Jumat, 19 Januari 2018

REFORMA AGRARIA DAN HUTAN SOSIAL JALAN MENUJU KEADILAN SOSIAL


Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)


I. PENGANTAR

Tulisan ini ditujukan untuk acara Diskusi tentang "Strategi Percepatan Reformasi Agraria dan Perhutanan Sosial", 19 Januari 2018, Gedung Manggala Wanabhakti,  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Jakarta.

Sebagai salah seorang Pembicara, Kami diminta membahas topik: "Reforma Agraria dan Hutan Sosial Jalan Menuju Keadilan Sosial".

Tulisan ini bermula akan menyajikan makna reforma agraria menurut Kementerian LHK,  kemudian kebijakan Pemerintah terkait  perhutanan sosial. Selanjutnya, Tulisan membahas dampak positif kebijakan reforma agraria  terhadap masyarakat, terutama indikator keadilan sosial.

Asumsi dasar Tulisan ini adalah kebijakan reforma agraria terutama perhutanan sosial memiliki dampak positif terhadap masyarakat dan bisa menjadi  jalan menuju keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.

II. REFORMA AGRARIA

Dalam perspektif Kementerian LHK dalam urusan kehutanan, reforma agraria (land reform) secara ringkas dimaknakan untuk  lahan yang ditempati masyarakat dan sudah menjadi pemukiman, dapat dilepaskan dari kawasan hutan menjadi bersertifikat dilihat dari status kawasan hutannya. Total yang disiapkan dari kawasan hutan sekitar 4,1 juta ha.

Selanjutnya reforma agraria diimplementasikan dengan kebijakan perhutanan sosial, yakni Pemerintah menyiapkan akses kelola hutan kepada masyarakat yang disebut Perhutanan Sosial, dimana masyarakat diberi akses kelola hutan selama 35 tahun dan dapat diperpanjang, namun tidak untuk dimiliki.

Kebijakan reforma agraria Kementerian LHK antara lain terdapat dalam kebijakan perhutanan sosial sebagaimana telah diterbitkan  Permen LHK No.P. 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Sebagai penyempurnaan dari Permen LHK No.P. 83 ini, telah diterbitkan Permen No.P.39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perhutani.

Total yang dicadangkan adalah 12,7 juta ha. Saat ini sudah terealisasi 1,4 juta ha dari target 4,3 juta ha sampai tahun 2019.

Selain akses lahan juga disiapkan akses permodalan dengan menggandeng Bank BUMN dan pola bagi hasil dengan BLU (Badan Layanan Umum) Kementerian LHK.

III. DAMPAK POSITIF KEBIJAKAN REFORMA AGRARIA

Kebijakan reforma agraria terutama perhutanan sosial  sesungguhnya akan menimbulkan dampak positif terhadap kondisi kepastian hukum bagi petani penggarap tanah hutan negara; keadilan sosial; dan, kesejahteraan masyarakat terutama petani miskin di sekitar atau wilayah kerja Perum Perhutani.

3.1. Dampak Positif terhadap Kepastian Hukum Petani Penggarap

Kebijakan reforma agraria terutama perhutanan sosial yang diterbitkan oleh Kementerian LHK akan menimbulkan dampak positif terhadap kondisi  kepastian hukum bagi masyarakat miskin dan petani penggarap  penerima IPHPS (Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial). Selama ini  kondisi kepastian hukum  petani
penggarap tanah hutan negara  tergolong  buruk. Petani penggarap acapkali ditangkap, ditekan atau dieksploitasi oleh aparat Kehutanan atau Perhutani untuk di Pulau Jawa. Mereka dituduh telah melakukan kegiatan usaha di tanah negara secara ilegal.

Bagi petani penggarap hutan negara di Pulau Jawa  selama ini terdapat memang secara legal, tetapi dibatasi hanya dua tahun. Setelah itu hubungan hukum petani penggarap dengan tanah menjadi terputus sehingga tidak lagi memiliki kepastian hukum. Jika petani penggarap tersebut terus melakukan kegiatan usaha di tanah negara itu maka akan dituduh sebagsi kegiatan ilegal.

Berdasarkan kebijakan perhutanan sosial,  petani penggarap tanah hutan negara  memberikan kepastian hukum. Untuk Pulau Jawa misalnya, jika hasil evaluasi Pemerintah per lina tahun ternyata Pemegang IPHPS telah melaksanakan kewajiban sesuai ketentuan, maka Pemegang IPHPS bisa memanfaatkan tanah hutan negara itu selama   35 tahun, bahkan diwariskan kepada anak-anak mereka. Hal ini dapat menciptakan kepastian hukum atas pemanfaatan tanah negara, hingga anak-anak mereka.

Ketidakpastian areal kawasan hutan merupakan salah satu yang menghambat efektifitas tata kelola hutan di Indonesia. Ketidakpastian ini memicu munculnya konflik tenurial (lahan) dengan berbagai pihak yang berkepentingan dengan kawasan hutan.  Padahal setidak-tidaknya terdapat 50 juta orang yang bermukim disekitar kawasan hutan dengan lebih dari 33 ribu desa yang berbatasan dengan kawasan hutan.

Persoalan ketidakpastian tata batas hutan ini tidak hanya menimpa masyarakat adat ataupun masyarakat lokal yang berdiam dan memanfaatkan lahan dan sumber daya di dalam kawasan hutan, tetapi juga institusi yang memiliki izin usaha kehutanan dan pemerintah. Di tingkat lapangan batas yang berupa patok batas hutan juga seringkali tidak jelas sehingga sulit diverifikasi dalam pembuatan berita acara.

Untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan, maka diperlukan proses pengukuhan kawasan hutan, dimana seluruh proses yang harus dilakukan adalah penunjukan, penetapan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan. Proses ini semua adalah untuk menuju suatu kawasan hutan yang “legal dan legitimate”.

Pemerintah lewat Kemenhut telah mengatur proses pengukuhan kawasan hutan lewat berbagai aturan, diantaranya Peraturan Pemerintah Nomor 44/2004 tentang Perencanaan Hutan, Permenhut Nomor P.47/2010 tentang Panitia Tata Batas dan Permenhut P.50/Menhut‐II/2011 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Namun ketiga peraturan ini dinilai masih memiliki kelemahan.

Terkadang suatu kawasan hutan negara baru merupakan penunjukkan tetapi telah diterbitkan izin bagi konsesi, padahal seharusnya baru pada tahap penetapan hutan itu memiliki kekuatan hukum dan dapat  dikatakan sebagai hutan negara.

3.2.  Dampak Positif terhadap Kesejahteraan Masyarakat

Kebijakan reforma agraria terutama perhutanan sosial akan menimbulkan dampak terhadap kondisi dan kualitas kesejahteraan masyarakat. Implementasi kebijakan reforma agraria ini  menyebabkan meningkatnya pendapatan keluarga pemegang IPHPS. Selama ini dengan luas lahan hanya maksimal 0,5 Ha, Rata-rata  pendapatan mereka per bulan hanya  Rp. 500 ribu. Tentu saja dengan perhitungan kasar, jika mereka mengelola 2 ( dua) Hektar  akan bertambah minimal menjadi bahkan lebih Rp.2 juta per bulan.

Dari sisi sumber mata pencaharian, kebijakan reforma agraria sektor kehutanan ini     akan menyerap setidak-tidaknya 4 orang per 2 Ha. Dierkirakan dampak positif terhadap penduduk Pulau Jawa sekitar 20 juta jiwa.

3.3. Dampak Positif terhadap Kondisi Keadilan Sosial

Kebijakan reforma agraria terutama perhutanan sosial  akan menimbulkan dampak positif terhadap kondisi dan kualitas keadilan sosial bagi masyarakat atau petani miskin di sekitar dan di dalam  wilayah hutan negara. Kebijakan perhutanan sosial akan menjadi jalan menuju dan  menciptakan keadilan sosial bagi petani miskin yang selama ini tanpa lahan atau dapat memanfaatkan lahan hanya  maksimal 0,5 Hektar  menjadi  dapat memanfaatkan lahan 2 (dua)  Hektar, khususnya di Pulau Jawa. Ada perubahan struktur pemanfaatan lahan untuk sumber mata pencaharian masyarakat atau petani miskin.  Petani miskin semakin banyak dapat memanfaatkan tanah negara seluas  2 Hektar.

Disamping itu, dengan diizinkan petani miskin memanfaatkan tanah negara 2 (dua) Hektar,  maka terjadi peningkatan martabat dan harga diri keluarga petani miskin. Secara psikologis, mereka merasa jauh lebih aman dan bermartabat karena punya tanah 2 (dua) Hektar untuk dimanfaatkan hingga tingkat anak-anak  mereka.

Dampak positif kebijakan perhutanan sosial ini membuka jalan bagi petani penggarap khususnya untuk memperoleh kondisi keadilan sosial lebih baik. Struktur pemilihan tabah yang sangat timpang akan berubah menjadi kurang timpang terutama di sekitar dan di dalam kawasan hutan negara.

IV.  MASALAH DAN TANTANGAN

Masalah dan tantangan yang sedang dihadapi  dalam implementasi reforma agraria terutama  perhutanan sosial yakni  masih jauh dari target luas hutan negara yang diharapkan dapat dimanfaatkan petani penggarap atau masyarakat miskin di sekitar dan di dalam kawasan hutan negara itu.

Untuk kebijakan perhutanan sosial berdasarkan Permen No.P. 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan, target diharapkan terealisasi hingga 2019 seluas 4,3 juta Hektar, tetapi baru tercapai 1,4 juta Hektar.

Untuk Permen LHK No.P. 39 Tahun 2017, luas  tanah negara potensial dapat dimanfaatkan masyarakat miskin di wilayah kerja Perhutani di Puisi Jawa sekitar seluas 1 (satu)  juta Hektar. Namun, realisasi hingga 2017 baru seluas belasan ribu ribu Hektar. Masih sangat jauh dari luas potensial yang dapat dimanfaatkan.

Masalah dan tantangan ini perlu dicari sebab-sebabnya,  kemudian dilanjutkan solusi atau cara pemecahan dalam bentuk strategi harus diimplementasikan  agar jalan menuju keadilan sosial ini semakin melebar.

V. PENUTUP

Kebijakan reforma agraria terutama kebijakan perhutanan sosial akan membawa dampak positif terhadap kondisi kepastian hukum bagi petani penggarap hutan negara, kesejahteraan masyarakat, dan juga keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.

Khusus kondisi keadilan sosial, kebijakan perhutanan sosial akan merubah struktur kepemilikan tanah yang adil karena petani penggarap yang selama ini hanya dapat memanfaatkan tanah 0.5 Hektar menjadi sekitar 2 Hektar. Ada perubahan struktur kepemilikan tanah oleh masyarakat lebih adil.

Kondisi implementasi kebijakan reforma agraria ini masih harus menghadapi  masalah dan tantangan. Yakni  masih terdapat kesenjangan yang sangat lebar antara  target yang diharapkan tercapai dengan realisasi dalam realitas obyektif. .

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda