Selasa, 04 Februari 2014

PERUBAHAN FUNGSI DAN KEDUDUKAN KECAMATAN DALAM ERA REFORMASI

Fungsi dan kedudukan Kecamatan telah mengalami perubahan-perubahan dari masa ke masa. Fungsi dan kedudukan Kecamatan mengalami pergeseran yang sangat berarti sesuai dengan konteks politik dan legal, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Kecamatan memiliki fungsi dan kedudukan yang sangat kuat, karena Kecamatan diakui sebagai wilayah administratif dan sebagai kepala wilayah Camat juga menjalankan tugas dekonsentrasi. Dalam kedudukan yang seperti ini, Kecamatan memiliki peran yang strategis karena menjadi ujung tombak dari banyak kegiatan pemerintahan. Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 ini memberi makna bahwa “wilayah administrasi” adalah lingkungan kerja perangkat Pemerintah yang menyelenggarakan pelaksanaan tugas pemerintah umum di daerah. Urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang meliputi bidang-bidang ketentraman dan ketertiban, politik, koordinasi, pengawasan, dan urusan pemerintahan lainnya yang tidak termasuk dalam tugas sesuatu instansi dan tidak termasuk urusan rumah tangga Daerah. Di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1979 peran dan fungsi Kecamatan mengalami perubahan yang sangat mendasar. Kecamatan bukan lagi perangkat dekonsentrasi tetapi berubah menjadi perangkat daerah. Camat sebagai perangkat daerah berperan membantu Bupati/Walikota menjalankan tugas desentralisasi dan tugas dekonsentrasi kemudian dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Camat tidak lagi memiliki kewenangan hirarkis terhadap Kepala Desa, karena Desa diperlakukan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang otonom berbasis adat dan tradisi. Sekitar 5 tahun kemudian Pemerintah dan DPR-RI melakukan revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kecamatan tidak lagi merupakan suatu wilayah kekuasaan pemerintahan, melainkan sebagai satuan wilayah kerja atau pelayanan. Dalam konteks ini Kecamatan kini merupakan perangkat daerah Kabupaten/Kota yang setara dengan Dinas dan Lembaga Teknis Daerah, bahkan setara dengan Kelurahan. Camat semakin menjadi “perpanjangan tangan” Bupati/Walikota. Pergeseran ini membawa dampak cukup serius mengingat fungsi dan kedudukan dewasa ini menjadikan kewenangan-kewenangan yang dimilikinya menjadi terbatas. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintahan Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan. Peran dan fungsi Kecamatan mengalami pergeseran yang sangat berarti sesuai dengan konteks politik dan legal, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Kecamatan memiliki kedudukan yang sangat kuat, karena Kecamatan diakui sebagai wilayah administratif dan sebagai kepala wilayah Camat juga menjalankan tugas dekonsentrasi. Dalam kedudukan yang seperti ini, Kecamatan memiliki peran yang strategis karena menjadi ujung tombak dari banyak kegiatan pemerintahan. Dalam perjalanan sejarah pemerintahan di Indonesia, kedudukan Kecamatan telah mengalami perubahan-perubahan dari masa ke masa. Pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong oleh MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) telah ditugaskan untuk meninjau kembali Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Penugasan tercantum di dalam Ketetapan MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian Otonomi Seluas-luasnya kepada Daerah. Sebagai pelaksanaan dari penugasan MPRS tersebut, Pemerintah bersama-sama DPR Gotong Royong mengeluarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan tidak berlakunya berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), antara lain Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Kemudian pada Tahun 1974, Pemerintah dan DPR baru berhasil menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 ini memberi makna bahwa “wilayah administrasi” adalah lingkungan kerja perangkat Pemerintah yang menyelenggarakan pelaksanaan tugas pemerintah umum di daerah. Urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang meliputi bidang-bidang ketentraman dan ketertiban, politik, koordiansi, pengawasan dan urusan pemerintahan lainnya yang tidak termasuk dalam tugas sesuatu instansi dan tidak termasuk urusan rumah tangga Daerah. Setiap Wilayah dipimpin oleh seorang Kepala Wilayah (Pasal 76). Berdasarkan Pasal-pasal di atas, dan mengacu pada Pasal 80, dapat disimpulkan bahwa kedudukan Camat dalam pemerintahan ditempatkan sebagai Kepala Wilayah dan Wakil Pemerintah Pusat. Sebagai Kepala Wilayah, Camat merupakan Penguasa Tunggal di bidang pemerintahan dalam wilayahnya dalam arti memimpin pemerintahan mengkoordinasikan pembangunan dan membina kehidupan masyarakat di segala bidang. Adapaun wewenang, tugas dan kewajiban Camat sebagai Kepala Daerah sesuai dengan ketentuan Pasal 81, yakni: a.Membina ketenteraman dan ketertiban di wilayahnya sesuai dengan kebijaksanaan ketenteraman dan ketertiban yang ditetapkan oleh Pemerintah. b.Melaksanakan segala usaha dan kegiatan di bidang pembinaan ideologi, Negara danpolitik dalam negeri serta pembinaan kesatuan Bangsa sesuai dengan kebijaksanaanyang ditetapkan oleh Pemerintah. c.Menyelenggarakan koordinasi atas kegiatan-kegiatan Instansi-instansi Vertikal dan antara Instansi-instansi Vertikal dengan Dinas-Dinas Daerah, baik dalam perencanaanmaupun dalam pelaksanaan untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesarbesarnya. d.Membimbing dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan Daerah. e.Mengusahakan secara terus menerus agar segala peraturan perundang-undangan danPeraturan Daerah dijalankan oleh Instansi-instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerahserta pejabat-pejabat yang ditugaskan untuk itu serta mengambil segala tindakan yangdianggap perlu untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintah. f.Melaksanakan segala tugas pemerintahan yang dengan atau berdasarkan peraturanperundang-undangan diberikan kepadanya. g.Melaksanakan segala tugas pemerintah yang tidak termasuk dalam tugas sesuatuInstansi lainnya. Di dalam Penjelasan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, lebih terinci diuraikan hal ikhwal Kepala Wilayah, termasuk Camat. Diuraikan bahwa Kepala Wilayah dalam semua tingkat sebagai wakil Pemerintah Pusatadalah Penguasa Tunggal di bidang pemerintahan di daerah, kecuali bidang pertahanan dan keamanan, bidang peradilan, bidang luar negeri dan bidang moneter dalam arti mencetak uang, menentukan nilai mata uang dan sebagainya. Ia berkewajiban untuk memimpin penyelenggaraan pemerintahan, mengkoordinasikan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta membina kehidupan masyarakat dalam segala bidang. Dengan perkataan lain, Penguasa Tunggal adalah Administrator Kemasyarakatan. Di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1979 peran dan fungsi Kecamatan mengalami perubahan yang sangat mendasar. Kecamatan bukan lagi perangkat dekonsentrasi tetapi berubah menjadi perangkat daerah. Camat sebagai perangkat daerah berperan membantu Bupati/Walikota menjalankan tugas desentralisasi dan tugas dekonsentrasi kemudian dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Camat tidak lagi memiliki kewenangan hirarkhis terhadap Kepala Desa, karena Desa diperlakukan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang otonom berbasis adat dan tradisi. Perubahan politik kekuasaan dan pemerintahan mengambil tempat sejak Indonesia memasuki masa/era reformasi pada tahun 1997/98. Gelombang reformasi dan demokratisasi di Indonesia telah menjadikan aspek pemerintahan, dunia usaha dan masyarakat madani sebagai sasaran reformasi dan demokratisasi. Khusus pemerintahan sebagai sasaran reformasi dan demokratisasi, kita mengenal konsep reformasi birokrasi (RB). Kecamatan diharapkan dapat memiliki peran dalam reformasi birokrasi (RB) dan pelayanan publik sebagai antara lain: 1.Mesin perubahan, pengerak dan menggerakkan perubahan. 2.Quick Wins Pemerintah Kabupaten/Kota atau pelaku langkah inisiatif yang mudah dan cepat dicapai yang mengawali pelaksanaan suatu program dalam reformasi birokrasi. 3.Pengendali dan Pusat Pelayanan Wilayah Kecamatan. 4.Pengendali berbagai unit pelayanan di Kecamatan dan melaksanakan pelayanan berdasarkan pelimpahan kewenangan dari Bupati/Walikota. Pada awal gelombang reformasi dan demokratisasi di Indonesia (akhir 1990an), salah satu keputusan politik sangat strategis untuk pelaksanaan otonomi daerah dan berdampak terhadap kedudukan Kecamatan adalah Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Ketetapan MPR-RI di atas, penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada Daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Di samping itu, penyelenggaraan Otonomi Daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran-serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah. Sebagai tindak lanjut Ketetapan MPR-RI dimaksud, Pemerintah bersama DPR-RI menerbitkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah yang dijadikan pedoman dalam Undang-undang ini sebagai berikut : 1.Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah. 2.Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab. 3.Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, sedang Otonomi Daerah Propinsi merupakan otonomi yang terbatas. 4.Pelaksanaan otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar-Daerah. 5.Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan karenanya dalam Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi Wilayah Administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan Daerah Otonom. 6.Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. 7.Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah. 8.Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ini memaknakan Kecamatan adalah wilayah kerja Camat sebagai perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Menurut Pasal 66, Kecamatan merupakan perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang dipimpin oleh Kepala Kecamatan, disebut Camat. Camat diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat. Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota. Camat bertanggungjawab kepada Bupati dan Walikota. Pembentukan Kecamatan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Di dalam Undang-undang ini juga ditetapkan bahwa Kelurahan merupakan perangkat Kecamatan yang dipimpin oleh Kepala Kelurahan, disebut Lurah. Lurah diangkat dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat oleh Walikota/Bupati atas usul Camat. Lurah menerima pelimpahan kewenangan pemerintahan dari Camat, dan bertanggungjawab terhadap Camat. Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 ini, kedudukan Kecamatan tidak lagi sebagai Kepala Wilayah sebagaimana ditetapkan di dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1974. Kedudukan Kecamatan menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 sebagai Wilayah Administrasi dalam rangka dekonsentrasi, menurut undang-undang ini kedudukannya diubah menjadi perangkat Daerah Kabupaten atau Daerah Kota. Paradigma baru penyelenggaraan pemerintahan telah membawa konsekuensi bagi lembaga pemerintah di tingkat Pusat dan Daerah, termasuk keberadaan lembaga Kecamatan. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini mengamanatkan untuk memberikan otonomi yang luas, nyata, bertanggungjawab dan dinamis. Dalam hal ini daerah diberikan kemandirian untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan. Untuk meningkatkan pelayanan lebih dekat dengan masyarakat, maka ditempuh pelimpahan kewenangan oleh Bupati/Walikota kepada Camat. Namun, dalam kenyataannya, pelimpahan kewenangan itu tidak otomatis dapat meningkatkan pelayanan prima di Kecamatan. Yang terjadi justru menimbulkan kesenjangan operasional dikarenakan kapasitas dan kompetesni inti Camat tidak sepadan dengan kewenangan yang diterima. Sebuah Studi Pelayanan Prima di Kecamatan dan Kelurahan di Kota Bandung oleh Kantor Litbang dan Pusat Kajian dan Diklat Peratur I LAN-RI, tahun 2002, telah menunjukkan realitas obyektif semecam itu. Studi ini kemudian menyarankan untuk meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat, agar ditempuh, antara lain penataan kelembagaan Kecamatan sesuai dengan kompetensi yang baru, dan meningkatkan SDM di Kecamatan. Masih dalam era reformasi, sekitar 5 tahun kemudian Pemerintah dan DPR-RI melakukan revisi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kebijakan otonomi daerah yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dalam perspektif pembangunan negara pada hakikatnya adalah memberikan kesempatan yang luas bagi para pemimpin daerah untuk membangun wilayahnya sesuai dengan kebutuhan daerah yang responsif terhadap kepentingan masyarakat. Dalam artian ini, birokrasi pemerintahan di daerah dituntut untuk meningkatkan kualitas layanannya terhadap publik melalui pengembangan sistem manajemen pemerintahan yang efektif dan transparan. Implikasinya adalah bahwa pengorganisasian atau penyelenggaraan pemerintahan di daerah sebagai ujung tombak pembangunan harus sejalan dengan tuntutan perubahan. Salah satu institusi yang mengalami dampak mendasar akibat pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah lembaga Kecamatan. Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, Kecamatan tidak lagi merupakan suatu wilayah kekuasaan pemerintahan, melainkan sebagai satuan wilayah kerja atau pelayanan. Dalam konteks ini Kecamatan kini merupakan perangkat daerah Kabupaten/Kota yang setara dengan Dinas dan Lembaga Teknis Daerah, bahkan setara dengan Kelurahan. Hal ini dinyatakan secara jelas dalam Pasal 120 ayat (2) dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut, yakni: Perangkat daerah Kabupaten/Kota terdiri atas Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan dan Kelurahan. Kedudukan Kecamatan, dipimpin oleh Camat, semakin dipertegas sebagai perangkat daerah Kabupaten/Kota. Camat semakin menjadi “perpanjangan tangan” Bupati/Walikota. Pergeseran ini membawa dampak cukup serius mengingat kedudukannya dewasa ini menjadikan kewenangan-kewenangan yang dimilikinya menjadi terbatas. Padahal dalam posisinya sebagai garda depan dan simpul pelayanan masyarakat, seharusnya Camat memiliki kewenangan-kewenangan yang cukup sehingga memungkinkan bertindak cepat dan tepat. Karena dialah yang lebih mengetahui persoalan-persoalan masyarakat setempat. \ Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ini, kewenangan Atributif Camat (Pasal 126 Ayat 3), menyelenggarakan tugas umum pemerintahan: 1.Mengkoordinir kegiatan pemberdayaan masyarakat. 2.Mengkoordinir Tramtib. 3.Mengkoordinir penerapan peraturan perundang-undangan. 4.Mengkoordinir pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum. 5.Mengkoordinir kegiatan pemerintahan di tingkat Kecamatan. 6.Membina pemerintahan Desa/Kelurahan. 7.Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi tugasnya atau yang belum mampu dilaksanakan Desa/Kelurahan. Di luar kewenangan atributif Camat juga memproleh pelimpahan sebagian kewenangan Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah.Kecamatan tetap diperlakukan sebagai perangkat daerah dan karena itu, keberadaan dan fungsinya sangat tergantung pada daerah, sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Sebagai perangkat daerah, Kecamatan semestinya dapat difungsikan sebagai salahsatu agen pelayanan atau menjadi intermediasi yang penting dalam hubungan antara warga dengan Kabupaten/Kota. Di daerah tertentu yang memiliki lingkungan geografis yang luas dan akses terhadap pusat pemerintahan di Kabupaten sangat sulit Kecamatan dapat menjadi salah satu agen pelayanan publik dan menjadi intermediaries dalam hubungan antara pemerintah dengan warganya. Namun, sayang keberadaan Kecamatan selama ini belum memperoleh apresiasi yang wajar dan dimanfaatkan oleh Kabupaten/ Kota memfasilitasi pelayanan kepada warganya. Sedangkan, potensi yang tersedia di Kecamatan sebenarnya dapat diberdayakan untuk menjadi salah satu pilihan bagi Kabupaten/Kota untuk memperbaiki kinerja pelayanan dan pemerintahannya. Bupati/Walikota dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada Camat untuk memberi pelayanan kepada warganya. Jika didasarkan pada Pasal 126 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, maka tugas utama Camat adalah menyelenggarakan pemerintahan umum berdasarkan kewenangan menangani sebagian urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepadanya oleh Bupati/Walikota dan ditambah dengan tugas umum pemerintahan yang telah diuraikan dalam Pasal 126 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Artinya, tugas pokok Camat tetap melaksanakan kewenangan yang dilimpahkan oleh Bupati/Walikota dan disertai dengan tugas umum pemerintahan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ini, fungsi pokok yang diemban Kecamatan sebagai unit administrasi, diarahkan untuk melaksanakan pelimpahan tugas dan wewenang dari Pemerintah Kabupaten/Kota yang terkait dengan otonomi daerah. Selain itu, melalui Camat, Kecamatan juga dilekati dengan sejumlah fungsi umum penyelenggaraan pemerintahan seperti koordinasi, pembinaan dan pelaksanaan pelayanan masyarakat. Secara yuridis formal, fungsi ini tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pasal 126, ayat (2) dan ayat (3). Mengenai penugasan yang terkait dengan otonomi daerah, ayat (2) dari regulasi ini menyebutkan bahwa “Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang Bupati atau Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah”. Dari klausul ini sangat jelas bahwa secara yuridis memang ada fungsi Kecamatan yang digunakan untuk mengemban pelimpahan kewenangan terkait dengan urusan otonomi daerah. Pada level operasional, penerjemahan pelimpahan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah haruslah dilakukan secara detail. Dengan demikian, karakter wewenang dilimpahkan idealnya telah didefinisikan dari segi fungsi kewenangan, pembiayaan kewenangan dan mekanisme akuntabilitas kewenangan. Hal ini untuk menghindari pelimpahan tugas yang berlebihan dari instansi di level Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Kecamatan serta untuk menciptakan kinerja Kecamatan yang efektif dan efisien sesuai dengan fokus dari penugasannya. Mengacu pada Pasal 126, Ayat (2) diatas, pelimpahan kewenangan tersebut selanjutnya akan memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi Camat dan Kecamatan untuk mengoperasionalisasikan fungsi-fungsi yang harus diperankannya. Namun dalam kenyataannya, operasionalisasi fungsi-fungsi dimaksud belumlah dijalankan sebagaimana mestinya. Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, IPB, dengan dukungan dana dari DRSP-USAID pada 2008 mengadakan studi “Institution and Kecamatan Governance: Review on Implementation and Recommendation”. Studi ini mengambil kasus-kasus pemerintahan daerah di enam Kabupaten di lima Provinsi dengan unit analisis Kecamatan. Studi memfokuskan pada Kecamatan di wilayah Kabupaten (rural-rural) dengan pertimbangan bahwa di kawasan inilah institusi Kecamatan menghadapi dilema dan dinamika ketata-pemerintahan yang jauh lebih kompleks bila dibandingkan dengan daerah kota (urban-urban). Studi di lima Kabupaten ini menemukan bahwa jikalaupun ada pelimpahan kewenangan, maka pendelegasian kewenangan itu tidak disertai dukungan anggaran, SDM dan prasarana yang mencukupi, sehingga kelembagaan inipun akhirnya tidak berfungsi sesuai harapan. Secara ringkas beberapa situasi dihadapi Camat dapat dideskripsikan sebagai berikut: 1.Kewenangan tetap berada di tangan Bupati dan didistribusikan secara proporsional kepada Dinas-Dinas Teknis sebagai SKPD pendukung/kelengkapan organisasi pemerintahan Bupati. Camat dan Kecamatan tidak dapat berbuat banyak untuk melakukan fungsinya, sekalipun di wilayahnya ditemukan kekosongan intervensi dari Dinas Teknis, karena kewenangan tersebut tidak melimpah kepadanya. 2.Tidak ada political will ataupun sekedar goodwill dari Bupati untuk mengalihkan sebagian kewenangan dinas yang tidak efektif kepada Camat/Kecamatan. Terdapat beragam alasan mengapa delegated authority ini melimpah kepada Camat. Alasan-alasan tersebut merentang dari alasan politis-praktis hingga alasan teknis seperti kelegawaan Dinas dalam membagi tugasnya kepada Kecamatan. 3.Kalaupun ada kewenangan yang dilimpahkan ke Kecamatan sebagaimana dijumpai pada studi kasus di Kabupaten Sambas di mana seratusan kewenangan telah dilimpahkan ke Camat, namun manakala pendanaan tidak menyertainya maka ruang keberfungsian Kecamatan pun tidak dapat ditingkatkan. Lebih jauh diuraikan oleh Studi ini, secara faktual kewenangan yang dimiliki oleh Camat dan Kecamatan pada saat ini (masa diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 Taunh 2004) hanya memberikan “ruang bermain” sangat sempit dan terbatas kepada Camat untuk berperan maksimal bagi publiknya. Kewenangan-kewenangan itu, meskipun ditemukan beragam di enam Kabupaten studi, tetapi sangat jelas mengindikasikan bahwa otoritas Camat hanya berkisar pada fungsi-fungsi pelayanan yang sangat marjinal dan secara politis lokal amat sangat tidak prestisius. Kewibawaan Camat pada masa diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 saat ini, hanyalah ditopang oleh kewenangan untuk membuat rekomendasi kependudukan (misal: surat miskin, surat keterangan untuk memperoleh izin gangguan, izin mendirikan bangunan, dan sejenisnya) ke Kabupaten, untuk pembuatan KTP, surat cuti dan distribusi gaji bagi pegawai Kecamatan. Semua Kecamatan dalam studi tetaplah berada pada gambaran memperihatinkan. Salah satu kendala yang dihadapi Camat dan Kecamatan untuk bisa berperan lebih luas melalui penggunaan Pasal 126 ayat 2 Undang_undang Nomor 32 TAhun 2004 adalah ketidakadaan goodwill secara politis dari Bupati, sebagai akibat adanya “kekhawatiran politis” akan hilangnya sebagian kekuasaan Bupati (di mata publik) bila kewenangannya melimpah kepada Camat. Secara politis kehilangan kekuasaan ini berpotensi mengancam posisi politis Bupati manakala kewibawaan dan kharisma politis telah bergeser ke Kecamatan sebagai akibat pelimpahan kewenangan yang berlebihan. Oleh karena itu, political will untuk merealisasikan pasal 126 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 di manapun studi ini dilakukan hampir pasti tidak akan pernah dijumpai. Secara sosiologis penguatan kewenangan akan selalu berdampak pada penguatan insentif politik yang besar bagi Camat dan sebaliknya, tindakan tersebut jelas disinsentif secara politis bagi Bupati yang masih menjalankan pemerintahan di daerahnya. Perlu dicatat disini baik Bupati maupun Camat sekalipun berbeda fungsi dan peran secara peraturan perundang-undangan yang berlaku, namun dalam pandangan publik mereka adalah figur-figur publik yang memiliki kharisma politik yang boleh setera. Sekali saja Camat memperoleh kesempatan untuk memperkuat posisinya via pelimpahan kewenangan, maka Bupati/Walikota akan segera kehilangan kekuasaan politisnya di mata publik. Dengan batasan-batasan struktural dan psikologis sangat ketat seperti itu, maka segala macam bentuk inovasi Kecamatan yang diharapkan muncul di permukaan sama sekali tidak akan pernah muncul apalagi berkembang. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terutama ketentuan Pasal 126 ayat (1) dan ayat (7), Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2008 tentang Kecamatan. Peraturan Pemerintah ini merupakan pedoman dalam pembentukan dan penyelenggaraan urusan pemerintahan di Kecamatan. Peraturan Pemerintah ini juga memaknakan Kecamatan atau sebutan lain adalah wilayah kerja Camat sebagai Perangkat Daerah Kabupaten/Kota. Pembentukan Kecamatan adalah pemberian status pada wilayah tertentu sebagai Kecamatan di Kabupaten/Kota. Penghapusan Kecamatan adalah pencabutan status sebagai Kecamatan di wilayah Kabupaten/Kota. Penggabungan Kecamatan adalah penyatuan Kecamatan yang dihapus kepada Kecamatan lain. Camat atau sebutan lain adalah pemimpin dan koordinator penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kerja Kecamatan yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah, dan menyelenggarakan tugas umum pemerintahan. Kecamatan dibentuk di wilayah Kabupaten/Kota dengan Peraturan Daerah. Pembentukan Kecamatan dapat berupa pemekaran 1 (satu) Kecamatan menjadi 2 (dua) Kecamatan atau lebih, dan/atau penyatuan wilayah Desa dan/atau Kelurahan dari beberapa Kecamatan. Pembentukan Kecamatan 2 harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Kedudukan Kecamatan merupakan perangkat daerah Kabupaten/Kota sebagai pelaksana teknis kewilayahan yang mempunyai wilayah kerja tertentu dan dipimpin oleh Camat. Camat berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui sekretaris daerah. Camat menyelenggarakan tugas umum pemerintahan yang meliputi: 1.Mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat. 2.Mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum. 3.Mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan. 4.Mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum. 5.Mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat Kecamatan. 6.Membina penyelenggaraan pemerintahan Desa dan/atau Kelurahan. 7.Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan Desa atau Kelurahan. Pelaksanaan kewenangan Camat dimaksud mencakup penyelenggaraan urusan pemerintahan pada lingkup Kecamatan sesuai peraturan perundang-undangan. Pelimpahan sebagian wewenang Bupati/Walikota kepada Camat dilakukanberdasarkan kriteria eksternalitas dan efisiensi.Tugas Camat dalam mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat meliputi: 1.Mendorong partisipasi masyarakat untuk ikut serta dalam perencanaan pembangunan lingkup Kecamatan dalamforum musyawarah perencanaan pembangunan di Desa/Kelurahan dan Kecamatan; 2.Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap keseluruhan unit kerja baik pemerintah maupun swasta yang mempunyai program kerja dan kegiatan pemberdayaan masyarakat di wilayah kerja Kecamatan; 3.Melakukan evaluasi terhadap berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat di wilayah Kecamatan baik yang dilakukan oleh unit kerja pemerintah maupun swasta. 4.Melakukan tugas-tugas lain di bidang pemberdayaan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 5.Melaporkan pelaksanaan tugas pemberdayaan masyarakat di wilayah kerja Kecamatan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada satuan kerja perangkat daerah yang membidangi urusan pemberdayaan masyarakat. Tugas Camat dalam mengoordinasikan upaya peyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum dimaksud meliputi: 1.Melakukan koordinasi dengan kepolisian RI dan/atau TNI mengenai program dan kegiatan penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum di wilayah Kecamatan. 2.Melakukan koordinasi dengan pemuka agama yang berada di wilayah kerja Kecamatan untuk mewujudkan ketenteraman dan ketertiban umum masyarakat di wilayah Kecamatan. 3.Melaporkan pelaksanaan pembinaan ketenteraman dan ketertiban kepada Bupati/Walikota. Tugas Camat dalam mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan dimaksud meliputi: 1.Melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah yang tugas dan fungsinya di bidang penerapan peraturan perundang-undangan. 2.Melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah yang tugas dan fungsinya di bidang penegakan peraturan perundang-undangan dan/atau Kepolisian RI. 3.Melaporkan pelaksanaan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan di wilayah Kecamatan kepada Bupati/Walikota. Tugas Camat dalam mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan dimaksud meliputi: 1.Melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah dan/atau instansi vertikal yang tugas dan fungsinya di bidang pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum. 2.Melakukan koordinasi dengan pihak swasta dalam pelaksanaan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum. 3.Melaporkan pelaksanaan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum di wilayah Kecamatan kepada Bupati/Walikota. Tugas Camat dalam mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat Kecamatan dimaksud meliputi: 1.Melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah dan instansi vertikal di bidang penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. 2.Melakukan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan dengan satuan kerja perangkat daerah dan instansi vertikal di bidang penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. 3.Melakukan evaluasi penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat Kecamatan. 4.Melaporkan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat Kecamatan kepada Bupati/Walikota. Tugas Camat dalam membina penyelenggaraan pemerintahan Desa dan/atau Kelurahan dimaksud meliputi: 1.Melakukan pembinaan dan pengawasan tertib administrasi pemerintahan Desa dan/atau Kelurahan. 2.Memberikan bimbingan, supervisi, fasilitasi, dan konsultasi pelaksanaan administrasi Desa dan/atau Kelurahan. 3.Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kepala Desa dan/atau lurah. 4.Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perangkat Desa dan/atau Kelurahan. 5.Melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan Desa dan/atau Kelurahan di tingkat Kecamatan. 6.Melaporkan pelaksanaan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan Desa dan/atau Kelurahan di tingkat Kecamatan kepada Bupati/Walikota. Tugas Camat dalam melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan Desa atau Kelurahan dimaksud meliputi: 1.Melakukan perencanaan kegiatan pelayanan kepada masyarakat di Kecamatan. 2.Melakukan percepatan pencapaian standar pelayanan minimal di wilayahnya. 3.Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat di Kecamatan. 4.Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat di wilayah Kecamatan. 5.Melaporkan pelaksanaan kegiatan pelayanan kepada masyarakat di wilayah Kecamatan kepada Bupati/Walikota. Organisasi Kecamatan terdiri dari 1 (satu) Sekretaris, paling banyak 5 (lima) Seksi, dan Sekretariat membawahkan paling banyak 3 (tiga) subbagian. Seksi dimaksud paling sedikit meliputi: a.Seksi Tata Pemerintahan. b.Seksi Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. c.Seksi Ketenteraman dan Ketertiban Umum. Posisi Camat dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 dapat diringkas sebagai berikut: 1.Camat bukan lagi berperan sebagai Kepala Wilayah (aparat dekonsentrasi). 2.Camat berperan sebagai perangkat daerah dibantu perangkat Kecamatan. 3.Camat memimpin Kecamatan: Wilayah kerja yang membawahi Desa dan atau Kelurahan. 4.Sumber penerimaan Kecamatan berasal dari Pemerintah Daerah. 5.Camat bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris Daerah. 6.Camat dibentuk dengan Peraturan Daerah (Perda) berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008. Selain tugas-tugas di atas, Camat juga melaksanakan kewenangan pemerintahan dilimpahkan oleh Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008, di luar kewenangan atributif, Camat juga memperoleh pelimpahan sebagian kewenangan Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. Kewenangan urusan otonomi daerah dimaksud meliputi aspek: (1) Perizinan; (2) Rekomendasi; (3) Koordinasi; (4) Pembinaan; (5) Pengawasan; (6) Fasilitasi; (7) Penetapan; (8) Penyelenggaraan; dan, (9) Kewenangan lain yang dilimpahkan. Pelaksanaan kewenangan Camat mencakup penyelenggaraan urusan pemerintahan pada lingkup Kecamatan sesuai peraturan perundang-undangan. Pelimpahan sebagian kewenangan Bupati/Walikota kepada Camat dilakukan berdasarkan kriteria externalitas dan efisiensi. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang Camat diatur dengan peraturan Bupati/Walikota.Tata kerja dan hubungan kerja Camat sesuai Pasal 27 dan 28 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008, ditetapkan sebagai berikut: 1.Camat melakukan koordinasi dengan Kecamatan sekitarnya. 2.Camat mengkordinasikan unit kerja di wilayah kerja Kecamatan dalam rangka penyelenggaraan kegiatan pemerintahan untuk meningkatkan kinerja Kecamatan. 3.Camat melakukan kordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah di lingkungan wilayah kerja Kecamatan. 4.Hubungan kerja Kecamatan dengan perangkat daerah Kabupaten/Kota bersifat kordinasi tehnis fungsional dan tehnis operasional. 5.Hubungan Camat dengan instansi vertikal bersifat kordinasi tehnis fungsional. 6.Hubungan kerja Kecamatan dengan swasta, LSM, Parpol dan Ormas di wilayah kerjanya bersifat koordinasi dan fasilitasi. Dalam perencanaan Kecamatan, Camat menyusun perencanaan pembangunan sebagai tindak lanjut dari Musrenbang Desa/Kelurahan. Perencanaan pembangunan Kecamatan merupakan bagian dari perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. Perencanaan pembangunan Kecamatan dilakukan melalui Musrenbang Kecamatan secara partisipatif. Mekanisme penyusunan rencana pembangunan Kecamatan berpedoman kepada Permendagri. Kecamatan sebagai SKPD menyusun rencana anggaran satuan kerja perangkat daerah sesuai peraturan perundang-undangan. Rencana anggaran SKPD Kecamatan disusun berdasarkan rencana kerja Kecamatan. Rencana kerja Kecamatan disusun berdasarkan rencana strategis Kecamatan. Sesuai pasal 31 dan pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 ini, pembinaan dan pengawasan atas pemerintahan Kecamatan dilakukan oleh Bupati/Walikota. Setiap tahun Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan evaluasi terhadap kinerja Kecamatan yang mencakup: 1.Penyelenggaraan sebagian wewenang Bupati/Walikota yang dilimpahkan kepada Camat. 2.Penyelenggaraan tugas umum pemerintahan. 3.Penyelenggaraan tugas lainnya yang ditugaskan kepada Camat. 4.Hasil evaluasi disampaikan oleh Bupati/Walikota kepada Gubernur dengan tembusan kepada Mendagri. Pelaksanaan evaluasi berpedoman kepada Permendagri. Sebagai perangkat daerah, Kecamatan semestinya dapat memiliki peran atau difungsikan sebagai SKPD dan Pusat pelayanan publik atau menjadi intermediaries penting dalam hubungan antara warga dengan Kabupaten/Kota. Di daerah tertentu memiliki lingkungan geografis luas dan akses terhadap pusat Pemerintahan di Kabupaten sangat sulit, Kecamatan dapat menjadi Pusat Pelayanan Publik dan menjadi intermediaries dalam hubungan antara Pemerintah dengan warganya. Potensi tersedia di Kecamatan sebenarnya dapat diberdayakan untuk menjadi pilihan bagi Kabupaten/Kota untuk memperbaiki kinerja pelayanan dan Pemerintahannya. Bupati/Walikota dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada Camat untuk menyelenggarakan pelayanan publik. Kedudukan Kecamatan sekarang ini telah berubah menjadi sebagai wilayah kerja dan SKPD. Sebagai unit kerja pelayanan publik, seharusnya struktur organisasi Kecamatan dirancang untuk melakukan sejumlah tugas dilimpahkan dan urgen dilaksanakan di Kecamatan. Sebagai perangkat daerah, Kecamatan semestinya dapat memiliki peran atau difungsikan sebagai SKPD, salah satu agen pelayanan atau menjadi intermediaries penting dalam hubungan antara warga dengan Kabupaten/Kota. Di daerah tertentu memiliki lingkungan geografis luas dan akses terhadap pusat Pemerintahan di Kabupaten sangat sulit, Kecamatan dapat menjadi salah satu agen pelayanan publik dan menjadi intermediaries dalam hubungan antara Pemerintah dengan warganya. Potensi tersedia di Kecamatan sebenarnya dapat diberdayakan untuk menjadi salah satu pilihan bagi Kabupaten/Kota untuk memperbaiki kinerja pelayanan dan Pemerintahannya. Bupati/Walikota dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada Camat untuk memberi pelayanan kepada warganya. Payung hukum yang mendasari Kecamatan sebagai SKPD dan Pusat Pelayana Publik antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan dan Permendagri Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (PATEN). Payung hukum ini seharusnya dapat dijadikan instrument penekan kepada Bupati/Walikota agar mendelegasikan kewenangan pelayanan ke Kecamatan. Sebagai SKPD peran Kecamatan perlu ditempatkan pada kedudukan yang jelas sesuai dengan kebutuhan daerah. Jika dari pertimbangan kewilayahan, aksesibilitas dan transportasi keberadaan Kecamatan sebagai pusat pelayanan publik amat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan publik tertentu maka Kecamatan perlu diberdayakan sebagai Pusat Pelayana Publik pada skala Kecamatan. Untuk daerah yang ingin menjadikan Kecamatan sebagai pusat pelayanan publik maka Bupati/ Walikota wajib melimpahkan kewenangan delegatif tertentu kepada Camat. Beberapa pelayanan seperti: pengelolaan kebersihan, pemeliharaan prasarana umum, perijinan usaha kecil skala Kecamatan dan pengawasan tata ruang dapat didelegasikan kepada Kecamatan. Dalam hal ini daerah harus memberikan perangkat kelembagaan, pembiayaan, dan personel yang memadai kepada Kecamatan agar mereka dapat menjalankan perannya secara optimal. Untuk kawasan Kota yang wilayah geografisnya relatif sempit, pelayanan di kota mudah diakses, dan sarana transportasi mudah diperoleh, daerah dapat mengembangkan pelayanan satu atap dan terpusat di Kota. Dalam konteks ini daerah tidak memerlukan perangkat Kecamatan sebagai pusat pelayanan. Untuk daerah yang seperti ini keberadaan Kecamatan yang kuat menjadi tidak relevan dan karena tugas utama Camat adalah membantu Bupati/Walikota untuk melaksanakan fungsi pemerintahan umum. Pengaturan yang memberi kesempatan kepada daerah untuk mengembangkan struktur kelembagaan dan perangkat daerah yang berbeda sesuai dengan kondisi daerahnya perlu diatur dengan jelas dalam UU ini (MUCHTAR EFFENDI HARAHAP).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda