Kamis, 20 Februari 2014

ACUAN DISKUSI PUBLIK DAN KONPRENSI PERS “LAYAKKAH PEMILU 2014 DILAKSANAKAN?

Pada 11 Februari 2014 di Gedung Kantor LBH Jakarta, Lembaga Riset dan Polling Indonesia dan IEPSH (Institute Ekonomi Politik Soekarno-Hatta) menyelenggarakan forum Diskusi Publik dan Konprensi Press “Layakkah Pemilu 2014 Dilaksanakan?”. Di dalam forum tampil sebagai Pembicara Utama, antara lain Taufiq Hidayat (Lembaga Riset dan Polling Indonesia), Denny MC (Ketua Umum Partai Kedaulatan), Chris Siner Key Timu (Petisi 50). Forum ini dihadiri sekitar 100 peserta terdiri dari berbagai unsur masyarakat madani. Berikut ini ACUAN DISKUSI PUBLIK DAN KONPRENSI PERS dimaksud. PERTAMA: Pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD Indonesia akan diselenggarakan pada tahun 2014. Ini akan menjadi pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD langsung ketiga di Indonesia. Pada 7 September 2012, KPU mengumumkan daftar 46 partai politik yang telah mendaftarkan diri untuk mengikuti Pemilu 2014, dimana beberapa partai diantaranya merupakan Parpol yang baru pertama kali mengikuti pemilu ataupun baru mengganti namanya. 9 partai lainnya merupakan peserta Pemilu 2009 yang berhasil mendapatkan kursi di DPR periode 2009-2014. Pada tanggal 10 September 2012, KPU meloloskan 34 Parpol yang memenuhi syarat pendaftaran minimal 17 buah dokumen.Selanjutnya pada tanggal 28 Oktober 2012, KPU mengumumkan 16 partai yang lolos verifikasi administrasi dan akan menjalani verifikasi faktual. Pada perkembangannya, sesuai dengan keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum, verifikasi faktual juga dilakukan terhadap 18 partai yang tidak lolos verifikasi administrasi. Hasil dari verifikasi faktual ini ditetapkan pada tanggal 8 Januari 2013, dimana KPU mengumumkan 10 partai sebagai peserta Pemilu 2014. Pada 18 Maret 2013, KPU mengabulkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang memutuskan Partai Bulan Bintang dapat mengikuti Pemilu 2014. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia juga menjadi peserta Pemilu 2014 setelah KPU mengabulkannya pada 25 Maret 2013. Berikut adalah daftar partai tersebut 1.Partai Nasdem 2.PKB 3.PKS 4. PDIP 5.Partai Golkar 6.Partai Gerindra 7.Partai Dedmokrat 8.PAN 9.PPP 10.Partai Hanura 11.PBB 12.PKPI KEDUA: Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia (Pilpres) juga akan diselenggarakan pada 2014. Ini akan menjadi pemilihan presiden langsung ketiga di Indonesia, dan bagi presiden yang terpilih akan mempunyai jabatan tersebut pada jangka waktu sampai lima tahun. Peraturan perundang-undangan terkait dengan Pilpres adalah UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden. UU ini oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak mengajukan uji materi melalui Mahkamah Konstitusi. MK mengabulkan uji materi tersebut dan memutuskan Pemilu serentak baru akan dilaskanakan pada 2019. Di lain fihak, KPU membutuhkan alokasi anggaran untuk Pemilu 2014 sangat besar. Dana tersebut sudah termasuk pelaksanaan Pilpres pertama dan kedua. Dalam perjelanannya, Komisi II DPR-RI menyetujui anggaran untuk KPU dan Bawaslu masing-masing sebesar 15 Triliyun dan 3 Triliyun. Sesungguhnya anggaran penyelenggaraan Pemilu sudah dimulai sejak 2013, berasal dari APBN 2013. Sehingga total biaya penyelenggaraan Pemilu untuk KPU total sebear Rp. 22 Triliyundan untuk Bawaslu Rp. 5 Triliyun. KETIGA: Peserta Pemilu Legislatif adalah Partai Politik sebagaimana telah diungkapkan di atas. Pemilu adalah merupakan salah satu sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat. Rakyat akan memilih kader-kader Parpol sebagai pemimpin politik secara langsung. Karena itu, kinerja dan kualitas Parpol sangat menentukan kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat, termasuk juga pencapaian cita-cita negara Indonesia sebagai mana tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945. Namun demikian, berdasarkan hasil Telepolling 15 Kota Besar”Kepatuhan Partai Politik terhadap Hukum” diselenggarakan Lembaga Riset & Polling Indonesia, ditemukan kesimpulan bahwa Parpol dipersepsikan oleh public tidak patuh kepada hukum. Hal ini dikaitkan dengan pelanggaran dilakukan Parpol dalam pelaksanaan UU Parpol seperti pendidikan politik, keterbukaan informasi, transparansi keuangan, legalitas Parpol dsb. Persepsi ini diperkuat lagi, public melihat para anggota Parpol banyak terlibat kasus korupsi. KEEMPAT: Fenomena Parpol tidak patuh hukum ini sesungguhnya dapat dibuktikan dengan beragam sudut pandang/perspektif, antara lain: pemenuhan persyaratan Parpol dapat sebagai Peserta Pemilu 2014 yang ditentukan oleh KPU; pemanfaatan dana pajak untuk pembiayaan yang sangat besar untuk keperluan pelaksanaan Pemilu; tingkat partisipasi pemilih (Golput); dasar konstitusional pelaksanaan Pemilu 2014. Khusus pemenuhan persyaratan Parpol dapat sebagai Peserta Pemilu 2014, fenomena Parpol tidak patuh hukum dapat ditemukan berdasarkan Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilihan Umum RI No. 28,29,30,31,37,40/DKPP-PKE-II/2013. Di dalam Putusan tersebut terdapat keterangan adanya dugaan manipulasi data Parpol peserta Pemilu untuk meloloskan Parpol yang seharusnya tidak lolos. Juga adanya manipulasi data terhadap hasil verifikasi adminisistrasi yang dengan sengaja dilakukan Teradu I selaku Ketua dan Anggota KPU. Secara massif Teradu I telah memanipulasi data Parpol peserta Pemilu, di mana bentuk manipulasi adalah meloloskan Parpol yang seharus Parpol tersebut tidak lolos dalam verfikasi factual. Hal ini bermakna, di samping Terpadu I tidak patuh hukum, Parpol-Parpol yang diloloskan berdasarkan manipulasi data tersebut juga tidak patuh hukum. KELIMA: Pemanfaatan dana pajak untuk pembiayaan Pemilu yang sangat besar untuk keperluan pelaksanaan Pemilu. Biaya penyelenggaraan Pemilu 2014 masih sangat tinggi. Dengan kondisi keterbatasan negara dan sedang dirundung bencana, biaya Rp. 22 triliyun untuk KPU dan Rp. 5 triliyun untuk Bawaslu sangat besar. Bahkan,muncul pula biaya pengamanan untuk Polri Rp. 3 Triliyun, juga TNI Rp. 100 Miliyar dan belum lagi untuk Kementerian Kominfo dengan tema program meningkatkan partisipasi pemilih pemula. Bahkan, muncul prakarsa pos anggaran sekitar Rp. 800 miliyar yang akan digunakan untuk biaya saksi Parpol yang dinilai fihak pengkritik tidak ada dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran DIPA penyelenggaraan Pemilu APBN 2014. Permintaan dana besar untuk keamanan Pemilu mengesankan bahwa akan ada ancaman Pemilu 2014 sebagaimana pernyataan Presiden SBY sebelumnya. Pemilu sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat menjadi seperti sarana pengurasan dan pemborosan uang rakyat bagi para lembaga terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu. Fihak Pemerintah juga memanfaatkan Pemilu untuk menguras dana rakyat. Mengingat dana yang diboroskan tersebut bersumber dari dana rakyat, maka pemborosan seperti ini harus ditolak. Apalagi mengingat “outcome” Pemilu tidak berpengaruh terhadap peningkatan kualitas demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Pengelolaan anggaran Pemilu dari masa ke masa sudah terbukti tidak lebih baik dan boros. Bahkan ada Komisioner KPU pernah tersangkut korupsi. KEENAM: Pemilu 2014 adalah inskonstitusional. Berdasarkan konstitusi UUD 1945, Pemilu legislative dan Pemilu Presiden harus digelar serentak sesuai UUD 1945. MK juga mengakui bahwa Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden harus digelar serentak sesuai UUD 1945. Namun, dalam putusan MK, Pemilu serentak tidak bisa dilaksanakan pada tahun 2014 ini, baru bisa dilaksanakan pada tahun 2019. MK menyatakan bahwa pasal 3 ayat 5, pasal 22 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2) dan pasal 112 bertentangan dengan UUD 1945 serta memerintahkan agar penyelenggaraan Pemilu dilakukan serentak pada 2019. Putusan MK ini telah melakukan blunder besar dan menuai kecaman dari berbagai pihak. MK berarti mengakui bahwa Pemilu legislative dan Pemilu Presiden yang tidak serentak yang sesuai konstitusi baru bisa dilaksanakan pada 2019. Sementara itu, Pemilu 2014 tidak serentak, bermakna Pemilu 2014 dilaksanakan dengan pasal-pasal UU Pemilu yang inkonstitusional. Karena landasan hukum Pemilu 2014 inkonstitusional, maka Pemilu 2014 mendatang inkonstitusional. Konsekuensinya DPR, DPD, DPRD dan Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam Pemilu legislative dan Presiden 2014 juga inkonstitusional. Dengan perkataan lain, legitimasi terhadap penyelenggaraan Pemilu menggunakan payung hukum UU No.42 Tahun 2008 adalah inkonstitusional. Artinya, pasca putusan MK yang diputus sebelum penyelenggaraan Pemilu menjadikan proses Pemilu kehilangan legitimasinya. Satu pertanyaan dasar telah muncul: jika putusan Pemilu serentak diberlakukan pada 2019, mengapa MK tidak menunda pelaksanaan Pemilu saja hingga terpenuhinya dasar konstitusional penyelenggaraan Pemilu? KETUJUH: Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2014 diperkirakan akan semakin menurun. Berdasarkan data beberapa Pemilu sebelumnya, kecenderungan masyarakat tidak menggunakan hak pilihnya (Golput) terus meningkat. Pada Pemilu 1999, angka Golput mencapai 10,21 %; menaik menjadi 24 % Pemilu 2004; dan terus menaik 30 % Pemilu 2009. Diperkirakan sebagai pengamat politik, Golput akan menaik tajam pada Pemilu 2014 hingga 35-40 %. Meskipun KPU sudah mensosialisasikan Pemilu, Para Calon Legislatif tingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan berbagai kegiatan kampanye, namun tidak membuat rakyat antusias menyambut Pemilu 2014. Golput akan tetap semakin banyak. Berbagai sebab dapat diajukan mengapa pada Pemilu 2014 ini akan meningkat Golput. Pertama, masih terdapatnya permasalahan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Implikasi ketidakakuratan DPT adalah meingkatnya proporsi warga yang tidak bisa berpartisipasi dalam Pemilu. Golput ini kebanyakan Golput tanda kutip, yakni Golput tidak bisa memilih karena persoalan administrasi, bukan alasan ideologis. Kedua, alasan ideologis, yakni rakyat tidak percaya terhadap elite politik Parpol dan para pemimpin negara baik di eksekutif maupun legislative. Masyarakat berprasangka terhadap elite politik ini, termasuk dalam menghadapi Pemilu legisltif dan Pemilu Presiden 2014. Berdasarkan ideologis, diprediksi rakyat akan semakin banyak tidak akan menggunakan hak pilih. Berbagai lembaga survey telah mengajukan prediksi tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2014. Salah satu prediksi, tingkat partisipasi pemilih hanya tinggal sekitar 54% dan 60%. Memburuknya citra Parpol yang disertai munculnya sejumlah politisi Parpol terindikasi korupsi membuat kecenderungan kelompok masyarakat tidak mau ikut memilih pada Pemilu 2014 semakin meningkat. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap Parpol semakin tinggi. Ketidakpercayaan masyarakat ini dipengaruhi dengan persepsi masyarakat bahwa Parpol tidak patuh terhadap hukum. Telepolling 15 Kota Besar di Indonesia,Lembaga Riset & Polling Indonesia telah menemukan bahwa masyarakat masih sedikit menyatakan secara tegas akan memilih nanti dalam Pemilu 2014. Sebagian besar masyarakat masih ragu (37 %) dan sebagian lagi menyatakan tidak memilih (23.4%). Angka Golput diperkirakan di atas 50 %. Kondisi ini menimbulkan apatisme publik dan mengancam legitimasi Pemilu 2014. KEDEPALAN: Rekomendasi dapat diajukan sebagai berikut: 1. Pelaksanaan Pemilu 2014 harus ditunda karena kondisi dan kecenderungan Parpol yang tidak patuh hukum, penyelenggaraan Pemilu 2014 yang boros dana, dan manfaat (outcome) Pemilu 2014 tidak akan meningkatkan kualitas demokrasi dan kesejahteraan rakyat, Pemilu tidak konstitusional (inkonstitusional) yang menyebabkan hasilnya menjadi tidak legitimate, tingkat partisipasi pemilih atau Golput bisa di atas 50%. Penundaan Pemilu sebaiknya dilakukan hingga kondisi Parpol peserta Pemilu betul-betul patuh hukum, penyelenggaraan Pemilu konstitusional dan tingkat partisipasi pemilih di bawah 30 %. Di bawah kondisi Pemilu ditunda, maka langka-langkah harus dilakukan adalah: 1. Rekonstruksi system kepartaian dan kader Parpol di pemerintahaan ke arah benar-benar patuh terhadap hukum formal berlaku di Republik ini. Rekonstruksi system kepartaian harus berdasarkan penegakan prinsip antara lain: kepatuhan hukum (rule of the game), nondiskriminatif (kesetaraan), keterbukaan (tranparansi), akuntabilitas pubik, dan berorientasi pada kepentingan dan manfaat bagi rakyat kebanyakan. 2. Rekonstruksi system penyelenggaraan Pemilu, terutama prosedur dan standar penentuan Parpol sebagai peserta Pemilu mengacu pada UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Komponen rekonstruksi dimaksud antara lain KPU, system pencalonan anggota legislative, kampanye dan manajemen keuangan/ pembiayaan. 3. Pemerintah dan DPR harus merevisi UU Pemilu dan UU Pilpres sesuai dengan UUD 1945. Pemerintah harus melaksanakan Pemilu berdasarkan UUD 1945, yakni serentak Pemilu legislative dan Pemilu Presiden. 4. Publik melaksanakan advokasi hukum atau gugatan hukum terhadap Presiden SBY jika tidak bersedia menunda yang inkonstitusional dan tetap melaksanakan Pemilu 2014. Untuk itu, perlu ada upaya public untuk menggalang kekuatan pelaksanaan advokasi hukum atau gugatan hukum dimaksud (MEH).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda