Senin, 07 September 2015

SOLUSI UTK DEMOKRASI RAKYAT INDONESIA

Belakangan ini sejumlah pengamat menggugat keberadaan dan kiprah saudagar atau pelaku usaha/bisnis dalam bidang pemerintahan. Ada asumsi bahwa pelaku usaha dalam bidng pemerintahan hanya mementingkan usaha dan ekonomi dirinya, bukan rakyat, dan membawa kultur transaksionalisme. Sesungguhnya dalam dunia masyarakat demokrasi sejati (cita-cita), rakyat seharusnya terdiri dari tiga komponen/bidang kehidupan: 1.pemerintahan/negara; 2. Dunia usaha/pelaku usaha; 3. Masyarakat madani ( civil society). Terdapat diferensiasi dan spesialisasi fungsi. Masalahnya, rakyat Indonesia telah memilih jalan ke demokrasi berdasarkan pengalaman masyarakat industri maju Barat, bukan Islam, bukan sosialis komunis, bukan fasis, bukan totaliter diktator, bukan juga militeristik. Realitas obyektif menunjukkan bahwa negara diperlemah, kekuatan/pelaku usaha telah masuk ke bidang pemerintahan; manusia politisi pemerintahan masuk ke dunia usaha; aktor masyarakat madani misalnya Mantan Ketua organisasi masyarakat (Ormas) Islam, masuk ke bidang pemerintahan, dan manusia pemerintahan dan juga pelaku usaha masuk ke ormas madani. 'Ideologi' yg diberlakukan 'ideologi sinkretisme'. Hal ini diperkuat lagi oleh budaya politik Jawa, yg dibawa oleh politisi Jawa dalam pemerintahan. Sebelum jadi politisi pemerintahan, gaya hidupnya sederhana, jujur dan mengesankan dekat dgn rakyat atau umat. Tetapi, setelah berkuasa dlm pemerintahan, mengutamakan sanak famili untuk berkuasa walau melanggar ketentuan2 yg dibuat sendiri. Bersamaan itu, sang aktor yg tadinya sederhana, beli tanah dan property sebanyak mungkin sebagai 'simbol' dan 'status' keberhasilan di masyarakat madani. Pelaku usaha dan masyarakat madani memasuki bidang pemerintahan degnan kendaraan parpol yang membutuhkan dana sangat besar untuk bisa terbentuk, berlanjut dan bertarung dalam Pemilu, Pilpres dan Pilkada. Jelas fenomena negatif ini semakin menguat di era reformasi, dan menurut saya, akan terus menyingkirkan, menjerumuskan, membawa rakyat kebanyakan ke dalam lembah kemiskinan, pengangguran dan keterbelakangan. Cita-cita pembentukan negara RI, menjadi tidak relevan, dan hanya utopia atau ilusi belaka dan sebagai 'bunga-bunga' waktu acara peringatan 17 Agustus. Apa yg harus dilakukan agar fenomena ini dihentikan? Minimal ada 9 keputusan politik rakyat harus diambil. 1. Pemilihan Presiden, Gubernur,Walikota/Bupati dikembalikan model pemilihan oleh legislatif, bukan pemilihan langsung oleh rakyat. 2. Hapuskan mekanisme penetapan calon presiden dan wakil oleh parpol. 3. Wewenang parpol dibatasi hanya rekruitmen politik (anggota legislatif) melalui pemilu dan dihapuskan hubungan struktural parpol dan fraksi di legislayif. 4. Penegakan hukum konsekuen terhadap parpol tidak melaksanakan tugas fungsi parpol ; sesuai UU bagi parpol melanggar dibekukan , dibubarkan atau dilarang ikut pemilu. 5.Hapuskan keterlibatan DPR menentukan Kapolri, Panglima TNI, Dutabesar. 6. Hapuskan Komisaris independen di BUMN dan BUMD. 7.Hapuskan staf khusus Menteri non PNS. 8. Larangan kader parpol pegang jabatan pemerintahan/negara, sprt Kajagung, KaBin, MK, KY, MA, dll. 9. Hapuskan model pelelangan eselon 1 dan 2 bagi non PNS.,, dll. Dari sisi prinsip demokrasi, harus ditegakkan prinsip partisipasi, kesetaraan, transparansi, akuntabilitas publik,visi strategis dll. Khusus Visi strategis , maknanya adl belajar dari pengalaman sejarah rakyat bersangkutan, kemudian merumuskan apa seharusnya ke depan rakyat tersebut. Kalau sejarah membuktikan rakyat Indonesia lebih melembaga pemilihan berdasarkan perwakilan, dan pemilihan langsung lebih banyak mudharat ketimbang manfaat, maka visi strategis kedepan harusnya tanpa pemilihan langsung atau tegakkan pemlihan perwakilan kembali . JIka tetap dipertahankan pemilihan langsung , berarti rakyat itu tak paham apa demokrasi yg diperjuangkan sebagai cita-cita bernegara dan berakyat. Jadi, mereka pejuang demokrasi kesannya, tapi justru tidak paham demokrasi.Memang rakyat Indonesia pernah pemilihan presiden oleh MPR. Tapi, penentu/aktor utama bernegara dan berakyat adalah kekuatan militer. Fenomena yg berlaku 'militerisasi'. Kekuatan reformasi menentang militerisasi dan menuntut pemilihan langsung sebagai reaksi terhadap fenomena itu. Maka, berhasil membuat ketetapan mekanisme pemilihan presidn dan wakil secara langsung di dlm UUD 1945. Kini dievaluasi, muncul reaksi bahwa ternyata pemilihan langsung menyebabkan 'biaya tinggi' dan menjadi akses masuknya atau diundangnya pelaku usaha/saudagar menentukan siapa pemenang. Akibatnya, rakyat menjadi terbiasa berpikir dan bersikap transaksional dalam berpolitik, DPRD transaksional/korup, Kepala Daerah transaksional/korup, DPR transaksional/korup, Menteri transaksional/korup, bahkan Presiden juga transaksional/korup. Khusus untuk Presiden, prilaku korup tergolong model 'korupsi sandera negara' (State Capture Corruption). Demokratisasi dibajak menjadi parpolisasi dunia pemerintahan, usaha dan masyarakat madani dan melembagakan kultur transaksionalisme. Penguasa negara dan penguasa parpol menghamba dan 'menjual' keputusan politik, penerbitan UU dan kebijakan pemerintah terhadap pelaku usaha/korporet lokal, nasional dan internasional. Kepentingan rakyat kebanyakan menjadi terabaikan, Dalam era demokratisasi pasca Orde Baru ini, bukan militerisasi berbasis kekerasan/militeristik, kita tidak perlu mundur ke masa lalu dan belakang. Harus memandang dan maju ke masa depan. Visi strategis rakyat kita harus meninggalkan mekanisme pemilihan penguasa eksekutif negara secara langsung, dan kembali pemilihan tidak langsung/perwakilan. Pemilihan langsung tetap dilakukan, tetapi hanya untuk pemilu anggota legislatif. Kalaupun masih tetap dipertahankan DPD, juga masih dengan pemilihan langsung. Jadi tatkala ada gagasan pemilihan perwakilan kembali digunakan, hal itu hanya untuk rekruitmen politik penguasa eksekutif negara, bukan anggota legislatif. Jadi, membandingkan pemilihan perwakilan era militerisasi Orde Baru dengen era demokratisasi/supremasi sipil pasca Orde Baru, tidak tepat dan salah secara metodologis dalam studi perbandingan politik (political comparative). Saya pada awal reformasi termasuk pendukung pemilihan langsung dan juga pemilihan anggota legislatif secara terbuka (bukan nomor urut). Setelah perjalanan historis politik Indonesia mutakhir, ternyata sangat melenceng dari apa yang dicita-citakan. Saya mengakui, saya salah dalam hal ini [MUHTAR EFFENDI HARAHAP/NSEAS]

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda