Selasa, 04 Februari 2014

PROGRAM PELAYANAN ADMINISTRASI TERPADU KECAMATAN (PATEN)

Pelimpahan sebagian kewenangan Bupati dan Walikota kepada para Camat di setiap daerah sesungguhnya merupakan hal yang mendesak untuk dilakukan agar pelaksanaan pembangunan dapat berjalan dengan baik. Apalagi jika hal tersebut dikaitkan dengan pelaksanaan program Paten (Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan) seperti diatur dalam Permendagri No 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan, di mana seluruh Kecamatan sudah harus menerapkan program tersebut pada tahun 2015. Terwujudnya pelayanan publik yang berkualitas (prima) menjadi salah satu ciri tata pemerintahan yang baik (good governance). Kinerja pelayanan publik sangat besar pengaruhnya terhadap kualitas kehidupan masyarakat. Oleh karena itu membangun sistem manajemen pelayanan publik yang handal adalah keniscayaan bagi Daerah kalau mereka ingin meningkatkan kesejahteraan warganya. Tidak mengherankan kalau perbaikan kualitas pelayanan publik menjadi salah satu alasan mengapa Pemerintah mendesentralisasikan kewenangan penyelenggaraan pelayanan publik kepada Daerah. Dengan menyerahkan kewenangan penyelenggaraan pelayanan kepada Daerah, Pemerintah berharap pelayanan publik akan menjadi lebih responsif atau tanggap terhadap dinamika masyarakat di Daerahnya. Ketika manajemen pelayanan diserahkan ke Daerah, kesempatan warga untuk ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan seharusnya menjadi semakin terbuka. Warga harus dapat dengan lebih mudah mengawasi jalannya penyelenggaraan pelayanan. Mereka harus dapat menyampaikan aspirasinya (local voice) kepada rezim pelayanan. Mekanisme penyampaian keluhan harus dikembangkan di setiap satuan birokrasi pelayanan dan birokrasi wajib menindaklanjuti keluhan yang disampaikan warga penggunanya. Untuk mengawasi praktik penyelenggaraan pelayanan di Daerah Kabupaten/Kota, Gubernur sebagai Wakil Pusat melakukan supervisi atas pelayanan publik di wilayahnya. Mengingat terbatasnya sumberdaya yang tersedia bagi Daerah untuk penyelenggaraan pelayanan publik maka Daerah perlu didorong untuk mengutamakan pelayanan dasar. Untuk itu, perlu ada definisi yang jelas tentang pelayanan dasar. Agar pemerataan akses terhadap pelayanan dasar dapat dijaga maka perlu ada pengaturan tentang standar pelayanan minimum untuk pelayanan yang termasuk dalam kategori pelayanan dasar. Penetapan standar pelayanan minimum tidak berarti membatasi ruang bagi Daerah untuk menyelenggarakan 6 pelayanan sesuai dengan aspirasi dan kapasitas Daerah. Daerah yang memiliki kapasitas lebih dapat menyelenggarakan pelayanan diatas standar pelayanan minimum. Penyelenggaraan pelayanan publik di Daerah menunjukan kinerja yang bervariasi. Beberapa Daerah berhasil mengembangkan inovasi dalam manajemen pelayanan publik dengan mengembangkan berbagai teladan (best practices). Misalnya, beberapa Kota/Kabupaten berhasil mengembangkan manajemen pelayanan yang partisipatif dengan mengadopsi kontrak pelayanan seperti yang dilakukan di Kota Yogyakarta (DIY) dan Blitar (Jawa Timur). Sementara Kabupaten Jembrana (Bali) berhasil memberikan pelayanan pendidikan dan kesehatan secara gratis dan beberapa Kabupaten seperti Sragen (Jawa Tengah), Sidoarjo (Jawa Timur), dan banyak Kabupaten/ Kota berhasil mengembangkan Pelayanan Satu Pintu. Namun, pada saat yang sama banyak Kabupaten/Kota yang gagal mewujudkan kinerja pelayanan yang lebih baik. Otonomi Daerah ternyata memiliki dampak yang berbeda dalam praktik penyelenggaraan pelayanan di Daerah. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, salah satu tugas Camat adalah melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan Desa atau Kelurahan. Berdasarkan Undang-Undang ini, secara filosofis otonomi daerah dan desentralisasi bertujuan untuk demokrasi dan kesejahteraan. Untuk demokrasi, pertanyaannya adalah bagaimana menjadikan Pemerintah Daerah sebagai instrumen pendidikan politik di tingkat lokal/daerah untuk mendukung proses demokratisasi menuju masyarakat madani (civil society). Sedangkan untuk kesejahteraan, pertanyaan bertumpu pada bagaimana menjadikan Pemerintah Daerah sebagai instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat atau penyediaan layanan publik secara efisien dan efektif. Sementara itu, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, pada Pasal 9 ayat (1) ditetapkan bahwa dalam rangka mempermudah penyelenggaraan berbagai bentuk pelayanan publik, dapat dilakukan penyelenggaraan sistem pelayanan terpadu. Sistem pelayanan terpadu sesungguhnya merupakan inovasi manajemen dalam rangka mendekatkan, mempermudah, dan mempercepat pelayanan terhadap publik/masyarakat. Terkait dengan pelayanan terhadap publik/masyarakat ini, di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemda Provinsi, Pemda Kab./Kota, pada Pasal 7 Ayat 1 ditetapkan, urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berkaitan dengan pelayanan dasar. Pada tataran di bawahnya, Kecamatan, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan,ditegaskan bahwa tugas Camat meliputi antara lain melakukan perencanaan kegiatan pelayanan kepada masyarakat di Kecamatan dan melakukan percepatan pencapaian standar pelayanan minimal di wilayahnya. Bagaimanapun juga, baik buruknya pelayanan oleh Pemerintahan Kecamatan mencerminkan kualitas kinerja Pemerintah Daerah. Kecamatan telah menjadi tumpuan pelayanan publik mengingat banyak tugas dari Dinas-Dinas Kabupaten/Kota yang secara riil justru bisa dioperasinalisasikan karena adanya fungsi kewilayahan yang dimiliki Kecamatan. Kedekatan perangkat Kecamatan tehadap permasalahan yang berkembang di wilayahnya membuat Kecamatan menjadi tempat pengaduan bagi masyarakat atau apa yang mereka hadapi. Kecamatan acapkali berhadapan langsung dengan permasalahan yang ada dalam masyarakat. Karena itu, Kecamatan sering juga dijadikan sebagai mediasi atas konflik yang muncul di antara kelompok masyarakat. Dalam realitas obyektif, wajah pemerintahan Kecamatan dewasa ini sesungguhnya ditandai dengan pelayanan masih banyak dikeluhkan, relatif belum optimal dan pengaturan kerja staf kurang efisien. Masih diperlukan, pembenahan untuk meningkatkan kualitas pelayanan Kecamatan.Pemerintah sesungguhnya sangat menyadari realitas obyektif Kecamatan dimaksud. Baik secara langsung atau tidak, Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan sebagai tindak lanjut upaya untuk melaksanakan kegiatan pelayanan publik, antara lain Permendagri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Permendagri ini mengatur penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas dan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat. Selanjutnya Pemerintah melalui Permendagri Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (PATEN). Ditetapkan bahwa seluruh Kecamatan telah menerapkan PATEN selambat-lambatnya pada tahun 2014. Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (PATEN) merupakan inovasi manajemen dalam rangka mendekatkan, mempermudah, dan mempercepat pelayanan administrasi perizinan/non perizinan di tingkat Kecamatan, utamanya bagi Kecamatan yang letaknya jauh dari Kantor Pemerintah Kabupaten/Kota dan sulit dijangkau karena faktor kondisi geografis dan infrastruktur jalan yang belum memadai. Untuk mensuksekan program PATEN ini, Pemerintah juga telah menerbitkan antara lain:Kepmendagri No.138-270 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Pedoman Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan PATEN; Surat Edaran Mendagri Nomor 100/121/PUM tanggal 3 Februari 2009 tetang Upaya Strategis Peningkatan Pelayanan Publik di Daerah; Surat Edaran Mendagri Nomor 318/312/PUM tangal 28 Februari 2011 tetang Penerapan Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (PATEN); dan Surat Edaran Mendagri Nomor 138/113/PUM tanggal 13 Januari 2012 tetang Percepatan Penerapan Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (PATEN) di Daerah. Mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan, Pemerintah dalam rangka merespon dinamika perkembangan penyelenggaraan pemerintahan daerah menuju tata kelola pemerintahan yang baik, perlu memperhatikan kebutuhan dan tuntutan masyarakat dalam pelayanan. Juga dalam rangka meningkatkan kualitas dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat serta memperhatikan kondisi geografis daerah, Pemerintah menganggap perlu mengoptimalkan peran Kecamatan sebagai perangkat daerah terdepan dalam memberikan pelayanan publik. Karena itu, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan. Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (PATEN) adalah penyelenggaraan pelayanan publik di Kecamatan dari tahap permohonan sampai ke tahap terbitnya dokumen dalam satu tempat. Ruang lingkup PATEN meliputi: a. pelayanan bidang perizinan; dan b. pelayanan bidang non perizinan. Maksud penyelenggaraan PATEN adalah mewujudkan Kecamatan sebagai pusat pelayanan masyarakat dan menjadi simpul pelayanan bagi kantor/badan pelayanan terpadu di Kabupaten/kota. PATEN mempunyai tujuan untuk meningkatkan kualitas dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Kecamatan sebagai penyelenggara PATEN harus memenuhi syarat: a. substantif; b. administratif; dan c. teknis. Syarat substantif adalah pendelegasian sebagian wewenang Bupati/Walikota kepada Camat. Pendelegasian sebagian wewenang meliputi: a. bidang perizinan; dan b. bidang non perizinan. Pendelegasian sebagian wewenang ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota. Pendelegasian dimaksud dilakukan dengan memperhatikan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pelayanan. Persyaratan administratif meliputi: a. standar pelayanan; dan b. uraian tugas personil Kecamatan. Standar pelayanan, meliputi: 1. Jenis pelayanan. 2. Persyaratan pelayanan. 3. Proses/prosedur pelayanan. 4. Pejabat yang bertanggungjawab terhadap pelayanan. 5. Waktu pelayanan. 6. Biaya pelayanan. Standar pelayanan ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota. Uraian tugas personil Kecamatan diatur dengan Peraturan Bupati/Walikota. Persyaratan teknis meliputi: a. Sarana prasarana; dan b. pelaksana teknis. Sarana prasarana meliputi: 1. Loket/meja pendaftaran. 2. Tempat pemrosesan berkas. 3. Tempat pembayaran. 4. Tempat penyerahan dokumen. 5. Tempat pengolahan data dan informasi. 6. Tempat penanganan pengaduan. 7. Tempat piket. 8. Ruang tunggu. 9. Perangkat pendukung lainnya. Pelaksana Teknis meliputi: 1. Petugas informasi. 2. Petugas loket/penerima berkas. 3. Petugas operator komputer. 4. Petugas pemegang kas. 5. Petugas lain sesuai kebutuhan. Pelaksana Teknis adalah Pegawai Negeri Sipil di Kecamatan. Untuk menunjang efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan PATEN, Kecamatan dapat menyediakan sistim informasi. Bupati/Walikota menetapkan Kecamatan yang telah memenuhi persyaratan sebagai penyelenggara PATEN. Penetapan Kecamatan sebagai penyelenggara PATEN dilakukan dengan Keputusan Bupati/Walikota. Bupati/Walikota membentuk Tim Teknis PATEN, ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota. Tim Teknis PATEN mempunyai tugas: 1. Mengidentifikasi kewenangan Bupati/Walikota berkaitan dengan pelayanan administrasi yang dilimpahkan kepada Camat. 2. Pejabat penyelenggara PATEN melakukan pengelolaan layanan secara transparan dan akuntabel. Biaya penyelenggaraan PATEN dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran Kecamatan. Dalam hal penyelenggaraan PATEN menghasilkan penerimaan, wajib melakukan penyetoran ke kas daerah. Bupati/Walikota melakukan pembinaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan PATEN, yakni: 1. Penyelenggaraan sebagian wewenang Bupati/Walikota yang dilimpahkan. 2. Penyelenggaraan pelayanan yang pasti, mudah, cepat, transparan dan akuntabel. 3. Penyelenggaraan tugas lainnya yang ditugaskan kepada Camat. Pembinaan dan pengawasan dapat didelegasikan kepada Tim Teknis PATEN. Pendelegasian dilakukan secara tertulis. Hasil Pembinaan dan pengawasan disampaikan oleh Bupati/Walikota kepada Gubernur dengan tembusan kepada Menteri cq Direktur Jenderal yang membidangi pemerintahan umum bahwa setiap penerima layanan diberikan kemudahan untuk mendapatkan informasi. Masyarakat berperan serta secara aktif dalam penyelenggaraan PATEN. Peran serta dapat berupa: 1. Ikut serta dalam penyusunan standar layanan. 2. Memberikan masukan dalam proses penyelenggaraan layanan. 3. Memenuhi semua persyaratan pada saat meminta layanan. Seluruh Kecamatan ditetapkan sebagai penyelenggara PATEN selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak ditetapkan Peraturan Menteri ini (Januari 2010). Sesungguhnya Permendagri ini merupakan spirit bagaimana melayani atau “how to serve”, mengandung banyak nilai-nilai/spirit menuju tata kelola pemerintahan yang baik. Secara kelembagaan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, Kecamatan menjadi simpul pelayanan. Kecamatan bekerja sistematis, merencanakan, melaksanakan dan melihat atau mengevaluasi. Kemendagri juga telah menerbitkan pedoman lebih terincil untuk pelaksanaan PATEN melalui Kepmendagri Nomor 138-270 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Pedoman Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (PATEN) Berbagai kebijakan telah diambil Pemerintah untuk meningkatkan penyelenggaraan pelayanan publik ini. Namun, dalam realitas obyektif masih menghadapi berbagai masalah dan tantangan, antara lain: 1. Tidak adanya insentif/disintensif bagi Daerah yang melaksanakan. 2. Tidak adanya semacam “sanksi” dalam peraturan yang mengaturnya. 3. Kebijakan PATEN belum menarik bagi promosi daerah maupun Kepala Daerah, belum terasa ada bukti “instant”. 4. Terjebak pada “business as usual” tanpa inovasi pelayanan masayarakat (masih banyak hal lain yang menyita perhatian). 5. Belum ada “guidance detil” hal apa saja yang bisa dilimpahkan. Pelimpahan kewenangan seyogyanya mempertimbangkan tipologi Kecamatan dan didasarkan atas skala, jenis, durasi, dampak, tingkatan tanggungjawab, besaran retribusi. Realitas obyektif menunjukan satu masalah, yakni semakin menguatnya unsur-unsur subyektivitas dalam penyelenggaraan pelayanan. Hal ini ditandai dengan semakin maraknya diskriminasi dalam pelayanan berbasis pada unsur-unsur subyektivitas seperti pertemanan, etnis, afiliasi politik, kesamaan profesi (sesama PNS), dan agama. Disamping diskriminasi pelayanan publik, masalah lain dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah rendahnya aksesibilitas pelayanan, yang ditandai dengan masih besarnya angka pengguna biro jasa (intermediaries) dalam penyelenggaraan pelayanan. Besarnya angka pengguna biro jasa dalam mengakses pelayanan publik sangat bervariasi, berkisar antara 50-80 persen tergantung pada jenis pelayanan. Besarnya angka pengguna jasa ini menunjukan ketidak sanggupan warga untuk berhubungan langsung dengan penyelenggara pelayanan. Hal ini menjelaskan besarnya opportunity cost yang dihadapi oleh masyarakat dalam mengakses pelayanan publik. Kecenderungan prosedur pelayanan hanya mengatur kewajiban dan mengabaikan hak-hak pengguna pelayanan publik menjadi salah satu sebab mengapa penyelenggaraan pelayanan publik sering menjadi sumber ketidakpuasan warga terhadap Pemerintah. Penyelenggara pelayanan cenderung menempatkan dirinya sebagai penguasa, yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada pengguna dan dapat berbuat seenaknya dalam mengelola pelayanan publik. Akibatnya, penyelenggara pelayanan publik sering menjadi arena konflik antara Pemerintah dengan warganya. Sebuah sumber menunjukkan beberapa sebab kinerja pelayanan publik di Daerah pada umumnya masih jauh dari yang diharapkan. Pertama, penyelenggaraan pelayanan selama ini cenderung dianggap sebagai domain rezim pelayanan. Jenis pelayanan, kualitas, dan cara pelayanan sepenuhnya ditentukan oleh rezim pelayanan. Warga tidak memiliki kesempatan untuk ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tentang berbagai hal terkait dengan pelayanan yang dibutuhkannya. Akibatnya, pelayanan yang diberikan oleh Daerah sering tidak sesuai dengan aspirasi dan kebutuhannya. Kedua, prosedur pelayanan cenderung hanya mengatur kewajiban dari warga pengguna, tetapi hak-haknya tidak pernah diatur dan dilindungi. Prosedur juga sering gagal mengatur mengenai kewajiban dari penyelenggara pelayanan. Akibatnya, rezim pelayanan dapat memperlakukan warga pengguna seenaknya. Tidak adanya pengaturan tentang hak-hak warga membuat proses pelayanan publik menjadi penuh dengan ketidakpastian. Survei kepuasan warga pengguna terhadap pelayanan perizinan di Kota Yogyakarta pada tahun 2005 yang dilakukan oleh PSKK UGM menunjukan bahwa angka pengguna yang menggunakan perantara atau calo pelayanan dalam pengurusan izin sangat besar dan bervariasi antar jenis perizinan. Ketiga, proses pelayanan seringkali dikaitkan dengan struktur hirark hibirokrasi di Daerah. Panjangnya jenjang hirarkhi birokrasi dengan sendirinya membuat proses pelayanan publik menjadi panjang dan menghabiskan banyak enerji dari warga dan penyelenggara pelayanan. Apalagi ketika prosedur pelayanan dibuat dengan semangat untuk mencegah terjadinya moral hazards proses pelayanan public menjadi sangat kompleks dan sulit diikuti secara wajaroleh warga pengguna. Akibatnya, banyak warga cenderung menggunakan biro jasa atau perantara. Besarnya angka pengguna biro jasa menunjukan bahwa masyarakat tidak lagi sanggup mengakses pelayanan secara wajar. Keempat, birokrasi pelayanan belum mampu mengembangkan budaya dan etika pelayanan yang menghargai posisi pengguna sebagai warga negara yang berdaulat. Birokrasi pelayanan masih menempatkan warga sebagai obyek pelayanan yang dapat diperlakukan seenaknya sesuai dengan kemauannya.Kepuasan warga belum menjadi kriteria utama bagi birokrasi pelayanan untuk menilai kinerjanya. Akibatnya, akuntabilitas birokrasi belum dilihat dari kepuasaan warga terhadap pelayanannya melainkan dari kepatuhan birokrasi terhadap peraturan dan prosedur pelayanan. Rakyat sebagai pengguna pelayanan publik harus mempunyai kepastian tentang jenis dan kualitas pelayanan publik yang disediakan Pemda. Untuk itu harus dibangun kontrak pelayanan publik antara Pemda dengan masyarakat. Kontrak tersebut akan menjelaskan jenis pelayanan, kualitas, biaya, prosedur dan waktu yang diperlukan untuk mengakses pelayanan publik tersebut. Kemudian kalau Pemda gagal memenuhi kontrak pelayanan publik tersebut, harus terdapat kejelasan kemana masyarakat harus menyampaikan keluhannya. Keberadaan Ombudsman Daerah dapat dijadikan saluran bagi masyarakat untuk menyampaikan keluhannya. Perlu pengaturan yang jelas tentang konsep pelayanan dasar yang wajib disediakan oleh Pemerintah. Selama ini pelayanan dasar belum didefinisikan dengan jelas dalam perundangan-undangan yang ada. Tidak adanya definisi yang jelas tentang pelayanan dasar yang wajib disediakan oleh Pemerintah dapat memiliki risiko tidak terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat. Apa saja yang termasuk dalam pelayanan dasar harus didefinisikan dengan jelas, sehingga perhatian Daerah terhadap penyelenggaraan pelayanan dasar dapat diamati oleh warga dan pemangku kepentingannya dengan mudah. Juga perlu ditegaskan tentang kewajiban Daerah untuk menyelenggarakan pelayanan dasar sesuai dengan standar pelayanan minimum (SPM) dan atau standar lainnya yang dibuat oleh Pemerintah. Daerah dapat menyelenggarakan pelayanan dasar diatas standar nasional,sesuai dengan kemampuan dan aspirasi masyarakatnya. Dalam penyelenggaraan pelayanan dasar, Daerah harus mengembangkan sistim pelayanan yang berkeadilan, efisien, responsif, akuntabel, dan partisipatif. Daerah harus dapat menyelenggarakan pelayanan yang mudah diakses oleh semua warganya terlepas dari ciri-ciri subyektifnya, mampu menjawab kebutuhan warga, dan yang diselenggarakan secara partisipatif dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Dalam mewujudkan sistim pelayanan publik, Daerah harus mengembangkan manajemen pelayanan publik yang memungkinkan terjadi perbaikan secara berkelanjutan. Karena itu manajemen pelayanan publik harus menjamin adanya hak warga untuk menyampaikan aspirasi, keluhan, dan usulan perbaikan (local voices) dan menjadikan hal itu sebagai bagian yang penting untuk perbaikan kinerja dan akuntabilitas publik. Untuk mendorong adanya perbaikan manajemen pelayanan yang berkelanjutan maka Daerah perlu didorong untuk secara periodik melakukan evaluasi kinerja pelayanan publik dengan melakukan, antara lain, pengembangan indeks kepuasan warga pengguna. Lembaga Ombudsman Daerah dapat dijadikan sebagai lembaga mediasi penyelesaian masalah dan konflik yang terjadi antara warga pengguna dengan manajemen pelayanan publik. Daerah perlu mendorong birokrasi pelayanannya untuk mengembangan maklumat atau kontrak pelayanan yang mengatur secara proporsional dan seimbang hak dan kewajiban dari penyelenggara dan pengguna pelayanan. Maklumat atau kontrak pelayanan dapat menjadi alat yang mudah dan sederhana bagi warga mengawasi praktik penyelenggaraan pelayanan. Bagi penyelenggara, keberadaan maklumat pelayanan penting karena dapat menjadi pedoman bagi mereka untuk mewujudkan pelayanan sesuai yang dijanjikannya.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda