Senin, 14 September 2015

KEBUTUHAN PERUMAHAN, BACKLOG, SEJUTA RUMAH DAN SOLUSI PENYEDIAAN TANAH

I. KEBUTUHAN PERUMAHAN: Mengacu pada UUD 1945, setiap warga Negara Indonesia harus mendapatkan tempat tinggal atau rumah layak huni. Hal ini sebagai manifestasi penegakan prinsip Hak-Hak Azasi Manusia (HAM). Negara wajib dan harus bertanggungjawab menyediakan rumah layak huni bagi rakyat Indonesia. Tidak boleh ada satupun keluarga warga Negara Indonesia yang tidak memiliki rumah layak huni. Ini suatu prinsip HAM. Namun dalam kenyataannya, Negara masih belum mampu dan jauh dapat memenuhi dan melaksanakan kewajiban untuk menyediakan rumah layak huni bagi rakyat Indonesia. Kebutuhan rumah yang terus meningkat di setiap tahun simultan dengan kebutuhan tanah di mana rumah berdiri. Di sisi lain, keterbatasan lahan dalam memenuhi kebutuhan tanah untuk perumahan terus menjadi masalah yang memerlukan penanganan secara konprehensif. Kebutuhan akan perumahan hingga tahun 2025 diperkirakan mencapai lebih dari 30 juta unit, sehingga kebutuhan rumah baru diperkirakan mencapai 1.2 juta unit per tahun. Akibat ketimpangan pertumbuhan penduduk berdampak pada kebutuhan akan hunian dibandingkan dengan ketersediaan rumah layak, diperkirakan backlog di bidang perumahan mengalami peningkatan dari 5.8 juta unit (pada tahun 2004) menjadi 7.4 juta unit (pada tahun 2009), sementara itu pertumbuhan keluarga baru setiap tahun sekitar 700.000 keluarga. Disamping itu, terindikasi pada tahun 2009 terdapat 4.8 juta unit rumah dalam kondisi rusak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 mengenai angka backlog perumahan sebanyak 13,6 juta terus menjadi acuan. Angka ini bertambah 800 ribu unit per tahun, dan akan terus bertambah apabila Pemerintah tidak segera menemukan solusi. Hasil proyeksi menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia selama dua puluh lima tahun mendatang terus meningkat yaitu dari 205,1 juta pada tahun 2000 menjadi 273,2 juta pada tahun 2025. Walaupun demikian, pertumbuhan rata-rata per tahun penduduk Indonesia selama periode 2000-2025 menunjukkan kecenderungan terus menurun. Dalam dekade 1990-2000, penduduk Indonesia bertambah dengan kecepatan 1,49 persen per tahun, kemudian antara periode 2000-2005 dan 2020-2025 turun menjadi 1,34 persen dan 0,92 persen per tahun. Turun laju pertumbuhan ini ditentukan oleh turun tingkat kelahiran dan kematian, namun penurunan karena kelahiran lebih cepat daripada penurunan karena kematian. Crude Birth Rate (CBR) turun dari sekitar 21 per 1000 penduduk pada awal proyeksi menjadi 15 per 1000 penduduk pada akhir periode proyeksi, sedangkan Crude Death Rate (CDR) tetap sebesar 7 per 1000 penduduk dalam kurun waktu sama. Salah satu ciri penduduk Indonesia adalah persebaran antar pulau dan Propinsi tidak merata. Sejak 1930, sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa, padahal luas pulau itu kurang dari tujuh persen dari luas total wilayah daratan Indonesia. Namun secara perlahan persentase penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa terus menurun dari sekitar 59,1% pada 2000 menjadi 55,4% pada 2025. Sebaliknya persentase penduduk tinggal di pulau pulau lain meningkat seperti, Pulau Sumatera naik dari 20,7% menjadi 22,7%, Kalimantan naik dari 5,5 persen menjadi 6,5% pada periode sama. Selain pertumbuhan alami di pulau-pulau tersebut memang lebih tinggi dari pertumbuhan alami di Jawa, faktor arus perpindahan mulai menyebar ke pulau-pulau tersebut juga menentukan distribusi penduduk. II. BACKLOG PERUMAHAN: Data mengenai backlog Perumahan pada tahun 2011 telah mencapai 13,6 juta, pertumbuhan dari tahun 2004 sampai 2011 rata-rata 14,19% artinya Jumlah rumah harus disediakan pertahun antara 225.000 unit sampai lebih dari 1 juta unit. Sumber BPS menunjukkan backlog sebagai berikut: 5.800.000 (2004); 6.150.00 (2005); 6.500.000 (2006); 6.725.000 (2007); 6.950.000 (2008); 7.400.000 (2009); 8.600.000 (2010); dan, 13.600.000 (2011). Sementara itu, mengacu pada Kemenpupr, kekurangan rumah (backlog) pada 2014 berdasarkan konsep kepemilikan mencapai 13, 5 juta unit. Adapun kekurangan rumah berdasarkan konsep penghunian 2014 sebanyak 7,6 juta unit. Kebutuhan hunian setiap tahun diperkirakan bertambah sekitar 800.000 unit. Kebutuhan hunian terus tumbuh seiring pertambahan dan pertumbuhan penduduk. Dalam kenyataannya, Pemerintah mengalami kesulitan untuk menyediakan hunian atau rumah terjangkau bagi MBR. Masalah utama penyediaan rumah adalah persoalan ketersediaan dan pemanfaatan tanah. Salah satu alasannya adalah harga tanah semakin mahal. Di pihak lain, Pemerintah tidak bisa mengendalikan peningkatan harga tanah tersebut. Bahkan, Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki kendala dan hambatan dalam pengadaan tanah. Pemda mengalami kesulitan dalam mengontrol harga tanah, sekalipun telah mengeluarkan patokan harga tanah melalui nilai jual obyek tanah (NJOP) di setiap daerah. Namun, langkah itu belum bisa mengikuti harga pasar jauh lebih cepat. Peraturan yang ada belum cukup mengendalikan kenaikan harga tanah saat ini kian tidak terkendali. Intervensi Pemerintah melalui regulasi belumlah maksimal. Perlu ada lembaga untuk melakukan hal itu karena harga tanah tidak pernah turun, sedangkan harga material bangunan masih naik-turun. III.PROGRAM SATU JUTA RUMAH UNTUK RAKYAT: Untuk memenuhi visi pembangunan dalam rangka penyelenggaran perumahan rakyat yaitu “setiap keluarga menempati rumah yang layak huni”. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015 – 2019 telah menetapkan arah kebijakan dan strategi untuk mengatasi kesulitan Masyarakat Berpengahsilan Rendah (MBR) dalam penyediaan hunian layak, aman, dan terjangkau serta didukung oleh penyediaan prasarana, sarana dan utilitas (PSU) yang memadai. Arah kebijakan dan strategi dimaksud antara lain: peningkatan peran fasilitasi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam menyediakan hunian baru (sewa/milik) dan peningkatan kualitas hunian. Penyediaan hunian baru (sewa/milik) dilakukan melalui pengembangan system pembiayaan perumahan nasional yang efektif dan efisien termasuk pengembangan subsidi uang muka, kredit mikro perumahan swadaya, bantuan stimulan, memperluas program Fasilitas Lukuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), serta integrasi tabungan perumahan dalam system jaminan sosial nasional. Sementara peningkatan kualitas hunian dilakukan melalui penyediaan PSU, pembangunan kampung deret, serta bantuan stimulan dan/atau kredit mikro perbaikan rumah termasuk penanganan permukiman kumuh yang berbasis komunitas. Menurut Menteri PUPR, Basuki Hadimoeljono, pada tahap pertama ini dibangunan 103.135 rumah dari total 331.693 rumah yang akan menggunakan anggaran Pemerintah. Salah satu masalah utama dihadapi untuk perumahan MBR Dalam upaya memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR, Pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan baru supaya MBR bisa mudah mendapatkan rumah. Salah satu kebijakan Pemerintah dimaksud yakni program pembangunan 1 (satu) juta rumah untuk rakyat. Salah satu kendala dan tantangan untuk pelaksanaan program Satu Juta Rumah Untuk Rakyat ini adalah penyediaan dan pemanfaatan tanah. Tanah tidak berada di bawah penguasaan/control Kemenpupr, tapi berada di bawah Pemda. Namu, Pemda memiliki kendala dan hambatan dalam pengadaan tanah. Tanggung jawab menyediakan tanah dalam perspektif UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman berada di tangan Pemda. Kalau pemecahan atas permasalahan pengadaan tanah ini diserahkan kepada Pemda, memang sangat terbatas kemampuan Pemda Kabupaten/Kota untuk menyediakan tanah. Pemda tidak mempunyai anggaran untuk melakukan penyediaan tanah karena habis untuk pembiayaan rutin seperti gaji pegawai. Tidak ada anggaran untuk belanja modal dan APBD sangat rendah untuk penyediaan tanah. Harus ada bantuan dari Pemerintah terhadap Pemda untuk memecahkan permasalahan penyediaan tanah ini. Pemda harus dibantu supaya memiliki kemampuan dalam penyediaan tanah. IV. SOLUSI PENYEDIAAN TANAH: Beberapa solusi dapat diambil untuk solusi penyediaan tanah yakni: 1. Pembentukan Badan Layanan Umum Daerah bidang Perumahan (BLUD). BLUD ini diharapkan dapat mengelola dana dari APBD dan obligasi daerah untuk keperluan penyelenggaraan rumah MBR. Karena Daerah-daerah bertanggungjawab atas penyelenggaraan tanah untuk rumah MBR, harus didorong Daerah-daerah untuk mendirikan BLUD untuk pembangunan perumahan dan permukiman bagi MBR. BLUD ini akan mengelola asset-aset untuk pemberdayaan dan perkuatan pembangunan perumahan bagi MBR. Pemerintah membantu dan mendorong Pemda untuk membentuk BLUD bidang perumahan. Di Pusat telah terbentuk Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Perumahan (BLU PPP) Kemenpupr. BLU PPP ini bahkan telah mengadakan penandatangan Perjanjian Kerjasama Operasional (PKO) tentang Penyaluran Dana FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) dalam rangka Pengadaan Perumahan melalui Kredit/Pembiayaan pemilikan rumah sejahtera (Tapak dan Susun) dengan Bank Bukopin dan Bank BTN Konvensional dan Bank BTN Syariah. BLU PPP ini juga mengelola dana FLPP dari APBN untuk program rumah MBR. 2. Pemerintah tengah menyiapkan Perum Perumnas untuk berfungsi sebagai perpanjangan tangan Pemerintah untuk menyediakan rumah MBR melalui penguasaan tanah. Hal ini sesungguhnya pernah dilakukan pada masa lalu. Menurut Sumber Pemerintah, saat ini revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2004 tentang Perum Perumnas diusulkan mendapat penugasan khusus, tetapi juga sebagai pengelola perumahan. Berdasarkan revisi ini, kemungkinan, tanah-tanah yang “idle” milik Pemerintah akan diserahkan kepada Perum Perumnas. Perum Perumnas nampaknya kembali diberbadayakan dan mendapat dukungan penuh oleh Pemerintah. 3. Melibatkan sektor swasta dalam perspektif Public-Private Partnership (PPP). Diharapkan, sektor swasta bersedia menyediakan tanah bagi penydiaan rumah MBR. Juga membangun kemitraan dengan badan secara hukum dan keberadaan di masyarakat diakui (kelembagaan dapat yayasan, wakaf, perkumpulan berbadan hukum dan lain). Tanah dimiliki oleh masyarakat dicari model kemitraan, termasuk tanah selama ini terlantar/HGU bisa diajukan untuk pembangunan perumahan MBR. 4. Memfasilitasi Pemda agar bisa membiayai pengadaan tanah melalui bantuan likuiditas seperti FLPP dan juga BLUD memiliki dana dan berfungsi memfasilitasi Pemda agar bisa membiayai penyediaan tanah. 5. Melembagakan Obligasi di Daerah-daerah untuk membantu Pemda sehingga setiap Daerah mempunyai penambahan pembiayaan tanah dan untuk pembiayaan suku bunga. Obligasi adalah Surat Berharga Daerah dijual ke masyarakat (WNI) berdasarkan jaminan tanah dimiliki. Pemerintah perlu memberi bantuan teknis pendampingan Pemda membuat obligasi. Dana obligasi bisa digunakan untuk bangunan, PSU, atau subsidi. Potensi obligasi daerah harus digali sehinga Pemda bersangkutan mempunyai penambahan pembiayaan untuk pengadaan tanah dan pembiayaan fasilitas suku bunga bisa dijangkau. Pemerintah dalam hal ini Kemenpera harus segera membuat kebijakan matang tentang obligasi Daerah dalam perspektif UU No. 1 tahun 2011 bahwa Daerah wajib menangani urusan perumahan bagi Warga Negara Indonesia. Dana obligasi sebaliknya dikelola oleh BLUD. 6. Mempercepat pelaksanan land banking. Mengacu UU No. 1 tahun 2011, khusus Bab IX, “land banking” merupakan suatu keharusan, terutama diawali dengan tanah tidak termanfaatkan secara baik oleh Negara atau lembaga-lembaga lain melalui suatu proses konslidasi. Pemerintah dapat menugasi Perum Perumnas atau membentuk Badan Konsolidasi Tanah untuk pengadaan tanah termasuk untuk penyelenggaraan rumah murah. 7. Pemerintah membuat politik anggaran untuk konsolidasi tanah di dalam APBN, di samping tetap meningkatkan APBN, baik melalui mekanisme FLPP atau tidak, untuk subsidi bunga dan subsidi uang muka. 8. Pemerintah membantu Daerah untuk penyiapan tanah matang dengan mengalokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK). Tanah matang adalah tanah mentah disediakan Pemda bisa dimatangkan dalam arti dilengkapi dengan prasarana dan sarana. Perlu ada kewajiban dari sekian Ha tanah dimatangkan dari alokasi DAK, untuk peruntukan rumah murah. 9. Kemepupr berupaya memastikan telah tersedia lahan dalam penyelenggaraan rumah MBR sebelum dilaksanakan alokasi program dan fasilitas ke Daerah bersangkutan. Selama ini pendekatan digunakan adalah Pemerintah mempunyai banyak program dan fasilitas tetapi tidak menguasai lahan dan menyerahkan pengadaan lahan kepada Pemda. Pendekatan ini harus dibalik, yakni justru kepastian penyediaan lahan menjadi prasyarat, baru kemudian bisa mengalokasikan program-program ke Daerah. 10. Fasilitasi kerjasama pemanfaatan tanah untuk pembangunan perumahan bagi MBR, termasuk perumahan umum. Lebih detailnya, akan diuraikan di bagian di bawah ini. V. PENUTUP: 1. Kekurangan rumah (backlog) pada 2014 berdasarkan konsep kepemilikan mencapai 13, 5 juta unit. Adapun kekurangan rumah berdasarkan konsep penghunian 2014 sebanyak 7,6 juta unit. Kebutuhan hunian terus tumbuh seiring pertambahan dan pertumbuhan penduduk. 2. Dalam upaya memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR, Pemerintah yang dimotori Kemenpupr mengeluarkan suatu kebijakan tentang “program pembangunan 1 (satu) juta untuk rakyat”. 3. Pemerintah mengalami persoalan ketersediaan dan pemanfaatan tanah. Salah satu alasannya adalah harga tanah semakin mahal. Di pihak lain, Pemerintah tidak bisa mengendalikan peningkatan harga tanah tersebut. 4. Berbagai solusi telah diambil oleh Pemerintah untuk memecahkan persoalan ketersediaan dan pemanfaatan tanah dimaksud.Salah satunya adalah program fasilitasi kerjasama pemanfaatan tanah untuk pembangunan perumahan umum.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda