tergolong model 'korupsi sandera negara' (State Capture Corruption). Demokratisasi dibajak menjadi Parpolisasi dunia pemerintahan, usaha dan masyarakat madani dan melembagakan kultur transaksionalisme. Penguasa negara dan penguasa Parpol menghamba dan 'menjual' keputusan politik, penerbitan UU dan kebijakan pemerintah terhadap pelaku usaha/korporet lokal, nasional dan internasional. Kepentingan rakyat kebanyakan menjadi terabaikan, Dalam era demokratisasi pasca Orde Baru ini, bukan militerisasi berbasis kekerasan/militeristik, kita tidak perlu mundur ke masa lalu dan belakang. Harus memandang dan maju ke masa depan. Visi strategis rakyat kita harus meninggalkan mekanisme pemilihan penguasa eksekutif negara secara langsung, dan kembali pemilihan tidak langsung/perwakilan. Pemilihan langsung tetap dilakukan, tetapi hanya untuk pemilu anggota legislatif. Kalaupun masih tetap dipertahankan DPD, juga masih dengan pemilihan langsung. Jadi tatkala ada gagasan pemilihan perwakilan kembali digunakan, hal itu hanya untuk rekruitmen politik penguasa eksekutif negara, bukan anggota legislatif. Jadi, membandingkan pemilihan perwakilan era militerisasi Orde Baru dengen era demokratisasi/supremasi sipil pasca Orde Baru, tidak tepat dan salah secara metodologis dalam studi perbandingan politik (political comparative). MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (Ketua Dewan Pendiri NSEAS: Network for South East Asian Studies).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda