Minggu, 22 Oktober 2017

PENURUNAN  ELEKTABILITAS JOKOWI DAN CARA PEMECAHAN


Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

Salah satu cara untuk meyakinkan dugaan atau hipotetis  kita tentang tingkat keterpilihan Balon (Bakal Calon) atau  Calon dalam pemilihan seperti Pilpres atau Pilkada yakni melakukan survei opini publik terkait elektabilitas para Balon atau Calon.

Untuk kasus Jokowi sebagai Balon pada Pilpres tahun 2019 mendatang, sudah mulai dibicarakan di publik berdasarkan hasil survei opini publik. Sebagai incumbent atau pertahana, Jokowi di mata lembaga survei pada umumnya  menunjukkan penurunan elektabilitas. Akibatnya. bisa disimpulkan bahwa kemungkinan Jokowi memenangkan persaingan pada Pilpres 2019 semakin sukar dan kecil.

Di acara Rapimnas Partai Golkar, Mei 2017, Balikpapan, Kalitim, Menko Maritim Luhut B.Panjaitan  menyatakan tanpa Sumber bahwa elektabilitas Jokowi saat ini masih di atas 50 persen. Lebih tinggi dibandingkan dengan elektabilitas SBY, Megawati dan Prabowo.

Sebelumnya, pada Januari hingga April 2017 Litbang Kompas adakan  survei berkala. Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan elektabilitas Jokowi mencapai 41, 6 persen.

Pada 14-20 Mei 2017, bulan sama dengan pernyataan Luhut B. Panjaitan di Acara Golkar,  SMRC adakan survei opini publik. Hasil survei ini menunjukkan elektabilitas Jokowi mencapai 34,1 persen.

Pada 23-30 Agustus  2017 CSIS lakukan survei. Hasil survei menunjukkan  elektabilitas Jokowi cukup tinggi, yakni  50,9%,

Selanjutnya, Lembaga Media Survei Nasional (Median) merilis hasil survei 14-22  September 2017,  Hasil survei menunjukkan, elektabilitas Jokowi 36,2 persen. Namun, di lain pihak SMRC mengumumkan angka lebih tinggi, yakni elektabilitas Jokowi mencapai 38,9 persen. Angka ini menaik dibandingkan hasil survei SMRC sebelumnya, elektabilitas Jokowi hanya 34,1 persen.

Terakhir, Lembaga PolMark Indonesia merilis hasil survei mengenai tokoh dipilih publik sebagai calon presiden pada saat ini.  Hasilnya, Joko Widodo tetap memperoleh elektabilitas tertinggi dibanding tokoh lainnya. Yakni . 41,2 persen memilih Jokowi
(22/10/2017)

Survei dilakukan. 9 - 20 September 2017.
Jumlah responden 2.250 orang dengan proporsi imbang (50:50) laki-laki dan perempuan. Survei menggunakan metode multistage random sampling dengan margin of error lebih kurang 2,1 persen. Selain itu, tingkat kepercayaan sebesar 95 persen.

Dari sejumlah data elektabilitas di atas, dapat disimpulkan bahwa terjadi penurunan elektabilitas Jokowi hingga mencapai di bawah 40 persen dan mendekati di bawah  35 persen dari tingkat elektabilitas sebelumnya, di atas 50 persen. Jika ditarik rata2 dari angka semua Lembaga Survei di atas,  tetap mengalami penurunan,  yakni rata2 sekitar 40 persen. Para Lembaga Survey membandingkan Jokowi sbg Pertahana dengan tokoh2 bukan Pertahana dan bahkan belum secara resmi menyatakan diri akan maju sebagai Capres pada Pilpres 2019. Sebagai Pertahana elektabilitas Jokowi kini hanya sekitar 40 persen, jauh dibawah perolehan suara Jokowi pada Pilpres 2014, di atas 50 persen. Tepat sekali kalau ada pendapat, semua Calon seperti Prabowo, Gatot N, bahkan SBY memiliki peluang yang sama dengan Jokowi untuk memenangkan kompetisi Pilpres 2019.

Intinya, tidak terdapat indikasi peningkatan elektabilitas Jokowi, bahkan dari bulan ke bulan tahun 2017 ini terus merosot. Waktu tinggal sekitar 1,5 tahun lagi bagi Jokowi utk hentikan  penurunan elektabilitas dirinya.  Kondisi Jokowi ini tanpa kegiatan promosi dan kampanye pesaing/kompetitor atau Tim Sukses, Relawan dan Partai Pendukung. Baru Jokowi seorang telah mendapatkan dukungan resmi dari Partai Golkar, Hanura, Nasdem, PPP dll. Ternyata dukungan resmi Parpol2 tersebut,  tak usahkan meningkatkan elektabilitas Jokowi, mempertahankan agar tidak menurun pun tak sanggup.

Penurunan elektabilitas Jokowi ini tentu disebabkan berbagai faktor, terutama rakyat umat Islam politik dan kelas menengah perkotaan, bukan tokoh  pesaing individual sebagai Balon. Khusus faktor kelas menengah perkotaan, diperkuat lagi adanya fakta politik oposisional baru.  Dua peristiwa mutakhir  berikut ini menjadi fakta baru dimaksud.

Pertama, Tanggal 20 Okt 2017 mahasiswa lakukan aksi demo dideoan Istana Merdeka, Jakarta. dgn agenda  Evaluasi Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi. Salah satu tuntutannya Tolak Perppu No 02 / 2017. Aksi dari jam 15.00 sampai jam 23.30 di depan Istana tidak ditemui satu orang pun Perwakilan Istana.  Aksi dibubarkan paksa oleh Polisi, sebagian dipukuli dan dipentung sampe mukanya bonyok. Ada 12 Mahasiswa ditangkap dan ditahan.


Aksi demo mahasiswa di depan Istana hingga malam hari sekitar Jam 22.30 WIB ini tergolong unik. Biasanya, aksi demo di Jakarta akan mendapat pengusiran dari aparat Kepolisian jika aksi demo itu masih berlangsung sekitar Jam 19.00 malam. Tapi, kali ini sekitar Jam 22.30  baru diusir paksa oleh Kepolisian. Cukup menarik, setelah 3 tahun aksi demo oposisionsl mahasiswa terhadap Rezim Kekuasaan, baru kali ini mengambil tempat. Diduga telah terjadi polarisasi di kalangan elite penegak hukum di Indonesia.

Kedua, aksi penolakan alumni dari berbagai perguruan tinggi negeri (seperti UGM, IPB, ITB, UI), swasta dan juga organisasi mahasiswa  ekstrauniversiter, dll. Kelas menengah perkotaan ini menuntut agar reklamasi pantai utara Jakarta dihentikan dan menolak kebijakan Pemerintah melalui Menko Maritim, Luhut B. Panjaitan, mencabut moratorium atau  penghentian pembangunan reklamasi tsb. Peristiwa ini merupakan pertama sekali di era Jokowi kalangan alumni pergurian tinggi secara massal dan meluas di Republik  menyatakan penolakan kebijakan Pemerintah.

Penurunan angka elektabilitas Jokowi ini bermakna semakin berkurang kemungkinan menangnya Jokowi pada Pilpres 2019. Kecenderungan menurunnya elektabilitas Jokowi ini akan terus mengambil tempat sepanjang kebijakan2 Jokowi tidak mengutamakan aspirasi dan kepentingan terutama Umat Islam politik dan kelas menengah perkotaan.

Ada asumsi bahwa elektabilitas Calon Incumbent atau Pertahana harus di atas  60 persen. Jokowi harus memiliki tingkat elektabilitas di atas 60%. Sebab, dalam berbagai pertarungan pemilu ketat, perolehan  suara calon petahana berada di bawah tingkat elektabilitas hasil survei. Dalam Pilpres 2009, SBY-Boediono meraup 60,8% suara. Perolehan  ini jauh di bawah hasil survei opini publik  menempatan SBY-Boediono sebagai pemenang pemilu dengan tingkat elektabilitas 71%. Hal ini juga berlaku pada  Pilkada  DKI Jakarta 2017. Pasangan Incumbent Ahok-Djarot menurut sejumlah rilis survei opini publik, tingkat elektabilitas mereka  hingga 56%,  hanya mampu meraih 42,99% suara dalam putaran pertama dan 42,04% suara pada putaran kedua.

Kecenderungan  elektabilitas Jokowi ini kemungkinan besar akan menurun dan menjauhi zona aman (60%).
Parpol pendukung Jokowi adalah PDIP. Pengaruh parpol ini kian nenurum. Sebagai bukti, parpol ini mengalami kekalahan2 dlm pilkada seperti Banten dan Dki Jakarta. Padahal incumbent dukungan parpol ini.

Kasus pilkada serentak memoerkuat hopotetis ini. Beberaps kekalahan  PDIP di Pilkada Serentak 2018, bahkan di beberapa wilayah kunci PDIP. Hal ini  akan menggerus elektabiluras berdampak Jokowi. Sementara itu, suara kritis publim dgn thema #2019GantiPresiden kian meningkat dan meluas

Merlihat beberapa fenomena keoknya PDIP di Pilkada Serentak 2018, bahkan di beberapa wilayah kunci PDIP, maka akan berdampak signifikan melorotnya Jokowi dan semakin melajunya
 #2019GantiPresiden.

Jika asumsi dasar ini diterima, adalah sangat sukar  bagi Jokowi untuk memenangkan pertarungan perebutan kekuasaan negara pada  Pilpres 2019 mendatang.

Apa cara pemecahan masalah (solusi) trend penurunan elektabilitas Jokowi ini agar bisa menaik dan mencapai batas aman untuk memenangkan Pilpres 2019?

Cara pemecahan utama, sangat menentukan, menggunakan  level analisis Parpol sebagai aktor mempengaruhi prilaku pemilih. PDIP sebagai Parpol perserta Pemilu  harus segera menyatakan secara resmi  dukungan terhadap Jokowi utk maju lagi sebagai Capres  pada Pilpres 2019. PDIP harus mengambil posisi di mata publik  sebagai "Lead Party", Parpol Pemimpin, jangan beri ke Parpol lain yang tidak memiliki akar sosiologis dengan Jokowi seperti Golkar. Setelah adakan  pernyataan resmi, lalu PDIP lakukan konsolidasi internal penguatan mesin Parpol untuk mempromosikan dan mengkampanyekan Jokowi di tengah-tengah masyarakat pemilih. Tentu saja, mesin Parpol ini akan terkendala dengan kepentingan Pemilu legislatif yang waktu  bersamaan dengan Pilpres 2019.

Untuk mendapatkan dukungan sebagian umat Islam politik, Jokowi sudah mulai memberi pertanda kepada publik, Calon Wapres dirinya dari Tokoh atau Ulama umat Islam seperti Jusuf Kalla saat Pilpres 2014. Siapa Tokoh atau Ulama dimaksud, satu kriteria Tokoh itu memiliki basis massa atau organisasi masyarakat umat Islam atau didukung berat para  Parpol Islam. Dari segi momentum memang terlambat, tapi Jokowi harus coba untuk pemenangan Pilpres 2019. Sudah saatnya Jokowi berpikir rasional untuk perolehan suara pemilih sebanyak mungkin. Semua kebijakan Pemerintah membuat umat Islam dan kelas menengah perkotaan antipati  dan penurunan elektabilitas harus diminimalkan. Jangan terus lakukan politik pembiaran yang membuat persepsi masyarakat negatif meningkat dan meluas. Waktu hanya sekitar 1,5 tahun lagi !

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda