KEDAULATAN RAKYAT
PASCA REFORMASI DAN PEMBANGUNAN PULAU PALSU
Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)
I. PENGANTAR
Forum Seminar
Alumni & Mahasiswa UI Bangkit Untuk Kedilan, 27 Oktober 2017, di Ruang
Terapung Pwerpustakaan UI Depok ini mengambil theme “Kedaulatan Bangsa Pasca
Reformasi”. Theme ini menggunakan konsep
“Keddaulatan Bangsa”. Tanpa mengecilkan makna konsep Kedaulatan Bangsa, sebagai salah satu Pembicara saya menganggap,
lebih baik menggunakan konsep “Kedaulatan Rakyat”.
“Kedaulatan”
berasal dari kata “ daulah” atau “kekuasaan tertinggi” atas suatu pemerintahan
Negara. Pertanyaan pokok adalah “siapa pemilik kedaulatan tertinggi itu?”
Berbagai teori telah muncul dalam menjawab persoalan pokok ini, antara lain (1)
teori kedaulatan Tuhan (2) Teori
kedaulatan Negara; (3) Teori kedaulatan hukum ; dan (4) teori kedaulatan rakyat.
Teori
kedaulatan Tuhan menjelaskan bahwa pemilik kekuasaan tertinggi dimaksud
sebenarnya adalah Tuhan.Pemerintah mendapatkan kekuasaan tertinggi dari
Tuhan.Para teoritikus kedaulatan Tuhan ini antara lain: Agustinus (354-430),
Thomas Aquinas dan Marselius.
Teori
kedaulatan Negara menjelaskan, pemilik kekuasaan tertinggi adalah Negara.Negara
merupakan perwujudan dari kekuasaan tertinggi terhadap para warga Negara dan
rakyat. Hukum adalah penjelmaan kehendak/kemauan Negara. Negara dianggap
satu-satunya sumber hukum dan dan memiliki kekuasaan tertinggi (kedaulatan). Para
teoritikus kedaulatan Negara ini antara lain: Jean Bodin dan George Jellinek.
Teori
kedaulatan hukum menjelaskan bahwa kekuasaan tertinggi adalah hukum.Baik raja,
penguasa, rakyat/warga Negara, dan Negara harus tunduk pada hukum.Yang berdaulat
adalah hukum.Sementara sumber hukum yakni rasa hukum terdapat di dalam
masyarakat.Hukum merupakan penjelmaan dari perasaan manusia.Para teoritikus
kedaulatan hukum ini antara lain: Krabbe dan Leon Duguit.
Makalah
ini akan memfokuskan dri pada teori kedaulatan rakyat, yang menjelaskan bahwa
kekuasaan tertinggi di tangan rakyat.
II. KEDAULATAN RAKYAT
Teori
kedaulatan rakyat juga menjelaskan, rakyat bukan merupakan penjumlahan
individu, melainkan kesatuan dibentuk oleh individu dan mempunyai kehendak
dibentuk melalui perjanjian masyarakat (kehendak umum). Kehendak umum akan
terwujud jika rakyat mempunyai perwakilan dalam pemerintahan. Pemerintahan
tidak hanya dipegang seseorang atau kelompok orang karena hal ini akan dapat
menyebabkan kehendak umum tidak akan terwujud karena mereka mempunyai
kepentingan sendiri dan mengabaikan kepentingan umum.
Menurut
teori kedaulatan rakyat, tujuan Negara adalah untuk menegakkan hukum dan
menjamin kebebasan warga negaranya dalam batas-batas peraturan
perundang-undangan.Yang berhak membuat undang-undang adalah rakyat sehingga
undang-undang merupakan penjelmaan kehendak rakyat.Rakyat memiliki kekuasaan
tertinggi dalam Negara.Rakyat memiliki otoritas tertinggi dalam bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Teori Kedaulatan Rakyat mengatakan bahwa kekuasaan
suatu negara berada di tangan rakyat sebab benar-benar berdaulat dalam suatu
negara adalah rakyat.
Sumber ajaran
kedaulatan rakyat ialah ajaran demokrasi telah dirintis sejak jaman Yunani. Demokrasi
mengandung pengertian pemerintahan rakyat, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat.Rakyat merupakan suatu kesatuan yang dibentuk oleh
individu-individu melalui perjanjian masyarakat.Rakyat sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi memberikan haknya untuk kepentingan bersama. Penguasa
dipilih dan ditentukan atas dasar kehendak rakyat Pemegang Kedaulatan Rakyat
serta Perananannya. Teori kedaulatan rakyat ini merupakan reaksi terhadap teori
kedaulatan Tuhan dan Teori kedaulatan Raja, kemudian menjelma dalam Revolusi
Perancis sehingga menguasai seluruh dunia hingga sekarang dalam mitos membuat
paham kedaulatan rakyat dan perwakilan (demokrasi).
Teori ini menjadi
inspirasi banyak negara termasuk Amerika Serikat dan Indonesia, dan dapat
disimpulkan bahwa trend dan simbol abad 20 adalah tentang kedaulatan rakyat.
Teori kedaulatan rakyat ini kemudian mendasari teori demokrasi yang telah
dirintis sejam jaman Yunani. Demokrasi mengandung pengertian pemerintahan
rakyat, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.Rakyat
merupakan suatu kesatuan yang dibentuk oleh individu-individu melalui
perjanjian masyarakat. Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi memberikan
haknya untuk kepentingan bersama. Penguasa dipilih dan ditentukan atas dasar
kehendak rakyat Pemegang Kedaulatan Rakyat serta Perananannya.
Menurut
ajaran ini segala kekuasaan didalam negara bersumber pada individu-individu.
Kekuasaan tertinggi suatu negara berasal dari individu-individu sendiri telah
menjadi rakyat negara, sebagai negara berlandaskan kedaulatan rakyat pimpinan
negara adalah ”Immanent” yaitu terkandung didalam diri rakyat itu sendiri.
Negara yang mendasarkan atas kedaulatan rakyat kendatipun telah terbentuk
negara dengan seluruh perlengkapan kekuasaanya, namun ultimate power (kekuasaan
tertinggi) tetap berada ditangan rakyat itu sendiri. Perwujudanya kekuasaan
rakyat tersebut diwakilkan kepada dewan-dewan perwakilan rakyat dan melalui
pemerintah yang bertangung jawab kepada rakyat. Dalam hal tersebut pemerintah
hanya sebagai mandataris rakyat saja Teori Kedaulatan Rakyat (Volks
aouvereiniteit), menekankan bahwa semua kekuasaan dalam suatu negara didasarkan
pada kekuasaan rakyat (bersama). J.J. Rousseau (Perancis) menyatakan apa yang
dikenal dengan “kontrak sosial”, suatu perjanjian antara seluruh rakyat yang
menyetujui Pemerintah mempunyai kekuasaan dalam suatu negara. Kedaulatan rakyat
artinya kekusaan tertinggi di tangan rakyat.Rakyat memberikan kekuasaan kepada
para wakil rakyat yang menduduki lembaga legislatif maupun eksekutif untuk
melaksanakan keinginan rakyat, melindungi hak-hak rakyat serta memerintah
berdasarkan hati nurani rakyat. Rakyat berhak mengganti pemerintahan yang
dipilih dan diangkatnya, bila pemerintah tersebut tidak melaksanakan kehendak
rakyat.
Dewasa ini
praktik teori kedaulatan rakyat banyak dianut dan dijalankan oleh negara-negara
demokrasi modern, termasuk Indonesia.
Para teoritikus kedaulatan rakyat ini antara lain: Jean-Jaques Rousseau,
Immanuel Kant, Thomas Hobbes, Johanes Althusius, John Locke (1632-1704),
Rousseau, dan Montes Quieu (1688-1755). Jean-Jacques Rousseau, misalnya,
berpendapat bahwa negara dibentuk oleh kemauan rakyat secara sukarela.
Kemauan
rakyat untuk membentuk negara itu disebut kontrak sosial. Rousseau juga
berpendapat bahwa negara terbentuk melalui perjanjian masyarakat harus menjamin
kebebasan dan persamaan.Ia adalah seorang filsuf dan komposer Perancis Era
Pencerahan di mana ide-ide politiknya dipengaruhi oleh Revolusi Perancis,
perkembangan teori-teori liberal dan sosialis, dan tumbuh berkembangnya
nasionalisme. Pelopor Kedaulatan Rakyat lainnya, John Locke, berasal dari
Inggris, merupakan salah seorang teoritikus terkenal tentang kedaulatan rakyat.
Konsep Trias Politika John Locke dapat ditemukan di dalam karya besarnya,
Magnum Opus, dengan judul Two Treatises of Government (1690). John Locke
menjelaskan pandangannya itu dengan menganalisis tahap-tahap perkembangan masyarakat.Iamembagi
perkembangan masyarakat menjadi tiga, yakni keadaan alamiah (the state of
nature), keadaan perang (the state of war), dan negara (commonwealth).
Keadaan
alamiah adalah tahap pertama dari perkembangan masyarakat.Keadaan alamiah
sebuah masyarakat manusia adalah situasi harmonis, di mana semua manusia
memiliki kebebasan dan kesamaan hak yang sama. Dalam keadaan ini, setiap manusia bebas
menentukan dirinya dan menggunakan apa yang dimilikinya tanpa bergantung kepada
kehendak orang lain. Walapun masing-masing orang bebas terhadap sesamanya,
namun tidak terjadi kekacauan karena masing-masing orang hidup berdasarkan
ketentuan hukum kodrat diberikan oleh Tuhan. Hukum Kodrat dari Tuhan menurut
Locke adalah larangan untuk merusak dan memusnahkan kehidupan, kebebasan, dan
harta milik orang lain. Locke menyebut ada hak-hak dasar terikat di dalam
kodrat setiap manusia dan merupakan pemberian Tuhan. Selanjutnya tahap keadaan
perang, John Locke menyebutkan bahwa ketika keadaan alamiah telah mengenal hubungan-hubungan
sosial maka situasi harmoni mulai berubah. Penyebab utamanya adalah terciptanya
uang. Dengan uang, manusia dapat mengumpulkan kekayaan secara berlebihan,
sedangkan di dalam keadaan alamiah tidak ada perbedaan kekayaan mencolok karena
setiap orang mengumpulkan secukupnya untuk konsumsi masing-masing.
Ketidaksamaan harta kekayaan membuat manusia mengenal status tuan-budak,
majikan-pembantu, dan status-status hierarkis lain.
Untuk
mempertahankan harta miliknya, manusia menjadi iri, saling bermusuhan, dan
bersaing. Masing-masing orang menjadi hakim dan mempertahankan miliknya
sendiri.Keadaan alamiah harmonis dan penuh damai tersebut kemudian berubah
menjadi keadaan perang ditandai dengan permusuhan, kedengkian, kekerasan, dan
saling menghancurkan.Situasi seperti ini berpotensi memusnahkan kehidupan
manusia jika tidak ada jalan keluar dari keadaan perang. Terakhir tahap
terbentuknya Negara, John Locke menyatakan bahwa untuk menciptakan jalan keluar
dari keadaan perang sambil menjamin milik pribadi, maka masyarakat sepakat
untuk mengadakan "perjanjian asal".Inilah saat lahirnya negara
persemakmuran (commonwealth).
Tujuan
berdirinya negara bukan untuk menciptakan kesamarataan setiap orang, melainkan
untuk menjamin dan melindungi milik pribadi setiap warga negara mengadakan
perjanjian tersebut. Di dalam perjanjian tersebut, masyarakat memberikan dua
kekuasaan penting yang mereka miliki di dalam keadaan alamiah kepada Negara. Kedua
kuasa tersebut adalah hak untuk menentukan bagaimana setiap manusia mempertahankan
diri, dan hak untuk menghukum setiap pelanggar hukum kodrat berasal dari Tuhan.
John Locke kemudian menegaskan dua prinsip.
Pertama,
kekuasaan negara pada dasarnya terbatas dan tidak mutlak sebab kekuasaan
berasal dari warga masyarakat yang mendirikannya. Negara hanya dapat bertindak
dalam batas-batas ditetapkan masyarakat terhadapnya.
Kedua,
tujuan pembentukan negara adalah untuk menjamin hak-hak asasi warga, terutama
hak warga atas harta miliknya.Demi tujuan ini, warga bersedia melepaskan
kebebasan mereka dalam keadaan alamiah diancam bahaya perang untuk bersatu di
dalam negara.Dengan demikian, John Locke menentang pandangan tentang kekuasaan
negara yang absolut dan mengatasi semua warga Negara.
John Locke
juga mengajukan pemikiran tentang pembatasan kekuasaan Negara. Negara dibatasi
oleh warga masyarakat yang merupakan pembuatnya. Untuk itu, sistem negara perlu
dibangun dengan adanya pembatasan kekuasaan negara, dan bentuk pembatasan
kekuasaan tersebut dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama, membentuk
konstitusi atau Undang-Undang Dasar ditentukan oleh Parlemen berdasarkan
prinsip mayoritas. Cara kedua, pembagian kekuasaan dalam tiga unsur:
legistlatif, eksekutif, dan federatif.
Berbagai
argumentasi telah diajukan untuk menjelaskan pemikiran John Locke tentang
pentingnya Negara melindungi manusia bekerja atau hal-ikhwal kerja.Salah satu
argumentasi, yakni tatkala John Locke hidup, milik setiap orang, terutama kaum
bangsawan, berada dalam posisi rentan ketika diperhadapkan dengan Raja.Kerap
kali Raja secara sewenang-wenang melakukan akuisisi atas milik para bangsawan
dengan dalih beraneka ragam.Terkait konflik kepemilikan sebagai misal tanah,
kaum bangsawan mengadakan perang terhadap Raja. Tantangan terbesar pada masa
John Lokce hidup adalah persaingan dengan kekuasaan monarki atau tirani. Monarki
atau Tirani adalah kekuasaan absolut berada di tangan seorang Raja.Tidak ada
kekuasaan terpisah.Kekuasaan politik menjadi persengketaan antara Monarki
(Raja/Ratu), pimpinan gereja, dan kaum bangsawan.Kerap kali di Eropa kala itu,
dilanda perang saudara akibat sengketa kekuasaan antara tiga kekuatan politik
ini.
Sebagai
koreksi atas ketidakstabilan politik ini, mulai muncul semangat baru di
kalangan intelektual Eropa, antara lain John Lokce, untuk mengkaji ulang
filsafat politik yang berupa melakukan pemisahan kekuasaan. Menurut John Locke,
fitrah dasar manusia adalah bekerja (mengubah alam dengan keringat sendiri) dan
memiliki milik (property).Negara yang baik harus dapat melindungi manusia
bekerja dan juga melindungi milik setiap orang diperoleh berdasarkan hasil
pekerjaandimaksud. Bagi John Lokce, tujuan utama Negara adalah melindungi milik
pribadi dari serangan individu lain. Untuk memenuhi tujuan Negara dimaksud,
perlu ada pemisahan kekuasaan. Maksudnya, kekuasaan tidak semata-mata di tangan
seorang Raja atau Ratu. Kekuasaan harus dipisah terdiri dari kekuasaan
legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan federatif.Pemikiran John Locke
inilah kemudian mendasari muncul teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal
untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara.
Kekuasaan legislatif dimaksudkan sebagai kekuasaan untuk membuat
undang-undang.Penguasa atau magistrat mengeluarkan hukum telah dikeluarkan.Pada
kekuasaan eksekutif, penguasa membuat damai atau perang, mengutus atau menerima
duta, menetapkan keamanan umum dan mempersiapkan untuk melawan invasi.Pada
kekuasaan yudikatif, penguasa menghukum penjahat, atau memutuskan pertikaian
antar individu-individu. Undang-undang mengandung hal penting, yakni masyarakat
ingin menikmati kepemilikan secara damai. Untuk situasi ‘damai’, perlu
diterbitkan undang-undang untuk mengatur kepemilikan tersebut.
Namun,
bagi John Locke, masyarakat dimaksudkanbukanmasyarakat umum melainkan kaum
bangsawan.John Lokce tidak memperjuangkan kepemilikan rakyat jelata.Perwakilan
rakyat versi Locke adalah perwakilan kaum bangsawan untuk berhadapan dengan
Raja/Ratu Inggris. Di lain fihak, makna kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan
untuk melaksanakan amanat Undang-undang. Kekuasaan eksekutif berada di tangan
Raja/Ratu Inggris.Kaum bangsawan tidak melaksanakan sendiri Undang-undang yang
mereka buat, melainkan diserahkan ke tangan Raja/Ratu. Kekuasaan federatif
adalah kekuasaan mengatur masalah-masalah bilateral, seperti mengadakan
perjanjian damai, kesepakatan kerja sama, atau menyatakan perang. Kekuasaan
federatif adalah kekuasaan menjalin hubungan dengan negara-negara atau
kerajaan-kerajaan lain. Kekuasaan ini mirip dengan Kemenetrian Luar Negara di
masa kini, antara lain untuk membangun liga perang, aliansi politik luar
negeri, menyatakan perang dan damai, pengangkatan duta besar, dan sejenisnya.
Kekuasaan ini juga diserahkan kepada Raja/Ratu Inggris.
Menurut
Locke, kekuasaan federatif dapat dipegang oleh pihak eksekutif, di mana dalam
keadaan darurat pihak eksekutif dapat mengambil tindakan yang melampaui
wewenang hukum yang dimilikinya. Di dalam sistem kenegaraan Locke di atas,
tetap ada kemungkinan penyalahgunaan wewenang oleh pihak-pihak yang berkuasa
atas rakyat.Oleh karena itu, menurut Locke, rakyat memiliki hak untuk
mengadakan perlawanan dan menyingkirkan pihak eksekutif dengan kekerasan bila
mereka telah bertindak di luar wewenang mereka.Di sini, rakyat merebut kembali
hak yang telah mereka berikan. Pengaruh pemikiran Locke dalam bidang politik
amat besar di negara-negara Eropa, seperti Inggris, Perancis, Jerman, bahkan
hingga Amerika Serikat.Bapak-bapak pendiri negara Amerika Serikat, seperti
Jonathan Edwards, Hamilton, dan Thomas Jefferson dipengaruhi oleh ide-ide
politik Locke.Kemudian para filsuf Pencerahan Perancis, seperti Voltaire dan
Montesquieu, juga dipengaruhi oleh Locke. Dapat dinilai =bahwa
pemikiran-pemikiran politik Locke juga memengaruhi munculnya Revolusi Perancis
tanggal 14 Juli 1789.
Pemikiran
John Locke belum sepenuhnya sesuai dengan pengertian “Trias Politika”
sebagaimana kita temukan pada masa kini.Beragam kritik muncul terhadap
pemikiran John Locke ini.Salah seorang pengkritik dimaksud adalah Simon Petrus
L. Tjahjadi.Menurutnya, gagasan Locke tentang model negara terlalu
mengedepankan kepentingan kaum bangsawan dan kaum pemodal dibandingkan
kepentingan seluruh rakyat. Hal itu terlihat dari model pembatasan kekuasaan
negara menggunakan pembagian kekuasaan antara legislatif dan eksekutif:
golongan eksekutif dan federatif diduduki oleh raja dan para menteri, sedangkan
golongan legislatif diisi golongan bangsawan dan orang-orang kaya. Tidak ada
tempat bagi rakyat biasa di dalam model pembagian kekuasaan ini. Jikalau tidak ada
tempat bagi rakyat biasa untuk mengawasi jalannya pemerintahan, maka pembuatan
Undang-Undang dan pelaksanaannya dapat saja disalahgunakan bagi kepentingan
pemerintah dan kaum bangsawan saja. Bila ini terjadi, rakyat tidak dapat
memperjuangkan kepentingannya melalui sistem negara yang ada, dan akhirnya
hanya akan membuat negara kembali ke "keadaan perang" karena terjadi
ketidakadilan. Padahal situasi "keadaan perang" itulah yang ingin
diatasi Locke.
Montesquieu
(1689-1755) atau Baron Secondat de Montesquieu, berasal dari Perancis,
menyempurnakan pemikiran John Lokce tentang pembagian kekuasaan.Pemikiran
Montesquieutermuat di dalam magnum opusnya: Spirits of the
Laws(1748).Montesquieu, adalah pemikir politikPerancis yang hidup pada Era
Pencerahan (bahasa Inggris: Enlightenment). Ia terkenal dengan teorinya
mengenai pemisahan kekuasaan yang banyak disadur pada diskusi mengenai
pemerintahan dan diterapkan pada banyak konstitusi di seluruh dunia. Ia
memegang peranan penting dalam memopulerkan istilah "feodalisme" dan
"Kekaisaran Bizantium".
Terkait
pemisahan kekuasaan, Montesquieu menekankan bahwa dalam setiap pemerintahan,
terdapat tiga macam kekuasaan, yakni (1) kekuasaan legislatif; (2) kekuasaan
eksekutif; dan (3) kekuasaan yudikatif. Kekuasaan legislatif mengenai hal-hal
yang berkenan dengan hukum antara bangsa.Unsur legislatif adalah kekuasaan
untuk membuat undang-undang dan merupakan kekuasaan tertinggi.Kekuasaan ini
dijalankan oleh Parlemen mewakili golongan kaya dan kaum bangsawan sebab
mereka, dengan kekayaannya, paling banyak menyumbangkan sesuatu kepada Negara.
Dalam
membuat undang-undang, kekuasaan legislatif terikat kepada tuntutan hukum alam
yaitu keharusan menghormati hak-hak dasar manusia. Kekuasaan eksekutif mengenai
pelaksanaan undang-undang.Unsur eksekutif adalah pemerintah melaksanakan
undang-undang, yaitu Raja dan para bawahannya. Konsep John Locke dengan konsep
Montesquieu tentang kekuasaan mengandung perbedaan. Pertama, bagi John Locke,
kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan mencakup kekuasaan yudikatif karena
mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif
(hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan berdiri sendiri. Sementara bagi
Montesquieu, kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan ferderatif karena melakukan
hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan
yudikatif harus merupakan kekuasaan berdiri sendiri dan terpisah dari
eksekutif. Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, cara pembagian kekuasaan
Montesquieu lebih diterima. Kekuasaan ferderatif diberbagai negara sekarang ini
dilakukan oleh eksekutif melalui Kementerian Luar Negeri masing-masing. Pada
intinya teori kedaulatan rakyat ini memfokuskan pada konsep pembagian kekuasaan
(distribution of power).Pembagian kekuasaan terdiri dari dua kata, yaitu
“pembagian” dan “kekuasaan”.Secara sederhana pengertian pembagian kekuasaan
adalah adalah proses menceraikan wewenang dimiliki oleh Negara untuk
(memerintah, mewakili, mengurus, dsb) menjadi beberapa bagian (legislatif,
eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada beberapa lembaga Negara untuk menghindari
pemusatan kekuasaan (wewenang) pada satu pihak/ lembaga. Pembagian kekuasaan
dapat juga berarti,kekuasaan itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian
(legislatif, eksekutif dan yudikatif), tetapi tidak dipisahkan. Diantara
bagian-bagian itu dimungkinkan ada koordinasi atau kerjasama. Terdapat satu
argumentasi bahwa kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan
kekuasaan ke dalam cabang-cabang bersifat “checks dan balances” dalam kedudukan
sederajat dan saling mengimbangi serta mengendalikan satu sama lain, namun
keduanya ada kesamaan, yaitu memungkinkan adanya koordinasi atau kerjasama.
Selain itu pembagian kekuasaan baik dalam arti pembagian atau pemisahan
diungkapkan dari keduanya juga mempunyai tujuan sama yaitu untuk membatasi kekuasaan
sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan memungkinkan
terjadinya kesewanang-wenangan. Pada hakekatnya pembagian kekuasaan dapat
dibagi ke dalam dua cara.
Pertama,
secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya, sebagai misal
antara pemerintah pusat dengan dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan,
atau antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam suatu suatu
negara federal.
Kedua,
secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya, lebih
menitikberatkan pada pembedaan antara fungsi pemerintahan bersifat legislatif,
eksekutif dan yudikatif.
III. TEORI KEDAULATAN RAKYAT PASCA REFORMASI
Bagaimana
penerapan di Indonesia, termasuk Pasca Reformasi? Sesungguhnya negara Indonesia sejak
kemerdekaan tahun 1945 hingga kini, sekalipun telah terjadi Amandemen
Konstitusi (UUD 1945), tetap menerapkan dan menganut teori kedaulatan rakyat.
Rakyat memiliki kekuasaan tertinggi. Pemerintah harus memberikan pelayanan
terbaik untuk rakyat.
Berbagai
argumentasi telah diajukan untuk menjustifikasi bahwa Negara Indonesia
menerapkan dan menganut teori kedaulatan rakyat. Salah
satunya diajukan kandungan Pancasila pada Sila ke-4, yakni ”Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Selain
itu juga ditegaskan dalam Pembukan UUD’45 “... susunan negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat ...” Sila ke-4 Pancasila diuraikan
berdasarkan minimal 4 (empat) konsep kunci (kerakyatan, hikmak kebijaksanaan,
permusyawaratan dan perwakilan).
Konsep
pertama, “Kerakyatan” berarti kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat,
berarti Indonesia menganut demokrasi. Konsep kedua, “ Hikmat Kebijaksanaan”
berarti penggunaan pikiran sehat dengan selalu mempertimbangkan persatuan dan
kesatuan bangsa, kepentingan rakyat dan dilaksanakan dengan sadar, jujur, dan
bertanggung jawab, serta didorong oleh itikad baik sesuai dengan hati nurani.
Konsep ketiga, “Permusyawaratan” berarti dalam merumuskan atau memutuskan suatu
hal, berdasarkan kehendak rakyat, dan melalui musyawarah untuk mufakat. Konsep
keempat, “Perwakilan” berarti suatu tata cara mengusahakan turut sertanya
rakyat mengambil bagian dalam kehidupan bernegara, antara lain dilakukan
melalui badan perwakilan rakyat.
Mengacu
pada UUD 1945, pelaksanaan kedaulatan rakyat adalah rakyat dan lembaga-lembaga
pemerintahaan menjadi wadah dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan sebagai
representasi dari teori kedaulatan rakyat. Argumentasi selanjutnya menunjukkan
pasal-pasal UUD 1945 baik sebelum amandemen maupun setelah amandemen. Pasal 1
ayat (2) UUD 1945 sebelum Amandemen menetapkan: “Kedaulatan adalah ditangan
rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Menurut
pasal ini, MPR adalah penjelmaan rakyat indonesia sebagai satu-satunya lembaga
yang memegang kedaulatan rakyat sepenuhnya. Sedangkan Pasal 2 ayat (2) UUD 1945
Amandemenmenetapkan, “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-undang Dasar”.
Perubahan
rumusan pasal 2 ayat (2) UUD 1945 Amandemen membawa kosekuensi dan implikasi
signifikan terhadap fungsi dan kewenangan lembaga negara, terutama MPR sebagai
pelaksana kedaulatan rakyat sepenuhnya.MPR tidak lagi sebagai satu-satunya
lembaga melakukan kedaulatan rakyat. Kedaulatan tetap dipegang oleh rakyat,
namun pelaksanaanya dilakukan oleh beberapa lembaga negara memperoleh amanat
dari rakyat dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara.
IV. KEDAULATAN HUKUM
Sesungguhnya,
Negara Indonesia tidak semata-mata menganut teori kedaulatan rakyat, tetapi
juga teori kedaulatan hukum sebagaimana Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, menetapkan
bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Artinya negara kita bukan negara
kekuasaan.Bahwa segala sesuatu berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara diatur menurut hukum berlaku. Di samping itu, Pasal 27
ayat 1 UUD 1945, menetapkan bahwa negara Indonesia menganut kedaulatan hukum.
Kedudukan warga negara sama di depan hukum dan pemerintahan wajib menjunjung
hukum tanpa pengecualian.
Dengan
perkataan lain, setiap warga negara di wilayah negara Indoensia memiliki
kedudukan sama di depan hukum. Jika melanggar hukum, siapapun akan mendapat
sanksi. Penyelenggaraan kedaulatan rakyat sebelum perubahan UUD 1945 melalui
sistem MPR dengan prinsip terwakili telah menimbulkan kekuasaan bagi Presiden
demikian besar dalam segala hal termasuk pembentukan MPR. Periode Orde Lama
(1959-1965), seluruh anggota MPR(S) dipilih dan diangkat langsung oleh
Presiden. Hal ini berlaku juga pada masa Orde Baru (1966-1998): dari 1000
anggota MPR, 600 orang dipilih dan ditentukan oleh Presiden. Hal ini
menunjukan, MPR seakan-akan hanya menjadi alat untuk mempertahankan penguasa
pemerintahan (Presiden). Kewenangan untuk memilih dan mengangkat Presiden dan/
atau Wakil Presiden berada di tangan MPR. Padahal MPR itu sendiri dipilih dan
diangkat oleh Presiden, sehingga siapa menguasai suara di MPR maka akan dapat
mempertahankan kekuasaan. Pengangkatan anggota MPR dari unsur Utusan Daerah dan
unsur Utusan Golongan bagi pembentukan MPR dalam jumlah demikian besar juga
dapat dilihat sebagai penyimpangan konstitusional, karena secara logika dalam
hal kenyataan juga terlihat wakil diangkat akan patuh dan loyal kepada pihak
mengangkatnya, sehingga wakil tersebut tidak lagi mengemban kepentingan daerah
atau golongan diwakilinya. Akibatnya, para wakil diangkat itu tidak lagi
memiliki hubungan dengan diwakili.Padahal, Presiden sendiri merupakan
mandataris MPR harus bertanggung jawab kepada MPR. Hubungan MPR dan Presiden
sangat sulit dilihat sebagai hubungan vertikal atau horizontal.Jika terlepas
dari MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara dan Presiden sebagai Lembaga Negara
jelas mempunyai hubungan vertikal.Karena itu, seluruh anggota MPR idealnya
diplih oleh rakyat melalui Pemilu. Sementara itu, sesuai dengan ketentuan UUD
1945, keberadaan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, dianggap sebagai
pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakayat. Konstruksi ini menunjukkan, MPR
merupakan Majelis mewakili kedudukan rakyat sehingga menjadikan lembaga tersebut
sebagai sentral kekuasaan, mengatasi cabang-cabang kekuasaan lain. Adanya satu
lembaga berkedudukan paling tinggi membawa konsekuensi seluruh kekuasaan
lembaga-lembaga penyelenggara negara berada di bawahnya harus bertanggung jawab
kepada MPR. Akibatnya konsep keseimbangan antara elemen-elemen penyelenggara
negara atau sering disebut checks and balances system antar lembaga tinggi
negara tidak dapat dijalankan.
Pada
sistem MPR tersebut, juga menimbulkan kekuasaan bagi Presiden demikian besar
dalam pembentukan undang-undang (fungsi legislasi) seharusnya dipegang DPR. Hal
ini dapat dilihat dari rumusan pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum Amandemen
menetapkan: “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Berdasarkan rumusan tersebut, MPR
mendistribusikan kekuasaan membentuk undang-undang kepada Presiden, atau
setidaknya memberikan kewenangan lebih kepada Presiden dalam fungsi legislasi
ketimbang DPR.Akibatnya, pengawasan dan keseimbangan antar lembaga tinggi
negara sangat lemah sekali. Kekuasaan Negara di bawah UUD 1945 Amandemen
membawa dampak besar terhadap stuktur ketatanegaraan dan sistem penyelenggaraan
negara sangat besar dan mendasar. Perubahan terjadi pada penempatan MPR sebagai
lembaga negara mempunyai kedudukan sederajat dengan Lembaga Negara lain, tidak
lagi sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Juga terjadi pergeseran kewenangan
membentuk undang-undang dari Presiden kepada DPR, pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden secara langsung, mempetegas penerapan sistem presidensiil, pengaturan
HAM, munculnya beberapa lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi
Yudisial, dll.
Sebagaimana
telah disinggung sebelumnya, Pasal 1 Ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 yang
berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar”. Hal ini merupakan perubahan terhadap ketentuan Pasal 1
Ayat (2) UUD 1945 sebelumnya menetapkan: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat
dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Dari hasil
perubahan tersebut menunjukkan, konsep kedaulatan rakyat dilakukan oleh suatu
Lembaga Tertinggi Negara (MPR)dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat
Indonesia, kini telah dikembalikan kepada kepada rakyat untuk dilaksanakan
sendiri. Lembaga Tertinggi Negara MPR selama ini dipandang sebagai pemegang
sepenuhnya kedaulatan rakyat menjadi hilang.Hal ini merupakan suatu perubahan
fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.Prinsip supremasi MPR telah
berganti dengan prinsip keseimbangan antar lembaga negara (checks and
balances). Rumusan tersebut juga membuka kemungkinan penyelenggaraan pemilihan
presiden secara langsung, agar sesuai dengan kehendak untuk menerapkan sistem
pemerintahan presidensial.
Pergeseran
kewenangan membentuk undang-undang ini meninggalkan teori “pembagian kekuasaan”
(distribution of power) dengan prinsip supremasi MPR menjadi “pemisahan
kekuasaan” (seperation of power) dengan prinsip “checks and balances”.Intinya,
Negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 Amandemen telah menganut teori “pemisahan
kekuasaan” (seperation of power) untuk menjamin prinsip “checks and balances”
demi tercapainya pemerintahan demokratis. Sebagaimana telah diungkapkan di
atas, teori kedaulatan rakyat mendasari teori demokrasi. Demokrasi mengandung
pengertian pemerintahan rakyat, yaitu pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan
untuk rakyat. Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi memberikan haknya
untuk kepentingan bersama. Penguasa dipilih dan ditentukan atas dasar kehendak
rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi tersebut.Karena itu, teori
demokrasi tidak terlepas dari teori demokrasi kedaulatan rakyat. Negara seperti
Indonesia penganut teori kedaulatan rakyat juga penganut teori demokrasi.
V. PEMBANGUNAN PULAU PALSU
Di bawah Rezim
Jokowi, merebak issu pembangunan sejumlah Pulau Palsu di teluk DKI Jakarta. Kini
di teluk Jakarta sedang dibangun sejumlah Pulau Palsu/Reklamasi. Proyek ini
dipayungi Gubernur Ahok. Pulau Palsu/reklamasi ini menjadi issu politik terkait
dengan rencana permukiman orang asing dari Cina, termasuk tenaga kerja Cina.
Terdapat klaim publik, pembangunan sejumlah Pulau Palsu ini sebagai upaya untuk
memindahkan rakyat Cina ke Indonesia dengan memberi permukiman dan perumahan.
Gelombang rakyat
Indonesia anti kebijakan pembangunan sejumlah Pulau Palsu ini semakin meningkat
dan dinilai sebagai ancaman bagi kedaulatan dan kelanjutan NKRI. Pulau Palsu
dibangun di Teluk Jakarta adalah pulau A-Q dengan 10 pengembang. Pulau Palsu
untuk kelas atas, bukan semua kelas. Harga properti paling rendah Rp 3,77
miliar luas bangunan 128 meter persegi dan tanah 90 meter persegi. Dengan harga
setinggi ini, siapa sanggup membelinya? Semua unit rumah di Proyek Reklamasi
diiklankan di Singapura, Taiwan, Hongkong, Macau, Beijing, dan kota-kota lain
di Cina. Infonya semua unit sudah habis terjual kepada China Asing. Issue Pulau
Palsu kian hangat kembali sejak Paslon Anies-Sandi dlm kampanye Pilgub DKI
berjanji akan menghentikan program tsb. Tapi, satu hari pemungutan suara dan
Paslon Anies-Sandi menang, langsung Menko Maritim tegaskan akan ambilalih
program itu dan ditetuskan. Bahkan, diklaim jangan karena satu orang (Anies)
program itu dihentikan. Juga menantang adu data ke publik. Reaksi publik cukup
kencang atas tawaran Menko Maritim ini.
Pd 16 Mei 2017
IRESS dan MPR adakan Seminar : "Stop Program Reklamasi Teluk Jakarta"
dgn Keynote speech M.Amien Rais (UGM). Pembicara al. Muslim Muin (ITB), Sri
Bintang Pamungkas (UI), Irvan Pulungan, M Ramli, Marwan Batubara (IREES), dan
Hanafi Rais (DPR). Pada prinsipnya, seminar ini sepakat untuk menolak dan
membatalkan program reklamasi/pulau palsu. Mereka bersedia melayani tantangan
Menko Maritim untuk adu data pembangunan reklamasi ini. Mereka tegaskan, jika
data Tim Menko Maritim benar dan menang tanpa reklamasi DKI akan banjir, mereka
terima dan ikuti. Tetapi, jika data mereka benar dan dengan reklamasi justru
DKI akan banjir, maka pembangunan reklamasi itu harus dihentikan.
Seminar juga
mengingatkan masalah reklamasi ini harus dilihat upaya penyerahan jalan laut ke
Cina. Reklamasi ini adalah rekayasa politik, bukan semata rekayasa ekonomi.
Langkah berikutnya, Cina akan menggunakan jalur maritim ini menjadi jalur
militer Cina. Selanjutnya, Presidium Musyawarah Rakyat Indonesia menegakan,
reklamasi adalah "Makar dan penjajahan terhadap Rakyat Pribumi oleh Jokowi
dan Para Konglomerat Taipan untuk Kolonisasi Cina (RRC)". Pd 17 Mei 2017
mereka rencanakan akan laporkan kasus ini Ke Komnas HAM.
Rezim Jokowi
perlu mengelola dan mengendalikan issue politik Pulau Palsu/reklamasi ini
merembet ke issu tindak pidana korupsi reklamasi elite kekuasaan parpol
penguasa. Jika isu korupsi merebak, maka dampak negatif besar akan melanda
eksistensi kekuasaan Rezim Jokowi itu sendiri. Gelombang suara kritis ttg
pembangunan Pulau Palsu ini, jika Rezim Jokowi tidak cepat2 hentikan, bagaimana
pun akan bergeser issue korupsi mengaitkan elite kekuasaan. Persoalannya bukan
lagi masalah Pulau Palsu, tetapi pertarungan kekuasaan negara.
Di Seminar
Alumni & Mahasiswa UI Bangkit Untuk Kedilan ini mengambil theme “Kedaulatan
Bangsa Pasca Reformasi”. Menurut
Panitia, Forum ini juga akan membahas Kaitan Proyek Reklamasi dengan Kedaulatan
Bangsa. Tentu saja maknanya adalah issue Pembangunan Pulau Palsu yang di publik
mendapatkan penolakan, termasuk sejumlah kelompok Alumni Perguruan Tinggi,
dinilai dalam perspektif kedaulatan rakyat. Kami mempekirakan, Panitia menilai
Pembanguna Pulau Palsu bertentangan
dengan prinsip kedaulatan rakyat.
Kami
setuju penilaian semacam ini. Namun, solusi paling tepat untuk masalah apakah
Pembangunan Pulau Palsu itu bertentangan atau tida dengan prinsip kedaulatan
rakyat, yakni meminta pendapat atau penilaian terhadap rakyat khususnya di
wilayah DKI Jakarta mealui semacam “referendrum” atau “pemungutan suara”. Jika Rezim Jokowi betul-betul ingin meyakinkan
publik bahwa Pembangunan Pulau Palsu itu tidak bertentangan dengan prinsip
kedaulatan rakyat, adakan referendrum atau pemungutan suara dimaksud.
--------------meh-----------------
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda