Kamis, 27 Februari 2014

KONTRA KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI, PEMILU LEGISLATIF DAN PRESIDEN DIGELAR SERENTAK PADA 2019

Salah satu issue politik belakang ini adalah legalitas dan dasar konstitusional penyelenggaraan Pemilu legislatif dan Pilpres 2014. Issue politik ini bermula dari Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan Effendi Gazali, dkk. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa Pemilu legislatif dan Presiden harus digelar serentak sesuai UUD 45. Namun pemilu serentak tersebut, kata MK dalam putusannya, baru bisa dilaksanakan pada tahun 2019, tidak dilaksanakan pada tahun 2014 ini. Berbagai reaksi muncul atas keputusan MK ini baik kelompok pro mapun kontra. Kelompok pro pada umumnya dating dari elite politik Partai-Partai tergolong besar memiliki anggota DPR-RI seperti PDIP. Partai ini memberikan apresiasi ke MK terkait putusan penerapan pemilu serentak pada 2019. Sementara kelompok kontra kebanyakan dari pakar hukum dan pengamat politik di luar struktur kekuasaan. Ada juga beberapa elite Partai-Partai tergolong kecil sebagai bagian kelompok kontrak Keputuan MK tersebut. Salah seorang pakar hukum paling terkenal mengkritik Keputusan MK adalah Yusril. Menurutnya,dalam putusan tersebut MK telah melakukan blunder besar. Kalau Keputusan itu berlaku seketika, namun baru belaku di Pemilu 2019 dst, maka Pemilu 2014 dilaksanakan dengan pasal-pasal UU Pemilu yang inkonstitusional. Karena landasan untuk penyelenggaraan Pemilu 2014 inkonstusional, maka hasil dari Pemilu 2014 mendatang juga inskonstitusional. Konsekuensinya DPR, DPD, DPRD dan Presiden serta Wapres terpilih dalam Pilig dan Pilpres 2014 juga inkonstitusional. Yusril juga mempertanyakan mengapa putusan yang sudah diambil tahun lalu baru dibacakan sekarang. Putusan MK tersebut sangat aneh, terlebih 3 (tiga) hakim yang mengambil keputusan sudah berganti. "Bayangkan ada putusan yg telah diambil setahun lalu, baru dibacakan hari ini. Sementara 3 hakimnya sudah berganti," tegasnya sembarai menekan bahwa putusan MK hari ini diambil pada saat Mahfud MD, Akil Mochtar dan Ahmad Sodiki masih jadi Hakim Konstitusi. Namun saat putusan ini dibacakan, ketiganya sudah tidak jadi hakim konstitusi lagi. Bagi Yusril, pembacaan putusan seperti itu aneh bin ajaib. Harusnya MK sekarang musyawarah lagi, siapa tahu 3 (tiga) hakim baru pendapatnya berbeda. Mahfud, Akil dan Ahmad Sodiki yang mutus, sekarang sudah tidak jadi hakim MK lagi. “Sudah ada Hidayat dan Patrialis penggantinya”, lanjut Yusril.. Di lain fihak, Sarjana Hukum lain menyayangkan putusan MK ini karena jelas bertentangan dengan Pasal 45 A UU No 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi , yang menyebutkan bahwa putusan MK tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi permohonan. Di sisi lain, kewenangan MK dalam memberikan putusan terhadap judicial review seharusnya menguji konstitusionalitas dari sebuah UU bukan menciptakan norma baru seperti melahirkan putusan pemilihan serentak pada tahun 2019, yang justru tidak lagi memiliki dimensi kepastian dalam penyelenggaraan Pemilu 2014. Diktum ini juga berlaku terhadap pengujian konstitusionalitas Pasal 3 ayat (5) UU 42/ 2008 ini, ketika pemilu dan pilpres dilaksanakan pada tahun 2019 maka terjadi kekosongan hukum dalam pelaksanaan Pemilu 2014 mendatang. Dalam konteks seperti ini maka bisa dikatakan pilpres dan Pemilu 2014 inkonstitusional dan ilegal karena tidak memiliki dasar hukum untuk melaksanakannya. Frasa ini akan berimplikasi terhadap keabsahan presiden 2014 yang terpilih melalui pilpres nanti. Selanjutnya Ketua DPR, Marzuki Alie mempertanyakan keputusan MK ini. Menurut Marzuki, keputusan MK bisa ditafsirkan kalau pemilu 2014 yang tidak dilakukan serentak inkonstitusional. Kenapa Pemilu tidak serentak yang bertentangan dengan konstitusi tetap dilaksanakan pada 2014? Baginya, kewenangan menetapkan kapan pelaksaan Pemilu ada pada penyelenggara Pemilu. Persoalannya, penyelenggara pemilu harus tunduk dan wajib mematuhi semua keputusan MK. “Kalau MK ikut serta dalam penyelenggaraan Pemilu, untuk apa ada penyelenggara pemilu?" kilah Marzuki. Marzuki mengkritik putusan yang terkesan melampaui kewenangan MK sendiri. Menurut Marzuki MK mestinya hanya memutuskan untuk menerima atau menolak suatu uji materi undang-undang tanpa memberi keputusan tambahan seperti soal waktu penetapan pemilu serentak 2019. "MK hanya berhak menerima dan menolak. Kalau MK mengatakan pemilu serentak melanggar konstitusi maka itu urusan penyelenggara pemilu KPU, pemerintah dan semua yang terkait," katanya. Lebih jauh Marzuki menilai, dalih pemilu serentak pada 2014 akan menciptakan kegaduhan bukan wilayah tanggungjawab MK. Apalagi merupakan hal wajar jika dalam sebuah persiapan terjadi perubahan. "Penyelenggara pemilu bisa menetapkan untuk memundurkan penyelenggaran pemilu ke jadwal pilpres sehingga masih cukup waktu untuk melaksanakannya," ujarnya. Ia menjelaskan, pelaksanaan Pemilu legislatif dan Pilpres 2014 secara terpisah bukan tidak mungkin bakal menimbulkan gugatan atas hasil Pemilu. Sebab mereka yang tidak puas bisa saja menganggap pemilu yang berlangsung bersifat inkonstitusional. Suara kontra terhadap putusan MK ini juga datang dari Syarifuddin Suding, politisi dan anggota DPR-RI dari Partai Hanura. Ia menyesalkan putusan MK sebab melanggar UUD 1945. Baginya, ada banyak pertanyaan besar dan keputusan MK ini akan menimbulkan konsekuensi di kemudian hari. Putusan kontroversial ini bakal dicatat sebagai pertama kali dalam sejarah, keputusan MK memiliki jeda panjang hingga lima tahun sebelum diterapkan. Alasan lainnya, legitimasi pemilu 2014 dipertaruhkan karena MK telah membatalkan dan menyatakan ketentuan yang terkait dengan pelaksanaan pemilu 2014 bertentangan dengan UUD 1945. Konsekuensinya, banyak pihak akan mempertanyakan keabsahan hasil pemilu mendatang. Syarifuddin Suding juga menolak pernyataan keputusan MK yang mengatakan jika uji materi tersebut diberlakukan tahun ini maka akan mengganggu tahapan Pemilu sudah mendekati tahap akhir. "Berarti MK tidak menempatkan konstitusi sebagai landasan tertinggi dan malah berkompromi dengan hal-hal teknis," tandasnya. Berdasarkan sejarah politik pemilihan di Indonesia,kita acapkali menemukan realitas obyektif bahwa fihak yang kalah tidak mau menerima kekalahan. Hal ini bisa jadi memang telah terjadi ketidakjujuran atau kecurangan dalam proses pemilihan. Amat sangat jarang, kalau tidak boleh dikatakan sama sekali tidak ada, fihak pemenang menolak hasil pemilihan. Karena itu, kemungkinan sangat besar pada pelaksanaan Pemilu Presiden mendatang, fihak yang kalah menolak hasilpemilihan dengan mengaitkan padadasar legalitas dan konstitusional pelaksanaan Pemilu Presiden tersebut. Jika, hal ini terjadi,maka sumber permasalahan bukan lagi pada mentalitas dan perilaku politik elite politik Indoneia yang selama ini cenderung tidak bisa mau menerima kekalahan, melainkan dari putusan MK ini. Bisa jadi,Putusan MK dimaksud telah menjadi sumber inspirasi bagi pihak-pihakkalah dalam Pemilu Presiden untuk menolak kemenangan pihak lain.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda