Senin, 05 Maret 2012

KORUPSI KADER PARPOL DI DPR-RI (BAGIAN KEDUA)

Perilaku korupsi kader Parpol sebagai anggota DPR sesungguhnya beragam modus, mulai sebagai pelaku tidak langsung tetapi menentukan pada “pengadaan barang/jasa Pemerintah” terutama tingkat nasional (dana APBN) hingga sebagai pelaku pendukung pembuatan keputusan politik dalam bentuk Undang-undang dan kebijakan politik menguntungkan atau berpihak pada kepentingan pelaku usaha/korporasi baik nasional maupun internasional sebagaimana disebut sebagai “korupsi sandera negara” (state capture corruption).

Majalah Berita Mingguan TEMPO Edisi 16-22 Mei 2011 telah menurunkan laporan utama tentang perilaku korupsi anggota DPR. Menurut TEMPO, gedung DPR menjadi bursa transaksi gelap penentuan kebijakan publik. Penyusunan anggaran atau pembahasan pasal Rancangan Undang-undang (RUU) kerap dilumuri politik uang. Tawar menawar dilakukan untuk memutuskan pasal-pasal krusial dalam penyusunan RUU. Kepala Daerah bersusah payah menyiapkan sogokan buat memperoleh alokasi anggaran. Penyusunan anggaran merupakan lahan basah bagi anggota Dewan. Para “wakil rakyat” menggunakan proses persetujuan merupakan kewenangan mereka untuk memperoleh keuntungan. Transaksi gelap dilakukan politikus dari hampir semua fraksi.

Berdasarkan pengelusuran TEMPO, banyak anggota DPR menghubungi Kepala-kepala Daerah, menawari mereka anggaran tertentu, dan kemudian memotong 5-10 persen sebagai “fee”, harus dibayar dimuka, tunai. Proses serupa dilakukan dengan pengusaha untuk persetujuan anggaran pengadaan barang. Lebih jauh Tempo membeberkan, seorang bekas anggota Panitia Anggaran mengatakan tiap Parpol biasanya memiliki sejumlah anggota giat “menjala uang”. Kader Parpol ini ditempatkan di Badan Anggaran, perangkat DPR beranggotakan 85 orang dari pelbagai fraksi secara proporsional. Di sini proses pembahasan anggaran dimainkan agar proyek dikawal bisa mulus. Anggota Badan Anggaran tidak produktif menyetor uang ke Parpol bakal dipindahkan ke alat kelengkapan DPR lain. Di Badan Anggaran kadang terjadi peleburan anggota lintas Fraksi dan lintas Komisi. Permainan juga melibatkan mediator, datang ke Senayan (Gedung DPR) dan melobi anggota DPR agar meloloskan proyek di daerahnya, Para mediator datang membawa proposal dari daerah sudah disetujui Bupati atau Walikota.

Mafia Anggaran di DPR menjadi issu paling aktual seiring dengan mencuatnya kasus korupsi Wisma Atlet di Palembang melibatkan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, Sondakh, dan anggota DPR lain. Issu Mafia Anggaran di DPR telah mengundang beragam opini dan komentar baik dari anggota DPR sendiri maupun bukan. Mafia Anggaran bermakna bahwa para anggota Panitia Anggaran yang dan juag kader Parpol menggunakan kewenangan mereka untuk memark-up dan sekaligus membuat komitmen kepada fihak Pengusaha maupun pejabat eksekutif agar memberikan dana sekian persen dari nilai proyek kepada pada anggota Panitia Anggaran. Intinya, para anggota DPR (dari semua fraksi) berjemaah dan berkerjasama untuk memperoleh dana ilegal dari Negara atas proyek pengadaan barang dan jasa Pemerintah.

Tindak lanjut issu Mafia Anggaran adalah issue pembentukan Panja Mafia Anggaran. Parpol pertama mengajukan prakarsa pembentukan Panja Mafia Anggaran ini adalah Partai Gerindra. Melalui keterangan pers, Gerinda memandang pembentukan Panja Mafia Anggaran di badan legislatif merupakan salah satu upaya untuk membenahi permasalahan anggaran. Gerindra berpendapat, pelaksanaan dan pengelolaan anggaran yang dilakukan eksekutif saat ini jauh dari harapan. "Dalam konteks anggaran, Gerindra sangat setuju dibentuk Panja Mafia Anggaran. Ini sudah domain publik. Kalau ada, Gerindra akan mendukung," ungkap Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon dalam keterangan pers di Restoran Pulau Dua pada 26 Juli 2011.

Panja Mafia dibentuk untuk mengusut berbagai praktik penyimpangan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang dilakukan anggota DPR melalui berbagai proyek di beberapa kementerian. Sebelumnya, Fraksi Partai Gerindra mengusulkan dibentuknya Panja Mafia Anggaran di Dewan. Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon menegaskan pihaknya mendorong pembentukan Panitia Kerja (Panja) Mafia Anggaran di DPR. Dia berpendapat, persoalan anggaran merupakan domain publik. "Kami mendukung pembentukan panja mafia anggaran, karena ini domain publik," ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Selasa (26/7/2011).

Sementara dalam kesempatan yang sama, anggota Badan Anggaran dari Fraksi Partai Gerindra Sadar Subagyo menyebutkan sedikitnya 55 persen APBN bocor. Dia menyebutkan kebocoran mulai dari penerimaan hingga belanja. “Kebocoran di penerimaan 25 persen, di belanja 30 persen,” ujarnya.

Sesungguhnya wacana pembentukan Panja Mafia Anggaran di DPR ini muncul setelah maraknya kasus mafia anggaran yang diduga melibatkan anggota DPR. Sejumlah kasus korupsi diduga terkait dengan mafia anggaran di DPR sebelum wacana PAnja ini mencuat, antara lain kasus suap Wisma Atlet SEA Games XXVI Jakabaring, Palembang, dan proyek pembangunan sarana olahraga di Bukit Hambalang oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga. Kasus ini menyeret mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M. Nazaruddin, yang merupakan anggota Badan Anggaran (Banggar) dari Fraksi Partai Demokrat. Selain Nazaruddin, kasus ini juga menyebut-nyebut nama Wakil Ketua Badan Anggaran Mirwan Amir, juga Wakil Bendahara Umum Partai Demokrat. Anggota Banggar dari Fraksi Partai Demokrat Angelina Sondakh dan I Wayan Koster dari Fraksi PDIP juga terseret pusaran kasus ini.

Selain soal Wisma Atlet dan proyek Hambalang, terdapat beberapa kasus lain, yakni kasus dugaan korupsi pengadaan barang di Kementerian Pendidikan Nasional, kasus pengadaan PLTS di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan kasus pengadaan alat kesehatan di Kementerian Kesehatan juga diduga terkait adanya permainan anggaran di DPR. Pada 20 September 2011 KPK telah memeriksa para pimpinan Banggar DPR, yakni Melchias Markus Mekeng ( Kader Golkar), Tamsil Lindrung ( Kader PKS), Mirwan Amir ( Kader P.Demokrat) dan Olly Dondokambey ( Kader PDIP). Mereka diperiksa sebagai saksi kasus dugaan suap terkait dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Darah Transmigrasi di kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. KPK telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah Sekretaris Dirjen Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi Kemnakertrans I Nyoman Suisnaya; Kepala Bagian Program, Evaluasi, dan Pelaporan Dirjen P2KT Dadong Irbarelawan; dan kuasa direksi PT Alam Jaya Papua, Dharnawati.

Beragam tanggapan telah mencuat tentang wacana pembentukan Panja ini baik menolak maupun mendukung. Para petinggi DPR umumnya menolak pembentukan Panja. Sebagai misal, Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan (Kader PAN) melalui Detikcom, 26 Juli 2011. Kader PAN ini terang-terangan menyatakan tidak sependapat dengan usulan pembentukan Panja Mafia Anggaran DPR. Baginya, untuk menjamin transparansi anggaran DPR hanya diperlukan pemantauan langsung oleh KPK. Pembentukan Panja Mafia Anggaran itu tidak diperlukan. DPR periode lalu mengambil inisiatif mengajak dan melibatkan KPK dalam setiap pembahasan anggaran di DPR. Kerjasama dengan KPK juga belum pernah dihentikan. “Yang diperlukan hanyalah mempertegas kembali kerjasama dengan KPK dalam hal transparansi anggaran”, kilahnya. Sembari menekankan, pembentukan Panja Mafia Anggaran kurang tepat secara substansial dan mengingatkan Panja ini mengawasi kerja DPR sendiri. "Panja ini yang mau dipanjakan siapa? Kok DPR membuat Panja untuk dirinya sendiri. Nanti bisa ada Panja Legislasi ini kan menjadi kurang pas, ," tandasnya.

Senada Taufik (Kader PAN), Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso (Kader Golkar) juga menolak pembentukan Panja Mafia Anggaran. Kader Golkar ini berkilah, untuk memberantas mafia anggaran di DPR tak perlu langsung dibentuk Panja Mafia Anggaran. Namun cukup dilakukan oleh lembaga yang saat ini sudah ada, yakni KPK. "Sebenarnya yang lebih penting kita dorong untuk bisa ditindaklanjuti oleh KPK dan penegak hukum lainnya. Terlalu lama kalau dibentuk Panja masalah anggaran kemarin. Lebih baik KPK ditindaklanjuti. Saya kepikiran tidak diperlukan," ujar Priyo kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (28/7/2011).

Namun beberapa hari kemudian, opini Priyo sang Kader Golkar ini berubah dari menolak menjadi mendukung sebagaimana dibeberkan Suara Karya 27 Juli 2011. Dalam kesempatan itu, dia menegaskan, Partai Golkar akan sepenuhnya mendukung pembentukan panja dan pansus mafia anggaran agar dapat mengungkap berbagai fakta dugaan terjadinya kebocoran dalam penggunaan APBN. "Jika ada prakarsa untuk membentuk panja atau pansus, silakan saja. Partai Golkar mendukung selama itu memberikan kebaikan bagi pemanfaatan APBN secara benar," ujar Priyo.

Priyo kemudian menambahkan, seandainya ditemukan ada kader dari Partai Golkar di DPR yang terbukti terlibat dalam mafia anggaran, Partai Golkar tidak akan melindunginya. Namun, dia mengingatkan, agar proses pembentukan panja atau pansus mafia anggaran itu dilakukan secara proporsional sehingga tidak lantas menafikan kinerja Badan Anggaran DPR. "Jangan sampai panja atau pansus ini malah mencurigai tugas dan kewenangan Badan Anggaran DPR. Sebab, terkadang ada informasi yang tidak bisa dibuka untuk umum," ujarnya.

Senada Priyo, dukungan pembentukan Panja yang bertugas menyelidiki dugaan terjadinya praktik percaloan atau kebocoran APBN di parlemen juga datang dari Ketua DPR Marzuki Alie (Kader P. Demokrat) (Suara Karya, 27 Juli 2011). Marzukie Ali juga menyatakan sepakat dengan usulan pembentukan panja atau pansus yang mengungkap keberadaan mafia anggaran. "Partai Demokrat tentu setuju," ujarnya. Ia berjanji akan membuka kesempatan selebar-lebarnya kepada panja atau pansus jika berniat menyelidiki dugaan adanya praktik mafia anggaran di DPR yang melibatkan anggota DPR, termasuk dari Partai Demokrat. "Siapa saja, kalau bersalah, tentu tidak akan kita lindungi," katanya.

Selanjutnya opini dari Tjahjo Kumolo (Kader PDIP) menekankan, pembentukan Panja atau Pansus Mafia Anggaran membutuhkan persetujuan dari seluruh fraksi di DPR. "Jika semua fraksi di DPR sepakat, Fraksi PDI Perjuangan akan mendukung penuh. Tapi, tidak bisa hanya PDIP saja teriak sendiri, semua fraksi harus sepakat," ujarnya. Saat ini, Fraksi PDIP tidak pada posisi menginisiasi usulan pembentukan Pansus Mafia Anggaran. "Fraksi PDI Perjuangan DPR lebih mendukung audit penggunaan keuangan APBN oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang bertugas mengaudit keuangan negara," katanya. Menurut Tjahjo, posisi PDI Perjuangan sebagai parpol yang berada di luar pemerintah sehingga bertugas melakukan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah. Bukan mengontrol pengawasan terhadap partai politik lain (Suara Karya, 27 Juli 2011).

Di lain fihak, KOMPAS.com 29 Juli 2011 menyajikan opini kritis Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang tentang wacana pembentukan Panitia Kerja Mafia Anggaran DPR RI. "Kalau dilihat dari sisi niatnya itu baik, dan bagus. Akan tetapi, pertanyaannya adalah apakah Panja yang akan dibentuk DPR itu berani untuk membongkar lembaganya sendiri? Atau apakah Panja ini berani mengungkap praktik yang dilakukan oleh teman sefraksi atau teman sebagai satu korps di DPR,

Menurut Sebastian, membongkar praktik mafia anggaran di DPR bukan hal mudah. Sebastian menilai, praktik-praktik mafia anggaran di parlemen dilakukan oleh sekelompok orang dengan organisasi yang sangat tertata rapi. Jika ingin mengusut tuntas kasus tersebut, kata Sebastian, maka hal itu harus dengan upaya yang sangat serius. "Jangan sampai ini malah menjadi bagian dari upaya mengaburkan persoalan juga. Misalnya, seolah-olah ada upaya untuk membongkar, lalu nanti keluar rekomendasi yang mengatakan dalam internal DPR tidak terjadi apa-apa," kata Sebastian sembari menekankan dukungan pada pembentukan Panja itu, selagi motivasinya benar. Namun di balik dukungan itu, ia juga menyimpan keraguan karena jarang di negeri ini ada lembaga berani mengungkap keboborokan internal kelompoknya. "Yang sering terjadi selama ini mereka sering menutupi karena satu korps,"tandasnya.

TEMPO Interaktif (29 Juli 2011) melaporkan opinisi Pakar Hukum Tata Negara, Jimlly Asshiddiqie, mendukung usulan pembentukan Panja. Alasannya, Dewan harus lebih berkonsentrasi pada pembenahan internal dibanding meributkan soal politik, seperti kasus surat palsu Mahkamah Konstitusi. "Sekarang itu yang lebih serius anggaran. Kalau DPR konsisten, di-panja-kan saja sekaligus untuk membersihkan citra," ujar Jimly saat ditemui wartawan di Gedung DPR, Jumat, 29 Juli 2011.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini mengatakan, DPR seharusnya tak perlu takut untuk membentuk Panja Mafia Anggaran karena kalaupun terbukti, hal ini tak hanya melibatkan Badan Anggaran dan DPR. "Yang namanya mafia anggaran itu kan pasti tidak hanya melibatkan DPR, (tapi) terlibat semua. Dan bukan hanya Banggar, tetapi juga terkait komisi-komisi," ujar Jimly.

Jimmly menilai Panja Mafia Anggaran lebih besar manfaatnya ketimbang Panja Mafia Pemilu. "Surat palsu itu menjadi penting secara politik karena melibatkan Andi Nurpati. Dan cara pandang politikus itu melibatkan ada kaitannya dengan hasil Pemilu 2009," ujarnya "Jadi ribetlah, padahal itu kan persoalan sepele saja."

Menyusul mencuatnya wacana Panja Mafia Anggaran, telah terbentuk suatu koalisi masyarakat madani, yakni Koalisi Antimafia Anggaran. Anggota Koalisi ini antara lain Indonesia Budget Centre (IBC) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK). Pada jumpa pers, 21 Agustus 2011, Koalisi ini menemukan enam celah korupsi. Pertama, bertambahnya kekuasaan DPR dalam penganggaran. Kedua, tidak transparan dalam penyusunan anggaran. Ketiga, memuunculkan alokasi di luar aturan keuangan Negara.Keempat, tidak ada rapat dengar pendapat dengan masyarakat saat penentuan anggaran. Kelima, ketimpangan antara rencana alokasi dan kebutuhan daerah. Keenam, praktik “memancing uang dengan uang”. Dalam penelusuran IBC menunjukkan, terdapat 63 anggota DPR periode 1999-2004 yang terlibat dalam berbagai modus korupsi. Sebanyak 52 % di antaranya korupsi terkait kebijakan anggaran dan pemalsuan administrasi. Sisanya, kasus korupsi penyelewengan jabatan dalam pemilihan pejabat Negara. Fihak PSHK dalam kesempatan jumpa pers juga mengingatkan, praktik mafia anggaran terjadi sejak hulu hingga hilir, sejak anggaran disiapkan hingga disahkan. Saat perencanaan, mafia anggaran sudah bermain. Hal ini terjadi di pemerintah dan DPR (Kompas, 22 Agustsu 2011).

Fenomena perilaku korupsi anggota DPR yang notabenennya kader Parpol dapat juga diindikasikan dengan rekening Bank anggota DPR yang “mencurigai” berdasarkan laporan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan). Lembaga ini saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III di gedung DPR, 20 Februari 2012, pernah mengaku tengah menelusuri sekitar 2.000 transaksi mencurigakan anggota DPR, mayoritas anggota Banggar. Di samping itu, PPATK melaporkan transaksi tidak wajar 1-2 Menteri di Kabinet Indonesia Bersatu II; 12 Laporan transaksi mencurigakan Kejaksaan; 1 Laporan pegawai KPK; 12 Laporan Hakim; 474 Laporan PNS di atas 45 tahun; 233 laporan PNS di bawah 45 tahun; 89 Laporan petinggi Polri. Sebagian transaksi ini telah dilaporkan ke aparat penegak hukum. Khusus 2.000 transaksi mencurigakan anggoat DPR, mayoritas transaksi dilakukan oleh anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR (Seputar Indonesia, 21 Februari 2012).

Sudah banyak data dan fakta hukum dan keputusan pengadilan membuktikan perilaku korupsi anggota DPR. Juga berbagai opini publik melalui survei menunjukkan lembaga penyelenggaraa negara ini termasuk lembaga paling korup, setelah Parpol. Sesungguhnya realitas obyektif masih menunjukkan fenomena anggota DPR korup dan opini publik tentang DPR semacam itu masih terus berlangsung. Kader Parpol di DPR-RI baik hasil Pemilu 2004 maupun Pemilu 2009, tidaklah terbebas sama sekali dari perilaku koruptif atau memperoleh dana ilegal.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda