Selasa, 10 Oktober 2017

TANGGAPAN BUAT KETUM KPHLH: PERMEN LHK P.39 MENIMBULKAN KERUSAKAN HUTAN CUMA HAYALAN NEGATIF SEMATA

TANGGAPAN BUAT KETUM KPHLH:   PERMEN LHK P.39 MENIMBULKAN KERUSAKAN HUTAN CUMA HAYALAN NEGATIF SEMATAd


Oleh
YAMINUDIN
(Peneliti Senior Community Development NSEAS)



Di suatu forum diskusi Komisi VI DPR-RI, Senin 9 Oktober 2017,  secara sepihak Ketum  Komite Penyelamatan Hutan dan Lingkungan Hidup (KPHLH), Bambang Adji menilai  Permen LHK No. P.39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani (www. galamedianews.com).

Ada tiga penilaian pokok Beliau di forum diskusi itu.

Pertama,  Permen LHK  No. P.39 tahun 2017  berpotensi menimbulkan kerusakan hutan di Pulau Jawa, dan umumnya di Indonesia. Karena itu,  KPHLH berusaha untuk menyelamatkan hutan dari ancaman sebuah peraturan pemerintah, dan menolak Permen LHK tsb.

Penilaian ini sangat manipulatif. Hayalan negatif semata bahwa  lahan hutan negara yang akan dimanfaatkan rakyat miskin ini (existing)  merupakan  hutan perawan atau tegakan lebih 50 persen. Padahal, syarat lahan yang akan dimanfaatkan rakyat miskin tergolong  gundul atau tegakan hanya 10 persen, dan terbengkalai tak dimanfaatkan real oleh Perhutani minimal 5 tahun.  Diperkirakan sekitar 50 persen  lahan negara di wilayah kerja Perhutani Pulau Jawa sudah gundul dan tak termanfaatkan.  Rakyat miskin penerima Izin pemanfaatan diwajibkan menanam kayu sekian persen di lahan gundul tsb. Artinya, rakyat miskin itu akan menambah luas tegakan dan tanaman kayu.  Lalu, di mana rakyat miskin itu menimbulkan kerusakan hutan ?

Jika Ketum KPHLH ini baca lagi Permen LHK P.39, akan ditemukan bentuk pemanfaatan hutan oleh rakyat miskin bukan hanya soal perkayuan, tetapi juga soal air, enerji air, pariwisata dll. Gundulnya hutan negara di Pulau Jawa ini bukan karena kelakuan rakyat miskin, tetapi pengusaha dan penguasa rente telah berlangsung sejak zaman Orba dan juga  SBY. Pada dasarnya, penilaian rakyat miskin memanfatkan lahan hutan negara untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga akan menimbulkan kerusakan hutan, penilaian diskriminatif dan feodalis terhadap orang miskin.

Kedua, Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) pada  Permen LHK P.39 membahayakan bagi keselamatan hutan. Bagi Bambang,  dalam penyelematan hutan itu, ruhnya harus dalam bentuk "kerjasama", bukan dalam bentuk izin masuk ke kawasan hutan.

Pikiran izin masuk tidak punya ruh kerjasama sangat keliru. Rakyat miskin di sekitar dan di dalam hutan negara itu tidak bisa disamakan dengan kelompok orang menengah dan atas yang hidupnya di perkotaan, minimal Ibukota kecamatan,  seperti Ketum ormas KPHLH. Orang miskin tidak bisa setara dengan orang menengah dan atas. Pemerintah mau bantu orang miskin agar tidak miskin. Tentu saja penyikapan Pemerintah harus pembinaan, pemberdayaan, dan bantuan teknis, keuangan dan juga administratif. Pemerintah harus lebih dalam ketimbang kerjasama  versi hubungan kepentingan eksploitatif kelas menengah atas atas lahan hutan negara yang selama ini terjadi. Rakyat miskin terpinggirkan terus dengan konsep kerja dana versi Bambang ini. Sejak zaman Belanda hingga zaman ruh kerjasama versi Bambang, rakyat miskin di sekitar hutan negara di Pulau Jawa  tidak berubah, tetap miskin. Ruh kerjasama itu hanya dinikmati kelompok pengusaha dan penguasa rente. Adalah mencari-cari alasan pembenar untuk menolak Permen LHK P.39 dengan menggunakan konsep ruh  kerjasama itu. Kalau Pemerintah memihak rakyat miskin tidak punya ruh kerjasama. Pemikiran sangat keliru.

Ketiga, Permen LHK  P.39  sebagai upaya pelemahan  Perum Perhutani,  nantinya berujung pada upaya pembubaran  Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tsb.

Penilaian ini juga lebih terlihat mengada-ada. Pemerintah dituduh akan membuat Perum Perhutani bubar. Dasar berpikir dan logika berpikir Ketum KPHLH ini  sangat tanpa dasar, terlalu miskin intelektual. Pemerintah dinilai bekerja tanpa regulasi dan rasionalitas. Permen LHK P.39 justru memperkuat dan memberikan manfaat bagi Perhutani. Mengapa?

Karena 30 persen hasil usaha rakyat miskin dalam  memanfaatkan hutan itu diserahkan kepada Perhutani. Padahal, bantuan bibit, teknis, administratif dll datang dari Pemerintah, perguruan tinggi, LSM dan perbankan atau lembaga keuangan. Negara hadir membantu rakyat miskin itu, bukan saja Perhutani seperti selama ini.

Permen LHK tidak akan memperlemah Perhutani. Yang diperlemah akibat dampak negatif  sampingan  dari Permen LHK ini,  bukan terhadap  Perhutani, tetapi   kelompok rente  rakyat menengah   yang selama ini mengeksploitasi lahan hutan negara di sekitar dan di dalam areal kerja Perhutani. Mereka ini sebagai  kelas menengah, hidup di perkotaan, bukan petani apalagi rakyat miskin. Pada umumnya penolak Permen LHK P.39 bukan rakyat atau petani miskin yang menjadi sasaran dan target Permen ini. Kelompok rente mengatasnamakan  LSM,  rakyat desa hutan,  dan perlindungan hutan dan lingkungan, dll.  terus menerus menolak Permen LHK P.39. Padahal kelompok petani miskin justru mendukung berat.

Hayalan negatif semata kelompok rente ini harus dilawan dengan realitas obyektif kelakuan mereka selama ini dalam pemanfaatan lahan hutan negara. Jika perlu Pemerintah mempublikasikan lahan hutan  negara yang sudah mereka gunakan secara ilegal di Pulau Jawa. Sebagai misal seorang Bupati memanfaatkan berhektar-hektar lahan hutan negara sebagai kebun kopi milik pribadi. Lahan2 tersebut masih milik negara, tetapi dikuasai secara ilegal oleh kelompok rente ini.

Pemerintah harus lawan kelompok rente ini sekalipun mereka gunakan jalur hukum di Mahkamah Agung. Dorongan motip ekonomi mereka harus Pemerintah lawan dengan motip alturistik dan cita2.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda