Jumat, 09 Maret 2012

KORUPSI KADER PARPOL DI DPR-RI (BAGIAN KETIGA)

Pada awal era reformasi, 2001, Kemitraan (Partnership for Governance Reform) telah memperingatkan adanya fenomena perilaku korupsi kader Parpol melalui hasil survei nasional tentang korupsi di Indonesia. Hasil survei Kemitraan ini menempatkan parpol sebagai salah satu institusi publik yang tidak dapat dipercaya.
Pada 2010 Kemitraan juga melakukan survei nasional di 33 provinsi tentang hal yang sama, Hasilnya adalah tidak ada perubahan lebih baik dan sangat mengecewakan. Sebanyak 90 % responden dari kalangan akademisi menilai elite Parpol di legislatif berperilaku korupsi, dan lebih 80 % responden dari kalangan media dan LSM menilai elite parpol di legislatif berperilaku korupsi. Kader Parpol di legislatif dan eksekutif yang menjadi responden juga meyakini bahwa elite Parpol mereka berprilaku korupsi dengan tingkat keyakinan di atas 50 persen.

Sesungguhnya hasil survei Kemitraan dapat juga diperkuat dengan data dan fakta tentang perilaku korupsi kader Parpol di DPR-RI baik hasil Pemilu 2004 maupun Pemilu 2014. Data dan fakta tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber, antara lain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan media massa yang membeberkan pengakuan terdakwa atau saksi anggota DPR, pernyataan Tim Jaksa Penuntut atau hasil sidang-sidang pengadilan Tipikor, Jakarta. Bahkan, menurut KPK, sampai dengan Agustus 2011, telah dihukum sekitar 60 anggota DPR. Berikut ini akan diungkapkan data dan fakta kader Parpol di DPR terkait perilaku korupsi atau memperoleh dana ilegal.

Korupsi Kader Partai Golkar

Golkar tergolong Parpol besar dan produk era rezim Orde Baru, dan pada Pemilu 2004 telah berhasil menjadi peserta pemenang nomor satu dalam memperoleh kursi di DPR. Pada era rezim Orde Baru, korupsi di DPR-RI yang dipandu oleh Parpol tidak merajalela seperti pada era reformasi karena pada era Orde Baru Golkar menguasai hampir semua lini kehidupan berbangsa. Salah satu sebabnya adalah apa yang diinginkan rezim Orde Baru dan Golkar pasti disetujui DPR.

Pada era reformasi, seiring dengan merajalela perilaku korupsi anggota DPR, kader Golkar juga tidak terbebas dari perilaku korupsi. Data dan fakta dapat diperoleh dari telah hasil sidang Tipikor, Jakarta, antara lain: Andiwarsita Adinugroho, Saleh Djasit, Anthony Zeidra Abidin, Hamka Yandhu, Azwar Chesputra dan Fachri Andi Leluasa.

Andiwarsita Adinugroho adalah Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (HPHI) dan Anggota DPR periode 1999-2004 dari Fraksi Golkar. Andiwarsita menjadi tersangka kasus APHI dan dituntut oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan 8 tahun penjara. Ia dituduh merugikan keuangan negara Rp. 9,5 miliar. Pada 12 November 2005 Pengadilan memvonis 6 tahun.

Saleh Djasit adalah Anggota Komisi VII DPR Periode 2004-2009 dari Fraksi Partai Golkar. Semula ia diduga melakukan tindak pidana korupsi pengadaan 20 alat pemadam kebakaran Pemerintah Propinsi Riau dengan kerugian negara sekitar Rp. 4,7 miliar. Saleh Djasit akhirnya divonis bersalah dan dihukum.

Anthony Zeidra Abidin adalah Anggota Komisi XI DPR Periode 1999-2004. Saat jadi tersangka, posisinya sebagai Wakil Gubernur Propinsi Jambi. Ia tersandung kasus Aliran Dana BI ke DPR, dan akhirnya divonis bersalah dan dihukum.

Hamka Yandhu adalah Anggota Komisi XI DPR Periode 1999-2004 dari Fraksi Partai Golkar. Ia tersandung kasus penerimaan cek perjalanan/pelayat terkait pemilihan Deputi Bank Indonesia, Miranda Gultom, yang kini telah berstatus “tersangka” oleh KPK. Pengadilan Tipikor di Jakarta telah menjatuhkan vonis bersalah terhadap Mantan Ketua Sub Komisi Keuangan di Komisi IV DPR ini. Saat diperiksa sebagai saksi, Hamka Yandhu mengungkapkan, semua anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 dari sembilan Fraksi berjumlah 52 orang menerima dana dari BI dengan nilai total Rp. 21,6 miliar. Nama penerima dana itu dibacakan Majelis Hakim satu persatu sesuai Fraksi masing-masing, kemudian dibenarkan Hamka Yandhu.

Terdapat sejumlah kader Golkar lain juga tersandung kasus penerimaan cek perjalanan terkait pemilihan Deputi Bank Indonesia, Miranda Gultom, dan sebagai tersangka dan umumnya divonis 16 bulan penjara. Mereka adalah (1) Ahmad Hafiz Zamawi; (2) Marthin Bria; (3) Paska Suzetta; (4) Boby Suhardiman; (5) Antony Zeidra Abidin; (6) TM Nurlif; (7) Asep Ruchimat Sudjana Tersangka; (8) Reza Kamarullah; (9) Baharuddin Aritonang; (10) Hengky Baramuli.

Selanjutnya, Azwar Chesputra adalah Anggota DPR 2004-2009 dari Fraksi Golkar. Azwar tersandung kasus korupsi alih fungsi hutan lindung Pantai Air Telang di Sumatera Selatan untuk Pelabuhan Tandjung Api-api. Ia terkena vonis 4 tahun penjara.

Sebagaim ana Azwar Chesputra, Fachri Andi Leluasa juga Anggota DPR 2004-2009 dari Fraksi Golkar, tersandung kasus korupsi alih fungsi hutan lindung Pantai Air Telang di Sumatera Selatan untuk Pelabuhan Tandjung Api-api. Ia terkena vonis 4 tahun penjara.

Korupsi Kader Partai Demokrat

Partai Demokrat merupakan Parpol berkuasa dalam pemerintahan. Anggota DPR dari Parpol ini juga tidak terbebas dari kasus korupsi. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menemukan 45 % responden survei LSI percaya bahwa elite Partai Demokrat terlibat korupsi. Survei LSI ini diselenggarakan pada 1-7 Juni 2011, dengan metode wawancara tatap muka menggunakan kuesioner, jumlah responden 1.200, dan margin of error ±2,9%.

Persepsi korupsi ini bahkan lebih tinggi di kalangan responden yang saat Pemilihan Presiden 2009 memilih Megawati Soekarnoputri atau Jusuf Kalla. Sebanyak 57,4% pendukung Megawati-Prabowo Subianto sangat percaya bahwa elite Demokrat terlibat korupsi. Sedangkan 52,8% suara pendukung pasangan Jusuf Kalla dan Wiranto juga menyatakan hal yang sama. “Ini menunjukkan, pemilih PDIP dan Golkar, dan mayoritas pemilih pilpres Megawati dan Jusuf Kalla percaya petinggi Demokrat terlibat korupsi di Menpora,” kata Denny JA, Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia, dalam jumpa pers di Jakarta, Minggu 12 Juni 2011. Menurut Denny, faktor utama yang memengaruhi persepsi ini adalah kasus yang membelit Muhammad Nazaruddin yang bulan lalu dipecat sebagai Bendahara Umum partai pemenang Pemilu itu. Sebanyak 53,7 persen responden percaya Nazaruddin korupsi.

Hasil survei LSI di atas sesungguhnya tidak berbeda dengan realitas obyektif kasus dugaan tindak pidana korupsi kader-kader Partai Demokrat di DPR. Berdasarkan hasil pengolahan Litbang Kompas, Harian Kompas 13 Juli 2011, dan 27 Januari 2012, dan Website: Digital Media Ekspos News, 13 Juli 2011, dll, para kader Partai Demokrat terkena kasus korupsi antara lain: As’ad Syam, Sarjan Tahir, Yusran Aspar, Amrun Daulay, Agusrin Maryono Najamudin, Nazaruddin, Murwan Effendi, RE Siahaan, Djufri, dan Angelina Sondakh.

As’ad Syam adalah Anggota DPR 2009-2014 Dapil Jambi), Kader Partai Demokrat. As’ad Syam tersandung korupsi pembangunan pembangkit listrik tenaga diesel Sungai Bahas senilai Rp. 4,5 miliyar saat menjabat Bupati Muaro Jambi. Putusan Kasasi MA memutuskan As’ad bersalah dan menjatuhkan hukuman Vonis 4 tahun penjara dan denda Rp. 2000 juta subsider enam bulan (Kasasi MA, 11/12/2008).

Sarjan Tahir adalah anggota DPR 2004-2009), Kader Partai Demokrat. Ia terkena dugaan kasus suap alih fungsi hutan mangrove untuk Pelabuhan Tanjung Api-api. Ia terkena vonis 4,5 tahun penjara (PK MA,17/11/2009). Kasus dugaan suap terkait pengalihan fungsi hutan lindung seluas 7.300 hektar di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Ditahan 2 Mei 2008. Status tersangka pada Sarjan Taher diputuskan KPK pada 27 Februari 2008.

Yusran Aspar adalah anggota Komisi IV DPR 2009-2014 dari Fraksi Partai Demokrat. Yusran terkena dugaan kasus korupsi biaya pembebasan tanah kompleks perumahan PNS senilai Rp. 6,3 miliar semasa pejabat Bupati Penalam Paser Utama Kaltim periode 2003-2008. Yusran mendapat putusan kasasi MA tentang hukuman 1 tahun 6 bulan penjara serta denda Rp. 100 juta (Kasasi MA, 2009). Anggota Komisi IV DPR Periode 2004-2009 dari Fraksi Partai Demokrat.

Amrun Daulay adalah anggota DPR 2009-2014 Dapil Sumut II), Kader Partai Demokrat. Amrun Daulay terkena dugaan kasus korupsi pengadaan mesin jahit dan impor sapi Rp. 25 miliyar saat Amrun menjabat Dirjen Bantua dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial. Ia ditetapkan sebagai Tersangka oleh KPK (8 April 2011). Ditahan KPK (5 Juli 2011).

Agusrin Maryono Najamudin adalah Gubernur Bengkulu , Kader Partai Demokrat. IA tersandung dugaan kasus korupsi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Bea Penerimaan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar Rp. 20,16 miliar. Namun, ia mendapat vonis bebas (PN Jakpus, 29/5/2011).

Nazaruddin adalah Anggota DPR 2009-2014 Dapil Jatim IV. Ia tersandung dugaan kasus korupsi Pembangunan Wisma Atlet SEA Games di palembang dengan nilai proyek mencapai Rp. 191 miliar. Tersangka (KPK, 30/6/2011). Ditetapkan senagai tersangka oleh KPK 30 Juni 2011. Ia ditangkap di Cartagena, Kolombia, 7 Agustus 2011.

Kasus korupsi kader Partai Demokrat paling mencolok di publik adalah dugaan tindak pidana korupsi anggota DPR sekaligus sebagai Bendahara Umum DPP Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin (33 tahun). Sekretaris Umum Dewan Kehormatan Partai Demokrat, Amir Syamsuddin, (23 Mei 2011) mengumumkan pemberhentian Nazaruddin dari jabatan Bendahara Umum Partai Demokrat. Keputusan ini diambil antara lain karena berbagai pemberitaan miring tentang Nazaruddin membuat Partai Demokrat dalam posisi yang tidak menguntungkan. Laporan itu juga menghambat Nazaruddin dalam melaksanakan tugasnya. Amir Syamsuddin mengatakan, Dewan Kehormatan juga menilai semua informasi dugaan keterlibatan Nazaruddin dalam kasus hukum dan etika terkait dengan jabatannya sebagai Bendahara Umum.

Kasus korupsi relatif mendapat perhatian serius publik atas Nazaruddin anggota Kader Partai Demokrat ini terkait kasus suap proyek pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan, Kementerian Pemuda dan Olahraga RI. Salah satu contoh persekongkolan antara politisi di DPR dan pejabat pemerintah (eksekutif) ini diduga berkaitan dengan sejumlah anggota DPR. Anggota Kader Partai Demokrat lain diduga terkait dengan kasus ini adalah Anggelina Sondakh, anggota Komisi X DPR.

Pada 21 April 2011, KPK menangkap Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga (Sekmenpora) Wafid Muharam di ruang kerjanya, bersama dengan Direktur Marketing PT Anak Negeri Mindo Rosalina Manulang dan Manajer PT Duta Graha Indah (DGI) Mohammad El Idris. Peristiwa ini kemudian berlanjut dikenal sebagai kasus „dugaan suap Sesmenpora“. M Nazarudin disebutkan sebagai Pendiri PT Anak Negeri perusahaan Mindo Rosalina Manullang sebagai Direktur Marketing. Kasus dugaan suap Sesmenpora kemudian meyeret nama anggota Komisi X DPR, Angelina Sondakh (kader P.Demokrat), dan I Wayan Koster (Kader PDIP). Sebelum pemberhentian Nazaruddin dari jabatan Bendahara Umum, Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, telah melaporkan Nazaruddin kepada Presiden SBY terkait pemberian 120.000 dollar Singapura oleh Nazaruddin kepada Sekretaris Jenderal MK Janedjri M Gaffar. Bahkan, melalui konperensi press diselenggarakan SBY, Mahfud membeberkan ke publik kasus Nazaruddin terkait pemberian 120.000 dollar Singapura yang mengundang perhatian publik atas kasus Nazaruddin ini.

Pada 13 Juni, Nazaruddin dipanggil KPK untuk pertama kali sebagai skasi dalam kasus dugaan suap di Kemenpera tersebut, namun tidak hadir. Sebelumnya, 10 Juni 2011, KPK juga menjadwalkan pemanggilan terhadap Nazaruddin sebagai saksi dalam kasus korupsi di Kementerian Pendidikan Nasional pada 2007. Juga Nazaruddin tidak hadir. KPK melalui Juru Bicara Johan Budi (Republik 14 Juni 2011) pernah menegaskan akan menjemput paksa Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat ini bila sampai tiga kali mangkir dari panggilan penyidik. Akhirnya, pada 30 Juni 2010 KPK menetapkanya sebagai “tersangka” dalam kasus Wisma Atlet ini.

Diberitakan, Nazaruddin terbang ke Singapura pada 23 Mei 2011 bersama istirinya, Neneng Sri Wahyuni. Partai Demokrta sempat mengirimkan satu tim khusus untuk menemui Nazaruddin di Singapura. Namun, Tim itu gagal membujuk Nazaruddin pulang ke Tanah Air. Sementara itu, Nazaruddin belum pernah memberikan keterangan sakit secara resmi kepada KPK. Bahkan, Nazaruddin sempat menyebutkan sejumlah nama terkait kasus dugaan suap Sesmenpora. Di antaranya, Dewan Pembina P. Demokrat Menpora Andi Mallarangeng, Wakil Ketua Banggar DPR dari P. Demokrat Mirwan Amir, Anggota Komisi X DPR dari P. Demokrat Angelina Sondakh, dan Anggota Komisi X DPR dari PDIP Wayan Koster. Kebanyakan mereka sudah membantah tudingan Nazaruddin (Republika, 24 Juni 2011). Intinya, semua Parpol memiliki kader anggota DPR berperilaku korup atau meperoleh dana ilegal.

Profil anggota DPR dari Parpol Demokrat yang koruptif satu per satu semakin terlihat dari pernyataan Nazaruddin dari luar negeri (Harian Media Indonesia, 25 Juli 2011). Dalam wawancara dengan Metro TV paad 19 Juli 2011, Nazaruddin mengatakan kemenangan Anas Urbaningrum (saat itu sebagai Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR) di Kongres II Partai Demokrat 21-23 Mei 2010, Bandung. Sebagai pesaing Anas dalam kompetisi Ketua Umum DPP Partai Demokrat ketika itu adalah marzukie Ali (Ketua DPR-RI) dan Andi Mallarangeng (Menteri Olahraga dan Pemuda). Nazaruddin menyampaikan terdapat peredaran uang di dalam Kongres itu sekitar US $ 20 ribu.Uang itu dibagi-bagikan ke pengurus Partai Demokrat di daerah. „Ada DPC yang dikasih US$10 ribu, ada yang US$15 ribu, ada US20 ribu, ada sampai US40 ribu,“ ujar Nazaruddin. Bahkan nazaruddin menyebut uang US$5 juta dan Rp. 35 miliar diangkut dengan mobil boks dipakai untuk memenangkan Anas menjadi Ketua Umum. Uang yang dibagi-baikan itu berasal dari uang korupsi proyek dibiayai APBN, antara lain Proyek Pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang.

Harian Kompas (21 September 2011) berdasarkan sumber Litbang Kompas/NDW, diolah dari pemberitaan Kompas.com membeberkan beberapa tuduhan Nazaruddin tentang kasus korupsi melibatkan politisi Parpol di DPR. Pertama, Proyek Wisma Atlet di Kemenpora, uang Rp. 9 miliar mengalir ke sejumlah anggota Badan Anggaran DPR, Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum, dan Ketua Fraksi Partai Demokrat Djafar Hafsah. Selanjutnya, aliran dana, Rp. 8 miliar diberikan kepada anggota Banggar DPR I Wayan Koster (F-PDI Perjuangan) dan Angelina Sondakh (Fraksi Partai Demokrat). Keduanya kemudian menyerahkan kepada pimpinan Banggar, Mirwan Amir. Dari Mirwan diserahkan ke pimpinan Banggar lainnya dan Anas Urbaningrum yang tidak disebutkan jumlahnya. Rp. 1 miliar diserahkan kepada Djafar Hafsah. Dalam kasus ini Nazaruddin sebagai „Terdakwa“.

Kedua, Proyek Pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kemnakertran. PT. Anugrah Nusantara merupakan salah satu perusahaan peserta tender proyek PLTS senilai Rp. 8,9 miliar. Nazaruddin dan Anas adalah pimpinan perusahaan itu. PT Anugrah menyubkontrakkan proyek. Dugaan pengelembungan harga pelaksanaan senilai Rp. 3,8 miliar. Dalam kasus ini status Nazaruddin dalam pemeriksanaan KPK sebagai „Saksi“.

Ketiga, Sumber Dana Kongres Partai Demokrat, Biaya Kongres Partai Demokrat berasal dari proyek di Kementerian dan BUMN, antara lain proyek Hambalang, proyek e-KTP, proyek bantuan operasional sekolah (BOS), serta pembangkit listrik PLN di Riau dan Kaltim. Dalam pemeriksaan 10 jam oleh KPK, Senin, 19 September 2011, Nazaruddin menyebutnkan adanya dana untuk Kongres sekitar Rp. 50 miliar dan 7 juta dollar AS.

Keempat, Rekayasa kasus oleh KPK, Ketua Komite Etik KPK Abdullah Hehammahua berbohong terkait pertemuan Nazaruddin dengan Wakil Ketua KPK Chandra M. Hamzah. Nazaruddin mengakui bertemu dengan Chandra sebanyak lima kali di luar persidangan Komisi III. Pernyataan Ketua Etik KPK Abdullah Hehamahua mengutip keterangan Nazaruddin pada pemeriksaan KPK (10 September 2011).

Yulianis dalam kesaksiannya, mengatakan, Nazaruddin telah mengalirkan uang mencapai 1,1 juta dolar AS kepada para politikus di Senayan. Pemberian uang bertujuan untuk pengurusan proyek pembangunan wisma atlet. Yulianis mengaku memberikan langsung uang tersebut kepada Nazaruddin saat berada di kantor, pemberian uang diantarkan melalui sopir Yulianis, yaitu Lutfhi, Dadang dan Bari. Semua pengeluaran dilakukan pada 30 April 2010 dengan empat kali pemberian. Pertama 450 ribu dollar AD, dan terakhir 400 ribu dolar AS.

Di lain fihak, Nazaruddin juga menjadi tersangka dalam kasus Tindak Pidana Pencucian Uang yang diduga lewat pembelian saham PT Garuda. Berdasarkan pengakuan Yulianis dalam persidangan Nazarudin uang senilai Rp300,8 miliar sempat digelontorkan untuk pembelian saham, saat perusahaan tersebut sedang melakukan IPO Februari tahun 2011. Saham dibeli lewat lima perusahaan yaitu Permai Raya Wisata membeli 30 juta lembar saham senilai Rp22,7 miliar, Cakrawala Abadi membeli 50 juta lembar saham senilai Rp37,5 miliar, Eksharetek membeli 165 juta lembar saham senilai Rp124,1 miliar, Pasific membeli 100 juta lembar saham Rp75 miliar, dan Dharmakusuma membeli 55 juta lembar saham senilai Rp41 miliar.

Nazaruddin dalam kasus suap Wisma Atlet yang sudah menjadi tersangka justru menyeret rekan-rekan di Partai Demokrat seperti Anas Urbaningrum, Anggelina Sondakh, Saan Mustopa, Mirwan Amir, dan Andi Mallarangeng.
Anas Urbaningrum adalah Ketua Umum Partai Demokrat. Tuduhan-tuduhan Nazarudin tehadap Anas Urbaningrum pada gilirannnya mendapat dukungan dari kesaksian-kesaksian sejumlah saksi yang bekerja di Group Permai. Terungkap bahwa posisi Anas di dalam perusahaan. Para saksi mengungkapkan posisi Anda di dalam perusahaan dan menjelaskan secara rinci hari-hari apa saja Anas biasa datang ke kantor dan bekerja pada perusahaan tempat mereka bekerja. Mobil apa saja yang pernah diberikan perusahaan lengkap dengan nomor poliisi yang digunakan.

Yulianis dalam kesaksiannya pada 25 Januari 2012, mengatakan bahwa terdakwa Muhammad Nazaruddin merupakan mantan atasannya di PT Permai Group. Kesaksian Yulianis juga menyinggung adanya aliran dana proyek wisma atlet ke kongres Partai Demokrat. PT Permai Group, kata Yulianis, juga mengalirkan dana tunai saat kongres Partai Demokrat berlangsung. Uang dibawa langsung dengan menggunakan tiga unit mobil dengan kawalan mobil polisi. Uang yang dibawa dalam mobil sebenar Rp. 30 miliyar dan lima juga dolar AS dengan perincian dua juta dolar AS dari PT Permai dan tiga juta dolar AS dari sumbangan. Uang diambil dari anal-anal perusahaan PT Permai Group. Uang langsung dibawa ke Hotel Aston Bandung, tempat kongres berlangsung. Di samping berapa banyak kardus uang yang dibawa untuk Kongres Partai Demokrat di Bandung, juga terungkap beberapa yang dibawa kembali ke Jakarta. Juga bagaimana pengiriman uang 1 juta dollar AS dari perusahaan untuk diberikan kepada Anas.

Anas juga disebut oleh dua Saksi di persidangan kasus suap Wisma Atlet, yakni Gerhana Sianipar dan Muhajiddin Nur Hasyim. Gerhana adalah Direktur PT Exartech Technologi Utama, perusahaan yang juag tergabung dalam Group Permai. Sementera, Hasyim adalah adik Nazaruddin dan juga salah satu pemilik Group Permai. Gernaha dan Hasyim mengaku tidak mengenal Grup Permai. Keduanya hanya menyebut Konsorsium perusahaan yang dikendalikan dari Tower Permai di Mapang, Jakarta Selatan. Menurut Hasyim, Konsorsium di Tower Permai pemodalnya sepenuhnya Anas. Anas lebih berhak tentang apa yang harus dijalankan dan diputuskan dalam Konsorsium. Anas juga mengatur penempatan tugas beberapa pegawai di Konsorsium. Anggota konsorosium yang dapat pekerjaan maka dimodali konsorsium, yang diketuai Yulianis, dan ownernya Anas dan saya. Saksi Gerhana juga mengakui pernah Anas di konsorsium Tower Permai. Posisi Anas atasan Nazaruddin. Dalam Rapat, Nazarudin juga meminta data untuk dipertanggungjawabkan kepada Anas. “Kalau saya lewat ruang meeting, saya pernah lihat Pak Nazar koordiansi dengan Pak Anas pagi-pagi”, kata Saksi Gerhana (Kompas, 8 maret 2012).

Andi Mallarangeng juga tersandung issue perilaku korupsi sehubungan dengan kasus korupsi Wisma Atlet. Dalam kesaksiannya, Rosalina mengatakan bahwa ada aliran dana Wisma Atlet sebesar Rp. 500 juta ke Tim Sukses Andi Mallarangeng untuk pemenangan dalam kongres Partai Demokrat di Bandung 2010. Pada 11 September 2014, Jaksa penuntut umum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menuntut Anas 15 tahun penjara. Dalam perjalanannya, kasus korupsi Anas Urbaningrum, pada 24 September 2014 Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan hukuman 8 tahun dan denda Rp. 300 juta. Pada 6 Februari 2014, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengurangi hukuman Anas menjdai 7 tahun penjara. Pengurangan itu tidak berlaku pada denda. Namun, KPK mengajukan kasasi atas putusan Pengadilan Ringgi DKI Jakarta yang dinilai aneh: menolak banding Anas, tetapi mengurangi hukuman. Anas juga mengajukan kasasi. Terakhir, 8 Juni 2015, Mahkamah Agung melipatgandakan vonis terhadap Anas menjdai 14 tahun penjara, denda Rp. 5 miliyar (subsider 16 bulan penjara), serta membayar uang pengganti Rp. 57 miliyar (KORAN TEMPOM< 9 Juni 2015).

Murwan Effendi adalah Bupati Seluma, Bengkulu. Pemberian suap kepada anggota DPRD, penyusunan APBD dan penggunaan dana infrastruktur TA 2010. Perubahan anggaran membuat biaya pembangunan mmbengkak dari Rp. 350 miliar menjadi Rp. 385 miliar. Ditetapkan Tersangka oleh KPK, 11 Juli 2011.

RE Siahaan Mantan Walikota P.Siantar Sumut 2005-1010, juga Ketua DPC Partai Demokrat Siantar 2005-2010. Kasus korupsi pengelolaan Rp. 16 miliar dana bantuan sosial APBD, serta dana pemeliharaan di Dinas PU TA 2007 bernlai Rp. 30 miliar. Diduga kerugian Negara Rp. 9 miliar.

Djufri (Anggota DPR 2009-2014). Pengelembungan dana pembelian lahan sejumlah proyek di kota Bukittingi. Vonis 4 Tahun (PN Padang 6/1/2012).

Angelina Sondakh. Anggota DPR 2009-2014 Fraksi Demokrat. Ia telah ditetapkan oleh KPK sebagai Tersangka. Anggelina Sondakh adalah Wakil Sekjen DPP Partai Demokrat dan anggota DPR. Tuduhan Nazarudin terhadap Anggelona Sondakh akhirnya mendapat dukungan dari sejumlah kesaksian dalam persidangan Nazarudin. Berdasarkan catatan Yulianis, anggota DPR Anggelina Sondakh (Kader Partai Demokrat) dan Wayan Koster (Kader PDIP) masing-masing mendapat Rp. 2 miliar dan Rp. 3 miliar. Bahkan, KPK telah memutuskan Anggelina sebagai tersangka dalam kasus Wisma Atlet.

Selain kader-kader Partai Demokrat di atas, juga Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Jhonny Allen Marbun tersandung kasus dugaan korupsi. Anggota DPR RI asal Sumut ini telah dua kali dilaporkan ke KPK oleh mantan ajudannya sendiri bernama Selestinus Angelo Ola. Pertama, terkait kasus dugaan korupsi pembangunan Dermaga di Indonesia Bagian Timur. Salestinus melaporkannya ke KPK dengan tuduhan menerima suap di Badan Anggaran. Ketika itu Salestinus menyatakan, Jhonny selaku Wakil Ketua Badan Anggaran DPR pada tahun 2008 terlibat pengaturan penyaluran anggaran ke daerah. Johnny mendapatkan komisi lima persen dari dana yang disepakati untuk dialokasikan ke daerah. Kedua, pada 5 Januari 2012, Salestinus melaporkan Jhonny Allen Marbun ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salestinus –merupakan mantan pekerja Jhonny - datang ke Gedung KPK membawa bukti-bukti dugaan korupsi yang dilakukan Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat itu. "Ya, tadi saya sudah sampaikan semua data-datanya kepada KPK," ujar Salestinus usai melapor ke KPK.. Diungkapkan Salestinus, Jhonny Allen diduga melakukan korupsi tanah kuburan senilai Rp10 miliar. Yakni dengan melakukan mark up tanah kuburan di Pondok Rangon Jakarta Timur. Dalam prosesnya, Jhonny berkomplot dengan Ketua Pimpro Pembebasan Tanah Pondok Rangon dari Dinas Pemakaman, Endang Syuhada.“Jhonny Allen diduga menyuap Endang Syuhada sebesar Rp550 juta,” ucap Salestinus. Uang tersebut diberikan untuk kelancaran mark up senilai Rp10 miliar. Yakni kelancaran untuk menyepakati mark up pada tanah yang dibeli Jhonny Allen seluas 3,5 hektar dengan total biaya Rp13 miliar menjadi Rp23 miliar(INILAH.COM, 5 Januari 2012).

Pada 23 Februari 2012 ratusan mahasiswa tergabung dalam Forum Generasi Muda Muslim Sumatera Utara mendesak aparat penegak hukum segera mengusut tuntas kasus dugaan suap dan mark-up yang dilakukan Jhonny Allen Marbun demi menindak lanjuti laporan dan pengaduan atas dirinya. Desakan tersebut disampaikan mahasiswa saat berunjukrasa di Gedung DPRD Sumatera Utara dibawah pimpinan Koordinator Aksi Adhitia Melfan Tanjung. “Sudah lebih dua tahun kasus yang melibatkan Jhonny Allen Marbun dipeties-kan oleh KPK. Kami melihat bahwa pimpinan KPK sengaja menyembunyikan kasus tersebut hingga kepemimpinan KPK saat ini,” ujar Adhitia (Berita Sore Online, 07 Maret 2012)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda