Rabu, 14 Maret 2012

KORUPSI KADER PARPOL DI DPR-RI (BAGIAN KEEMPAT)

Korupsi Kader PDIP

Kelahiran PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) terkait dengan peristiwa 27 Juli 1996, menampilkan Megawati Soekarnoputri di kancah perpolitikan nasional. Meski sebelumnya Megawati tercatat sebagai Ketua Umum PDI (Partai Demokrasi Indonesia) dan anggota Komisi I DPR, namun setelah peristiwa itu Megawati tampil lebih populer di seluruh Indonesia. Segera setelah memasuki era reformasi, untuk menyongsong Pemilu 1999, PDIP didirikan dan Megawati bertindak sebagai Ketua Umum. Pada Pemilu pertama era reformasi ini, PDIP memperoleh peringkat pertama untuk suara DPR dengan memperoleh 151 kursi dan Megawati menduduki jabatan Wakil Presiden dan Abdurrahman Wahid dari PKB (Partai Kebangkutan Bangsa) sebagai Presiden. Setelah Abdurrahman Wahid turun dari jabatan Presiden pada 2001, PDIP berhasil menempatkan Megawati ke kursi Presiden. Namun, dalam Pemilu 2004 perolehan suara PDIP turun ke peringkat kedua, yakni hanya meraih 109 kursi. Untuk Pemilu Presiden 2004, PDIP kembali mencalonkan Megawati sebagai calon presiden, berpasangan dengan KH Hasyim Muzadi sebagai calon wakil presiden. Tidak berhasil. Pada Pemilu 2009 perolehan suara PDIP turun lagi ke peringkat ketiga, hanya meraih 14.600.091 suara (14,0%) dan 95 kursi (16,96%) di DPR. Pada Pilpres 2009 PDIP kembali mencalonkan Megawati sebagai Calon Presiden, berpasangan dengan Prabowo (Partai Gerindra) sebagai calon wakil presiden. Juga tidak berhasil.

Sebagaimana pengalaman Partai Demokrat dan Partai Golkar, PDIP juga memiliki kader di DPR tersandung kasus tindak pidana korupsi. Kasus korupsi kader PDIP paling spektakuler adalah terkait dengan kasus aliran dana BI ke 52 anggota Komisi IX DPR. Sebagaimana menurut “Catatan Buruk Akuntabilitas Partai Politik”, Public Accountability—Indonesia Corruption Watch, Seri-Korupsi Politik dalam WWW.antikorupsi.org. dan ICW yang menggunakan sumber dokumen pemeriksanaan Hamka Yandhu di dalam Harian KORAN TEMPO, 1 Juli 2008, dari keseluruhan 52 anggota Komisi IX tersebut, jumlah kader PDIP tergolong paling banyak. KPK menilai para kader PDIP dimaksud telah melanggar ketentuan mengenaiai penyuapan yakni Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) kesatu Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Para kader PDIP tersandung kasus aliran dana BI tersebut adalah Dudhie Makmun Murod, Agus Condro Prajitno, Max Moein, Rusman Lumbantoruan, Poltak Sitorus, Williem Tutuarima, Panda Nababan, Engelina Pattiasina, Muhammad Iqbal, Budiningsih, Ni Luh Mariani Tirtasari, Sutanto Pranoto, Soewarno, Mathoes Pormes, Sofyan Usman, Daniel Tanjung, Jeffrey Tongas Lumbabatu (Kompas, 22 Maret 2011 dan Republika, 23 Juni 2011).

Dudhie Makmun Murod adalah salah seorang anggota DPR Periode 1999-2004 dari Fraksi PDIP. Ia terkena kasus penerimaan cek perjalanan/pelayat terkait pemilihan Deputi Bank Indonesia, Miranda Gultom.

Agus Condro Prajitno, kader PDIP anggota DPR, menjadi Tersangka, ditahan, divonis 15 bulan penjara dan Rp. 50 juta subsider tiga bulan penjara.

Max Moein, kader PDIP anggota DPR, Tersangka, ditahan, 20 bulan, Rp. 50 juta subsider tiga bulan penjara. Data dan fakta perilaku koruptif anggota DPR dapat dikumpulkan dari kesaksian Max Moeis pada sidang Pengadilan Tipikor terkait dengan kasus Pemilihan Deputi Bank Indonesia, Miranda Gultom. Ia mengaku menerima cek di ruang komisi dari seorang tidak bisa dipastikannya. Cek pelayat itu baginya adalah dana dari Parpol untuk mendukung kampanye pemilihan Presiden di daerah pemilihannya, Kalimantan Barat. Uang itu habis untuk kampanye tanpa ada pertanggungjawaban (Harian Kompas, 20 Maret 2010). Pengakuan Max Moein ini dapat menunjukkan, dana diperoleh seorang kader Parpol bisa berasal dari tindak pidana korupsi.

Selanjutnya, Rusman Lumbantoruan, tersangka, ditahan 20 bulan, Rp. 50 juta subsider tiga bulan penjara. Poltak Sitorus, tersangka, ditahan, telah meninggal/wafat. Williem Tutuarima, tersangka, ditahan, 18 bulan, Rp. 50 juta subsider tiga bulan penjara. Panda Nababan, tersangka, ditahan, 17 bulan, membayar Rp. 50 juta, subsider tiga bulan. Engelina Pattiasina, tersangka, ditahan, 17 bulan, membayar Rp. 50 juta, subsider tiga bulan. Muhammad Iqbal, tersangka, ditahan, 17 bulan, membayar Rp. 50 juta, subsider tiga bulan. Budiningsih, tersangka, ditahan, 17 bulan, subsider tiga bulan. Ni Luh Mariani Tirtasari, tersangka, ditahan. Sutanto Pranoto, tersangka, ditahan, vonis 17 bulan. Soewarno,tersangka, ditahan, vonis 17 bulan. Mathoes Pormes, tersangka, ditahan, vonis 17 bulan. Sofyan Usman, tersangka, ditahan, vonis 15 bulan penjara. Daniel Tanjung, tersangka, ditahan, vonis 15 bulan penjara. Jeffrey Tongas Lumbabatu, tersangka, ditahan, telah meninggal/wafat.

Di lain fihak, untuk memperoleh data dan fakta sehubungan perilaku kader PDIP di DPR memperoleh dana ilegal ini, dapat digunakan kasus “Korupsi Dana YPPI BI” yang dialami para anggota Komisi IX DPR Periode 1999-2004. Kasus ini telah mengantarkan Mantan Direktur Hukum BI Oey Hoey Tiong dan mantan Kepala Biro BI Rusli Simanjuntak masing-masing sebagai terdakwa. Di dalam sidang para terdakwa ini di Pengadilan Khusus Tipikor, Jakarta 28 Juli 2008, Hamka Yandhu (Kader Partai Golkar) pernah bersaksi dan mengakui bahwa semua anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 dari sembilan fraksi berjumlah 52 orang menerima dana dari BI dengan nilai total Rp. 21,6 miliar. Kemudian nama-nama penerima dana itu dibacakan oleh Majelis Hakim satu persatu sesuai fraksi masing-masing, yang dibenarkan oleh Hamka. Pembagian dana berdasarkan fraksi, diberikan secara tunai tanpa tanda tangan, dan tidak ada pertanggungjawaban. Khusus kader PDIP di DPR menerima dana sebagaimana dibacakan Majelis Hakim adalah Dodhie Makmun Murod, Max Moein, Poltak Sitorus, Aberson Marie Sihaloho, Tjiandra Widjaja, Zulvan Lindan, William Tutuarima, Sutanto Pranoto dan Daniel Setiawan.

Korupsi Kader PKB

Fenomena rentannya Parpol terhadap perolehan dana ilegal dapat juga dilihat dari kader PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) di DPR terkait dengan kasus tindak pidana korupsi. Salah seorang di antaranya adalah Yusuf Erwin Faisal. Ia didakwa terlibat korupsi alih fungsi hutan di Sumatera Selatan dengan dugaan aliran cek senilai Rp. 5 miliar kepada sejumlah anggota DPR. Aliran cek itu bertujuan agar DPR memberikan rekomendasi terhadap permohonan alih fungsi hutan lindung Pantai Air Telang di Sumatera Selatan untuk dijadikan Pelabuhan Tanjung Api-api. Yusuf mengakui, para anggota DPR seringkali terbebani kewajiban untuk mencarikan dana guna membiayai keperluan Parpol. “Salah satu sebabnya adalah maraknya kompromi dan adanya pusaran politik. Ekspektasi Parpol terhadap kader sangat tinggi untuk mencari sponsor untuk kepentingan partai”, ujar Yusuf Erwin Faisal saat membacakan pembelaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, 23 Maret 2009.

Pusaran politik bermuara pada Parpol, lanjut Erwin, sangat sulit dikendalikan oleh anggota DPR. Beberapa anggota DPR lantas menyiasati hal itu dengan mencari sumber dana dari pihak ketiga atau swasta untuk menghindari kerugian negara. Semua anggota DPR mengetahui kode etik melarang anggota DPR menerima uang dari rekan kerja. Karena itu, menurut Erwin, bisaanya uang langsung mengalir ke organisasi massa atau Parpol.

Sementara itu, para kader PKB di DPR tersandung kasus “Korupsi Dana YPPI BI” sebagaimana dibacakan Majelis Hakim adalah Amru Al Mustaqim, Ali As’ad, Aris Azhari Siagian, Am Muchtar Nurjaya dan Amru Almutaqin

Korupsi Kader PPP

Al Amin Nur Nasution adalah Anggota Komisi IV DPR Periode 2004-2009 dari Fraksi PPP. Kasus dugaan suap terkait pengalihan fungsi hutan lindung seluas 7.300 hektar di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Ia ditangkap KPK pada 9 April 2008. Al Amin tertangkap tangan, KPK mengembangkan penyelidikan hingga akhirnya kembali menahan Sarjan Tahir (anggota DPR, kader Partai Demokrat) terkait kasus pengalihan fungsi hutan bakau menjadi pelabuhan di Banyuasin, Sumatera Selatan. Sarjan Tahir tidak tertangkap tangan, tetapi berdasarkan penyelidikan KPK di lapangan mereka menemukan adanya keterlibatan Sarjan dalam kasus korupsi. Sebelum Al Amin, Sarjan Tahir dan Bulyan Royan, KPK sudah menahan Saleh Djasit, penahanannya tidak terkait tugas Dewan, tetapi saat menjabat sebagai Gubernur. Hampir dua minggu setelah Al Amin, KPK menahan Hamka Yandhu dan mantan anggota DPR Anthony Zeidra Abidin (kader Golkar) terkait kasus Aliran Dana BI.

Endhin Soefihara adalah Anggota DPR Periode 1999-2004 dari Fraksi PPP. Ia tersandung Kasus penerimaan cek perjalanan/pelayat terkait pemilihan Deputi Bank Indonesia, Miranda Gultom. Status vonis. Sebelumnya, para kader PPP di DPR tersandung kasus aliran dana YPPI sebagaimana dibacakan Majelis Hakim adalah Daniel Tandjung, Sofyan Usman dan Habil Marati.

Korupsi Kader PAN

PAN sebagai kekuatan reformasi dulu getol mengangkat issue KKN Orde Baru, juga tidak terbebas dari ketersandungan kasus korupsi. Pertama-tama adalah kasus Abdul Hadi Djamal. Ia salah seorang Ketua DPP PAN periode 2004-2009 dan anggota Komisi V DPR dan Panitia Anggaran DPR. Telah menjadi terpidana kasus suap Rp. 3 miliar dengan vonis penjara tiga tahun dan denda Rp. 150 juta subsider empat bulan kurungan seperti dijatuhkan di Pengadilan Tipikor, November 2009.

Politikus PAN ini terbukti menerima suap Rp. 3 miliar untuk memuluskan dana stimulus fiskal itu tidak mengajukan banding dan kasasi, tetapi langsung PK (Peninjauan Kembali). Pada 10 Mei 2010 MA (Mahkamah Agung) memutuskan, tidak dapat menerima (niet ontvankelijk verklaard) permohonan PK Abdul Hadi Djamal. Ia didakwa telah menerima uang berturut-turut sebesar 80 ribu dolar US, Rp. 32 juta, 70 ribu dolar US, 90 ribu dolar US dan Rp. 54,5 juta. Menurutnya, uang tersebut rencananya akan diserahkan kepada Jonny Allen Marbun selaku Pimpinan Panitia Anggaran di DPR. Ia menjelaskan uang itu digunakan untuk memuluskan proyek pembangunan dermaga dan bandara di Indonesai Bagian Timur.

Pengakuan Abdul Hadi Djamal dalam pemeriksaan KPK telah menyeret nama anggota DPR lain, antara lain: Rama Pratama (kader PKS) dan Jhonny Allen Marbun (kader Partai Demokrat). KPK juga memeriksa Enggartiasto Lukito (kader Golkar) dan Emir Moeis (kader PDIP) sebagai saksi.

Kader PAN berikutnya adalah Noor Adenan Razak. Ia adalah Anggota Komisi VIII DPR Periode 1999-2004 dari Fraksi Reformasi (PAN). Ia tersandung Kasus suap bagi perubahan Anggaran Biaya Tambahan (ABT) untuk Pembangunan Pusdiklat Bapeten sebesar Rp. 250 juta dan bilyet giro sebesar Rp. 1.227.272.000,-

Kader PAN lain terkait dengan tindak pidana korupsi adalah Wa Ode Nurhayati, anggota DPR-RI periode 2009-2014. Anggota Badan Anggaran DPR ini datang ke KPK pada 26 Januari 2012 untuk diperiksa sebagai tersangka kasus korupsi Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID) tahun 2011. Sesuai didiperikas KPK, WA Ode langsung ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Pondok Bambu, Jakarta. Ia disangka menerima pemberian hadiah terkait alokasi dana PPID. Hadiah berupa uang diduga diberikan oleh pengusaha Fahd A. Rafiq, juga Ketua Umum Generasi Muda (Gema) Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR). Sehari sebelumnya, KPK menetapkan Fahd A. Rafiq sebagai tersangka baru dalam kasus suap PPID tahun 2011 di DPR. Pemberian uang atau hadiah kepada Wa Ode diduga terkait bantuan pengalokasian dana bidang infrastruktur jalan pada PPID untuk Kabupaten Aceh Besar, Pidie Jaya, dan Bener Meriah di Propinsi Aceh. Wa Ode Nurhayati disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat 2, dan atau Pasal 11 UU Pemberantasan Korupsi junto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP (Republika, 13 Februari 2012).

Sebelumnya, nama kader PAN terungkap terkait dengan kasus “Korupsi Dana YPPI BI” adalah adalah Rizal Djalil. Juga ada empat anggota lain menerima aliran dana BI, namun nama-nama tidak terungkap (Kompas, 28 Juli 2008).

Korupsi Kader PBB dan PBR

Kader PBB (Partai Bulan Bintang) terkena kasus korupsi antara lain Hilman Indra. Ia adalah anggota DPR 2004-2009. Ia tersandung kasus Korupsi alih fungsi hutan lindung Pantai Air Telang di Sumatera Selatan untuk Pelabuhan Tandjung Api-api. Divonis 4 Tahun, Sementara itu, kader PBB di DPR tersandung kasus “Korupsi Dana YPPI BI “ sebagaimana dibacakan Majelis Hakim adalah MS Kaban

Terakhir, Bulyan Royan, kader PBR (Partai Bintang Reformasi), Anggota Komisi V DPR Periode 2004-2009. Ia tersandung kasus Pengadaan Kapal Patroli di Dirjen Perhubungan Laut-Dephub. Status Vonis. Dikhabarkan, Bulyan Royan mantan anggota Komisi Kelautan di DPR, telah merugikan keuangan negara sebesar Rp. 1,68 miliar dalam kasus pengadaan kapal patroli di Kementerian Perhubungan. Ia tertangkap tangan di Plaza Senayan, sekitar pukul 17.00, oleh Tim KPK. Ketika tertangkap, KPK menemukan uang sebesar 66 ribu dolar US, dan 5.500 euro atau sekitar Rp. 607,2 juta (asumsi 1 dolar= Rp. 9.200) dan Rp. 79,75 juta (asumsi 1 euro=Rp. 14.500) dari tangan Bulyan Royan. Menurut KPK, uang itu terkait dengan posisi Bulyan Royan saat menjadi anggota Komisi V DPR. Satu sumber menyebutkan, pemberian uang adalah fee bisaa diberikan sebelum tender, besarannya 7-8 % dari nilai tender. “Fee diberikan kepada sejumlah anggota DPR dan pejabat Dephub”.

Fenomena Gunung Es

Kasus korupsi di DPR ibarat fenomena gunung es. Publik meyakini kasus-kasus korupsi anggota DPR mengemuka hanya sebagian kecil saja, kasus-kasus tertutup dan terlindungi jauh lebih banyak. Sebanyak 56, 7 % responden jajak pendapat Litbang Kompas meragukan kasus-kasus korupsi melibatkan sejumlah anggota DPR akan dapat dituntaskan secara hukum. Citra buruk DPR di mata publik terus meningkat selama empat tahun terakhir. Pada 2005, sebanyak 58,8 % responden menilai buruk citra DPR. Dalam jajak pendapat bulan April 2008, sekitar tujuh dari sepuluh responden menyatakan citra DPR buruk dan dalam jajak pendapat kali ini, publik menilai buruk citra DPR meningkat lagi menjadi 81,3 % responden.

Issu publik korupsi di DPR lain telah muncul tekait dengan pernyataan La Ode, Wakil Ketua DPD (Dewan Perwakilan Daerah) di Yogyakarta. Dikahabarkan, menurut La Ode, telah terjadi kasus korupsi besar di tubuh DPR, bahkan kasus ini lebih besar dibandingkan penggelapan pajak dilakukan Gayus Tambunan, pegawai Dirjen Pajak Kementerian Keuangan. Pelakunya, lanjut La Ode, memiliki posisi seperti dia, yaitu di tingkat wakil. Pelaku itu adalah salah satu pimpinan di lembaga legislatif pusat. “Kasus ini merugikan keuangan negara hampir Rp. 100 miliar. Perampokan uang negara ini berlangsung menjelang musyawarah nasional (Munas) salah satu partai politik.” La Ode berjanji akan membukanya, namun hingga buku ini disusun Ia belum juga melaksanakan janjinya.

Sementara itu, Mahfud MD Ketua MK (Mahkamah Konstitusi) juga menyatakan, telah memiliki data dapat membuktikan, terjadi korupsi dengan nilai lebih besar dibandingkan kasus Gayus Tambunan. Mahfud mengaku, data berasal dari anggota DPR menyatakan telah terjadi semacam penyalahgunaan wewenang sehingga mengakibatkan keluarnya uang secara tidak prosedural.

Kasus anggota DPR mengaku memperoleh dana illegal dapat ditunjukkan pada kasus tindak pidana korupsi pengadaan alat roentgen portabel di Departemen Kesehatan tahun 2007. Sebagai terdakwa pada kasus ini adalah Sjafii Ahmad. Dalam sidang pengadilan kasus ini, Asiah Salekan, anggota Komisi Kesehatan DPR periode 2004-2009 mengakui telah menerima duit sebesar Rp. 85 juta dari Sjafii Ahmad. Namun, politikus Golkar ini mengaku tidak mengetahui maksud Sjafii memberikan duit berupa cek pelawat. Asiah menerima duit tersebut dalam dua tahap. Pertama, sebenar Rp. 20 juta dalam bentuk cek pelawat Bank mandiri dan kedua senilai Rp. 65 juta dalam bentyuk cek multiguna Bank BNI.

Selain Asiah, dua nama lain terungkap menerima duit adalah politikus Partai Demokrat, Max Sopacua dan kolega Asiah di Golkar, Charles Jonas Mesang. Sjafii memberikan uang kepada ketiga anggota DPR tersebut pada 2007-2008 ketika mereka duduk di Komisi Kesehatan DPR. Jaksa menyebut Max (anggota Fraksi Demokrat) menerima Rp. 45 juta untuk membayari Honda CR-V, sedangkan Mesang (anggota Fraksi Golkar) menerima Rp. 90 juta. Menurut Jaksa, dana mereka terima itu berasal dari Budiarto Maliang, Komisaris PT. Kimia Farma, suatu perusahaan milik negara pemenang lelang proyek pengadaan alat roentgen dimaksud. Budianto memberikan cek pelawat keluaran Bank Mandiri dan cek multiguna dari Bank BNI dengan nilai total Rp. 8,98 miliyar kepada Syafii. Uang ini diberikan kepada Sjafii sebagai imbalan karena ia telah mengusahakan agar PT. Kimia Farma memenangi tender (Koran TEMPO, 4 Januari 2011).

Modus korupsi anggota DPR lainnya yakni suap-menyuap dalam pemilihan pejabat negara. Modus ini juga menjadi biasa sebagaimana pengakuan Hamka Yandu (Kader partai Golkar) pada sidang perkara masih terkait dengan kasus pemberian cek pelayat (pemilihan Miranda Gultom). Hakim Hendra Yospin di sidang pengadilan pernah mencecer Hamka mengenai kebisaaan suap di DPR dalam pemilihan pejabat. “Apakah mekanisme pemilihan pejabat lembaga tinggi negeri ini kalau tidak ada duitnya (calonnya) bisa tersingkir? Perilaku itu sudah dari dulu atau baru kali ini?” tanya Yospin. Hamka menjawab, “Hal itu biasa” (Harian Kompas, 28 April 2010).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda