Rabu, 21 Maret 2012

DEBAT PUBLIK RUU KEAMANAN NASIONAL (KAMNAS)

I.STATUS RUU KAMNAS

1.Pemerintah RI melalui Kementerian Pertahanan (Kemenhan) telah mengajukan Rencana Undng-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) kepada DPR untuk dibahas dan disahkan. RUU Kamnas ini sesungguhnya sudah digulirkan sejak tahun 2007 dan memicu polemic hingga Presiden memutuskan menariknya dari DPR. Pada 23 Mei 2011 telah dikeluarkan Surat Presiden ditujukan kepada DPR dalam hal Pembahasan RUU Kamnas dan penunjukkan Menhan, Mendagri, dan Menkumham sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan RUU Kamnas. Saat ini RUU Kamnas masuk dalam Prolegnas 101, INPRES 2010 yang proses legislasinya di DPR.

2.Komisi I DPR telah membahas substansi RUU Kamnas lebih dari 11 pekan dengan memanggil sejumlah pakar LSM dan Institusi, di antaranya Elsam, Imparsial, Kontras, Komnas HAM , Dewan Pers dan LIPI.

3.DPR telah membentuk Panitia Khusus (Pansus) RUU Kamnas. Pansus itu disahkan setelah Badan Musyawarah (Bamus) memutuskan RUU Kamnas dibahas di tingkat Pansus dengan melibatkan Komisi I, II, dan III. Sebelumnya, RUU itu hanya dibahas di Komisi I. Kepemimpinan Pansus RUU Kamnas direncanakan dari unsur Demokrat, Golkar, PDIP, dan PKS. Pimpinan DPR memberi tenggang waktu Pansus RUU Kamnas untuk bekerja secepatnya, maksimal 2 kali masa sidang plus 1 kali masa sidang bisa selesai.

4.Ketua Pansus adalah Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar, Agus Gumiwang Kartasasmita. Agus terpilih melalui voting dalam rapat Pansus dipimpin wakil ketua DPR, Priyo Budi Santoso. Agus mengalahkan kandidat lain: Trimedya Panjaitan (PDIP dan Komisi III) dan Benny K. Harman (P.Demokrat dan Komisi III). Voting ini adalah yang kedua dalam sejarah pembentukan Pansus di DPR periode ini. Voting pertama saat pemilihan Ketua Pansus Angket Bank Century.

5.Rapat Pansus 21 Maret 2012 memutuskan mengembalikan RUU Kamnas ke Pemerintah. Semua fraksi menolak kecuali Fraksi Demokrat (hadir) dan Gerindra (tidak hadir dalam rapat). Keputusan pengembalian RUU Kamnas ini dilakukan sebelum ada acara Pansus mendengarkan keterangan Pemerintah. RUU Kamnas menjadi naskah RUU pertama dikembalikan DPR periode 2009-2014 kepada Pemerintah. Alasan pengembalian RUU Kamnas ke Pemerintah menurut ketua Pansus Agus Gumiwang:

a.Ditemukan banyak ketidakselarasan antara naskah akademik dengan RUU itu.
b.RUU Kamnas menggunakan paradigma dan pendekatan systemic building atau pendekatan kontingensi yang masih terbuka untuk diperdebatkan.
c.Ketidaksesuaian antar pasal-pasal dalam RUU tentang Kamnas.
d.Terdapat duplikasi dan kontradiksi UU sektoral (UU No 34 tahun 2004 tentang TNI, UU No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, dan UU No 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara). ` UU sektoral tersebut merupakan aktor keamanan dalam RUU tentang Kamnas.
e.RUU Kamnas berpotensi melanggar HAM dan kebebasan berdemokrasi.

II. KANDUNGAN RUU KAMNAS

Kandungan RUU Kamnas terdiri dari 7 Bab dan 60 Pasal plus penjelasan pasal-pasal sebagai berikut:
•Bab I (1 pasal) mengandung “Ketentuan umum”.
•Bab II (3 pasal) mengandung “Hakekat, tujuan dan Fungsi Kamnas”.
•Bab III (11 Pasal) mengandung “Ruang Lingkup Kamnas”.
•Bab IV (2 Pasal) mengandung “Ancaman Kamnas”.
•Bab V (39 Pasal) mengandung “Penyelenggaraan Kamnas”.
•Bab VI (2 Pasal) mengandung “Ketentuan Peralihan”.
•Bab VII (2 Pasal) mengandung “Ketentuan Penutup”.

III.FORUM DISKUSI DAN MEDIA MASSA

Di luar DPR, RUU Kamnas telah menjadi obyek perdebatan, perbincangan dan diskusi publik baik di forum-forum diskusi publik maupun media masas. Untuk perdebatan melalui forum diskusi publik antara lain:

1.Uji Publik RUU Kamnas diselenggarakan Kerjasama UPN “Veteran” Jawa Timur dengan Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan (Ditjen Pothan) Kemenhan, di Shangrilla Hotel Surabaya, 3 Nopember 2011. Kegiatan ini merupakan rangkaian pembahasan RUU Kamnas yang telah dibahas sejak Oktober 2009 dalam bentuk konsultasi publik, juga telah dibahas oleh kalangan baik institusi pemerintah, akademisi, TNI-Polri maupun LSM di berbagai wilayah di Indonesia. Dihadiri sekitar 100 peserta, sebagian besar adalah akademisi Jawa Timur. Sebagai pembicara: Sekretaris Ditjen Pothan, Laksamana TNI Ir. Leonardi sebagai Ketua Tim Uji Publik RUU Kamnas.

2.Diskusi RUU Kamnas diselenggarakan di Warung Daun, Jakarta, 14 Januari 2012. Pembicara: Paskalis Kosay (Anggota Komisi I DPR) dan Mayjen Dadi Sutanto (Staf Ahli bidang Pertahanan Kemenhan).

3.Seminar Nasional diselenggarakan Persatuan Keluarga Besar Purnawirawan Polri (PP,POLRI) dengan tema “Mengkritisi RUU Kamnas” , 20 Februari 2012, Jam 08/00-14.00 WIB di Ball Room-A Hotel Grand Hyatt, Jakarta. Pembicara: Prof. Dr. Awaludin Djamin MPA, Dr. J.Kristiadi, dan Dr. Irman Putra Sidin, Usman Hamid SH,MH. Sebagai Pembahas adalah Prof. Dr. Hermawan Sulistyo sebagai Pembahas. Pada umumnya, pembicara dan pembahas menolak sebagian pasal dan bahkan menolak keseluruhan RUU Kamnas.

4.Seminar Nasional diselenggarakan BEM FH Univ. Jayabaya dengan tema “Menyikapi Polemik RUU Kamnas dalam Membangun Komitmen Terciptanya Stabilitas Nasional”, 5 Maret 2012, Jam 12.00-Selesai, Lt 5 Rektorat Universitas Jayabaya, Jakarta. Bertindak sebagai pembicara adalah Brigjen TNI Hartind Asrind (Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemhan). Dr. Agus Brotosusilo, SH, MA (Akademisi UI), Irjen Pol Prn. Sisno Adiwinoto (WaKetum Ikatan dan Profesi Perpolisian Indonesia), Al Araf (Direktur Advokasi Imparsial), Syahganda Nainggolan (Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle). Peserta: BEM se-Jakarta, masyarakat Umum, pelajar dan unsurOKP/Ormas. Kecuali Brigjen TNI Hartind Asrind, semua pembicara cenderung mengkritik RUU Kamnas, bahkan menolak RUU Kamnas. Forum ini menampilkan seorang pembicara pendukung yang berkepentingan agar RUU Kamnas berhasil menjadi UU.

Untuk perdebatan publik di media massa antara lain:

1. J. Kristiadi, Peneliti CSIS (KOMPAS.Com, 20 Februari 2012): menghimbau agar berbagai kalangan termasuk pemerintah dan masyarakat tidak terus larut dalam perdebatan mengenai RUU Kamnas. Hasil perdebatan antarkalangan telah berlangsung beberapa tahun terakhir seharusnya dikerucutkan untuk memperbaiki isi RUU Kamnas jika dirasa ada yang kurang. RUU Kamnas akan bermanfaat baik bagi kehidupan berbangsa dan bernegara jika diatur oleh kepemimpinan nasional yang kuat. Harus bisa mengajak masyarakat untuk memberikan masukan bagi keamanan negara. Kesulitan utama menyusun RUU ini karena negara yang seharusnnya memiliki peran penting untuk menjaga keamanan bagi masyarakat, justru menjadi ancaman untuk warganya sendiri. Sebaiknya RUU Kamnas dikembalikan pada pemerintah dan diperbaiki sejumlah pasal dinilai secara substansi mengundang kontorversi.

2.Hermawan Sulistiyo, Peneliti LIPI (REPUBLIKA.CO.ID, 20 Februari 2012): menilai motivasi pembuatan RUU Kamnas hanya persoalan perebutan lahan antara TNI dan Polri. Selama ini terjadi gap antara TNI dan Polri dalam kewenangan mengatur keamanan negara. Kondisi itu membuat TNI tersingkir. Polri mendapat peran luar biasa begitu besar hingga berujung pada masalah kesejahteraan.Hal itu menimbulkan kecemburuan di kalangan TNI. Polisi sekarang yang pangkatnya sama dengan tentara sudah bawa mobil mewah. Atas dasar itu, TNI berupaya membuat aturan yang bisa mewadahinya agar dapat merebut wewenang Polri dalam menjaga keamanan. Hal itu lucu sebab tugas dan fungsi TNI adalah menjaga pertahanan dan kedaulatan negara.

3.Farouk Muhammad, Tim Kerja RUU Kamnas Kimite I DPD (REPUBLIKA.CO.ID, 20 Februari 2012) : mempertanyakan konstitusionalitas RUU Kamnas yang tidak diamanatkan Pasal 30 UUD 1945 yang tidak berbicara tentang “keamanan nasional” tetapi “pertahanan dan keamanan negara” atau “keamanan negara”. RUU Kamnas tidak sejalan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki landasan yang jelas. Tim Kerja RUU Kamnas Komite I DPD merekomendasikan dua butir. Pertama, Pemerintah kembali menyempurnakannya dengan mempertimbangkan masukan Tim Kerja RUU Kamnas Komite I DPD. Kedua, Tim Kerja RUU Kamnas Komite I DPD berharap diikutsertakan setidak-tidaknya dalam pembicaraan tingkat I.

4.Imparsial (LSM) melalui Siaran Pers berjudul “RUU Kamnas: Mengancam Kebebasan dan Demokrasi”, 12 Februari 2012, berkesimpulan: Pertama, RUU Kamnas ini multitafsir, represif, dan bersifat subversif sehingga mengancam HAM, penegakan hukum, kebebasan sipil, hak dan kebebasan parlemen dalam membuat UU, kebebasan berekspresi (aksi buruh, aksi mahasiswa, aksi petani), kebebasan pers dan demokarsi itu sendiri. Kedua, RUU Kamnas ini sama saja dengan UU subversi yang pernah hidup pada masa pemerintahan otoriterian Orde baru. RUU ini dapat mengembalikan format politik rezim represif seperti masa lalu. Ketiga, sifat represif dan subversive serta mengancam HAM dan demokrasi.

5.Megawati Ketua Umum DPP PDI (MICOM, 14 Februari 2012) memerintahkan fraksi PDIP untuk menolak dan mengembalikan draft RUU Kamnas kepada pemerintah, disesuaikan dengan urgensinya. Pasal-pasal dalam draft dinilai menelikung hak rakyat. Banyak yang rancu dan tumpang tindih harus disinkronkan dulu. Substansi RUU Kamnas seperti pada masa Orde Baru, antara lain ada penyadapan, peluang melakukan penangkapan.

6.Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane, menilai RUU Kamnas bertentangan dengan dengan ketentuan hukum, yakni Pasal 30 UUD '45 dan Tap VI MPR Tahun 2000. Prosesnya juga bertentangan dengan Pasal 18 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. RUU Kamnas` hanya melihat keamanan dengan kacamata pertahanan sehingga terjadi pencampuradukan antara keamanan dan pertahanan. Padahal, keduanya merupakan dua hal berbeda. Keamanan sarat dengan tindakan preventif, sedangkan pertahanan sarat dengan tindakan represif yang menafikan KUHP. Untuk itu IPW akan berjuang keras menentang pembentukan sebuah UU yang bertentangan dengan UU lain, terutama UUD '45 dan Tap MPR (REPUBLIKA.CO.ID,11 Maret 2012).

7. Edy Prasetyono (Dosen FISP UI) mengatakan, secara legal perlu dibentuk suatu UU tentang keamanan nasional yang berisi institusi dan instrument kamanan serta kewenangan mereka masing-masing. Semua harus diperinci secara tegas agar tidak dapat lagi ditafsirkan secara berbeda-beda. Selain itu, perlu amandemen UU berkaitan masalah keamanan nasional. UU yang ada masih mengandung aspek-aspek yang saling berbenturan, bahkan sebagian bertentangan dengan prinsip-prinsip supremasi otoritas politik. Secaar institusional perlu penataan kelembagaan semua aktor keamanan nasional, terutama TNI, Polri dan Intelijen (Kompas, 22 Juli 2011).

8.Kusnanto Anggoro, Pengamat Militer, menilai fungsi pencegahan saja tidak cukup, RUU Kamnas justru harus mengatur penanganan masalah (problem solving), bukan pembangunan sistem untuk jangka panjang. Dengan demikian, pengaturan tentang keamanan nasional lebih mengutamakan perlindungan daripada pembangunan sistem keamanan nasional, penyelesaian masalah mendesak dari persoalan-persoalan jangka panjang, penegasan tanggungjawab negaara daripada kriminalisasi warga negara. Kalau hal itu disepakati, pembahasan RUU Kamnas akan menjadi lebih sederhana karena hanya sebatas pengintegrasian instansi-instansi yang sudah ada hanya pada waktu-waktu tertentu saja dan tidak permanen. Hanya dalam rangka menghadapi ancaman mendesak yang membawa konsekuensi fisik pada negara dan warga negara (MICOM, 12 Maret 2012).

9.Mayjen (Purn) Dadi Sutanto, Ketua Tim Perancang RUU Kamnas: menjelaskan, beleid sistem keamanan nasional ini tidak akan menganggu hubungan antar institusi penegak hukum. Tidak ada yang dipreteli. Kewenangan Polri dan TNI tetap. RUU Kamnas ini akan menjadi payung hukum untuk sistem keamanan secara menyeluruh, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Setiap instansi mesti diatur pelibatannya dalam menangani keamanan agar tidak tumpang tindih. Dalam keadaan tertentu, TNI misalnya AL bisa melakukan penegakan hukum di laut, Polisi nggak berwenang. Di Udara TNI AU bisa menindak seperti melakukan intersep. RUU Kamnas merupakan amanat UUD 1945 yang sejak berdirinya belum pernah diatur.

10.Agus Surahartono, Panglima TNI (KOMPASIANA.COM, 9 Januari 2012) menegaskan bahwa RUU Kamnas tidak akan memangkas kewenangan Polisi tentu sebuah pernyataan yang realistis. Karena sebetulnya RUU Kamnas dibuat untuk meningkatkan operasional keamanan di Indonesia. Peran TNI dalam pembahasan RUU itu sebatas sebagai pelaksana keamanan. Yang jelas, saat ini dari seluruh negara di dunia, hanya Indonesia yang belum memiliki UU Kamnas. Padahal UU tersebut mutlak diperlukan sebagai penunjang stabilitas keamanan negara dan mengantisipasi berbagai ancaman mulai dari ancaman geografi, demokgrafi, kondisi sosial seperti geologi, politik sosial bdaya dan hankam.

11. Mayjen TNI Puguh Santoso, Direktur Jenderal Strategi Pertahanan, Kemenhan (Beritasatu.Com, 12 Februari 2012) menekankan, RUU Kamnas tidak akan secara teknis mengatur penanganan masalah pada tingkat operasional. Strategi penanganan kamnas yang diatur di dalam RUU Kamnas bukan perwujudan baru dari sistem Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) di era Orde Baru. Pengorganisasian Kopkamtib terpusat langsung di bawah kendali Presiden Suharto dan bertugas menjalankan strategi militer dan nonmiliter untuk menjaga stabilitas dan keamanan nasional. RUU ini akan mengikat berbagai aktor keamanan, setiap aktor tidak lagi jalan sendiri-sendiri namun menjadi suatu sistem yang akan dibangun. Sistem itu akan dibangun melalui koordinasi Dewan Keamanan Nasional (DKN) yang mempunyai anggota tetap beberapa Menteri dan beberapa Menteri sektoral lain sebagai anggota tidak tetap. Keanggotaan tidak tetap bersifat kontekstual sesuai dengan ancaman keamanan sedang dihadapi. DKN juga terdiri dari pakar-pakar dari masing-masing kementerian dan ahli-ahli di luar pemerintahan yang turut merancang desain strategi nasional dalam menjawan ancaman nasional. DKN tugasnya hanya memberi rekomendasi pada tataran strategis bukan pada tataran teknis.

12.Laksda TNI (Purn.) Budiman Djoko Said, Mantan Rektor UPN Veteran Jakarta (VIVAnews, 21 Juli 2011) menilai kecurigaan dan ketakutan dalam masyarakat bahwa RUU Kamnas nantinya bisa menjurus pada pola pikir dan sikap zaman Orba yang represif dengan pola militeristik adalah efek dari trauma masyarakat akan kepemimpinan terdahulu. Kalau RUU ini memang berorientasi untuk kepentingan nasional, tidak perlu ada ketakutan. Hal ini wajar karena selama berahun-tahun masyarakat Indonesia pernah berada dalam masa itu. Tumpang tindih RUU Kamnas dengan UU sejenisnya pasti ada, tapi kalau memang mau ideal, harus ditata ulang, dipetakan betul. Kalaupun terjadi perubahan, penghapusan, amandemen ataupun pembentukan UU baru, adalah sebagai risiko. Cost yang mesti dibayar karena pemerintah dulu telah salah membuat manajemen pemerintahan.

13.Purnomo Yusgiantoro, Menhan, menegaskan, hendaknya pengertian kewenangan penangkapan dan pemahaman potensi ancaman jangan dipelintir dahulu. Menurutnya, kita tidak akan kembali ke zaman represif. Kita hidup di zaman demokrasi. Proyeksi ancaman saat ini luas. Ada ancaman tradisional dari dalam negeri dan luar negeri. Ada anacman asimetris seperti terorisme dan separatism. Selain itu dikenal juga ancaman bencana alam dan wabah penyakit (Kompas, 28 januari 2011)

14.Pos M Hutabarat, Dirjen Direktur Pothan Kemenhan, mengatakan, RUU Kamnas mengatur pengawasan terhadap semua instansi yang memiliki wewenang khusus, seperti penyadapan, penangkapan, dan pemeriksaan. Instansi itu, antara lain TNI, Polri, Kejaksanaan, BIN, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). UU Kamnas disebut tidak menambah wewenang. Pasal 54 itu mengatur pengawasan yang dilakukan DKN.

15.Teguh Juwarno, Sekretaris Fraksi PAN (REPUBLIKA CO.ID, 6 Maret 2012, menilai RUU Kamnas mengancam keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Sebabnya wewenang penyadapan tidak diatur dengan baik sehingga mengancam privasi individu. Definisi ancaman juga tidak jelas sehingga multitafsir dan rawan dijadikan alat kesewenang-wenangan. Selain itu, ada keanehan dalam RUU ini. Dua Kapolri sebelumnya, Sutanto dan Bambang Hendarso Danuri, tidak pernah mau menandatangani RUU ini agar kemudian dibahan di DPR. Namun, di era Kapolri Jenderal Timur Pradopojustru RUU ini ditandatanganinya, tanda bahwa dia setuju RUU ini dibahas di DPR. Bagi Teguh, ini menimbulkan pertanyaan.

16.Agus Gumiwang Kartasasmita, Ketua Pansus RUU Kamas menegaskan, tidak ada penguatan ataupun pelemahan terhadap peran TNI maupun Polri. RUU Kamnas akan mengatur apa yang terbaik untuk keamanan nasional dan memosisikan peran dua institusi itu sebagaimana mestinya.

IV.SSUE-ISSUE RUU KAMNAS:

Berdasarkan perdebatan publik baik di DPR, forum diskusi maupun media massa, sementara ini terdapat issue-issue RUU Kamnas terdidentifikasi sebagai berikut:

1.RUU Kamnas tidak memiliki dasar dan filosofis yang kuat, tdiak memiliki landasan hukum yang kuat dan banyak pasalnya bertentanagn dengan UU yang ada.

2.RUU ini melibatkan aktor-aktor penting keamanan baik TNI, Kepolisian dan Badan Intelijen (BIN) yang secara sektoral juga mempunyai UU menegani pengaturan keamanan. Belum ada kesesuaian antara naskah akademik dan draf RUU. Ada duplikasi dalam RUU ini dan bahkan kontadiksi dengan aturan lama sehingga perlu harmonisasi dan sinkronisasi.

3.RUU Kamnas dinilai akan mengurangi tugas dan kewenangan Kepolisian. Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo mengaku tak dapat menolak RUU itu lantaran bagian dari pemerintah. Timur hanya berharap Komisi III sebagai mitra Kepolisian ikut membahas RUU itu.

4.Masyarakat mencurigai bahwa dengan RUU Kamnas ini seolah-olah pola lama Orde baru dimunculkan kembali dimana peran TNI/Polri akan semakin besar dalam berbagai kebijakan publik dengan memakai payung RUU Kamnas. RUU Kamnas berpotensi mengamcam HAM dan demokrasi.

5.Masih adanya sejumlah kritikan dari kalangan pemerintah terhadap RUU Kamnas. Misalnya, ada keinginan dari Kepolisian untuk turut membahas RUU Kamnas mempersoalkan nama "Keamanan Nasional" yang mestinya diganti "Keamanan Negara".

6.Pasal 1 ayat 2 berbunyi: “Ancaman adalah setiap upaya, kegiatan, dan/atau kejadian, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang mengganggu dan mengancam keamanan individu warga negara, masyarakat, eksistensi bangsa dan negara, serta keberlangsungan pembangunan nasional.” Tidak adanya definisi yang jelas tentang ‘ancaman’ memungkinkan untuk mengeliminasi setiap kelompok dan ideologi yang dipandang sebagai ancaman. Hal ini sejalan dengan paradigma ketahanan nasional yakni memandang ancaman bukan sekedar militer tetapi juga “tidak bersenjata” yang aktual maupun potensi. Hal ini dinilai akan mengakibatkan pelanggaran HAM baru oleh pemerintah.

7.Pasal 1 ayat 13 berbunyi: “Ancaman tidak bersenjata adalah ancaman selain ancaman militer dan ancaman bersenjata yang membahayakan keselamatan individu dan/atau kelompok, kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan bangsa.”Ayat ini sejalan dengan ayat di atas, bahkan lebih spesifik lagi bahwa siapapun dan apapun yang “membahayakan keselamatan individu dan/atau kelompok”, artinya ayat ini bisa digunakan untuk menjalankan peran TNI dan BIN dengan tindakan represinya yang tanpa rambu-rambu peraturan perundang-undangan mengeliminir kelompok-kelompok masyarakat yang dainggap mengancam keselamatan individu, kelompok dan mengatas namakan negara padahal hal tersebut adalah hanya kamuflase pemerintah untuk mengamankan kekuasaannya.

8.Pasal 4 huruf c & d memelihara dan meningkatkan stabilitas keamanan nasional melalui tahapan pencegahan dini, peringatan dini, penindakan dini, penanggulangan, dan pemulihan; dan menunjang dan mendukung terwujudnya perdamaian dan keamanan regional serta internasional. Pasal ini akan membatasi ruang gerak kelompok yang dikategorikan dan dianggap sebagai ancaman bukan saja terhadap nasional, tetapi juga regional dan internasional.

9.Pasal 5 jo Pasal 9 point a huruf 4 jo Pasal 1 ayat 12 jo pasal 17 jo Pasal 20.
Unsur keamanan nasional terdiri atas: 1.Tingkat Pusat yang meliputi: a. Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Kementerian Negara; b. Tentara Nasional Indonesia (TNI); c. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri); d. Kejaksaan Agung; e. Badan Intelijen Negara (BIN); f. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB); g. Badan Nasional Narkotika (BNN); h. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT); dan i. Lembaga Pemerintah Non Kementerian terkait. Ruang lingkup keamanan nasional, identifikasi ancaman dan unsur keamanan nasional yang diatur dalam RUU ini terlalu luas sehingga menimbulkan ruang dan peluang terjadinya tumpang tindih kerja dan fungsi antar aktor keamanan dan mengandung pertentangan antara Undang-Undang yang mengatur tentang masing-masing Institusi di dalamnya. Hal tersebut akan menambah carut marut tatanan kehidupan sosial masyarakat yang saat ini sudah sangat terpuruk akibat dari adanya tata kelola pemerintahan yang tidak memihak kepada rakyat. Pasal ini dinilai akan berimplikasi pada perluasan kewewenangan tanpa limitasi seperti: menyadap, menangkap, dst..(Re Pasal 54 RUU ini); menjadi kekuasaan ekstra yudisial sebagaimana pada masa Komkamtib dan Bakorstanas Orba. Bahkan lebih parah lagi, karena pemerintahan daerah, unsure TNI dan kedinasan kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian yang ada di kabupaten/kota, bisa melakukan penyadapan, penangkapan.

10.Pasal 10, 15 jo 34 tentang darurat sipil dan militer sudah tak relevan lagi bila acuannya pada UU tentang Keadaan Bahaya tahun1959.

11.Pasal 12 jo Pasal 34 ayat 2 tentang Pengaturan tentang pengerahan TNI pada status tertib sipil. Pasal ini dinilai bias sekuritisasi dan bias dominasi militer.

12.Pasal 16 tentang sasaran ancaman, terdiri atas a) bangsa dan negara; b)keberlangsungan pembangunan nasional; c) masyarakat; dan d) insane. Butir a,c dan d memadai, rerfleksi keseimbangan paradigm berpusat negara % manusia. Butir b multitafsir. Aktivis buruh, lngkungan, adat dapat dituding “anti pembangunan nasional.” Pasal ini dinilai multitafsir, represif dan suversif.

13.Pasal 17 ayat (1) berbunyi “Ancaman keamanan nasional di segala aspek kehidupan dikelompokkan ke dalam jenis ancaman yang terdiri atas: a. ancaman militer; b. ancaman bersenjata; dan c. ancaman tidak bersenjata.” Pasal 17 ayat (4) menyatakan bahwa ancaman potensial dan non potensial diatur dengan keputusan presiden. Ini sangat berbahaya bagi demokrasi dan sangat tirani. Pasal-pasal ini mendudukkan hal yang mengancam negara bukan saja secara militer atau bersenjata, tetapi juga yang tidak bersenjata berupa ideologi dan pemikiran. Hal ini dapat dibaca pada penjelasan pasal 17 ayat 1 huruf c. Pasat 17 dinilai pasal karet dengan sangat mudah disalahgunakan. Jika diterakan jenis dan bentuk ancaman sebagaimana tercantum dalam penjelasan RUU ini, dengan kewenangan yang terkandung dalam hak kuasa khusus pada Pasal 54 hurif e, maka ruang kemungkinan penyalahgunaan sangat besar. Spektrum ancaman menjadi tidak terbatas, menjangkau semua hal yang sesungguhnya merupakan elemen-elemen ketahanan nasional; RUU Kamnas mencampuradukkan keamanan nasional dengan ketahanan nasional. Begitu pula potensi ancaman tidak dibedakan dari gangguan dan ancaman aktual.

14.Pasal 22 jo 23 memberikan peran terlalu luas kepada unsur BIN sebagai penyelenggara Kamnas.

15.Pasal 25 huruf b dan d tentang Dewan Keamanan Nasional mepunyai tugas;
b. Menilai dan menetapkan kondisi keamanan nasional sesuai dengan eskalasi ancaman; d. mengendalikan penyelenggaraan keamanan nasional. Tidak jelasnya batasan ancaman dan pengertian radikalisme, serta ideologi transnasional menjadikan pasal ini bisa mengancam siapa saja dan membuat Dewan Kamnas punya wewenang penuh untuk menetapkan kondisi keamanan dan batasan eskalasinya, serta mengendalikan keamanan nasional. Pasal ini mengarahkan pemerintahan menuju militeristik dan tirani dengan melakukan tindakan-tindakan oleh unsur-unsur Militer. Kewenangan DKN dinilai terlalu luas yakni sampai memiliki kewenangan untuk menetapkan kondisi keamanan nasional sesuai eskalasi ancaman. Sudah seharusnya penetapan ini menjadi kewenangan Presiden sedangkan DKN hanya memberikan pandangan dan masukan meski Presiden juga sebagai Ketua DKN. Keputusan terakhir penetapan ini tetap ada di Presiden. DKN juga tidak perlu memiliki kewenangan untuk mengendalikan penyelenggaraan keamanan nasional.

16.Pasal 31 berbunyi: “Kepala Daerah Povinsi/Kabupaten/Kota menetapkan kebijakan dan strategi pelaksanaan tata pemerintahan di daerah yang mendukung penyelenggaraan keamanan ansional berdasarkan kebijakan dan strategi keamanan nasional”. Pasal ini dinilai tidak diperlukan pengaturan tentang emerintah daerah mengingat fungsi pertahanan dan keamanan bersifat terpusat dan tidak didesentralisasikan karenannnya pasal-pasal mengatur pemerintah daerah sebaiknya dihapus.

17.Pasal 33 ayat (1) berbunyi: “Dalam hal memelihara dan menjaga keamanan umum dan ketertiban umum dalam status hukum keadaan tertib sipil, dan status hukum keadaan darurat sipil sesuai kewenangan dan tanggungjawabnya…..,Bupati/Walikota membentuk Forum Kordinasi Keamanan nasional Daerah Kabupaten/Kota yang terdiri dari Pimpinan TNI di Daerah Kabupaten/Kota, Pimpinan Polri di daerah Kabupaten/Kota, Kepala Kejaksanaan Negeri di daerah Kabupaten/Kota, Kepala BPBD Kabupaten/Kota, dan Kepala BNNK”. Karena fungsi pertahanan dan keamanan adalah bersifat terpusat dan tidak terdesentralisasikan, maka tidak dipeerlukan forum kordinasi keamanan nasional daerah. Seluruh pasal yang mengatur forum ini sebaiknya dihapus. Kehadiran forum ini tidak ubahnay seperti “Bakorinda”, yang pernah dibentuk masa Orde Baru dan di masa Reformasi telah dibubarkan.

18.Pasal 42 ayat (1) berbunyi: “Penanggulangan ancaman di laut dilaskanakan oleh TNI dalam hal ini TNI AL dan instansi yang memiliki otoritas penyelenggaraan keamanan di laut”. Pasal ini sebaiknya dihapus karena RUU Kamnas ini terkesan hanya membahas dan mengistimewakan TNI AL.

19.Pasal 54 huruf e jo 20 tentang unsur Keamanan Nasional tingkat pusat meliputi :“TNI, BIN, BNPT dan Polisi…….. Penjelasan Pasal 54 huruf e:“Kuasa khusus yang dimiliki oleh unsur keamanan nasional berupa hak menyadap, memeriksa, menangkap dan melakukan tindakan paksa ………..”Keinginan untuk meminta kewenangan menangkap itu sesungguhnya pengulangan dari kewenangan yang diminta dalam RUU Intelijen. Hal ini menunjukkan adanya rencana yang terselubung dan terencana dari pemerintah dalam membuat RUU bidang pertahanan dan keamanan (RUU Keamanan Nasional dan RUU Intelijen) dengan tujuan yang politis yakni berkeinginan mengembalikan posisi dan peran aktor keamanan (TNI dan BIN) seperti pada format politik orde baru yakni meletakkan kedua institusi itu sebagai bagian dari aparat penegak hukum. Sikap pemerintah yang berkeinginan memberikan kewenangan menangkap kepada BIN dan TNI bukan hanya akan merusak mekanisme criminal justice system tetapi juga akan membajak sistem penegakkan hukum itu sendiri, dengan kewenangan tersebut maka berpotensi melakukan pelanggaran HAM karena TNI dan BIN dalam melakukan upaya paksa seperti menangkap, menahan, dan memeriksa serta menyadap tidak memiliki dasar hukum karena kewenangan tersebut hanya dapat dilaksanakan oleh penyidik sesuai dengan KUHAP, dan di Negara manapun di dunia ini peranan dari tentara adalah bukan merupakan aktor penegak hukum melainkan sebagai unsure pertahanan Negara.) Bahkan, pasal ini dinilai, orang bodoh dan orang miskin bisa ditangkap karena termasuk ancaman. RUU Kamnas bukanlah memberikan perlindungan keamanan insane, justru sebaliknya, menjadi ancaman insane yang berpikiri saja harus hati-hati karena bisa ditangkap, dianggap potensi ancaman oleh Pemerintah.

20.Pasal 55 dan 56 Pembiayaan: 1. Biaya penyelenggaraan keamanan nasional dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan/atau sumber-sumber lain yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 55 dan pasal 56 menambah berat beban rakyat. Seharusnya anggaran tersebut berasal dari APBN sehingga uang dari rakyat dikelola oleh pemerintah dapat diberikan untuk melaksanakan pembangunan lebih mendesak saat ini untuk mensejahterakan rakyat bukan untuk menambah beban biaya demi para penyelenggara Kamnas yang tujuannya justru membatasi kebebasan rakyat dan bahkan memberikan dampak kekuasaan negara yang otoriter dan militeristik serta menindas rakyat. Alasan lainnya, karena fungsi pertahanan dan keamanan hanya diperbolehkan melalui APBN. Perlu ada penegasan, pembiayaan untuk aktor keamanan melalui APBN.

21.Pasal 59, ayat (1) berbunyi: “Pada saat berlakunya undang-undang ini, semua peraturan perudnang-undangan yang terkait dengan Keamanan Nasional yang sudah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentanagn dengan undang-undang ini”. Ayat (2) berbunyi: “Pada saat Undang-unadng ini mulai berlaku, ketentuan Pasal 15 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4169) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. UU ini menjadi lex spesialis, semacam payung menghapus UU lainnya, termasuk UU Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara”. Pasal ini mencabut Pasal 15 UU No. 3 tahun 2002 terkait DPN yang bertugas menelaaah kondisi Kamnas atau pertahanan negara, menilai resiko kebijakan dan memberikan opsi kebijakan pada presiden. Konsekuensinya, keanggotaan tidak mencakup “Anggota tidak tetap dari unsure nonpemerintahan berjumlah 5 orang, terdiri dari atas pakar bidang pertahanan, organisasi masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat”. Penggunaan kuasa khusus bisa digunakan tanpa pengawasan.

V.BEBERAPA PERTANYAAN NSEAS PERLU MENDAPAT JAWABAN:

1.Perlukah UU Kamnas bagi Negara Republik Indonesia?
•Jika perlu, mengapa?

2.Perlukah pembentukan Dewan Keamanan Nasional (DKN) di In donesia?
•Jika perlu, mengapa?

3.Apakah RUU Keamanan Nasional akan “mempreteli” atau mengurangi kewenangan
Kepolisian?
•Jika ya, kewenangan Kepolisian yang mana akan dipreteli atau dikurang?

4.Mengapa sejumlah aktivis NGO’s dan Akademisi menolak RUU Kamnas?

5.Apakah RUU Kamnas berpotensi melanggar HAM dan kebebasan berdemokrasi ?
•Jika ya, pasal-pasal mana dan apa argumentasinya?



--edisi 21 Maret 2012--

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda