Jumat, 20 Oktober 2017

DAMPAK POSITIF PERMEN LHK NO. P.39 TAHUN 2017

Permen LHK Nomor P.39 akan menimbulkan dampak positif terhadap kondisi kepastian hukum bagi petani penggarap tanah hutan negara; keadilan sosial; dan, kesejahteraan masyarakat terutama petani miskin di sekitar atau wilayah kerja Perum Perhutani. Tiga dampak positif ini dapat merupakan alasan dan rasionalisasi bagi Majelis Hakim di MA untuk menolak permohonan uji materiil atas Permen LHK Nomor P.39 Tahun 2017. Berikut ini akan diuraikan secara ringkas dampak positif dari implementasi Permen lHK Nomor P.39 tersebut.
1.  KEPASTIAN HUKUM

Permen LHK Nomor P.39  ini akan menimbulkan dampak positif terhadap kondisi  kepastian hukum bagi masyarakat dan petani miskin IPHPS. Kondisi  Tidak kepastian hukum bagi petani penggarap tanah negara di wilayah kerja Perum Perhutani tergolong  buruk. Petani penggarap acapkali ditangkap, diperas atau dieksploitasi oleh aparat Kehutanan atau Perhutani. Mereka dituduh telah melakukan kegiatan usaha di tanah negara secara ilegal.

Bagi petani penggarap hutan negara terdapat memang secara legal, tetapi dibatasi hanya dua tahun. Setelah itu hubungan hukum petani penggarap dengan tanah menjadi terputus sehingga tidak lagi memiliki kepastian hukum. Jika petani penggarap tersebut terus melakukan kegiatan usaha di tanah negara itu maka akan dituduh pihak Perum Perhutani sebagsi kegiatan ilegal.

Berdasarkan Permen LHK Nomor P.39, petani penggarap areal tanah hutan negara  di wilayah kerja Perum Perhutani memberikan kepastian hukum. Jika hasil evaluasi Pemerintah per lina tahun ternyata Pemegang IPHPS telah melaksanakan kewajiban sesuai ketentuan, maka Pemegang IPHPS bisa memanfaatkan tanah hutsnbnegara itu selama   35 tahun, bahkan diwariskan kepada anak-anaknya. Hal ini dapat menciptakan kepastian hukum atas pemanfaatan tanah negara, hingga anak2 mereka.

Ketidakpastian areal kawasan hutan merupakan salah satu yang menghambat efektifitas tata kelola hutan di Indonesia. Dari seluruh kawasan hutan seluas 130 juta hektar maka areal yang telah selesai ditatabatas (istilahnya “temu gelang”) baru sekitar 12 persen (14,2 juta hektar).  Ketidakpastian ini memicu munculnya konflik tenurial (lahan) dengan berbagai pihak yang berkepentingan dengan kawasan hutan.  Padahal setidak-tidaknya terdapat 50 juta orang yang bermukim disekitar kawasan hutan dengan lebih dari 33 ribu desa yang berbatasan dengan kawasan hutan.

Persoalan ketidakpastian tata batas hutan ini tidak hanya menimpa masyarakat adat ataupun masyarakat lokal yang berdiam dan memanfaatkan lahan dan sumber daya di dalam kawasan hutan, tetapi juga institusi yang memiliki izin usaha kehutanan dan pemerintah. Di tingkat lapangan batas yang berupa patok batas hutan juga seringkali tidak jelas sehingga sulit diverifikasi dalam pembuatan berita acara.

Untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan, maka diperlukan proses pengukuhan kawasan hutan, dimana seluruh proses yang harus dilakukan adalah penunjukan, penetapan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan. Proses ini semua adalah untuk menuju suatu kawasan hutan yang “legal dan legitimate”.

Pemerintah lewat Kemenhut telah mengatur proses pengkukuhan kawasan hutan lewat berbagai aturan, diantaranya Peraturan Pemerintah nomor 44/2004 tentang Perencanaan Hutan, Permenhut nomor P.47/2010 tentang Panitia Tata Batas dan Permenhut P.50/Menhut‐II/2011 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Namun ketiga peraturan ini dinilai masih memiliki kelemahan.

Terkadang suatu kawasan hutan negara baru merupakan penunjukkan tetapi telah diterbitkan izin bagi konsesi, padahal seharusnya baru pada tahap penetapan hutan itu memiliki kekuatan hukum dan baru dikatakan sebagai hutan negara.


2. KEADILAN SOSIAL
Permen LHK Nomor P.39 Tahun 2017 ini akan menimbulkan dampak positif terhadap kondisi dan kualitas keadilan sosial bagi masyarakat atau petani miskin di sekitar darussalam wilayah kerja Perum Perhutani. Permen LHK ini akan  menciptakan keadilan sosial bagi petani miskin yang selama ini tanpa lahan atau dapat memanfaatkan lahan hanya  maksimal 0,5 Ha menjadi  dapat memanfaatkan lahan 2 Ha. Ada perubahan struktur pemanfaatan lahan untuk sumber mata pencaharian masyarakat atau petani miskin di Pulau Jawa. Petani miskin semakin banyak dapat memanfaatkan tanah negara 2 Ha.

Disamping itu, dengan diizinkan petani miskin memanfaatkan tanah negara 2 Ha,  maka terjadi peningkatan martabat dan harga diri keluarga petani miskin. Secara psikologis, mereka merasa jauh lebih aman dan bermartabat karena punya tanah 2 Ha untuk dimanfaatkan hingga level anak2.

3. Kesejahteraan Masyarakat

Permen LHK Nomor P.39 Tahun 2017 akan menimbulkan dampak terhadap kondisi dan kualitas kesejahteraan masyarakat. Implementasi Permen LHK ini menyebabkan meningkatnya pendapatan keluarga pemegang Izin Pemanfaatan. Selama ini dengan luas lahan hanya maksimal 0,5 Ha, Rata2 pendapatan mereka per bulan hanya  Ro. 500 ribu. Tentu saja dengan perhitungan kasar, jika mereka mengelola 2 Ha akan bertambah minimal menjadi Rp.2 juta per bulan.

Dari sisi sumber mata pencaharian, Permen LHK  ini akan menyerap setidak-tidaknya 4 orang per 2 Ha. Dierkirakan dampak positif terhadap penduduk Pulau Jawa sekitar 20 juta jiwa.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda